Anda di halaman 1dari 2

Filosofi Absurdisme

Seorang raja bernama Sisyphus dijatuhi hukuman abadi oleh dewa-dewa karena
keberaniannya menentang mereka. hukumannya adalah menggotong sebuah batu besar ke
puncak sebuah gunung, yang mana batu itu kemudian terguling kembali ke bawah. Sisyphus
harus turun, mengambil lagi batu tersebut, dan mengulangi proses naik turun yang tak
berujung ini. Sebuah nasib yang tragis. Namun, cobalah bayangkan apakah Sisyphus merasa
senang?.
Sebuah Esai filosofis berjudul "The myth of Sisyphus" ditulis oleh Albert Camus (ini dibaca
‘kamu’ ya syg), sekitar 120 halaman dan diterbitkan pertama kali di Prancis dengan judul
"Le Mythe de Sisyphe." Melalui kisah ini, Camus memperkenalkan absurdisme, sebuah
filosofi yang menegaskan bahwa kehidupan pada dasarnya tidak memiliki makna yang
melekat.
Absurdisme adalah teori yang merenungkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti tujuan
kehidupan, alasan kita hidup, dan pencarian makna dalam keberadaan kita. Pertanyaan-
pertanyaan ini sering muncul saat kita menghadapi momen-momen besar dalam kehidupan,
seperti kehilangan pekerjaan, putus cinta, pandemi, atau bahkan saat kita tiba-tiba terbangun
dan menyadari betapa acuhnya dunia ini. Saat itulah kita mungkin merasakan apa yang
disebut Camus sebagai "The Absurd," perasaan ketidaknyamanan akibat kegagalan mencari
makna atau alasan dalam dunia yang tampak irasional dan tanpa tujuan.
Albert Camus, yang tumbuh di tengah konflik di Aljazair dan mengalami kehilangan ayahnya
dalam Perang Dunia I serta perjuangan pribadinya melawan tuberkulosis, sering
merenungkan ketidakbermaknaan kehidupan di tengah penderitaan dan kekerasan.
Absurdisme, menurutnya, adalah pemahaman bahwa usaha manusia untuk menemukan
makna atau penjelasan rasional dalam semesta adalah sia-sia karena semesta sendiri adalah
tanpa makna. Di Eropa, absurdisme mencerminkan pandangan bahwa tidak ada makna
inheren dalam kehidupan selain makna yang kita ciptakan sendiri.
Menurut absurdisme, sejarah manusia dipenuhi dengan usaha pencarian makna. Beberapa
orang mungkin menemukan solusi dalam penerimaan bahwa hanya ada "sekarang" yang kita
miliki, atau mencoba mengisi kekosongan dengan kepercayaan pada kekuatan yang lebih
besar, seperti agama. "The absurd" menangkap konflik antara keinginan manusia untuk
menemukan nilai dan makna dalam kehidupan dengan ketidakmampuan untuk menemukan
alasan apa pun dalam semesta yang tanpa tujuan dan irasional. Camus menawarkan beberapa
solusi untuk menghadapi titik ini, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dalam tentang
cara kita menghadapi kehidupan tanpa makna yang jelas.
Pertama, dengan berusaha mengabaikan kekosongan makna dalam hidup, yang seringkali
merupakan pilihan yang umum, kita seolah-olah berpura-pura bahwa dunia ini memiliki
keteraturan yang masuk akal dan menciptakan tujuan-tujuan pribadi untuk memberikan arti
pada kehidupan kita. Contoh nyata adalah ketika kita berusaha menghindari kenyataan bahwa
kita hidup hanya untuk mati, dan ketakutan ini sering kali mendorong kita untuk percaya
pada adanya hadiah atau hukuman setelah kematian. Di masyarakat yang lebih sekuler,
mencapai kesuksesan finansial dan menikmati masa pensiun dianggap sebagai cara yang
masuk akal untuk menjalani hidup. Namun, menurut absurdisme, hampir semua sistem
konseptual tentang dunia, baik itu agama, sosial, maupun finansial, sebenarnya hanyalah
upaya untuk menghindari kenyataan bahwa konsep-konsep tersebut tidak dapat memberikan
jawaban terhadap absurditas realitas, meskipun mereka bisa membuat hidup terasa lebih
nyaman.
Solusi lainnya adalah dengan meninggalkan akal atau penalaran. Beberapa filsuf, seperti Carl
Jaspers, berpendapat bahwa penalaran atau pemikiran itu sendiri tidak berguna. Menurutnya,
pemikiran didorong oleh keinginan putus asa untuk mencapai pemahaman metafisik yang
melampaui kenyataan. Filsuf lainnya, seperti Kierkegaard, berpendapat bahwa meskipun
dunia ini sedikit masuk akal, namun ada di luar pemahaman manusia, dan oleh karena itu,
manusia haruslah cukup percaya dan menerima kenyataan bahwa dunia itu tidak akan pernah
sepenuhnya dipahami.
Solusi terakhir yang diusulkan oleh Albert Camus, yang mungkin kontroversial, adalah
dengan mengakhiri hidupnya setelah mengetahui kenyataan pahit dari absurditas. Namun,
menurut Camus, tindakan seperti itu sebenarnya adalah tindakan yang mematikan kebebasan
itu sendiri, yang merupakan kunci bagi kehidupan yang memiliki arti. Menurutnya,
keindahan yang ditemukan dalam hidup membuatnya layak untuk dijalani. Orang dapat
menciptakan makna dalam hidup mereka sendiri, meskipun itu mungkin bukan makna
objektif dari kehidupan, namun tetap memberikan sesuatu yang berharga untuk
diperjuangkan.
Camus menyarankan agar kita harus hidup sesuai dengan "absurditas", yang membutuhkan
adopsi tiga pola pikir. Pertama, hidup dengan pemberontakan yang terus menerus, menolak
untuk pasrah terhadap keadaan, seperti kematian yang tak terhindarkan, dan dengan
demikian, kita membiarkan absurditas hidup sambil tetap menyadari bahwa kita tidak akan
pernah berhasil. Kedua, menolak konsep kebebasan yang abadi, dan menyadari bahwa kita
bebas setiap saat. Ini adalah langkah penting untuk mulai menghargai kehidupan apa adanya,
bukan kehidupan yang kita harapkan. Ketiga, hidup dengan gairah, memiliki semangat untuk
hidup sebaik mungkin, meskipun kita sadar akan keterbatasan dan mortalitas kita.
Melalui pemikiran ini, Camus mengajukan solusi terhadap absurditas dalam mitos Sisyphus.
Dia membayangkan Sisyphus bahagia, karena meskipun menyadari ketidakmungkinan
pencapaian tujuannya, Sisyphus tetap memberontak secara konsisten terhadap keadaannya.
Kesadaran ini membawa kebebasan yang sejati, di mana manusia dapat bertindak baik
sebagai mistikus, mengejar daya tarik supernatural, atau sebagai pahlawan absurd, terus
memberontak terhadap keputusasaan. Dengan penerimaan tanpa penyerahan, manusia dapat
hidup dalam kesadaran akan absurditas dunia, menjalani hidup dengan penuh semangat dan
kebebasan. Terima kasih sudah menonton dan sampai jumpa.

Anda mungkin juga menyukai