Disusun oleh :
Natalia Desanta Kemba
Semester : 1
Kelas :D
2.2 Makanan………………………………………………………………
2.6.1 So Au …………………………………………………………….
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Simbol
Simbol sering dijumpai dalam kehidupan sehari–hari dengan beragam bentuk dan tujuan
penggunaannya, baik dalam kaitan dengan kegiatan ilmiah ataupun dalam relasi hidup. Hal
ini sangat menarik karena simbol masih bertahan hingga hari ini dan manusia sering
berhubungan dengan simbol. Menurut F.W Dilistone, secara etimologis, simbol (symbol)
berasal dari bahasa Yunani “sym–bollein” yang berarti mencocokkan, menempatkan kedua
bagian berbeda dalam bentuk gambaran, bahasa dan lainnya. Sedangkan menurut Harjoso,
pengertian simbol yang paling abstrak adalah lambang yang dapat diwujudkan dalam bentuk
tanda sebagai syarat dalam kebudayaan yakni sebagai bahasa (lisan dan tulisan).
2.2. Makanan
Makanan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuh oleh setiap orang. Makanan
merupakan kebutuhan manusia untuk menunjang kelangsungan hidup yang berguna untuk
pertumbuhan dan membangun sel tubuh agar tetap sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya.
2.3. Tradisi
Tradisi berasal dari bahasa Latin yaitu traditio yang berarti kabar atau penerusan. Dapat
diartikan juga sebagai sesuatu yang diturun–temurunkan dari suatu generasi ke generasi
berikutnya.
Kampung adat Wologai yang terletak di ketinggian 1.045 mdpl merupakan salah satu
kampung adat tertua di Flores, yang berusia sekitar 800-an tahun. Wologai terletak sekitar 40-an
kilometer ke arah timur kota Ende, di kecamatan Detusoko yang dapat ditempuh dengan
kendaraan umum maupun mobil sewaan.
Tatkala memasuki kampung adat Wologai, di bagian depan sebelah kanan pintu masuk
terdapat sebuah pohon beringin yang ditanam oleh leluhur mereka, dan sekaligus konon setara
dengan usia pendirian kampung adat ini.
Suatu hal yang unik dari Kampung adat Wologai adalah arsitektur bangunannya yang
berbentuk kerucut. Deretan rumah panggung di kampung ini dibangun mengitari Tubu Kanga,
yakni sebuah pelataran yang paling tinggi yang biasa dipakai sebagai tempat digelarnya ritual
adat, di mana terdapat juga batu ceper di tengahnya yang digunakan sebagai altar untuk
meletakkan persembahan bagi leluhur dan Sang Pencipta.
Rumah panggung ini dibuat dari kayu yang diletakan di atas 16 batu ceper yang disusun
tegak untuk dijadikan tiang dasar penopang bangunan ini. Bangunan dengan panjang sekitar 7
meter dengan lebar sekitar 5 meter ini memiliki atap berbentuk kerucut yang dibuat dari alang–
alang ijuk. Tinggi bangunan rumah sekitar 4 meter sementara atapnya sekitar 3 meter.
2.6.1 So Au
Ritual adat Nggua diawali dengan So Au yani ritual penunjukkan lahan baru yang akan
dibuka, dan diikuti dengan ritual ngeti. Selanjutnya dilakukan pembersihan ladang dan
pembakaran serta diakhiri dengan acara seru fata atau tolak bala agar ladang tersebut bebas
dari hama dan mendapat hasil berlimpah.
Yang artinya mempersembahkan hasil karya bumi kepada nenek moyang / para leluhur
setahun sekali dan dipandu langsung oleh tetua adat (mosalaki)
Yang berarti makan sayur yang dilarang oleh tetua adat (mosalaki) misalnya mentimun
dll.
2.6.4. Wari Pare (jemur padi)
Atau biasa disebut mulu ndu (pengikut) yang akan dipandu langsung oleh tetua adat
(mosalaki ) dan dikuti oleh ana kalo fai walu (masyarakat umum)
Dalam ritual ini, masing-masing rumah adat harus mempersiapkan pinang sebanyak satu
tandan. Pinang tersebut dilemparkan ke bawah kolong dan di setiap lemparan mempunyai
makna masing–masing, misalnya ‘kinga keu kibhe’ (pinang tertutup) itu berarti bahwa di
rumah tersebut melahirkan anak laki–laki dan jika ‘kinga keu kenga’ (pinang tertutup) itu
pertanda di rumah itu banyak melahirkan anak perempuan.
Dalam acara adat di Wologai, kibi memiliki beberapa peranan penting. Pertama: kibi
dipakai sebagai bahan untuk sesajen bagi untuk arwah nenek moyang / leluhur. Para tetua adat
biasanya membuat ritus yang disebut dengan istilah: “pa’a loka” / pemberian makanan sebagai
tanda ikatan hubungan kekeluargaan dengan leluhur. Kedua: peran kibi sebagai salah satu menu
makanan yang akan disajikan kepada semua tamu yang ikut ambil bagian dalam tersebut.
Secara simbolis, kibi mempunyai makna tersendiri. Pada umumnya, makanan khas
tradisional ini mengingatkan masyarakat adat Wologai akan kelimpahan dan keberkahan yang
diberikan oleh Du’a Ngga’e sebagai Sang Pencipta dan Penyelenggara kehidupan manusia dan
dunia. Terhadap anugerah itu, manusia hendaknya mensyukurinya dengan hati yang baik.
Selanjutnya, kibi yang diberikan dalam sesajen kepada leluhur mau menunjukkan adanya
hubungan kekerabatan yang tak pudar oleh waktu. Antara leluhur yang telah meninggal dan
generasi yang masih hidup tetaplah ada ikatan batin yang saling menyatukan.
Pemberian sesajen ini juga mau menunjukkan ungkapan kasih dan kekeluargaan dengan
semua anggota keluarga besar yang sudah meninggal dunia sembari berdoa dan berharap akan
campur tangan mereka dalam mendoakan generasi selanjutnya yang masih hidup. Lebih lanjut,
kehadiran kibi sebagai makanan tradisional juga mengungkapkan ikatan persaudaraan terhadap
setiap warga masyakarat adat dan juga dengan semua orang yang turut berpartisipasi dalam acara
tahunan ini. Biasanya pada perayaan puncak (nggua bapu), semua warga yang memiliki ikatan
darah dan kekeluargaan dengan masing-masing rumah adat, diharuskan untuk ikut berpartisipasi
secara langsung. Namun dengan perkembangan zaman dan kesibukan pekerjaan serta lokasi
yang berjauhan, aspek ini agaknya kurang mendapatkan perhatian dewasa ini. Walau demikian,
prinsipnya adalah bahwa semua ana tana / warga masyarakat adat Wologai diajak untuk turut
berpartisipasi.
Seruan untuk kembali ke kampung dan membangun kampung, serta merasa berbesar dan
berbangga hati dengan kampung sendiri terus digemakan hingga kini supaya tetap terpelihara
warisan leluhur yang amat berharga ini sehingga nilai-nilai adat tak terganggu oleh pengaruh
zaman yang terus berkembang dan berubah ini. Ketika ana tana tiba dan bergabung dalam acara
tersebut, terasa ada suasana berbeda. Ada kehangatan dan keakraban, ada kasih dan
persaudaraan, ada cinta dan kegembiraan yang terpancar, yang harus tetap dihidupkan oleh setiap
generasi. Kepada semua ana tana dan siapapun yang datang, menu tradisional kibi ini
dihidangkan bersama dengan filu / kue cucur dan minuman segar sebagai tanda penerimaan
dalam persekutuan adat Wologai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Makanan tradisional kibi adalah salah satu aset kebudayaan masyrakat Wologai yang
masih dilestarikan hingga saat ini. Kibi menjadi makanan yang dikomsumsi saat melakukan
ritual adat Wologai. Keberadaan makanan tradisional membuat masyarakat khususnya generasi
muda untuk tertarik dan terus melestarikan makakan tradisional yang ada di daeraj masing-
masing.
Dengan adanya makalah ini saya sebagai penulis mengajukan saran bahwa kita sebagai
masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya kita harus terus melestarikan budaya yang ada di
darah kita, salah satunya dari segi makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Arndt, Paul, Du’a Ngga’e. Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio – Flores
Orinbao, Sareng, Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio (Ende: