Anda di halaman 1dari 84

PERBANDINGAN WAKTU MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata)

DENGAN MENGGUNAKAN METODE MUTILASI, POPEY DAN


ALAMI DI DESA SEI LEPAN KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG


150302015

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
PERBANDINGAN WAKTU MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
DENGAN MENGGUNAKAN METODE MUTILASI, POPEY DAN
ALAMI DI DESA SEI LEPAN KABUPATEN LANGKAT

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG


150302015

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
PERBANDINGAN WAKTU MOLTING KEPITING BAKAU (Scylla serrata)
DENGAN MENGGUNAKAN METODE MUTILASI, POPEY DAN
ALAMI DI DESA SEI LEPAN KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG


150302015

Skripsi Sebagai Satu Diantara Beberapa Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Perikanan di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Megawati Florenta Br Situmorang

NIM : 150302015

Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “Perbandingan waktu molting

kepiting bakau dengan menggunakan metode mutilasi popey dan alami di desa sei

lepan kabupaten langkat” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua

sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Medan, Januari 2020

Megawati Florenta Br Situmorang


NIM. 150302015
RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pangkalan Berandan pada


tanggal 20 Mei 1997. Anak pertama dari tiga
bersaudara dari Bapak Johannes Sarles
Situmorang dan Ibu Nailim Simanjuntak.

Penulis mengawali pendidikan TK Darma


Patra Pertamina Pangkalan Berandan pada tahun
2002-2003, SD Negeri 050750 Babalan pada
tahun 2003-2009, pendidikan menengah pertama
ditempuh dari tahun 2009-2012 di SMP Negeri 3
Babalan. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1
Babalan dengan Jurusan IPA pada tahun 2012-2015.

Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Manajemen


Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui
Undangan pada tahun 2015. Selain mengikuti perkuliahan, penulis menjadi
anggota Organisasi Ikatan Mahasiswa Sumberdaya Perairan (IMASPERA),
sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Katolik (IMK) Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara, Asisten Laboratorium Sumberdaya Hayati Perairan pada tahun
2019/2020. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) USU di kota galuh
kecamatan perbaungan kabupaten serdang begadai pada tahnu 2018, Praktik Kerja
Lapangan (PKL) di Balai Benih Ikan Sumbul Desa Sumbul Kecamatan Lae Parira
Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara tahun 2019.

Dalam rangka menyelesaikan studi di Program Studi Manajemen


Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, penulis
melaksanakan penelitian dengan judul “Perbandingan waktu molting kepiting
bakau dengan menggunakan metode mutilasi popey dan alami di desa sei lepan
kabupaten langkat” yang dibimbing oleh Ibu Ipanna Enggar Susetya, S. Kel., M.
Si. dan diuji oleh Ibu Dr. Eri Yusni M. Sc serta Bapak Rizky Febriansyah
Siregar, S. Pi, M. Si
ABSTRAK

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG. Perbandingan Waktu Molting


Kepiting Bakau (Scylla serrata) dengan Menggunakan MetodeMutilasi, Popey
dan Alami di Desa Sei Lepan Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh IPANNA
ENGGAR SUSETYA.
Kepiting Bakau adalah komoditi perikanan dari kelompok krustase yang
mempunyai prospek sangat menjanjikan untuk dikembangkan dindonesia. Jenis
kepiting unggul dalam ekspor adalah kepiting lunak atau kepiting soka. Kepiting
soka adalah kepiting yang dipanen setelah molting atau sebelum kulit
eksoskeleton baru mengalami proses pengerasan. Metode yang digunakan dalam
proses budidaya kepiting bakau cangkang lunak adalah metode mutilasi, popey,
dan alami. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat efisiensi tertinggi
diantara metode-metode tersebut melalui kajian derajat kelangsungan hidup, laju
pertumbuhan, jumlah kepiting molting terhadap waktu, waktu kepiting molting,
mortalitas dan persentase molting. Kepiting terlebih dahulu diseleksi dengan
bobot tubuh rata-rata 80gr/ekor dan lebar karapas 8cm/ekor. Molting kepiting
bakau pada perlakuan mutilasi memerlukan waktu 27 hari, popey 28 hari dan
alami 40 hari. Hasil menunjukkan bahwa rata-rata derajat kelangsungan hidup
semua perlakuan berkisar antara 50-92,5% (P>0,05). Laju pertumbuhan bobot
harian tertinggi terdapat pada perlakuan Alami yakni sebesar 109.45 gr atau
0,78% (P>0,05). Ganti kulit tercepat terdapat pada metode mutilasi rata-rata
kepiting molting pada hari ke-19, sedangkan waktu molting tertinggi terdapat
pada malam hari yakni pukul 20.00-22.00. Berdasarkan ketiga perlakuan
menunjukkan bahwa, perlakuan berpengaruh nyata terhadap derajat kelengsungan
hidup (P<0,05) dan berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian
(P<0,05).

Kata kunci :Kepiting bakau cangkang lunak, Survival Rate, Spesific Growth Rate,
Molting, Mutilasi, Popey, danAlami

i
ABSTRACT

MEGAWATI FLORENTA BR SITUMORANG. Comparison of Molting Crab


(Scylla Serrata) Molting Time by Using the Mutilation, Popey and Natural
Method in Sei Lepan Village, Langkat Regency. Supervised by IPANNA
ENGGAR SUSETYA.
Mangrove Crab is a fishery commodity from the crustacean group which
has very promising prospects for development in Indonesia. The superior types of
crabs in exports are soft crabs or soft-shelled crabs. Soft-shelled crabs are crabs
that are harvested after molting or before the exoskeleton is hardened. The method
used in the process of soft shell mangrove crab culture is the method of
mutilation, popey, and natural. This study aims to determine the highest level of
efficiency among these methods through the study of the degree of survival,
growth rate, number of molting crabs with respect to time, crab molting time,
mortality and percentage of molting. The crab is selected first with an average
body weight of 80gr / head and carapace width of 8cm / head. Mangrove crab
molting in the mutilation treatment requires 27 days, popey 28 days and 40 days
naturally. The results showed that the average survival rate of all treatments
ranged from 50-92.5% (P> 0.05). The highest daily weight growth rate was in the
Natural treatment which was 109.45 g or 0.78% (P> 0.05). The fastest skin
change is found in the method of Mutilating the average crab molting on the 19th
day, while the highest molting time is at night which is 20.00-22.00. Based on the
three treatments, it was shown that the treatment had a significant effect on the
degree of survival (P <0.05) and significantly affected the daily weight growth
rate (P <0.05).

Keywords: Soft-shelled crabs, Survival Rate, Specific Growth Rate, Molting,


Mutilation, Popey, and Natural

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan Karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Perbandingan Waktu Molting Kepiting Bakau (Scylla Serrata) dengan

Menggunakan Metode Mutilasi Popey dan Alami di Desa Sei Lepan

Kabupaten Langkat”. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi S1 pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati, penulis

menyampaikan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah menyertai dan melindungi penulis dalam

penyelesaian skripsi

2. Ayahanda Johannes Sarles Situmorang dan Ibunda Nailim br Simanjuntak

yang menjadi alasan untuk menggapai cita-cita. Terima kasih untuk doa,

dukungan dan motivasi yang tiada henti kepada penulis.

3. Ibu Ipanna Enggar Susetya, S.Kel., M.Si selaku dosen pembimbing yang

telah banyak memberikan bimbingan selama penulis melaksanakan

penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir.

Nurmatias, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Eri Yusni, M.Sc. selaku dosen penguji

serta seluruh pihak staf pegawai dan pengajar yang telah bersedia dalam

memberikan saran, bimbingan, arahan serta meluangkan waktu sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Ir. Eri Yusni, M.Sc selaku ketua Program Studi Manajemen

Sumberdaya Perairan.

iii
5. Bapak metro, bang arief, bang zuliady, bang aceng, edo dan andi selaku

pembimbing dilapangan yang telah memberikan dukungan baik materi

maupun bantuan kepada penulis selama terlaksananya kegiatan penelitian.

6. Abang saya Daniel Situmorang, Adik perempuan saya Monika Br

Situmorang dan adik laki-laki saya Mario Agustinus Situmorang

7. Teman-teman seperjuangan Deswanti Sitanggang, Bonita Ambarita,

Lorika Simanjorang, Agnes Yunita Bangun, Leny Aritonang, Monica O

Simanjuntak, Mega Siahaan, Lila Meryska, Katrina Simanjuntak, Tresia

Simanjuntak, dan Lihardo Sinaga yang telah membantu, memberikan

motivasi dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi

ini.

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

tentang berapa lama waktu pada molting dan bagaimana pengaruh penggunaan

metode mutilasi, popey dan alami pada kepiting bakau (Scylla serrata) khususnya

dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Manajemen Sumberdaya

Perairan dan bagi seluruh kalangan. Demikian usulan penelitian ini dibuat, sekian

dan terima kasih.

Medan, Januari 2020

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ............................................................................................ i

ABSTRACT .......................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vii

DAFTAR TABEL ................................................................................. viii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... ix

PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................... 1
Perumusan Masalah ...................................................................... 3
Tujuan Penulisan ........................................................................... 4
Hipotesis ........................................................................................ 4
Manfaat penulisan .......................................................................... 5
Kerangka Pemikiran ..................................................................... 5

TINJAUAN PUSTAKA
Kepiting Bakau (Scylla serrata) .................................................... 6
Siklus Hidup Kepiting ................................................................... 11
Molting Kepiting ........................................................................... 13
Teknik Popey ................................................................................. 14
Teknik Mutilasi.............................................................................. 14
Karakteristik Parameter Perairan ................................................... 16
Suhu ................................................................................ 16
Salinitas ........................................................................... 16
pH .................................................................................... 17
Disolved Oksigen (DO) ................................................... 18

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 19
Alat dan Bahan Penelitian ............................................................. 19
Rancangan Percobaan .................................................................... 20
Persiapan Wadah ............................................................................ 21
Penenbaran Hewan Uji ................................................................... 21
Pemberian Pakan ............................................................................ 22

v
Pengumpulan Data ......................................................................... 22
Analisis Data .................................................................................. 24
Waktu Kepiting Molting ......................................................... 24
Derajat Kelangsungan Hidup.................................................. 24
Laju Pertumbuhan Bobot Harian ............................................ 24
Jumlah Kepiting Molting ........................................................ 25
Prosentase Molting ................................................................. 25
Mortalitas ................................................................................ 25
Analisis ANOVA SPSS .......................................................... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil ............................................................................................ 27
Waktu Kepiting Molting ................................................. 27
Derajat Kelangsungan Hidup .......................................... 28
Laju Pertumbuhan Bobot Harian .................................... 30
Jumlah Kepiting Molting Perhari .................................... 32
Mortalitas ........................................................................ 33
Prosentase Molting .......................................................... 34
Parameter Kualitas Air .................................................... 35
Pembahasan .................................................................................
Waktu Kepiting Molting ................................................ 36
Derajat Kelangsungan Hidup .......................................... 37
Laju Pertumbuhan Bobot Harian .................................... 38
Jumlah Kepiting Molting Perhari .................................... 39
Mortalitas ........................................................................ 40
Prosentase Molting .......................................................... 41
Parameter Kualitas Air .................................................... 42

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan ................................................................................. 45
Saran ........................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vi
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1 Kerangka pemikiran ....................................................................... 5


2 Morfologi kepiting bakau (scylla serrata) ..................................... 6
3 Capit pada kepiting ........................................................................ 8
4 Kerapas pada kepiting .................................................................... 8
5 Perbedaan secara morfologis kepiting bakau jantan
(kiri) dan betina (kanan) ................................................................. 9
6 Kaki jalan (a) dan kaki renang (b).................................................. 10
7 Siklus hidup kepiting bakau (scylla serrata) ................................. 11
8 Peta lokasi penelitian...................................................................... 19
9 Grafik waktu kepiting molting pada pagi, siang dan malam hari
pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan .. 27
10 Tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau setiap perlakuan dan
ulangan selama 40 hari pemeliharaan ............................................ 28
11 Rata-rata bobot harian kepiting pada setiap perlakuan dan
ulangan selama 40 hari pemeliharaan ............................................ 30
12 Rata-rata laju pertumbuhan bobot harian kepiting pada setiap
perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ..................... 31
13 Jumlah kepiting molting perhari setiap perlakuan dan ulangan
selama 40 hari pemeliharaan .......................................................... 32
14 Jumlah kepiting mortalitas perminggu terhadap waktu pemeliharaan
setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan ....... .. 33
15 Persentase molting kepiting bakau perminggu pada perlakuan dan
ulangan selama 40 hari pemeliharaan ........................................ .. 34

vii
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1 Parameter pengukuran kualitas air .............................................. 23


2 Rata-rata tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau selama
40 hari pemeliharaan ................................................................... 29
3 Hasil uji homogenitas dan analisis variansi (ANOVA)
kelangsungan hidup kepiting bakau (syclla serrata) ................ 29
4 Rata-rata bobot harian kepiting pada setiap perlakuan dan
ulangan selama 40 hari pemeliharaan ......................................... 30
5 Rata-rata laju pertumbuhan bobot harian kepiting pada setiap
perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan .................. 31
6 Hasil uji homogenitas dan analisis variansi (ANOVA) laju
pertumbuhan bobot kepiting bakau (syclla serrata) ................... 32
7 Hasil pengukuran kualitas air ...................................................... 35

viii
DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1 Bagan percobaan rancangan acak lengkap (ral) .......................... 47


2 Bahan yang digunakan ............................................................... 48
3 Alat yang digunakan ................................................................... 49
4 Alat ukur kualitas air ................................................................... 50
5 Denah petakan keramba .............................................................. 51
6 Kegiatan kerja ............................................................................. 52
7 Analisis anova spss survival rate................................................. 54
8 Analisis anova spss sgr .............................................................. 56
9 Data berat rata-rata kepiting bakau ............................................ 58
10 Data jumlah kepiting molting terhadap waktu ........................... 59
11 Data jumlah kepiting molting perhari ......................................... 60
12 Data jumlah kepiting mortalitas dan prosentase molting ............ 61
13 Data jumlah sr dan sgr kepiting bakau ........................................ 62

ix
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepiting Bakau (Scylla serrata) adalah komoditi perikanan dari kelompok

krustase yang mempunyai prospek sangat menjanjikan untuk dikembangkan di

Indonesia. Selain sumberdaya alam yang mendukung, kepiting bakau dapat

ditemukan di sepanjang pantai Indonesia. Kepiting bakau memiliki nilai ekonomis

yang tinggi sehingga banyak ditangkap secara intensif.

Kornoditas ekspor kepiting bakau telah berkembang menjadi sumber

pendapatan di beberapa negara seperti Thailand, India, Filipina, Taiwan dan

Singapura. Hal ini disebabkan karena permintaan negara lain terbadap komoditi

ini cenderung rneningkat, termasuk Indonesia. Permintaan konsumen dalam

negeri terhadap komoditas ini dari tahun ke tahun cenderung meningkat, demikian

pula dengan permintaan ekspor. Peningkatan permintaan, umumnya akan diikuti

oleh peningkatan harga jual. Harga kepiting bakau sernakin meningkat dari tahun

ke tahun. Meningkatnya permintaan konsumen perlu diadakannya peningkatan

terhadap produksi kepiting bakau (Scylla serrata) (Pratiwi, 2011).

Potensi tambak untuk budidaya kepiting masih terbuka lebar karena

Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan

terpanjang di dunia setelah Kanada. Sepanjang pantai tersebut, yang berpotensi

sebagai lahan tambak sekitar ± 1.2 juta Ha dan lahan yang dapat digunakan

sebagai tambak baru 300.000 Ha. Saat ini komoditi kepiting cangkang lunak

(soft shell) merupakan salah satu produk ekspor yang dijual ke negara Amerika,

Jepang dan Thailand dan negara- negara Eropa lainnya

(Samidjan dan Rachmawati, 2015).

1
Kepiting bakau dapat dijadikan sebagai kepiting lunak atau kepiting soka.

Kepiting lunak adalah kepiting yang dipanen setelah molting atau sebelum kulit

eksoskeleton baru mengalami proses pengerasan. Kepiting lunak merupakan salah

satu makanan laut seafood di dunia yang terkenal karena kelezatannya, mudah

mengkonsumsinya karena tidak perlu membuka cangkangnya tetapi dapat

dikonsumsi bersama cangkangnya dan mengandung nutrisi bagi kehidupan dan

kesehatan (Hasnidar, 2018).

Waktu yang dibutuhkan dalam memelihara kepiting soka ditambak sampai

molting adalah berkisar satu minggu hingga empat bulan tergantung ukuran

kepiting bakau. Periode pemeliharaan yang lama atau waktu molting yang tidak

bersamaan merupakan masalah dalam produksi kepiting cangkang lunak.

Pemeliharaan yang lama menyebabkan pengawasan yang sangat ketat sehingga

memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak dengan waktu kerja yang panjang.

Pemeliharaan yang lama menyebabkan produksi kepiting terhambat. Maka

dilakukan beberapa cara untuk mempercepat proses molting kepiting bakau.

Berdasarkan penelitian yang akan saya lakukan maka dipandang perlu

untuk melakukan penelitian mengenai perbandingan lama waktu molting kepiting

bakau (Scylla serrata) dengan menggunakan metode mutilasi, popey, dan alami

untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan saat molting dengan

metode yang berbeda, dan metode mana yang lebih cepat melakukan proses

molting. Setelah mengetahui metode mana yang lebih efektif dalam mempercepat

molting dan menghasilkan kepiting lunak yang berkualitas baik untuk diproduksi

kepiting.

2
Perumusan Masalah

Permintaan kepiting bakau atau kepiting asoka untuk dikonsumsi domestik

dan ekspor semakin meningkat. Untuk meningkatkan volume ekspor setiap tahun

maka diperlukan pengembangan budidaya kepiting termasuk budidaya kepiting

bakau cangkang lunak atau soka untuk menjamin ketersediaan produk sepanjang

waktu. Permasalahan yang menghadang kesuksesan budidaya kepiting bakau

cangkang lunak adalah molting. Untuk mempercepat proses molting maka

dilakukan cara pemotongan capit dan kaki jalan pada kepiting bakau.

Berdasarkan pada latar belakang diatas, perumusan masalah yang dapat

diambil adalah :

1. Seberapa lama waktu pada molting, derajat kelangsungan hidup

(survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah kepiting molting,

mortalitas dan persentase molting dengan menggunakan metode mutilasi,

popey, dan alami.

2. Seberapa besar pengaruh penggunaan metode mutilasi, popey, dan alami

pada kepiting bakau (Scylla serrata) terhadap waktu kepiting molting,

Survival Rate, Jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting

pada molting kepiting bakau (Scylla serrata) dengan menggunakan

analisis ANOVA SPSS.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui berapa lama waktu kepiting molting, derajat

kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah

3
kepiting molting, mortalitas dan persentase molting dengan menggunakan

metode mutilasi, popey, dan alami.

2. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode mutilasi, popey, dan

alami terhadap waktu kepiting molting, Survival Rate, Jumlah kepiting

molting, mortalitas dan persentase molting pada molting kepiting bakau

(Scylla serrata) dengan menggunakan analisis ANOVA SPSS.

Hipotesis

H0 = Perlakuan metode mutilasi, popey, dan alami tidak memberikan pengaruh

terhadap derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan

berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting.

H1 = Perlakuan metode mutilasi, popey, dan alami memberikan pengaruh

terhadap derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju pertumbuhan

berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase molting.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah Memberikan informasi tentang

pengaruh metode mutilasi atau pemotongan capit dan kaki jalan, popey dan alami

pada kepiting bakau terhadap derajat kelangsungan hidup (survival rate), laju

pertumbuhan berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas dan persentase

molting untuk dapat dimanfaatkan sebagai acuan pada penelitian selanjutnya.

4
Kerangka Pemikiran

Kepiting Bakau merupakan salah satu produk perikanan yang mempunyai

kadar protein yang cukup tinggi dan sangat banyak diminati oleh masyarakat.

kepiting bakau juga menjadi Kornoditas ekspor yang telah berkembang menjadi

sumber pendapatan di beberapa negara yaitu Thailand, India, Filipina, Taiwan dan

Singapura. Tingginya permintaan kepiting bakau untuk dikonsumsi domestik

maupun ekspor semakin meningkat. Untuk meningkatkan volume ekspor setiap

tahun maka diperlukan pengembangan budidaya kepiting termasuk budidaya

kepiting cangkang lunak untuk menjamin ketersediaan produk sepanjang waktu.

Salah satu masalah yang menghadang kesuksesan budidaya kepiting bakau

bercangkang lunak adalah kondisi molting. Molting merupakan suatu proses

penggantian cangkang lama dengan cangkang baru yang ukurannya lebih besar.

Upaya untuk menghasilkan proses molting yang optimal dan ekonomis

diharapkan dapat dilakukan dengan biaya yang murah dan cepat. Untuk

melakukan proses molting dengan cepat maka dapat dilakukan beberapa metode

antara lain seperti metode alami (kepiting yang tidak dilakukan pemotongan kaki

dan capit), metode popey (pemotongan pada kaki jalan namun tidak pada capit)

dan metode mutilasi (kepiting yang dipotong seluruh capit dan kaki jalan).

Berdasarkan ketiga metode maka akan dilihat metode mana yang mudah

melakukan proses molting lebih cepat dari derajat kelangsungan hidup

(survival rate), laju pertumbuhan berat tubuh, jumlah kepiting molting, mortalitas

dan persentase molting. Adapun kerangka pemikiran yang digunakan pada

penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

5
KEPITING
BAKAU

BANYAK
PERMINTAAN

KEPITING ASOKA

METODE
MOLTING

ALAMI POPEY MUTILASI

 Survival Rate (%)


 Laju Pertumbuhan Berat (gr)
 Jumlah Kepiting Molting (ekor)
 Prosentase Molting (%)
 Mortalitas (%)

REKOMEDASI

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

6
TINJAUAN PUSTAKA

Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Gambar 2. Kepiting Bakau (Scylla serrata)


(Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian)
Klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata) menurut Hasnidar (2018)

adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Ordo : Decapoda

Famili : Portunidae

Genus : Scylla

Spesies : Scylla serrata

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis komoditas laut

yang potensial untuk dibudidayakan karena mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Kepiting bakau disebut juga kepiting lumpur karena habitatnya dihutan bakau dan

sering membenamkan diri ke dalam lumpur. Berdasarkan morfologi tersebut maka

kepiting bakau tergantung kedalam filum Arthropoda (hewan berkaki ruas), kelas

7
krustasea (udang-udangan), ordo decapoda (binatang bertungkai sepuluh), famili

purtunidae (mempunyai sepasang kaki akhir berbentuk dayung) dan genus Scylla

(Fujaya et al., 2012)

Gambar 3. Capit pada Kepiting


(Sumber : Siahainenia, 2009)
Kepiting bakau jantan mempunyai sepasang capit yang panjang hampir dua

kali lipat daripada panjang karapasnya, sedangkan kepiting betina relatif lebih

pendek. Capit pada kepiting bakau sangat berperan penting sebagai alat

memegang dan membawa makanan, menggali, untuk makan yaitu menggunakan

untuk memasukkan makanan kedalam mulutnya, dan sebagai senjata menyerang

musuhnya dengan ganas dan musuhnya akan dicabik-cabik dengan ganas.

Kepiting jantan dewasa memiliki ukuran capit lebih besar dibandingkan kepiting

betina dengan umur dan ukuran kepiting yang sama (Hasnidar, 2018)

Gambar 4. Kerapas pada Kepiting


(Sumber : Siahainenia, 2009)

8
Kepiting bakau memiliki bentuk karapaks yang agak bulat, memanjang,

pipih, sampai agak cembung. Panjang karapaks berukuran kurang lebih dua per

tiga ukuran lebar karapaks. Secara umum, karapaks kepiting bakau terbagi atas

empat area, yaitu: area pencernaan (gastric region), area jantung (cardiac region),

area pernapasan (branchial region), dan area pembuangan (hepatic region). Pada

bagian tepi anterolateral kiri dan kanan karapas, atau pada branchial region,

terdapat sembilan buah duri dengan bentuk dan ketajaman yang bervariasi.

Sedangkan pada bagian depan karapaks, atau pada gastric region, tepat di antara

kedua tangkai mata, terdapat enam buah duri kokoh di bagian atas, dan dua duri

kokoh di bagian bawah kiri dan kanan. Sepasang duri pertama pada bagian

anterolateral kiri dan kanan karapas, serta dua pasang duri pada bagian atas dan

bawah karapaks, berada dalam posisi mengelilingi rongga mata, dan berfungsi

melindungi mata. Duri-duri pada bagian depan karapaks, memiliki bentuk dan

ketajaman yang bervariasi, sehingga menjadi salah satu faktor pembeda dalam

klasifikasi jenis kepiting bakau (Siahainenia, 2009)

Gambar 5. Perbedaan Secara Morfologis Kepiting Bakau Jantan kiri dan Betina
Kanan
(Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian)
Kepiting bakau memiliki jenis kelamin jantan dan betina. Jenis kelamin

kepiting bakau mudah dikenal dengan bentuk abdomennya. Kepiting jantan

9
memiliki abdomen segitiga sama kaki ditandai dengan abdomen bagian bawah

berbetuk segitiga meruncing sedangkan betina lebih membulat dan melebar.

Namun ada juga kepiting yang disebut dengan kepiting banci. Kepiting banci

merupakan kepiting betina yang memiliki bentuk abdomen yang lebih sempit

antara jantan dan betina (Fujaya et al., 2012)

(a) (b)
Gambar 6. Kaki jalan (a) dan Kaki renang (b)
(Sumber : Siahainenia, 2009)
Kepiting bakau memiliki lima pasang kaki, yang terletak pada bagian kiri

dan kanan tubuh, yaitu: sepasang cheliped, tiga pasang kaki jalan (walking leg)

dan sepasang kaki renang (swimming leg). Tiga pasang kaki berikutnya, disebut

kaki jalan yang selain berfungsi untuk berjalan saat kepiting bakau berada di

darat, juga berfungsi dalam proses reproduksi, terutama pada kepiting bakau

jantan. Ketika proses percumbuan menjelang perkawinan berlangsung, dengan

bantuan kaki-kaki jalan kepiting bakau jantan akan mendekap betina di bagian

bawah tubuhnya, sehingga tubuh mereka menyatu. Pasangan kaki terakhir

kepiting bakau yang disebut kaki renang, berbentuk agak membulat dan lebar.

Dua ruas terakhir kaki renang (dactylus dan propondus) berbentuk pipih.

Pasangan kaki renang digunakan sebagai alat bantu semacam dayung saat

berenang (Siahainenia, 2009)

10
Siklus Hidup Kepiting

Gambar 7. Siklus Hidup Kepiting Bakau

(Sumber : Pratiwi, 2011)


Perkembangan kepiting bakau dimulai dari telur hingga mencapai ukuran

dewasa dan mengalami beberapa kali perubahan (metamorfosis). tingkat

perkembangan antara lain, tingkat zoea yang terdiri atas 5 tingkatan untuk

perkembangan tingkat zoea seluruhnya memerlukan waktu minimal 18 hari,

tingkat megalopa melalui lima kali pergantian kulit (molting), crablet, dan

kepiting dewasa. Larva kepiting bakau stadia zoea bersifat plantonik, namun

setelah mencapai stadia megalopa sampai dewasa bersifat bentik dan suka

membenamkan diri kedalam pasir atau lumpur (Fujaya et al., 2012).

Siklus hidup kepiting bakau meliputi empat tahap (stadia) perkembangan

yaitu: tahap larva (zoea), tahap megalopa, tahap kepiting muda (juvenil) dan tahap

kepiting dewasa Pada stadia megalopa, tubuh kepiting bakau belum terbentuk

secara sempurna. Meskipun telah terbentuk mata, capit (chela), serta kaki yang

lengkap, namun tutup abdomen (abdomen flap) masih menyerupai ekor yang

panjang dan beruas Selain itu, pasangan kaki renang belum terbentuk sempurna,

11
karena masih menyerupai kaki jalan dengan ukuran yang panjang. Memasuki

stadia kepiting muda (juvenil), tubuh kepiting bakau mulai terbentuk sempurna.

Tutup abdomen telah melipat ke arah belakang (ventral) tubuh, sedangkan ruas

terakhir pasangan kaki renang mulai pendek dan memipih. Meskipun demikian,

tubuh masih berbentuk bulat dengan bagian-bagian tubuh yang tidak proporsional.

Hal ini terlihat pada bentuk mata yang membesar dengan tangkai yang pendek,

sehingga memberikan kesan melekat pada tubuh. Secara umum, tubuh kepiting

bakau dewasa terbagi atas dua bagian utama, yaitu bagian badan dan bagian kaki,

yang terdiri atas sepasang cheliped, tiga pasang kaki jalan, dan sepasang kaki

renang (Kasry, 1986).

Kepiting bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan

mangrove,dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya,

kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut atau menjauhi pantai,

untuk mencari perairan yang parameter lingkungannya (terutama suhu dan

salinitas perairan) cocok sebagai tempat memijah. Kepiting bakau jantan setelah

melakukan perkawinan akan tetap berada di perairan butan mangrove, tambak

atau sela-sela perakaran mangrove (Pratiwi, 2011).

Kepiting bakau merupakan hewan yang khas di hutan bakau. Sejak muda

kepiting bakau telah menempati perairan dengan habitat berlumpur. Bila kondisi

mendukung, kepiting bakau dapat bertahan hidup hingga mencapai 3-4 tahun.

Sementara itu pada umur 12-14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat

dipijahkan. Kepiting bakau dewasa akan beruaya (migrasi) ke laut lepas untuk

melakukan pemijahan. Induk dan anak-anak kepiting akan kembali ke perairan

12
pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari

makan dan membesarkan diri (Hasnidar, 2018).

Molting Kepiting

Molting adalah proses terlepasnya cangkang lama yang keras dengan

cangkang baru. Cangkang baru berukuran lebih besar, berwarna pucat, dan lunak.

Aktivitas berlangsung hanya beberapa jam, masuknya sejumlah air dan mineral ke

dalam tubuh kepiting maka cangkang tersebut perlahan-lahan mengeras kembali.

Proses molting dimulai ketika sel-sel epidermal merespon perubahan hormonal

menuju sintesis protein. Pada awal proses molting terjadi retakan pada bagian

belakang kepiting. Retakan tersebut semakin membesar disertai upaya untuk

melepaskan diri dari cangkang lama. Bagian abdomen terangkat, kaki renang

mulai terlepas dan capit ikut meninggalkan cangkang lama, cangkang lama

terpisah secara sempurna dari tubuh yang baru dengan cangkang baru yang mash

lunak. Setelah molting ukuran kepiting bertambah hingga 30%

(Fujaya et al., 2012).

Pertumbuhan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh molting karena

pertambahan bobot, panjang, dan lebar karapaks akan terjadi setelah molting.

Selama masa pertumbuhan menjadi dewasa, kepiting akan mengalami pergantian

kulit. Pada saat ganti kulit tubuh kepiting bakau seluruhnya akan lunak. Cangkang

baru tersebut berukuran lebih besar , berwarna pucat dan lunak. Aktivitas ini

berlangsung selama beberapa jam. Setelah cangkang lama terlepas, air akan

terakumulasi ke dalam darah dan kantung-kantung air di dalam tubuh kepiting

untuk membantu merentangkan cangkang yang masih lunak menjadi bentuk yang

lebih besar Selain itu untuk molting kepiting juga memerlukan kondisi lingkungan

13
yang mendukung. Salinitas adalah salah satu faktor yang mempengaruhi proses

molting pada kepiting bakau (Hasnidar, 2018)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi molting, yaitu eksternal dan

internal. Faktor Eksternal dari lingkungan seperti cahaya, salinitas, suhu, pH, DO

atau oksigen terlarut dan ketersediaan makanan. Pada faktor internal juga sangat

berperan pada ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang luas. Kedua faktor

ini akan mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan

hormone molting. Organ-Y adalah sumber hormone molting (Fujaya et al., 2012).

Teknik Popey

Prinsip budidaya kepiting soka adalah memelihara kepiting ditambak

sampai molting. Permasalahan pada molting kepiting bakau yang menghadang

kesuksesan budidaya kepiting cangkang lunak adalah molting. Molting yang tidak

bersamaan dibutuhkan waktu yang cukup banyak dengan waktu kerja panjang.

Untuk mempercepat proses molting dilakukan upaya metode pemotongan capit

dan kaki jalan dan metode popey (Widyastuti dan Husni, 2007).

Metode popey dilakukan dengan memotong semua kaki jalan kepiting,

sedangkan capit dan kaki renangnya dibiarkan. Pematahan atau pemotongan kaki

jalan yang dilakukan untuk mencegah keluarnya kepiting dari keranjang.

Sedangkan untuk capit dibiarkan hanya ujung capit yang dipotong, supaya

kepiting tidak bisa menggigit dan keluar dari kurungan. Saat molting capit

keliatan besar untuk harga kepiting lebih mahal dengan metode popey,

dikarenakan menarik perhatian konsumen sehingga harga lebih mahal

(Fujaya et al., 2012)

14
Teknik Mutilasi

Perlakuan mutilasi adalah secara sengaja mematahkan satu pasang capit

dan tiga pasang kaki jalan. Kepiting dimutilasi tepat di bagian pangkal kaki dan

capit dengan menggunakan tang ataupun gunting. Pangkal kaki jalan dan capit

pada kepiting terdapat hormone penghambat molting yaitu Molt Inhibiting

Hormone (MIH). Secara alami kepiting akan melepaskan sendiri keempat pasang

organ kakinya hanya dengan cara diganggu – ganggu saja dengan usaha

menghindar dari bahaya yang datang, seperti halnya cecak. Secara sengaja satu

pasang kaki renang tidak di ganggu sehinga kepiting masih bisa berenang mencari

makan agar tetap hidup sampai molting terjadi (Habibi et al.,2013)

Metode mutilasi biasanya melakukan pemotongan pada bagian organ kaki

jalan, capit dan kaki renang. Teknik ini merupakan upaya untuk meningkatkan

produk kepiting cangkang lunak (soka) karena dapat merangsang keluarnya

hormon exdecis untuk memicu terjadinya pergantian kulit dengan cepat. Hormon

yang menghambat kepiting bakau moulting terletak pada organ gerak kepiting

bakau. Bagi kepiting proses dari mutilasi merupakan proses alami yaitu usaha

menghindari bahaya dan regenerative dengan merangsang fisiologi hormonal

untuk menumbuhkan kembali anggota badan yang patah atau rusak pada proses

mutilasi diri sendiri. Naluri mutilasi diri sendiri dan menumbuhkan anggota tubuh

yang patah (body building) ini juga ada pada cecak (tetapi cecak tidak melakukan

molting untuk menumbuhkan anggota tubuhnya (Ariani et al., 2018)

Perlakuan mutilasi adalah secara sengaja mematahkan satu pasang capit

dan tiga pasang kaki jalan. Secara sengaja satu pasang kaki renang tidak di

ganggu sehinga kepiting masih bisa berenang mencari makan agar tetap hidup

15
sampai molting terjadi. Bagi kepiting proses dari mutilasi merupakan proses alami

yaitu usaha menghindari bahaya dan regenerative dengan merangsang fisiologi

hormonal untuk menumbuhkan kembali anggota badan yang patah atau rusak

pada proses mutilasi diri sendiri (Khairiah et al., 2012).

Karakteristik Parameter Perairan

Suhu

Kualitas air merupakan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh

terhadap fisiologi organisme perairan. Pertumbuhan kepiting juga dipengaruhi

oleh suhu. Suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi

aktivitas kelangsungan hidup, pertumbuhan dan molting krustasea. Secara umum

laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu sampai pada batas

tertentu. Suhu optimum untuk kepiting adalah 25-35°C (Fujaya et al., 2012).

Suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas dan nafsu makan

kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20ºC akan mengakibatkan

aktifitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu

pertumbuhan akan berhenti walaupun kepiting masih dapat tetap hidup.

Disamping kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi

pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau.

Kepiting bakau tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisaran suhu 23-32°C.

Diantara faktor-faktor lingkungan, suhu merupakan faktor yang paling

berpengaruh pada pertumbuhan dan molting (Katiandagho, 2014)

Salinitas

Salinitas merupakan salah satu faktor bagi organisme akuatik yang dapat

memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang

16
berdampak terhadap organisme. Proses metabolisme kepiting yang dapat

berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan

kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk

metabolisme dapat diminimalisir (Sagala et al., 2013)

Salinitas merupakan gambaran jumlah kelarutan garam atau konsentrasi

ion-ion dalam air. Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang

berpengaruh penting terhadap organisme akuatik. Salinitas optimal untuk

budidaya kepiting bakau adalah berkisar antara 15-30 ppt tergantung spesies

tersebut. Informasi tentang penurunan salinitas diperlukan karena akan

memberikan dampak pertumbuhan yang maksimum pada kepiting bakau

berkaitan dengan proses osmoregulasinya, dan penerapan selanjutnya di

lingkungan tambak (Fujaya et al., 2012).

pH

pH( per hydronium ion atau power of hydrogen) atau derajat keasaman

merupakan suatu indeks kadar ion hidrogen (H+) yang terlarut dalam air.

Digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman dan kebasaan yang dimiliki oleh

suatu perairan. Tinggi rendahnya pH suatu perairan dipengaruhi oleh fluktuasi

kandungan oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2). Perubahan pH dapat

berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap organisme akuatik.

Pengaruh langsung antara lain adalah mengurangi produktivitas primer dan dapat

menyebabkan kematian organisme. Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah

perubahan toksisitas zat kimia tertentu, contohnya semakin tinggi pH dan suhu air

maka toksisitas amoniak meningkat. Nilai pH pada media budidaya kepiting lunak

sebaiknya dipertahankan antara pH 6,8-8,2 (Hasnidar, 2018)

17
Media pH yang optimum akan memberikan dampak pertumbuhan yang

maksimum pada kepiting bakau karena berkaitan dengan derajat keasaman dan

kebasaan di dalam perairan. pH di dalam perairan akan berpengaruh besar

terhadap kelangsungan hidup kepiting bakau S. serrata. Oleh sebab itu, penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui nilai pH optimum pada media pemeliharaan untuk

menunjang kinerja pertumbuhan kepiting bakau S. serrata (Hastuti et al., 2016)

Disolved Oksigen ( DO)

Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen didalam perairan yang tersedia

untuk kepiting. Oksigen sangat penting untuk pertumbuhan kepiting. Konsentrasi

oksigen terlarut yang baik adalah >5,0 ppm. Dibawah 3,0 ppm molting beberapa

menjadi lambat dan dibawah 2,0 ppm kepiting tidak aka nada yang molting. Oleh

karena itu, pentingnya kondisi kualitas air tetap terjaga agar usaha budidaya dapat

berhasil maka pengelolaan kualitas air tambak selama pemeliharaan sangat

diperlukan (Hasnidar, 2018)

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) dibutuhkan oleh semua jasad hidup

untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian

menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Kisaran Oksigen terlarut menunjukkan

kisaran yang rendah pada pagi hari dan tinggi pada sore hari. Kisaran oksigen

yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kematian pada

Kepiting bakau, kematian beberapa ekor kepiting uji pada saat pagi hari

mengindikasikan hal tersebut (Katiandagho, 2014).

18
BAB III
METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus

tahun 2019. Penelitian dilaksanakan di kolam Tambak Desa Sei Bilah Kabupaten

Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada

Gambar 8.

Gambar 8. Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah keramba sebagai tempat

pemeliharaan, gunting sebagai alat untuk memotong kaki kepiting, ember sebagai

wadah kepiting, Global Positioning System (GPS) sebagai penentu titik kordinat

penelitian, alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan (Lampiran 2). Termometer

19
untuk mengukur suhu, pH meter unruk mengukur pH perairan, refraktometer

untuk mengukur salinitas perairan, dan DO meter untuk mengukur DO perairan

tambak, kamera sebagai dokumentasi (Lampiran. 4)

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kepiting bakau sebagai

bahan uji, ikan rucah sebagai pakan, air sebagai media pemeliharaan (lampiran. 3)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan berupa

pemikiran dan tindakan yang dipersiapkan secara kritis dan seksama mengenai

berbagai aspek yang dipertimbangkan dan sedapat mungkin diupayakan kelak

dapat diselenggarakan dalam suatu percobaan dalam rangka menemukan sesuatu

pengetahuan baru. Semua pemikiran, perkiraan, pedoman dan rencana itu

dituangkan dalam suatu rancangan percobaan, yang seharusnya dibuat sebelum

percobaan dilakukan. Rancangan Percobaan yang baik adalah yang efektif,

terkelola dan efesien serta dapat dipantau, dikendalikan dan dievaluasi

(Bangun, 1991). (Lampiran. 1)

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan Rancangan

Blok Acak Lengkap (RBAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan masing-masing 4

ulangan. Perlakuan terdiri dari :

Perlakuan A : kepiting yang tidak dipotong capit dan kaki jalan (alami)

Perlakuan B : kepiting yang dipotong seluruh capit dan kaki jalan (mutilasi)

Perlakuan C : kepiting yang dipotong sebagian yakni pada kaki jalan (popey)

Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan adalah keramba bambu berukuran 150 cm x 120 cm

sebanyak 120 buah petakan - petakan kecil dengan ukuran (15cm x 15

20
cm/petakan). Keramba dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan dengan

cara dicuci dan dikeringkan selama 2 hari untuk membunuh patogen-patogen yang

berbahaya bagi kepiting. Selanjutnya, keramba dipasang pada tambak dan

dilakukan perendaman selama 3 hari di dalam tambak sebelum dimasukkan

kepiting. Setiap petakan kecil keramba berisi 1 ekor kepiting bakau. Kemudian

diapungkan atau ditenggelamkan sedalam 4 cm ke dalam air tambak atau

setengah dari tinggi keramba bambu sebagai media pemeliharaan kepiting bakau

sesuai dengan metode yang telah ditetapkan. (Lampiran. 5)

Penebaran Hewan Uji

Hewan uji berasal dari hasil tangkapan alam yang telah melalui proses seleksi

terlebih dahulu dengan bobot tubuh rata-rata 80gr/ekor dan lebar karapas

8cm/ekor dengan padat tebar yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1ekor/petakan keramba. Jumlah hewan uji yang digunakan adalah 120 ekor.

Setelah itu dilakukan pengukuran panjang dan bobot kepiting bakau sebagai

data awal sebelum dilakukan pemotongan. Hewan uji ditebarkan kedalam

keramba dengan 3 perlakuan 4 ulangan. Sebelum dimasukkan ke dalam wadah

pemeliharaan, kepiting dilakukan pemotongan capit, kaki jalan menggunakan

gunting sesuai perlakuan yang akan digunakan. Perlakuan alami, benih kepiting

tidak dilakukan pemotongan baik kaki jalan maupun capit sehingga pemeliharaan

kepiting dilakukan secara alami. Metode popey dilakukan dengan memotong

semua kaki jalan kepiting, sedangkan capit dan kaki renangnya dibiarkan.

Mutilasi yaitu dengan memotong semua bagian capit dan kaki jalan menggunakan

gunting pada ujung sehingga pangkal kaki jalan patah dengan sendirinya.

(Lampiran 6)

21
Sebelum hewan uji dimasukkan, dilakukan pengukuran kualitas parameter

perairan pada tambak yang meliputi suhu, DO, pH, dan salinitas. Kemudian

dimasukkan ke dalam masing-masing kotak keramba. Waktu tebar hewan uji

adalah sore hari karena menghindari panas dari paparan sinar matahari langsung

dan suhu air cenderung stabil dan tidak membuat kepiting stress

(Fujaya et al., 2012)

Pemberian Pakan

Pemberian pakan dilakukan setelah dua hari dari waktu penebaran benih ke

keramba. Pakan yang diberikan berupa ikan Tamban yang telah dipotong-potong

dengan ukuran 2 cm. Dengan pemberian pakan 5% dari bobot hewan uji. Ikan

Tamban tersebut didapatkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pakan diberikan

dengan frekuensi satu kali dalam 2 hari, yaitu sore pukul 16.00 WIB sampai pukul

17.00 WIB (Lampiran. 6)

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah : a) derajat

kelangsungan hidup kepiting b) laju pertumbuhan bobot c) jumlah kepiting

molting terhadap waktu d) porsentase molting e) mortalitas f) parameter fisika

kimia perairan.

Kelangusungan hidup kepiting dilihat dari jumlah kepiting yang berhasil

hidup dan melakukan molting selama pemeliharaan. Laju pertumbuhan bobot spesifik

(spesific growth rate) dihitung dari nilai bobot kepiting sebelum ditebar dan setelah

mengalami proses molting serta jangka waktu pencapaian molting. Persentase

molting dihitung dari awal sampai akhir penelitian yang melakukan molting pada

setiap perlakuan.

22
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan dari awal sampai akhir

pemeliharaan yang meliputi parameter suhu, kandungan oksigen terlarut (DO),

pH, dan salinitas. Pengukuran kualitas air untuk pH dan Suhu dilakukan setiap

hari sedangkan untuk DO dan salinitas sebanyak empat kali dengan interval waktu

± 7 hari selama 1 bulan (disesuaikan dengan pemasukan kepiting kedalam kolam

dan pengukuran setelah moulting) dengan peralatan sesuai dengan Tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Parameter Kualitas Air

Parameter Satuan Alat Ukur


o
Suhu C Termometer digital

Oksigen Terlarut (DO) mg/L DO-meter

pH - pH-meter

Salinitas ‰ Refraktometer

Analisis Data

1. Derajat kelangsungan hidup

Derajat kelangsungan hidup (survival rate) dihitung dari data jumlah

kepiting pada awal dan akhir perlakuan. Pengamatan dilakukan setiap 7 hari

sekali. Tingkat derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) diukur dengan

menggunakan rumus menurut (Effendi, 1978):

SR = (Nt / No) x 100%

Keterangan:

SR = Derajat kelangsungan hidup (%)

No = Jumlah kepiting awal penelitian (ekor)

Nt = Jumlah kepiting akhir penelitian (ekor)

23
2. Peningkatan Bobot

Pengukuran bobot kepiting menggunakan timbangan. Bobot kepiting

ditimbang kemudian dicatat. Peningkatan bobot menggunakan rumus

pertumbuhan menurut Effendie (1997) yaitu :

W = Wt - W0

Keterangan :

W = Peningkatan bobot ikan (gr)

Wt = Bobot akhir pada waktu molting (gr)

W0 = Bobot awal kepiting (gr)

3. Jumlah Kepiting Molting Terhadap Waktu Pemeliharaan

Jumlah kepiting molting terhadap waktu pemeliharaan dihitung dari

jumlah kepiting yang ditebar pada setiap perlakuan dan dilihat perlakuan yang

paling cepat molting atau ganti kulit tiap harinya.

4. Persentase Molting

Pengamatan molting dilakukan setiap minggu menghitung berapa jumlah

kepiting yang ganti kulit (molting) dan dilihat setiap perlakuan yang lebih tinggi

persentase moltingnya

Jumlah Hewan Uji yang Molting


Prosentase Molting = x 100%
Jumlah Hewan Uji

5. Mortalitas

Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian dalam suatu populasi.

Mortalitas hewan uji dihitung setiap perlakuan dengan menggunakan rumus :

Jumlah Hewan Uji yang Mati


Mortalitas = x 100%
Jumlah Hewan Uji

24
6. Analisis ANOVA SPSS

Analisis yang digunakan terhadap data yang dikumpulkan adalah Analisis

Of Varians (ANOVA), untuk mengetahui pengaruh perbedaan teknik molting

terhadap Survival Rate. Analisis ini dilakukan menggunakan sofware SPSS.

Selanjutya untuk mengetahui diterima tidaknya hipotesis yang diajukan maka

dilakukan uji statistik duncan. Menurut Bangun (1991) yakni dengan

menggunakan uji F dengan membandingkan nilai F hitung (Fh) dengan F table

pada taraf 0,05 sebagai berikut :

 H0 diterima dan H1 ditolak : Berarti ketiga perlakuan yang berbeda tidak

menunjukkan pengaruh nyata (tidak signifikan) terhadap molting kepiting

bakau

 H0 ditolak dan H1 diterima : Berarti ketiga perlakuan yang berbeda

menunjukkan pengaruh nyata (signifikan) terhadap molting kepiting

bakau.

25
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data berupa derajat kelangsungan

hidup (%), Peningkatan berat tubuh (gr), jumlah kepiting molting terhadap waktu,

mortalitas (%), prosentase molting (%), serta data hasil pengamatan parameter

fisika-kimia air selama pemeliharaan.

Derajat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup kepiting selama 40 hari pemeliharaan

menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan popey sebesar 92,5%

kemudian mutilasi sebesar 87,5%, dan terendah pada perlakuan alami sebesar

50% seperti pada Gambar 10. Data tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau

pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 10. Tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau setiap perlakuan dan
ulangan selama 40 hari pemeliharaan

Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh kelangsungan hidup kepiting

bakau (Syclla serrata) pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari maka

26
dilakukanlah dengan uji ANOVA. Hasil analisis data ANOVA pada SPSS

menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata (P>0,05)

terhadap pertambahan bobot kepiting bakau. Analisis Variansi (ANOVA)

kelangungan hidup dengan menggunkana Stastical Pakage of Social Science

(SPSS) yang dapat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap

kelangsungan hidup kepiting, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji Analisis Variansi (ANOVA) terhadap kelangsungan hidup


kepiting bakau (Syclla serrata)
ANOVA
Sum of df Mean Square F Sig.
Squares
4316.667 2 2158.333 12.532 .003**
Between Groups

Within Groups 1550.000 9 172.222


Total 5866.667 11
Keterangan :
** : < 0.05 atau sangat berpengaruh
* : > 0.05 atau berpengaruh

Dari hasil rata-rata kelangsungan hidup kepiting bakau setiap perlakuan

menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata dan pengaruh

nyata dari perbedaan notasi huruf yang berbeda. Analisis Duncan kelangungan

hidup dengan menggunkana Stastical Pakage of Social Science (SPSS) yang dapat

menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap kelangsungan hidup kepiting.

Dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Nilai sig sumber variansi kelangsungan

hidup memberikan perlakuan yang berbeda terhadap kehidupan kepiting.

Kelangsungan hidup kepiting yang paling efektif adalah pada perlakuan popey

dan mutilasi (karena memiliki pengaruh yang lebih besar dengan notasi tertinggi).

27
Tabel 3. Hasil Perhitungan rata-rata terhadap kelangsungan hidup kepiting bakau
(Syclla serrata) setiap minggu selama 40 hari pemeliharaan

Hari ke-

Perlakuan
7 14 21 28 35 40
P1
39.25±2.619a 36.50 ± 2.619a 36.00 ± 2.619a 35.25 ± 2.619a 35.25± 2.619a 35.25 ±2.619a
(Alami)
P2
40.00 ± 0b 39.50 ± 2.619b 39.50 ± 2.619b 38.75 ± 2.619b 38.75 ± 2.619b 38.75± 2.619b
(Mutilasi)
P3
40.00 ± 0b 39.25 ± 2.619b 38.50 ±2.619ab 38.50 ± 2.619b 38.50 ± 2.619b 38.50 ±2.619b
(Popey)
Keterangan : a dan b ; perbedaan notasi huruf menyatakan adanya perbedaan yang
signifikan antar interaksi perlakuan

Laju Pertumbuhan Berat Kepiting

Hasil pengamatan berat tubuh kepiting bakau yang dilakukan setiap

minggu menunjukkan pola pertumbuhan yang terus meningkat pada perlakuan

alami, mutilasi dan popey pada seluruh organ gerak hingga pada akhir penelitian.

Rata-rata pertambahan berat tertinggi selama penelitian terdapat pada perlakuan

alami dari 80gr menjadi 109.375gr , kemudian diikuti perlakuan Popey dari 75 gr

menjadi 99,4 gr dan berat terendah pada perlakuan mutilasi dari 70 gr menjadi

94,225 gr. Hasil nilai rata-rata pertambahan berat harian selama 40 hari

pemeliharaan kepiting dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Rata-rata berat harian kepiting pada setiap perlakuan dan ulangan
selama 40 hari pemeliharaan

28
Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan bobot kepiting

bakau (Syclla serrata) pada setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari maka

dilakukanlah dengan uji ANOVA. Hasil analisis data ANOVA pada SPSS

menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata (P>0,05)

terhadap pertambahan bobot kepiting bakau. Analisis Variansi (ANOVA)

kelangungan hidup dengan menggunkana Stastical Pakage of Social Science

(SPSS) yang dapat menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap

kelangsungan hidup kepiting, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji analisis variansi (ANOVA) terhadap pertumbuhan berat tubuh
kepiting bakau (Syclla serrata)
ANOVA
Berat Tubuh
Sum of df Mean Square F Sig.
Squares
478.802 2 239.401 4814.765 .000**
Between Groups

Within Groups .448 9 .050


Total 479.249 11
Keterangan :
** : < 0.05 atau sangat berpengaruh
* : > 0.05 atau berpengaruh

Dari hasil rata-rata pertumbuhan bobot kepiting bakau setiap perlakuan

menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata dari

perbedaan notasi huruf yang berbeda. Analisis rata-rata pertumbuhan bobot

dengan menggunkana Stastical Pakage of Social Science (SPSS) yang dapat

menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap pertumbuhan bobot. Nilai sig

sumber variansi berat kepiting bakau memberikan perlakuan yang berbeda

terhadap pertumbuhan berat tubuh kepiting. Pertumbuhan berat kepiting yang

paling efektif adalah pada perlakuan alami (karena memiliki pengaruh yang lebih

besar dengan notasi tertinggi). Dapat dilihat pada Tabel 5.

29
Tabel 5. Hasil uji rata-rata terhadap pertumbuhan berat tubuh kepiting bakau
(Syclla serrata)
Hari ke-
Perlakuan
7 14 21 28 35 40
P1
84.42 ±2.619c 87.72±2.619c 89.757±2.619c 94.50 ±2.619c 99.45 ± 2.619c 109.45 ± 2.619c
(Alami)
P2
74.25±2.619a 77.75±2.61a 79.675±2.619a 84.425 ± 2.619a 89.425±2.619a 94.2250 ± 2.619a
(Mutilasi)
P3
79.575±2.619b 81.55±2.619b 84.425±2.619b 89.575± 2.619b 94.625±2.619b 99.45 ± 2.619b
(Popey)
Keterangan : a, b, c ; perbedaan notasi huruf menyatakan adanya perbedaan yang
signifikan antar interaksi perlakuan

Jumlah Kepiting Molting

Data jumlah kepiting molting terhadap waktu pemeliharaan selama 40 hari

pada ketiga perlakuan. Berdasarkan gambar terlihat bahwa pada perlakuan

mutilasi jumlah kepiting molting tertinggi terdapat pada hari ke-28 yakni

sebanyak 18 ekor. Pada perlakuan popey jumlah kepiting molting tertinggi

terdapat pada hari ke-28 sebanyak 26 ekor dan pada perlakuan alami jumlah

kepiting molting terdapat pada hari ke 35 sebanyak 7 ekor. Molting pertama kali

terjadi yakni pada hari ke-8 sampai hari ke-40, selama pemeliharaan 40 hari

lamanya.

Gambar 13. Jumlah kepiting molting perhari setiap perlakuan dan ulangan
selama 40 hari pemeliharaan

30
Mortalitas

Data jumlah kepiting mortalitas setiap minggu terhadap waktu

pemeliharaan selama 40 hari didapat tingkat mortalitas paling tinggi pada

perlakuan alami di hari ke 14 dengan nilai 27,5%. Pada perlakuan mutilasi

tertinggi terjadi pada hari ke 28 dengan nilai 7,5%. Dan pada perlakuan popey

tertinggi terjadi pada hari ke 14 dengan nilai 7,5%.

Gambar 14. Jumlah kepiting mortalitas perminggu terhadap waktu pemeliharaan


setiap perlakuan dan ulangan selama 40 hari pemeliharaan

Prosentase Molting

Pada prosentase molting kepiting bakau dapat kita lihat pada ketiga

perlakuan yaitu alami, mutilasi, dan popey. Dari hasil yang didapat perlakuan

popey memiliki prosentase molting tertinggi pada hari ke-28 yaitu dengan jumlah

65%. Pada perlakuan alami memiliki prosentase molting tertinggi terjadi pada hari

ke-35 dengan jumlah 17,5% dan pada perlakuan mutilasi prosentase molting

tertinggi terjadi pada hari ke-28 dengan jumlah 45%.

31
Gambar 15. Persentase molting kepiting bakau perminggu pada perlakuan dan
ulangan selama 40 hari pemeliharaan

Parameter Kualitas Air

Pertumbuhan molting kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kualitas air.

Parameter yang diukur selama penelitian meliputi salinitas, suhu, pH dan

kandungan oksigen terlarut (DO). Hasil parameter suhu dengan nilai rata-rata

30.85, pH dengan nilai rata-rata 7.29, DO dengan nilai rata-rata 5.77, dan salinitas

dengan nilai rata-rata 25.85. Data pengamatan kualitas air selama penelitian dapat

dilihat pada Table 6.

Tabel 6. Hasil pengukuran kualitas air minimum dan maksimum selama 40 hari
pemeliharaan
Hari Ke-
Parameter Rata-rata
Kualitas air 7 14 21 28 35 40

Suhu 30 30.03 30.02 30.08 33.8 31.2 30.85

Ph 7.37 7.37 7.38 7.37 7.16 7.14 7.29

DO 6.35 4.9 5.98 5.86 5.36 6.2 5.77

Salinitas 25.93 25.43 26.26 25.76 26.26 25.5 25.85

32
Pembahasan

Derajat Kelangsungan Hidup

Pengamatan terhadap tingkat kelangsungan kepiting bakau dilakukan

dengan cara mengamati dan menghitung jumlah kepiting bakau pada awal dan

akhir penelitian. Tingkat kelangsungan hidup kepiting selama penelitian berkisar

antara 50%-92,5%. Hasil analisis variansi (ANOVA) pada lampiran 7

menunjukkan bahwa setiap perlakuan yang ada dalam media pemeliharaan yaitu

P1, P2 dan P3 memberi pengaruh yang sangat nyata dan pengaruh nyata terhadap

tingkat kelangsungan hidup kepiting sehingga uji ANOVA tidak dapat dilanjutkan

untuk melihat perbedaan antar perlakuan.

Derajat kelulusan hidup adalah perbandingan antara jumlah individu yang

hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal

percobaan. Kelulusan hidup merupakan peluang hidup dalam suatu saat tertentu.

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANOVA) Pada kelangsungan hidup kepiting

bakau perlakuan alami, mutilasi, dan popey memberikan pengaruh terhadap

derajat kelangsungan hidup (SR) yaitu 50%-92,5% (0,03>0,05). Rendahnya nilai

derajat kelangsungan hidup kepiting bakau pada perlakuan alami ini disebabkan

karena faktor kondisi media pemeliharaan dan ukuran tubuh kepiting yang kurang

cocok dengan keadaan tempat kepiting hidup. Wadah yang digunakan adalah

wadah bambu dengan petakan kecil yang membuat kepiting yang hiperaktif

menjadi stress. Namun, tingkat stres yang dialami kepiting diduga masih berada

pada level yang dapat ditoleransi sehingga tidak menyebabkan kepiting mati

seluruhnya. Hal ini sesuai dengan Fujaya et al (2012) yang menyatakan bahwa

ada beberapa faktor yang mempengaruhi molting yaitu informasi eksternal dan

33
internal. Selain itu juga informasi internal sangat berperan antara lain ukuran

tubuh yang membutuhkan tempat yang lebih luas.

Pemberian pakan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup

kepiting bakau. Kebiasaan makan alamiah kepiting menjadikan kepiting tidak

memilih-milih makanan. Namun pada pemeliharaan pakan yang digunakan adalah

pakan alami dari sumber hewani yaitu ikan tamban. Pemberian pakan dilakukan 2

hari sekali dikarenakan memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan

molting. Pemberian pakan yang berlebihan dapat menyebabkan kerugian dari segi

pembiayaan dan juga merusak kualitas air. Kualitas air yang buruk sangat

mempengaruhi kelangsungan hidup kepiting bakau. Adapun hasil yang didapat

dinyatakan bahwa pemberian pakan masih dalam proses terkontrol dengan baik,

sehingga dapat mendukung peningkatan kelulusan kepiting bakau. Menurut

Watanabe (1998) dalam Siregar dan Adelina (2009) bahwa kelulushidupan dapat

dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik terdiri dari umur dan

kemampuan biota dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, sedangkan faktor

abiotik antara lain ketersediaan makanan dan kualitas media hidup. Ketersediaan

makanan dalam penelitian ini diduga cukup untuk memenuhi kebutuhan kepiting

bakau dalam mempertahankan diri, serta kualitas air media budidaya masih dalam

kisaran kelayakan sehingga dapat mendukung peningkatan kelulushidupan

kepiting bakau.

Laju Pertumbuhan Bobot Kepiting

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya volume dan berat suatu

organisme yang dapat dilihat dari satuan waktu. Berdasarkan penelitian dilakukan

40 hari diperoleh bahwa masing-masing perlakuan menunjukkan perubahan berat

34
yang berbeda-beda. Rata-rata pertambahan berat tertinggi selama penelitian

terdapat pada perlakuan alami dari 80 gr menjadi 109.375 gr , kemudian diikuti

perlakuan Popey dari 75 gr menjadi 99,4 gr dan berat pada perlakuan mutilasi

dari 70 gr menjadi 94,225 gr. Pertambahan bobot tubuh terjadi setelah terjadinya

molting atau pergantuan kulit lama dengan yang baru kemudian kepiting akan

menyerap air. Menurut pendapat Fujaya (2012) menyatakan bahwa setelah

molting ukuran kepiting akan bertambah hingga 30%.

Makanan merupakan salah satu dari faktor yang paling berpengaruh

terhadap pertumbuhan. Makanan yang cocok diberikan adalah ikan tamban

sebagai pakan alami dalam penelitian ini selain karena disukai kepiting juga

karena kandungan nutrisinya, mudah dicerna dan sesuai kebiasaan makan kepiting

bakau. Hal ini didukung oleh Septian et al. (2013) yang menyatakan bahwa pakan

ikan rucah segar mudah tenggelam sehingga peluang dimakan kepiting lebih besar

karena kepiting lebih suka mencari makan pada dasar. Selain itu ikan rucah

memiliki daging yang empuk sehingga kepiting bakau mudah untuk memotong

dan merobeknya.

Pakan yang digunakan adalah ikan tamban. Pakan ikan tamban didapatkan

dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) babalan. Pakan diberikan dengan frekuensi

satu kali 2 hari pada pukul 16.00 WIB dengan jumlah pakan yang diberikan 5%

dari bobot tubuh kepiting. Sebelum penebaran, benih kepiting dipuasakan selama

satu hari terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan benih kepiting masih berada pada

tingkat stres yang tinggi akibat perubahan salinitas perlakuan. Hal ini di dukung

oleh (Ghiasvand et al., 2012) secara fisiologis, pertumbuhan hanya dapat terjadi

apabila terdapat kelebihan energi, setelah energi melalui pakan yang dikonsumsi.

35
Terjadinya perubahan kondisi lingkungan terutama salinitas akan memengaruhi

jumlah energi yang digunakan terutama untuk keperluan osmoregulasi.

Bobot kepiting bakau pada perlakuan alami lebih cepat meningkat dari

pada perlakuan mutilasi dan popey, disebabkan oleh faktor pakan yang dimakan

oleh kepiting. Kepiting bakau pada perlakuan alami juga masih memiliki organ

kaki capit, kaki jalan, dan kaki renang yang masih lengkap atau tidak dilakukan

autotomi (pemotongan organ tubuh) sehingga kepiting masih mampu mengambil

dan memegang makanannya sendiri. Menurut Airani (2018) menyatakan bahwa

kepiting yang masih mempunyai capit, kaki jalan, dan kaki renang masih bisa

memegang makanan yang diberi dan dimakan. Pakan yang masuk kedalam tubuh

lebih optimal dan tidak bersisa dan terbuang.

Jumlah Kepiting Molting Terhadap Waktu

Data jumlah kepiting molting terhadap waktu pemeliharaan selama 40 hari

pada ketiga perlakuan. Berdasarkan hasil yang tertera pada Gambar 13 terlihat

bahwa pada perlakuan Mutilasi jumlah kepiting molting tertinggi terdapat pada

hari ke-28 yakni sebanyak 18 ekor. Pada perlakuan popey jumlah kepiting molting

tertinggi terdapat pada hari ke-28 sebanyak 26 ekor dan pada perlakuan alami

jumlah kepiting molting terdapat pada hari ke 35 sebanyak 7 ekor. Molting

pertama kali terjadi yakni pada hari ke-8 sampai heri ke-40, selama pemeliharaan

40 hari lamanya. Dari hasil yang telah dilakukan diperoleh perlakuan mutilasi dan

popey melakukan proses molting lebih cepat dan jumlahnya banyak. Sedangkan

pada perlakuan alami jumlah molting sedikit dan menghabiskan waktu lama

dalam pemeliharaan. Sehingga pengusaha tambak kepiting lebih banyak

menggunkan pemotongan kaki jalan dan capit untuk menghasilkan proses molting

36
yg optimal dan efisien dalam biaya. Menurut Hasnidar (2018) menyatakan bahwa

untuk menghasilkan proses molting yang optimal dan ekonomis terus dilakukan.

Perlakuan pada kepiting maupun pemanfaatan faktor alam diharapkan

menghasilkan proses molting yang efisien dengan biaya yang murah. Upaya untuk

mempercepat molting dilakukan berbagai upaya yaitu dengan teknik pemotongan

capit dan kaki jalan untuk merangsang hormon.

Hasil pengamatan selama penelitian diperoleh waktu paling cepat kepiting

molting yaitu pada perlakuan mutilasi, hal ini desebabkan karena perlakuan

mutilasi dapat lebih cepat merangsang organ tubuh kepiting untuk tumbuh

kembali lebih cepat dibagian tubuh yang rusak dan hilang dibandingkan perlakuan

lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Husni et al. (2006) yang menyatakan

bahwa secara biologis pematahan capit dan kaki jalan dapat merangsang organ

tubuh kepiting untuk tumbuh kembali. Setelah capit dan kaki jalan kepiting lepas,

kepiting akan terangsang untuk memperbaiki fungsi morfologi tubuhnya dengan

cara melakukan pergantian kulit sehingga akan terbentuk bagian tubuh yang baru

berupa kepiting yang bercangkang lunak.

Mortalitas

Data jumlah kepiting mortalitas setiap minggu terhadap waktu

pemeliharaan selama 40 hari didapat tingkat mortalitas paling tinggi pada

perlakuan alami di hari ke 14 dengan nilai 27,5%. Pada perlakuan mutilasi

tertinggi terjadi pada hari ke 28 dengan nilai 7,5%. Dan pada perlakuan popey

tertinggi terjadi pada hari ke 14 dengan nilai 7,5%. Mortalitas tertinggi terjadi

pada hari ke 14 yang disebabkan karena cuaca yang tidak stabil dan sering terjadi

hujan pada malam hari sampai pagi hari, sehingga kepiting stress dan banyak

37
mati. Hujan yang turun dapat mempengaruhi kualitas perairan tidak stabil dan

kondisi salinitas perairan menurun. Menurut Hasnidar (2018) salinitas merupakan

salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh penting dalam pertumbuhan

organisme akuatik.

Kematian kepiting bakau perlakuan alami desebabkan adanya faktor

lingkungan pemeliharaan yang kurang baik hal ini diduga karena sangat banyak

tumbuhan lumut yang menempel pada wadah pemeliharaan dan bagian kerapaks

kepiting yang menyebabkan kepiting stress dan daya tahan tubuh terganggu dalam

keseimbangan fisiologisnya dan dapat mengakibatkan kematian. Lumut tumbuh

dikarenakan kecerahan air dan intensitas cahaya ditambak masih tinggi, dan lumut

melakukan aktivitas fotosintesis didalam tambak. Menurut Sagala (2013) bahwa

lumut yang tumbuh pada bagian tubuh kepiting dapat menghambat proses

pergantian kulit bahkan dapat mengakibatkan kematian.

Pada penelitian ini setiap unit perlakuan, dimana selama penelitian

ditemukan adanya kepiting bakau yang mengalami kematian dalam proses

moulting dan ada pula organisme uji yang berhasil dibudidayakan hingga

mencapai tahap pemanenan. Selanjutnya Kumlu dan Saglamtimur (2001),

menyatakan bahwa penyebab terjadinnya kegagalan moulting (Molt Death

Syndrome) pada kepiting bakau pada dasarnya disebabkan oleh kondisi

lingkungan yang hipo-osmotik, dimana pada kondisi lingkungan yang

hipoosmotik, kepiting bakau melakukan kerja osmotik yang tinggi sebagai respon

fisiologis untuk mempertahankan lingkungan internalnya, hal ini menyebabkan

terjadinnya peningkatan konsumsi oksigen, penurunan aktivitas makan dan

aktivitas rutinitas, yang secara langsung menyebabkan kepiting bakau kekurangan

38
bahkan kehilangan energi untuk proses ganti kulit, dengan kata lain bahwa

perbedaan sintasan masing-masing unit perlakuan disebabkan oleh tingginya

beban kerja osmotik sebagai respon fisiologis dalam proses osmoregulasi, yang

secara langsung berdampak pada disfungsi alokasi karbohidrat dan lemak sebagai

energi utama dan protein sebagai makromolekul tumbuh.

Tingkat kematian tertinggi terdapat pada perlakuan alami. Faktor yang

mempengaruhi adalah wadah yang tidak terlalu luas dengan adanya pergerakan

yang hiperaktif pada kepiting alami sehingga kemampuan biota tidak dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Adanya pergerakan diakibatkan masih

lengkapnya organ kaki capit, kaki jalan, dan kaki renang pada kepiting sehingga

kepiting lebih aktif dalam bergerak. Menurut Adelina (2019) menyatakan bahwa

pergerakan yang hiperaktif dan ketidakmampuan kepiting dalam menyesuaikan

diri dengan lingkungannya dapat menyebabkan kepiting stress dan mati.

Prosentase Molting

Pengamatan molting dilakukan setiap minggu menghitung berapa jumlah

kepiting yang ganti kulit (molting) selama 40 hari pemeliharaan. Pada prosentase

molting kepiting bakau dapat kita lihat pada ketiga perlakuan yaitu alami,

mutilasi, dan popey. Dari hasil yang didapat perlakuan popey memiliki prosentase

molting tertinggi pada hari ke-28 yaitu dengan jumlah 65%. Pada perlakuan alami

memiliki prosentase molting tertinggi terjadi pada hari ke-35 dengan jumlah

17,5% dan pada perlakuan mutilasi prosentase molting tertinggi terjadi pada hari

ke-28 dengan jumlah 45%. Persentase moulting individu yang tertinggi dicapai

dengan popey dan mutilasi. Menurut Ariani et al (2018) menyatakan bahwa

metode mutilasi biasanya melakukan pemotongan pada bagian organ kaki jalan,

39
capit dan kaki renang. Teknik ini merupakan upaya untuk meningkatkan produk

kepiting cangkang lunak (soka) karena dapat merangsang keluarnya hormon

exdecis untuk memicu terjadinya pergantian kulit dengan cepat.

Kualitas Air

pH

Pengukuran rata-rata pH selama penelitian berlangsung pada pagi hari

7.14, siang hari 7.38, dan sore hari 7.59, dengan rata-rata pH harian 7.37. Kepiting

merupakan organisme yang mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan

sehingga masih dijumpai pada berbagai kondisi pH perairan yang berbeda.

Kandungan pH pengukuran di lokasi penelitian masih memenuhi kriteria untuk

kehidupan kepiting bakau dan angka tersebut masih dalam kiasaran optimum

untuk memelihara kepiting bakau yaitu 6,5 - 9. Menurut Hastuti et al (2016)

Media pH yang optimum akan memberikan dampak pertumbuhan yang

maksimum pada kepiting bakau karena berkaitan dengan derajat keasaman dan

kebasaan di dalam perairan. pH di dalam perairan akan berpengaruh besar

terhadap kelangsungan hidup kepiting bakau S. serrata. pH air untuk

pemeliharaan kepiting bakau adalah 6,5 - 9.

Suhu

Pengukuran Suhu pada pagi hari 28,58oC, siang hari 30,55oC, dan sore

hari 31,10oC, dengan rata-rata suhu harian 30.08oC. dan dikategorikan dalam

kondisi suhu dapat ditoleransi oleh kepiting bakau dan dapat memenuhi kriteria

untuk kehidupan kepiting bakau. Menurut Fujaya (2012), suhu merupakan salah

satu faktor abiotik penting yang memengaruhi aktivitas, kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan molting krustase. Secara umum laju pertumbuhan meningkat

40
sejalan dengan kenaikan suhu sampai pada batas tertentu. Suhu optimum untuk

kepiting adalah 25oC-35oC.

Suhu memiliki pengaruh penting bagi kelangsungan hidup kepiting bakau

seperti dalam proses metabolisme dan pertumbuhan. Menurut Effendi (2003)

menyatakan bahwa suhu air mempunyai pengaruh besar pertukaran zat atau

metabolisme mahluk hidup diperairan. Selain mempunyai pengaruh pertukaran

zat, suhu juga berpengaruh terhadap kadar oksigen terlarut dalam air, semakin

tinggi suhu suatu perairan maka akan semakin cepat perairan tersebut mengalami

kejenuhan akan oksigen.

Perubahan suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme

bahkan dapat menyebabkan kematian. Suhu perairan dapat mengalami perubahan

sesuai dengan musim, letak lintang suatu wilayah, ketinggian dari permukaan laut,

letak tempat terhadap garis edar matahari, waktu pengukuran dan kedalaman air.

Hal ini sesuai dengan Silalahi (2010) yang menyatakan bahwa suhu air

mempunyai peranan penting dalam mengatur kehidupan biota perairan. Kenaikan

suhu menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen, namun di lain pihak

juga dapat mengakibatkan turunya kelarutan oksigen dalam air.

DO

Pada penelitian pengukuran DO pada pagi hari 5.034 mg/L, siang hari

6.088 mg/L dan sore hari 6.158 mg/L, dengan rata-rata 5,76 mg/L dan

dikategorikan dalam kondisi DO dapat ditoleransi oleh kepiting bakau.

Kandungan oksigen terlarut hasil pengukuran di lokasi penelitian masih

memenuhi kriteria untuk kehidupan kepiting bakau. Menurut Shelley dan

Lovatelli (2011), kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan maksimal kepiting bakau

41
adalah >5 mg/L, namun juga dinyatakan bahwa kepiting bakau memiliki toleransi

terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang rendah atau lebih kecil dari angka

tersebut.

Salinitas

Selama penelitian didapatkan hasil dari pengukuran salinitas yaitu 25.43 -

26.23‰ dan dikategorikan dalam kondisi salinitas dapat ditoleransi oleh kepiting

bakau. Kandungan salinitas hasil pengukuran di lokasi penelitian masih

memenuhi kriteria untuk kehidupan kepiting bakau. Menurut Fujaya (2012)

salinitas merupakan gambaran jumlah kelarutan garam atau konsentrasi ion-ion

dalam air. Salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh

penting dalam pertumbuhan organisme akuatik. Salinitas optimal untuk budidaya

kepiting bakau ditambak berkisar antara 15-30 ppt tergantung spesies.

Rendahnya salinitas pada perairan tambak dipengaruhi oleh curah hujan

yang sering terjadi di malam hari dan di pagi hari . Jika salinitas perairan tambak

rendah maka akan meghasilkan nilai kadar garam yang rendah. Perubahan nilai

salinitas di luar kisaran optimal dapat menyebabkan kepiting stress dan mati.

Menurut Hasnidar (2018) salinitas merupakan salah satu faktor lingkungan yang

berpengaruh penting dalam pertumbuhan organisme akuatik. Salinitas dipengaruhi

oleh pasang surut, curah hujan, penguapan, presipitasi dan topografi suatu

perairan. Kepiting termasuk organisme air yang toleran terhadap perubahan

salinitas, sehingga digolongkan sebagai hewan eurihalin.

42
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Waktu molting kepiting bakau pada perlakuan mutilasi waktu terbaik untuk

molting terjadi pada pukul 20.00-22.00 yang berjumlah 20 ekor. Pada

tingkat kelangsungan hidup (SR) kepiting selama 40 hari pemeliharaan

menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan popey sebesar 92,5.

Rata-rata bobot tertinggi selama penelitian terdapat pada perlakuan alami

dari 80gr menjadi 109.375gr. Mortalitas tertinggi selama pemeliharaan 40

hari terdapat pada perlakuan alami berjumlah 20 ekor. Total keseluruhan

mortalitas berjumlah 28 ekor dari jumlah awal 120 ekor menjadi 92 ekor

kepiting yang berhasil hidup. Perlakuan popey memiliki prosentase molting

tertinggi pada hari ke-28 yaitu dengan jumlah 65%.

2. Hasil perlakuan alami, mutilasi dan popey menunjukkan adanya pengaruh

terhadap waktu kepiting molting, survival rate (Kelangsungan hidup

kepiting), Laju pertumbuhan berat tubuh, Jumlah kepiting molting,

mortalitas dan persentase molting pada molting kepiting bakau (Scylla

serrata).

Saran

Perlu melakukan penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor apa saja yang

dapat mempengaruhi waktu molting kepiting bakau selain faktor-faktor yang telah

penulis teliti sebelumnya.

43
DAFTAR PUSTAKA

Ariani,N. K. S., M. Junaidi, dan A. Muklis. 2018. Comparison Of The Duration


Of Red Mangrove Crab (Scylla Olivacea) Moulting Using Various
Methods Of Mutilation. Universitas Mataram, Mataram 5 (1): 40-46

Bangun, M. K., 1991, Rancangan Percobaan. Fakultas Pertanian USU, Medan.

Bengen, D. G., A. Beland and P. Lim. 1992. Water Quality in Three Ancient
Arms of TheGeronne River, Spatio-Temporal Variabelity. Rev. Sci. Eau 5
(2): 131-156.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Effendi, M. I. 1978. Biologi Perikanan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.

Effendie, M. I. 1997. Metoda Perancangan Percobaan. CV Armico. Bandung. 472


hal.

Fujaya, Y., S. Aslamyah., E.F. Mallombasang dan N. Alam. 2012. Budidaya dan
Bisnis Kepiting Lunak dan Stimulasi Molting dengan Ekstrak Bayam.
Penerbit Brilian Internasional, Surbaya

Ghiasvand Z, Matinfar A, Valipour A, Soltani M, Kamali A. 2012. Evaluation of


different dietary protein and energy levels on growth performance and
body composition of narrow clawed crayfish Astacus leptodactylus.
Iranian Journal of Fisheries Sciences 11: 63−77.

Habibi, M.W., Dyah Hariani, dan Nur Kuswanti. 2013. Perbedaan Lama Waktu
Moulting Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dengan Metode Mutilasi
dan Ablasi. Lenterabio Vol. 2 No. 3 : 265-270 Hlm.

Hasnidar. 2018. Kepiting Bakau Dinamika Molting. Penerbit Plantaxia,


Yogyakarta.

44
Hastuti, Y. P. H. Nadeak, dan R. Affandi, Kurnia Faturrohman1. 2016. Optimum
pH Determination For Mangrove Crab Scylla Serrata Growth In
Controlled Containers. Jurnal Akuakultur Indonesia 15 (2):171–179

Husni, Y., R. Widyastuti., 2006. Pemanfaatan Tambak Udang “ Idle” untuk


Produksi Kepiting Cangkang Lunak (Shoft shell crab). Media Akuakultur
2:1.

Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bhatara. Jakarta.

Katiandagho, B. 2014. Analisis Fluktuasi Parameter Kualitas Air Terhadap


Aktifitas Molting Kepiting Bakau (Scylla Sp). Jurnal Ilmiah Agribisnis
Dan Perikanan (Agrikan Ummu-Ternate) Volume 7, Edisi 2.

Kumlu, M., O.T. Eroldogan and B. Saglamtimur. 2001. Effect of Salinity and
Added Substrates on Growth and Survival of Metapenaeus monoceros
(Decapoda: Penaeidae) post larvae. Aquaculture, 196: 177-188.

Pratiwi, R. 2011. Biologi Kepiting Bakau (Scylla Spp) di Perairan Indonesia.


Jurnal Oseana, Volume XXXVI (I):1-11

Sagala, L. S. S., M. Idris, dan M. N. Ibrahim. 2013. Perbandingan Pertumbuhan


Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina pada Metode Kurungan
Dasar. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3 : 46-54

Samidjan, I. dan D. Rachmawati. 2015. Rekayasa Budidaya Kepiting Bakau


Melalui Pemotongan Kaki Jalan dalam Upaya Peningkatan Produksi
Kepiting Soka (Soft Shell). Universitas Diponegoro, Semarang. Hal 103-
121

Septian, R., I. Samidjan, dan D. Rachmawati. 2013. Pengaruh Pemberian Kombinasi


Pakan Ikan Rucah dan Buatan Yang Diperkaya Vitamin E Terhadap
Pertumbuhan dan Kelulushidupan Kepiting Soka (Scylla paramamosain).
Journal of Aquaculture Management and Technology 2(1): 13–24.

Shelley, C. and A. Lovatelli. 2011. Mud crab aquaculture a practical manual.


FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper. 78p.

45
Siahainenia, L. 2009. (Morphological Structure of The Mud Crab, Scylla
paramamosain). Jurnal TRITON. 5: 11-21

Silalahi, J. 2009. Analisis Kualitas Air Dan Hubunga dengan Keanekaragaman


Vegetasi Akuatik di Perairan Balige Danau Toba. Sekolah Pasca Sarjana,
Universitas Sumatera Utara, Medan

Siregar, Y.I dan Adelina. 2009. Pengaruh Vitamin C terhadap Peningkatan


Hemoglobin (Hb) Darah dan Kelulushidupan Benih Ikan Kerapu Bebek
(Cromileptes altivelis). Jurnal Natur Indonesia XXI (1) : 75-81. 7 hlm.

Wahyuningsih, Y., Pinandoyo., dan L.L. Widowati. 2015. Pengaruh Berbagai


Jenis Pakan Segar Terhadap Laju Pertumbuhan dan Kelulushidupan
Kepiting Bakau (Scylla Serrata) Cangkang Lunak Dengan Metode
Popeye. 4(2) : 109-116

Widyastuti, Y. dan R., Husni. 2007. Pemanfaatan tambak udang “Idle” untuk
produksi kepiting bakau cangkang lunak (soft shell crab). Media
Akuakultur. 2(1):169-172.

46
LAMPIRAN

47
Lampiran 1. Bagan Percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

P2U4 P3U3 P2U2 P1U2

P3U2 P1U4 P3U1 P2U1

P1U1 P2U3 P1U3 P3U4

Keterangan :
Perlakuan terdiri atas 30 ekor kepiting/perlakuan dan diulang sebanyak 4 kali.
Maka simbol unit-unit percobaan sebagai berikut:

P1= Alami (kepiting yang tidak dipotong capit dan kaki jalannya)
P2= Mutilasi (kepiting yang dipotong seluruh capit dan kaki jalannya
P3= Popey (kepiting yang dipotong sebagian yakni pada

P1U1 = Perlakuan Alami pada ulangan 1 dengan jumlah 10 ekor kepiting


P1U2 = Perlakuan Alami pada ulangan 2 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P1U3 = Perlakuan Alami pada ulangan 3 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P1U4 = Perlakuan Alami pada ulangan 2 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P2U1 = Perlakuan Mutilasi pada ulangan 1 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P2U2 = Perlakuan Mutilasi pada ulangan 2 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P2U3 = Perlakuan Mutilasi pada ulangan 3 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P2U4 = Perlakuan Mutilasi pada ulangan 4 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P3U1 = Perlakuan Popey pada ulangan 1 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P3U2 = Perlakuan Popey pada ulangan 2 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P3U3 = Perlakuan Popey pada ulangan 3 dengan jumlah 10 ekor kepiting
P3U4 = Perlakuan Popey pada ulangan 4 dengan jumlah 10 ekor kepiting

48
Lampiran 2. Alat Yang Digunakan

Keramba/Keranjang Bambu Timbangan

Ember Sebagai Wadah Kepiting Gunting

Jaring Kawat Sarung Tangan

49
Lampiran 3. Bahan yang Digunakan

Kepiting Perlakuan Mutilasi

Kepiting Perlakuan Popey

Kepiting Perlakuan Alami

50
Lampiran 4. Alat Ukur Kualitas Perairan

Refraktometer

Termometer

Ph Meter DO Meter

51
Lampiran 5. Denah Peletakan Keramba

52
Lampiran 6. Kegiatan Kerja

Pengambilan Sampel Kepiting Pengukuran Bobot Kepiting

Pemotongan Kaki Jalan Pemotongan Capit Kepiting

Pemasukan Kepiting Kedalam Keramba Pengecekan Kualitas Air

53
Lampiran 6. Lanjutan

Pengukuran Ikan Tamban Pemotongan Ikan Tamban

Pemberian Pakan Pengamatan Moulting Kepiting

54
Lampiran 7. Analisis Anova SPSS Survival Rate pada Kepiting Bakau
(Scyllaserrata)

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

kelangsuganhidup * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H0 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H7 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H14 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H21 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H28 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H35 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H40 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

Report

Perlakuan Kelangsug H0 H7 H14 H21 H28 H35 H40


an hidup

Mean 55.00 40.00 39.25 36.50 36.00 35.25 35.25 35.25


ALAMI
Std. Error . . 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619
of Kurtosis

Mean 66.00 40.00 40.00 39.25 38.50 38.50 38.50 38.50


POPEY Std. Error . . . 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619
of Kurtosis

Mean 77.00 40.00 40.00 39.50 39.50 38.75 38.75 38.75


MUTILASI Std. Error . . . 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619
of Kurtosis

Mean 66.00 40.00 39.75 38.42 38.00 37.50 37.50 37.50


Total
Std. Error 1.232 . 1.232 1.232 1.232 1.232 1.232 1.232
of Kurtosis

55
Lampiran 7. Lanjutan

ANOVA Tablea,b

Sum of df Mean F Sig.


Squares Square

Between (Combi 1.500 2 .750 9.000 .007


Groups ned)
H7 *
Perlakuan Within Groups .750 9 .083

Total 2.250 11

Between (Combi 22.167 2 11.083 7.824 .011


Groups ned)
H14 *
Perlakuan Within Groups 12.750 9 1.417

Total 34.917 11

Between (Combi 26.000 2 13.000 4.179 .052


Groups ned)
H21 *
Perlakuan Within Groups 28.000 9 3.111

Total 54.000 11

Between (Combi 30.500 2 15.250 5.602 .026


Groups ned)
H28 *
Perlakuan Within Groups 24.500 9 2.722

Total 55.000 11

Between (Combi 30.500 2 15.250 5.602 .026


Groups ned)
H35 *
Perlakuan Within Groups 24.500 9 2.722

Total 55.000 11

Between (Combi 30.500 2 15.250 5.602 .026


Groups ned)
H40 *
Perlakuan Within Groups 24.500 9 2.722

Total 55.000 11

56
Measures of Association

Eta Eta Squared

H7 * Perlakuan .816 .667

H14 * Perlakuan .797 .635

H21 * Perlakuan .694 .481

H28 * Perlakuan .745 .555

H35 * Perlakuan .745 .555

H40 * Perlakuan .745 .555

Lampiran 7. Lanjutan

ANOVA

Survival Rate

Sum of df Mean Square F Sig.


Squares

Between Groups 4316.667 2 2158.333 12.532 .003

Within Groups 1550.000 9 172.222

Total 5866.667 11

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

H7

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

ALAMI 4 39.25

POPEY 4 40.00

MUTILASI 4 40.00

Sig. 1.000 1.000

57
H14

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

ALAMI 4 36.50

POPEY 4 39.25

MUTILASI 4 39.50

Sig. 1.000 .773

H21

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

ALAMI 4 36.00

POPEY 4 38.50 38.50

MUTILASI 4 39.50

Sig. .076 .443

H28

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

ALAMI 4 35.25

POPEY 4 38.50

MUTILASI 4 38.75

Sig. 1.000 .835

58
H35

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

ALAMI 4 35.25

POPEY 4 38.50

MUTILASI 4 38.75

Sig. 1.000 .835

H40

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2

ALAMI 4 35.25

POPEY 4 38.50

MUTILASI 4 38.75

Sig. 1.000 .835

59
Lampiran 8. Analisis Anova SPSS pertumbuhan bobot pada Kepiting Bakau
(Scylla serrata)

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

H0 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H7 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H14 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H21 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H28 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H35 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

H40 * Perlakuan 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%

BeratBobot * 12 100.0% 0 0.0% 12 100.0%


Perlakuan

Report

Perlakuan H0 H7 H14 H21 H28 H35 H40 BeratBo


bot

80.000 84.425 87.725 89.750 94.500 99.450 109.45 55.00


Mean
0 0 0 0 0 0 00
ALAM
I
Std. Error of . 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619 .
Kurtosis

70.000 74.250 77.750 79.675 84.425 89.425 94.225 66.00


Mean
MUTIL 0 0 0 0 0 0 0
ASI Std. Error of . 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619 .
Kurtosis

75.000 79.575 81.550 84.425 89.575 94.625 99.450 77.00


Mean
0 0 0 0 0 0 0
POPEY
Std. Error of . 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619 2.619 .
Kurtosis

60
75.000 79.416 82.341 84.616 89.500 94.500 101.04 66.00
Mean
0 7 7 7 0 0 17
Total
Std. Error of 1.232 1.232 1.232 1.232 1.232 1.232 1.232 1.232
Kurtosis

Lampiran 8. Lanjutan

ANOVA Tablea,b

Sum of df Mean F Sig.


Squares Square

Between (Combined 207.212 2 103.606 5040.28 .000


Groups ) 4
H7 *
Perlakuan Within Groups .185 9 .021

Total 207.397 11

Between (Combined 202.762 2 101.381 2134.33 .000


Groups ) 3
H14 *
Perlakuan Within Groups .428 9 .048

Total 203.189 11

Between (Combined 203.232 2 101.616 4064.63 .000


Groups ) 3
H21 *
Perlakuan Within Groups .225 9 .025

Total 203.457 11

Between (Combined 203.045 2 101.522 2313.17 .000


Groups ) 1
H28 *
Perlakuan Within Groups .395 9 .044

Total 203.440 11

Between (Combined 201.095 2 100.548 2129.24 .000


Groups ) 1
H35 *
Perlakuan Within Groups .425 9 .047

Total 201.520 11

61
Between (Combined 478.802 2 239.401 4814.76 .000
Groups ) 5
H40 *
Perlakuan Within Groups .448 9 .050

Total 479.249 11

Measures of Association

Eta Eta Squared

H7 * Perlakuan 1.000 .999

H14 * Perlakuan .999 .998

H21 * Perlakuan .999 .999

H28 * Perlakuan .999 .998

H35 * Perlakuan .999 .998

H40 * Perlakuan 1.000 .999

62
Lampiran 8. Lanjutan

ANOVA

Berat Tubuh

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 478.802 2 239.401 4814.765 .000

Within Groups .448 9 .050

Total 479.249 11

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

H7

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

MUTILASI 4 74.2500

POPEY 4 79.5750

ALAMI 4 84.4250

Sig. 1.000 1.000 1.000

H14

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

MUTILASI 4 77.7500

POPEY 4 81.5500

ALAMI 4 87.7250

63
Sig. 1.000 1.000 1.000

H21

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

MUTILASI 4 79.6750

POPEY 4 84.4250

ALAMI 4 89.7500

Sig. 1.000 1.000 1.000

H28

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

MUTILASI 4 84.4250

POPEY 4 89.5750

ALAMI 4 94.5000

Sig. 1.000 1.000 1.000

H35

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

MUTILASI 4 89.4250

POPEY 4 94.6250

ALAMI 4 99.4500

Sig. 1.000 1.000 1.000

64
H40

Duncana

Perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

MUTILASI 4 94.2250

POPEY 4 99.4500

ALAMI 4 109.4500

Sig. 1.000 1.000 1.000

65
Lampiran 9. Data Jumlah Kepiting Molting Terhadap Waktu Molting

Jumlah Kepiting Molting Terhadap Waktu


Molting
Waktu Perlakuan
ke- Alami Mutilasi Popey Jumlah Total
00.00 1 1
00.15 3 3
00.30 2 5 4 11
01.00 1 1
01.30 3 2 5
03.00 2 2
03.30 1 2 2 5
04.00 1 1
04.30 1 3 13 17
06.00 1 1
06.30 3 3
10.00 2 3 5
10.30 2 1 3
11.00 1 1
22.00 3 2 5
22.30 9 2 11
23.00 1 7 1 9
23.30 1 4 3 8
jumlah 20 35 37 92

66
Lampiran 10. Data Jumlah Kepiting Molting, Mortalitas dan Prosentase molting

Jumlah kepiting molting (Ekor)


Hari
perlakuan
ke-
Alami Mutilasi Popey jumlah total
0 0 0 0
7 0 0 0 0
14 2 0 0 2
21 1 17 11 29
28 5 18 26 49
35 7 0 0 7
40 5 0 0 5
total 20 35 37 92

a) Persentase Mortalitas kepiting bakau

Persentase mortalitas perminggu


hari ke Alami Mutilasi Popey
0 0 0 0
7 7.5 0 0
14 27.5 5 7.5
21 7.5 0 0
28 7.5 7.5 0
35 0 0 0
40 0 0 0
jumlah 50 12.5 7.5

b) Persentase Kepiting Bakau

Jumlah molting Prosentase molting


Hari
alami mutilasi popey alami mutilasi popey
7 0 0 0 0 0 0
14 2 0 0 5 0 0
21 1 17 11 2.5 42.5 27.5
28 5 18 26 12.5 45 65
35 7 0 0 17.5 0 0
40 5 0 0 12.5 0 0
jumlah 20 35 37 50 87.5 92.5

67
Lampiran 12. Data rata-rata Bobot kepiting bakau

Data Bobot Kepiting Bakau (Scylla serrata) /Gram


Hari ke-
Perlakuan Ulangan Δp
0 7 14 21 28 35 40
1 80 84.5 88 90 94.2 99.2 109.7 29.7
2 80 84.4 87.6 89.6 94.5 99.3 109 29
3 80 84.5 87.8 89.8 94.8 99.8 109.6 29.6
ALAMI 4 80 84.3 87.5 89.6 94.5 99.5 109.5 29.5
rata-rata 80 84.425 87.725 89.75 94.5 99.45 109.45 29.45
1 70 74.2 77.4 79.7 84.2 89.5 94 24
2 70 74.2 77.8 79.7 84.4 89.3 94.3 24.3
3 70 74.4 78 79.7 84.7 89.6 94.5 24.5
MUTILASI 4 70 74.2 77.8 79.6 84.4 89.3 94.1 24.1
rata-rata 70 74.25 77.75 79.675 84.425 89.425 94.225 24.225
1 75 79.4 81.5 84.3 89.5 94.4 99.4 24.4
2 75 79.7 81.5 84.3 89.6 94.5 99.5 24.5
3 75 79.8 81.8 84.7 89.8 94.9 99.5 24.5
POPEY 4 75 79.4 81.4 84.4 89.4 94.7 99.4 24.4
rata-rata 75 79.575 81.55 84.425 89.575 94.625 99.45 24.45

68
Lampiran 13. Data Survival rate

SR
NO Hari Ke- jumlah
Perlakuan ulangan (Ekor) 0 7 14 21 28 35 40 Mati NT SR
1 10 0 1 5 1 0 0 0 7 3 30
2 10 0 1 3 1 1 0 0 6 4 40
3 10 0 1 1 1 2 0 0 5 5 50
Alami 4 10 0 0 2 0 0 0 0 2 8 80
Rata-
rata 10 0 0.75 2.75 0.75 0.75 0 0 20 5 50
1 10 0 0 1 0 1 0 0 2 8 80
2 10 0 0 0 0 1 0 0 1 9 90
3 10 0 0 0 0 1 0 0 1 9 90
Mutilasi 4 10 0 0 1 0 0 0 0 1 9 90
Rata-
rata 10 0 0 0.5 0 0.75 0 0 5 8.75 87.5
1 10 0 0 1 0 0 0 0 1 9 90
2 10 0 0 1 0 0 0 0 1 9 90
3 10 0 0 0 0 0 0 0 0 10 100
Popey 4 10 0 0 1 0 0 0 0 1 9 90
rata-
rata 10 0 0 0.75 0 0 0 0 3 9.25 92.5

69

Anda mungkin juga menyukai