Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH BAHASA INDONESIA

“MAKNA KIBI DALAM UPACARA ADAT WOLOGAI DESA WOLOGAI


KECAMATAN DETUSOKO KABUPATEN ENDE ”

Disusun oleh :
Natalia Desanta Kemba
Semester : 1
Kelas :D

SEKOLAH TINGGI PASTORAL ATMAREKSA ENDE


TAHUN AKADEMIK 2022/2023
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………….

Daftar Isi …………………………………………………………………...

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….

1.1. Latar Belakang ………………………………………………………..


1.2. Rumusan Masalah …………………………………………………….
1.3. Tujuan Makalah ……………………………………………………….
1.4. Manfaat Makalah……………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………….

2.1 Simbol ………………………………………………………………..

2.2 Makanan………………………………………………………………

2.3 Tradisi ………………………………………………………………..

2.4 Makanan Tradisional ………………………………………………..

2.5 Wologai Secara Geografi ……………………………………………..

2.6 Urutan perayaan Nggua Bapu……………………………………….

2.6.1 So Au …………………………………………………………….

2.6.2 Tu tau …………………………………………………………….

2.6.3 Keti Uta ……………………………………………………………

2.6.4 Wari Pare ………………………………………………………….

2.6.5 Nai keu …………………………………………………………….

2.7 Peran Kibi dalam ritual adat …………………………………………..

2.8 Makna simbol kibi dalam upacara adat wologai…………………….

BAB III ………………………………………………………………………….


3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….

3.2 Usul Saran ……………………………………………………………………

Daftar pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makanan merupakan salah satu kebutuhan utama bagi setiap makhluk hidup. Tanpa
makanan, manusia akan mati atau tidak bertahan lama. Setiap hari manusia pasti memerlukan
makanan dengan tujuan untuk menguatkan energi, menjaga kesehatan dan membantu proses
metabolisme tubuh. Dengan makanan yang dikonsumsi, manusia dapat menjalankan
aktivitasnya dengan baik. Semakin baik dan sehat makanan yang dinikmati, semakin baik
pula pertumbuhan fisik seseorang. Demikianpun sebaliknya, jika makanan tidak memenuhi
syarat-syarat higienis, justeru akan merusakkan atau membawakan penyakit yang dapat
mengancam keselamatan nyawa. Karena itu, sebagai salah satu kebutuhan pokok, manusia
hendaknya berjuang dan bekerja demi memperoleh makanan yang layak untuk
kehidupannya.
Di samping itu, makanan memiliki nilai simbolis dalam kebudayaan manusia dan dunia.
Ada peran tertentu yang dimainkan oleh makanan yang disajikan sesuai dengan budaya
setempat. Setiap daerah memiliki beberapa makanan yang khas, yang tentu saja memberikan
makna simbolis tertentu bagi warga yang bersangkutan dalam interaksinya dengan orang
lain. Karena setiap daerah memiliki perbedaan yang spesifik, maka beberapa makna simbolis
dalam wujud makanan tidak dapat langsung dikonsumsi oleh orang lain yang berasal dari
luar daerah. Berdasarkan cara pengolahan dan penyajiannya, fungsi dan makna simbolis
makanan merupakan bagian dari kebudayaan.
Demikianpun masyarakat yang mendiami wilayah persekutuan adat Lio khususnya di
Desa Wologai Tengah juga memiliki makanan yang spesifik / khas sebagai salah satu unsur
budaya. Suku bangsa Lio merupakan salah satu suku yang ada di wilayah kabupaten Ende,
Flores, NTT. Selain itu, Kabupaten Ende memiliki suku lain yaitu suku Ende dan suku
Nga’o. Suku Ende dipengaruhi oleh sejarah masuknya Islam di wilayah kabupaten Ende
yang disebabkan oleh kaum pedagang yang berada di wilayah pesisir selatan, sedangkan
suku Nga’o dipengaruhi oleh wilayah kabupaten Ende yang berbatasan dengan kabupaten
Nagekeo, yang sekarang tersebar di wilayah kecamatan Nangapenda dan kecamatan
Maukaro.
Sedangkan Suku Lio berada di bagian timur wilayah kabupaten Ende. Suku Lio adalah
salah satu suku yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadat yang diwariskan oleh
nenek moyang. Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara adat yang dilaksanakan suku Lio.
Salah satu daerah di dalam wilayah Suku Lio yang masih mempertahankan budayanya adalah
Desa Wologai, yang terletak di Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Di des aini, upacara
dilakukan hampir sepanjang tahun yang dimulai pada Bulan April dan berpuncak pada Bulan
September dalam ritus adat yang disebut Nggua (pesta besar).
Nggua menurut para mosalaki (tetua adat) diartikan sebagai seremoni adat yang
berkaitan dengan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam semesta dan Sang
Pencipta. Nggua bisa bermakna sebagai moment untuk mengucap terimakasih dan syukur
kepada Tuhan yang disebut dengan istilah Du’a Ngga’e. Pesta adat nggua merupakan
rangkaian ritual yang dimulai sejak awal membuka kebun baru hingga berujung pada nggua
ria dan ditutup dengan tarian gawi. Tarian gawi merupakan simbol persaudaraan,
kekeluargaan dan kekerabatan sembari merupakan ungkapan syukur serta penghormatan
kepada Sang Pencipta dan leluhur serta alam yang telah memberikan makanan bagi manusia
supaya tetap hidup dan berkembang.
Salah satu hal yang diwariskan oleh nenek moyang suku Lio adalah makanan tradisional.
Makanan tradisional adalah jajanan serta campuran atau bahan yang digunakan secara
tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah yang bersangkutan serta
diolah oleh masyarakat dengan bahan dasar lokal serta memiliki citarasa yang relatif yang
sesuai dengan selera setempat. Di dalam masyarakat Wologai, terdapat jenis makanan
tradisonal yang disebut kibi (emping). Makanan tradisional Kibi memiliki makna simbolis
dalam acara Nggua Bapu.
Kibi adalah satu satu makanan khas yang biasa dipakai dalam perayaan Nggua di
samping kue cucur atau filu. Kibi terbuat dari padi. Adapun proses pembuatannya adalah
sebagai berikut: pertama-tama padi atau gabah direndam dalam wadah tertentu, setelah
beberapa waktu ditiris airnya, lalu digoreng dengan menggunakan kuali. Setelah agak matang
padi yang telah digoreng itu didinginkan sejenak, kemudian ditumbuk dengan menggunakan
lesung dan alu. Setelah dibersihkan dengan baik, kibi siap untuk dihidangkan. Biasanya pada
saat dihidangkan kibi itu selalu ditemani oleh filu atau kue cucur dan minuman baik kopi
ataupun teh.

1.2. Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah: “Apakah makna
simbolis kibi dalam acara Nggua Bapu di Desa Wologai, Kecamatan Detusoko, Kabupaten
Ende?”
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah pemahaman yang baik tentang makna
simbolis kibi dalam acara Nggua Bapu.
1.4. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian ini pertama-tama untuk memenuhi salah satu ketentuan akademis dari
sekolah khususnya mata pelajaran antropologi. Penulis mau berusaha untuk mendalami
aspek- aspek antropologis dalam budaya lokal di Desa Wologai khususnya mengenai
penggunaan kibi sebagai salah satu bahan makanan yang dipakai. Selain itu penulis berusaha
untuk memahami tentang makna simbolis penggunaan kibi tersebut dalam masyarakat adat di
Desa Wologai.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Simbol

Simbol sering dijumpai dalam kehidupan sehari–hari dengan beragam bentuk dan tujuan
penggunaannya, baik dalam kaitan dengan kegiatan ilmiah ataupun dalam relasi hidup. Hal
ini sangat menarik karena simbol masih bertahan hingga hari ini dan manusia sering
berhubungan dengan simbol. Menurut F.W Dilistone, secara etimologis, simbol (symbol)
berasal dari bahasa Yunani “sym–bollein” yang berarti mencocokkan, menempatkan kedua
bagian berbeda dalam bentuk gambaran, bahasa dan lainnya. Sedangkan menurut Harjoso,
pengertian simbol yang paling abstrak adalah lambang yang dapat diwujudkan dalam bentuk
tanda sebagai syarat dalam kebudayaan yakni sebagai bahasa (lisan dan tulisan).

2.2. Makanan

Makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuh oleh setiap orang. Makanan
merupakan kebutuhan manusia untuk menunjang kelangsungan hidup yang berguna untuk
pertumbuhan dan membangun sel tubuh agar tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya.

2.3. Tradisi

Tradisi berasal dari bahasa Latin yaitu traditio yang berarti kabar atau penerusan. Dapat
diartikan juga sebagai sesuatu yang diturun–temurunkan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya.

2.4. Makanan tradisional

Menurut Fardiaz D (1998), makanan tradisional adalah makanan dan minuman,


termaksud jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional, dan telah lama
berkembang secara spesifik di daerah tertentu dan diolah dari resep–resep yang telah lama
dikenal oleh masyarakat setempat dengan sumber bahan lokal serta memiliki citarasa yang
relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat. Sedangkan menurut Marwanti (2000:112),
makanan tradisional berarti makanan rakyat sehari-hari, baik yang berupa makanan pokok,
makanan selingan, atau sajian khusus yang sudah turun-temurun dari zaman nenek moyang.
Cara pengolahan makanan tradisional umumnya bersifat turun-temurun sehingga makanan
tradisional di setiap tempat atau daerah berbeda-beda satu dengan yang lain.

2.5 Wologai secara geografis

Kampung adat Wologai yang terletak di ketinggian 1.045 mdpl merupakan salah satu
kampung adat tertua di Flores, yang berusia sekitar 800-an tahun. Wologai terletak sekitar 40-an
kilometer ke arah timur kota Ende, di kecamatan Detusoko yang dapat ditempuh dengan
kendaraan umum maupun mobil sewaan.

Tatkala memasuki kampung adat Wologai, di bagian depan sebelah kanan pintu masuk
terdapat sebuah pohon beringin yang ditanam oleh leluhur mereka, dan sekaligus konon setara
dengan usia pendirian kampung adat ini.

Suatu hal yang unik dari Kampung adat Wologai adalah arsitektur bangunannya yang
berbentuk kerucut. Deretan rumah panggung di kampung ini dibangun mengitari Tubu Kanga,
yakni sebuah pelataran yang paling tinggi yang biasa dipakai sebagai tempat digelarnya ritual
adat, di mana terdapat juga batu ceper di tengahnya yang digunakan sebagai altar untuk
meletakkan persembahan bagi leluhur dan Sang Pencipta.

Rumah panggung ini dibuat dari kayu yang diletakan di atas 16 batu ceper yang disusun
tegak untuk dijadikan tiang dasar penopang bangunan ini. Bangunan dengan panjang sekitar 7
meter dengan lebar sekitar 5 meter ini memiliki atap berbentuk kerucut yang dibuat dari alang–
alang ijuk. Tinggi bangunan rumah sekitar 4 meter sementara atapnya sekitar 3 meter.

2.6 Urutan perayaan Nggua Bapu di Wologai

2.6.1 So Au

Ritual adat Nggua diawali dengan So Au yani ritual penunjukkan lahan baru yang akan
dibuka, dan diikuti dengan ritual ngeti. Selanjutnya dilakukan pembersihan ladang dan
pembakaran serta diakhiri dengan acara seru fata atau tolak bala agar ladang tersebut bebas
dari hama dan mendapat hasil berlimpah.

2.6.2. Tu Tau (persembahan)

Yang artinya mempersembahkan hasil karya bumi kepada nenek moyang / para leluhur
setahun sekali dan dipandu langsung oleh tetua adat (mosalaki)

2.6.3. Keti uta (petik sayur) dan sepa uta muri

Yang berarti makan sayur yang dilarang oleh tetua adat (mosalaki) misalnya mentimun
dll.
2.6.4. Wari Pare (jemur padi)

Atau biasa disebut mulu ndu (pengikut) yang akan dipandu langsung oleh tetua adat
(mosalaki ) dan dikuti oleh ana kalo fai walu (masyarakat umum)

2.6.5. Nai Keu (Panjat Pinang)

Dalam ritual ini, masing-masing rumah adat harus mempersiapkan pinang sebanyak satu
tandan. Pinang tersebut dilemparkan ke bawah kolong dan di setiap lemparan mempunyai
makna masing–masing, misalnya ‘kinga keu kibhe’ (pinang tertutup) itu berarti bahwa di
rumah tersebut melahirkan anak laki–laki dan jika ‘kinga keu kenga’ (pinang tertutup) itu
pertanda di rumah itu banyak melahirkan anak perempuan.

2.7. Peranan kibi dalam ritual adat

Dalam acara adat di Wologai, kibi memiliki beberapa peranan penting. Pertama: kibi
dipakai sebagai bahan untuk sesajen bagi untuk arwah nenek moyang / leluhur. Para tetua adat
biasanya membuat ritus yang disebut dengan istilah: “pa’a loka” / pemberian makanan sebagai
tanda ikatan hubungan kekeluargaan dengan leluhur. Kedua: peran kibi sebagai salah satu menu
makanan yang akan disajikan kepada semua tamu yang ikut ambil bagian dalam tersebut.

2.8. Makna simbolis kibi dalam acara Nggua Bapu.

Secara simbolis, kibi mempunyai makna tersendiri. Pada umumnya, makanan khas
tradisional ini mengingatkan masyarakat adat Wologai akan kelimpahan dan keberkahan yang
diberikan oleh Du’a Ngga’e sebagai Sang Pencipta dan Penyelenggara kehidupan manusia dan
dunia. Terhadap anugerah itu, manusia hendaknya mensyukurinya dengan hati yang baik.
Selanjutnya, kibi yang diberikan dalam sesajen kepada leluhur mau menunjukkan adanya
hubungan kekerabatan yang tak pudar oleh waktu. Antara leluhur yang telah meninggal dan
generasi yang masih hidup tetaplah ada ikatan batin yang saling menyatukan.

Pemberian sesajen ini juga mau menunjukkan ungkapan kasih dan kekeluargaan dengan
semua anggota keluarga besar yang sudah meninggal dunia sembari berdoa dan berharap akan
campur tangan mereka dalam mendoakan generasi selanjutnya yang masih hidup. Lebih lanjut,
kehadiran kibi sebagai makanan tradisional juga mengungkapkan ikatan persaudaraan terhadap
setiap warga masyakarat adat dan juga dengan semua orang yang turut berpartisipasi dalam acara
tahunan ini. Biasanya pada perayaan puncak (nggua bapu), semua warga yang memiliki ikatan
darah dan kekeluargaan dengan masing-masing rumah adat, diharuskan untuk ikut berpartisipasi
secara langsung. Namun dengan perkembangan zaman dan kesibukan pekerjaan serta lokasi
yang berjauhan, aspek ini agaknya kurang mendapatkan perhatian dewasa ini. Walau demikian,
prinsipnya adalah bahwa semua ana tana / warga masyarakat adat Wologai diajak untuk turut
berpartisipasi.

Seruan untuk kembali ke kampung dan membangun kampung, serta merasa berbesar dan
berbangga hati dengan kampung sendiri terus digemakan hingga kini supaya tetap terpelihara
warisan leluhur yang amat berharga ini sehingga nilai-nilai adat tak terganggu oleh pengaruh
zaman yang terus berkembang dan berubah ini. Ketika ana tana tiba dan bergabung dalam acara
tersebut, terasa ada suasana berbeda. Ada kehangatan dan keakraban, ada kasih dan
persaudaraan, ada cinta dan kegembiraan yang terpancar, yang harus tetap dihidupkan oleh setiap
generasi. Kepada semua ana tana dan siapapun yang datang, menu tradisional kibi ini
dihidangkan bersama dengan filu / kue cucur dan minuman segar sebagai tanda penerimaan
dalam persekutuan adat Wologai.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Makanan tradisional kibi adalah salah satu aset kebudayaan masyrakat Wologai yang
masih dilestarikan hingga saat ini. Kibi menjadi makanan yang dikomsumsi saat melakukan
ritual adat Wologai. Keberadaan makanan tradisional membuat masyarakat khususnya generasi
muda untuk tertarik dan terus melestarikan makakan tradisional yang ada di daeraj masing-
masing.

3.2 Usul Saran

Dengan adanya makalah ini saya sebagai penulis mengajukan saran bahwa kita sebagai
masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya kita harus terus melestarikan budaya yang ada di
darah kita, salah satunya dari segi makanan.
DAFTAR PUSTAKA

Arndt, Paul, Du’a Ngga’e. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio – Flores

Tengah (Maumere: Puslit Candraditya, 2002).

Orinbao, Sareng, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio (Ende:

Nusa Indah, 1989).

Anda mungkin juga menyukai