Anda di halaman 1dari 81

LITERATURE RIVIEW : HUBUNGAN BERAT BADAN LAHIR

RENDAH (BBLR) DENGAN KEJADIAN IKTERUS


NEONATORUM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah EBPK
Dosen : Bdn. Fathia Rizki, S.S.T., M.Tr.Keb.

Disusun Oleh:
Sitia Nuraeni Mutaqien
NPM : F623146
Kelas D

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN


FAKULTAS KEBIDANAN
INSTITUT KESEHATAN RAJAWALI BANDUNG
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak tahun 1961 World Health Organization (WHO) mengganti istilah

premature baby dengan low birth weight baby karena tidak semua bayi dengan

berat kurang 2500 gram pada waktu lahir bayi prematur. Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR) atau Low birth weight baby ini merupakan bayi dengan berat

badan lahir kurang dari 2500 gram. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) menjadi

masalah kesehatan masyarakat karena merupakan salah satu penyebab tingginya

angka kematian bayi. Secara stastitik, angka kesakitan dan kematian pada

neonatus tinggi, dengan penyebab utama adalah berkaitan dengan BBLR.1

BBLR (Bayi Berat Badan Lahir Rendah) merupakan bayi dengan berat lahir

kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan ibu. Faktor penyebab

terjadinya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ini diantaranya status gizi ibu,

umur ibu saat hamil, umur kehamilan, kehamilan ganda, tingkat pendidikan,

penyakit ibu, faktor kebiasaan ibu (merokok, minum beralkohol, pecandu obat

dan pemenuhan nutrisi yang salah), faktor janin (prematur, hidramnion,

kehamilan kembar atau ganda, kelainan kromosom), dan faktor lingkungan


(tempat tinggal didataran tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat

beracun).3

WHO (World Health Organization) melaporkan bayi dengan berat rendah

berkonstribusi sebanyak 60 hingga 80% dari seluruh kematian neonatus dan

memiliki risiko kematian 20 kali lebih besar dari bayi dengan berat normal.

Berdasarkan data WHO dan UNICEF (United Nations International

Children’s Emergency Fund), pada tahun 2013 sekitar 22 juta bayi dilahirkan

didunia, dimana 16% diantaranya 2 lahir dengan Bayi Berat Lahir Rendah

(BBLR) dinegara berkembang adalah 16,5% dua kali lebih besar dari pada

negara maju (7%). Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang

menempati urutan ketiga sebagai negara dengan prevalensi BBLR tertinggi

(11,1%) setelah India (27,6%) dan Afrika Selatan (13,2%). Selain itu

Indonesia turun menjadi ke dua dengan prevalensi BBLR tertinggi diantara

ASEAN lainnya pertama. 2

Sebanyak 7000 Bayi Baru Lahir (BBL) didunia meninggal setiap harinya

(Indonesia:185/hari, dengan angka kematian neonatus 15/1000 Kelahiran

Hidup). Tiga-perempat kematian neonatal terjadi pada minggu pertama, dan

40% meninggal dalam 24 jam pertama. Kematian neonatal berkaitan erat

dengan kualitas pelayanan persalinan, dan penanganan Bayi Baru Lahir

(BBL) yang kurang optimal segera setelah lahir dan beberapa hari pertama

setelah lahir.2 Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga dapat mengalami

berbagai komplikasi seperti, asfiksia, infeksi, hipoglikemia, dan

hiperbilirubinemia.3
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek

patologi. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi

pada setiap bayi berbeda beda. Dapat juga diartikan sebagai ikterus dengan

konsentrasi bilirubin, bila bilirubin tidak dapat dikendalikan maka akan

terjadinya kern ikterus. Ikterus naonatarum adalah perubahan warna menjadi

kuning yang terjadi pada neonatus atau bayi-bayi yang baru lahir. Perubahan

warna ini dapat dilihat pada mata, rongga, mulut, dan kulit.4

Semua bayi lahir akan mengalami proses “menjadi kuning” yang disebut

ikterus neonatorum. Kejadian bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada

Bayi Baru Lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada

bayi kurang bulan.5 Ikterus ini terjadi karena peninggian kadar bilirubin

indirek (unconjugated) dan atau kadar bilirubin direk (conjugated). Bilirubin

merupakan hasil penguraian sel darah merah didalam darah. Penguraian sel

darah ini akan dikeluarkan melalui uri (plasenta) dan diuraikan oleh hati ibu.

Bila kadar bilirubin darah melebihi 2 mg% maka ikterus akan terlihat namun

pada neonatus ikterus masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah

sudah melampaui 5 mg%. Asal mula bilirubin dibuat dari pada heme yang

merupakan gabungan pro toporfirin dan besi.3

Ikterus dibedakan menjadi tiga tipe yaitu ikterus fisiologik, ikterus

patologi, dan kern ikterus. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologi atau

dapat dianggap sebagai hiperbilirubin ialah ikterus yang terjadi pada 24 jam

pertama sesudah kelahiran, peningkatan kadar bilirubin 5 mg% atau lebih

setiap 24 jam, ikterus yang disertai proses hemolysis (inkompatibilitas darah,


defisiensi enzim G6PD (Glucose-6-Phosphate Dehydrogenes) dan sepsis,

kehamilan pada remaja, gestasi kurang dari 36 minggu, dan ikterus yang

disebabkan oleh bayi baru lahir kurang bulan dari 2000 gram yang

disebabkan karena usia dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun.3

Adapun tanda klinis dari hiperbilirubinemia diantaranya adalah scelera,

puncak hidung, mulut, dada, perut dan ektremitas bawah berwarna kuning,

letargi, kemampuan menghisap turun dan kejang.3 Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Krisnha Kishore Sukla, dkk pada tahun 2013 di India

mengatakan dari 421 Bayi Baru Lahir (BBL), 38% menunjukkan berat badan

lahir rendah dan 16% adalah bayi premature. 101 Bayi Baru lahir (BBL)

mempunyai kadar bilirubin tidak normal. Begitupun menurut penelitian

Tutiek Herlina pada tahun 2012 di RSUD Dr. Harjono Ponogoro,dkk

menyatakan bahwa dari 88 bayi lahir dengan berat badan normal, 72 bayi

(81,8%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, dan 16 (18,2%)

mempunyai kadar bilirubin normal. Sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40

bayi (85,1%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, sehingga berat bayi

lahir berhubungan dengan kadar bilirubin.6

Berdasarkan latar belakang diatas mengingat pentingnya penanganan

ikterus neonatarum secara tepat guna menekan terjadinya AKB yang masih

tinggi, maka peneliti bermaksud untuk mengambil kasus dengan judul

“Hubungan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan kejadian ikterus

neonatorum”
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan data diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah

terdapat Hubungan antara bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan

kejadian ikterus neonatorum?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan antara bayi Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR) dengan kejadian ikterus neonatorum.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kejadian bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR)

b. Untuk mengetahui kejadian Ikterus pada bayi baru lahir Untuk

menganalisis

c. Hubungan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dengan kejadian ikterus

neonatorum
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

2.1.1 Definisi

BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) adalah bayi lahir dengan berat

kurang dari 2.500 gram, tanpa memandang usia kehamilan. BBLR

(Berat Badan Lahir Rendah) dibedakan menjadi dua bagian yaitu BBLR

(Berat Badan Lahir Rendah) sangat rendah bila berat badan lahir

kurang dari 1.500 gram dan BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) bila

berat badan lahir antara 1.500-2.499 gram.3

Istilah BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) digunakan oleh WHO

(World Health Organitation) untuk mengganti istilah bayi premature.

Untuk mendapatkan keseragaman dan karena disadari tidak semua bayi

dengan berat badan kurang dari 2.500 gram pada waktu lahir adalah

bayi premature.3

2.1.2 Epidemologi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Prevalensi bayi baru lahir rendah diperkirakan 15 % dari seluruh

kelahiran dunia dengan batasan 3,3% - 38% dan lebih sering terjadi

dinegara berkembang atau sosial ekonomi rendah. Secara statistic

menunjukan 90% kejadian BBLR didapatkan dinegara berkembang dan

angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan

berat lahir lebih dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama dalam

7
peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus. Bayi dapat memberikan

dampak jangka panjang terhadap kehidupannya dimasa depan. Angka kejadian di

Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar 9-

30%, hasil studi di tujuh daerah multisenter diperoleh angka BBLR dengan rentang

2,1% - 17,2%. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI, angka BBLR sekitar

pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni 7%.7

2.1.3 Klasifikasi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

A. Klasifikasi BBLR dapat dibagi berdasarkan derajatnya dan masa

gestasinya. Berdasarkan derajatnya, BBLR (Berat Badan Lahir

Rendah) dibedakan menjadi tiga kelompok diantaranya :3

1) BBLR Berat Badan Lahir Rendah), berat lahir 1.500-2500 gram.

2) BBLSR (Berat Badan Lahir Sangat Rendah), berat lahir 1000-

1.500 gram.

3) BBLER (Berat Badan Lahir Ekstrim Rendah), berat lahir <1000

gram.

B. Berdasarkan masa gestasinya, BBLR dapat dibagi menjadi dua

golongan, yaitu :

1) Prematuritas murni/Sesuai Masa Kehamilan (SMK) Bayi dengan

masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat badan sesuai

dengan berat badan untuk usia kehamilan. Kepala relatif lebih


besar dari badannya, kulit tipis, transparan, lemak subkutan

kurang, tangisnya lemah dan jarang.7

2) Dismaturitas/Kecil Masa Kehamilan (KMK) Bayi dengan berat

badan kurang dari berat badan yang seharusnya untuk usia

kehamilan, hal tersebut menunjukkan bayi mengalami retardasi

pertumbuhan intrauterine.7

C. Retardasi Pertumbuhan Janin Intra Uterin (IUGR)/ Dismaturitas IUGR

adalah bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai dengan

usia kehamilan, serta menunjukkan bayi mengalami retardasi.7

2.1.4 Karakteristik Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Karakteristik yang dapat ditemukan pada prematur murni adalah :3

A. Berat badan yang kurang dari 2.500 gram, panjang badan kurang dari

45 cm, lingkar kepala kurang dari 33 cm, dan lingkar dada kurang dari

30 cm.

B. Gerakan kurang aktif otot masih hipotonis.

C. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.

D. Kepala lebih besar dari badan, rambut tipis, dan halus.

E. Tulang-tulang tengkorak lunak, fontanela besar dan sutura besar.

F. Telinga sedikit tulang rawannya dan berbentuk sederhana.

G. Jaringan payudara tidak ada dan putting susu kecil.

H. Pernapasan belum teratur dan seing mengalami serangan apneu.


I. Kulit tipis dan transparan, lanugo (bulu halus) banyak terutama pada

dahi dan pelipis dahi lengan.

J. Lemak subkutan kurang.

K. Genetalia belum sempurna, pada wanita labia minora belum tertutup

oleh labia mayora.

L. Reflex menghisap dan menelan serta reflex batuk masih lemah.

M. Bayi prematur mudah sekali mengalami infeksi karena daya tahan

tubuh masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang dan

pembentukan antibody belum sempurna. Oleh karena itu tindakan

prefensif sudah dilakukan sejak antnatal sehingga tidak terjadi

persalinan dengan prematuritas.

2.1.5 Diagnosis BBLR

Menegakan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir bayi

dalam jangka waktu satu jam. Dapat diketahui dengan melakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Antara lain:7

A. Pemeriksaan Fisik

Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik BBLR antara lain:7

1) Berat badan

2) Tanda - tanda prematuritas pada bayi kurang bulan.

3) Tanda – tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil

untuk masa kehamilan).


B. Pemeriksaan Penunjang

Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan penunjang BBLR antara lain:7

1) Pemeriksaan ballard skor.

2) Test kocok (shake test), dianjurkan pada bayi kurang bulan.

3) Darah rutin, glukosa darah, jika perlu dan tersedia diperiksa kadar

elektrolit dan analisa gas darah. Foto dada ataupun babygram

diperlukan pada bayi baru lahir dengan unsur kehamilan kurang

bulan dimulai pada umur 8 jam atau dapat diperkirakan akan

terjadi sindrom gawat nafas.

2.1.6 Faktor-Faktor penyebab Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berat badan lahir seorang bayi dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik

dari ibu maupun dari bayi itu sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah:

A. Status gizi ibu hamil

Kualitas bayi lahir sangat bergantung pada asupan gizi ibu hamil.

Gizi yang cukup akan menjamin bayi lahir sehat dengan berat badan

cukup. Namun, kekurangan gizi yang adekuat dapat menyebabkan

berat badan lahir rendah. Berdasarkan teori tingginya angka kurang

gizi pada ibu hamil mempunyai kontribusi terhadap tingginya angka

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia yang diperkirakan

mencapai 350.000 bayi setiap tahun.3

Status gizi pada ibu trimester pertama akan sangat berpengaruh

terhadap pertumbuhan embrio pada masa perkembangan dan


pembentukan organ-organ tubuh (organogenesis). Pada trimester

kedua dan ketiga kebutuhan janin terhadap zat-zat gizi semakin

meningkat. Jika tidak terpenuhi, plasenta akan kekurangan zat

makanan sehingga akan mengurangi kemampuannya dalam mesintesis

zat-zat yang dibutuhkan oleh janin. Untuk mengetahui status gizi ibu

hamil tersebut, dapat menggunakan beberapa cara antara lan: dengan

memantau pertambahan berat badan selama hamil, mengukur Lingkar

Lengan Atas (LILA), dan mengukur kadar Hb.3

Status gizi ibu sebelum hamil berperan dalam pencapaian gizi ibu

saat hamil. Berdasarkan teori menunjukkan bahwa status gizi ibu

sebelum hamil mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kejadian

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), ibu dengan status gizi kurang

(kurus) selama hamil mempunyai resiko 4,27 kali untuk melahirkan

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dibandingkan dengan ibu yang

mempunyai status gizi baik (normal).3

Peniaian status gizi :

1) Penilaian Status Gizi Secara Langsung.

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat

penilaian yaitu antropometri. Antropometri gizi adalah berhubungan

dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi

tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis

ukuran tubuh antara lain berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas dan tebal lemak di bawah kulit. Selain antopometri ada

penilaian klinis, biokimia, dan biofisik.

2) Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung.

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi

tiga penilaian yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital, dan

faktor ekologi. Penambahan berat badan pada ibu hamil ditentukan

berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT), ada batasan berat badan

normal terhadap tinggi badan orang dewasa berdasarkan nilai

Indeks Massa Tubuh (IMT)/Body Mass Index (BMI). IMT dihitung

berdasarkan berat badan dalam kilogram (kg) dibagi dengan tinggi

badan dalam meter kuadrat (m²) dan tidak terikat dengan jenis

kelamin. Anjuran penambahan berat badan selama kehamilan perlu

diperhatikan oleh ibu hamil. 9

Tabel 2.1
Penambahan berat badan selama kehamilan berdasarkan IMT

IMT (kg/m² ) Total kenaikan berat badan Selama trimester 2


yang disarankan (kg) &3 (kg/minggu)

Kurus (IMT<18,5) 12,7 – 18,1 0,5

Normal (IMT 18,5-22,9) 11,3 – 15,9 0,4

Overweight (IMT 23-24,9) 6,8 – 11,3 0,3

Obesitas (IMT≥25) < 6,8 0,2

Sumber : Proverawati dan Asfuah, 2009


Penambahan berat badan yang cukup selama hamil

menggambarkan kebutuhan ibu dan janin yang terpenuhi sehingga

dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan janin. Penambahan

berat badan yang kurang selama hamil akan memungkinkan terjadinya

keguguran, kelahiran prematur, berat bayi yang kurang dan perdarahan

setelah persalinan. Penambahan berat badan selama hamil diharapkan

dapat bertambah sesuai dengan usia kehamilan. Laju pertumbuhan

janin dapat dinilai secara langsung dengan mengetahui berat badan ibu

sebelum hamil dan penambahan berat badan selama hamil.

Penambahan berat badan ibu yang sesuai merupakan indikasi

kebutuhan gizi yang terpenuhi selama hamil. Kebutuhan gizi yang

tercukupi selama hamil dapat menunjang pertumbuhan dan

perkembangan janin. Penambahan berat badan ibu yang tidak sesuai

merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya

keguguran, kelahiran prematur dan BBLR.

B. Umur ibu saat hamil

Kehamilan dibawah usia 20 tahun dapat menimbulkan banyak

permasalahan karena bisa mempengaruhi organ tubuh seperti rahim,

bahkan bayi bisa premature dan berat lahir kurang. Hal ini disebabkan

karena wanita yang hamil muda belum bisa memberikan suplai

makanan dengan baik dari tubuhnya untuk janin didalam rahimnya.

Selain itu, wanita tersebut juga menderita anemia karena sebenarnya ia


sendiri masih membutuhkan sel darah merah tetapi sudah harus dibagi

dengan janin yang ada dalam kandungannya.3

Sedangkan wanita yang hamil pada usia >35 tahun sendiri berkaitan

dengan sklerosis (penyempitan) pembuluh darah arteri kecil dan

arteriola myometrium yang menyebabkan aliran darah ke endometrium

menjadi tidak maksimal, kemudian mengakibatkan tegangganya

pertumbuhan dan perkembangan janin.

C. Umur kehamilan

Umur kehamilan dapat menentukan berat badan janin, semakin tua

kehamilan maka berat badan janin akan bertambah. Pada umur

kehamilan 28 minggu berat janin ± 1000 gram, sedangkan pada

kehamilan 37-42 minggu berat janin diperikarakan mencapai 2500-

3500 gram.3

D. Paritas

Paritas dikatakan inggi bila seorang ibu/wanita melahirkan anak ke

empat atau lebih. Paritas yang tinggi akan berdampak pada timbulnya

berbagai masalah kesehatan baik bagi ibu maupun bayi yang

dilahirkan. Semakin sering ibu hamil dan melahirkan, semakin dekat

jarak kehamilan dan kelahiran, elastisitas uterus semakin terganggu,

akibatnya uterus tidak berkontraksi secara sempurna dan

mengakibatkan perdarahan pasca kehamilan dan kelahiran premature

atau BBLR.8
Ibu dengan paritas 1 dan ≥ 4 berisiko melahirkan BBLR, pada

primipara terkait belum mempunyai pengalaman sebelumnya dalam

pengalaman sebelumnya dalam kehamilan dan persalinan sehingga

bisa terjadi status gizi yang kurang menyebabkan anemia serta

mempengaruhi berat bayi yang dilahirkan, kunjungan ANC yang

kurang serta pengetahuan perawatan selama kehamilan yang belum

memadai dan kesiapan mental dalam menerima kehamilan kurang.8

Sedangkan ibu yang melahirkan anak >4 lebih sering terjadi BBLR

karena terdapatnya jaringan parut akibat kehamilan dan persalinan

terdahulu yang mengakibatkan persediaan darah ke plasenta tidak

sempurna, plasenta menjadi lebih tipis, mencakup uterus lebih luas dan

tergantungnya penyaluran nutrisi dari ibu ke janin menjadi terhambat

atau kurang mencukupi kebutuhan janin yang dapat menyebabkan

gangguan pertumbuhan selanjutnya yang akhirnya akan melahirkan

bayi dengan BBLR.8

E. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan berkaitan dengan pengetahuan tentang masalah

kesehatan dan kehamilan yang akan berpengaruh pada perilaku ibu,

baik pada diri maupun terhadap perawatan kehamilannya seta

pertumbuhan gizi saat hamil. Berdasarkan teori, tingkat pengetahuan

seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, informasi,

pengalaman, dan sosial ekonomi.3


Berdasarkan teori, pengetahuan sangat berhubungan dengan

pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan salah satu kebutuhan

dasar manusia yang dipelukan mengembangkan diri. Semakin tinggi

tingkat pendidikan, semakin mudah menerima dan mengembangkan

ilmu pengetahuan serta teknologi, sehingga semakin meningkat

produktivitas dan kesejahteraan keluarga. Namun demikian, tingkat

pendidikan tidak bisa menjamin tingkat pengetahuan seseorang.3

F. Penyakit ibu

Ada beberapa penyakit yang dapat mempengaruhi berat badan lahir

bayi jika diderita oleh ibu yang sedang hamil, misalnya :3

1) Jantung.

2) Hipertensi.

3) Pre-eklampsi dan Eklamsi.

4) Diabetes Melitus.

5) Carcinoma.

Penyakit tersebut dapat menimbulkan retardasi pertumbuhan

intrauterine (IUGR) janin, yang menyebabkan janin menjadi jauh

lebih kecil dan lemah dari pada yang diharapkan untuk tahap

kehamilan bersangkutan.3
6) Anemia

Anemia dalam kehamilan dapat menyebabkan abortus, pasrtus

prematurus, partus lama, retensio plasenta, perdarahan postpartum

karena atonia uteri, syok, infeksi intrapartum maupun postpartum.

Anemia yang sangat sangat berat dengan hb <4 g/dl dapat

menyebabkan dekompensasi kordis. Akibat anemia terhadap janin

dapat menyebabkan terjadinya kematian janin intrauterine,

kelahiran dengan anemia dapat terjadi cacat bawaan, bayi mudah

mendapat infeksi samapi kematian perinatal.9

Ibu hamil dengan kadar Hb <8 g/dl dikaitkan dengan

peningkatan risiko berat lahir rendah dari bayi kecil untuk masa

kehamilan. Anemia defisiensi besi selama kehamilan diketahui

menjadi faktor risiko kelahiran premature, meningkatkan

terjadinya perdarahan postpartum dan kematian neonatal. Pada

wanita hamil anemia meningkatkan risiko kematian ibu dan anak

serta memiliki konsekuensi negative pada kogitif dan fisik

pengembangan anak-anak dan produktivitas kerja.9

Anemia pada kehamilan dikatikan dengan hasil kehamilan

yang merugikan. Manifestasi klinisnya meliputi pembatasan

pertumbuhan janin, persalinan prematur, berat lahir rendah,

gangguan laktasi, interaksi yang buruk ibu atau bayi, depresi

postpartum, dan meningkatkan kematian janin.9


G. Perdarahan Antepartum

Plasenta previa merupakan penyebab tersering yang mendorong

sebagian dari penderita yang mengalami perdarahan sebelum

kehamilan aterm. Bila terjadi perdarahan banyak atau sedikit tetapi

berulang-ulang maka harus dilakukan penanganan aktif, yaitu dengan

melakukan pengosongan uterus melalui seksio sesarea tanpa

memandang umur kehamilan dan maturitas janin sehingga

menyebabkan besarnya kejadian BBLR.10

Keadaan janin bergantung pada banyaknya perdarahan, dan tuanya

kehamilan pada waktu persalinan. Perdarahan mungkin masih dapat

diatasi dengan transfusi darah, akan tetapi persalinan yang terpaksa

diselesaikan dengan janin yang masih prematur tidak selalu dapat

dihindarkan.10

H. Status Ekonomi Rendah

Keadaan sosial ekonomi dan demografi merupakan tolak ukur

kualitas rumah tangga karena keadaan tersebut erat kaitanya dengan

ketahanan pangan, keadaan gizi, pendidikan dan kesehatan rumah

tangga. BBLR merupakan tolak ukur yang sering digunakan dalam

berbagai penelitian untuk menentukan hubunganya dengan banyak

masalah kesehatan gizi.11


I. Jarak Kehamilan

Ibu yang baru melahirkan memerlukan waktu lama 2 sampai 2

tahun untuk hamil kembali agar pulih secara fisiologik dari kehamilan

dan persalinan. Hal ini sangat penting untuk mempersiapkan diri untuk

menghadapi kehamilan berikutnya. Semakin kecil jarak antara kedua

kelahiran, semakin besar risiko untuk melahirkan BBLR. Kejadian

tersebut disebabkan oleh kompikasi perdarahan waktu hamil dan

melahirkan, partus prematur dan anemia.12

J. Faktor kebiasaan ibu

Kebiasaan ibu sebelum atau selama hamil yang buruk seperti

merokok, minum beralkohol, pecandu obat dan pemenuhan nutrisi

yang salah dapat menyebabkan anomaly plasenta karena plasenta tidak

mendapat nutrisi yang cukup dari arteri plasenta ataupun karena

plasenta tidak mampu mengantar makanan ke janin. Selain itu,

aktifitas yang berlebihan juga dapat merupakan faktor pencetus

terjadinya masalah Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).3

K. Faktor janin

1) Hidramnion

Hidramnion/polihidrmandion yaitu keadaan dimana banayknya air

ketuban melebihi 2000 cc pada keadaan normal banyaknya air

ketuban dapat mencapai 1000 cc untuk kemudian menurun lagi

setelah minggu ke 38 sehingga hanya tinggal beberapa ratus cc


saja. Hidramnion dianggap sebagai kehamilan risiko tinggi karena

dapat membahayakan ibu dan anak, pada hidramnion

menyebabkan uterus renggang sehinggadapat menyebabkan partus

prematur dan dapat meningkatkan BBLR. Juga dapat terjadi

karena terganggunya pengaliran air ketuban sehingga bayi

mengalami keracunan dan menyebabkan BBLR.12

2) Kehamilan Kembar atau Ganda

Pada kehamilan kembar dengan distensi uterus yang berlebihan

dapat menyebabkan persalinan premature dengan Bayi Berat Lahir

Rendah (BBLR). Kebutuhan ibu untuk pertumbuhan hamil

kembar lebih besar sehingga terjadi defisiensi nutrisi anemia hamil

yang dapat mengganggu pertumbuhan janin dalam rahim.3

3) kelainan kromosom.7

4) Prematur7

L. Faktor lingkungan

Yang dapat berpengaruh antara lain: tempat tinggal didataran tinggi,

radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat beracun.7

Faktor lingkungan berdampak terhadap kesehatan ibu dan janin.

Beberapa zat racun yang berbahaya yang terdapat dilingkungan

merupakan teratogen yang dapat membahayaka caon embrio dan

kelahiran cacat. Calon ibu yang terpapar zat-zat kimia berbahaya,

radiasi, polusi, dan limbah beracun termasuk logam, merkuri atau


karbon monoksida dapat menyebabkan cacat visual, mental, dan

lainnya. Sedangkan jika calon ayah dari bayi terpapar dapat

mengakibatkan keguguran, kelainan kromosom, dan kanker pada

anak.13

2.1.7 Komplikasi Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

A. Komplikasi dapat langsung terjadi pada bayi BBLR antara lain :7

1) Hipotermia

2) Hipoglikemia

3) Gangguan cairan elektrolit

4) Hiperbilirubinemia

5) Sindroma gawat nafas

6) Paten duktus arteriosus

7) Infeksi

8) Perdarahan intravaskkuler

9) Apnea

10) Anemia

B. Masalah jangka panjang yang mungkin akan terjadi pada BBLR antara

lain :7

1) Gangguan penglihatan (Retinopati)

2) Gangguan pendengaran

3) Penyakit paru kronis

4) Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit


5) Kenaikan frekuensi kelainan bawaan.

C. Masalah lainnya yang akan timbul karena BBLR antara lain:

1) Gangguan tumbuh kembang

Tingginya angka ibu hamil yang mengalami kurang gizi,

seiring dengan hidup resiko tinggi untuk melahirkan bayi Berat

Badan Lahir Rendah (BBLR) dibandingkan ibu hamil yang tidak

menderita kekurangan gizi. Apabila tidak meninggal pada awal

kelahiran, bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) akan tumbuh

dan bekembang lebih lambat, terlebih lagi apabila mendapat ASI

eksklusif yang cukup. Oleh karena itu BBLR cenderung besar

menjadi balita dengan status gizi yang rendah. Balita kurang gizi

cenderung tumbuh menjadi remaja yang mengalami gangguan

pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang rendah. Jika

remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi

dewasa yang pendek, dan apabila itu wanita maka jelas wanita

tersebut mempunyai resiko melahirkaan bayi BBLR lagi dan terus

berlangsung hingga hari ini.3

2) Hipotermi

Hal ini terjadi karena peningkatan penguapan akibat kurangnya

jaringan lemak dibawah kulit dan permukaan tubuh yang lebih

luas dibandingkan dengan bayi yang memiliki berat badan lahir

normal. Hipotermi pada BBLR juga terjadi karena pengaturan


suhu yang belum berfungsi dengan baik dan produksi panas yang

berkurang karena lemak coklat (brown fat) yang belum cukup.3

3) Asfiksia

Asfiksia atau gagal bernapas secara spontan lahir atau beberapa

menit setelah lahir yang sering menimbulkan penyakit berat pada

BBLR. Hal ini disebabkan oleh kekurangan surfaktan (ratio lesitin

atau sfingomielin kurang dari 2), pertumbuhan dan pengembangan

yang belum sempurna, otot pernafasan yang masih lemas dan

tulang iga yang mudah melengkung atau pliable thorax.3

4) Kematian

Pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran, bayi dengan

berat badan lahir rendah kecenderungan untuk terjadinya masalah

lebih besar jika dibandingkan dengan bayi yang berat badan

lahirnya normal. Hal ini dikarenakan organ tubuhnya belum

berfungsi sempurna seperti bayi normal. Oleh karena itu,

mengalami banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya.

Semakin pendek masa kehamilan tubuhnya, sehingga mudah

terjadi komplikasi serta meningkatkan angka kematian bayi.3

2.1.8 Sistem Penilaian Maturitas

Sistem penilaian ini dikembangkan oleh Dr. Jeanne L Ballard, MD

untuk menentukan usia gestasi bayi baru lahir melalui penilaian

neuromuscular dan fisik. Penilaian neuromuscular meliputi postur, square


window, arm recoil, sudut popliteal, scraf sign, dan heel to ear maneuver.

Penilaian fisik yang diamati adalah kulit, lanugo, permukaan plantar,

payudara, mata/telinga, dan genitalia.14

A. Penilaian Maturitas Neuromuskular

1) Postur

Tonus otot tubuh tercermin dalam postur tubuh bayi saat

istirahat dan adanya tahanan saat otot diregangkan. Ketika

pematangan berlangsung, berangsur-angsur janin mengalami

peningkatan tonus fleksor pasif dengan arah sentripetal, dimana

ekstremitas bawah sedikit lebih awal dari ekstremitas atas. Pada

awal kehamilan hanya pergelangan kaki yang fleksi. Lutut mulai

fleksi bersamaan dengan pergelangan tangan. Pinggul mulai fleksi,

kemudian diikuti dengan abduksi siku, lalu fleksi bahu. Pada bayi

prematur tonus pasif ekstensor tidak mendapat perlawanan,

sedangkan pada bayi yang mendekati matur menunjukkan

perlawanan tonus fleksi pasif yang progresif.10

Untuk mengamati postur, bayi ditempatkan terlentang dan

pemeriksa menunggu sampai bayi menjadi tenang pada posisi

nyamannya. Jika bayi ditemukan terlentang, dapat dilakukan

manipulasi ringan dari ekstremitas dengan memfleksikan jika

ekstensi atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan bayi


menemukan posisi dasar kenyamanannya. Fleksi panggul tanpa

abduksi memberikan gambaran seperti posisi kaki kodok.14

2) Square Window

Fleksibilitas pergelangan tangan dan atau tahanan terhadap

peregangan ekstensor memberikan hasil sudut fleksi pada

pergelangan tangan. Pemeriksa meluruskan jari-jari bayi dan

menekan punggung tangan dekat dengan jari-jari dengan lembut.

Hasil sudut antara telapak tangan dan lengan bawah bayi dari

preterm hingga posterm diperkirakan berturut-turut > 90 °, 90 °, 60

°, 45 °, 30 °, dan 0 °.14

3) Arm Recoil

Manuver ini berfokus pada fleksor pasif dari tonus otot biseps

dengan mengukur sudut mundur singkat setelah sendi siku difleksi

dan ekstensikan. Arm recoil dilakukan dengan cara evaluasi saat

bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi, fleksikan lengan bagian

bawah sejauh mungkin dalam 5 detik, lalu rentangkan kedua

lengan dan lepaskan.Amati reaksi bayi saat lengan dilepaskan.

Skor 0: tangan tetap terentang/ gerakan acak, Skor 1: fleksi parsial

140-180 °, Skor 2: fleksi parsial 110-140 °, Skor 3: fleksi parsial

90-100 °.14
4) Popliteal Angle

Manuver ini menilai pematangan tonus fleksor pasif sendi lutut

dengan menguji resistensi ekstremitas bawah terhadap ekstensi.

Dengan bayi berbaring telentang, dan tanpa popok, paha

ditempatkan lembut di perut bayi dengan lutut tertekuk penuh.

Setelah bayi rileks dalam posisi ini, pemeriksa memegang kaki

satu sisi dengan lembut dengan satu tangan sementara mendukung

sisi paha dengan tangan yang lain. Jangan memberikan tekanan

pada paha belakang, karena hal ini dapat mengganggu interpretasi.


14

Kaki diekstensikan sampai terdapat resistensi pasti terhadap

ekstensi. Ukur sudut yang terbentuk antara paha dan betis di

daerah popliteal. Perlu diingat bahwa pemeriksa harus menunggu

sampai bayi berhenti menendang secara aktif sebelum melakukan

ekstensi kaki. Posisi Frank Breech pralahir akan mengganggu

manuver ini untuk 24 hingga 48 jam pertama usia karena bayi

mengalami kelelahan fleksor berkepanjangan intrauterine. Tes

harus diulang setelah pemulihan telah terjadi.14

5) Scarf Sign

Manuver ini menguji tonus pasif fleksor gelang bahu. Dengan

bayi berbaring telentang, pemeriksa mengarahkan kepala bayi ke

garis tengah tubuh dan mendorong tangan bayi melalui dada


bagian atas dengan satu tangan dan ibu jari dari tangan sisi lain

pemeriksa diletakkan pada siku bayi. Siku mungkin perlu diangkat

melewati badan, namun kedua bahu harus tetap menempel di

permukaan meja dan kepala tetap lurus dan amati posisi siku pada

dada bayi dan bandingkan dengan angka pada lembar kerja, yakni,

penuh pada tingkat leher (-1); garis aksila kontralateral (0);

kontralateral baris puting (1); prosesus xyphoid (2); garis puting

ipsilateral (3); dan garis aksila ipsilateral (4). 14

6) Heel to Ear

Manuver ini menilai tonus pasif otot fleksor pada gelang

panggul dengan memberikan fleksi pasif atau tahanan terhadap

otot-otot posterior fleksor pinggul. Dengan posisi bayi terlentang

lalu pegang kaki bayi dengan ibu jari dan telunjuk, tarik sedekat

mungkin dengan kepala tanpa memaksa, pertahankan panggul

pada permukaan meja periksa dan amati jarak antara kaki dan

kepala serta tingkat ekstensi lutut (bandingkan dengan angka pada

lembar kerja). Penguji mencatat lokasi dimana resistensi signifikan

dirasakan. Hasil dicatat sebagai resistensi tumit ketika berada pada

atau dekat: telinga (-1); hidung (0); dagu (1); puting baris (2);

daerah pusar (3); dan lipatan femoralis (4). 14


B. Penilaian Maturitas Fisik

1) Kulit

Pematangan kulit janin melibatkan pengembangan struktur

intrinsiknya bersamaan dengan hilangnya secara bertahap dari

lapisan pelindung, yaitu vernix caseosa. Oleh karena itu kulit

menebal, mengering dan menjadi keriput dan mengelupas dan

dapat timbul ruam selama pematangan janin. Fenomena ini bisa

terjadi dengan kecepatan berbeda-beda pada masing-masing janin

tergantung pada kondisi ibu dan lingkungan intrauterin. Sebelum

perkembangan lapisan epidermis dengan stratum corneumnya,

kulit agak transparan dan lengket ke jari pemeriksa.

Pada usia perkembangan selanjutnya kulit menjadi lebih halus,

menebal dan menghasilkan pelumas yaitu vernix, yang

menghilang menjelang akhir kehamilan. pada keadaan matur dan

post matur, janin dapat mengeluarkan mekonium dalam cairan

ketuban. Hal ini dapat mempercepat proses pengeringan kulit,

menyebabkan mengelupas, pecah-pecah, dehidrasi seperti sebuah

perkamen.15

2) Lanugo

Lanugo adalah rambut halus yang menutupi tubuh fetus. Pada

extreme prematurity kulit janin sedikit sekali terdapat lanugo.

Lanugo mulai tumbuh pada usia gestasi 24 hingga 25 minggu dan


biasanya sangat banyak, terutama di bahu dan punggung atas

ketika memasuki minggu ke 28. Lanugo mulai menipis dimulai

dari punggung bagian bawah. Daerah yang tidak ditutupi lanugo

meluas sejalan dengan maturitasnya dan biasanya yang paling luas

terdapat di daerah lumbosakral. Pada punggung bayi matur

biasanya sudah tidak ditutupi lanugo. Variasi jumlah dan lokasi

lanugo pada masing-masing usia gestasi tergantung pada genetik,

kebangsaan, keadaan hormonal, metabolik, serta pengaruh gizi.15

3) Permukaan Plantar

Garis telapak kaki pertama kali muncul pada bagian anterior ini

kemungkinan berkaitan dengan posisi bayi ketika di dalam

kandungan. Bayi dari ras selain kulit putih mempunyai sedikit

garis telapak kaki lebih sedikit saat lahir. Di sisi lain pada bayi

kulit hitam dilaporkan terdapat percepatan maturitas

neuromuskular sehingga timbulnya garis pada telapak kaki tidak

mengalami penurunan. Namun demikian penialaian dengan

menggunakan skor Ballard tidak didasarkan atas ras atau etnis

tertentu.15

Bayi sangat prematur dan ekrtrim imatur tidak mempunyai

garis pada telapak kaki. Untuk membantu menilai maturitas fisik

bayi tersebut berdasarkan permukaan plantar maka dipakai ukuran

panjang dari ujung jari hingga tumit. Untuk jarak kurang dari 40
mm diberikan skor -2, untuk jarak antara 40 hingga 50 mm

diberikan skor -1.15

4) Payudara

Areola mammae terdiri atas jaringan mammae yang tumbuh

akibat stimulasi esterogen ibu dan jaringan lemak yang tergantung

dari nutrisi yang diterima janin. Pemeriksa menilai ukuran areola

dan menilai ada atau tidaknya bintik-bintik akibat pertumbuhan

papila montgomery. Kemudian dilakukan palpasi jaringan

mammae di bawah areola dengan ibu jari dan telunjuk untuk

mengukur diameternya dalam millimeter.15

5) Mata dan telinga

Daun telinga pada fetus mengalami penambahan kartilago

seiring perkembangannya menuju matur. Pemeriksaan yang

dilakukan terdiri atas palpasi ketebalan kartilago kemudian

pemeriksa melipat daun telinga ke arah wajah kemudian lepaskan

dan pemeriksa mengamati kecepatan kembalinya daun telinga.15

Ketika dilepaskan ke posisi semula pada bayi prematur daun

telinga biasanya akan tetap terlipat ketika dilepaskan. Pemeriksaan

mata pada intinya menilai kematangan berdasarkan perkembangan

palpebra. Pemeriksa berusaha membuka dan memisahkan

palpebra superior dan inferior dengan menggunakan jari telunjuk

dan ibu jari. Pada bayi ekstrim prematur palpebara akan menempel
erat satu sama lain Dengan bertambahnya maturitas palpebra

kemudian bisa dipisahkan walaupun hanya satu sisi dan

meningggalkan sisi lainnya tetap pada posisinya banyak terdapat

variasi kematangan palpebra pada individu dengan usia gestasi

yang sama. Hal ini dikarenakan terdapat faktor seperti stres

intrauterin dan faktor humoral yang mempengaruhi perkembangan

kematangan palpebra.15

6) Genital (Pria)

Testis pada fetus mulai turun dari cavum peritoneum ke dalam

scrotum kurang lebih pada minggu ke 30 gestasi. Testis kiri turun

mendahului testis kanan yakni pada sekitar minggu ke 32. Kedua

testis biasanya sudah dapat diraba di canalis inguinalis bagian atas

atau bawah pada minggu ke 33 hingga 34 kehamilan. Bersamaan

dengan itu, kulit skrotum menjadi lebih tebal dan membentuk

rugae testis dikatakan telah turun secara penuh apabila terdapat di

dalam zona berugae.15

Pada nenonatus ekstrim premature skrotum datar, lembut, dan

kadang belum bisa dibedakan jenis kelaminnya. Berbeda halnya

pada neonatus matur hingga posmatur, scrotum biasanya seperti

pendulum dan dapat menyentuh kasur ketika berbaring. Pada

cryptorchidismus skrotum pada sisi yang terkena kosong,


hipoplastik, dengan rugae yang lebih sedikit jika dibandingkan sisi

yang sehat atau sesuai dengan usia kehamilan yang sama.15

7) Genital (wanita)

Untuk memeriksa genitalia neonatus perempuan maka

neonatus harus diposisikan telentang dengan pinggul abduksi

kurang lebih 45o dari garis horisontal. Abduksi yang berlebihan

dapat menyebabkan labia minora dan klitoris tampak lebih

menonjol sedangkan aduksi menyebabkan keduanya tertutupi oleh

labia mayora. Pada neonatus dismatur labia datar dan klitoris

sangat menonjol dan menyerupai penis.15

Sejalan dengan berkembangnya maturitas fisik, klitoris menjadi

tidak begitu menonjol dan labia minora menjadi lebih menonjol.

Mendekati usia kehamilan matur labia minora dan klitoris

menyusut dan cenderung tertutupi oleh labia mayora yang

membesar.15

Labia mayora tersusun atas lemak dan ketebalannya bergantung

pada nutrisi intrauterin. Nutrisi yang berlebihan dapat

menyebabkan labia mayora menjadi besar pada awal gestasi.

Sebaliknya nutrisi yang kurang menyebabkan labia mayora

cenderung kecil meskipun pada usia kehamilan matur atau

posmatur dan labia minora serta klitoris cenderung lebih

menonjol.15
2.1.9 Penatalaksanaan

Dengan memperhatikan gambaran klinik dan berbagai kemungkinan

yang dapat terjadi pada bayi prematuritas maka perawatan dan pengawasan

ditunjukan pada pengaturan suhu, pemberian makanan bayi, ikterus,

pernapasan, hipoglikemi dan menghindari infeski.3

A. Pengaturan suhu badan bayi prematuritas atau BBLR

Bayi premature dengan cepat akan kehilagan panas dan menjadi

hipotermi karena pusat pengaturan panas belum berfungsi dengan baik,

metabolisme rendah dan permukaan badan relative luas. Oleh karena

itu bayi prematuritas harus dirawat dalam inkubator sehingga panas

badannya mendekati dalam rahim, apa bila tidak ada inkubator bayi

dapat dibungkus dengan kain dan disampingnya ditaruh botol berisi air

panas sehingga panas badannya dapat dipertahankan.3

Mekanisme pengaturan temperature tubuh pada bayi baru lahir

belum berfungsi sempurna, untuk itu diperlukan pencegahan kehilagan

panas pada tubuh bayi karena bayi dapat mengalami hipotermi. Bayi

dengan hipotermia sangat beresiko tinggi mengalami kesakitan berat

bahkan kematian. Hipotermia mudah terjadi pada bayi yang tubuhnya

dalam keadaan basah atau tidak segera dikeringkan dan diselimuti

walaupun didalam ruangan yang relative hangat. Cegah kehilangan

panas pada bayi dengan upaya antara lain :3


1) Segera setelah lahir, keringkan permukaan tubuh sebagai upaya

mencegah kehilangan panas akibat evaporasi cairan ketuban pada

permukaan tubuh bayi. Hal ini juga merupakan rangsangan taktil

untuk mambantu bayi memulai pernafasan.

2) Selimuti bayi dengan selimut atau kain bersih, kering, dan hangat.

Segera setelah tubuh bayi dikeringkan dan tali pusat dipotong,

ganti handuk dan kain yang telah dipakai kemudian selimuti bayi

dengan selimut dan kain hangat, kering, dan bersih. Kain basah

yang diletakkan dekat tubuh bayi akan menyababkan bayi tersebut

mengalami kehilangan panas tubuh. Jika selimut bayi harus

dibuka untuk melakukan suatu prosedur, segera selimuti kembali

dengan handuk atau selimut kering, segera setelah prosedur

tersebut selesai.3

3) Tutupi kepala bayi.

Pastikan bagian kepala bayi ditutup atau diselimuti atau setiap

saat. Bagian kepala bayi memiliki luas permukaan yang relative

luas dan bayi akan dengan cepat kehilangan panas jika bagian

tersebut tidak ditutup.3

4) Anjurkan ibu untuk memeluk dan memberikan ASI.

5) Pelukan ibu pada tubuh bayi dapat menjaga kehangatan tubuh dan

mencegah kehilangan panas. Anjurkan ibu untuk menyusui

bayinya segera setelah lahir. Sebaiknya pemberian asi harus


dimulai dalam waktu satu jam pertama kelahiran agar dapat

merangsang pooting reflex dan bayi memperoleh kalori dengan

menyusui bayi, pada bayi kurang bulan yang belum bisa mentek

ASI diberikan dengan sendok atau pipet dan selama memberikan

ASI bayi dalam dekapan ibu agar tetap hangat.3

6) Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru lahir.

Karena bayi baru lahir cepat dan mudah kehilangan panas

tubuhnya (terutama jika tidak berpakaian), sebelum melakukan

penimbangan, terlebih dulu selimuti bayi dengan kain atau selimut

bersih, dan kering. Berat badan bayi dapat dinilai dikurangi

dengan berat pakaian atau selimut. Bayi sebaiknya dimandikan

(sedikitnya) enam jam setelah lahir. Memandikan bayi dalam

beberapa jam pertama setelah ahir dapat menyebabkan hipotermia

yang sangat membahayakan bagi bayi baru lahir.3

7) Tempatkan bayi dilingkungan hangat.

Idealnya bayi baru lahir ditempatkan ditempat tidur yang sama

dengan ibunya ditempat tidur yang sama. Menempatkan bayi

bersama ibunya adalah cara yang paling mudah untuk menjaga

agar bayi tetap hangat, mendorong ibu segera menyusukan

bayinya dan mencegah paparan infeksi pada bayi.3


8) Rangsangan taktil

Upaya ini merupakan cara untuk mengaktifkan berbagai reflex

protektif pada tubuh bayi baru lahir. Mengeringkan tubuh bayi

juga merupakan tindakan stimulasi. Untuk bayi yang sehat hal ini

biasanya cukup untuk merangsang terjadinya pernafasan spontan.

Jika bayi tidak memberikan respon terhadap pengeringan dan

rangsan taktil, kemudian menunjukkan tanda-tanda kegawatan,

segera lakukan tindakan untuk membantu pernafasan.

Mempertahankan suhu tubuh untuk mencegah hipotermi,

berdasarkan teori menyatakan bahwa untuk mempertahankan suhu

tubuh bayi dalam mencegah hipotermi adalah mengeringkan bayi

segera setelah lahir, cara ini merupakan salah satu dari 7 rantai

hangat.

a) Skin to skin contact

Dewasa ini sudah banyak sekali penelitian yang menunjukkan

bahwa ibu dan bayi harus berdekapan, kulit (bayi telajang, tidak

dibedong) segera setelah lahir, juga setelahnya. Bayi lebih bahagia,

suhu tubuh bayi lebih stabil dan lebih normal, serta gula darah bayi

lebih meningkat. Tidak hanya itu, kontak kulit segera setelah lahir

membuat bayi dikolonisasi oleh bakteri yang sama seperti ibunya. Hal

ini, ditambah menyusu dari ibu, dipandang penting untuk mencegah

penyakit-penyakit alergi. Apabila bayi diletakkan dalam incubator,


kulit dan ususnya seringkali terkolonisasi oleh bakteri yang berbeda

dari bakteri tubuh ibunya.3

Ringkasan, melakukan kontak kulit segera setelah lahir, yang

dibiarkan berlangsung selama paling tidak satu jam (serta dilanjutkan

selama mungkin sepanjang hari dan sepanjang malam pada minggu-

minggu awal) menghasilkan dampak-dampak positif pada bayi :3

 Lebih bisa melekat ke payudara.

 Lebih bisa melekat dengan baik.

 Mempertahankan suhu tubuh normal, lebih baik ketimbang di

dalam inkubator.

 Mempertahankan detak jantung, pernafasan, dan tekanan darah

normal.

 Memiiki gula darah yang lebih tinggi.

 Lebih jarang menangis.

 Lebih besar kemungkinanan menyusu eksklusif dan menyusui lebih

lama.

 Akan memberi isyarat pada ibunya jika merasa lapar.

Tidak ada alasan yang dapat dijadikan halangan sebagian besar bayi

untuk berkontak kulit dengan ibunya segera mungkin setelah lahir

selama paling tidak satu jam. Prosedur rutin rumah sakit, seperti

menimbang bayi, jangan lebih diutamakan.3


b) Kangaroo Mother Care

Kangaroo Mother Care (KMC), defined as skin-to-skin contact

between a mother and her newborn, frequent and exclusive or nearly

exclusive breastfeeding, ang early discharge from hospital, has been

proposed as an alternative to conventional neonatal care of

birthweight (LBW) in fants (Conde-Agudello et all,2000)

Manfaat metode kangguru :3

Secara klinis, dengan cara ini detak jantung bayi stabil dan

pernafasan lebih teratur, sehingga penyebaran oksigen ke seluruh

tubuhnya pun lebih baik. Selain itu, cara ini mencegah bayi

kedinginan. Bayi dapat tidur dengan nyenyak dan lama, lebih tenang,

lebih jarang menangis, dan kenaikan berat badannya menjadi lebih

cepat. Pertumbuhan dan perkembangan motorik pun menjadi lebih

baik. Cara ini juga mempermudah pemberian ASI, mempererat ikatan

batin antara ibu dan anak, serta mempersingkat masa perawatan secara

keseluruhan. Bagi orang tua, hal ini turut menumbuhkan rasa percaya

diri dan kepuasan bekerja. Perawatan bayi lekat atau metode kangguru

ini sederhana, praktis, efektif, dan ekonomis, sehingga bisa dilakukan

oleh setiap ibu atau pengganti ibu dirumah ataupun di Puskesmas,

terutama dalam mencegah kematian BBLR.3

Mekanisme kerja perawatan metode kangguru :3


Pada dasarnya mekanisme kerja perawatan metode kangguru adalah

sama seperti perawatan canggih dalam inkubator yang berfungsi

sebagai termoregulator memberikan lingkungan yang termonetral.

Lingkungan termoral adalah lingkungan suu agar bayi dapat

mempertahankan optimal (36,5-37,5oC) dengan mengeluarkan energi

atau kalori yang minimal, terutama bagi BBLR yang persediaan atau

sumber kalorinya sangat terbatas. Pengaliran panas melalui konduksi

adalah identik kontak kulit ibu-bayi seperti dalam inkubator seperti

udara hangat dalam atau antara selimut atau baju kangguru dan bayi.

Proses hantaran panas tersebut berlangsung terus-menerus selama

dibutuhkan oleh BBLR baik dalam inkubator maupun dalam

perawatan metode kangguru, oleh karena itu perawatan metode

kangguru hanya dikerjakan selama dibutuhkan oleh neonatus sampai

bayi bisa mandiri tanpa harus dirawat dalam inkubator, yaitu sekitar

BB mencapai 2500 gram. Sehingga perawatan metode kangguru harus

terus menerus dilakukan bergantian oleh bapak, ibu, tante, dan

neneknya.3

Metode dan waktu pelaksanaan :

Tahapan penggunaan metode kangguru meliputi

 Persiapan ibu. Membersihkan daerah dada dan perut dengan cara

mandi dengan sabun 2-3 kali sehari, membersihkan kuku dan


tangan, baju yang dipakai harus bersih dan hangat sebelum dipakai.

Selama pelaksanaan metode kangguru ibu tidak memakai BH.

Bagian bawah baju diikat dengan pengikat baju atau kain. Memakai

baju yang dapat diregang.3

 Persiapan bayi. Bayi jangan dimandikan, tetapi cukup dibersihkan

dengan kain bersih dan hangat. Bayi perlu memakai tutup kepala

atau topi dan popok selama penggunaan metode ini. Posisi bayi

vertical ditengah payudara atau sedikit kesamping kanan atau kiri

sesuai dengan kenyamanan bayi serta ibu. Usahakan kulit bayi

kontak langsung dengan kulit bayinya terus menerus. Saat ibu

duduk atau tidur posisi bayi tetap tegak mendekap ibu. Setelah bayi

dimasukkan ke dalam baju, ikat kain selendang di sekeliing atau

mengelilingi ibu dan bayi.

Pelaksanaan metode kangguru dapat dilakukan pada waktu:3

 Segera setelah lahir.

 Sangat awal, setelah 10-15 menit.

 Awal, setelah umur 24 jam.

 Menengah, setelah 7 hari perawatan.

 Lambat, setelah bayi bernafas sendiri tanpa O2.

 Setelah keluar dari perawatan inkubator.

Kriteria keberhasilan perawatan metode kangguru adalah :3


 Suhu tubuh bayi stabil dan optimal (36,5 oC-37,5oC).

 Kenaikan berat badan stabil.

 Produksi ASI adekuat.

 Bayi tumbuh dan berkembang optimal.

 Bayi dapat menetek kuat seperti normalnya.

Tabel 2.2 cara menghangatkan bayi dan kebutuhan cairan bayi

Cara Petunjuk penggunaan

Kontak kulit  Untuk semua bayi


 Untuk menghangatkan bayi
dalam waktu singkat atau
menghangatkan bayi hipotermi
(32-36,4oC) apabila cara lain
tidak mungkin dilakukan
KMC  Untuk menstabilkan bayi dengan
berat <2.500 gram terutama
direkomendasikan untuk
perawatan berkelanjutan bayi
dengan berat <1.800 gram.
 Tidak memiliki bayi sakit berat
(sepsis, gangguan napas berat)
 Tidak untuk ibu yang menderita
penyakit berat yang tidak dapat
merawat bayinya.
 Untuk bayi sakit atau bayi
Pemancar panas dengan berat 1.500 gram atau
lebih
 Untuk pemeriksaan awal bayi,
selama dilakukan tindakan atau
menghangatkan kembali bayi
hipotermi.

Pengahangatan berkelanjutan bayi


Inkubator
dengan berat <1.500 gram yang
tidak dapat dilakukan KMC

 Untuk merawat bayi dengan berat


Ruangan hangat
<2500 gram yang tidak
memerlukan tindakan diagnostik
atau prosedur pengobatan
 Tidak untuk bayi aktif berat

Sumber : Marmi S, ST & rahardjo kukuh. Asuhan neonatus, bayi, balita,


dan anak prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.

Tabel 2.3 Jumlah cairan yang dibutuhkan bayi (ml/kg)


Umur (hari)

Berat (gram) 1 2 3 4 5+

>1500 60 80 100 120 150

<1500 80 100 120 140 150

Sumber : Marmi S, ST & rahardjo kukuh. Asuhan neonatus, bayi, balita,


dan anak prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.

Tabel 2.4 Jumlah ASI untuk bayi sehat berat 1250-1499


Umur (hari)

Pemberian 1 2 3 4 5 6 7

Jumlah ASI tiap 3 jam (ml/kali) 10 15 18 22 26 28 38

Sumber : Marmi S, ST & rahardjo kukuh. Asuhan neonatus, bayi, balita,


dan anak prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.
B. Makanan bayi prematur.

Alat pencernaan bayi belum sempurna, lambung kecil enzim

pencernaan belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3-5 gr/kg BB

dan kalori 110 kal;/kgBB sehingga pertumbuhan dapat meningkat.

Pemberian minum bayi sekitar 3 jam setelah lahir dan didahului

dengan menghisap cairan lambung, reflek masih lemah sehingga

pemberian minum sebaiknya sedikit demi sedikit dengan frekuensi

yang lebih sering.

ASI merupakan makanan yang paling utama sehingga ASI lah yang

paling dahulu diberikan, bila faktor menghisapnya kurang maka ASI

dapat diperas dan diberikan dengan sendok perlah-lahan atau dengan

memasang sonde. Permulaan cairan yang diberikan 50-60

cc/kgBB/hari terus dinaikan sampai mencapai sekitar 200

cc/kgBB/hari.3

C. Ikterus

Semua bayi prematur menjadi ikterus karena system enzim hatinya

belum diatur dan bilirubin tak berkonjungsi tidak dikonjungsikan

secara efisien sampai 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat diperberat oleh

polisetemia, memar hemolisias dan infeksi karena hiperbilirubinemia

dapat menyebabkan kern ikterus maka warna bayi harus sering dicatat
dan bilirubin diperika, bila ikterus muncul dini atau lebih cepat

bertambah coklat.3

D. Pernapasan

Bayi prematur mungkin menderita penyakit membrane hialin. Pada

penyakit ini tanda-tanda gawat pernafasan selalu ada dalam 4 jam.

Bayi harus dirawat terlentang atau tengkurap dalam incubator, dada

abdomen harus dipaparkan untuk mengobserfasi usalia pernafasan.3

E. Hipoglikemia

Mungkin paling timbul pada bayi prematur yang sakit bayi berberat

badan lahir rendah, harus diantisipasi sebelum gejala timbul dengan

pemeriksaan gula darah secara teratur.3

F. Menghindari infeksi

Bayi prematuritas mudah sekali mengalami infeksi karena daya

tahan tubuh masih lemah, kemampuan leukosit masih kurang dan

pembentukan antibody belum sempurna. Oleh karena itu tindakan

prefentif sudah dilakukan sejak antenatal sehingga tidak terjadi

persalinan dengan prematuritas (BBLR).3

2.2 Ikterus

2.2.1 Definisi Ikterus

Ikterus ialah warna kuning yang dapat terlihat pada skelera, selaput

lendir, kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Keadaan ini
merupakan penyakit darah. Bilirubin merupakan hasil penguraian sel darah

merah didalam darah. Penguraian sel darah merah merupakan proses yang

dilakukan oleh tubuh badan manusia apabila sel darah merah telah berusia

120 hari. Hasil penguraian hari (hepar) dan signifikan dari badan melalui

Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK).3

Ketika bayi berada didalam kandungan, sel darah ini akan dikeluarkan

melalui uri (plasenta) dan diuraikan oleh hati ibu. Bila kadar bilirubin darah

melebihi 2 mg% maka ikterus akan terllihat namun pada neonatus ikterus

masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin darah sudah meningkat 5 mg

%. ikterus terjadi karena peninggian kadar bilirubin indirek (unconjugated)

dan atau kadar bilirubin direk (conjugated). Bilirubin sendiri adalah anion

organic yang berwarna orange dengan berat molekul

584. Asal mula bilirubin dibuat dari pada heme yang merupakan gabungan

protoporfirin dan besi.3

Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek

patologi. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologi

pada setiap bayi berbeda beda. Dapat juga diartikan sebagai ikterus dengan

konsentrasi bilirubin, yang serumnya mungkin bila kadar bilirubin tidak

dapat dikendalikan.3

Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir dengan

kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang di
tandai dengan ikterus, yang dikenal dengan ikterus neonatorum patologis.

Hiperbilirubinemia yang merupakan suatu kedaan meningkat kadar

bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit, dan

mukosa akan berwarna kuning. Keaadan tersebut juga berpotensi besar

terjadi ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek

pada otak.16 Kejadian Hiperbilirubinemia di Indonesia mencapai 58% pada

bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan 50% pada bayi dengan berat

badan normal.

2.2.2 Metabolisme Bilirubin

Untuk mendapatkan pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus

neonatorum, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada

neonatus. Perbedaan utama metabolisme inilah bahwa pada janin hepar

belum banyak berfungsi karena bilirubin dikeluarkan melalui plasenta

dalam bentuk bilirubin indirek. Skema metabolism ini dapat dilihat pada

gambar dibawah ini, yaitu skema yang dikemukakan oleh Brown dengan

sedikit modifikasi.17 Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai

berikut :

A. Produksi

Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degredasi dalam

system R.E.S. tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus

lebih tinggi daripada bayi yang lebih tua. Bilirubin indirek yaitu

bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi
Hymans v.d. Bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut

dalam lemak.17

B. Transportasi

Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin ke hepar. “uptake”

bilirubin oleh hepar dilakukan oleh protein Y dan Z.17

C. Konjugasi

Didalam hepar bilirubin ini mengalami proses konjugasi yang

membutuhkan enersi dan ensim glukoronil transferase. Sesudah

mengalami proses ini bilirubin berubah menjadi bilirubin direk.17

D. Ekskresi

Bilirubin direk kemudian dieksresi ke usus dan sebagian dikeluarkan

dalam bentuk sterkobilin. Bila terjadi hambatan pada peristalsis usus

misalnya pada pemberian makanan yang agak terlambat atau hal-hal

lain maka oleh pengaruh ensim B glukoronidase, bilirubin sebagian

diubah menjadi bilirubin indirek yang kemudian diserap ke sirkulasi

darah. Sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin

indirek dan dieabsorpsi siklus ini disebut siklus enterohepatis.17

2.2.3 Tanda Klinis Hiperbilirubinemia3

A. Sclera, puncak hidung, mulut, dada, perut, dan ektremitas berwarna

kuning.

B. Letargi.

C. Kemampuan menghisap turun.


D. Kejang.

2.2.4 Klasifikasi Ikterus

Ikterus dibedakan menjadi tiga tipe ikterus fisiologi, ikterus patologi,

dan kern ikterus.

A. Ikterus Fisiologi

Ikterus pada neonatus tidak selamanya ikterus patologi. Ikterus

fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga

yang tidak mempunyai dasar patologik, kadarnya tidak melewati kadar

yang membahayakan atau yang mempunyai potensi menjadi kern

ikterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.3

Ikterus fisiologi bisa juga disebabkan karena hati didalam bayi

tersebut belum matang, atau disebabkan kadar pengurangan sel darah

merah yang cepat. Dalam kadar tinggi bilirubin bebas ini bersifat racun

sulit dalam air. Masalahnya organ bayi sebagian bayi baru lahir belum

dapat berfungsi optimal dalam mengeluarkan bilirubin tersebut.

Barulah setelah beberapa hari, organ hati mengalami pematangan dari

proses pembuangan bilirubin biasa berlangsung lancer. Masa “matang”

organ hati pada setiap hati berbeda beda. Namun umumnya pada hari

ketujuh organ hati mulai melakukan fungsinya dengan baik.3

Ikterus fisiologi timbul pada hari kedua dan hari ketiga setelah itu

menghilang pada minggu pertama, selambat lambatnya adalah 10 hari

pertama setelah lahir. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg%


pada neonatus yang cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus yang

kurang, kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg%

setiap hari, kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.17

B. Ikterus Patologi

Ikterus patologi adalah ikterus yang mempunyai dasar patologi atau

kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut

hiperbilirubinemia. Dasar patologi ini misalnya jenis bilirubin saat

timbulnya dan menghilangnya ikterus dan penyebabnya.3

Ikterus yang kemungkinan menjadi patologi atau dapat dianggap

sebagai hiperbilirubinemia ialah :3

1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.

2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam.

3) Konsentrasi bilirubin sewaktu 10 mg% pada neonates kurang

bulan dan 12,5 mg% pada neonates cukup bulan.

4) Ikterus yang disertai proses hemolysis (inkompatibilitas darah,

defisiensi enxim G6PD dan sepsis).

5) Ikterus yang disebabkan oleh bayi baru lahir kurang dari 2000

gram yang disebabkan karena usia dibawah 20 tahun atau 35 tahun

dan kehamilan remaja, masa kehamilan kurang dari 36 minggu,

asfiksia, hipoksia, syndrome gangguan pernafasan, infeksi,

hipoglikemia, hiperkopnia, hiperosmolitas.


C. Kern Ikterus

Kern ikterus mengacu pada ensefalopati bilirubin yang berasal dari

depositif bilirubin terutama pada batang otak (brainstern) dan nucleus

serebcobasal. Warna kuning (jaundis pada jaringan otak) dan nekrosis

neutron neutron akibat toksik bilirubin tidak terkonjungsi

(unconjugated bilirubin) yang mampu melewati sawar darah otak

karena kemudahannya larut dalam lemak (high lipid solubility). Kern

ikterus bisa terjadi pada bayi tertentu tanpa disertai pada bayi tertentu

tanpa disertai jaundis klinis, tetapi umumnya berhubungan langsung

pada kadar bilirubin total dalam serum.3

Pada bayi cukup bulan kadar bilirubin dalam serum 20 mg%/dl

dianggap berada pada batas atas sebelum kerusakan otak dimulai.

Hanya satu gejala sisa spesifik pada bayi yang selamat yakni serebral

palsy koreotetoid. Gejala sisa lain seperti retardasi mental dan

ketidakmampuan sensori yang serius bisa menggambarkan hipoksia,

cedera vaskuler, atau infeksi yang berhubungan dengan kern ikterus

sekitar 70% bayi baru lahir yang mengalami kern ikterus akan

meninggal selama proses neonatal.3

2.2.5 Etiologi

Etiologi ikterus pada Bayi Baru Lahir (BBL) dapat berdiri sendiri

ataupun disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu

dapat dibagi menjadi sebagai berikut :3


A. Produksi yang berlebihan lebih dari pada kemampuan bayi untuk

mengeluarkannya misalnya hemolisis yang meningkat pada

inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim

G6PD, pyruvate kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.3

B. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar gangguan ini

dapat disebabkan oleh immaturitas hepar, kurangnya substrat untuk

konjungasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hiposia,

dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase

(criggler najjar syndrome). Penyebab lain ialah defisensi protein Y

dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel

hepar.3

C. Gangguan dalam transportasi bilirubin dalam darah terkait oleh

albumin kemudian diangkut kehepar, ikatan bilirubin dengan albumin

ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salisilat,

sulfatfurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak

terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah

melekat ke sel otak.3

D. Gangguan dalam sekresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi

dalam hepar atau diluar hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan

hepar oleh penyebab lain.3


E. Obstruksi saluran pencernaan (fungsional atau structural) dapat

mengakibatkan hiperbilirubinemia unconjugated akibat penambahan

dari bilirubin yang berasal dari sirkulasi enterahepatik.3

F. Ikterus akibat Air Susu Ibu (ASI).

Ikterus akibat asi merupakan uncojugated hiperbilirubinemia yang

mencapai puncaknya terlambat (biasanya menjelang hari ke 6-14).

Dapat dibedakan dari penyebab lain dengan susu formula selama 1-2

hari. Hal ini untuk membedakan ikterus pada bayi yang disusui asi

selama minggu pertama kehidupan. Sebagian bahan yang terkandung

dalam asi (beta glucoronidase) akan memecah bilirubin menjadi

bentuk yang larut lemak, sehingga bilirubin menjadi meningkat, dan

kemudian akan diresorbsi oleh usus. Bayi yang mendapat ASI bila

dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, mempunyai

kadar bilirubin yang lebih tinggi berkaitan dengan penurunan asupan

pada beberapa hari pertama kehidupan. Pengobatannya bukan dengan

menghentikan pemberian ASI melainkan dengan meingkatkan

frekuensi pemberian.3

G. Metabolisme bilirubin bayi baru lahir berada dalan transisi dari

stadium janin yang selama waktu tersebut plasenta merupakan tempat

utama eliminasi bilirubin yang larut-lemak, ke stadium dewasa, yang

selama waktu tersebut bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut-air

dieksresikan dari sel hati ke dalam system biliaris dan kemuadian ke


dalam saluran pencernaan.13 Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat

disebabkan atau diperberat oleh beberapa faktor :17

1) Bertambahnya beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati

(anemia hemolitk, waktu hidup sel darah menjadi pendek akibat

imaturitas litik, waktu hidup sel yang ditansfusikan, penambahan

sirkulasi enterohepatik, infeksi).

2) Lambatnya aktivitas enzim transferase (hipoksia, infeksi,

kemungkinan hipotermia, dan defisiensi tiroid).

3) Obat-obatan dan bahan-bahan lain yang memerlukan konjugasi

asam glukuronat untuk eksresi.

4) Tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil atau

menyebabkan atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin

oleh sel hepar (cacat genetik, BBLR).

2.2.6 Penilaian Ikterus

Menilai kira-kira bilirubin :3

A. Pengamatan ikterus kadang-kadang agak sulit apalagi dalam cahaya

buatan. Paling baik pengamatan dilakukan dalam cahaya matahari dan

dengan menekan sedikit kulit yang akan diamati untuk menghilangkan

warna karena pengaruh sirkulasi darah. Ada beberapa cara untuk

menentukan derajat ikterus yang merupakan risiko terjadinya kern


ikterus dengan cara klinis (Kramer) yang dilakukan dibawah sinar

biasa (daylight).3

Gambar 2.1 Gambar Rumus Kramer

Marmi S, ST & rahardjo kukuh. Asuhan neonatus, bayi, balita, dan

anak prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.

Tabel 2.5 Rumus kramer

Daerah (gambar) Luas ikterus Kadar bilirubin

1 Kepala 5
2 Daerah 1 (+) 9
Badan bagian atas
3 Daerah 1,2 (+) 11
Badan bagian bawah dan
tungkai
4 Daerah 1,2,3 (+) 12
Lengan dan kaki dibawah
dengkul
5 Daerah 1,2,3,4 (+) >12,5
Tangan dan kaki
Sumber : Marmi S, ST & rahardjo kukuh. Asuhan neonatus, bayi, balita,
dan anak prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.

2) Pemeriksaan diagostic

a) Test coombs pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif test

coombs indirek menandakan adanya antibody Rh-positif anti A

atau anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test coombs direk

menandakan adanya sensitasi (Rh-positif anti A, anti B) SDM dari

neonatus.3

b) Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasikan inkompati-

bilitas ABO.3

c) Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi

1,0-1,5 mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar

indirek (tidak terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5

mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi

cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi preterm (tergantung pada

berat badan).3
d)
Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan

*penurunan kapasitas ikatan, terutama pada bayi preterm.3

e) Hitung daerah lengkap hemoglobin (HB) mungkin rendah (kurang

dari 14 g/dl) karena hemolisis hematokrit (HT) mungkin

meningkat (lebih besar dari 65%) pada polisitemia, penurunan

(kurang dari 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.3


f) Glukosa kadar dextrosit mungkin kurang dari 45% glukosa darah

lengkap kurang dari 30 mg/dl atau tes glukosa serum kurang dari

40 mg/dl bila bayi baru lahir hipoglikemia dan mulai

menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.3

2.2.7 Jenis-Jenis Ikterus

A. Ikterus hemolitik

Hal ini dapat disebabkan oleh inkompatibilitas, rhesus, ABO, golongan

darah, kelainan eritrosit, atau defisiensi enzim G6-PD.3

1) Inkompatibilitas Rheus

Bayi dengan RH positif dari ibu Rh negative tidak selamanya

menunjukan gejala-gejala klinik pada waktu lahir (15-20%).

Gejala klinik yang dapat terlihat ialah ikterus tersebut makin lama

makin berat, disertai dengan anemia yang makin lama makin berat

pula. Bilamana sebelum kelahiran terdapat hemolisis yang berat,

maka bayi dapat lahir dengan edema umum disertai ikterus dan

pembesaran hepar dan lien (hidropfoetalis). Terapi ditunjukan

untuk memperbaiki anemia dan mengeluarkan bilirubin yang

berlebihan dalam serum agar tidak terjadi jern ikterus.3

2) Inkompatibilitas ABO

Ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua, sifatnya

biasanya ringan. Bayi tidak tampak sakit, anemia ringan, hepar

dan lien tidak membesar. Kalau hemolisisnya berat, seringkali


diperlukan juga transfuse tukar untuk mencegah terjadinya kern

ikterus. Pemeriksaan yang perlu dilakukan ialah pemeriksaan

kadar bilirubin serum sewaktu-waktu.3

3) Ikterus hemolitik karena inkompatibilitas golongan darah lain

pada neonatus dengan ikterus hemolitik dimana pemeriksaan

kearah inkompatibilitas Rh dan ABO hasilnya negative sedangkan

combs test positif, kemungkinan ikterus akibat hemolisis

inkompatibilitas golongan darah harus dipikirkan.3

4) Penyakit hemolitik karena kelainan etrosit congenital

Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gambaran klinik yang

menyerupai eritroblastisis fetalis akibat iso-imunitas. Pada

penyakit ini coomcs test biasanya negative.3

5) Hemolisis karena defisiensi enzim glukosa – 6 – phosphate

dehidrogenase (GP-6PD defisiensi).3

6) G6PD adalah enzim yang menolong memperkuat dinding-dinding

sel-sel darah merah. Ketika mengalami kekurangan G6PD, sel

darah merah akan lebih mudah pecah dan memproduksi bilirubin

lebih banyak. Defisiensi G6PD ini merupakan salah satu penyebab

utama ikterus neonatrum yang memerlukan tranfuse tukar. Ikterus

yang berlebihan dapat terjadi pada defisiensi G6PD akibat

hemolisis eritrosit walaupun tidak terdapat faktor eksogen


misalnya obat-obatan sebagai faktor lain yang ikut berperan,

misalnya faktor kematangan hepar.3

B. Ikterus Obstruktiva

Obstruktiva dalam penyaluran empedu dapat terjadi didalam hepar

dan diluar hepar. Akibat obstruktiva itu terjadi penumpukan bilirubin

tidak langsung. Bila kadar bilirubin langsung melebihi 1 mg% maka

kita harus curiga akan hal yang menyebabkan obstruksi misalnya

sepsis, hepatitis neonatrum plenonefritis atau obstruksi saluran

empedu. Dalam menghadapi kasus seperti ini penting sekali diperiksa

kadar bilirubin serum, tidak langsung dan langsung selanjutnya apakah

terdapat bilirubin air kencing dan tinja.3

Pengobatan ditunjukan kepada penyakit dasarnya jika perlu dengan

pembedahan.

1) Hepatitis neonatal

Gejala klinik tanda dari penyakit ini ialah adanya ikterus akibat

penumpukan bilirubin direk pada waktu lahir pada darah

umbilicus. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan biopsy hati

dimana ditemukan hepatosis yang besarnya ireguler dan banyak

ditemukan sel datia.3

Pengobatan : pengobatan khusus hepatitis neonatal tidak ada

selain pengobatan suportif. Prognosis penyakit ini tidak baik,

biasanya bayi akan meninggal karena serosis hilian.3


2) Hepatitis virus

Gejala klinis : bayi yang mendapat infeksi hepatitis B dari ibunya

biasanya asimptomatis. Gejala klinik seperti ikterus dapat terjadi

dan disertai pembesaran hepar. Bayi-bayi ini akan menjadi sumber

penularan untuk yang lainnya.3

Pengobatan : segera sesudah lahir sedapat dapatnya dalam waktu 2

jam bayi diberi suntikan HBIG dan langsung divaksinasi dengan

vaksin hepatitis B, kemudian vaksinasi diulang lagi sampai 3 kali

dengan interval 1 bulan atau sesuai dengan vaksin yang

digunakan.3

C. Ikterus Yang Disebabkan Oleh Hal Lain

Pengaruh hormon atau obat yang mengurangi kesanggupan hepar

untuk mengadakan konjungsi bilirubin misalnya pada breast milk

jaundice. Ikterus akibat ASI ibu disebabkan karena hormone yang

dihasilkan dalam ASI ibu menghalangi penyingkiran bilirubin melalui

usus. Ini bermula pada hari keempat hingga hari ketujuh dan

menghilang selepas hari ke tiga hingga hari ke sepuluh minggu.3

1) Hipoalbuminemia bilirubin yang dapat berbahaya ialah bilirubin

tidak langsung yang tidak terkait pada albumin sering terdapat

pada bayi premature.3


2) Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi ikatan bilirubin

tidak langsung pada bilirubin misalnya sulfafurazole, salilat dan

heparin.3

3) Syndrome Crigle Najjar

Sindroma crigle najjar tipe 1 adalah gangguan yang disebabkan

oleh ketiadaan dari enzim uridin sifosfat glukoronil transferase

(UPD-GT) sejak dilahirkan kelainan ini bersifat autosomal resesif

dan sangat jarang terjadi walaupun jarang penyakit ini sangat

mengkhawatirkan karena efeknya yang mematikan.3

2.2.8 Pencegahan dan Penanganan Hiperbilirubinemia

A. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin

1) Early feeding. Pemberian makanan dini pada neonatus dapat

mengurangi terjadinya ikterus fisiologi pada neonatus. Karena

dengan pemberian makanan yang dini itu terjadi pendorongan

gerakan usus dan mekonium lebih cepat dikeluarkan,

sehingga peredaran enteroheparik bilirubin berkurang.3

2) Pemberian agar. Mekanisme ialah dengan menghalangi atau

mengurangi peredaran bilirubin enterhepatik.3

3) Pemberian fenobarbital. Khasiat fenobarbital ialah

mengadakan induksi enzim mikrosomia, sehingga konjungsi

bilirubin berlangsung lebih cepat.3


4) Menyusi bayi dengan ASI (Air Susu Ibu). Bilirubin juga dapat

pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine. Untuk

itu bayi harus mendapatkan cukup ASI seperti diketahui ASI

memiliki zat-zat terbaik bagi bayi dapat memperlancar BAB

dan BAK. Akan tetapi pemberian ASI juga harus dibawah

pengawasan dokter karena pada beberapa kasus ASI justru

meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice). Di

dalam ASI memang ada komponen yang dapat mempengaruhi

kadar bilirubinnya.3

B. Terapi Sinar Matahari

Terapi dengan sinar matahari merupakan tambahan. Biasanya

dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya bisa

dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda.

Lakukan antara jam 07.00-09.00 karena inilah waktu dimana sinar

ultrafiolet belum cukup efektif mengurangi kadar bilirubin. Hindari

posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena

dapat merusak matanya.3

C. Terapi Sinar

Terapi sinar dilakukan 24 jam atau setidaknya sampai kadar

bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal. Dengan

fototerapi bilirubin dalam rubuh bayi dapat dipecah dan menjadi

mudah larut dalam air tanpa harus diubah dahulu oleh organ hati,
terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin agar tidak terus

meningkat sehingga menimbulkan resiko yang lebih fatal, sinar

yang muncul dari lampu tersebut kemudian diarahkan pada tubuh

bayi, seluruh pakaianya dilepas kecuali mata dan alat kelamin harus

ditutup dengan kain yang berwarna hitam yang bertujuan untuk

mencegah efek cahaya berlebihan dari lampu tersebut.3

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi

sinar adalah :3

1) Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500

jam, untuk menghindari turunnya energi yang dihasilkan oleh

lampu yang digunakan.

2) Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin

terkena sinar matahari.

3) Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan

cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Penutup mata

dilepas saat pemberian minum dan kunjungan orang tua untuk

memberikan rangsang visual pada neonatus. Pemantauan iritasi

dilakukan tiap 6 jam dengan membuka penutup mata.

4) Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang yang dapat

memantulkan cahaya untuk melindungi daerah kemaluan dari

cahaya fototerapi.
5) Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm diatas tubuh bayi,

untuk mendapatkan energi yang optimal.

6) Posisi bayi diubah tiap 8 jam agar tubuh mendapat penyinaran

seluas mungkin.

7) Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekitar atau sewaktu-waktu bila

perlu.

8) Pemasukan cairan minuman dan pengeluaran feces, urine dan

mudah diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan tanda

dehiderasi.

9) Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan

ditingkatkan.

10) Lamanya terapi sinar dicatat

Tabel 2.6 Komplikasi fototerapi

Abnormalitas Mekanisme penyebab yang diusulkan

Tanning (perubahan warna kulit) Induksi sintesis dan atau disperse oleh supaya
ultraviolet
Sindrom bayi bronze Penurunan ekskresi hepatic dari foto produk
bilirubin
Diare Bilirubin menginduksi sekresi usus
Intoleransi laktosa Trauma fotosintesis pada eritrosit sirkulasi
Kulit terbakar Paparan berlebihan karena emisi gelombang
pendek lampu flourense
Dehidrasi Peningkatan kehilangan air yang tidak disadari
karena energy fotori yang diabsorbsi
Ruam kulit Trauma fotosintesis pada sel mast kulit
pelepasan histamine
Sumber : Marmi S, ST & rahardjo kukuh. Asuhan neonatus, bayi, balita, dan
anak prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.

D. Transfusi tukar (exchange transfusion)

Cara yang tepat untuk mengobati hiperbilirubinemia pada neonatus

adalah transfuse tukar. Dalam beberapa hal terapi sinar dapat

menggantikan transfusi tukar darah akan tetapi pada penyakit

hemolitik neonatus transfuse tukar darah merupakan tindakan yang

paling tepat. Transfuse tukar darah di Rumah Sakit Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta diberikan dalam kasus-kasus berikut :3

1) Diberikan kepada semua kasus ikterus dengan kadar hiperbilirubin

tidak langsung yang lebih dari 20 mg%.

2) Pada bayi premature transfusi tukar darah dapat diberikan

walaupun kadar albumin kurang dan 3,5 mg gram per 100 ml.

3) Pada kenaikan cepat bilirubin tidak langsung serum bayi pada hari

pertama (0,3-1 mg% perjam). Hal ini terutama pada

inkompatibilitas golongan darah.

4) Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda

dekompensia jantung.

5) Bayi menderita ikterus dan kadar hemoglobin darah talipusat

kurang dari 14 mg% dan coombs test langsung positif.

E. Apabila terjadi risiko tinggi cedera karena dampak peningkatan kadar

bilirubin, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah :


1) Mengkaji dan mengawasi dampak perubahan kadar bilirubin,

seperti adanya jaundice, konsentrasi urine, latergi, kesulitan

makan, refleks moro, adanya tremor, iritabilitas, memantau

hemoglobin dan hematokrit.12

2) pencatatan penurunan; melakukan fototerapi dengan mengatur

waktu sesuai dengan prosedur dan menyiapkan untuk melakukan

transfusi tukar. Dengan mempertimbangkan risiko cedera karena

efek dari transfusi tukar, maka intervensi yang dapat dilakukan

adalah transfusi tukar tiap 4-6 jam selama 24 jam pasca transfusi

tukar, memantau tekanan darah, nadi, dan termperature.12

3) mempertahankan sistem kardiovaskular dan pernapasan mengkaji

kulit pada abdomen, ketegangan, muntah, dan sianosis,

mempertahankan kalori, kebutuhan cairan sampai dengan pasca

transfusi tukar.12

4) Melakukan kolaborasi dalam pemberian obat untuk meningkatkan

transportasi dan konjugasi, seperti pemberian albumin atau

pemberian plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin

biasanya diberikan sebelum transfusi tukar karena albumin dapat

mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskular ke vaskular,

sehingga bilirubin yang diikat lebih mudah keluar dengan transfusi

tukar.12
Tabel 2.7 Pedoman pengolaan ikterus menurut waktu timbulnya

dan kadar bilirubin (modifikasi dan maisels 1972)

Bilirubin <24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam


(mg%)
<5 Pemberian makanan yang tinggi

5-9 Terapi sinar bila Kalori cukup


hemolysis

10-14 Transfuse tukar Terapi sinar


(bila hemolisis)

15-19 Transfuse tukar Transfuse tukar Terapi sinar


bila hemolisis

>20 Transfusi tukar


Sumber : Marmi S, ST & rahardjo kukuh. Asuhan neonatus, bayi,
balita, dan anak prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.

Sebelum dan seaduah transfuse tukar beri terapi sinar + bila tak

berhasil transufi tukar.3 Jika kadar bilirubin <5 mg% selalu

observasi dan jika kadar bilirubin >5 mg% penyebab ikterus perlu

diselidiki.3
BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Analisis Masalah

Dalam Penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan filosofis dan

pedagogis. Pendekatan fisiolofis merupakan pendekatan yang dilakukan

bergantung pada bahan ajar, bahan ajar dalam penelitian ini yaitu jurnal ilmiah,

jurnal internasional, skripsi/tesis, dan buku. Sedangkan pendekatan pedagosis

merupakan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis masalah secara

rinci.18 Jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan (library research),

yaitu mengumpulkan data atau laporan yang berkaitan dengan obyek penelitian

bersifat kepustakaan untuk memecahkan suatu masalah yang digali melalui

beragam sumber kepustakaan (buku, ensiklopedia, jurnal ilmiah, koran,

majalah, dan dokumen).18

Analisis masalah dalam penelitian ini adalah Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan

lahir <2500 gram tanpa memandang usia kehamilan ibu. Faktor penyebab

terjadinya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ini diantaranya status gizi ibu,

umur ibu saat hamil, umur kehamilan, kehamilan ganda, tingkat pendidikan,

penyakit ibu, faktor kebiasaan ibu (merokok, minum beralkohol, pecandu obat

dan pemenuhan nutrisi yang salah), faktor janin (prematur, hidramnion,


kehamilan kembar atau ganda, kelainan kromosom), dan faktor lingkungan

tempat tinggal didataran tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat

beracun). Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga dapat

mengalami berbagai komplikasi seperti, asfiksia, infeksi, hipoglikemia, dan

hiperbilirubinemia.3

Hiperbilirubinemia yang merupakan suatu kedaan meningkat kadar

bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva, kulit, dan

mukosa akan berwarna kuning. Keaadan tersebut juga berpotensi besar terjadi

ikterus, yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. 3

Kejadian Hiperbilirubinemia di Indonesia mencapai 58% pada bayi Berat

Badan Lahir Rendah (BBLR) dan 50% pada bayi dengan berat badan normal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ida bagus Wiadnyana pada

tahun 2018 bahwa bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang mengalami

asfiksia sekitar 66,7%.19 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Susi

Widiawati pada tahun 2016 bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

yang mengalami infeksi sebesar 53,1%.20 Sedangkan menurut penelitian Regina

Paranggian Lumbantoruan pada tahun 2017 Berat Badan lahir Rendah (BBLR)

yang mengalami hipoglikemia sebesar 24,6%.21 Dan berdasarkan penelitian

Dian Andesty pada tahun 2015 Berat Bada Lahir Rendah (BBLR) mengalami

kejadian hiperbilirubinemia sebesar 57,1%.22


3.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder merupakan data yang bukan diperoleh dari pengamatan

langsung.tetapi data tersebut diperoleh dari hasil penelitian-penelitian yang

telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sumber yang dimaksud berupa

artikel atau jurnal, tugas akhir/KTI/skripsi/tesis dan buku (tercetak dan/atau

non-cetak) berkenaan dengan permasalahan.23 Sumber yang digunakan dalam

penelitian ini minimal 10 jurnal ilmiah, 5 skripsi/KTI/tesis, dan 10 buku atau

sumber lainnya dengan maksimal terbit 10 tahun.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode dokumentasi yaitu dengan cara mencari atau menggali data jurnal dari

google scholar, microsoft academic, pubmed, public health, BMC public health,

tugas akhir/KTI/skripsi/tesis dan buku untuk mencari referensi yang relevan

dengan permasalahan atau kasus yang ditemukan.24

Data yang telah dikumpulkan lalu di olah menggunakan metrik sintesis

(synthesis matrix). Matrik sintesis adalah sebuah tabel/diagram yang digunakan

peneliti untuk mengelompokkan dan menglasifikasi argument-argumen yang

berbeda dari berbagai sumber dan mengombinasikan berbagai sumber yang

berbeda untuk mendapatkan simpulan terhadap keseluruhan sumber secara

umum.24
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Setelah melakukan pencarian dari berbagai sumber didapatkan 5 sumber

yang terdiri dari jurnal ilmiah, dan skripsi/tesis. Untuk mempermudah

melakukan literature review maka dibuat dalam bentuk matrik sintesis

(synthesis matrix) yang terdapat pada table

Tabel Matrik sintesis (Synthesis matrix)

Peneliti Judul Sampel Metode Output


Retno. Pemodelan risiko 150 Multivariate Dalam penelitian ini variable predikator yang
2016 kejadian bayi adaptive berpengaruh signifikan terhadap pasien
berat badan lahir regression melahirkan bayi BBLR adalah riwayat pendidikan
rendah berdasarkan ibu (100%), diabetes militus (98,535%), status
pendekatan gizi ibu (64,616%), paritas (42,091%), dan usia
multivariate kehamilan (35,257%).
Adaptive
Reression Spline
(MARS).
Lulu et Hubungan antara 285 Analitik- Berdasarkan hasil uji bivariate, secara statistic
al. 2017 bayi berat badan Cross terbukti signifikan atau terdapat hubungan antara
lahir rendah Sectional bayi beratlahir rendah dengan kejadian ikterus
dengan kejadian neonatorum dengannilai p<0,05 (nilai p=0,000).
ikterus di Rumah
Sakit Umum
Daerah Soreang
Periode Januari-
Desember 2015/ ;
Google Scholar.
Midwife Journal,
3(2), 13-21.
http://jurnal.ibi.ja
bar.org/wp-
content/uploads/2
017/09/2-LULU-
unpad.pdf
Sudha et Maternal and 186 prospective Penentu utama dari ikterus neo natal dalam
al. 2017 Neonatal case control penelitian ini adalah ketuban pecah
Determinants of descriptive dini,persalinan prematur <37 minggu, skor
Neonatal APGAR <7, Asfiksia lahir, Kehamilan berganda,
Jaundice/ : ketidakcocokan ABO, dan pendarahan
JMSCR IGM antepartum,
Publication.
journal of medical
secience and
clinical research,
5(3), 19659-
19665.
https://dx.doi.org/
10.18535/jmscr/v
5i3.210
Alekaw Associated 431 Cross Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa
et al. Factors with Low sectional factor penyebab terjadinya Berat Badan Lahir
2019 Birth Weight in study Rendah (BBLR) diantaranya para ibu yang tidak
Dire Dawa City, menerima konseling gizi selama ANC, kelahiran
Eastern Ethiopia/ prematur, bayi dari ibu yang merokok, dan tinggi
: PubMed. ibu
BioMed Research dikaitkan dengan BBLR.
International,
2019(2019), 1-8.
https://doi.org/10.
1155/2019/29650
94
Dr Risk Factor 500 Descriptive Dalam penelitian ini didapatkan hasil faktor risiko
Brijmoh Assessment for observation ikterus neonatorum diantaran ya ABO
an. Neonatal Jaundice/ study inkompatibilitas, prematuritas dan septikemia
2017. : ditemukan menjadi faktor risiko paling sering dari
JMSCR IGM icterus nenatorum.
Publication.
journal of medical
secience and
clinical research,
83(27), 15523-
15526.
https://dx.doi.org/
10.18535/jmscr/v
5i1.53

4.2 Pembahasan

4.2.1 Gambaran Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan

lahir <2500 gram tanpa memandang usia kehamilan ibu. Berat badan lahir

rendah dibedakan menjadi dua bagian yaitu BBLSR (Berat Badan Lahir

Sangat Rendah) bila berat badan lahir kurang dari 1.500 gram dan BBLR

(Berat Badan Lahir Rendah) bila berat badan lahir antara 1.500-2.499

gram. Setelah dilakukan review dari berbagai sumber didapatkan hasil


bahwa berat badan lahir rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya adalah faktor ibu, faktor perinatal, dan faktor lingkungan.

Faktor ibu yang menyebabkan berat badan lahir rendah yaitu seperti

usia ibu, usia kehamilan, status gizi, riwayat pendidikan ibu, penyakit

penyerta (diabetes miletus dan anemia), faktor kebiasaan ibu

(merokok,minum beralkohol, dan pecandu obat), paritas ibu, status

ekonomi rendah, perdarahan antepartum, jarak kehamilan, dan Riwayat

melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Sedangkan faktor

perinatal yang menyebabkan berat badan lahir rendah yaitu kehamilan

ganda dan hidramnion. Adapun faktor lingungkan yang menyebabkan

berat badan lahir rendah seperti radiasi, polusi, dan limbah beracun.

Berdasarkan review yang dilakukan pada penelitian Retno. 2016

didapatkan hasil faktor yang mempengaruhi berat badan lahir rendah yaitu

status gizi ibu sebanyak 64,616%, gizi yang cukup akan menjamin bayi

sehat dengan berat badan cukup, namun kurang gizi yang adekuat dapat

menyebabkan berat badan lahir rendah. Untuk mengetahui status gizi ibu

hamil dapat dilakukan dengan memantau pertambahan berat badan selama

hamil, mengukur Lingkar Lengan Atas (LLA), dan mengukur kadar Hb.

Hasil review pada penelitian Retno. 2016 mengatakan bahwa sebanyak

100% ibu dengan Riwayat pendidikan rendah melahirkan bayi dengan

berat badan lahir rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin

mudah menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi,

sehingga semakin meningkat produktivitas dan kesejahteraan keluarga.


Adapun ibu yang memiliki riwayat diabetes militus menurut penelitian

Retno. 2016 yaitu sebanyak 98,535% ibu memiliki riwayat diabetes

militus melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. hal ini

disebabkan karena penyakit tersebut dapat menimbulkan retrdasi

pertumbuhan intrauterine (IUGR) janin, yang menyebabkan janin menjadi

jauh lebih kecil dan lemah.

4.2.2 Gambaran Kejadian Ikterus Neonatorum


Ikterus ialah warna kuning yang dapat terlihat pada skelera, selaput
lendir, kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Keadaan ini
merupakan penyakit darah. Bilirubin merupakan hasil penguraian sel darah
merah didalam darah. Hiperbilirubinemia merupakan suatu kedaan
meningkat kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga
konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Tanda klinis
hiperbilirubinemia diantaranya sklera, puncak hidung, mulut, dada, perut,
dan ektremitas berwarna kuning, letargi, kemampuan menghisap turun,
dan kejang.
Berdasarkan review yang telah dilakukan pada penelitian Dwi et al.
2018 mengatakan bahwa neonatus laki-laki nmempunyai risiko 0,053 kali
mengalami ikterus neonatorum dibandingkan dengan neonatus perempuan.
Pada buku Sinclair, C. 2010 bahwa jenis kelamin merupakan faktor
penyebab terjadinya ikterus neonatorum. Hal ini terjadi karena pravelansi
sindrom gilbert (kelaninan genetic konjugasi bilirubin) lebih dari dua kali
lipat ditemukan pada laki-laki (12,4%) dibandingkan pada Perempuan
(4,8%).
Setelah dilakukan review pada penelitian yang dilakukan oleh Sudha et
al. 2017 terdapat perbedaan yaitu bahwa ibu dengan perdarahan
antepartum dan ketuban pecah dini sebanyak 32,3% melahirkan bayi
dengan ikterus neonatorum. Hal ini disebabkan oleh perdarahan yang
terjadi pada usia kehamilan >24 minggu sehingga menyebabkan ibu
melahirkan bayi dengan premature dan ketuban pecah dini sendiri bisa
menyebabkan asfiksia. Ketuban pecah dini pada kejadian asfiksia terjadi
karena terjadinya oligohidramnion yang menekan tali pusat sehingga
mengalami penyempitan dan aliran darah yang membawa oksigen ibu ke
bayi terhambat sehingga menimbulkan asfiksia neonatorum.
4.2.3 Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Dengan Kejadian
Ikterus Neonatorum
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) merupakan bayi yang mempunyai
berat badan kurang dari 2500 gram. Setelah dilakukan review dari
berbagai sumber didapatkan hasil bahwa berat badan lahir rendah dapat di
sebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor maternal, faktor
perinatal, faktor lingkungan, dan faktor kebiasaan ibu.
Hiperbilirubinemia merupakan merupakan suatu kedaan meningkat
kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga konjungtiva,
kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut disebut ikterus
neonatorum. Berdasarkan hasil review yang telah dilakukan dari berbagai
sumber berikut merupakan faktor penyebab ikterus neonatorum berat
badan lahir, jenis kelamin, jenis persalinan, prematuritas, komplikasi
perinatal (asfiksia/sespsis/sefalhema toma), frekuensi pemberian ASI (Air
Susu Ibu), Inkompa-bilitas Rh ABO, komplikasi kehamilan (perdarahan
antepartum dan ketuban pecah dini), dan obat-obatan (vit k, ASA, sulfa).
Berdasarkan hasil review dari penelitian dilakukan oleh Ndaru et al.
2018 menyatakan bahwa Bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki
risiko lebih tinggi mengalami ikterus neonatorum dibandingkan dengan
bayi berat badan lahir normal. Begitu juga hasil review dari penelitian
yang dilakukan oleh Annisa. 2019 menyatakan bahwa ikterus neonatorum
pada bayi berat badan lahir rendah (71,4%) lebih besar dari ikterus
neonatorum pada bayi dengan berat badan lahir normal (29,3%). Hal ini
disebabkan oleh organ tubuhnya belum terbentuk sempurna disebabkan
karena fungsi hepar yang belum matang atau terdapat gangguan dalam
fungsi hepar seperti hipoksia, hioglikemia, asisdosis,dll sehingga
mengakibatkan kadar bilirubin meningkat. Belum maturnya system hati
pada bayi berat lahir rendah sehingga bilirubin tidak berkonjugasi secara
efisien selama 4-5 hari berlalu.
BAB V
SIMPULAN

Pada tahap akhir pembuatan tentang ”Literature Review: Hubungan Berat

Badan Lahir (BBLR) Dengan Kejadian Ikteus Neonatorum”, penyusun mencoba

membuat kesimpulan dan beberapa saran guna meningkatkan penanganan ikterus

neonatorum pada bayi baru lahir.

5.1 Simpulan

5.1.1 Kejadian Berat Badan Lahir Rendah

Berdasarkan literature review yang telah dilakukan dari berbagai

sumber didapatkan hasil faktor penyebab berat badan lahir rendah

diantaranya faktor maternal: usia ibu, usia kehamilan, status gizi, riwayat

pendidikan ibu, penyakit penyerta (diabetes miletus dan anemia), faktor

kebiasaan ibu (merokok, minum beralkohol, dan pecandu obat narkotika),

status ekonomi rendah, paritas ibu, jarak kehamilan, dan ibu dengan

riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Faktor neonatal:

kehamilan ganda dan hidramnion. Faktor lingkungan: radiasi, polusi dan

limbah beracun.

5.1.2 Kejadian Ikterus Neonatorum Pada Bayi Baru Lahir

Berdasarkan literature review yang telah dilakukan dari berbagai

sumber didapatkan hasil faktor penyebab terjadinya ikterus neonatorum

diantaranya: berat badan lahi, jenis kelamin, jenis persalinan, prematuritas,


komplikasi perinatal (asfiksia/sepsis/sefalhematoma), komplikasi

kehamilan (perdarahan antepartum dan ketuban pecah dini), inkompati-

bilitas Rh ABO, dan obat-obatan (vit k, novobiosin, ASA, sulfa)

5.1.3 Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Dengan Kejadian

Ikterus Neonatorum

Hasil literature review dari bebagai sumber menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan

kejadian ikterus neonatorum.


DAFTAR PUSTAKA

1. Aprillya Pw. Faktor ibu terdahap kejadian bayi berat lahir rendah. Public
Health Research and Development. 2019;1.

2. Achadi El. Kematian maternal dan neonatal di indonesia [10 januari 2020].
Available from: https://kemkes.go.id.

3. Marmi S, ST & rahardjo kukuh. Asuhan neonatus, bayi, balita, dan anak
prasekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2012.

4. Prof. dr. manuaba gde bagus ida s. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan
& keluarga berencana untuk pendidikan bidan.Jakarta:Penerbit Buku
Kedokteran EGC:199.

5. Ratih Pd. Pengaruh paparan sinar matahari pagi terhadap penurunan tanda
ikterus pada ikterus neonatrum fisiologis. Jurnal Kedokteran Brawijaya.
2006;XIII131-140.

6. Lulu L. Hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan kejadian ikterus di
rumah sakit umum daerah soreang periode januari-desember tahun 2015.
Midwife journal. 2017;3:13-31.

7. Br. Sembiring, Juliana. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita dan Anak
Pra-sekolah. Yogyakarta: Budi Utomo: 2019

8. Ernawati W. Hubungan faktor umur ibu dan paritas dengan kejadian bayi
berat badan lagir rendah di rumah sakit umum pku muhammadiyah bantul
tahun 2016. 2017

9. Putri, R Y dan Hastina E. Asuhan Keperawatan Maternitas Pada Kasus


Komplikasi Kehamilan, Persalinan, dan Nifas. Purwakerto Selatan: CV.
Pena Persada: 2020.

10. Proverawati Atikah Sic. Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta: Nuha
Medika: 2014.

11. Al. Djde. Maternal Risk Factors For Low Birth Weight Neonates: A Hospital
Based Case-Control Study In Rural Area Of Western Maharashtra, India.
2011.

12. Indasari, N. Faktor resiko pada kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Jurnal Keperawatan. 2012;VIII(2):114-123
13. Jonshon, J. Keperawatan Maternitas. Yogyakarta: Rapha Publishing: 2010.

14. Jose Rl, Bambang Tridjaya dan Aman B.pulungan. 2010. Buku Ajar
Endokrinologi anak Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

15. Vivian, Nanny. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Yogyakarta:
Salemba Medika: 2018.

16. Hidayat AA. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan
Jakarta: Salemba Medika: 2008.
17. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo: 2002.

18. Syaodih, N. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya: 2009.

19. Bagus Wi. Hubungan antara bayi berat lahir rendah dengan asfiksia
neonatrum di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Directory of open
access journals. 2018;9:95-9.

20. Susi W. Hubungan sepsis neonatorum, BBLR dan asfiksia dengan kejadian
ikterus pada bayi baru lahir. 2016;6.

21. Paranggian Lr. Hubungan derajat asfiksia dengan kejadian hipoglikemia pada
neonatus di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Biomedical
journal of Indonesia. 2017 3:20-9.

22. Dina A. Hubungan kejadian berat badan lahir rendah dengan


hiperbilirubinemia. Jurnal Medika Kesehatan. 2015;9:25-9.

23. Library Tuu. Write A Literature Review.

24. Rahayu, T, dkk. Teknik Menulis Review Literatur Dalam Sebuah Artikel
Ilmiah.

25. Arvin BK. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Buku Kedokteran ECG: 2000.

26. Rukiyah, AY, dkk. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Trans
Info Media: 2013

27. Ramayulis, R. Diet Rest ala Rita Ramayulis atasi darah Kental Setelah 21
Hari Respons Kembali Normal. Jakarta: PT. Grandmedia Pustaka Utama:
2017

Anda mungkin juga menyukai