Anda di halaman 1dari 35

Patuhi peraturan layaknya seorang profesional,

Perjuangan orang Tionghoa di Indonesia

Senantiasa menghasilkan uang sudah menjadi kebiasaan sekaligus kesenangan


mereka.

Selama masa Orde Baru berkuasa, suku Tionghoa paling banyak diperlakukan
dengan diskriminatif, baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Yang boleh
dirambah oleh Suku Tionghoa sepertinya hanya di bidang ekonomi saja.

Ketika masa Orde Baru juga melarang warga keturunan Tionghoa untuk
berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara
asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang.
Agama tradisional Tionghoa juga dilarang. Mengakibatkan agama Konghucu tidak
diakui oleh pemerintah. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis.
Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya. Pada masa akhir masa Orde Baru, terjadi peristiwa kerusuhan
Mei 1998 yang menyebabkan jatuhnya banyak korban dalam berbagai bentuk
seperti pelecehan seksual, penjarahan, kekerasan, dan lainnya.

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru dan berganti menjadi era Reformasi dijadikan
momentum bagi orang Tionghoa membuka dan menyadarkan mereka akan
pentingnya memperjuangkan aspirasi mereka melalui saluran-saluran politik.

Presiden saat itu, B.J. Habibie juga mengakhiri segala bentuk pelarangan terhadap
kebebasan
berekspresi kelompok suku Tionghoa dengan menerbitkan Impres Nomor 26 tahun
1998. kemudian Gus Dur mencabut Kepres No. 6 tahun 2000, sekaligus keberadaan
Inpres No. 14 tahun 1967. Sejak saat itu, dimulailah kebebasan berekspresi dalam
bidang budaya bahkan, Megawati Soekarnoputri, presiden RI selanjutnya
menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional serta menegaskan lagi tak boleh ada
diskriminasi terhadap suku Tionghoa. Putri Bung Karno ini juga menjamin suku
Tionghoa bisa bekerja dalam bidang apa pun, termasuk menjadi pegawai negeri sipil
(PNS) atau TNI.

Globalisasi merupakan proses transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial dan


budaya manusia yang mengarah kepada sentralisasi kebudayaan kosmopolitan.
Secara perlahan tapi pasti globalisasi mendorong terjadinya penyeragaman yang
universal. Diamond dan McDonald menyatakan terjadinya dua kecenderungan.
Yang pertama adalah pergerakan yang menimbulkan terjadinya “penyeragaman’
dalam banyak hal: gaya hidup hingga sebagian budaya sehingga batas-batas
negara seolah menjadi kabur, karena peneyragaman ini. Yang kedua pergerakan
yang mengarah pada keberagaman. Kecenderungan yang kedua ini justru
menunjukkan adanya pembangunan sekat-sekat yang

Disisi lain, harus diakui pula bahwa globalisasi pun bisa memberi dampak positif.
Misalnya, masuknya budaya asing yang memperkaya kebudayaan Indonesia,
perubahan pola pikir tradisional menjadi pola pikir rasional, sistematis, dan analitis.
Selain itu, globalisasi justru akan menambah berkembangnya ilmu pengetahuan dan
cara berpikir kritis. Tantangan bagi bangsa Indonesia akibat globalisasi memang
mengancam eksistensi jati diri bangsa Indonesia. Sebut saja terjadinya guncangan
budaya (cultural shock). Globalisasi tidak sepenuhnya memperlebar ruang bagi
bertumbuhnya masyarakat terbuka (open society), tetapi di sana sini menimbulkan
ketakutan kehilangan identitas. Agama dan suku menjadi ruang lama yang terbuka
kembali untuk penegasan identitas.

A. Pengertian etnis, etnisasi dan ‘nation and character building

a. Etnis
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis atau etnik berarti
kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti
atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan
sebagainya.

Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok
tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun
kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya.
Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang
mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.
Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa
kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi sendiri. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang
diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.

b. Kesukuan
Kesukuan adalah suku bangsa, yakni berkaitan dengan kesadaran akan
kesamaan tradisi budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu kelompok
(Tilaar, 2007:4-5) dalam suatu masyarakat yang lebih luas.

Ernest Renan berpendapat, nation atau bangsa ialah suatu solidaritas besar, yang
terbentuk karena adanya kesadaran akan pentingnya berkorban dan hidup bersama-
sama di tengah perbedaan, dan mereka dipersatukan oleh adanya visi bersama.

B. Tentang sistem perdagangan etnis Tionghoa

keberhasilan etnis Tionghoa yang berasal dari karakter dan kebudayaan mereka
sendiri.

3 Falsafah orang tionghoa


Konon orang-orang Tionghoa asal suku Hokian
memiliki falsafah yang disebut 3C untuk kesuksesan mereka. 3C tersebut adalah :
1. Cengli yang artinya kalau ingin sukses, cara kita bekerja mesti cengli atau adil
(Ann Wan Seng, 2006). Dengan kata lain kita harus jujur, tidak curang dan
bisa dipercaya. Ini membuat banyak orang suka bekerja sama dengan kita.
Semakin dipercaya, maka pintu pun semakin terbuka lebar bagi kesuksesan
kita.
2. Cincai artinya orang yang mudah memberi, tidak terlalu banyak perhitungan
dan bukan tipe orang yang sulit (Ann Wan Seng, 2006). Orang-orang yang
mudah memberi seperti ini juga mudah mendapat. Sebaliknya jika termasuk
orang yang sulit, pelit, terlalu banyak perhitungan baik dengan Tuhan maupun
sesama, maka berkat juga susah turun untuk orangorang seperti ini.
3. Coan yang artinya orang kerja adalah wajar kalau mengharapkan keuntungan
(Ann Wan Seng, 2006). Namun, fokus utamanya bukan apa yang kita
dapatkan, tapi apa yang berikan. Kita harus sering mengajukan pertanyaan
dalam diri kita, apakah yang kita lakukan sudah sebanding dengan apa yang
kita dapatkan? Apakah kualitas dan kontribusi kita sebanding dengan hasil
yang kita terima?

3 Pantangan Etnis Tonghoa


Mereka juga memiliki pantangan dalam bekerja atau berbisnis yang disebut dengan
3C. C yang pertama adalah
1. Ciok (hutang). Jika hutang mampu dibayar hutang tidak akanmenjadi
masalah, tetapi terkadang akan menjadi C yang kedua yaitu
2. Ciak ( dimakan saja). Dan tidak semakin tidak bertanggung jawab jika
kemudian orang tersebut melakukan C yang ketiga yaitu Cao (lari) (Ann Wan
Seng, 2006).

Rahasia sukses dan keberhasilan orang Tionghoa dalam memulai usaha.


1. Pertama usaha keras, berani mencoba dan tidak takut gagal, memulai
dengan apa adanya (Ann Wan Seng, 2006). Poin inilah yang menjadi
kelebihan utama dari para pengusaha Tionghoa. Dalam keluarga Tionghoa,
kerja keras bukanlah hal yang aneh. Mereka sudah terbiasa lembur hingga
pagi. Jika ada kesempatan, seperti hari menjelang Lebaran, mereka tahu
bahwa permintaan akan meningkat, maka mereka akan bekerja keras untuk
memenuhi permintaan tersebut karena mereka menyadari bahwa Lebaran
hanya satu kali dalam satu tahun.

Orang Tionghoa pada umumnya berani memulai suatu usaha dan tidak takut
gagal. Mereka mempunyai sense of urgency yang tinggi. Mereka sering
berpendapat, “Jika tidak memulai sekarang, kapan lagi?” Gagal bukanlah hal
yang menakutkan karena umumnya mereka selalu memulai usaha dengan
apa adanya dan dari bawah.

2. Kedua mengumpulkan informasi dan belajar (Ann Wan Seng, 2006). Sebelum
terjun ke suatu bidang usaha, umumnya orang Tionghoa akan
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Mereka tidak segan pergi ke
saudara, teman bahkan pihak yang tidak mereka kenal. Setiap pembicaraan
dengan siapa saja mereka untuk menanyakan usaha yang akan mereka
tekuni. Mereka sangat mahir melakukan survey terhadap usaha yang akan
mereka geluti, karena kemanapun mereka pergi, meraka akan membuka
mata dan telinga mereka lebarlebar. Selain itu, mereka juga tidak segan untuk
belajar. Cara belajar yang umum dari mereka adalah bekerja untuk orang
yang usahanya serupa. Setelah yakin telah menguasai cukup informasi dan
keterampilan mereka akan berusaha sendiri.
3. Ketiga melakukan perencanaan. Perencanaan yang paling umum dilakukan
oleh orang Tionghoa adalah melihat dari segi untung-ruginya suatu usaha
(Ann Wan Seng, 2006).
Mereka mempertimbangkan visibility usaha yang akan mereka jalankan.
Perencanaan tersebut mencangkup 5W1H (what, where, who, when, why).
Perencanaan mereka juga sangat memperhatikan efektifitas (tujuan tercapai)
dan efisiensi (tepat cara, tanpa banyak mengorbankan waktu dan tenaga)
usaha yang mereka geluti.

4. Keempat membina relasi (Ann Wan Seng, 2006). Walaupun orang Tionghoa
sangat kompetitif, tetapi mereka selalu sadar bahwa membina relasi adalah
salah satu kunci keberhasil usaha mereka. Untuk membina hubungan baik
mereka tidak ragu untuk mengeluarkan pengorbanan tertentu, seperti
pemberian hadiah, mengundang makan dan melakukan entertain terhadap
relasi mereka. Siapa saja yang bisa membantu melancarkan dan
mengembangkan usaha adalah relasi mereka. Dengan pembinaan relasi
yang baik, akan terbuka kerja sama yang saling menguntungkan.

Keturunan Tionghoa khususnya peranakan atau pribumi memiliki keluarga-


keluarga besar dan bersifat nepotisme yang artinya wajib menolong keluarga.
Sesama migran etnis Tionghoa di mana pun berada harus saling menjaga
dan membantu. Berdasarkan kesamaan etnis dan subetnis itulah mereka
dapat memetik keuntungannya antara lain: Memaksimalkan “contact points”
untuk informasi bisnis atau pekerjaan, tukar menukar berita atau komoditi
dagangan dan memberi atau mendapatkan dukungan psikologis maupun
dukungan moral (Thomas Liem Tjoe, 2008)

5. Kelima kemampuan administratif dan inventory control (Ann Wan Seng,


2006). Orang Tionghoa sangat sadar akan pentingnya kemampuan dalam
beradministrasi dan melakukan mengontrolan inventory. Mereka sangat
memperhatikan secara terperinci setiap kegiatan usaha mereka dan
merekamnya dalam catatan. Karena itu mereka tahu betul bagaimana neraca
keuagan mereka dan persediaan inventory mereka. Contohnya, jika kita
hendak belanja sesuatu di toko orang Tionghoa sangatlah jarang bahwa
mereka sampai kehabisan persediaan.

6. Keenam kemampuan pemasaran (Ann Wan Seng, 2006). Kemampuan


pemasaran orang Tionghoa ditunjang oleh kemampuan mereka dalam
memenuhi kebutuhan dan kemauan pelanggan dan kemampuan menentukan
harga jual dari suatu produk secara tepat. Dari proses ini, maka terjadilah
penyebaran iklan gratis dari mulut kemulut. Untuk pengusaha besar, mereka
melakukan positioning secara professional dengan mensponsori kegiatan
tertentu dan pemasangan pengiklanan melalui media cetak dan media digital.

7. Ketujuh mendelegasikan (Ann Wan Seng, 2006) . Orang Tionghoa sadar


bahwa untuk mengembangkan suatu usaha agar menjadi besar, mereka
harus bisa mendelegasikan pekerjaannya. Pendelegasian berlaku untuk
orang atau karyawan yang bisa dipercaya. Karena itu, mereka cenderung
mencari orang yang sudah dikenal lama dan terbukti bisa dipercaya. Bagi
mereka keahlian berusaha bisa diajarkan, tetapi kebercayaan tergantung dari
masingmasing kepribadian.

Karena sistem kepercayaan ini jugalah maka, mereka tidak segan-segan


meminta anak mereka yang masih kecil untuk membantu usaha mereka. Di
lain pihak, anak mereka yang sudah terbiasa terekspos dengan usaha orang
tuanya, membuat sang anak tumbuh dengan naluri usaha yang mendarah
daging.

8. Kedelapan mendiversifikasi (Ann Wan Seng, 2006). Pengusaha Tionghoa


tidak mudah merasa puas dan cukup atas usaha mereka, mereka selalu
berusaha untuk memperluas usahanya. Salah satu caranya adalah dengan
melakukan diversifikasi produk. Mereka cenderung mempunyai keinginan
untuk memenuhi semua kebutuhan dan keinginan pelanggannya. Mereka
ingin agar pelanggannya hanya datang ke mereka. Untuk itu, mewujudkan
keinginan ini, cara yang paling tepat adalah berani melakukan diversifikasi
produk.

9. Kesembilan mengolah keuangan (Ann Wan Seng, 2006). Tidak ada istilah
“uang mati” dalam kamus berdagang ala orang Tionghoa. Mereka selalu
mempekerjakan uang tersebut agar bisa melipat gandakan uang mereka.
Cara yang paling umum dilakukan adalah menanamkan modal kembali ke
usaha mereka. Hal ini bisa dilakukan untuk memdirikan usaha baru atau
untuk membesarkan usaha yang telah ada.

Inti kesuksesan dari bisnis keluarga orang Tionghoa, yaitu warisan nilai-nilai atau
prinsipprinsip usaha yang berhasil diturunkan oleh orang tua Tionghoa kepada anak-
anaknya. Jika kita pergi ke toko-toko orang Tionghoa, sering kali kita dilayani oleh
anak mereka yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tanpa merasa canggung,
anak tersebut bisa melayani kita dengan mahir. Wajar jika suatu saat ia tumbuh
menjadi orang dewasa, maka ia sudah siap untuk berusaha.

Orang tua Tionghoa tidak pernah segan untuk melibatkan anaknya yang masih kecil
dalam usaha mereka. Mereka sudah diberi tanggungjawab yang cukup besar untuk
ukuran seorang murid SD. Mereka diajari setiap proses bisnis dari persiapan hingga
sampai ke tangan pelanggan dan bagaimana menangani pelanggan setelah
transaksi jual beli. Anak-anak orang Tionghoa juga diajak kerja lembur, bahkan
banyak dari mereka yang diajak bekerja sampai pagi tanpa tidur. Dalam proses kerja
itu, mereka di dampingi oleh orang tua mereka. Pada kesempatan itu terjadi
penurunan nilai-nilai cara berusaha dari orang tua mereka. Melibatkan anak dari usia
dini adalah cara yang paling ampuh dari orang tua mereka untuk membentuk anak
mereka menjadi bussinesman tangguh di kemudian hari.

Nilai-nilai yang di ajarkan seorang ayah kepada anaknya tidak pernah lepas dari
unsur kerja keras, ulet, menghargai waktu serta modal, disiplin, hemat, menepati
janji dan dapat di percaya. Ketika mereka mulai besar dan di libatkan dalam usaha
keluarga, di ajarkan juga: Pengenalan medan untuk mengetahui daya beli serta
selera masyarakat, pelayanan terhadap konsumen denagn mengutamakan
banyaknya pelanggan, meskipun untungnya sedikit, mencari kontak-kontak dalam
rangka memperoleh atau memperdalam pengetahuan, maupun mendapatkan atau
memperluas daerah pemasaran bagi barang-barang dagangannya, meningkatkan
kualitas dan kuantitas barang dagangan di samping kerja pribadi, konstinuitas dan
konsistensi dalam bisnis yang di anggap sangat menentukan bagi kelangsungan
bisnis, dan di atas semua itu semangat untuk hidup tinggi. Sejak kecil anak-anak
dididik untuk memilki kepatuhan moral, perlunya mencari konsensus, mengendalikan
diri, memiliki rasa tanggung jawab, berterima kasih pada orang tua serta
menghormati yang lebih senior.

Kenyataan Tionghoa tersebut berbanding terbalik dengan fakta orang-orang asli


Indonesia sendiri. Faktanya bangsa Indonesia sendiri lebih mengutamakan
kebutuhan pribadi dibandingkan pengembangan usaha/investasi kedepan, kita pada
umumnya beranggapan ”untuk apa kita menumpuk uang dan terlalu mengirit, toh ini
uang kita sendiri lagi pula kita juga belum berkeluarga”. Kita tidak akan mampu
menahan diri terhadap teman-teman yang sering bertemu dan berinteraksi, belum
tentu sifat pamer kita mampu ditekan, belum tentu kita mampu menahan sifat iri
akan benda milik teman, belum tentu kita tidak ingin berlibur dan menghabiskan
uang di akhir pekan. Bisa jadi gaji kita hanya dihabiskan untuk melunasi kartu kresit
yang membengkak.

Gunakanlah sifat GIGO (Garbage in Garbage Out/ masuk dari telinga kiri dan keluar
dari telinga kanan maksudnya jika input dalam komputer itu sampah maka yang
keluarpun sampah juga) terhadap hal-hal yang dapat merusak mute dan keadaan
fisik kita.

Perbedaan yang mendasar antara bangsa Indonesia dan etnis Tionghoa adalah
pendidikan akan pentingnya perdagangan dan entrepreneur dari mereka kecil.
Bangsa Indonesia biasanya selalu memanjakan anak mereka bahkan mereka
mencekoki dengan mindset bahwa menjadi PNS jauh lebih baik dan lebih aman
daripada menjadi pengusaha. Bahkan orang tua mereka sendiri kurang paham
pentingnya menjadi pengusaha meskipun hanya menjadi UMKM.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
C. Komunikasi masyarakat etnis tionghoa

Masalah utama dalam komunikasi antarbudaya adalah kesalahan dalam persepsi


sosial yang disebabkan oleh perbedaanperbedaan budaya yang mempengaruhi
proses persepsi. Pemberian makna kepada pesan dalam banyak hal dipengaruhi
oleh budaya penyandi balik pesan. Akibatnya, kesalahan-kesalahan gawat dalam
makna mungkin timbul yang tidak dimaksudkan oleh pelaku-pelaku komunikasi.
Kesalahankesalahan ini diakibatkan oleh orang-orang yang berlatar belakang
berbeda dan tidak dapat memahami satu sama lainnya dengan akurat.

Salah satu stereotip yang paling sering dilekatkan kepada etnis Tionghoa adalah
kepandaiannya dalam berbisnis. Menurut hasil wawancara dengan Thung Ju Lan,
orang Tionghoa seringkali dilekatkan pada stereotip seperti itu karena ada dua faktor
historis yang utama.2 Pertama, karena orang Tionghoa pada umumnya adalah
perantau
dan kedua, karena zaman dahulu, Belanda memberikan banyak kesempatan pada
orang Tionghoa untuk membuka usaha dan berbisnis. Pengalaman berbisnis etnis
Tionghoa ini tentunya diteruskan kepada keturunannya secara turun temurun,
hingga sekarang, mereka merajai berbagai usaha besar di tanah air. Aling (38),
seorang pengusaha Tionghoa, mengatakan bahwa dibalik alasan masyarakat
menganggap bahwa orang Tionghoa selalu sukses dan kaya raya, orang Tionghoa
memang cenderung lebih gigih dalam melakukan pekerjaan apapun yang biasanya
dirintis sedari kecil.3

Selain nilai-nilai penting, etnis Tionghoa menganut banyak keunikan etnik dalam
berbisnis, diantaranya ada sistem Guanxi (jaringan bisnis), ganqing (menghormati
dan menjaga ikatan perasaan/ hubungan batin yang dalam), serta xinyong (jaringan
antar-pribadi), dimana perilaku bisnis semacam ini terbentuk oleh kebiasaan
berabad-abad dan hingga sekarang masih dianut oleh banyak orang Tionghoa yang
melakukan usaha (Wibowo, 2004: 177). Hal ini menyebabkan mereka menciptakan
manajemen yang khas, dimana saja mereka tinggal. Ciri yang konon terbentuk oleh
kebisaan berabad-abad itu antara lain, terlihat pada perusahaan mereka yang
lazimnya adalah perusahaan keluarga.

Teori looking glass self dari Cooley, ia juga mengemukakan bahwa dalam salah satu
tahapan melihat diri sendiri, seseorang membangun konsepsi tentang dirinya
berdasarkan asumsi penilaian orang lain terhadap dirinya.

Seseorang membangun konsepsi tentang dirinya berdasarkan asumsi penilaian


orang lain terhadap dirinya.

Intensionalitas merupakan kunci filsafat Husserl dimana intensionalitas adalah


menyatunya objek dan subjek secara psikis. Tindakan seseorang dikatan
intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas. Dalam filsafat
Husserl, intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia,
tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah
menjadi pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu.
Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran dan intensionalitas juga merupakan
keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu objek.

Beberapa stereotip yang diberikan kepada para informant sebagai Peranakan


adalah pelit, licik, Cina palsu, Cina piano, money oriented, oportunis, perhitungan,
serta kaya raya. Stereotip berpengaruh dengan kesulitan-kesulitan yang mereka
hadapi selama ini sebagai etnis Peranakan. Informant menceritakan kisah hidup
mereka yang tidak mudah karena lingkungan sekitarnya yang tidak menerima
mereka sebagai etnis Peranakan. Kesulitan yang mereka hadapi tidak hanya ketika
mereka bergaul dengan etnis Tionghoa, namun juga ketika mereka berhadapan
dengan orang pribumi asli.

Bisnis yang berbeda lagi, apalagi ditambah dengan percampuran dua etnis untuk
etnis Tionghoa peranakan. Dari hasil penelitian, menurut observasi peneliti dari
pengalaman informant, peneliti menemukan berbagai stereotip gaya bisnis yang
dilakukan oleh para informant yang terlibat dalam bisnis keluarganya. Dilihat dari
gaya-gaya bisnis tersebut, terbukti bahwa bisnis keluarga yang dijalankan oleh etnis
Tionghoa Peranakan sudah tidak sepenuhnya menganut nilai-nilai Tionghoa saja,
namun sudah terdapat percampuran nilai-nilai dari budaya lainnya.

Gaya bisnis yang dijalankan oleh Orang tionghoa memiliki nilai :


1. Yang tahan banting, yang menjadi modal utama dalam berbisnis.
2. Disiplin, yang diakui pula oleh Thung Ju Lan memang sangat penting dalam
hal berbisnis. Tidak hanya sekedar disiplin untuk bangun pagi membuka toko,
tetapi juga harus dalam semua aspek, termasuk dalam pembukuan dan
penulisan utang piutang. Disiplin dalam mengatur uang sangat penting,
apalagi dalam membayar utang.
3. Value in wealth, yaitu mengutamakan kekayaan. Informant mengatakan
bahwa bisnis keluarganya sangat mengutamakan pengumpulan harta, karena
menurut ajaran keluarganya, bila bisnisnya kaya, maka segala-galanya akan
menjadi baik dan lancar
4. Loyalitas, yang dibangun oleh pemimpin dengan karyawan sehingga
terbangun hubungan baik.
5. Kejujuran, dimana nilai ini berhubungan dengan adat guan xi yang dibangun
oleh para pengusaha etnisTionghoa.

Selain gaya bisnis Tionghoa, ternyata ada beberapa nilai yang cenderung
merupakan budaya pribumi yang dilakukan dalam bisnis keluarga mereka. Pertama,
gaya royal service, dimana informant memberikan service yang tidak perhitungan
kepada client mereka. Selanjutnya, terdapat gaya bisnis soft power yang dilakukan
oleh informant, dimana ia melihat sedari dulu dirinya dan tante nya membantu
menghibur para istri dan anak-anak dari client mereka dengan mengajak berbelanja,
berolahraga, atau belajar menghias bunga. Ketiga, adalah gaya bisnis yang
cenderung adaptable, maksudnya adalah informan mau untuk memahami budaya
lain yang terlibat dalam bisnis keluarganya. Terakhir adalah gaya bisnis modern
yang dilakukan oleh informan. Ia mengatakan bahwa bisnis yang ia pimpin
sekarang, tidak sepenuhnya mengambil elemen nilai Tionghoa saja, karena
menurutnya, perusahaannya harus mencapai target yang berbasis profitability dan
efficiency, yang merupakan pembelajaran dari management modern.

Gaya komunikasi, termasuk didalamnya tingkat sikap langsung, derajat formalitas,


preferensi komunikasi tertulis versus lisan, dan faktor-faktor lain,sangat berbeda-
beda dari satu budaya ke budaya lain. Mengetahui apa yang diharapkan para mitra
komunikasi akan membantu menyesuaikan gaya tertentu mereka. Memperhatikan
dan mempelajari adalah cara terbaik untuk memperbaiki keterampilan dalam
mengerti budaya (Courtland L. Bovée 2007:107). Gaya komunikasi dalam bisnis
yang berbedabeda yang dialami oleh informant tentunya menghadapi berbagai
kendala selama prosesnya, yang akhirnya menimbulkan sebuah perilaku komunikasi
para informant dalam menjalankan bisnis keluarga mereka.

Menurut Denis Toruan7, ada konsep ‘muka’ dalam kebudayaan Cina yang mengacu
kepada dua hal yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi dan lianzi. Lian
adalah kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang, sedangan mianzi
merepresentasikan persepsi sosial terhadap presise seseorang. Kehilangan lian
berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang, dan kehilangan
mianzi berakibat pada hilangnya wibawa dan wewenang seseorang. Orang Cina
berusaha sebisa mungkin menghindari konflik dalam melanggengkan hubungan
dengan sesamanya, dan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang kehilangan
lianzi dan mianzinya.

Menurut Thung Ju Lan, bisnis keluarga memang banyak keuntungannya, antara


lain, bila kompak dalam bekerja sama, maka sebuah bisnis yang dijalankan sebuah
keluarga akan cepat berkembang karena memiliki latar belakang yang sama, serta
sudah ada rasa percaya yang terjadi antara satu dengan yang lainnya. Namun, bila
sudah ada satu orang dari anggota keluarga yang memiliki pemikiran yang berbeda,
maka semuanya akan menjadi rumit. Sehingga, orang etnis Tionghoa lebih tegas
dalam menjalankan bisnis keluarganya, mereka sudah mengajarkan pola kerja
tertentu kepada keturunannya sehingga pemikiran mereka semua sama. Dalam
pemberian upah pun, mereka juga tegas dalam porsi dan perhitungannya, terdapat
perjanjian antara orang tua dan anaknya. Thung Ju Lan menambahkan lagi bahwa
orang Tionghoa yang sudah peranakan dan membaur, biasanya sudah banyak
kehilangan nilai-nilai disiplin yang biasanya diterapkan etnis Tionghoa totok.

Stereotip mempengaruhi cara mereka dalam melakukan kegiatan komunikasi


bisnis, terutama gaya bisnis yang sudah merupakan percampuran dari nilai-nilai
Tionghoa dan pribumi, yang akhirnya mempengaruhi perilaku komunikasi mereka
dalam bisnis keluarga terhadap kendala yang dihadapi

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Etnisadalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering
kali dikuatkanoleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Dari pendapat diatas
dapat dilihat bahwa etnis ditentukan oleh adanya kesadaran kelompok, pengakuan
akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal-usul.

Koentjaraningrat (2007) lebih lanjut berpendapat bahwa Tionghoa dapat


dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Tionghoa Totok dan Tionghoa Keturunan.
Tionghoa Totok adalah orang Tionghoa yang lahir di Tionghoa dan Indonesia, dan
merupakan hasil dari perkawinan sesama Tionghoa. Tionghoa keturunan adalah
orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan merupakan hasil perkawinan campur
antara orang Tionghoa dengan orang Indonesia. Haryono (2006) menambahkan,
masyarakat Tionghoa di pulu Jawa umunya adalah suku Hokkian.

Menurut Haryono (2006) orang Tionghoa Totok dimaksudkan sebagai orang


Tionghoa yang dilahirkan di negeri Tionghoa yang menetap di Indonesia dan
generasi anaknya yang lahir di Indonesia. Anak dari TionghoaTotok masih tetap
dianggap Tionghoa Totok karena kultur dan orientasi hidup cenderung masih pada
negeri Tionghoa. Orang Tionghoa keturunan dimaksudkan sebagai orang Tionghoa
yang lahir dan telah lama menetap di Indonesia selama generasi ketiga atau lebih.
Perbedaan lama menetap ini pada umunya berpengaruh pada kuat lemahnya tradisi
Tionghoa yang dianut.

Pandangan Hidup Serta Filsafat Etnis Tionghoa

sewajarnya. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan


satu kelompok yang asal dari satu daerah di negeri Tionghoa, tetapi terdiri dari
beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Puksen dan Kwanglung,
yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa
kebudayaan suku bangsa sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya.
Ada empat bahasa yang digunakan oleh orang Tionghoa di Indonesia, yaitu bahasa
Hokkian, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang demikian besar perbedaannya,
sehingga pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti pembicaraan dari
yang lain (Vasanty dalam Hariyono, 2006).

Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) mengatakan para imigran Tionghoa yang


terbesar ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19,
berasal dari suku bangsa Hokkian. Mereka berasal dari propinsi Fukien bagian
selatan. Daerah itu merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan dan
perdagangan orang Tionghoa ke seberang lautan. Kepandaian berdagang ini yang
ada didalam kebudayaan suku bangsa Hokkian telah terendap berabad-abad
lamanya dan masih tampak jelas pada orang Tionghoa di Indonesia. Diantara
pedagang pedagang Tionghoa di Indonesia merekalah yang paling berhasil. Hal ini
juga disebabkan karena sebagian dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Orang
Hokkian dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling
banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pantai Barat
Sumatera.

Stereotipe Etnis Tionghoa

Stereotip etnis Tionghoa biasanya disebutkan sebagai memiliki sikap tertutup,


angkuh, egoistis, superior dan materialistis. Tapi kadang-kadang menunjukkan sikap
ramah, murah hati, rajin, ulet, memiliki spekulasi tinggi, namun dengan mudah
menghambur-hamburkan materi, suka berpesta pora. Sifatnya muncul secara
bergantian, tidak menentu, seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, sehingga orang yang
belum mengenalnya akan sulit menangkap sifat orang Tionghoa dan akan dengan
mudah dilihat sisi negatifnya. Bahkan sementara orang menganggapnya sebagai
suatu eksploitasi terhadap lingkungan (sosial) disekitarnya. Padahal sifat itu muncul
secara spontan dari alam tidak sadarnya yang secara kultural berasal dari akar
budayanya yang tunggal yang memiliki makna tertentu yang akan dapat dipahami.
Justru keanekaragaman sifat dan sikap ini yang membedakan ciri khas etnis
Tionghoa dengan yang lain (Vasanty dalam Hariyono, 2006).

Selanjutnya Vasanty (Hariyono, 2006) mengatakan bila ditelusuri stereotipe-


stereotipe di atas ternyata saling berkaitan, memiliki akar budayanya yang tunggal
pada sistem kepercayaannya. Pada etnis Tionghoa sistem kepercayaan dan tradisi
yang dianut secara cukup luas terdapat pada agama Konfusius, disamping terdapat
juga agama Tao dan Budha. Ajaran Konfusius selama berabad-abad sempat
menjadi ajaran wajib disekolah-sekolah negeri Tionghoa pada zaman dahulu.
Internalisasi yang cukup lama ini membekas pada etnis Tionghoa sampai generasi-
generasi berikutnya. Meskipun ajaran ini sudah tidak begitu banyak dianut oleh
orang Tionghoa di Indonesia, namun sisa-sisa nilai yang terbentuk masih tampak
pada etnis Tionghoa dalam berbagai gradasi internalisasi yang berbeda-beda.
Selain itu secara internal ajaran Konfusius memiliki kekuatan akan pewarisan nilai-
nilai, karena salah satu nilai yang cukup menonjol, yaitu nilai patuh kepada orang tua
dan pengabdian kepada keluarga memungkinkan segala sesuatu, merupakan media
internalisasi yang ampuh bagi penamaan nilai secara kuat kepada generasi berikut
(Vasanty dalam Hariyono, 2006).

Karakteristik Etnis Tionghoa

Naveront (2002) berpendapat bahwa orang-orang Tionghoa sebagai pendatang


memiliki peradaban maju. Pada awalnya mereka merantau ke berbagai daerah,
dari “nol” lalu melakukan bisnis kecil-kecil hingga maju dan menjelma menjadi
pengusaha jaringan ekonomi.

Dalam menjalin komunikasi rata-rata orang Tionghoa mendasarkan pada sikap


hubungan dalam keluarga, negara dan pergaulan terhadap bangsa-bangsa lain
yang ada di sekitarnya. Atas dasar kesadaran bahwa kedudukan peradaban
orang Tionghoa lebih tinggi, lebih superior, lebih maju, lebih berhak
memerintah dan memajukan negara-negara kecil yang ada di sekitarnya, maka
orang-orang Tionghoa yang hidup di perantauan menunjukkan sikap
ambisiusnya mengejar kemajuan ekonomi, baik ditingkat lokal, regional
maupun di internasional.

Walaupun dalam kehidupan sehari-hari orang Tionghoa bergaul dengan


masyarakat pribumi, tetapi mereka jarang mau mengidentifikasikan dirinya
sebagai pribumi, sebab mereka menganggap dirinya lebih tinggi dari pribumi.
Biasanya orang Tionghoa berpegang teguh pada kebudayaan negeri
leluhurnya dan mempunyai pandangan bahwa mereka adalah bangsa superior
(Hidayat, 1993). Sebagian besar perantau Tionghoa yang datang ke Indonesia
memiliki keuletan, tekun, teliti, cermat dan hemat. Oetama (dalam Bonavia,
1987) mengungkapkan bahwa orang Tionghoa dikenal pula sebagai orang
yang dapat hidup dalam keprihatinan yang tinggi. Mereka mengajarkan pada
anak-anak untuk hidup dengan rajin, mau memperjuangkan hidup walau harus
diawali dengan prihatin.

Sikap mental psikologis orang Tionghoa terutama berlandaskan pada dasar


pola pemikiran Konfucius, yang hidup pada tahun 551-479 SM. Buah
pikirannya merupakan suatu filsafat sosial yang memimpikan suatu negara
kesatuan untuk seluruh daerah Tionghoa dan seluruh peradaban manusia.
Konfucius yakin bahwa moral yang baik hanya bisa dicapai melalui upacara-
upacara tradisionil. Di Indonesia Konfucius dikenal dengan Khong Hu Chu
atau Kong Fu Tze. Khong Hu

Chu telah diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Khong Hu Chu merupakan
filsuf tertua yang mengajarkan tentang ketertiban hidup (Naveront, 2002, h17).
Peradaban Tionghoa dianggap para ahli sebagai pusat kebudayaan di Timur,
karena mereka kebudayaan tertua dan terkaya yang diketahui manusia, baik
pada masa “Chung-Kuo” maupun pada masa modern (Naveront, 2005). Etnis
Tionghoa mempunyai sejumlah ajaran yang sangat berpengaruh pada
perkembangan dasar berpikir, pandangan hidup dan filsafat orang Tionghoa.
Taoisme merupakan ajaran pertama bagi orang Tionghoa yang merupakan
suatu spekulasi filsafat. Taoisme didasarkan atas ajaran “ Tao ” yaitu jalan
yang seharusnya atau jalan yang benar (Wu-Wei ). Dengan Tao manusia dapat
menghindari segala keadaan yang bertentangan dengan ritme alam semesta.
Taoisme diakui sebagai suatu presistematik berpikir terbesar di dunia dan
sebagai suatu filsafat yang bersifat mistik yang telah mempengaruhi dan
bertahan cara berpikir orang Tionghoa. Jadi, etnis Tionghoa memiliki ciri-ciri
budaya yaitu ambisius dan agresif, superior, eksklusif, ulet, tekun, teliti,
cermat dan hemat.

Karyawan Etnis Tionghoa

Pada zaman dahulu etnis Tionghoa lebih berintegrasi dengan orang Jawa. Pada
umumnya mereka tidak menggunakan bahasa asli China dan mereka mulai
mengadopsi budaya Jawa. Tetapi pada abad 20, terjadilah pergerakan nasionalisme
dinegara China yang mempengaruhi kaum Tionghoa di Perantauan. Banyak orang
China dikirim ke Jawa agar etnis Tionghoa lebih berorientasi kepada negara
leluhurnya (Vasanty dalam Martaniah, 1998).

Orang etnis Tionghoa suka bekerja, berspekulasi, penuh inisiatif dan materialistis.
Keturunan etnis Tionghoa ini dikagumi akan keuletan maupun kerajinannya, Sifat
orang beretnis Tionghoa yang kaya dan yang miskin berbeda. Orang Tionghoa yang
miskin cenderung memiliki sifat submisif, hati-hati, rasional, hemat, realistik, rajin,
dan bersungguh-sungguh. Sedangkan yang kaya cenderung memiliki sifat suka
dipuji, tidak simpatik, terlalu bebas, impusif, boros dan tidak hati hati (Allers dalam
Martaniah, 1998).

Seiring perkembangan zaman, banyak sekolah dan perusahaan yang didominasi


oleh etnis Tionghoa dan tentunya kebudayaan yang mereka anut serta nilai-nilainya
masih kuat. Pada umumnya etnis Tionghoa sukar berhenti sebagai etnis Tionghoa
(Mitchison dalam Martaniah, 1998). Kekerabatan mereka dalam sosial dan
berkeluarga sangat erat sehingga sukar bagi mereka melepaskan diri dari
kebudayaan dan nilai nilai keluarganya.

Amy Chua (dalam Hariyono, 2006) menyebutkan bila suatu negara demokrasi
kelompok etnis minoritas menguasai pasar, sangat mungkin suatu saat memiliki
potensi melahirkan percikan api kerusuhan rasial.

Ketika Deng Xiaoping membuat slogan "reformasi dan membuka diri" membuat
masyarakat Tionghoa bersemangat dan memasuki era globalisasi dengan cepat
(Suryadinata dalam Wibowo, 2000)

Atas dasar uraian dan pendapat tersebut, karyawan etnis Tionghoa yang tinggal di
Indonesia masih tetap memegang teguh kebudayaan maupun nilai-nilai negara
asalnya yang memberikan mereka cara hidup dalam kesehariannya untuk menuju
sukses dan pada umumnya berorientasi pada aktivitas ekonomi.

Karateristik Etnis Jawa

Koentjaraningrat (2007) menyatakan bahwa dalam hal sosialisasi etnis Jawa


memiliki sistem orientasi sebagai berikut:
1). Orang Jawa pada dasarnya menganggap hidup sebagai rangkaian peristiwa
yang penuh dengan kesengsaraan yang harus dijalani dengan tabah dan pasrah,
sehingga hidup harus diterima sebagai nasib.
2). Rakyat kecil biasanya akan mengatakan bahwa mereka bekerja hanya untuk
sekedar makan saja (ngupaya upa) sehingga muncul ungkapan aja ngaya, aja
ngangsa dalam menjalani hidup. Kalangan pelajar dan priyayi memandang masalah
tujuan akhir dan terpengaruhnya daya upaya manusia sehubungan dengan pahala,
merupakan sesuatu yang akan mereka peroleh di dunia akhir kelak.
3). Mereka berusaha untuk hidup selaras dengan alam beserta kekuatannya.
4). Tingkah laku dan adat sopan santun orang Jawa terhadap sesamanya sangat
berorientasi kolateral dan mereka mengembangkan sikap tenggang rasa dan
mengintensifkan solidaritas.
Setiap orang dalam berbicara dan membawa diri harus menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya dalam masyarakat.
Kedudukan dan pangkat lebih penting daripada keahlian dan keterampilan. Semakin
tinggi pangkat, maka makin tinggi pula rasa hormat yang harus diberikan. Bagi
seorang priyayi, kedudukan lebih penting daripada prestasi.
6). Orang hidup harus sesuai dengan peraturan moral, meskipun itu harus melawan
hawa nafsu dan menunda terpenuhnya suatu kebutuhan.
7). Orang Jawa lebih suka mencari jalan tengah karena memungkinkan untuk bisa
merangkul banyak pihak.
8). Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang harus terjadi dalam kehidupan
seseorang, meskipun secara ekonomi belum memadai. Lebih lanjut Koentjaraningrat
(2007) dalam pembicaraan dengan orang desa di Jawa mengungkapkan bahwa
mereka cepat menyerah pada kesukaran. Mereka sering pasrah dengan ungkapan
“orang harus ingkang narimah”, atau “pasrah lan sumunah” yang artinya menyerah
dan menerima keadaan. Sebaliknya, golongan priyayi yang tinggal di kota lebih
memikirkan tentang hakikat hidup. Bagi golongan priyayi ini, betapapun berat dan
sengsaranya hidup ini, orang harus berusaha sebanyak mungkin untuk memperbaiki
keadaannya. Orang priyayi menghubung-hubungkan hasil kerjanya dengan pahala.
Priyayi yang menganut filsafat kebatinan menghubungkan kerjanya dengan cita-cita
kongkrit. Pahala yang diperoleh melalui kerja keras dihubungkan dengan hal-hal
konkrit yang mereka inginkan dalam kehidupan ini, seperti kedudukan, kekuasaan
dan hubungan dengan orang-orang yang berpangkat tinggi.

Etnis Jawa memiliki ciri-ciri budaya yaitu apa adanya, menyerah dan menerima
keadaan, memiliki sopan santun dan tenggang rasa, cepat menyerah, kurang
berusaha.

Pendidikan pada keluarga etnis Jawa tidak bertujuan untuk menghasilkan anak yang
dapat berdiri sendiri, melainkan lebih menekankan agar anak-anak mereka pada
nantinya dapat menjadi orang yang berjiwa sosial dan bersikap budi luhur, lebih
mengutamakan tercapainya kebahagiaan serta keselarasan hidup. Hal inilah yang
menjdai keunikan masyarakat Jawa, menurut Magnis & Suseno (dalam Endraswara,
2003)

Dalam perkembangannya, etnis Jawa memiliki ciri-ciri budaya yaitu apa adanya,
menyerah dan menerima keadaan, memiliki sopan santun dan tenggang rasa, cepat
menyerah, kurang berusaha (Koentjaraningrat, 2007). Karakteristik etnis Jawa
diantaranya menganggap hidup harus dijalani dengan tabah dan pasrah, berperilaku
sopan santun, menghormati orang lain, tidak ngotot dan mencari jalan tengah dalam
sebuah masalah, hidup sesuai moral yang berlaku.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa etnis Jawa memiliki karakter yang
menunjukkan bahwa mereka memiliki motivasi berprestasi yang

tidak terlalu tinggi, hal ini didasari oleh pola asuh orang tua yang menekankan
pendidikan dan tidak bertujuan untuk menghasilkan anak yang dapat berdiri sendiri,
melainkan lebih menekankan agar anak-anak mereka pada nantinya dapat menjadi
orang yang berjiwa sosial dan bersikap serta berbudi luhur.

Motif berprestasi yang lebih tinggi pada etnis Tionghoa ini disebabkan oleh tiga hal,
yaitu: Pertama, akar budaya Tionghoa yang memiliki orientasi pada materi dan
kehormatan (keluarga). Kedua, predikat negatif yang sempat terpatri pada etnis
Tionghoa yang sempat menjadi stereotip pada masa orde baru, hal ini oleh sebagian
orang Tionghoa merupakan cambuk untuk menunjukkan prestasi (kerja) yang lebih
baik sebagai bukti bahwa etnis Tionghoa tidak seburuk yang dikatakan orang.
Ketiga, posisinya sebagai kelompok minoritas ikut mempengaruhi munculnya motif
berprestasi. Akibatnya mereka mencoba menonjolkan identitas dirinya dengan
menunjukkan dan mengerahkan segala kemampuannya, sehingga muncullah motif
berprestasi yang lebih tinggi pada etnis minoritas yang pada akhirnya menunjukkan
tingkat ekonomi yang berbeda (Hariyono, 2006). Crawford (dalam Martaniah, 1998)
menyatakan bahwa orang-orang turunan Tionghoa ini suka bekerja keras,
berspekulasi, penuh inisiatif dan maternalistik. Selain itu mereka juga dikagumi
karena keuletan dan kegigihan mereka dalam bekerja.

Pendapat di atas sejalan dengan yang dikemukakan Hidayat (Martaniah, 1998) yang
menyatakan bahwa ajaran Kong Hu Cu yang banyak dianut oleh etnis Tionghoa,
menyatakan bahwa tiap individu harus mengembangkan kecakapan dan
keterampilan semaksimal mungkin sesuai dengan status sosialnya. Selanjutnya
Hidayat mengatakan bahwa etnis Tionghoa sejak dulu meyakini bahwa mereka
adalah pusat perekonomian dunia, maka dimanapun mereka harus melebihi tingkat
hidup kaum pribumi, akibatnya mereka bekerja keras dan tekun, sabar serta hemat
supaya tingkat kehidupannya menonjol.

Menurut Fitra (dalam https://d37r4.wordpress.com/2009/06/08/motif-sosial/) dalam


masyarakat Indonesia, khususnya golongan keturunan Cina dikenal sebagai
pedagang dari wirasawasta yang berhasil, maka dengan itu msyarakat Cina lebih
mempunyai ciri motif berprestasi yang tinggi. Dapat dilihat cara mereka bekerja,
mereka sangat suka bekerja, inovatif, inisiatif, dan materialistik sehingga Cina
dikagumi akan keuletan maupun kerajinannya. Menurut Willmont (dalam
https://d37r4.wordpress. com/2009/06/08/motif-sosial/) orang Cina dibandingkan
dengan orang Jawa lebih kompetitif, mempunyai usaha yang besar dan sangat
menguasai prestasi dan mereka mempunyai tingkat aspirasi yang lebih tinggi. Dari
pendapat penelitian yang ada keturunan Cina memiliki ciri-ciri dari orang yang
mempunyai motif berprestasi yang tinggi dibandingkan motif berprestasi orang Jawa.

Etnis Jawa yang memiliki ciri-ciri budaya yaitu apa adanya, menyerah dan menerima
keadaan, memiliki sopan santun dan tenggang rasa, cepat menyerah, kurang
berusaha. Etnis Jawa hidup harus sesuai dengan peraturan moral, meskipun itu
harus melawan hawa nafsu dan menunda terpenuhnya suatu kebutuhan
(Koentjaraningrat, 2007).
Selanjutnya Koentjaraningrat (dalam Hariyono, 1994) mengatakan bahwa konsep
dasar kebudayaan Jawa mengajarkan rakyat kecil biasanya akan bekerja hanya
untuk sekedar makan saja (ngupaya upa) sehingga muncul ungkapan aja ngaya, aja
ngangsa dalam menjalani hidup. Kalangan pelajar dan priyayi memandang masalah
tujuan akhir dan terpengaruhnya daya upaya manusia sehubungan dengan pahala,
merupakan sesuatu yang akan mereka peroleh di dunia akhir kelak.

Menurut Tohirin dan Sudikin (dalam Purnomo, 2005) minoritas group yang ada di
Indonesia seperti etnis Cina, dalam berdagang ternyata mereka lebih unggul karena
umumnya orangtua mereka selalu melibatkan anak-anak dalam berbisnis atau
berdagang. Selain itu warga keturunan Cina telah memiliki budaya dalam berbisnis
secara turun temurun. Mereka juga tidak sungkan-sungkan mengambil resiko
apapun untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kondisi ini
berbeda jika dibandingkan dengan etnis Jawa, dimana menurut Endraswara (2003),
masyarakat Jawa memiliki konsep budi pekerti yang mengajarkan pada masyarakat
Jawa tentang konsep bekerja alon-alon waton kelakon, yang bermakna bahwa
dalam bekeeja hendaknya pelan-pelan yang penting terlaksana. Pelan-pelan berarti
juga dalam bekerja tidak perlu ngangsa dan ngaya sehingga masyarakat Jawa tidak
perlu terburu-buru dalam berusaha dan bekerja dan pada akhirnya membawa orang
Jawa menjadi hidup narima. Akan tetapi dalam realitasnya justru membuat orang
Jawa bekerja terlalu santai dan kurang berusaha untuk mencapai yang lebih baik.

Prilaku Prososial Etnis Jawa dan China


Perbedaan Enis Jawa yang merupakan penduduk pribumi Indonesia terbesar,
dengan entis tionghoa yang merupakan penduduk pendatang terbesar di Indonesia.

Lahirnya prilaku Proposional seseorang di pengaruhi dari hasil interaksi yang


kompleks antara beberapa faktor, seperti Faktor internal individu, contoh :
Kepribadian, suasana hati, kemampuan yang dimiliki. Atau faktor eksternal
seperti :Keluarga, karakter situsional, Peran gender, termasuk didalamnya yang
mempengaruhi perilaku prososial adalah norma dan nilai budaya yang ada dalam
suatu kelompok atau etnis.

Dalam budaya etnis Jawa, nilai budaya yang dianggap bemilai tinggi adalah apabila
manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya dengan solidaritas yang tinggi
(bergotong royong), mengutamakan kepentingan bersama, rukun dan saling
menghormati dan membantu, serta menekankan keselarasan dan keharmonisan
hubungan antar pribadi, dan masyarakat secara luas (Koentjaraningrat, 1984;
Kartoatmojo, 1990). Hal ini berbeda dengan etnis Cina. Solidaritas etnis Cina lebih
kepada keluarga daripada masyarakat luas (Hidayat, 1977; Gree!, 1989). Dari sini
muncul pertanyaan, benarkah ada perbedaan perilaku prososial antara etnis Jawa
dan etnis Cina?

Staub (1978) mendefinisikan perilaku prososial sebagal suatu perilaku yang memiliki
konsekuensi sosial positif secara fisik maupun secara psikologis, dilakukan secara
sukarela dan menguntungkan orang lain. Pendapat ini dipertegas oleh Wrightsman
dan Oeaux (1981) yang mengemukakan bahwa perilaku prososial merupakan
tindakan yang mempunyai akibat soslal secara positif, yang ditujukan bagi
kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis, dan perilaku
tersebut merupakan perilaku yang leblh banyak memberi keuntungan pad a orang
lain daripada dirinya sendiri. Berdasarkan beberapa batasan pengertian perilaku
prososial ini di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perilaku prososial
adalah mencakup segala bentuk perilaku atau tindakan yang dilakukan secara
sukarela dan memiliki akibat soslal secara posiuf yang ditujukan bagi kepentingan
orang Lain.

Perilaku prososial mencakup aspekaspek: menolong, kerjasama, kejujuran,


dermawan, membagi dan mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain
(Mussen, dkk., 1979).

Lebih lanjut aspek-aspek perilaku prososial dapat didefinisikan sebagai berikut:


(1) menolong: suatu bentuk tindakan yang ditujukan untuk membantu orang lain,
(2) Kenasama: suatu bentuk tindakan yang ditujukan untuk saling bekerjasama
guna mencapai tujuan bersama,
(3) Berbagi: suatu tindakan yang ditujukan untuk berbagi dengan orang lain, baik
materi, perhatian, dan fikiran maupun kesempatan dengan orang lain,
(4) Menderma: yaitu memberikan sebagian harta yang dimiiiki guna membantu
orang lain,
(5) Kejujuran: yailu tindakan mengakui kesalahan dan menunjukkan kebenaran,
(6) Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain: memberikan
sesuatu kepada orang lain dari apa yang menjadi haknya atau seharusnya
didapatkan dari apa yangmenjadi haknya.

Munculnya periJaku prososial


seseorang merupakan hasit interaksl yang
kompleks antara beberapa faktor yang
mempengaruhinya, baik faktor internal
maupun faktor eksternal termasuk di
dalamnya adalah faktor budaya dan peran
gender. Berikut ini akan dipaparkan
beberapa faktor internal yang mempengaruhi
perilaku prososiaf berdasarkan pendapat
beberapa ahli, yaitu karakterlatik
Kepribadian, Suasana Hali, Religiusitas,
Pertimbangan Untung Rugl, Kemampuan
Yang Dimiliki, Keuntungan Pribadi, Nilai Dan
Norma-Norma Pribadi, Empati, Jenis
Kelamin. Adapun yang termasuk Faktor
Eksternal adalah Budaya, Keluarga,
Karakteristik Orang Yang Membutuhkan
Pertolongan, karakteristik Situasional, faktor
peran gender, etnis.

Indonesia memiliki tidak kurang dari 300


macam kelompok etnis, yang masingmasing
mempunyai ciri-ciri kebudayaan;
sistem nilai, norma, adat istiadat, kesenian,
faJsafah dan lain-lain, dan berbeda satu
sama lain. Etnis Jawa dan Cina merupakan
bagian dari keragaman berbagai etnis yang
ada di Indonesia yang memiliki kekhasan
perilaku dan budaya tersendiri

etika yang berlaku pada


etnis Jawa dilandaskan pada dua hal, yaitu
kerukunan dan hormat. Etnis
menghendaki keselarasan dan keserasian
dengan prinsip sating menghormati. Dengan
hldup sal ing menghormat i akan
menumbuhkan kerukunan baik di lingkungan
keluarga maupun di dalam masyarakat luas.
Pola kerukunan tersebut dapat menciptakan
suasana masyarakat yang tenleram, damai
dan harmonis. Rukun berarti berada dalam
keadaan setaras, penuh kedamalan, tanpa
adanya pertentangan dan perselisihan, dan
bersatu dengan maksud untuk saling
membantu (Suseno, 1985). Ungkapan rukun
lni disimpulkan dari kata rukun agawe
santosa, crah agawa bubrah, artinya
kerukunan akan memperkoko h
persaudaraan, sebaliknya bila saling
bertengkar akan menghancurkan ikatan
persaudaraan.

Keadaan rukun berarti semua pihak


berada dalam kedamaian, suka bekerja
sama, saling asah, asih dan asuh. Hal ini1ah
yang menjadi harapan etnis Jawa balk dalam
hubungan keluarga, kehidupan sosial, rukun
tetangga, dan rukun satu kampung.
Kerukunan perlu ditandasi dengan adanya
saling percaya antara pribadi, adanya
keterbukaan terhadap siapa saja dan merasa
adanya saling ketergantungan atau
kebersamaan. Dengan demikian prinsip
kerukunan hldup adalah mencegah adanya
konflik atau ketidakrukunan.

Usaha untuk mencegah


ketidakrukunan adalah dengan usaha untuk
mengatasi persoalan selalu dengan
musyawarah untuk mufakat. Melalui
musyawarah itulah indivldu bebas
mengeluarkan pendapat untuk mengatasi
persoalan yang ada, dengan saling member!
dan bersedia menerima pendapat orang lain
(Bratawijaya, 1997).

Bratawijaya (1997) mengungkapkan


bahwa yang mendasari prinsip kerukunan
adalah adanya sating menghormati. Sikap
hormat etnis Jawa dilandasi oleh keinginan
untuk selalu menyenangkan orang lain
sehingga merasa akrab. Sikap honnat
ditandai dengan cara berbicara dan
membawa dirinya selalu hormal terhadap
orang lain sesuai dengan tingkat dan
kedudukan masing-masing. Sikap hormat
akan membentuk hubungan antar pribadi secara teratur menurut ta ta nan sosial.

Berdasarkan prinsip honnat ini, setiap


orang dalam berbicara dan bertindak harus
selalu menunjukkan sikap honnat terhadap
orang lain, sesual dengan derajat dan
kedudukannya (Suseno, 1985). Orang yang
berkedudukan tinggi harus melindungi
mereka yang berkedudukan lebih rendah,
dan sebaliknya orang berkedudukan lebih
rendah harus menghormati yang
berkedudukan lebih tinggi serta menerima
kepemimpinannya. Orang yang
berkedudukan sederajat harus selalu
mempertahankan solidaritas kelompok
dengan baik. Lebih lanjut, sikap honnat
ditandai pula dengan jenis bahasa yang
dipergunakan misalnya: bahasa krama inggif
untuk orang-oranq yang lebih tinggi
kedudukannya ayau orang yang dituakan,
bahasa krama madya untuk sesamanya, dan
bahasa ngoko untuk orang yang lebih muda
atau sesama sahabat karib. Namun
seringkali rasa honnat tersebut sedemikian
kuat, sehingga seseorang dinilai
berdasarkan kedudukannya bukan pada
prestasi-prestasi obyektif (Mulder, 1984a).

lmplementasi dari prinsip rukun dan


hormat dalam realitas lnteraksi dalam rea1itas
interaksi pada masyarakat etnis Jawa
menurut Mulder (1986) dapat dilihat melalui
tiga ruang yang berbeda, yaitu: (1) dalam
hubungan antara orangtua dan anak, (2)
dalam hubungan komunitas sosial, dan (3)
dalam hubungan vertikal bermasyarakat.

sejak 300 tahun


sebelum Masehi bangsa Cina telah menjalin
komunikasl di bidang pelayaran dan
perdangan dengan bangsa Indonesia,
kemudian maea-masa selanjutnya mereka
mulai tersebar berdatangan menetap atau
hidup dan berkembang di Indonesia seperti
di daerah lintas perdagangan atau
pelayaran pulau Jawa, Madura, Kalimantan,
Sumatra (Hidayat, 1977). Tahun 1980
sebagaimana disebutkan 'cleh Suryadinata
(1986), jumlah orang Cina di Indonesia
berkisar 4,2 juta jiwa, yakni sekitar 2,8 % dari
penduduk Indonesia. Sekarang tentu
mengalami pertumbuhan seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk Indonesia.

Meski jumlah etnis Cina di lndonesat relatif


kecil, kurang dari 3 %, tetapi secara sosial
ekonomi mereka menguasai hampir
sebagian besar perekonomian Indonesia.
Data statistik menunjukkan bahwa hampir 70
% perekonomian Indonesia dikuasai oleh
etnis Cina selebihnya dikuasai oleh etnis
lainnya (Ta her dalam LaUf, 1998)

Skinner (Coppel, 1994) dan Haryono


(1993) membagi etnls Cina di Indonesia
menjadi orang Cina totok dan orang Cina
keturunan. Orang Cina totok adalah orang
Cina yang baru menetap di Indonesia,
selama satu atau dua generasi, dan masih
kuat memegang tradisi Cina yang berasal
dari nenek moyangnya, sementara orang
Cina keturunan adalah orang Cina yang telah
lama menetap di Indonesia, selama tiga
generasi atau lebih, dan sudah banyak
meninggalkan tradisl nenek moyangnya,
bahkan dalam hal-hal tertentu kurang
menunjukkan ciri khasnya sebagai orang
Cina, akan tetapl menurut Setyawati
(Koentjoro, 1981) dalam suatu penelitian, di
antara keduanya {orang Cina totok dan orang
Cina keturunan) Udak ditemukan perbedaan
dalam sikap soslal.

Menurut Yudhohusodo (1994), etnis


Cina perantauan dan keturunannya di
manapun berada memiliki sifat-sitat yang
relalif sama, mereka tetap berpegang teguh
pada nilai budaya Cina, yang bersumber
pada ajaran Kong Hu Tsu, Tao (Mo Tsu), dan
Budha. Aja ran Kong Hu Tse (Konfusianisme)
berhubungan dengan sistem sosial, ajaran
Tao berhubungan dengan nasib manusia
dalam hubungannya dengan alam. Hal inl
berbeda dengan ajaran Budha yang
berkaitan dengan masa depan hidup
manusia, yaitu nirwana. Ketiga ajaran
tersebut di Indonesia dirangkum menjadi
satu da1am San Kan atau Tri Dharma. Dalam
tulisan ini akan dieksplorasi lebih lanjut
ajaran Konfusianlsme, karena paling relevan
dengan perilaku prososia1 etnls Cina.

Jawa dilandaskan pada dua hal, yaitu


kerukunan dan hormat. Kedua hal ini
menurut Suseno

Ungkapan rukun
lni disimpulkan dari kata rukun agawe
santosa, crah agawa bubrah, artinya
kerukunann akan memperkoko h
persaudaraan, sebaliknya bila saling
bertengkar akan menghancurkan ikatan
persaudaraan.

Keadaan rukun berarti semua pihak


berada dalam kedamaian, suka bekerja
sama, saling asah, asih dan asuh. Hal ini1ah
yang menjadi harapan etnis Jawa balk dalam
hubungan keluarga, kehidupan sosial, rukun
tetangga, dan rukun satu kampung.
Kerukunan perlu ditandasi dengan adanya
saling percaya antara pribadi, adanya
keterbukaan terhadap siapa saja dan merasa
adanya saling ketergantungan atau
kebersamaan. Dengan demikian prinsip
kerukunan hldup adalah mencegah adanya
konflik atau ketidakrukunan.

Usaha untuk mencegah ketidakrukunan adalah dengan usaha untuk


mengatasi persoalan selalu dengan
musyawarah untuk mufakat. Melalui
musyawarah itulah indivldu bebas
mengeluarkan pendapat untuk mengatasi
persoalan yang ada, dengan saling member!
dan bersedia menerima pendapat orang lain
(Bratawijaya, 1997)

lmplementasi dari prinsip rukun dan


hormat dalam realitas lnteraksi dalam rea1itas
interaksi pada masyarakat etnis Jawa
menurut Mulder (1986) dapat dilihat melalui
tiga ruang yang berbeda, yaitu: (1) dalam
hubungan antara orangtua dan anak, (2)
dalam hubungan komunitas sosial, dan (3)
dalam hubungan vertikal bermasyarakat.

Etnis Cina di Indonesia sering disebut


sebagai etnls 'pendatang'. Data sejarah
menunjukkan bahwa sejak 300 tahun
sebelum Masehi bangsa Cina telah menjalin
komunikasl di bidang pelayaran dan
perdangan dengan bangsa Indonesia,
kemudian maea-masa selanjutnya mereka
mulai tersebar berdatangan menetap atau
hidup dan berkembang di Indonesia seperti
di daerah lintas perdagangan atau
pelayaran pulau Jawa, Madura, Kalimantan,
Sumatra (Hidayat, 1977). Tahun 1980
sebagaimana disebutkan 'cleh Suryadinata
(1986), jumlah orang Cina di Indonesia
berkisar 4,2 juta jiwa/2,8%penduduk Indonesia.

etnis
Cina perantauan dan keturunannya di
manapun berada memiliki sifat-sitat yang
relalif sama, mereka tetap berpegang teguh
pada nilai budaya Cina, yang bersumber
pada ajaran Kong Hu Tsu, Tao (Mo Tsu), dan
Budha. Aja ran Kong Hu Tse (Konfusianisme)
berhubungan dengan sistem sosial, ajaran
Tao berhubungan dengan nasib manusia
dalam hubungannya dengan alam. Hal inl
berbeda dengan ajaran Budha yang
berkaitan dengan masa depan hidup
manusia, yaitu nirwana. Ketiga ajaran
tersebut di Indonesia dirangkum menjadi
satu da1am San Kan atau Tri Dharma. Dalam
tulisan ini akan dieksplorasi lebih lanjut
ajaran Konfusianlsme, karena paling relevan
dengan perilaku prososia1 etnls Cina.
Nilai yang mewamai dan dipegang
teguh dalam kehidupan etnis Cina adalah
nitai budaya yang bersumber dari ajaran
Konfusranfsme atau Kung Fu Tse, di
Indonesia ajaran inl dikenal dengan nama
Kong Hu Chu.

Konfusianisme mengajarkan kepada


manusia untuk menonjolkan kebajikan dan
kesempumaan diri yang hakiki, memberikan
ciri dan kelakuan orang Cina yang disebutjen
dan Ji. Ciri jen adalah sifat kemanusiaan yang
mengajarkan untuk memper1akukan orang
lain dengan baik, sedang ciri Ii mengajarkan
untuk bersikap kesatria dan susila, sebagai
disiplin mental untuk membenluk kebisaan
dan adat istiadat. Ajaran Kung Fu Tse dipakai
sebagai dasar filosofi sosial, pendidikan dan
bahkan menjadi norma aparatur
pemerintahan di negeri Cina (Yudhohusodo,
1994).

Ajaran Konfusianisme secara


bertahap menyesuaikan diri dengan sistem
ekonomi, politik dan sosial, dan tebih
berorientasi pada keduniaan dan lebih
toleran dengan tatanan kapitalisme. Inti
ajaran Konfusianisme inl adalah ditandai
dengan ciri, (1) etos kerja dan disiplin pribadi,
(2) kesadaran akan hirarki dan ketaatan, (3)
penghargaan dan hormat kepada keahlian,
(4) kekuatan hubungan ketuarga, (5) hemat
dan hidup bersahaja, dan (6) kelenturan dan
kemauan menyesuaikan diri (Hidayat, 1977;
Greel, 1989;Yudhohusodo, 1994).

Etnis Jawa memiliki nilai dan norma


budaya yang berbeda dengan etnis Cina,
oleh karena itu diyakini akan menunjukkan
perilaku prososial yang berbeda pula. Dalam
budaya etnis Jawa, nilai budaya yang
dianggap bernilai tinggi adalah apabila
manusia ilu suka bekerjasama dengan
sesamanya dengan solidaritas yang tinggi (bergotong royong), mengutamakan
kepentingan bersama, rukun dan saling
menghormati dan membantu, serta
menekankan k e s e l a r a s a n d a n
keharrnonisan hubungan antar pribadi, dan
masyarakat secara luas (Koentjaraningrat,
1984., Kartoatmojo, 1990).

Hal ini berbeda etnis Cina, nilai budaya


mereka lebih menekankan n l l a i
prestasi/keahlian, kerja keras, hemat, dan
disiplin pribadi daripada hubungan sosial
atau kepentingan masyarakat luas.
Solidaritas etnis Cina lebih kepada keluarga
daripada masyarakat Juas (Hidayat, 1977.,
Gree!, 1969). Hal lain yang khas pada etnis
Cina adalah setektif, tidak empati, dan lebih
tertutup dalam melakukan hubungan
interpersonal (Yudohusodo, 1994). Ber1ainan
dengan etnis Jawa yang cenderung tidak
memilih-milih atau membeda-bedakan
dalam hubungan sosial sesama manusia
(Sujamto, 1997., 2000).

KOMUNITAS ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA

Orang-orang Tionghoa yang berada di Indonesia, sebenarnya asli keturunan dari


orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia, mereka pada umunya berasal dari
Propinsi Fujian dan Guangdong di bagian Cina selatan. Mereka pada dasarnya
terdiri dari beberapa suku bangsa seperti Hokkian dan Kanton. Pada masa Dinasti
Tang1, daerah selatan Cina tersebut merupakan tempat yang sangat strategis untuk
perdagangan, dari tempat tersebut timbul lah keinginan untuk memperluas kolega
perdagangan mereka dengan melakukan pelayaran. Dalam perjalanan perdangan,
orang Tionghoa sering bersinggah lalu mereka menetap di wilayah Laut Cina
Selatan. Salah satunya adalah kepulauan Nusantara (kini Republik Indonesia)2

Menurut Kong Yuanzhi, kontak antara penduduk Cina dan Kepulaun Nusantara
(Indonesia) sudah terjadi sejak zaman dinasti Tang, dinasti Ming, dan dinasti Qing.4
Pada masa dinasti Tang, daerah Cina bagian selatan ini merupakan daerah yang
ramai dalam bidang perdagangan. Sehingga mendorong mereka untuk melakukan
pelayaran dagang dan mencari kehidupan yang baru. Pada Dinasti Tang ini orang-
orang Tionghoa mulai berdatangan ke Indonesia, puncaknya pada abad XIX dan
permulaan abad XX merupakan migrasi besar-besaran bagi orang-orang Tionghoa
ke seluruh dunia.5

Menurut Benny G. Setiono, sekitar pada abad 14 di Jakarta ( dulu Sunda Kelapa)
telah ditemukan penduduk dengan bermata rata-rata sipit dan berkulit putih. Dan
pada abad XVI terjadi migrasi besar-besaran ke daerah Jawa. Rata-rata alasan
meninggalkan negeri mereka karena ekonomi dan perang yang terus terjadi
Pada masa Kolonial Belanda, orang-orang Tionghoa mendapatkan fasilitas yang
baik, hal ini dijadikan oleh pemerintah kolonial untuk sebagai alasan mereka
perantara dagang dengan penduduk pribumi. Orang-orang Tionghoa sendiri juga
dianggap sebagai penghambat pribumi dalam bidang perdagangan. Dari sikap
kurang bersahabat ini, muncul kekerasan yang tertuju kepada etnis Tionghoa.
Sebagai contoh yaitu kejadian Perang Jawa 1825-1830 dan pembantaian orang-
orang Tionghoa di Batavia tahun 1740.7 Kasus-kasus yang terjadi diatas merupakan
sebagian contoh kejadian yang menimpa etnis Tionghoa khususnya pada zaman
Kolonial Belanda.

Terlepas dari itu semua, peran etnis Tionghoa juga tidak bisa dianggap enteng,
mereka juga berperan dalam berbagai bidang. Contohnya, Tionghoa Hwee Koan
yang didirikan tahun 1900 yaitu mendirikan sekolah-sekolah untuk memajukan
dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1934 sudah mencapai 450 sekolah. Selain di
bidang pendidikan, etnis Tionghoa juga mengambil peran dalam bidang ekonomi di
Indonesia, yaitu dengan mendirikan Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa)
tahun 1906 di Batavia. Peran Siang Hwee sendiri yaitu lebih menyerupai konsulat
China saat konsul kerajaan tidak ada. Dalam hal ini, kekayaan merupakan hal
sangat penting dalam pemilihan pemimpin Siang Hwee.

9
Kaum totok merupakan pendatang baru yang tiba di Indonesia menjelang akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Hal itu terjadi pada saat terjadinya pergolakan politik di
negeri Cina, bersamaan dengan itu adanya kenaikan permintaan tenaga manusia di
negara-negara jajahan di Asia Tenggara. Kaum peranakan menyebut mereka
dengan singkeh artinya tamu baru. Karena mereka lahir di luar negeri Indonesia
(yaitu Negara Cina), orang Indonesia menyebutnya dengan totok, artinya orang
berdarah murni asing. Logikanya kaum totok itu yang lahir di Negara asal mereaka
(Cina) dan kemudian datang ke Indonesia dan menetap. Rata-rata kaum totok
berprofesi sebagai pedagang. Di luar Jawa banyak dari mereka yang bekerja di
pertambangan dan perkebunan.11

mengenai keberadaan komunitas Tionghoa di Indonesia ini sebenarnya tidak lepas


dari dampak runtuhnya Dinasti Sung. (Dinasti Sung adalah salah satu dinasti yang
memerintah di Cina antara tahun 960 sampai dengan tahun 1279 sebelum Cina
diinvasi oleh bangsa Mongol. ) dan Dinasti Ming (1368-1644). Pada masa tersebut
merupakan perkembangan pesat kaitannya dengan perdagangan antara Tiongkok
dengan luar negeri termasuk juga Nusantara. Sebagai salah satu bukti mengenai
kehidupan awal Tionghoa di Indonesia antara periode sebelum masehi hingga awal
masehi dapat di jumpai melalui peninggalan-peninggalan di Situs Serpong, Rawa
Kidang, Sugri, dan Kramat Tangerang.

Pada umunya orang Cina di Indonesia kini hidup di kota-kota yang merupakan
keturunan dari perantuan yang datang pada abad ke-19. Kebanyakan dari mereka
telah berhasil di bidang ekonomi. Salah satu yang terkenal di awal abad 20 adalah
Oei Tiong Ham yang merupakan eksportir produk-produk seperti gula dan juga
bergerak dalam perdagangan antar pulau. Penduduk Cina di Indonesia hanya
berkisar 3,5 persen dari penduduk Indonesia.

ebenarnya tidak ada catatan pasti mengenai masuknya Tionghoa muslim ke


Nusantara seperti juga kedatangan Tionghoa ke Nusantara, kecuali mengenai
ditemukannya peninggalan-peninggalan benda kuno arkeologis yang berkaitan
dengan kebudayaan Tionghoa. Dari hal itu membuktikan secara tidak langsung
hubungan dagang antara Cina dengan Nusantara sudah terjadi cukup lama.

Sikap Ekslusivisme Masyarakat Tionghoa Tangerang terhadap Penguasaan


Ekonomi Pasar

Di Indonesia kegiatan usaha kecil menengah didominasi oleh masyarakat Tionghoa


yang memiliki peran dalam perekonomian.

ajaran konfusianisme merupakan ajaran konfusius berupa etika dan moral yang
saling berhubungan antar manusia mengandung unsur-unsur sifat bijak manusia
yang berpedoman pada sifat yang terpuji, jika ada kekacauan di masyarakat dapat
diatasi

Kedatangan etnis tionghoa ke nusantara belum ada gambaran yang jelas tetapi
sudah lama sebelum jayakarta dikuasi oleh belanda di bawah pimpinan Jan
Pieterszoon Coen pada tahun 1619. Pemahaman mereka terhadap kofusianisme
tidak terlalu mengenal ajaran yang diajarkan kofusius, namun secara tidak sadar
perilaku berdagang etnis Tionghoa sebagian mencerminkan ajaran konfusius, tidak
terlalu ambisius, sederhana dan tetap meghargai usaha yang dikerjakan dengan
menjaga kualitas barang.

etnis Tionghoa ke Nusantara diperkirakan sudah ada tepatnya pada aba ke-4.
Jumlah penduduk etnis ini sekitar 4-5% dari penduduk Indonesia. Kedatangan etnis
Tionghoa ke Nusantara juga memberikan konstribusi yang berarti dalam berbagai
macam bidang, misalnya yaitu bidang perekonomian, bidang perekonomian yang
sangat menonjol dari bidang lainnya, maka tidak heran jika etnis Tionghoa pandai
berdagang, misalnya di pasar-pasar, tidak sedikit etnis ini yang memilih berdagang
di pasar, bahkan perdagangan mereka biasanya sangat ramai oleh pelanggan,
karena etnis Tionghoa merupakan etnis yang sangat menghargai pekerjaan, hal
tersebut masih mencerminkan bahwa etnis ini masih memakai ajaran konfusianisme

Namun, dinamika keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia, tidak serta-merta


memiliki kehidupan yang tentram dan damai, dalam perkembangannya di Indonesia.
Terutama, pada sekitar tahun 1998, khususnya di bulan Mei, yang merupakan
tragedi suram bagi etnis Tionghoa di Indonesia, dengan ingatan berupa tindak
kekerasan bahkan psikologis, yang mereka alami dalam sejarah Indonesia

Tetapi, masa-masa suram itu telah berlalu semenjak era reformasi, pada
kepemimpinan presiden Gus Dur, etnis Tionghoa tampak mendapat angin segar
dengan pengakuan agama Khonghucu

sementara jumlah etnis Tionghoa di Indonesia berjumlah 1-4,6%. Jumlah tersebut,


berbanding terbalik dengan jumlah masyarakat muslim untuk menyaingi para
pengusaha dari etnis Tionghoa.

Sedangkan, etnis Tionghoa yang berada di Tangerang, atau Kota Lama Tangerang,
yang sangat lekat dengan Pasar Lama, didekat pinggiran sungai Cisadane. Adalah,
daerah yang tepat bagi keperluan sosial serta budaya

Demikian, penjelasan-penjelasan tersebut menerangkan kalau karakteristik dari


aktivitas perekonomian yang dijalani etnis Tionghoa di Indonesia, sangat melekat
dengan bidang bisnis atau perdagangan, bahkan bisa dikatakan sudah mendarah
daging.

Dalam, bahasa mandarin ajaran Konfusianisme dikenal dengan sebutan Kongzi,


yaitu ajaran dari Konfusius, seorang filsuf terkemuka dari China. Keteraturan dalam
sebuah masyarakat merupakann suatu pandangan yang harus diciptakan oleh
Konfusianisme. Konfusianisme ini, mengajarkan sebagaimana harusnya manusia
menjadi bermoral, agar dapat memerintah dan mengatur masyarakatnya, dan
memiliki sebuah sensitif akan kebutuhan sosial dan ekonominya (Hartati, 2016).
Sementara, Konfusius seorang guru dan filsuf yang hidup pada 770-221 SM, hidup
bertempat di negara bagian Lu atau kalau sekarang Provinsi Shandong, juga
seorang intelektual yang menggemari budaya tradisional China yang berasal dari
dinasti Zhou Barat yang terdapat pada waktu 150-770 SM (McArthur, 2019). Yang
menandakan Konfusianisme merupakan falsafah kuno yang mendidik orang-orang
China dalam memiliki moral yang luhur. Lalu, bagaimana dengan etnis Tionghoa di
Indonesia? Jika, ditinjau dari historisnya pada masyarakat etnis Tionghoa tampak
ajaran Konfusianisme masih diimplementasikan seperti contohnya, pada depresi
ekonomi sekitar tahun 1930-an, yang dialami etnis Tionghoa di Palembang.

Pertumbuhan ekonomi China memang menjadi perhatian dunia, hal tersebut tidak
dapat dilepaskan dari penerapan Sosialisme Pasar yang memiliki karakteristik China
yang merupakan hasil pemikiran dari Bapak Reformasi China, yakni Deng Xiaoping.
Kemajuan ekonomi pasar China yang di dalamnya menerapkan Sosialisme Pasar
tidak hanya memberikan implikasi perekonomian China saja, tetapi juga berimplikasi
kepada bidang lainnya (Lubis, 2018).

Orang-orang etnis China sendiri telah bertalian dengan Nusantara, diperkirakan


sudah sejak lama, yaitu sekitar 3 M dan 4 M. Namun, bukti yang kuat menunjukkan
pada abad 5 M, berdasarkan catatan pelayaran Fa Hsien serta Gunavarman.
Begitupun dengan pada masa sekarang. Di Indonesia keberadaan masyarakat
Tionghoa memiliki hubungan yang erat dengan pemerintahan. Dikarenakan, campur
tangan dari pemerintah sehingga mendominasi perekonomian di Indonesia.
Kegiatan usaha di ekonomi kebanyakan dikuasai oleh masyarakat Tionghoa
mengakibatkan hubungan kurang baik antara masyarakat pribumi dengan etnis
Tionghoa (Amalia, 2015). Kegiatan usaha kecil menengah di Indonesia didominasi
oleh masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa, menjadi salah satu yang memiliki
peran dalam perekonomian di Indonesia. Hal tersebut, memiliki pengaruh akibat
beberapa faktor dari kebudayaan, pendidikan, sikap, keturunan dan orientasi.
Misalnya saja, seperti apa yang diuraikan di dalam penelitian (Harahap, 2020, p.
227), yang menjelaskan kalau etnis Tionghoa sudah menyesuaikan kehidupan
mereka di Palembang dengan cara berwirausaha atau berdagang, yang
dilakukannya jauh sejak zaman kerajaan Sriwijaya bahkan sampai peralihan
kesultanan Palembang, hingga pada masa sekarang mereka dapat melebur dengan
pribumi.

Ajaran Konfusianisme, ajaran, yang terletak pada etika dan moral yang saling
berhubungan antar manusia dengan statusnya. Di dalam ajaran moralnya konfusius,
mengandung unsur-unsur sifat bijak manusia yang berpedoman pada sifat yang
terpuji, jika ada kekacauan di masyarakat dapat diatasi, serta negara dapat kembali
teratur dan tenteram. Konfusian, pada pemerintah agar penguasa bertindak

berdasarkan pada kemanusian dan keadilan sehingga dicintai dan dipatuhi oleh
rakyatnya. Dalam, ajaran Konfusius yang terletak pada moral sudah tertanamkan
sejak kecil untuk menghormati orang yang lebih tua. Pada masa kecil ini menjadi
dasar yang paling utama ketika sudah beranjak dewasa mempunyai moral yang baik
sehingga tidak mudah hilang oleh sikap yang dapat merusak akhlak (Rosadi, 2015).
Ajaran konfusianisme, terdapat lima sikap yang mengajarkan pada interaksi antar
manusia dalam kehidupan bermasyarakat yaitu, pertama ren mengajarkan dituntut
untuk saling mengasihi pada semua orang yang ada disekitar kita. Yang kedua Yi,
mengajarkan jika bahwa moral, pengetauan tidak diajarkan, mengetahui kebenaran
tetapi tidak melakukannya, mengetahui kekurangan tetapi tidak mengubah maka
mengalami keraguan didalam dirinya. Ketiga Li, mengajarkan norma-norma
seseorang dalam bersikap, yang berlaku di dalam kehidupan, contoh dalam suami
istri, atasan dan bawahan, serta berkeluarga harus saling menghormati agar
terhindar dari pertikaian. Keempat Zhi, mengajarkan bahwa orang yang bijaksana,
harus bisa mempertimbangan dan berpikir panjang dengan baik atas segala
kemungkinan yang terjadi, untuk mengambil keputusan yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan sehingga dapat menemukan solusi yang terbaik jika
terjadimasalah. Kelima Sheng, mengajarkan manusia jika kita dapat masukan atau
mendengarkan kebaikan kita harus mempratekannya dengan begitu kita bisa
mencapai kesempurnaan akhlak dan menjadi suci . (Steffi Thanissa Halim, 2014;
Amalia, 2015)

Pada tahun sekarang, China mempunyai pertumbuhan perekonomian yang pesat.


China tumbuh sebagai negara yang cepat sekali perkembangan ekonomi dalam
bidang industri, investasi, perdagangan, maupun teknologi sehingga menciptakan
pasar bebas yang dapat mengurangi kemiskinan warga negara China. Pada tahun
sekarang telah menciptakan perkembangan-perkembangan kekayaan intelektual
yang terjadi pada bidang apapaun. Masyarakat China, memperluas dan
menciptakan intelektual dengan kreativitas dan inovasi untuk mendatangkan
kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi (Fabrin, 2018). Dalam, menjalankan
kegiatan perekonomian pemerintah bekerjasama dengan pihak swasta dalam sistem
ekonomi campuran. Dengan menggunakan sistem ekonomi campuran ini
menambah perekonomian China, pemerintah berperan penting dalam pemerataan
perekonomian yang dilakukan oleh rakyatnya secara bebas dalam memproduksi
barang, adanya pengontrolan dari pemerintah China dengan legitimasi dan
konstitusi. Selain sistem ekonomi campuran ada juga sistem ekonomi kapitalis untuk
membebaskan rakyat China untuk bebas dalam berproduksi barang secara kreatif.
Ekonomi campuran juga telah berkerjasama dengan kapitalis dan komunis,
mengambil jenis yang berharga dari keduanya, serta dapat bersandar mau kearah
komunis atau kearah kapitalisme walaupun dengan begitu ajaran konfusianisme
tetap digunakan.

Dilihat dari fakta sejarahnya, bahwa etnis Tionghoa datang ke Indonesia sudah
sangat lama. Kedatangan etnis ini tidak semata-mata hanya ingin berdagang, tetapi
juga terdapat kepentingan-kepentingan lainnya, seperti penyebaran agama dan juga
pengetahuan seperti sastra, dll. Etnis ini juga merupakan salah satu etnis yang
leluhurnya berasal dari Tiongkok (Cina). Sekitar tahun 300 SM, terdapat bukti
sejarah bahwa pedagang Tionghoa datang dari pesisir laut China Selatan. Pada
catatan sejarah tertulis, bahwa pedagang-pedagang China merupakan pedagang
lama yang telah datang ke Asia Tenggara. Awalnya,

kedatangan mereka ke Asia Tenggara hanya untuk tinggal beberapa waktu


saja, selama mereka berkunjung di beberapa Kota Pesisir. Sebenarnya
bagaimana proses mereka menjadi penduduk Indonesia belum terdapat cerita
yang pasti. Pada tahun 1619, sebelum Jayakarta dijajah oleh Belanda dibawah
Pasukan Jan Pieterszoon Coen, orang Tionghoa telah menetap di wilayah
Banten dan juga terdapat di tempat-tempat lain di luar Jawa. Pada masa
penyerangan kompeni terhadap Jakarta, orang-orang Tonghoa ini di
pekerjaankan sebagai perantara dalam pengaturan kapitulasi beberapa
kalangan ningrat setempat kepada Belanda. Ketika masa jabatan Coen yang
merupakan gubernur jenderal di Batavia, ia mengizinkan sekitar 350 orang
Tionghoa untuk tinggal di dalam kota dan juga mereka dipekerjakan sebagai
pedagang kecil. Pada saat itu, Coen menginginkan Batavia berkembang
secepat mungkin sebagai kota perdagangan terbesar di Hindia Belanda. Maka
dari itu, untuk mewujudkan cita-cita nya, Coen memberikan izin terhadap
masyarakat Tinghoa untuk tinggal di Batavia dan bergerak dalam bidang
perdagangan, industri dan pertanian. Maka dari itu, sebenarnya terdapat dua
alasan yang mendorong kedatangan kaum Tionghoa ke Nusantara, yang
pertama yaitu alasan ekonomi. Hal tersebut, telah membawa masyarakat Cina
pada peningkatan angka kemiskinan, kerusuhan dan keresahan sosial.
Kemudian diperburuk lagi karena adanya bencana alam, seperti banjir,
kekeringan, wabah dan sebagainya (Syakur & Faiq, 2020; Wensi & Azeharie,
2020).

Selama akhir masa penjajah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan-kebijakan


baru yang memutuskan gerak masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pemerintah
kolonial lewat Wijkenstelse membuat pemukiman khusus etnis Tionghoa di sejumlah
kota besar di Indonesia orang indonesia menyebutnya sebagai kampung pecinaan.
Pada saat itu, etnis Tionghoa di isolasi dengan penduduk pribumi. Dan juga,
pemerintah kolonial Belanda memberlakukan Passentelsel yang mewajibkan etnis
Tionghoa ketika ingin melakukan perjalanan agar meminta izin terlebih dahulu
(Husin & Maharihandono, 2020; Kristiono, 2018). Etnis Tionghoa yang ada di
Indonesia pada masa kolonial Hindia-Belanda telah membantu sedikit pengaruh
pada perjuangan rakyat Indonesia. Banyak yang menganggap bahwa hal tersebut
memberikan keuntungan bagi mereka. Pada masa memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia, terdapat banyak partai-partai yang berisikan masyarakat Tionghoa. Lebih
umumnya, partai tersebut lebih memperjuanganya kepentingan etnisnya
dibandingkan dengan tanah airnya (Pratama, 2016). Indonesia merupakan Negara
yang multikulturalisme. Bahkan, di Indonesia terdapat masyarakat-masyarakat non
pribumi. Salah satunya, yaitu Etnis Tionghoa, etnis ini merupakan sekumpulan
masyarakat yang terbesar di Indonesia, dan bahkan mereka berhasil dalam
menguasai pasar-pasar di Indonesia. Hal tersebut dilatarbelakangi, karena etnis
Tionghoa merupakan masyarakat yang sangat menghargai pekerjaan. Orang
Tionghoa yang datang ke Indonesia pun pada umumnya merupakan seorang
pedagang, petani nelayan, dan lainnya. Orang Tionghoa ini dalam melakukan
perdagangan selalu memilih tempat-tempat yang strategis, salah satunya yaitu di
Pasar. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa golongan minoritas etnis Tionghoa dapat
memegang peranan penting dalam kehidupan perekonomian Indonesia (Elvinawanty
et al., 2020; Satya, 2016).

PROFIL KEPRIBADIAN ETNIS TIONGHOA SUKSES DI KOTA SURAKARTA

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang layak, mempunyai rumah bagus,
mobil mewah, punya tabungan untuk hari tua dan lain sebagainya. Pemandangan
seperti ini akan terlihat tidak asing ketika kita mengkaitkannya dengan etnis
Tionghoa yang notabene selalu berhasil dalam setiap bisnis yang dijalaninya. Hal ini
tentulah tidak akan luput dari pengaruh kepribadian yang sudah melekat pada tiap
individu khususnya etnis tionghoa yang terkenal tekun, ulet, jujur, hemat dan pekerja
keras. Akan tetapi tidak semua etnis Tionghoa mempunyai kehidupan ekonomi yang
layak tetapi mereka merasa cukup sukses. Karena bagi sebagian orang kesuksesan
itu tidak hanya dinilai dari materi, melainkan dari keluarga, hubungan sosial
dimasyarakat, serta spiritualitas.

Fenomena saat ini yang tampak nyata di masyarakat yaitu seringnya nilai
kesuksesan seseorang dilambangkan dengan tingkat kekayaan atau kondisi
finansialnya. Namun bila dilihat dari sisi lain, makna kesuksesan dari sudut
pandang psikologi maka nilai kesuksesan tidak hanya diukur dari materi yang
didapatkan dan dihasilkan. Dalam ilmu psikologi kesuksesan dapat dinilai dari
sesuatu yang sudah diraih seseorang dalam tujuan hidup dan cita-citanya. Hal
ini disebut sebagai subjective well-being. Cita-cita dan tujuan hidup yang
dimaksud disini mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai dari finansial,
sosial dengan teman dan keluarga, serta orang terdekat, emosional, hingga
spiritual.
Diener , Suh & Oishi (1997) mengemukakan bahwa kesejahteraan subjektif
merupakan cara bagaimana seseorang mengevaluasi dirinya. Evaluasi tersebut
meliputi kepuasan hidup, sering merasakan emosi positif seperti kegembiraan, kasih
sayang serta jarang merasakan emosi negatif seperi kesedihan dan marah.

Perilaku Bisniss Pengusaha China dan Bugis Makassar dalam Agribisniss Di


Makassar” dapat diambil kesimpulan bahwa pengusaha China memiliki otostereotip
7 sifat signifikan yaitu, (1) etos kerja yang tinggi, (2) jujur, (3) hemat, (4) teliti, (5)
dapat dipercaya, (6) dapat menyimpan rahasia, dan (7) persatuan usaha yang kuat.

kesuksesan dapat dikelompokkan menjadi 5 area. Yang pertama adalah kesuksesan


material. Material ini adalah memiliki uang banyak, mempunyai mobil, mempunyai
perusahaan yang besar. Pada dasarnya yaitu segala hal yang bersifat duniawi yang
disebut sebagai material. Berikutnya yang kedua adalah fisik atau 'physical',
misalnya ingin memiliki tubuh selalu sehat, mempunyai tubuh yang sempurna dan
dapat berumur panjang. “Dengan sehat saya bisa bekerja dengan baik”, dalam hal
ini adalah aspek kesehatan, maka tubuh yang sehat ternyata bisa jadi adalah
kesuksesan yang pertama. Kemudian yang ketiga adalah kesuksesan intelektual.
Intelektual adalah kemampuan otak biasa, 'intellectual capital', misalnya saya tidak
perlu uang banyak, tapi saya harus pandai, saya ingin lulus S3, bisa jadi guru besar
dan lain-lain. Ini yang disebut sebagai kesuksesan ke-3, intelektual. Yang keempat
adalah emosional. Saya ingin hubungan saya dengan istri dan anak-anak harmonis,
hubungan saya dengan teman juga baik, semua orang menyukai saya, dan saya
bisa memberikan kontribusi dalam keluarga saya. Jadi sukses emosional adalah
bentuk kesuksesan yang ke-4. Yang terakhir, kelima adalah spiritual. Banyak orang
merasa dekat dengan Tuhan sebagai hal yang utama. Misalnya, saya bisa
merasakan kedamaian dalam hati kita. Spiritual adalah salah satu bentuk
kesuksesan

Wangmuba (2009) menjelaskan bahwa subjective well-being yaitu seseorang yang


memiliki penilaian yang lebih tinggi tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup
cenderung bersikap sepertinya mereka lebih bahagia dan lebih puas.

Aspek utama dalam masalah minoritas Cina di Indonesia adalah indentitas nasional.
Sebagian dari orang-orang Cina di Indonesia berusaha mempertahankan identitas
rasnya sementara menjadi bagian dari bangsa dan negara Indonesia. Akan tetapi
pemimpin-pemimpin Indonesia menganggap pelepasan identitas ras dan unsur-
unsur kebudayaan Cina serta penerapan identitas Indonesia asli adalah satu
satunya cara golongan minoritas Cina di Indonesia untuk mendapatkan identitas
bangsa Indonesia secara penuh. Hal ini diinterpretasikan sebagai asimilasi total ke
dalam suku bangsa Indonesia asli, di mana golongan minoritas Cina yang
bersangkutan berdiam.

Masalah golongan minoritas Cina diwariskan oleh pemerintah Belanda kepada


Pemerintah Indonesia dengan segala kerumitan yang ada di dalamnya. Sebelum
Indonesia merdeka, golongan minoritas Cina berada di tengah sebagai perantara
antara bangsa Belanda dengan bangsa Indonesia. Dalam masa perjuangan
kemerdekaan Indonesia, bangsa Belanda maupun bangsa Idonesia berusaha
menarik golongan minoritas Cina sebagai kekuatan yang berdiri di pihak masing-
masing. Setelah Indonesia merdeka, pemimpin-pemimpin Indonesia dalam usaha
membangun negara, menghadapi masalah golongan minoritas Cina sebagai
kekuatan ekonomi yang sangat besar dan eksklusif. Secara umum,
pemimpinpemimpin Indonesia menginginkan penghapusan kekuatan ekonomi
golongan minoritas Cina yang dianggapnya sebagai kekuatan asing. Namun,
disadari bahwa penghapusan dengan segera dan menyeluruh dapat
mengguncangkan kestabilan perekonomian negara. Oleh karena itu, dijalankanlah
kebijakan integrasi dan bila memungkinkan dianjurkan asimilasi.

Benturan nilai mulai terjadi pada saat terjadi interrelasi etnik yang berlatar belakang
budaya dan sistem sosial yang berbeda. “Langit tujuh lapis, bisa ditembus dengan
tombak emas”, ungkapan umum yang berlaku dalam budaya masyarakat kelompok
etnik Cina yang mempersepsikan segala sesuatu bisa dicapai asal mampu
menembusnya dengan materi yang berwujud dan bernilai tinggi. Walau kemudian
terjadi “bursa moralitas” dengan batas yang jelas dalam persepsi dan perilaku
ekspesif.

Dalam perspektif sejarah, pluralitas bangsa Indonesia ditandai dengan adanya dua
atau lebih elemen yang hidup dalam satu kesatuan politik, yaitu orang-orang Cina
(tergolong Timur Asing) yang menduduki kelas menengah, sedangkan golongan
pribumi (Inlanders) merupakan warga kelas tiga (terbawah) di negerinya sendiri
(Nasikun, 1995: 29).

Landasan ekonomi yang kuat bagi orangorang Cina telah menimbulkan sikap
kepercayaan yang begitu kuat. Mereka merasa lebih tinggi, lebih penting derajatnya
dibandingkan penduduk pribumi, sehingga menimbulkan sikap eksklusivisme melalui
perolehan fasilitas dan keistimewaan politik ekonomi, dan diperparah lagi dengan
pengelompokan dalam wilayah pemukiman dan pemisahan dalam pendidikan.

Sikap pragmatisme kelompok etnik Cina sudah sejak lama tidak begitu disenangi
oleh kelompok pribumi. Sehingga fakta adanya perlakuan “istimewa” pemerintah
terhadap bisnis mereka menjadi suatu yang menyakitkan. Dan terbukti belakangan
ini perasaan itu menjadi terakumulasi dan berujung pada krisis kepercayaan kepada
pemerintah dan aparatnya. Sehingga tidak terlalu salah, bila sementara orang
beranggapan, persoalan pribumi–non pribumi pada dasarnya merupakan aspek dari
ketimpangan yang ditimbulkan oleh strategi ekonomi Orde Baru

Sikap eksklusivisme orang Cina berimplikasi terhadap sikap mental psikologis yang
melahirkan statemen: “di mana saja mereka berada harus melebihi tingkat
kehidupan kaum pribumi”. Dengan adanya sikap ini, etnik Cina akan melakukan apa
saja agar bisa mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam kehidupan sehari-hari kita
bisa melihat adanya kesenjangan kehidupan antara etnik Cina–pribumi yang tentu
saja menimbulkan kecemburuan sosial.

Dominasi ekonomi kelompok pengusaha etnik Cina di Indonesia antara lain adalah
keberhasilannya dalam mengembangkan strategi beradaptasi dengan situasi dan
kondisi. Terdapat adagium di kalangan mereka, zaman boleh beredar, penguasa
boleh berganti
dan sistem politik boleh berubah, namun pengusaha Cina tetap sukses di atas
kelompok pengusaha pribumi. Kekuatan bisnis mereka terletak pada sikap reaktif,
artinya mereka melakukan bisnis sebagai adaptasi kekuatan lingkungan, bukan
melawan lingkungan tersebut. Sikap reaktif itu juga menandai proses pengambilan
keputusan, mereka lebih sering menggunakan intuitif dan spontanitas. Barangkali
budaya “judi” sudah menjadi bagian dalam hidup mereka (Sidik Pradana, 1998: 13).

Pembentukan identitas orang Cina adalah hasil daripada interaksi mereka dengan
lingkungan sosial yang berbeda karena faktor sejarah dan proses diaspora. Tafsiran
terhadap makna simbol dalam konteks lingkungan sosial itu telah mempengaruhi
tingkah laku mereka, biarpun mereka tidak terlibat dalam proses penentuan makna
simbol itu. Perubahan identitas orang Cina, dari Cina ke Indonesia, bukanlah tafsiran
individu, tetapi mereka yang mempunyai kekuasaan, uang, dan popularitas. Interaksi
mereka melalui simbol, terutamanya bahasa, turut melahirkan suatu makna bersama
di kalangan mereka sehingga terbentuknya suatu tafsiran yang baik terhadap ciri
kecinaan mereka.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menurut Intruksi presiden Pada masa pemerintahan BJ habibie yang dilekuarkan


pada tahun 98 nomor 26, disebutkan bahwa penggunaan istilah pribumi telah
dihentikan tentuk begi sefala konteks.

Dalam fenomena perbedaan karakteristik masyarakat tersebut, masyarakat belajar


memahami setiap karakteristik perbedaan yang ada, sebagai salah satu sarana
dalam mengatasi konflik. Setiap individu masyarakat memiliki karakteristik yang
berbeda, sehingga dalam hal ini perlu adanya sifat atau rasa menghargai akan
perbedaan, baik adat istiadat maupun yang lainnya sehingga terbentuk suatu
identitas bersama yang di dalamnya terjalin suatu interaksi sosial yang baik antar
sesama masyarakat.

Tionghoa di tangerang

Masyarakat tionghoa merupakan suatu komunitas masyarakat yang sudah lama


menempati wilayah masyarakat Kota Tangerang. Selain itu, masyarakat tionghoa di
daerah tersebut sering disebut sebagai masyarakat cina benteng. Adapun
munculnya penyebutan cina benteng pada masyarakat tionghoa di Kota Tangerang,
tidak terlepas dari sejarah awal mula kedatangan masyarakat tionghoa hingga
mentap di Kota Tangerang sampai saat ini, dan juga peristiwa sejarah yang menjadi
sebab akibat masyarakat pribumi menyebut masyarakat tionghoa tersebut sebagai
masyarakat cina benteng hingga sekarang ini

Masyarakat cina benteng merupakan komunitas Tionghoa yang memiliki keunikan


tersendiri. Tidak seperti tionghoa peranakan pada umumnya, etnis Cina Benteng
berkulit gelap dan matanya pun tidak sipit. Nenek moyangnya adalah cina hokkian
yang datang ke Tangerang dan tinggal turun temurun di kawasan Pasar Lama.
Kawasan Pasar Lama atau Jalan Ki Samaun sekarang, adalah pemukiman pertama
masyarakat cina benteng. Kawasan ini merupakan cikal bakal Kota Tangerang.
Namun saat ini komunitas yang relatif masih asli hanya terdapat di Kampung Sewan.

Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial
tidak ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah
belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial.
Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang perorangan
atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya
untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain
sebagainya.

Menurut Soekanto dalam buku sosiologi komunikasi, bentuk umum proses sosial
adalah interaksi sosial, sedangkan bentuk khususnya adalah aktivitas-aktivitas
sosial.

H. Bonner dalam bukunya, Social Psychology yang dalam garis besarnya berbunyi
sebagai berikut : interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih
individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu dapat mempengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. Definisi
ini menggambarkan kelangsungan timbal-baliknya interaksi sosial antara dua atau
lebih manusia itu.3

Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, istilah pribumi biasa disebut sebagai


masyarakat asli Indonesia. Konsep bangsa Indonesia asli atau pribumi, timbul dan
berkembang dalam sejarah. Sifat dasar masyarakat Indonesia sebagai masyarakat
Nusantara adalah Bhineka Tunggal Ika. Sifat itu masuk sejak dahulu kala ke dalam
tubuh kebudayaan Indonesia” bersifat multi-demensional, dan keyakinan itu sudah
diketahui dan ditandai ketika penjelajah-penjelajah mancanegara mulai mendarat di
daerah pantai-pantai kepulauan Nusantara. Republik Indonesia yang kemudian
diproklamasikan terdiri 13.677 (tiga belas ribu enam ratus tujuh puluh tujuh) pulau
jumlahnya dengan luas keseluruhan 1.900.000 km2 (satu juta sembilan ratus ribu
kilometer persegi).24

Adapun orang-orang Indonesia asli (pribumi) merupakan golongan mayoritas


penduduk berada pada lapisan paling bawah dalam struktur kasta kolonial tersebut,
orang-orang Tionghoa berada pada lapisan tengah (sebagai kelompok mayoritas
Timur Asing), dan golongan Eropa menempati golongan posisi paling teratas dalam
struktur kasta kolonial itu.

Struktur kasta sosial tersebut bermuatan status hukum, politik dan kedudukan
ekonomi.25 Dalam hal tersebut, penyebutan masyarakat pribumi pada masa kolonial
Belanda, memandang masyarakat asli pribumi Indonesia sebagai masyarakat yang
tergolong rendah, sehingga terdapat adanya suatu ketidak adilan yang mana
berujung pada suatu pertentangan atau konflik
Secara konstitusional istilah orang bangsa Indonesia asli terdapat dalam Pasal 26
Ayat (1) UUD 1945 “yang menjadi warga negara Indonesia ialah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan
Undang-Undang sebagai warga negara. Lebih lanjut kemudian secara lebih jelas
dirumuskan dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, “yang
menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan sebagai warga negara” dimana dalam
penjelasan Pasal 2 UU No.12 Tahun 2006 ini, yang dimaksud dengan orang-orang
bangsa Indonesia asli adalah orang-orang yang menjadi warga Negara yang sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak
sendiri. Pengertian demikian tentu sangat radikal karena kalau mencemati ukuran
asli itu dengan dinamika masyarakat yang terutama terkait dengan perkawinan
campuran. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan Hamid Awaludin bahwa
revolusi berpikir telah dimulai dalam mengartikan orang-orang bangsa Indonesia
asli. Tidak ada lagi percakapan tentang fisik, tidak ada percakapan etnis, tidak ada
percakapan suku dan ras, yang ada sejak lahir dia sudah menjadi WNI.26

Cina Benteng merupakan suatu komunitas tionghoa yang memiliki keunikan


tersendiri. Tidak seperti tionghoa peranakan pada umumnya, etnis cina benteng
berkulit gelap dan matanya pun tidak sipit. Nenek moyangnya adalah Cina Hokkian
yang datang ke Tangerang dan tinggal turun temurun di kawasan Pasar Lama.
Kawasan Pasar Lama atau Jalan Ki Samaun sekarang, adalah pemukiman pertama
masyarakat cina benteng. Kawasan ini merupakan cikal bakal Kota Tangerang.
Namun saat ini komunitas yang relatif masih asli hanya terdapat di Kampung Sewan.
Sebagian besar masyarakat cina benteng hidup sederhana sebagai petani,
peternak, nelayan, bahkan tukang becak. Cina Benteng memang selalu diidentifikasi
dengan stereotip orang Tionghoa berkulit gelap, jago bela diri dan juga hidup
sederhana.27

Mereka tidak bisa lagi berbahasa Cina, sehari-hari mereka menggunakan bahasa
Sunda dan Betawi. Fenomena cina benteng merupakan bukti nyata betapa
harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Namun demikian
masyarakat cina benteng tersebut masih mempertahankan dan melestarikan adat
istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun.28

a. Sejarah awal kedatangan dan penyebutan nama Cina Benteng


Mengenai kedatangan orang cina ke Tangerang memang masih diketahui secara
pasti. Tetapi dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang
(Catatan dari Parahyangan), yang telah diterjemahkan oleh Soedjarwo dari bahasa
Sunda kuno ke dalam bahasa Latin, disebutkan tentang kedatangan orang Cina ke
daerah Tangerang. Dalam kitab tersebut diceritakan tentang mendaratnya
rombongan kapal yang dipimpin oleh Tjen Tjie Lung atau Halung sekitar tahun 1407
di muara Sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga, tepatnya di
Kampung Melayu. Pada saat itu pusat pemerintahan ada di Tegal Luar (daerah
Tanah Tinggi) yang diperintah oleh Sang hyang Anggalarang sebagai wakil dari
Sang hyang Banyak Citra dari sebuah kerajaan di wilayah Parahyangan.29
Gelombang kedua kedatangan orang tionghoa di Tangerang diperkirakan tahun
1740. Saat itu terjadi pemberontakan oleh orang tionghoa karena keputusan
Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkap orang-orang tionghoa yang dicurigai.
Pemberontakan masyarakat tionghoa pada tahun 1740 menyebabkan pembantaian
sekitar 10.000 orang tionghoa tak berdosa oleh VOC dan pembakaran rumah-rumah
mereka. Banyak di antara orang-orang tionghoa pergi menyelamatkan diri ke
Tangerang dan sekitarnya. VOC kemudian mengirimkan sisa-sisa orang Tionghoa
ke Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan pemukiman bagi orang tionghoa
berupa pondokpondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama Pondok
Aren, Pondok Cabe dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir atau Kali Pasir, Belanda
mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan.
Petak Sembilan merupakan salah satu cikal bakal Kota Tangerang, yaitu suatu
tempat yang dihuni oleh komunitas Tionghoa. Perkampungan ini kemudian
berkembang menjadi pusat perdagangan dan menjadi bagian dari Kota Tangerang,
kawasan Pasar Lama sekarang, sebagai pemukiman pertama bagi komunitas
Tionghoa di Tangerang.

Adapun kebajikan dari Konfusianisme adalah bakti seorang anak terhadap


orangtuanya yang dalam bahasa tionghoa disebut Xiau (Hsiao), yang berarti bakti,
yakni penghormatan seorang anak terhadap orangtuanya.33 Dalam hal ini, dilihat
dari ajaran agama manapun termasuk agama Islam, mengajarkan untuk selalu
berbakti kepada orang tua yang ditrapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan
kebudayaan yang dimiliki suatu keluarga tersebut.

Anda mungkin juga menyukai