Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Saksi

A. Pengertian Saksi dan Keterangan Saksi

Saksi merupakan orang yang memberikan pernyataan dalam suatu

dokumen yang kemudian dapat digunakan sebagai alat bukti atau memiliki

arti lain bahwa saksi merupakan seseorang yang memberikan keterangan

mengenai suatu peristiwa berdasarkan kesaksiannya sendiri tentang fakta

yang ia alami sendiri, ia lihat sendiri, atau ia dengar sendiri. 1 Mengenai

saksi yang mendengar atau melihat sendiri secara langsung, hampir

dipastikan bahwa saksi tersebut hanya terbatas pada mendengar atau

melihat suatu peristiwa yang diduganya sebagai peristiwa pidana.

Sedangkan saksi mengalami sendiri secara langsung, dapat dikataka

bahwa saksi tersebut dapat dikategorikan sebagai korban atas dugaan

peristiwa pidana yang terjadi atau saksi tersebut memiliki kaitan atau

berhubungan dengan peristiwa tersebut.2

Mengenai batasan keterangan saksi, secara eksplisit Pasal 1 angka 27

KUHAP menuliskan, bahwa :

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkarapidana


yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.”

1
Jimly Ashiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm. 153
2
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum
Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 51
Berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP tersebut,

dapat diketahui unsur-unsur penting yang ada dari keterangan saksi, yaitu

keterangan dari saksi, mengenai suatu peristiwa pidana, yang didengar,

dilihat, dan dialami sendiri.3

B. Syarat Sah Keterangan Saksi

Alat bukti keterangan saksi ialah bukti yang paling utama dalam

perkara pidana dan hampir semua pembuktian dalam perkara pidana

selalu bersandar atau didasarkan pada pemeriksaan keterangan saksi. 4

Selain pembuktian dengan alat bukti yang lain yang telah diatur oleh

UU, masih selalu diperlukan dan digunakan pembuktian dengan

menggunakan alat bukti dari keterangan seorang saksi. Agar suatu

keterangan yang disampaikan saksi mempunyai nilai kekuatan

pembuktian sebagai alat bukti yang menurut UU telah sah, perlu

diperhatikan ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, agar

keterangan dari seorang saksi dapat dianggap sah untuk dinyatakan

sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian, yang

mana harus dipenuhi ketentuan sebagai berikut :5

a. Wajib Mengucapkan Sumpah atau Janji

Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan pada setiap saksi sebelum

memberikan keterangannya untuk terlebih dulu mengucapkan

sumpah menurut masing-masing agamanya yang isinya berupa

3
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 287
4
Ibid, hlm. 288
5
Ibid, hlm. 289
sumpah atau janju bahwa dirinya akan memberikan keterangan

yang sesungguhnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.

Kepercayaan atas kebenaran isi keterangan yang diletakkan di atas

sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, didasarkan pada 2 (dua)

alasan yang bersifat menekan secara psikologis orang, yaitu :6

1) Pada kepercayaan terhadap sanksi dosa dan kutukan dari Tuhan

kepada orang yang dengan sengaja melanggar sumpah, sesuai

dengan agama yang dianut. Dengan alasan ini maka sumpah

yang diucapkan saksi haruslah berdasarkan cara agama masing-

masing dan tidak boleh menciptakan cara sendiri di luar yang

ditentukan oleh agama masing- masing.

2) Pada sanksi hukum pidana, telah menentukan sanksi pidana

masimum 7 sampai 9 tahun penjara bagi orang yang

memberikan keteranganipalsu di atas sumpah.7

b. Keterangan Saksi bernilai sebagai bukti

Berdasarkan Pasal 1 angka 27 juncto Pasal 185 ayat (1) KUHAP

menentukan bahwa :8

“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi


nyatakan di sidang pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.”

c. Keterangan saksi harus disampaikan di Sidang Pengadilan

6
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2011), hlm. 33
7
Pasal 242 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
8
Adami Chazwi, Loc.Cit. hlm. 287
Alat bukti keterangan saksi adalah mengenai suatu hal yang

saksi berikan di sidang pengadilan yang bertitik berat sebagai

alat bukti ditujukan kepada permasalahan yang berhubungan

dengan pembuktian. Jika dihubungkan dengan ketentuan pada

Pasal 1 angka 27 KUHAP, hal-hal yang harus dijelaskan dalam

persidangan di pengadilan adalah mengenai suatu hal yang

saksi lihat sendiri, dengar sendiri, atau alami sendiri dengan

menyebutkan alasannya. Dengan demikian, keterangan yang

dinyatakan tidak di depan sidang pengadiilan (outside the

court), bukanlah alat bukti, tidak dapat digunakan untuk

membuktikan kesalahan terdakwa.9

d. Satu Saksi bukan Saksi

Di dalam KUHAP menganut asas unnus testis nullus testis

yang memiliki arti bahwa satu saksi bukan merupakan saksi.

Apabila ingin membuktikan kesalahan terdakwa haruslah

dipenuhi paling sedikit atau minimal dengan duaalat bukti. Hal

ini dapat diartikan apabila alat bukti yang diajukan penuntut

umum hanya seorang saksi saja dan tanpa ditambah dengan

saksi yang lain bukti yang lain, maka kesaksian yang hanya

seorang tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang

cukup guna membuktikan kesalahan terdakwa dikaitkan

dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.10

9
Ibid, Hlm. 287-289
10
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, cetakan keempat, (Jakarta: Citra Aditya Bakti,
2012) hlm. 3
B. Tinjauan Umum Tentang Saksi Verbalisan

1. Pengertian Saksi Verbalisan

Kata verbalisan berasal dari kata verbal yang memilki makna yaitu

secara lisan atau bersifat khayalan. Verbalisan Orang (penyidik) adalah

pihak yang melaksanakan proses verbal (penyidikan). 11 Sedangkan saksi

verbalisan yakni saksi dari pihak penyidik yang diajukan Jaksa Penuntut

Umum (JPU) ataupun majelis hakim, di mana saksi tersebut bersangkutan

dengan perkara.

Kata verbalisan merupakan istilah yang lazim berkembang dalam

praktek serta oleh KUHAP tidak diatur. Menurut makna secara doktrina,

verbalisan ialah istilah yang diberikan kepada petugas untuk membuat,

mengarang, atau menyusun berita acara. Dengan demikian, apabila dilihat

dari visi praktik peradilan, eksistensi atau keberadaan saksi verbalisan

akan tampak jika dalam persidangang terdakwa menyangkal kebenaran

keterangan yang dikemukaka saksi dan kemudian saksi atau terdakwa di

sidang pengadilan berbeda atau tidak sama dengan keterangannya

diberikan dalam berita acaraiyang dibuat oleh penyidik.12

2. Keterangan Saksi Penyidik (Verbalisan)

Pada dasarnya keterangan yang diberikan saksi disidang pengadilan,

sejalan dengan keterangan yang telah diberikannya pada berita acara

penyidikan. Namun, dengan adanya prinsip ini tidak serta- merta dapat
11
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 1260
12
I Dewa GD. Saputra Valentino Pujana, Jaminan Kekebalan Hukum Bagi Saksi
Pelaku/Justice Collaborator (Agustus, 2013),
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/2453 diakses pada 29 Maret
2023
mengurangi kebebasan saksi untuk memberi keterangan yang berbeda

antara keterangan yang disampaikan di sidang pengadilan dengan

keterangan yang diberikan pada pemeriksaan penyidikan. Kebebasan

dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan tidak dimaksudkan

untuk mengurangi arti dari keterangan yang telah diberikannya pada saat

pemeriksaan penyidikan. Bahkan apabila keterangannya disampaikan di

sidang pengadilan bertentangandan/atau berbeda dengan apa yang

diterangkan dalam berita acara penyidikan, hakim wajib meminta

penjelasan disertai alasan saksi mengenai perbedaan tersebut.13

Mengenai makna bebas dalam hal memberi keterangan di persidangan,

ditujukan kepada sikap dan keadaan psikis maupun fisik saksi, yaitu :14

a. Tidak ada pengaruh dan paksaan maupun tekanan dari siapa saja

b. Pertanyaan yang diajukan harus dilakukan dengan menggunakan

bahasa yang jelas dan mudah dipahami, agar jawaban yang

diberikan merupakan jawaban yang benar-benar keluar dari

kesadaran hati nuraninya sesuai dengan kecerdasannya.

c. Larangan untuk mengajukan pertanyaan yang memojokkan ataupun

menjerat kepada saksi, yakni keterangan yang tidak pernah

diberikan oleh saksi, tetapi oleh hakim atau JPU dianggap seolah-

olah pernah diberikan saksi. Pertanyaan yang menjerat seperti ini

tentu melanggar kebebasan saksi dalam memberikan keterangannya.

Saksi diperbolehkan untuk memberikan keterangan yang berbeda

dengan keterangan yang terdapat pada berita acara penyidikan dengan


13
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan
dan Penuntutan Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 287
14
disertai alasan yang dapat diterima secara logis. Perbedaan kedua

keterangan itu, harus disertai dengan alasan yang mampu memperlihatkan

kebenaran perbedaan tersebut.15

C. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

1. Pengertian tentang Pembuktian

Kata pembuktian bermula dari kata “bukti” yang artinya “sesuatu yang

menyatakan kebenaran suatu peristiwa”. Kemudian mendapat awalam

“pem” dan akhiran “an”, maka pembuktian memilii arti yaitu suatu proses

perbuatan atau cara membuktikan sesuatu yag menyatakan kebenaran

suatu peristiwa. Demikian pula mengenai pengertian membuktian yang

mendapat awalan “mem” dan akhiran “an” yang artinya memperlihatkan

bukti atau meyakinkan dengan bukti.11 Menurut Darwan Prints,

pembuktian merupakan perbuatan yang membuktikan bahwa benar adanya

suatu peristiwa pidana sudah terjadi dan terdakwalah yang melakukannya

dan divonis bersalah berdasarkan putusan yang telah dikeluarkan,

menyebabkan ia harus mempertanggungjawabkannya.12 Sedangkan

pembuktian menurut pemahaman umum adalah untuk menunjukkan

tentang suatu keadaan yang mana bersesuaian dengan suatu pokok

persoalan, atau untuk mencari kesesuaian antara pokok peristiwa dengan

akar-akar peristiwanya.16

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP,

tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian. KUHAP

hanya memuat tentang jenis-jenis atau macam- macam alat bukti yang
15
Ibid
16
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum
Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59
menurut hukum sah, yang mana hal tersebut tertulis dalam Pasal 184 ayat

(1) KUHAP. Meskipun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai

pembuktian, namun beberapa ahli hukumlah yang berusaha untuk

menjelaskan tentang arti dari pembuktian tersebut.17

Proses pembuktian atau membuktikan memiliki maksud dan usaha

untuk memberikan kebenaran atas suatu peristiwa yang telah terjadi,

sehingga dapat diterima akal sehat terhadap kebenaran dari peristiwa

tersebut, Pembuktian merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi

pedoman meengenai cara-cara yang telah dibenarkan oleh undang- undang

dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.18

2. Tujuan Pembuktian

Hal yang dimaksud dengan membuktikan berarti memberi

kepastian kepada hakim tentang adanya suatu peristiwa atau perbuatan

yang dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian, tujuan pembuktian

adalah untuk dijadikan dasar dalam menjatuhkan putusan hakim

kepada terdakwa tentang bersalah atau tidaknya sesuai dengan yang

didakwakan oleh penuntut umum. Namun tidak semua hal harus

dibuktikan, sebab menurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, bahwa hal yang

secara umum telah diketahui tidak perlu dibuktikan. Oleh sebab itu,

hakim dalam memeriksa suatu perkara pidana dalam sidang pengadilan

senantiasa berusaha membuktikan :

a. Mengenai benar tidaknya suatu peristiwa tersebut telah terjadi

17
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), hlm. 1.
18
M. Yahya Harahap, Loc.Cit. hlm. 287
b. Mengenai benar tidaknya suatu peristiwa tersebut merupakan

suatu tindak pidana

c. Mengenai sebab-sebab peristiwa itu terjadi

d. Mengenai siapa orang yang telah bersalah dalam peristiwa yang

telah terjadi tersebut

Maka tujuan pembuktian di atas adalah untuk mencari,

menemukan, dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang ada dalam

perkara tersebut, dan bukanlah semata-mata mencari kesalahan

seseorang.

C. Sistem Atau Teori Pembuktian

Sistem pembuktian merupakan ketentuan tentang bagaimana cara

dalam membuktikan dan juga sandaran dalam menarik kesimpulan

tentang terbuktina mengenai suatu hal yang dibuktikan. 19

Pengertiandari sistem pembuktian yang di dalamnya mengandung isi

demikian, dapat pula disebut dengan teori atau ajaran pembuktian. Ada

beberapa sistem pembuktian yang dikenal dalam hukum acara pidana

yaitu :

a. Sistem Pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim (Convictioan Time)

Sistem ini memberikan pengertian bahwa hakim dapat memberikan

pernyataan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tinda

pidana yang didakwakan dengan berdasarkan pada keyakinan saja dan


19
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2011), hlm. 17
tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) diperoleh dan

alasan-alasan yang dipergunakan serta mengenai caranya dalam

membentuk keyakinannya tersebut. Tidak perlu dipertimbangkan pula

mengenai apakah keyakinan yang dibentuknya itu logis atau tidak.

Bekerjanya sistem ini benar- benar bergantung pada hati nurani hakim.

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar yang mana selayaknya

manusia biasa, hakim dapat melakukan kesalahan terhadap keyakinan

yang telah dibentuknya, dikarenakan tidak ada kriteria mengenai alat-

alat bukti tertentu yang harus digunakan serta syarat dan cara

bagaimana hakim dalam membentuk keyakinanya tersebut. Selain itu

pada sistem ini terbuka peluang yang cukup besar untuk terjadinya

praktik yang sewenang-wenang dalam menegakkan hukum dengan

bertumpu pada alasan hakim yang telah yakin.20

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan dengan Alasan

yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem ini sedikit lebih maju daripada sistem yang pertama

walaupun kedua sistem ini dalam hal menaik hasil pembuktian tetap

didasarkan kepada keyakinan hakim. Dikatakan lebih maju karena

dalam sistem ini dalam hal membentuk dan mengunakan keyakinan

hakim guna membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan, didasarkan pada alasan-alasan yang logis

dan masuk akal. Dengan sistem ini, walaupun UU memberi penjelasan

mengenai alat-alat bukti, tetapi untuk menggunakannya dan untuk

20
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009,) hlm. 26
memberikan kekuatan pembuktian pada alat-alat bukti tersebut, tetap

diserahkan pada pertimbangan hakim dengan alasan-alasan yang logis.

Artinya alasan yang dipergunakan untuk membentuk keyakinan hakim

harus masuk akal atau dapat diterima oleh akal sehat dan tidak

mengada-ada. Sistem ini kadang disebut juga dengan sistem

pembuktian keyakinan hakim bebas karena dalam membetuk

keyakinannya hakim bebas menggunakan alat-alat bukti dan

menyebukan alasan-alasan dari keyakinan yang didapatnya dari alat-

alat bukti tersebut.21

c. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang – Undang Positif (Positive

Wettwlijkstheode)

Maksudnya dari sistem ini adalah dalam hal membuktian kesalahan

terdakwa dalam melakukan tindak pidanan didasarkan semata-mata

pada alat bukti serta cara-cara mempergunakannya telah ditentukan

terlebih dahulu dalam undang-undang. Apabila dalam hal

membuktikan telah sesuai dengan yang ditentukan terlebih dahulu oleh

undang-undang, baik mengenai alat buktinya maupun cara-cara

menggunakanya, maka hakim diwajibkan untuk harus segera menarik

kesimpulan bahwa terdakwa telah bersalah atas tindak pidana yang

terjadi. Keyakinan hakim tersebut sama sekali dianggap tidak penting

dan bukan merupakan bahan yang boleh dijadikan pertimbangkan guna

mengambil kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak

21
Adami Chazawi, op.cit, hlm. 18
pidana. Jadi sistem ini adalah sistem yang mana berlawanan dengan

sistem pembuktian berdasarkan keyakinan saja.22

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang – Undang Secara Terbatas atau

Negatif (negativewettelijk)

Dalam hal untuk membuktikan kesalahan terdakwa menurut sistem

ini, hakim tidak seluruhnya mengandalkan alat- alat bukti dengan cara-

caravyang ditentukan oleh undang-undang, melainkan harus disertai

pula dengan keyakinan bahwa terdakwa meman telah bersalah

melakukan suatu tindak pidana. Keyakinan tersebut harus didasarkan

pada fakta-fakta yang ada dari alat bukti yang telah diatur dan

ditentukan oleh peraturan. Jadi dapat dikatakan bahwa untuk menarik

kesimpulan mengenai pembuktian didasarkan pada 2 hal, yaitu alat-

alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak terpisahkan,

yang tidak berdiri sendiri-sendiri.

Sistem ini disebut dengan sisem berdasarkan UU, karena dalam

membuktikannya harus berdasarkan ketentuan yang ada pada UU baik

mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan maupun mengenai

bagaimana cara mempergunakannya serta syarat-syarat yang harus

dipenuhi guna menyatakan tentang terbuktinya terdakwa telah

mlakukan tindak pidana. Disebut dengan terbatas, dikarenakan dalam

melakukan pembuktianuntuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah

sudah melakukan tindak pidana disamping menggunakan alat-alat

bukti menurut UU juga dibatasi atau diperlukan adanya keyakinan

hakim. Artinya bila tidak ada keyakinan hakim, maka hakim tidak
22
Ibid, hlm.19
boleh menyatakan sesuatu yang akan dibuktikan sebagai terbukti,

meskipun alat bukti yang dipergunakan telah memenuhi syarat

minimal bukti.23

BAB III

PEMBAHASAN

,
23
Ibid, hlm. 20
A. Pertimbangan hakim dalam penetapan penyidik tidak bisa digunakan

sebagai saksi dalam perkara Narkotika pada Putusan Nomor.1531 K/Pid.

Sus/2010

1. Putusan Nomor.1531 K/Pid. Sus/2010

a. Kasus Posisi

Pada Tahun 2009 tepatnya pada Hari Sabtu Tanggal 20 Juni 2009, Petugas

Kepolisian yang Bernama Pranoto dan Sugianto mendapat Informasi dari

Masyarakat dengan adanya aktivitas gelap Jual Beli Obat Obatan Terlarang

Psikotoprika jenis Ekstasi yang dilakukan oleh Terdakwa KET SAN alias CONG

KET KHIONG alias ATUN, Pihak Resor Sambas yang mendengar Hal ini lantas

melakukan Penyelidikan langsung ke tempat kejadian perkara dimana Pranoto dan

Sugianto yang sudah ditetapkan sebagai saksi mengiktui terdakwa Menggunakan

Sepeda Motor dari Belakang di Jl. Raya Parit Baru, Kecamatan Salatiga, Kab.

Sambas dan langsung memberhentikan Terdakwa dengan Memberikan peringatan

1x menggunakan senjata kearah langit, Terdakwa ATUN yang panik menanyakan

“ADA APA” kepada kedua Saksi Polisi ini dengan memberikan Jawaban “Kami

Polisi”, Ini dikarenakan sebelumnya Terdakwa ATUN terlihat menjatuhkan

sesuatu yang membuat Para Saksi dari Pihak Kepolisian ini langsung memberikan

Tindakan Tegas, setelah dilakukan Penggeledahan dengan melakukan Pencarian

di sekitar Jl. Parit Baru, ditemukan sebuah Plastik Hitam yang tadinya dipegang

Oleh Terdakwa, yang Kemudian Saksi Kepolisian menyuruh Terdakwa untuk

membukanya dan ditemukan 2 Obat-Obatanan Psikotropika Jenis Ekstasi, dan

juga berdasarkan Pengakuan Terdakwa kedua Jenis Obat-Obatan ini memang

milik Terdakwa tetapi Kedua Obat-Obatan ini Hendak akan dijual kepada seorang
Bernama APHIN, akibatnya Terdakwa di tahan di Polres Sambas dengan

Diamankannya sejumlah Alat Bukti 1 (satu) plastik transparan yang berisikan 2

(dua) tablet warna merah muda bintik putih, biru merah berupa psikotropika jenis

ekstasi dan 1 (satu) tablet warna merah muda bintik putih, biru berupa

psikotropika jenis ekstasi.

b. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa Terdakwa diajukan ke Persidangan oleh Penuntut Umum ke

Pengadilan Negeri Sambas dengan dakwaan tertanggal 11 September 2009 yang

disusun dengan bentuk dakwaan alternatif, yang bunyi dakwaannya adalah

sebagai berikut :

Dakwaan Kesatu :

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 59 ayat

(1) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang

Psikotropika.

Dakwaan Kedua :

Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 59 ayat

(1) huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997 Tentang

Psikotropika.

c. Tuntutan Jaksa Penuntut

1) Menyatakan Terdakwa KET SAN alias CONG KET KHIONG alias ATUN,

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana


secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau membawa Psikotropika

Golongan I, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 59 ayat (1)

huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika sebagaimana dalam dakwaan Kedua kami.

2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa KET SAN alias CONG KET

KHIONG alias ATUN, dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan 6

(enam) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan

sementara dengan agar Terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp.

150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 4 (empat) bulan

kurungan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan ;

3) Menyatakan barang bukti berupa :

- 1 (satu) plastik hitam yang berisikan 2 (dua) tablet ekstasi bewarna

merah muda bintik putih, bintik biru, bintik merah ;

Dirampas untuk dimusnahkan ;

- 1 (satu) unit Handphone (HP) merek Sony Ericson tipe 6101 warna

merah ;

- 1 (satu) unit sepeda motor jenis Honda Supra warna hitam lis hijau

dengan Nomor Polisi KB 2449 PJ ;

Dikarenakan Kasus ini sudah memasuki Tingkat Banding, Maka ada 3 Amar

Putusan yang diberikan dalam Proses Tindak Pidananya, Yaitu Putusan PN

Sambas Nomor 201/Pid.B/2009/PN.SBS, Putusan PT Pontianak Nomor

55/Pid/2010/PT.PTK, Putusan Pengadilan Mahkamah Agung, yang akan Peneliti

uraikan sebagai Berikut :

d. Amar Putusan
1) Putusan Sambas Nomor. 201/Pid.B/2009/PN.Sbs :

a) Menyatakan bahwa terdakwa Ket San alias Cong Ket Khiong

alias Atun telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana secara tanpa hak memiliki dan

membawa Psikotropika Golongan I.

b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ket San alias Cong Ket

Khiong alias Atun dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) Tahun dan denda sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus

lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda

btersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan

selama 1 (satu) bulan kurungan.

c) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan oleh

terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

d) Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.

e) Memerintahkan barang bukti berupa: 1 (satu) plastik klip

transparan yang berisikan 2 (dua) tablet warna merah muda

bintik putih, bintik biru, bintik merah Psikotropika Golongan I

(satu) dan plastik hitam kecil.

2) Putusan PT. Pontianak Nomor. 55/Pid/2010/PT.Ptk

a) Menerima permintaan banding dari terdakwa


b) Menguatkan putusan pengadilan Negeri Sambas tanggal 05

februari 2010 Nomor: 201/PID.B/2009/PN.SBS yang

dimintakan banding tersebut

c) Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan

d) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa dalam kedua

tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.

2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah)

3) Putusan Pengadilan Mahkamah Agung

a) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Ket

San alias Cong Ket Khiong alias Atun

b) Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Pontianak Nomor

55/PID/2010/PT.PTK tanggal 13 April 2010 yang menguatkan

putusan Pengadilan Negeri Sambas Nomor

201/PID.B/2009/PN.SBS tanggal 28 Januari 2010

c) Menyatakan terdakwa Ket San alias Cong Ket Khiong alias

Atun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan dalam

semua dakwaan

d) Membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut

e) Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan

harkat serta martabatnya

Menurut Peneliti berdasarkan Uraian Perkara diatas jika melihat

Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam putusannya No. 1531


K/Pid.Sus/2010 memberikan putusan bebas pada Ket San alias Cong Ket Khiong

alias Atun karena dinilai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam

surat dakwaan. Putusan bebas atau vrijspraak tersebut jika dilihat dari asas tiada

pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld hanya dapat

dipertanggungjawaban jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana.

Moeljatno mengatakan, “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi

pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana”.24

Pengungkapan fakta hukum dalam suatu tindak pidana merupakan bagian

proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat dianggap sederhana dan mudah.

Ketika penegak hukum dihadapkan pada suatu tindak pidana yang tingkat

pembuktiannya sangat kompleks dan sulit, tidak mustahil produk putusan

pengadilan yang dihasilkan pun dapat berakibat menjadi keliru atau tidak tepat.

Terhadap kemungkinan diambilnya putusan pengadilan yang dirasakan tidak

atau kurang memenuhi rasa keadilan tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), diberi ruang

untuk mengajukan keberatan melalui upaya hukum perlawanan, banding, kasasi

maupun peninjauan kembali. Prinsip demikian sejalan dengan asas yang dianut

dalam hukum acara pidana, yaitu setiap orang tidak boleh dinyatakan bersalah

sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap

(presumption of innocence). Selain itu terdakwa mendapat perlakuan yang sama

atas diri dimuka hukum dengan tidak membedakan perlakuan atau yang dikenal

dengan istilah equality before the law.25

24
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Kencana, 1990), hlm. 27
25
Ibid, hlm. 28
Asas perlakuan yang sama di muka hukum dan tidak membeda-bedakan

perlakuan (tanpa diskriminasi) merupakan hak dasar bagi setiap orang. Tersangka,

terdakwa ataupun terpidana dalam proses peradilan pidana tidak boleh

diperlakukan sewenang-wenang. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat

(1) UUD 1945, bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama

dihadapan hukum”. Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, juga menentukan “Setiap

orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun

dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu”.

Asas praduga tidak bersalah seperti diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, maupun

penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP, menentukan “Setiap orang yang

disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka / di depan

sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya / sebelum ada

putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh

kekuatan hukum tetap”. Hal itu memberi arti, bahwa selama suatu putusan belum

memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka proses

peradilan masih berjalan sampai pada peradilan tingkat tertinggi, yaitu Mahkamah

Agung. Oleh karenanya, terdakwa juga belumlah dianggap bersalah dan diberi

jaminan oleh undang-undang untuk memperoleh haknya, yaitu melakukan

pembelaan melalui lembaga perlawanan, banding, kasasi maupun peninjauan

kembali.26

26
Ibid, hlm. 34
Sistem pembuktian menurut KUHAP yang menganut sistem pembuktian

menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie)

terdapat pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa: “Hakim

tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa

suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.”27

Dengan titik tolak ketentuan pasal 183 KUHAP ini maka kriteria

menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa, hakim harus memerhatikan

aspek-aspek tentang :

1) Kesalahan terdakwa haruslah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua

alat bukti yang sah.

2) Bahwa atas “dua alat bukti yang sah” tersebut hakim memperoleh

keyakinan bahwa tindak pidana tersebut memang benar-benar terjadi

dan terdakwalah pelakunya.

Berdasarkan hal demikian dapatlah dikonklusikan bahwa adanya “dua alat

bukti” yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap

terdakwa apabila hakim tidak memperoleh “keyakinan” tindak pidana tersebut

memang benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak

pidana tersebut. Sebaliknya, apabila keyakinan hakim saja, adalah tidaklah cukup

jika itu tidak ditimbulkan oleh sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah. Oleh

sebab itu, setiap keyakinan haruslah diperoleh dari alat-alat bukti yang sah yang

diajukan di persidangan. Keyakinan tidak begitu saja muncul tanpa adanya proses

27
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia
(Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2010). hlm. 67
pembuktian apalagi ketika seorang hakim diharapkan pada perkara yang

kebenarannya samar-samar diantara benar atau tidak, maka dituntut adanya

kecermatan, ketelitian dan kehati-hatian yang harus dipegang teguh oleh seorang

hakim agar tidak salah dalam menjatuhkan putusan, karena apabila hakim tidak

yakin/ ragu dalam menjatuhkan putusan maka hakim lebih baik membebaskan

atau mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa yang di kenal dengan

asas in dubio pro reo.

Urgensi asas in dubio pro reo sebagaimana telah dijelaskan di atas

sebenarnya berpatokan pada penghormatan hak asasi manusia untuk tidak dicabut

hak kemerdekaannya, secara semena-mena meskipun didasarkan pada putusan

pengadilan. Hal ini karena dalam konteks moral, seorang hakim bukan merupakan

pengadil yang utama melainkan pengadil yang memberikan keadilan dalam proses

hukum dengan didasarkan pada keyakinan dan dua alat bukti. Hakim dalam

menentukan putusannya harus melalui serangkaian preposisi pendahuluan yang

diasumsikan benar olehnya, maka dari itu hakim tidak boleh ragu dalam menarik

simpulan seseorang bersalah melakukan tindak pidana atau tidak.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud

dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan” adalah tidak cukup bukti menurut penilaian hakim atas dasar

pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara

pidana ini. Kalau diatas ditarik suatu konklusi dasar, secara sistematis ketentuan

pasal 191 ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya menentukan putusan

bebas/vrijspraak dapat terjadi apabila :

1) Berdasarkan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan;


2) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum karena:

a) Tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum

pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif

wettelijke bewijs theorie) sebagaimana dianut oleh KUHAP.

Misalnya, hakim dalam persidangan tidak menemukan satu alat bukti

berupa keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat (1) huruf e

KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 (1) huruf d

KUHAP).

b. Majelis hakim berpendirian terhadap asas minimum pembuktian

sesuai undang- undang telah terpenuhi, misal adanya dua alat bukti

berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan

alat bukti petunjuk (pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). Akan tetapi,

majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana karena tidak yakin

akan kesalahan terdakwa

3) Oleh karena itu, majelis hakim menjatuhkan putusan bebas

(vrijspraak) kepada terdakwa.28

Untuk memberikan putusan pemidanaan hakim harus memiliki keyakinan

bahwa terdakwa memang benar-benar bersalah melakukan tindak pidana. Karena

hakim tidak dapat menjatuhkan pidana jika hakim memiliki keraguan atas

kesalahan terdakwa tersebut, Lahirnya keyakinan harus dilandasi oleh

argumentasi hukum yang merupakan bentuk penalaran yang melibatkan logika

hukum (silogisme) dalam menjustifikasi rasionalitas, konsistensi logika dan

28
Abdulah and Muhammad Zaki, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan (Surabaya:
Universitas SunanGiri, 2008), hlm. 42
konsistensi doktrinal untuk mencapai kesimpulan dalam memutuskan suatu

problem atau permasalahan (perkara) yang dihadapi.29

Menurut pasal 25 ayat (1) UU No.4 Th 2004 segala putusan peradilan selain

harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut memuat pula pasal tertentu dari

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis

yang dijadikan dasar untuk mengadili. Kedudukan alasan atau argumentasi adalah

penting dan menentukan. Dalam suatu putusan yang tidak terdapat alasan hukum

dalam pertimbangannya, putusan tersebut akan dibatalkan pengadilan tingkat

banding dan kasasi. Eksistensi argumentasi hukum dalam dalam pertimbangan

hukum putusan bersifat mutlak. Konsekuensinya ketiadaan atau kekurangan

argumentasi hukum dalam pertimbangan hukum dapat berpengaruh pada

dibatalkannya putusan”.30

Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Terdakwa angka 1

dapat dibenarkan bahwa saksi PRANOTO dan SUGIANTO yang berasal dari

pihak kepolisian, keterangannya tidak dapat diterima dan kebenarannya sangat

diragukan dengan alasan – alasan :

1) Bahwa pihak kepolisian dalam pemeriksaan perkara a quo mempunyai

kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil

di pengadilan, sehingga keterangannya pasti memberatkan atau

menyudutkan bahwa bisa merekayasa keterangan. Padahal yang

dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang benar-benar

29
Ibid
30
Ibid
diberikan secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan Pasal

185 ayat (6) KUHAP) ;

2) Bahwa secara formal kehadiran polisi di persidangan pada dasarnya

digunakan pada saat memberi keterangan yang sifatnya Verbalisan ;

3) Bahwa keterangan 3 orang saksi lainnya pada pokoknya menerangkan

tidak mengetahui siapa barang tersebut ;

4) Bahwa barang yang ditemukan tidak jelas siapa pemiliknya. Untuk

mencari kepastian siapa pemilik barang tersebut, Terdakwa dipaksa

mengaku oleh polisi dengan cara memukuli ;

5) Bahwa barang yang di temukan jaraknya berjauhan yaitu berada di

tempat dimana posisi Terdakwa berdiri. Tidak ada pula saksi yang

melihat Terdakwa menyimpan atau melemparkan barang itu di tempat

di temukan barang. Bisa saja terjadi barang tersebut sudah di simpan

lebih dahulu oleh polisi, oleh karena lama dipepet , kemudian polisi

menyetop Terdakwa persis pada saat berada di dekat barang itu.

Dalam banyak kejad ian penggeledahan badan/rumah barang bukti

berupa narkoba atau psikotropika adalah milik polisi, sudah

dipersiapkan sebelum melakukan penangkapan ;

6) Bahwa tidak jarang pula terjadi, barang bukti tersebut milik polisi,

kemudian dengan berbagai trik menyatakan ditemukan di kantong

Terdakwa atau tempat lainnya untuk selanjutnya dijadikan alat

pemerasan atas diri Terdakwa, seperti halnya dalam perkara a quo,

Terdakwa dimintai uang oleh polisi sebesar Rp.100 juta agar

perkaranya bisa bebas, tidak dilanjutkan ;


7) Bahwa oleh karena itu, mengapa pembuat UU tidak membenarkan

cara-cara penangan seperti dalam perkara a quo, karena pembuat

undang-undang sudah memikirkan dan mengantisipasi, bahwa pada

suatu ketika akan terjadinya praktek rekayasa alat bukti /barang bukti

untuk menjadikan orang menjadi tersangka. Apabila hal ini dibenarkan

maka mudahnya orang jadi tersangka, sehingga polisi dapat

memanfaatkannya sebagai alat pemerasan dsb ;

8) Bahwa keterangan Terdakwa sepanjang persidangan telah

menyangkali barang tersebut bukan sebagai miliknya ;

9) Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Judex Facti tidak punya

cukup alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP, untuk

menyatakan perbuatan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan ;

10) Bahwa tidak ada hasil pemeriksaan Lab yang menyatakan urine

Terdakwa mengandung atau pernah menggunakan narkotika atau

psikotropika ;

Analisis Peneliti bahwa Penerapannya asas in dubio pro reo dalam putusan

Mahkamah Agung No. 1531 K/Pid.Sus/2010 dapat dilihat dalam dasar

pertimbangan majelis hakim di atas dimana jelas bahwa majelis hakim meragukan

keterangan saksi dari pihak kepolisian yang di nilai tidak objektif, dan dari dasar

pertimbangan di atas kemudian dapat dilihat pula alasan poin ke-9 bahwa Judex

Facti tidak punya cukup alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP,

untuk menyatakan perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan

sebagaimana yang dimaksud Pasal 183 KUHAP, untuk Menyatakan perbuatan

Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan. Oleh sebab itu hakim memutus
bebas terdakwa di dasarkan pada berlakunya Pasal 183 KUHAP yang melarang

hakim menjatuhkan pidana bila berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah ia tidak memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Karena jika hakim ragu

mengenai sesuatu maka haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan

terdakwa (asas in dubio pro reo).

B. Kedudukan Penyidik yang dijadikan Saksi dalam Berkas Perkara

Narkotika pada Putusan Nomor.1531 K/Pid. Sus/ 2010.

1. Nilai Kedudukan dan Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Menurut

KUHAP

Alat bukti yaitu segala hal yang memiliki hubungan atau relasi dengan

suatu perbuatan, yang mana dengan alat-alat bukti tersebut dapat digunakan

sebagai bahan pembuktian untuk membentuk keyakinan hakim atas kebenaran

mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan terdakwa .31 Kekuatan dan

penilaian alat bukti terdapat dalam Pasal 185 sampai dengan Pasal 189 KUHAP.

Alat bukti keterangan saksii merupakan alat bukti yang paling utama dan

pertama dalam perkara pidana. Tidak ada peristiwa pidana yang lepas dari

pembuktian keterangan saksi. Hampir seluruh pembuktian perkara pidana selalu

terdapat pemeriksaan keterangan saksi yang dibantu dengan alat bukti yang lain.

Dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP memberikan penjelasan mengenai pengertian

dari keterangan saksi yang mana merupakan salah satu alat bukti yang

dipergunakan dalam perkara pidana. Dalam penjelasan sebelumnya, saksi

verbalisan dapat dikategorikan sebagai saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 26

31
Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia,
(Jakarta: Raih Asa Sukses (RAS), 2012), hlm. 23
juncto Pasal 1 angka 27 KUHAP sebagaimana telah diubah maknanya dengan

dikeluarkannya Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010. Hal ini memberikan

kemungkinan bagi saksi verbalisan memiliki kekuatan pembuktian sebagai saksi

yang diatur dalam KUHAP.32

Mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi diatur di dalam Pasal

185 KUHAP yang isinya:

1) “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang

pengadilan

2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai

suatu alat bukti sah lainnya

4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian

atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila

keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa

sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu

5) Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan

merupakan keterangan saksi

6) Dalam menilai kebenaran keterangan saksi, hakim harus dengan sungguh-

sungguh memperhatikan :

a). Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain

b). Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain

c). Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan

tertentu
32
Ibid, hlm. 26
d). Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya

dapat memengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya

7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan

yang lain tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai

dengan keterangan dari saksi yang disumpah, dapat dipergunakan sebagai

tambahan alat bukti sah yang lain.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diuraikan mengenai nilai pembuktian

keterangan saksi yaitu sebagai berikut :

a. Keterangan saksi diberikan di sidang pengadilan

Keterangan saksi sebagai alat bukti yakni mengenai hal yang dinyatakan oleh

saksi di sidang pengadilan yang bertitik berat sebagai alat bukti ditujukan kepada

permasalahan yang berhubungan dengan pembuktian. Jika dikaitkan dengan

ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP, yang harus dijelaskan dalam persidangan

adalah mengenai apa yang saksi lihat senidir, dengar sendiri, atau alami sendiri

dengan menyebutkan alasannya. Namun dengan adanya Putusan MK Nomor

65/PUU-VIII/2010, ketentuan dalam KUHAP mengenai keterangan saksi yang

harus ia lihat sendiri, ia alami sendiri, dan ia dengar sendiri tidak lagi mempunyai

kekuatan hukum mengikat. Ketentuan mengenai keterangan saksi tersebut

dimaknai menjadi keterangan yang tidak selaluvia dengar sendiri, ia lihat sendiri,

dan ia alami sendiri. Dengan demikian, keterangan saksi yang disampaikan di luar

sidang (outside the court) tidak memiliki kekuatan alat bukti dan tidak dapat

dipergunakan untuk membuktkan kesalahan terdakwa.

b. Satu saksi Bukan saksi (unnus testisinullus testis)

Di dalam KUHAP menganut asas unnus testis nullustestis yang maknanya


satu saksi bukan merupakan saksi. Sekurang- kurangnya diperlukan dua

kesaksian untuk pembuktian yang sah. Hal ini dapat diartikan jika alat bukti

yang dihadirkan hanya terdiri dari satu orang saja tapa ditambah keterangan

saksi yang lain (kesaksian tunggal), maka tidak dapat dinilai sebagia alat bukti

yang cukup guna membuktikan kesalahan terdakwa dengan tindak pidana yang

terjadi. Walaupun jika halnya keterangan saksi tunggal tersebut sudah jelas,

namun terdakwa tidak mengakuinya serta keterangan saksi tunggal tersebut

tidak dicukupi dengan alat bukti yang lain, kesaksian tersebut harus dinyatakan

tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian dengan alasan unnus testis nullus

testis. Berbeda halnya jika terdakwa menyampakan yang mengakui

kesalahannya atas tindak pidana yang tejadi. Dalam hal ini seorang saksi sudah

cukup untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan terdakwa karena

disamping keterangan saksi tunggal tersebut juga disertai alat bukti yang lain

yaitu keterangan atau pengakuan terdakwa. Dengan ini telah terpenuhi ketentuan

minimum pembuktianidan the degree of evidence, yakni keterangan saksi

dengan alat bukti keterangan terdakwa.33

2. Kedudukan Penyidik Pada Pembuktian Keterangan sebagai Saksi

Verbalisan

Sebelum melihat kekuatan pembuktian dari saksi verbalisan yang dikaji

berdasarkan kekuatan pembuktian keterangan saksi secara umum yang diatur

dalam KUHAP, perlu dilihat terlebih dahulu dari salah satu contoh kasus yang

telah diuraikan sebelumnya yang menggunakan saksi verbalisan dalam

33
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan
dan Penuntutan) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 288
persidangan di pengadilan, apakah pemanggilan tersebut mempunyai kekuatan

pembuktian sebagai keterangan saksi ataukah hanya sekedar dijadikan sebagai

petunjuk atau memberikan keyakinan hakim.34

a. Relevansi Keterangan Saksi Verbalisan

Pada penjelasan sebelumnya, telah diuraikan secara ringkas bahwa dalam

contoh kasus di atas keterangan yang disampaikan saksi verbalisan tidak

memiliki relevansi dengan pokok perkara yang sedang berlangsung. Kemudian

akan diuraikan lebih jelas untuk mengetahui bagaimana keterkaitan keterangan

yang disampaikan saksi verbalisan dengan tindak pidana yang terjadi yang

kemudian akan digunakan untuk mengetahui kekuatan pembuktian dari saksi

verbalisan.35

Pemanggilan saksi verbalisan dilakukan dengan alasan bahwa saksi dan

terdakwa dipaksa, ditekan, dan dipukul pada saat proses pemeriksaan penyidikan

yang menyebabkan terdakwa mencabut keterangannya dalam BAP. Untuk

membuktikan mengenai benar atau tidaknya telah terjadi penyiksaan yang

dilakukan oleh penyidik, atas inisiatif majelis hakim dihadirkanlah 3 (saksi

verbalisan). Dengan mengetahui dengan langsung keterangan dari saksi

verbalisan tentang proses serta cara pemeriksaan yang dilakukan penyidik, maka

hakim dapat mengetahui apakah telah terjadi pemaksaan terhadap diri terdakwa

dan saksi pada saat penyidikan.36

Pada prinsipnya, seorang hakim tidak boleh langsung percaya atas

34
Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju,
2003), hlm.10-11.
35
Djoko Prakoso, “Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Peroses Pidana”,
(Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 49.
36
Martua Ebenezer Pardede, “Tinjauan Yuridis tentang Pencabutan Keterangan
Terdakwa Dalam Persidangan dan Implikasinya Terhadap Kekuatan Alat Bukti”, Skripsi, Sarjana
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010, Medan, hlm. 103
keterangan yang disampaikan oleh saksi verbalisan tersebut karena terdapat

kemungkinan bahwa keterangan tersebut memiliki unsur kebohongan

didalamnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan beberapa hal untuk menghindari

potensi adanya kebohongan dalam keterangan saksi verbalisan, yaitu :37

1) Melakukan Sumpah

2) Menghubungkan Keterangan dari Saksi Verbalisan dengan Alat Bukti

Yang Lain

3) Kepercayaan atas Kode Etik sebagai Penyidik

Sumpah dilakukan menurut agama dan kepercayaan saksi verbalisan yang

bertujaun agar dalam memberikan keterangannya tidak berbohong. Diyakini

dengan dilakukannya sumpah atas nama Tuhan, saksi verbalisan tidak akan

menyampaikan keterangan yang palsu dengan asumsi apabila saksi memberikan

keterangan bohong, maka anak mendapatkan hukuman dari Tuhan. Namun,

sumpah saja tidak cukup untuk membuktikan adanya kebenaran dari keterangan

saksi verbalisan. Oleh karena sekedar sumpah saja tidak cukup bagi hakim untuk

percaya atas keterangan saksi verbalisan, maka dapat didukung dengan

keterangan alat-alat bukti lainnya yang berhubungan dengan keterangan

keterangan saksi verbalisan tersebut. Dengan adanya hubungan antara

keterangan saksi verbalisan dengan alat-alat bukti lain, hakim akan merasa jauh

lebih yakin dalam hal mempercayai keterangan saksi verbalisan. Sehingga

sangat penting bagi seorang hakim untuk melakukan analisa dan mencari.38

Pencantuman mengenai pembinaan profesi menunjukkan bahwa pembinaan

37
Dian Aryani Kusady, “Peranan Keterangan Saksi Verbalisan Dalam Proses
Pemeriksaan Perkara Pidana (Studi Kasus Putusan Nomor: 457/Pid.B/2014/Pn.Makassar)”,
Skripsi, Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2016, Makasar, hlm 101
38
Martua Ebenezer Pardede, Op.cit, hlm. 105
profesionalisme Polisi mendapat perhatian dari pembentuk undang-undang

sesuai aspirasi masyarakat yang senantiasa menginginkan peningkatan kualitas

Polisi dalam melaksanakan tugas pokoknya termasuk dalam melakukan

pemeriksaan saksi di tingkat penyidikan.39 Kemapuan profesi harus dimiliki oleh

pejabat Polisi agar dalam melaksanakan melaksanakan tugasnya dapat

berperilaku profesioanl dan jujur dan sesuai etika profesi termasuk pula dalam

hal memberikan keterangan sebagai saksi verbalisan di persidangan.

Tuntutan atas profesionalitas dalam melaksanakan tugas Kepolisian

diuangkap kembali dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tersebut yang mana

dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa :

“Setiap Anggota Polisi wajib: menjalakan tugas secara profesional,

proporsional, dan prosedural.”

Beberapa ketentuan diatas menjadi salah satu contoh dari penyidik anggota

kepolisian yang harus menjalankan tugasnya secara professional tanpa

melanggar ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang maupun

Peraturan Kapolri. Kejujuran diperlukan juga dalam melaksanakan tugasnya

sebagai saksi verbalisan yang memberikan keterangannya dalam persidangan.40

3. Nilai Kedudukan Keterangan Saksi Verbalisan

keterangan saksi verbalisan jika dikaitkan dengan syarat-syarat seorang saksi

dapat mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti keterangan saksi,

yang diuraikan sebagai berikut :

1) Keterangan saksi verbalisan diberikan di sidang pengadilan


2) Saksi Mengucapkan Janji/Sumpah
39
Pudi Rahardi, “Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri)”, (Surabaya:
Laksbang Mediatama,2007), hlm. 90.
40
Leden Marpaung, “Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan
Penyidikan)”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 74.
3) Keterangan Saksi Verbalisan mengenai Tindak Pidana yang terjadi

disertai dengan Alat Bukti yang lain

Sama seperti kasus yang terjadi pada Ket San yang terjadi pada PUTUSAN

NOMOR.1531 K/Pid.Sus/2010, Ket San ditangkap saat malam hari di jalan.

Saat itu, Ket San diikuti oleh dua orang polisi yaitu Pranoto dan Sugianto yang

menembakkan satu kali tembakan peringatan agar Ket San berhenti. Setelah itu,

terdakwa diminta untuk angkat tangan lalu dibawa ke depan ruko untuk

digeledah karena, sebelumnya Pranoto melihat terdakwa membuang sesuatu dari

tangannya. Polisi kemudian memanggil dua orang warga yang menjadi saksi

saat mencari barang tersebut. Dengan dua saksi tersebut saat mencari, ditemukan

barang bukti berupa bungkusan kecil berwarna hitam yang tidak jauh dari

tempat terdakwa dihentikan—menurut memori banding, barang tersebut

ditemukan 23 meter dari lokasi pada malam dan gelap. Terdakwa kemudian

disuruh membuka bungkusan tersebut yang ternyata berisi ekstasi. Terdakwa

mengakui bahwa barang tersebut adalah miliknya, karena pada saat itu,

berdasarkan permohonan banding dan keterangan saksi, Terdakwa dipukuli.

Namun dengan adanya Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 mengubah

makna ketentuan tersebut menjadi keterangan yang tidak selalu ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya. Meskipun telah diubah dengan dikeluarkannya Putusan MK

tersebut, tidak serta merta keterangan saksi verbalisan yang jelas bukan

merupakan keterangan yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri menjadi keterangan yang memperoleh nilai kekuatan pembuktian. Hal ini

disebabkan karena juga dibutuhkan adanya kerelevansian atau keterkaitan


dengan tindak pidana yang terjadi. Mengenai relevansi antara keterangan saksi

verbalisan dengan tindak pidana yang terjadi juga telah dijelaskan sebelumnya

yang mana keterangan saksi verbalisan tersebut tidak benar-benar memiliki

relevansi dengan tindak pidana yang terjadi, melainkan masih memiliki

keterkaitan dalam proses peradilan yang menangani kasus tersebut guna

memperlancar proses pemeriksaan di persidangan. Kemudian perlu dilihat

kembali mengenai tujuan dari pemanggilan saksi verbalisan tersebut.

Pemanggilan saksi verbalisan dalam kasus di atas bertujuan untuk memperoleh

kebenaran mengenai perbedaan keterangan yang disampaikan oleh saksi dan

terdakwa atas diduganya adanya unsur Rekayasa di dalam Kasus KET SAN

pada Putusan NOMOR.1531 K/Pid.Sus/2010, Oleh sebab itu Hakim

berpendapat dalam Putusannya “Bahwa tidak jarang pula terjadi, barang bukti

tersebut milik polisi, kemudian dengan berbagai trik menyatakan ditemukan di

kantong Terdakwa atau tempat lainnya untuk selanjutnya dijadikan alat

pemerasan atas diri Terdakwa, seperti halnya dalam perkara a quo, Terdakwa

dimintai uang oleh polisi sebesar Rp. 100 juta agar perkaranya bisa bebas,

tidak dilanjutkan.”

Dalam Analisis Peneliti, keterangan saksi verbalisan tidak mempunyai

kedudukan/ nilai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti keterangan saksi. Nilai

pembuktian dari keterangan saksi verbalisan hanya sebatas untuk memberi

keyakinan hakim atau petunjuk mengenai benar atau tidak telah terjadi

penekanan, pemaksaan, ataupun pemukulan terhadap saksi dan terdakwa dan

sama sekali tidak ada relasi dengan tindak pidana yang terjadi seperti pada kasus

di atas. Nilai kedudukan/kekuatan pembuktian dari keterangan yang disampaikan


oleh saksi verbalisan yaitu bersifat bebas artinya tidak melekat sifat pembuktian

yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya sifat

kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Hakim dalam menilai

kesesuaian atau hubungannya dengan alat bukti lainnya yang juga diajukan

kehadapan persidangan. Sehingga pada akhirnya keseluruhan alat bukti tersebut

dapat membentuk keyakinan hakim. Kekuatan keterangan saksi verbalisan dalam

penggunaannya juga tidak dapat berdiri sendiri, melainkan juga harus dibantu alat

bukti yang lain. Apabila keterangan saksi verbalisan sesuai dengan alat- alat bukti

yang lain, maka keterangan saksi verbalisan tersebut dapat memiliki nilai

pembuktian dan dapat digunakan dalam menolak bantahan atau sangkalan saksi

dan terdakwa dalam persidangan.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan Penelitian yang diuraikan diatas, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertimbangan Hakim terhadap Penerapan asas in dubio pro reo pada Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1531 K/Pid.Sus/2010 diterapkan

dengan mengedepankan penerapan asas praduga tidak bersalah melalui logika


hukum terkait dengan keterangan saksi yang dianggap tidak kompeten dan

unsur kesalahan dalam diri terdakwa sebenaranya tidak dapat dibuktikan dalam

persidangan oleh majelis hakim pada tingkat pertama maupun banding, namun

putusan pada tingkat pertama dan banding menyatakan terdakwa bersalah. Di

dalam putusan kasasi, serta di dalam Judex Facti tidak punya cukup alat bukti

sebagaimana dimaksud Pasal 183 KUHAP, untuk menyatakan perbuatan

terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan. Oleh sebab ituhakim memutus

bebas terdakwa di dasarkan pada berlakunya Pasal 183 KUHAP yang melarang

hakim menjatuhkan pidana bila berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah ia tidak memperoleh keyakinan tindak pidana benar benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, Karena Jika Hakim Ragu

mengenai sesuatu maka haruslah diputuskan hal hal yang menguntungkan

terdakwa (asas in dubio pro reo).

2. Dalam hal mengenai Kedudukan pembuktian dari keterangan saksi verbalisan

Pada Putusan NOMOR.1531 K/Pid.Sus/2010, ditemukan bahwa keterangan saksi

verbalisan tidak mempunyai nilai kedudukan pembuktian sebagai alat bukti

keterangan saksi. Hal ini dikarenakan keterangan yang diberikan oleh saksi

verbalisan tidak benar- benar memiliki relevansi atau hubungan dengan tindak

pidana yang terjadi, melainkan hanya menambah keyakinan hakim atas unsur

kepentingan Pribadi yang dimiliki oleh Saksi Verbalisan itu sendiri, Nilai

kekuatan pembuktian dari keterangan yang disampaikan oleh saksi verbalisan

tersebut yaitu bersifat bebas artinya tidak melekat sifat pembuktian

yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya

sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan, semua tergantung


kebijaksaan hakim. Hakim juga harus menilai kesesuaian atau hubungannya

dengan alat bukti lainnya yang juga diajukan kehadapan persidangan. Sehingga

pada akhirnya keseluruhan alat bukti tersebut dapat membentuk keyakinan

hakim.

B. Saran

1. Menurut Peneliti Tindakan yang dilakukan Oleh Pihak Penyidik pada Kasus

Ket San pada Putusan Nomor. 1531 K/Pid.Sus/2010, telah terjadi sistem rekaya

kasus dengan dilakukannya penjebakan kepada Terdakwa Ket San,

Kewenangan penyidik dalam KUHAP diatur dalam pasal 7, disana termuat apa

saja yang menjadi wewenang yang dimiliki oleh penyidik. Berbeda dengan

tindak pidana narkotika, tindak pidana biasa tidak mengatur tentang adanya

pembelian terselubung yang mencangkup penjebakan (entrapment), maka tidak

dimungkinkan dalam mengungkap suatu tindak pidana biasa menggunakan

teknik penjebakan. Akan tetapi, karena tidak diaturnya penjebakan

(entrapment) tersebut dalam KUHAP justru membuat adanya kekosongan

norma dan menimbulkan persepsi bahwa penjebakan (entrapment)

diperbolehkan dalam tinda pidana biasa. Pengaturan mengenai penjebakan

(entrapment) dalam KUHAP seharusnya dicantumkan secara tertulis bahwa

teknik penjebalan (entrapment) memang tidak diperbolehkan karena teknik

penjebakan (entrapment) tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan hal ini

berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini perlu diatur lebih lanjut

dikarenakan agar terdapat pengaturan yang jelas bahwa teknik penjebakan

(entrapment) tidak diperbolehkan serta tidak menjadi hal yang rancu dan

menjadi perdebatan apakah teknik penjebakan tersebut sah atau tidak jika
dilakukan dalam mengungkap kasus tindak pidana umum. Dalam

pengaturannya di masa yang akan datang (ius constituendum) agar terdapat

pengaturan yang jelas bahwa penjebakan (entrapment) tidak diperbolehkan

dalam tindak pidana biasa, maka dalam KUHAP di masa yang akan datang

agar dicantumkan ayat tambahan dalam Pasal 7 yang mengatur tentang

Penyidik, Pengaturan ini dicantumkan secara tertulis agar tidak terjadi lagi

penfsiran bahwa teknik penjebakan dalam tindak pidana umum diperbolehkan,

maka dari itu harus ditulis secara tegas dan jelas dalam KUHAP.

2. Kepada para pihak yang berwenang seperti Jaksa, Hakim, serta instansi yang

menaungi Penyidik itu sendiri seharusnya menindaklanjuti penyidik yang

melakukan kekerasan, paksaan, intimidasi dan kekerasan yang lainnya sewaktu

melakukan proses pemeriksan. Hal ini bertujuan agar para penegak hukum

khususnya penyidik yang melakukan BAP tidak sewenang wenang dalam

membuat pernyataan palsu demi kepentingan sendiri.

Anda mungkin juga menyukai