Etnis Tionghoa Di Indonesia
Etnis Tionghoa Di Indonesia
Selama masa Orde Baru berkuasa, suku Tionghoa paling banyak diperlakukan
dengan diskriminatif, baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Yang boleh
dirambah oleh Suku Tionghoa sepertinya hanya di bidang ekonomi saja.
Ketika masa Orde Baru juga melarang warga keturunan Tionghoa untuk
berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara
asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang.
Agama tradisional Tionghoa juga dilarang. Mengakibatkan agama Konghucu tidak
diakui oleh pemerintah. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis.
Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya. Pada masa akhir masa Orde Baru, terjadi peristiwa kerusuhan
Mei 1998 yang menyebabkan jatuhnya banyak korban dalam berbagai bentuk
seperti pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan berganti menjadi era Reformasi dijadikan
momentum bagi orang Tionghoa membuka dan menyadarkan mereka akan
pentingnya memperjuangkan aspirasi mereka melalui saluran-saluran politik.
Presiden saat itu, B.J. Habibie juga mengakhiri segala bentuk pelarangan terhadap
kebebasan
berekspresi kelompok suku Tionghoa dengan menerbitkan Impres Nomor 26 tahun
1998. kemudian Gus Dur mencabut Kepres No. 6 tahun 2000, sekaligus keberadaan
Inpres No. 14 tahun 1967. Sejak saat itu, dimulailah kebebasan berekspresi dalam
bidang budaya bahkan, Megawati Soekarnoputri, presiden RI selanjutnya
menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional serta menegaskan lagi tak boleh ada
diskriminasi terhadap suku Tionghoa. Putri Bung Karno ini juga menjamin suku
Tionghoa bisa bekerja dalam bidang apa pun, termasuk menjadi pegawai negeri sipil
(PNS) atau TNI.
Disisi lain, harus diakui pula bahwa globalisasi pun bisa memberi dampak positif.
Misalnya, masuknya budaya asing yang memperkaya kebudayaan Indonesia,
perubahan pola pikir tradisional menjadi pola pikir rasional, sistematis, dan analitis.
Selain itu, globalisasi justru akan menambah berkembangnya ilmu pengetahuan dan
cara berpikir kritis. Tantangan bagi bangsa Indonesia akibat globalisasi memang
mengancam eksistensi jati diri bangsa Indonesia. Sebut saja terjadinya guncangan
budaya (cultural shock). Globalisasi tidak sepenuhnya memperlebar ruang bagi
bertumbuhnya masyarakat terbuka (open society), tetapi di sana sini menimbulkan
ketakutan kehilangan identitas. Agama dan suku menjadi ruang lama yang terbuka
kembali untuk penegasan identitas.
a. Etnis
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis atau etnik berarti
kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti
atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya.
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok
tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun
kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang
mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.
Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi sendiri. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang
diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
b. Kesukuan
Kesukuan adalah suku bangsa, yakni berkaitan dengan kesadaran akan
kesamaan tradisi budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu kelompok
(Tilaar, 2007:4-5) dalam suatu masyarakat yang lebih luas.
Ernest Renan berpendapat, nation atau bangsa ialah suatu solidaritas besar, yang
terbentuk karena adanya kesadaran akan pentingnya berkorban dan hidup bersama-
sama di tengah perbedaan, dan mereka dipersatukan oleh adanya visi bersama.
keberhasilan etnis Tionghoa yang berasal dari karakter dan kebudayaan mereka
sendiri.
Orang Tionghoa pada umumnya berani memulai suatu usaha dan tidak takut
gagal. Mereka mempunyai sense of urgency yang tinggi. Mereka sering
berpendapat, “Jika tidak memulai sekarang, kapan lagi?” Gagal bukanlah hal
yang menakutkan karena umumnya mereka selalu memulai usaha dengan
apa adanya dan dari bawah.
2. Kedua mengumpulkan informasi dan belajar (Ann Wan Seng, 2006). Sebelum
terjun ke suatu bidang usaha, umumnya orang Tionghoa akan
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Mereka tidak segan pergi ke
saudara, teman bahkan pihak yang tidak mereka kenal. Setiap pembicaraan
dengan siapa saja mereka untuk menanyakan usaha yang akan mereka
tekuni. Mereka sangat mahir melakukan survey terhadap usaha yang akan
mereka geluti, karena kemanapun mereka pergi, meraka akan membuka
mata dan telinga mereka lebarlebar. Selain itu, mereka juga tidak segan untuk
belajar. Cara belajar yang umum dari mereka adalah bekerja untuk orang
yang usahanya serupa. Setelah yakin telah menguasai cukup informasi dan
keterampilan mereka akan berusaha sendiri.
3. Ketiga melakukan perencanaan. Perencanaan yang paling umum dilakukan
oleh orang Tionghoa adalah melihat dari segi untung-ruginya suatu usaha
(Ann Wan Seng, 2006).
Mereka mempertimbangkan visibility usaha yang akan mereka jalankan.
Perencanaan tersebut mencangkup 5W1H (what, where, who, when, why).
Perencanaan mereka juga sangat memperhatikan efektifitas (tujuan tercapai)
dan efisiensi (tepat cara, tanpa banyak mengorbankan waktu dan tenaga)
usaha yang mereka geluti.
4. Keempat membina relasi (Ann Wan Seng, 2006). Walaupun orang Tionghoa
sangat kompetitif, tetapi mereka selalu sadar bahwa membina relasi adalah
salah satu kunci keberhasil usaha mereka. Untuk membina hubungan baik
mereka tidak ragu untuk mengeluarkan pengorbanan tertentu, seperti
pemberian hadiah, mengundang makan dan melakukan entertain terhadap
relasi mereka. Siapa saja yang bisa membantu melancarkan dan
mengembangkan usaha adalah relasi mereka. Dengan pembinaan relasi
yang baik, akan terbuka kerja sama yang saling menguntungkan.
9. Kesembilan mengolah keuangan (Ann Wan Seng, 2006). Tidak ada istilah
“uang mati” dalam kamus berdagang ala orang Tionghoa. Mereka selalu
mempekerjakan uang tersebut agar bisa melipat gandakan uang mereka.
Cara yang paling umum dilakukan adalah menanamkan modal kembali ke
usaha mereka. Hal ini bisa dilakukan untuk memdirikan usaha baru atau
untuk membesarkan usaha yang telah ada.
Inti kesuksesan dari bisnis keluarga orang Tionghoa, yaitu warisan nilai-nilai atau
prinsipprinsip usaha yang berhasil diturunkan oleh orang tua Tionghoa kepada anak-
anaknya. Jika kita pergi ke toko-toko orang Tionghoa, sering kali kita dilayani oleh
anak mereka yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tanpa merasa canggung,
anak tersebut bisa melayani kita dengan mahir. Wajar jika suatu saat ia tumbuh
menjadi orang dewasa, maka ia sudah siap untuk berusaha.
Orang tua Tionghoa tidak pernah segan untuk melibatkan anaknya yang masih kecil
dalam usaha mereka. Mereka sudah diberi tanggungjawab yang cukup besar untuk
ukuran seorang murid SD. Mereka diajari setiap proses bisnis dari persiapan hingga
sampai ke tangan pelanggan dan bagaimana menangani pelanggan setelah
transaksi jual beli. Anak-anak orang Tionghoa juga diajak kerja lembur, bahkan
banyak dari mereka yang diajak bekerja sampai pagi tanpa tidur. Dalam proses kerja
itu, mereka di dampingi oleh orang tua mereka. Pada kesempatan itu terjadi
penurunan nilai-nilai cara berusaha dari orang tua mereka. Melibatkan anak dari usia
dini adalah cara yang paling ampuh dari orang tua mereka untuk membentuk anak
mereka menjadi bussinesman tangguh di kemudian hari.
Nilai-nilai yang di ajarkan seorang ayah kepada anaknya tidak pernah lepas dari
unsur kerja keras, ulet, menghargai waktu serta modal, disiplin, hemat, menepati
janji dan dapat di percaya. Ketika mereka mulai besar dan di libatkan dalam usaha
keluarga, di ajarkan juga: Pengenalan medan untuk mengetahui daya beli serta
selera masyarakat, pelayanan terhadap konsumen denagn mengutamakan
banyaknya pelanggan, meskipun untungnya sedikit, mencari kontak-kontak dalam
rangka memperoleh atau memperdalam pengetahuan, maupun mendapatkan atau
memperluas daerah pemasaran bagi barang-barang dagangannya, meningkatkan
kualitas dan kuantitas barang dagangan di samping kerja pribadi, konstinuitas dan
konsistensi dalam bisnis yang di anggap sangat menentukan bagi kelangsungan
bisnis, dan di atas semua itu semangat untuk hidup tinggi. Sejak kecil anak-anak
dididik untuk memilki kepatuhan moral, perlunya mencari konsensus, mengendalikan
diri, memiliki rasa tanggung jawab, berterima kasih pada orang tua serta
menghormati yang lebih senior.
Gunakanlah sifat GIGO (Garbage in Garbage Out/ masuk dari telinga kiri dan keluar
dari telinga kanan maksudnya jika input dalam komputer itu sampah maka yang
keluarpun sampah juga) terhadap hal-hal yang dapat merusak mute dan keadaan
fisik kita.
Perbedaan yang mendasar antara bangsa Indonesia dan etnis Tionghoa adalah
pendidikan akan pentingnya perdagangan dan entrepreneur dari mereka kecil.
Bangsa Indonesia biasanya selalu memanjakan anak mereka bahkan mereka
mencekoki dengan mindset bahwa menjadi PNS jauh lebih baik dan lebih aman
daripada menjadi pengusaha. Bahkan orang tua mereka sendiri kurang paham
pentingnya menjadi pengusaha meskipun hanya menjadi UMKM.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
C. Komunikasi masyarakat etnis tionghoa
Salah satu stereotip yang paling sering dilekatkan kepada etnis Tionghoa adalah
kepandaiannya dalam berbisnis. Menurut hasil wawancara dengan Thung Ju Lan,
orang Tionghoa seringkali dilekatkan pada stereotip seperti itu karena ada dua faktor
historis yang utama.2 Pertama, karena orang Tionghoa pada umumnya adalah
perantau
dan kedua, karena zaman dahulu, Belanda memberikan banyak kesempatan pada
orang Tionghoa untuk membuka usaha dan berbisnis. Pengalaman berbisnis etnis
Tionghoa ini tentunya diteruskan kepada keturunannya secara turun temurun,
hingga sekarang, mereka merajai berbagai usaha besar di tanah air. Aling (38),
seorang pengusaha Tionghoa, mengatakan bahwa dibalik alasan masyarakat
menganggap bahwa orang Tionghoa selalu sukses dan kaya raya, orang Tionghoa
memang cenderung lebih gigih dalam melakukan pekerjaan apapun yang biasanya
dirintis sedari kecil.3
Selain nilai-nilai penting, etnis Tionghoa menganut banyak keunikan etnik dalam
berbisnis, diantaranya ada sistem Guanxi (jaringan bisnis), ganqing (menghormati
dan menjaga ikatan perasaan/ hubungan batin yang dalam), serta xinyong (jaringan
antar-pribadi), dimana perilaku bisnis semacam ini terbentuk oleh kebiasaan
berabad-abad dan hingga sekarang masih dianut oleh banyak orang Tionghoa yang
melakukan usaha (Wibowo, 2004: 177). Hal ini menyebabkan mereka menciptakan
manajemen yang khas, dimana saja mereka tinggal. Ciri yang konon terbentuk oleh
kebisaan berabad-abad itu antara lain, terlihat pada perusahaan mereka yang
lazimnya adalah perusahaan keluarga.
Teori looking glass self dari Cooley, ia juga mengemukakan bahwa dalam salah satu
tahapan melihat diri sendiri, seseorang membangun konsepsi tentang dirinya
berdasarkan asumsi penilaian orang lain terhadap dirinya.
Bisnis yang berbeda lagi, apalagi ditambah dengan percampuran dua etnis untuk
etnis Tionghoa peranakan. Dari hasil penelitian, menurut observasi peneliti dari
pengalaman informant, peneliti menemukan berbagai stereotip gaya bisnis yang
dilakukan oleh para informant yang terlibat dalam bisnis keluarganya. Dilihat dari
gaya-gaya bisnis tersebut, terbukti bahwa bisnis keluarga yang dijalankan oleh etnis
Tionghoa Peranakan sudah tidak sepenuhnya menganut nilai-nilai Tionghoa saja,
namun sudah terdapat percampuran nilai-nilai dari budaya lainnya.
Selain gaya bisnis Tionghoa, ternyata ada beberapa nilai yang cenderung
merupakan budaya pribumi yang dilakukan dalam bisnis keluarga mereka. Pertama,
gaya royal service, dimana informant memberikan service yang tidak perhitungan
kepada client mereka. Selanjutnya, terdapat gaya bisnis soft power yang dilakukan
oleh informant, dimana ia melihat sedari dulu dirinya dan tante nya membantu
menghibur para istri dan anak-anak dari client mereka dengan mengajak berbelanja,
berolahraga, atau belajar menghias bunga. Ketiga, adalah gaya bisnis yang
cenderung adaptable, maksudnya adalah informan mau untuk memahami budaya
lain yang terlibat dalam bisnis keluarganya. Terakhir adalah gaya bisnis modern
yang dilakukan oleh informan. Ia mengatakan bahwa bisnis yang ia pimpin
sekarang, tidak sepenuhnya mengambil elemen nilai Tionghoa saja, karena
menurutnya, perusahaannya harus mencapai target yang berbasis profitability dan
efficiency, yang merupakan pembelajaran dari management modern.
Menurut Denis Toruan7, ada konsep ‘muka’ dalam kebudayaan Cina yang mengacu
kepada dua hal yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi dan lianzi. Lian
adalah kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang, sedangan mianzi
merepresentasikan persepsi sosial terhadap presise seseorang. Kehilangan lian
berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang, dan kehilangan
mianzi berakibat pada hilangnya wibawa dan wewenang seseorang. Orang Cina
berusaha sebisa mungkin menghindari konflik dalam melanggengkan hubungan
dengan sesamanya, dan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang kehilangan
lianzi dan mianzinya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Etnisadalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering
kali dikuatkanoleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas
dapat dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, pengakuan
akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul.
Chu telah diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Khong Hu Chu merupakan
filsuf tertua yang mengajarkan tentang ketertiban hidup (Naveront, 2002, h17).
Peradaban Tionghoa dianggap para ahli sebagai pusat kebudayaan di Timur,
karena mereka kebudayaan tertua dan terkaya yang diketahui manusia, baik
pada masa “Chung-Kuo” maupun pada masa modern (Naveront, 2005). Etnis
Tionghoa mempunyai sejumlah ajaran yang sangat berpengaruh pada
perkembangan dasar berpikir, pandangan hidup dan filsafat orang Tionghoa.
Taoisme merupakan ajaran pertama bagi orang Tionghoa yang merupakan
suatu spekulasi filsafat. Taoisme didasarkan atas ajaran “ Tao ” yaitu jalan
yang seharusnya atau jalan yang benar (Wu-Wei ). Dengan Tao manusia dapat
menghindari segala keadaan yang bertentangan dengan ritme alam semesta.
Taoisme diakui sebagai suatu presistematik berpikir terbesar di dunia dan
sebagai suatu filsafat yang bersifat mistik yang telah mempengaruhi dan
bertahan cara berpikir orang Tionghoa. Jadi, etnis Tionghoa memiliki ciri-ciri
budaya yaitu ambisius dan agresif, superior, eksklusif, ulet, tekun, teliti,
cermat dan hemat.
Pada zaman dahulu etnis Tionghoa lebih berintegrasi dengan orang Jawa. Pada
umumnya mereka tidak menggunakan bahasa asli China dan mereka mulai
mengadopsi budaya Jawa. Tetapi pada abad 20, terjadilah pergerakan nasionalisme
dinegara China yang mempengaruhi kaum Tionghoa di Perantauan. Banyak orang
China dikirim ke Jawa agar etnis Tionghoa lebih berorientasi kepada negara
leluhurnya (Vasanty dalam Martaniah, 1998).
Orang etnis Tionghoa suka bekerja, berspekulasi, penuh inisiatif dan materialistis.
Keturunan etnis Tionghoa ini dikagumi akan keuletan maupun kerajinannya, Sifat
orang beretnis Tionghoa yang kaya dan yang miskin berbeda. Orang Tionghoa yang
miskin cenderung memiliki sifat submisif, hati-hati, rasional, hemat, realistik, rajin,
dan bersungguh-sungguh. Sedangkan yang kaya cenderung memiliki sifat suka
dipuji, tidak simpatik, terlalu bebas, impusif, boros dan tidak hati hati (Allers dalam
Martaniah, 1998).
Amy Chua (dalam Hariyono, 2006) menyebutkan bila suatu negara demokrasi
kelompok etnis minoritas menguasai pasar, sangat mungkin suatu saat memiliki
potensi melahirkan percikan api kerusuhan rasial.
Ketika Deng Xiaoping membuat slogan "reformasi dan membuka diri" membuat
masyarakat Tionghoa bersemangat dan memasuki era globalisasi dengan cepat
(Suryadinata dalam Wibowo, 2000)
Atas dasar uraian dan pendapat tersebut, karyawan etnis Tionghoa yang tinggal di
Indonesia masih tetap memegang teguh kebudayaan maupun nilai-nilai negara
asalnya yang memberikan mereka cara hidup dalam kesehariannya untuk menuju
sukses dan pada umumnya berorientasi pada aktivitas ekonomi.
Etnis Jawa memiliki ciri-ciri budaya yaitu apa adanya, menyerah dan menerima
keadaan, memiliki sopan santun dan tenggang rasa, cepat menyerah, kurang
berusaha.
Pendidikan pada keluarga etnis Jawa tidak bertujuan untuk menghasilkan anak yang
dapat berdiri sendiri, melainkan lebih menekankan agar anak-anak mereka pada
nantinya dapat menjadi orang yang berjiwa sosial dan bersikap budi luhur, lebih
mengutamakan tercapainya kebahagiaan serta keselarasan hidup. Hal inilah yang
menjdai keunikan masyarakat Jawa, menurut Magnis & Suseno (dalam Endraswara,
2003)
Dalam perkembangannya, etnis Jawa memiliki ciri-ciri budaya yaitu apa adanya,
menyerah dan menerima keadaan, memiliki sopan santun dan tenggang rasa, cepat
menyerah, kurang berusaha (Koentjaraningrat, 2007). Karakteristik etnis Jawa
diantaranya menganggap hidup harus dijalani dengan tabah dan pasrah, berperilaku
sopan santun, menghormati orang lain, tidak ngotot dan mencari jalan tengah dalam
sebuah masalah, hidup sesuai moral yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa etnis Jawa memiliki karakter yang
menunjukkan bahwa mereka memiliki motivasi berprestasi yang
tidak terlalu tinggi, hal ini didasari oleh pola asuh orang tua yang menekankan
pendidikan dan tidak bertujuan untuk menghasilkan anak yang dapat berdiri sendiri,
melainkan lebih menekankan agar anak-anak mereka pada nantinya dapat menjadi
orang yang berjiwa sosial dan bersikap serta berbudi luhur.
Motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis Tionghoa ini disebabkan oleh tiga hal,
yaitu: Pertama, akar budaya Tionghoa yang memiliki orientasi pada materi dan
kehormatan (keluarga). Kedua, predikat negatif yang sempat terpatri pada etnis
Tionghoa yang sempat menjadi stereotip pada masa orde baru, hal ini oleh sebagian
orang Tionghoa merupakan cambuk untuk menunjukkan prestasi (kerja) yang lebih
baik sebagai bukti bahwa etnis Tionghoa tidak seburuk yang dikatakan orang.
Ketiga, posisinya sebagai kelompok minoritas ikut mempengaruhi munculnya motif
berprestasi. Akibatnya mereka mencoba menonjolkan identitas dirinya dengan
menunjukkan dan mengerahkan segala kemampuannya, sehingga muncullah motif
berprestasi yang lebih tinggi pada etnis minoritas yang pada akhirnya menunjukkan
tingkat ekonomi yang berbeda (Hariyono, 2006). Crawford (dalam Martaniah, 1998)
menyatakan bahwa orang-orang turunan Tionghoa ini suka bekerja keras,
berspekulasi, penuh inisiatif dan maternalistik. Selain itu mereka juga dikagumi
karena keuletan dan kegigihan mereka dalam bekerja.
Pendapat di atas sejalan dengan yang dikemukakan Hidayat (Martaniah, 1998) yang
menyatakan bahwa ajaran Kong Hu Cu yang banyak dianut oleh etnis Tionghoa,
menyatakan bahwa tiap individu harus mengembangkan kecakapan dan
keterampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya. Selanjutnya
Hidayat mengatakan bahwa etnis Tionghoa sejak dulu meyakini bahwa mereka
adalah pusat perekonomian dunia, maka dimanapun mereka harus melebihi tingkat
hidup kaum pribumi, akibatnya mereka bekerja keras dan tekun, sabar serta hemat
supaya tingkat kehidupannya menonjol.
Etnis Jawa yang memiliki ciri-ciri budaya yaitu apa adanya, menyerah dan menerima
keadaan, memiliki sopan santun dan tenggang rasa, cepat menyerah, kurang
berusaha. Etnis Jawa hidup harus sesuai dengan peraturan moral, meskipun itu
harus melawan hawa nafsu dan menunda terpenuhnya suatu kebutuhan
(Koentjaraningrat, 2007).
Selanjutnya Koentjaraningrat (dalam Hariyono, 1994) mengatakan bahwa konsep
dasar kebudayaan Jawa mengajarkan rakyat kecil biasanya akan bekerja hanya
untuk sekedar makan saja (ngupaya upa) sehingga muncul ungkapan aja ngaya, aja
ngangsa dalam menjalani hidup. Kalangan pelajar dan priyayi memandang masalah
tujuan akhir dan terpengaruhnya daya upaya manusia sehubungan dengan pahala,
merupakan sesuatu yang akan mereka peroleh di dunia akhir kelak.
Menurut Tohirin dan Sudikin (dalam Purnomo, 2005) minoritas group yang ada di
Indonesia seperti etnis Cina, dalam berdagang ternyata mereka lebih unggul karena
umumnya orangtua mereka selalu melibatkan anak-anak dalam berbisnis atau
berdagang. Selain itu warga keturunan Cina telah memiliki budaya dalam berbisnis
secara turun temurun. Mereka juga tidak sungkan-sungkan mengambil resiko
apapun untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kondisi ini
berbeda jika dibandingkan dengan etnis Jawa, dimana menurut Endraswara (2003),
masyarakat Jawa memiliki konsep budi pekerti yang mengajarkan pada masyarakat
Jawa tentang konsep bekerja alon-alon waton kelakon, yang bermakna bahwa
dalam bekeeja hendaknya pelan-pelan yang penting terlaksana. Pelan-pelan berarti
juga dalam bekerja tidak perlu ngangsa dan ngaya sehingga masyarakat Jawa tidak
perlu terburu-buru dalam berusaha dan bekerja dan pada akhirnya membawa orang
Jawa menjadi hidup narima. Akan tetapi dalam realitasnya justru membuat orang
Jawa bekerja terlalu santai dan kurang berusaha untuk mencapai yang lebih baik.
Dalam budaya etnis Jawa, nilai budaya yang dianggap bemilai tinggi adalah apabila
manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya dengan solidaritas yang tinggi
(bergotong royong), mengutamakan kepentingan bersama, rukun dan saling
menghormati dan membantu, serta menekankan keselarasan dan keharmonisan
hubungan antar pribadi, dan masyarakat secara luas (Koentjaraningrat, 1984;
Kartoatmojo, 1990). Hal ini berbeda dengan etnis Cina. Solidaritas etnis Cina lebih
kepada keluarga daripada masyarakat luas (Hidayat, 1977; Gree!, 1989). Dari sini
muncul pertanyaan, benarkah ada perbedaan perilaku prososial antara etnis Jawa
dan etnis Cina?
Staub (1978) mendefinisikan perilaku prososial sebagal suatu perilaku yang memiliki
konsekuensi sosial positif secara fisik maupun secara psikologis, dilakukan secara
sukarela dan menguntungkan orang lain. Pendapat ini dipertegas oleh Wrightsman
dan Oeaux (1981) yang mengemukakan bahwa perilaku prososial merupakan
tindakan yang mempunyai akibat soslal secara positif, yang ditujukan bagi
kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis, dan perilaku
tersebut merupakan perilaku yang leblh banyak memberi keuntungan pad a orang
lain daripada dirinya sendiri. Berdasarkan beberapa batasan pengertian perilaku
prososial ini di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perilaku prososial
adalah mencakup segala bentuk perilaku atau tindakan yang dilakukan secara
sukarela dan memiliki akibat soslal secara posiuf yang ditujukan bagi kepentingan
orang Lain.
Ungkapan rukun
lni disimpulkan dari kata rukun agawe
santosa, crah agawa bubrah, artinya
kerukunann akan memperkoko h
persaudaraan, sebaliknya bila saling
bertengkar akan menghancurkan ikatan
persaudaraan.
etnis
Cina perantauan dan keturunannya di
manapun berada memiliki sifat-sitat yang
relalif sama, mereka tetap berpegang teguh
pada nilai budaya Cina, yang bersumber
pada ajaran Kong Hu Tsu, Tao (Mo Tsu), dan
Budha. Aja ran Kong Hu Tse (Konfusianisme)
berhubungan dengan sistem sosial, ajaran
Tao berhubungan dengan nasib manusia
dalam hubungannya dengan alam. Hal inl
berbeda dengan ajaran Budha yang
berkaitan dengan masa depan hidup
manusia, yaitu nirwana. Ketiga ajaran
tersebut di Indonesia dirangkum menjadi
satu da1am San Kan atau Tri Dharma. Dalam
tulisan ini akan dieksplorasi lebih lanjut
ajaran Konfusianlsme, karena paling relevan
dengan perilaku prososia1 etnls Cina.
Nilai yang mewamai dan dipegang
teguh dalam kehidupan etnis Cina adalah
nitai budaya yang bersumber dari ajaran
Konfusranfsme atau Kung Fu Tse, di
Indonesia ajaran inl dikenal dengan nama
Kong Hu Chu.
Menurut Kong Yuanzhi, kontak antara penduduk Cina dan Kepulaun Nusantara
(Indonesia) sudah terjadi sejak zaman dinasti Tang, dinasti Ming, dan dinasti Qing.4
Pada masa dinasti Tang, daerah Cina bagian selatan ini merupakan daerah yang
ramai dalam bidang perdagangan. Sehingga mendorong mereka untuk melakukan
pelayaran dagang dan mencari kehidupan yang baru. Pada Dinasti Tang ini orang-
orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia, puncaknya pada abad XIX dan
permulaan abad XX merupakan migrasi besar-besaran bagi orang-orang Tionghoa
ke seluruh dunia.5
Menurut Benny G. Setiono, sekitar pada abad 14 di Jakarta ( dulu Sunda Kelapa)
telah ditemukan penduduk dengan bermata rata-rata sipit dan berkulit putih. Dan
pada abad XVI terjadi migrasi besar-besaran ke daerah Jawa. Rata-rata alasan
meninggalkan negeri mereka karena ekonomi dan perang yang terus terjadi
Pada masa Kolonial Belanda, orang-orang Tionghoa mendapatkan fasilitas yang
baik, hal ini dijadikan oleh pemerintah kolonial untuk sebagai alasan mereka
perantara dagang dengan penduduk pribumi. Orang-orang Tionghoa sendiri juga
dianggap sebagai penghambat pribumi dalam bidang perdagangan. Dari sikap
kurang bersahabat ini, muncul kekerasan yang tertuju kepada etnis Tionghoa.
Sebagai contoh yaitu kejadian Perang Jawa 1825-1830 dan pembantaian orang-
orang Tionghoa di Batavia tahun 1740.7 Kasus-kasus yang terjadi diatas merupakan
sebagian contoh kejadian yang menimpa etnis Tionghoa khususnya pada zaman
Kolonial Belanda.
Terlepas dari itu semua, peran etnis Tionghoa juga tidak bisa dianggap enteng,
mereka juga berperan dalam berbagai bidang. Contohnya, Tionghoa Hwee Koan
yang didirikan tahun 1900 yaitu mendirikan sekolah-sekolah untuk memajukan
dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1934 sudah mencapai 450 sekolah. Selain di
bidang pendidikan, etnis Tionghoa juga mengambil peran dalam bidang ekonomi di
Indonesia, yaitu dengan mendirikan Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa)
tahun 1906 di Batavia. Peran Siang Hwee sendiri yaitu lebih menyerupai konsulat
China saat konsul kerajaan tidak ada. Dalam hal ini, kekayaan merupakan hal
sangat penting dalam pemilihan pemimpin Siang Hwee.
9
Kaum totok merupakan pendatang baru yang tiba di Indonesia menjelang akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Hal itu terjadi pada saat terjadinya pergolakan politik di
negeri Cina, bersamaan dengan itu adanya kenaikan permintaan tenaga manusia di
negara-negara jajahan di Asia Tenggara. Kaum peranakan menyebut mereka
dengan singkeh artinya tamu baru. Karena mereka lahir di luar negeri Indonesia
(yaitu Negara Cina), orang Indonesia menyebutnya dengan totok, artinya orang
berdarah murni asing. Logikanya kaum totok itu yang lahir di Negara asal mereaka
(Cina) dan kemudian datang ke Indonesia dan menetap. Rata-rata kaum totok
berprofesi sebagai pedagang. Di luar Jawa banyak dari mereka yang bekerja di
pertambangan dan perkebunan.11
Pada umunya orang Cina di Indonesia kini hidup di kota-kota yang merupakan
keturunan dari perantuan yang datang pada abad ke-19. Kebanyakan dari mereka
telah berhasil di bidang ekonomi. Salah satu yang terkenal di awal abad 20 adalah
Oei Tiong Ham yang merupakan eksportir produk-produk seperti gula dan juga
bergerak dalam perdagangan antar pulau. Penduduk Cina di Indonesia hanya
berkisar 3,5 persen dari penduduk Indonesia.
ajaran konfusianisme merupakan ajaran konfusius berupa etika dan moral yang
saling berhubungan antar manusia mengandung unsur-unsur sifat bijak manusia
yang berpedoman pada sifat yang terpuji, jika ada kekacauan di masyarakat dapat
diatasi
Kedatangan etnis tionghoa ke nusantara belum ada gambaran yang jelas tetapi
sudah lama sebelum jayakarta dikuasi oleh belanda di bawah pimpinan Jan
Pieterszoon Coen pada tahun 1619. Pemahaman mereka terhadap kofusianisme
tidak terlalu mengenal ajaran yang diajarkan kofusius, namun secara tidak sadar
perilaku berdagang etnis Tionghoa sebagian mencerminkan ajaran konfusius, tidak
terlalu ambisius, sederhana dan tetap meghargai usaha yang dikerjakan dengan
menjaga kualitas barang.
etnis Tionghoa ke Nusantara diperkirakan sudah ada tepatnya pada aba ke-4.
Jumlah penduduk etnis ini sekitar 4-5% dari penduduk Indonesia. Kedatangan etnis
Tionghoa ke Nusantara juga memberikan konstribusi yang berarti dalam berbagai
macam bidang, misalnya yaitu bidang perekonomian, bidang perekonomian yang
sangat menonjol dari bidang lainnya, maka tidak heran jika etnis Tionghoa pandai
berdagang, misalnya di pasar-pasar, tidak sedikit etnis ini yang memilih berdagang
di pasar, bahkan perdagangan mereka biasanya sangat ramai oleh pelanggan,
karena etnis Tionghoa merupakan etnis yang sangat menghargai pekerjaan, hal
tersebut masih mencerminkan bahwa etnis ini masih memakai ajaran konfusianisme
Tetapi, masa-masa suram itu telah berlalu semenjak era reformasi, pada
kepemimpinan presiden Gus Dur, etnis Tionghoa tampak mendapat angin segar
dengan pengakuan agama Khonghucu
Sedangkan, etnis Tionghoa yang berada di Tangerang, atau Kota Lama Tangerang,
yang sangat lekat dengan Pasar Lama, didekat pinggiran sungai Cisadane. Adalah,
daerah yang tepat bagi keperluan sosial serta budaya
Pertumbuhan ekonomi China memang menjadi perhatian dunia, hal tersebut tidak
dapat dilepaskan dari penerapan Sosialisme Pasar yang memiliki karakteristik China
yang merupakan hasil pemikiran dari Bapak Reformasi China, yakni Deng Xiaoping.
Kemajuan ekonomi pasar China yang di dalamnya menerapkan Sosialisme Pasar
tidak hanya memberikan implikasi perekonomian China saja, tetapi juga berimplikasi
kepada bidang lainnya (Lubis, 2018).
Ajaran Konfusianisme, ajaran, yang terletak pada etika dan moral yang saling
berhubungan antar manusia dengan statusnya. Di dalam ajaran moralnya konfusius,
mengandung unsur-unsur sifat bijak manusia yang berpedoman pada sifat yang
terpuji, jika ada kekacauan di masyarakat dapat diatasi, serta negara dapat kembali
teratur dan tenteram. Konfusian, pada pemerintah agar penguasa bertindak
berdasarkan pada kemanusian dan keadilan sehingga dicintai dan dipatuhi oleh
rakyatnya. Dalam, ajaran Konfusius yang terletak pada moral sudah tertanamkan
sejak kecil untuk menghormati orang yang lebih tua. Pada masa kecil ini menjadi
dasar yang paling utama ketika sudah beranjak dewasa mempunyai moral yang baik
sehingga tidak mudah hilang oleh sikap yang dapat merusak akhlak (Rosadi, 2015).
Ajaran konfusianisme, terdapat lima sikap yang mengajarkan pada interaksi antar
manusia dalam kehidupan bermasyarakat yaitu, pertama ren mengajarkan dituntut
untuk saling mengasihi pada semua orang yang ada disekitar kita. Yang kedua Yi,
mengajarkan jika bahwa moral, pengetauan tidak diajarkan, mengetahui kebenaran
tetapi tidak melakukannya, mengetahui kekurangan tetapi tidak mengubah maka
mengalami keraguan didalam dirinya. Ketiga Li, mengajarkan norma-norma
seseorang dalam bersikap, yang berlaku di dalam kehidupan, contoh dalam suami
istri, atasan dan bawahan, serta berkeluarga harus saling menghormati agar
terhindar dari pertikaian. Keempat Zhi, mengajarkan bahwa orang yang bijaksana,
harus bisa mempertimbangan dan berpikir panjang dengan baik atas segala
kemungkinan yang terjadi, untuk mengambil keputusan yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan sehingga dapat menemukan solusi yang terbaik jika
terjadimasalah. Kelima Sheng, mengajarkan manusia jika kita dapat masukan atau
mendengarkan kebaikan kita harus mempratekannya dengan begitu kita bisa
mencapai kesempurnaan akhlak dan menjadi suci . (Steffi Thanissa Halim, 2014;
Amalia, 2015)
Dilihat dari fakta sejarahnya, bahwa etnis Tionghoa datang ke Indonesia sudah
sangat lama. Kedatangan etnis ini tidak semata-mata hanya ingin berdagang, tetapi
juga terdapat kepentingan-kepentingan lainnya, seperti penyebaran agama dan juga
pengetahuan seperti sastra, dll. Etnis ini juga merupakan salah satu etnis yang
leluhurnya berasal dari Tiongkok (Cina). Sekitar tahun 300 SM, terdapat bukti
sejarah bahwa pedagang Tionghoa datang dari pesisir laut China Selatan. Pada
catatan sejarah tertulis, bahwa pedagang-pedagang China merupakan pedagang
lama yang telah datang ke Asia Tenggara. Awalnya,
Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang layak, mempunyai rumah bagus,
mobil mewah, punya tabungan untuk hari tua dan lain sebagainya. Pemandangan
seperti ini akan terlihat tidak asing ketika kita mengkaitkannya dengan etnis
Tionghoa yang notabene selalu berhasil dalam setiap bisnis yang dijalaninya. Hal ini
tentulah tidak akan luput dari pengaruh kepribadian yang sudah melekat pada tiap
individu khususnya etnis tionghoa yang terkenal tekun, ulet, jujur, hemat dan pekerja
keras. Akan tetapi tidak semua etnis Tionghoa mempunyai kehidupan ekonomi yang
layak tetapi mereka merasa cukup sukses. Karena bagi sebagian orang kesuksesan
itu tidak hanya dinilai dari materi, melainkan dari keluarga, hubungan sosial
dimasyarakat, serta spiritualitas.
Fenomena saat ini yang tampak nyata di masyarakat yaitu seringnya nilai
kesuksesan seseorang dilambangkan dengan tingkat kekayaan atau kondisi
finansialnya. Namun bila dilihat dari sisi lain, makna kesuksesan dari sudut
pandang psikologi maka nilai kesuksesan tidak hanya diukur dari materi yang
didapatkan dan dihasilkan. Dalam ilmu psikologi kesuksesan dapat dinilai dari
sesuatu yang sudah diraih seseorang dalam tujuan hidup dan cita-citanya. Hal
ini disebut sebagai subjective well-being. Cita-cita dan tujuan hidup yang
dimaksud disini mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai dari finansial,
sosial dengan teman dan keluarga, serta orang terdekat, emosional, hingga
spiritual.
Diener , Suh & Oishi (1997) mengemukakan bahwa kesejahteraan subjektif
merupakan cara bagaimana seseorang mengevaluasi dirinya. Evaluasi tersebut
meliputi kepuasan hidup, sering merasakan emosi positif seperti kegembiraan, kasih
sayang serta jarang merasakan emosi negatif seperi kesedihan dan marah.
Aspek utama dalam masalah minoritas Cina di Indonesia adalah indentitas nasional.
Sebagian dari orang-orang Cina di Indonesia berusaha mempertahankan identitas
rasnya sementara menjadi bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Akan tetapi
pemimpin-pemimpin Indonesia menganggap pelepasan identitas ras dan unsur-
unsur kebudayaan Cina serta penerapan identitas Indonesia asli adalah satu
satunya cara golongan minoritas Cina di Indonesia untuk mendapatkan identitas
bangsa Indonesia secara penuh. Hal ini diinterpretasikan sebagai asimilasi total ke
dalam suku bangsa Indonesia asli, di mana golongan minoritas Cina yang
bersangkutan berdiam.
Benturan nilai mulai terjadi pada saat terjadi interrelasi etnik yang berlatar belakang
budaya dan sistem sosial yang berbeda. “Langit tujuh lapis, bisa ditembus dengan
tombak emas”, ungkapan umum yang berlaku dalam budaya masyarakat kelompok
etnik Cina yang mempersepsikan segala sesuatu bisa dicapai asal mampu
menembusnya dengan materi yang berwujud dan bernilai tinggi. Walau kemudian
terjadi “bursa moralitas” dengan batas yang jelas dalam persepsi dan perilaku
ekspesif.
Dalam perspektif sejarah, pluralitas bangsa Indonesia ditandai dengan adanya dua
atau lebih elemen yang hidup dalam satu kesatuan politik, yaitu orang-orang Cina
(tergolong Timur Asing) yang menduduki kelas menengah, sedangkan golongan
pribumi (Inlanders) merupakan warga kelas tiga (terbawah) di negerinya sendiri
(Nasikun, 1995: 29).
Landasan ekonomi yang kuat bagi orangorang Cina telah menimbulkan sikap
kepercayaan yang begitu kuat. Mereka merasa lebih tinggi, lebih penting derajatnya
dibandingkan penduduk pribumi, sehingga menimbulkan sikap eksklusivisme melalui
perolehan fasilitas dan keistimewaan politik ekonomi, dan diperparah lagi dengan
pengelompokan dalam wilayah pemukiman dan pemisahan dalam pendidikan.
Sikap pragmatisme kelompok etnik Cina sudah sejak lama tidak begitu disenangi
oleh kelompok pribumi. Sehingga fakta adanya perlakuan “istimewa” pemerintah
terhadap bisnis mereka menjadi suatu yang menyakitkan. Dan terbukti belakangan
ini perasaan itu menjadi terakumulasi dan berujung pada krisis kepercayaan kepada
pemerintah dan aparatnya. Sehingga tidak terlalu salah, bila sementara orang
beranggapan, persoalan pribumi–non pribumi pada dasarnya merupakan aspek dari
ketimpangan yang ditimbulkan oleh strategi ekonomi Orde Baru
Sikap eksklusivisme orang Cina berimplikasi terhadap sikap mental psikologis yang
melahirkan statemen: “di mana saja mereka berada harus melebihi tingkat
kehidupan kaum pribumi”. Dengan adanya sikap ini, etnik Cina akan melakukan apa
saja agar bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam kehidupan sehari-hari kita
bisa melihat adanya kesenjangan kehidupan antara etnik Cina–pribumi yang tentu
saja menimbulkan kecemburuan sosial.
Dominasi ekonomi kelompok pengusaha etnik Cina di Indonesia antara lain adalah
keberhasilannya dalam mengembangkan strategi beradaptasi dengan situasi dan
kondisi. Terdapat adagium di kalangan mereka, zaman boleh beredar, penguasa
boleh berganti
dan sistem politik boleh berubah, namun pengusaha Cina tetap sukses di atas
kelompok pengusaha pribumi. Kekuatan bisnis mereka terletak pada sikap reaktif,
artinya mereka melakukan bisnis sebagai adaptasi kekuatan lingkungan, bukan
melawan lingkungan tersebut. Sikap reaktif itu juga menandai proses pengambilan
keputusan, mereka lebih sering menggunakan intuitif dan spontanitas. Barangkali
budaya “judi” sudah menjadi bagian dalam hidup mereka (Sidik Pradana, 1998: 13).
Pembentukan identitas orang Cina adalah hasil daripada interaksi mereka dengan
lingkungan sosial yang berbeda karena faktor sejarah dan proses diaspora. Tafsiran
terhadap makna simbol dalam konteks lingkungan sosial itu telah mempengaruhi
tingkah laku mereka, biarpun mereka tidak terlibat dalam proses penentuan makna
simbol itu. Perubahan identitas orang Cina, dari Cina ke Indonesia, bukanlah tafsiran
individu, tetapi mereka yang mempunyai kekuasaan, uang, dan popularitas. Interaksi
mereka melalui simbol, terutamanya bahasa, turut melahirkan suatu makna bersama
di kalangan mereka sehingga terbentuknya suatu tafsiran yang baik terhadap ciri
kecinaan mereka.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tionghoa di tangerang
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial
tidak ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah
belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial.
Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya
untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain
sebagainya.
Menurut Soekanto dalam buku sosiologi komunikasi, bentuk umum proses sosial
adalah interaksi sosial, sedangkan bentuk khususnya adalah aktivitas-aktivitas
sosial.
H. Bonner dalam bukunya, Social Psychology yang dalam garis besarnya berbunyi
sebagai berikut : interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih
individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu dapat mempengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. Definisi
ini menggambarkan kelangsungan timbal-baliknya interaksi sosial antara dua atau
lebih manusia itu.3
Struktur kasta sosial tersebut bermuatan status hukum, politik dan kedudukan
ekonomi.25 Dalam hal tersebut, penyebutan masyarakat pribumi pada masa kolonial
Belanda, memandang masyarakat asli pribumi Indonesia sebagai masyarakat yang
tergolong rendah, sehingga terdapat adanya suatu ketidak adilan yang mana
berujung pada suatu pertentangan atau konflik
Secara konstitusional istilah orang bangsa Indonesia asli terdapat dalam Pasal 26
Ayat (1) UUD 1945 “yang menjadi warga negara Indonesia ialah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan
Undang-Undang sebagai warga negara. Lebih lanjut kemudian secara lebih jelas
dirumuskan dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, “yang
menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan sebagai warga negara” dimana dalam
penjelasan Pasal 2 UU No.12 Tahun 2006 ini, yang dimaksud dengan orang-orang
bangsa Indonesia asli adalah orang-orang yang menjadi warga Negara yang sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak
sendiri. Pengertian demikian tentu sangat radikal karena kalau mencemati ukuran
asli itu dengan dinamika masyarakat yang terutama terkait dengan perkawinan
campuran. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan Hamid Awaludin bahwa
revolusi berpikir telah dimulai dalam mengartikan orang-orang bangsa Indonesia
asli. Tidak ada lagi percakapan tentang fisik, tidak ada percakapan etnis, tidak ada
percakapan suku dan ras, yang ada sejak lahir dia sudah menjadi WNI.26
Mereka tidak bisa lagi berbahasa Cina, sehari-hari mereka menggunakan bahasa
Sunda dan Betawi. Fenomena cina benteng merupakan bukti nyata betapa
harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Namun demikian
masyarakat cina benteng tersebut masih mempertahankan dan melestarikan adat
istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun.28