Anda di halaman 1dari 20

SWAMEDIKASI PADA INSOMNIA

KELOMPOK 2
Andi Suci Fitri Utami/2313017207 Ririn/2313017189
Annisa Putri / 2313017184 Fathya Nabila / 2313017185
Sheilla Rosalia / 2313017211 Noveliana P S D / 2313017183
Rika Amanda Kesia / 2313017201 Megawati /2313017191
Muchamad Zainal Fanani / 2313017208 Nur Indah Safitri / 2313017192
Yeni Kurniasari Tri S / 2313017209 Mega Ulfiyah Noor/ 2313017206
Nur Laelatul Soleha/2313017194 Abia Abimayu /2313017195
Hiro Jumadir Rizal /2313017193 Herlina Lujuk / 2313017196
Muhammad Surya Ananda/ 2313017205 Lia Novita Alydrus / 2313017210
Grestianti Putri Yahauda /2313017197 Aminatun Rizkiyah / 2313017186
Nur Viva Favorit/2313017198 Wahidah Asni/ 2313017212
Ajeng Rahmawati/ 2313017213 Latifah Safitri/ 2313017214
Salwah Putri Sulistian/ 2313017202 Aisyah Mursidah/2313017200
Regina Gusti Cahyani Fachsi/2313017188 Elvina Dewi K / 2313017187
Debby Febrianty/2313017204

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2024
A. Pengertian Swamedikasi
Cara seseorang mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-
obat yang sederhana yang dapat dibeli bebas di apotik atau toko obat atas
inisiatif sendiri tanpa adanya nasehat dokter disebut dengan
swamedikasi.Peraturan Menteri Kesehatan (permenkes) mendefinisikan
swamedikasi pada No.919/MENKES/PER/X/1993 sebagai upaya pengobatan
yang dilakukan secara mandiri untuk mengobati gejala sakit atau penyakit
tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Makna dari peraturan
tersebut Pengobatan yang dimaksud dalam permenkes tersebut adalah upaya
pasien untuk mencari tahu mengenai informasi obat yang sesuai dengan
keluhan penyakitnya dengan bertanya pada apoteker. Pemberian informasi
kepada pasien merupakan salah satu tugas dan peran penting apoteker dalam
memberikan informasi obat yang objektif dan rasional pada pengobatan pasien.
Swamedikasi dapat dilakukan untuk keluhan dan kondisi penyakit yang ringan
dan umum yang sering dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing,
batuk, influenza, sakit maag, diare, insomnia serta keluhan pada penyakit
kulit.Pelaksanaan swamedikasi harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang
rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak
adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat,
dan tidak adanya polifarmasi.
B. Pengertian Insomnia
Insomnia merupakan suatu kondisi yang dicirikan dengan adanya
gangguan dalam jumlah, kualitas atau waktu tidur pada seorang individu.
Gangguan tidur dapat mengganggu pertumbuhan fisik,emosional, kognitif, dan
sosial orang dewasa. Fakta tersebut menunjukkan besarnya kemungkinan masalah
akademis, emosional, kesehatan, dan perilaku pada orang dewasa dapat dicegah
atau diperbaiki secara signifikan melalui intervensi, yaitu memperbaiki kualitas
dan kuantitas tidur.Gangguan pola tidur merupakan kondisi seseorang yang
mengalami risiko perubahan jumlah dan kualitas pola istirahat yang menyebabkan
ketidaknyamanan. Klasifikasi gangguan tidur menurut International Classification
of Sleep Disorder, yaitu dissomnia, parasomnia, gangguan tidur berhubungan
dengan gangguan kesehatan atau psikiatri, gangguan tidur yang tidak
terklasifikasi.
C. Klasifikasi Insomnia
Berdasarkan onsetnya, insomnia diklasifikasikan menjadi :

1. Transient Insomnia (Insomnia Sekilas)


Penderita transient insomnia merupakan orang yang dapat tidur secara normal,
namaun mengalami kesulitan tidur karena adanya suatu stress yang
berlangsung kurang dari dua minggu.
2. Short Term Insomnia (Insomnia Jangka Pendek)
Insomnia dengan periode singkat umumnya berkaitan dengan kecemasan,
seperti akan menghadapi ujian atau wawancara pekerjaan, stres situasional
seperti berduka cita. Insomnia jangka pendek terjadi antara 2-4 minggu.
3. Long Term Insomnia (Insomnia Jangka Panjang)
Jenis insomnia kronis yang umumnya menyertai penyakit psikiatrik atau
penyakit fisik yang berat. Insomnia jangka panjang terjadi selama lebih dari 4
minggu.
Berdasarkan penyebabnya, insomnia diklasifikasikan menjadi :

1. Insomnia Primer
Insomnia primer mengakibatkan terjadinya hyperarousal system yang
berlebihan, dimana pasien dapat tidur namun tidak merasa tidur. Periode tidur
pun mengalami pengurangan dan lebih sering terbangun. Insomnia primer tidak
berhubungan dengan kejiwaan, masalah neurologi, masalah medis lainnya, atau
karena penggunaan obat tertentu. Penyebab insomnia primer berhubungan
dengan kebiasaan sebelum tidur, pola tidur, dan lingkungan tempat tidur.
2. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder disebabkan karena irama sirkardian, kejiwaan, masalah
neurologi, atau masalah medis lainnya serta reaksi obat. Insomnia sekunder
lebih sering terjadi pada lanjut usia. Pada insomnia sekunder karena penyakit
organik, kontinuitas tidurnya terganggu, seperti pada penderita artritis yang
mudah terbangun karena nyeri yang timbul.
D. Gejala Insomnia
Seseorang yang mengalami insomnia sangat sulit untuk merasakan ngantuk,
sehingga menentukan ukuran tidur normal karena kebutuhan tidur berbeda-
beda bagi setiap orang. Hal tersebut dipengaruhi oleh usia, gaya hidup,
lingkungan, dan pola makan. Gejala-gejala insomnia yang paling umum di
antaranya:
1. Sulit untuk merasakan ngantuk dan tidak bisa tertidur.
2. Terbangun pada malam hari atau dini hari dan tidak bisa tidur kembali.
3. Merasa lelah, emosional, sulit berkonsentrasi, dan tidak bisa melakukan
aktivitas secara baik pada siang hari.
4. Tidak bisa tidur siang meskipun tubuh terasa lelah.

(Huda, 2020)

E. ETIOLOGI INSOMNIA
Insomnia adalah kondisi umum yang ditandai dengan kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur, yang dapat menyebabkan iritabilitas atau kelelahan
selama waktu terjaga. Secara umum etiologi dari kejadian insomnia dibagi
menjadi tiga faktor, yaitu predisposing, precipitating, dan perpetuating.
1. Predisposing Factors
Predisposing Factors atau faktor predisposisi merupakan kerentanan
mendasar atau faktor risiko dari masing-masing individu yang
melatarbelakangi dan meningkatkan kerentanan seseorang terhadap kerjadian
insomnia. Adapun yang termasuk ke dalam faktor predisposisi adalah:
a. Kelainan genetik
Beberapa studi telah mengidentifikasi varian genetik yang terkait dengan
peningkatan risiko insomnia, menunjukkan kecenderungan genetik yang
meningkatkan resiko terjadinya insomnia.
b. Kepribadian
Insomnia sering kali terjadi pada seseorang yang memiliki ciri-ciri
kepribadian tertentu, seperti kecemasan, perfeksionisme, atau
kecenderungan merenung mungkin lebih rentan mengalami insomnia.

c. Stress pada masa kecil


Pengalaman masa kecil yang buruk, seperti pelecehan atau trauma,
dapat meningkatkan kerentanan terhadap insomnia di kemudian hari.
d. Gender
Wanita lebih mungkin mengalami insomnia dibandingkan pria,
kemungkinan karena faktor hormonal dan stres yang spesifik gender yang
banyak terjadi pada Wanita dibandingkan pria.
e. Usia
Prevalensi insomnia cenderung meningkat seiring bertambahnya usia,
terutama pada orang dewasa yang lebih tua.

2. Precipitating factor
Precipitating factor atau faktro presipitasi merupakan faktor yang menjadi
pencetus atau menstimulasi terjadinya insomnia. Adapun beberapa kondisi
yang termasuk kedalam kategori ini adalah
a. Kondisi medis
Berbagai kondisi medis, seperti nyeri kronis, gangguan pernafasan,
atau kondisi neurologis, dapat berkontribusi terhadap perkembangan
insomnia. Seseorang yang memiliki kondisi medis yang dapat
mengganggu atau menurunkan kualitas hidup memiliki potensi untuk
menyebabkan insomnia.
b. Gangguan kejiwaan/psikiatri
Kondisi kesehatan mental seseorang sangat mempengaruhi kualitas
tidur, misanya pada pasien depresi, kecemasan, dan post traumatic
stress disorder (PTSD) sangat terkait dengan insomnia.
c. Obat-obatan
Obat-obatan tertentu, seperti antidepresan, stimulan, atau kortikosteroid,
dapat mengganggu tidur dan menyebabkan efek samping insomnia.
d. Penggunaan zat-zat tertentu
Penggunaan zat seperti kafein, alkohol, atau nikotin dapat mengganggu
pola tidur dan berkontribusi terhadap insomnia.
3. Perpetuating Factors
Perpetuating factors merupakan faktor perilaku atau pola pikir yang
mempertahankan dan memperburuk insomnia dari waktu ke waktu
sehingga kejadian suatu penyakit menjadi hal yang sulit untuk dihilangkan
atau sudah menetap (persisten)
a. Kebiasaan tidur yang maladaptive
Jadwal tidur yang tidak teratur, menghabiskan waktu berlebihan di
tempat tidur, atau melakukan aktivitas yang menstimulasi otak untuk
tetap aktif pada saat sebelum tidur dapat menyebabkan insomnia yang
persisten.
b. Gangguan ritme sirkadian
Ketidakselarasan antara jam internal tubuh dan isyarat eksternal, seperti
paparan cahaya atau jadwal sosial, dapat berkontribusi terhadap
berlanjutnya insomnia. Sistem sirkadian melibatkan sejumlah mekanisme
molekuler dan neurobiologis yang mengatur ritme biologis harian,
termasuk siklus tidur dan terjaga. Salah satu aspek penting dalam sistem
sirkadian adalah inti suprakiasmatik (suprachiasmatic nucleus/SCN) dalam
hipotalamus, yang bertindak sebagai “jam biologis” internal kita. Inti ini
menerima input dari lingkungan, seperti cahaya dan kegelapan, dan
memengaruhi produksi hormon-hormon tertentu yang mengatur siklus
tidur dan terjaga.

F. PATOFISIOLOGI
Waktu tidur dan bangun dalam siklus 24 jam ditentukan melalui interaksi
dua proses fisiologi yaitu homeostatik dan sirkadian. Dalam konsep
homeostatik tidur dikendalikan oleh meningkatnya waktu bangun yang secara
linear akan meningkatkan waktu tidur. Kondisi ini berkaitan dengan
konsentrasi adenosine ekstrasel. Konsentrasi adenosine otak meningkat pada
waktu bangun selanjutnya menurun dan meningkat kembali waktu tidur.
Namun mekanisme secara tepat bagaimana adenosine menginduksi tidur belum
jelas. Hipotesis yang dikemukakan termasuk menurunnya pelepasan glutamat,
terhambatnya cholinergic arousal neuron, terhambatnya pelepasan hipokretin.
Juga dikenal humoral lainnya yang memodulasi tidur berkaitan dengan
mekanisme homeostatik yaitu prostaglandin D2 meningkatkan tidur dan
prostaglandin E2 menginhibisi tidur (9). Sedangkan kontrol sirkadian tidur
ditentukan oleh lonceng biologis terletak pada nukleus suprakiasmatikus
hipotalamus. Melatonin merupakan peptide yang disekresi oleh galandula
pineale berperan terhadap control sirkadian tidur. (9) 3 Disregulasi homeostatik
merupakan salah satu factor utama terjadinya insomnia. Suatu kemungkinan
penjelasaan pada insomnia primer yaitu tidak adanya atau kurangnya kendali
tidur disebabkan oleh defisiensi neeurotransmiter inhibisi atau berlebihannya
neurotransmitter stimulasi, sehingga merusak kemampuan otak untuk memulai
tidur. (1) Terdapat beberapa bukti bahwa insomnia mungkin suatu kelainan
hiperarousal pada susunan saraf pusat (SSP), yang paling tidak sebagian di
mediasi oleh aktifitas simpatis. Studi penelitian menunjukkan pada penderita
insomnia terjadi peningkatan level katekolamin, metabolism basal, suhu badan,
denyut jantung, metabolism basal SSP, aktifitas elektroensefalografi, dan
aktifitas berlebihan hypothalamic-pituitary-adrenal axis. Namun patofisiologi
secara tepat masih belum jelas (3). Hiperarousal yang menyebabkan sulit
memulai atau mempertahankan tidur kemungkinan akibat peningkatan level
basal arousal atau suatu kegagalan inhibisi atau downregulate arousal di malam
hari. Penelitian menunjukkan bahwa pada penderita insomnia metabolism
glukosa otak meningkat pada waktu bangun dan tidur, serta peningkatan
aktifitas hormon adrenokortikotropin . Keduanya dapat berkontribusi terhadap
hiperarousal. (9,10) Faktor lainnya yaitu ketidaknyamanan lingkungan. Untuk
memulai atau mempertahankan tidur akan sulit jika terdapat sejumlah besar
factor lingkungan yang dapat menganggu seperti gaduh, temperature yang
ekstrim, material tempat tidur, penerangan, posisi badan, dan gerakan (getaran
atau tuberlensi) (1). Pasien biasanya mempunyai kebiasaan atau habit yang
akan menganggu memulai tidur atau mempertahankan tidur. Seperti
menyibukkan diri bekerja sebelum ia berkeinginan tidur mengakibatkan badan
dan pikirannya tidak dalam kondisi rileks yang dibutuhkan untuk memulai
tidur. Pasien hilang percaya diri bahwa dia dapat tertidur sehingga dia
melakukan aktifitas di tempat tidur. Pasien kurang latihan fisik atau kurang
aktifitas di siang hari, kurang mengeluarkan energy yang memepengaruhi
homeostatic. Juga pasien yang tidak menjaga rutinitas siklus bangun-tidurnya
beresiko tidak dapat tidur pada waktunya karena isyarat koordinasi
homeostatik dan sirkardiannya akan terganggu (1). Beberapa individu tidak
dapat mengendalikan stress dan akan berakibat negatif. Mulamula individu
tersebut mengalami stres akut yang mengakibatkan insomnia sementara.
Namun pada individu yang berpredisposisi, insomnia akut ini menyebabkan ia
ansietas dan stres membentuk lingkaran setan.
G. Epidemiologi
Insomnia terjadi pada individu dari segala usia dan ras, dan telah terjadi
telah diamati di semua budaya dan negara. Kenyataannya Prevalensi
insomnia bervariasi sesuai dengan tingkat keparahannya definisi yang
digunakan. Gejala insomnia terjadi pada sekitar 33% hingga 50% populasi
orang dewasa; gejala insomnia dengan kesusahan atau gangguan (yaitu
gangguan insomnia umum) pada 10% hingga 15%; dan gangguan
insomnia spesifik pada 5% hingga 10%.10 Faktor risiko yang konsisten
untuk insomnia meliputi bertambahnya usia, jenis kelamin perempuan,
gangguan komorbiditas (medis, psikiatris, tidur, dan penggunaan narkoba),
kerja shift, dan kemungkinan pengangguran serta status sosial ekonomi
yang lebih rendah. Pasien dengan komorbid medis dan psikiatris kondisi
berada pada peningkatan risiko, dengan psikiatris dan gangguan nyeri
kronis yang memiliki tingkat insomnia setinggi 50% hingga 75%.
Hubungan risiko antara insomnia dan kejiwaan gangguan tampaknya
bersifat dua arah; beberapa penelitian juga menunjukkan peningkatan
risiko gangguan kejiwaan di kalangan individu dengan insomnia
sebelumnya. Perjalanan insomnia seringkali bersifat kronis, dengan
penelitian menunjukkan persistensi pada 50% hingga 85% dari individu
selama interval tindak lanjut satu hingga beberapa tahun. (S Schutte-
Rodin, L Broch, D Buysse et al, 2017)

H. Mekanisme Insomnia
insomnia paling mungkin berkembang pada mereka yang memiliki peningkatan
risiko genetik dan yang mengalami kelainan dalam proses neurobiologis.
Kerentanan seperti sifat ini dapat menyebabkan hyperarousal neurofisiologis dan
proses psikologis dan perilaku, yang secara individu atau bersama-sama,
meningkatkan risiko individu untuk mengembangkan insomnia dan konsekuensi
kesehatan terkait. Memicu stres dan faktor spesifik orang lain (misalnya, usia,
jenis kelamin) memoderasi hubungan ini. Sejauh mana seorang individu dengan
insomnia menunjukkan bukti kelainan pada masing-masing proses yang
digambarkan dapat bervariasi di antara individu yang berbeda.

Kenapa wanita rentan insomnia dibandingkan laki laki ?


Insomnia lebih banyak menyerang wanita (20-50% lebih tinggi daripada pria) hal
tersebut dikarenakan pada hakekatnya secara psikologis wanita lebih cenderung
memiliki mekanisme coping yang lebih rendah dari pada seorang laki-laki, dengan
demikian seorang wanita akan lebih mengalami ketegangan dan kecemasan
sehingga menjadi stressor tersendiri untuk terjadinya insomnia pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki (Rianjani, dkk, 2011). Secara fisiologis juga wanita
dipengaruhi oleh peran hormon estrogen dan progesteron yang mengalami
perubahan seperti pada masa pubertas, sikuls menstruasi, menopause dan
kehamilan.
 Pasa masa pubertas perempuan hormon ovarium saat siklus menstruasi
menyebabkan emosi yang labil. Hormon estrogen akan menurun ketika
menjelang mentruasi, hal tersebut akan menyebabkan gangguan tidur pada
perempuan.
 Mekanisme biologi seperti meningkatnya follicle stimulating hormone dan
menurunnya level estrogen pada saat pre menstruation membedakan
kualitas tidur antara perempuan dan laki-laki, ketika terjadi penurunan
hormon ini salah satu respon tubuh yaitu berupa gangguan tidur. Hormon
estrogen yang dimiliki oleh perempuan lebih besar dibandingkan dengan
laki-laki, oleh karena itu perempuan berpotensi lebih besar mengalami
insomnia.
(Anggara & Annisa, 2019)
 Secara fisiologis, menopause dapat menyebabkan penurunan produksi
hormon estrogen yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis seseorang
yaitu menjadi lebih cemas dan gelisah, hal ini membuat lansia perempuan
mengalami insomnia (Ningsih & Wibowo, 2018)
 Insomnia pada saat kehamilan terjadi karena adanya perubahan hormon
yang menimbulkan ketidaknyamanan dan meningkatnya hormon
progesteron sehingga ibu hamil cenderung mengantuk pada siang hari.
Selain itu, rasa cemas yang dialami ibu hamil akan menyebabkan
terjadinya sekresi hormon adrenalin (efinefrin) yang mampu
meningkatkan ketegangan pada ibu hamil sehingga ibu hamil akan merasa
gelisah dan menyebabkan kesulitan untuk tidur (Wungouw & Lolong.,
2017)
 Wanita memiliki prevalensi yang tinggi terhadap depresi dan gangguan
kecemasan yang merupakan faktor resiko tinggi terjadinya insomnia (Boer
dkk., 2023)
 Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan proses yang memastikan
bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau
dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping
(Permenkes No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit).
Guidline Insomnia:
I. Tujuan Terapi insomnia
Tujuan terapi/pengobatan insomnia adalah:
(1) Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur
(2) untuk memperbaiki gangguan siang hari terkait insomnia
(Sharon, 2008)

Selain itu tujuan terapi insomnia adalah untuk menghilangkan gejala,


meningkatkan produktivitas dan fungsi kognitif sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup pada pasien (Woodward, 2007).
Diferensiasi sindrom pada insomnia yaitu:
1. Hiperaktivitas api hati
Manifestasi : Sulit tidur, mudah marah, tidak nafsu makan, mudah haus,
mata merah, mulut terasa pahit, warna urin keruh, konstipasi. Lidah merah
dengan selaput kuning, nadi kuat dan cepat.
2. Defisiensi jantung dan limpa
Manifestasi : Sulit tidur, mudah terbangun saat tidur, palpitasi, konsentrasi
kurang, pandangan kabur, tidak nafsu makan, lesu, kulit pucat. Lidah
pucat dengan selaput lidah tipis. Nadi lemah dan lambat.
3. Defisiensi jantung dan kandung empedu
Manifestasi : Sulit tidur, mudah terbangun saat tidur, palpitasi, lesu
(kelelahan), ketakutan, nafas pendek. Lidah pucat dan nadi lemah.
4. Disharmoni antara jantung dan ginjal
Manifestasi : Sulit tidur atau bahkan tidak bisa tidur sarna sekali sepanjang
malam, pusing, tinnitus, demam pada sore hari, panas pada telapak tangan,
telapak kaki dan dada, konsentrasi kurang, nyeri dan lemah pada pinggang
dan lutut, ejakulasi malam hari. Lidah merah, selaput lidah tipis dan nadi
lemah.

Manifestasi klinis insomnia dapat berupa:


a. Kesulitan untuk tertidur pada waktu yang normal (inital insomnia).
Didefinisikan sebagai kesulitan tertidur yang lebih dari 30 menit.
Biasanya disebabkan karena tingkat kesadaran yang tinggi yang
berhubungan dengan anxietas atau faktor lain.
b. Kesulitan untuk mempertahankan tidur/ sering terbangun dari tidur lalu
sulit tertidur kembali.
Keadaan ini bisa muncul secara ireguler dalam 1 malam atau
muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti selama fase tidur REM
terbangun lebih cepat di pagi hari (terminal insomnia). Kondisi ini cukup
sering ditemukan pada orang tua. Merasa tetap lelah dan mengantuk
meskipun durasi tidur sudah cukup. Merasa cemas jika sudah mendekati
waktu tidur.
c. Terbangun lebih cepat di pagi hari (terminal insomnia). Terbangun saat
dini hari menjelang pagi dan tidak dapat Kembali tidur.

Kasus 3

Pasien A seorang Wanita berusia 35 tahun dating ke apotek dengan keluhan sulit
tidur. Pasien mengeluhkan kesulitan untuk tertidur pada malam hari dan sering
terbangun di tengah malam. Pasien juga merasa kurang segar dan Lelah dipagi
hari.

Gejala : susah tidur,terbangun ditengah malam, merasa kurang segar dan Lelah
dipagi hari.

Terapi farmakologi

Pemilihan obat di lihat pada sifat gangguan tidur, sebelum pemberian terapi
pasien sebelumnya harus ditinjau terlebih dahulu apakah untuk gangguan tidur ini
sudah lama di rasakan apakah baru saja ?, jika pasien baru pertama kali merasakan
gejala gangguan tidur, pasien lebih di utamakan melakukan terapi non
farmakologi untuk menghindari efek ketergantungan obat, kemudian dapat
menambahkan suplemen dan vitamin yaitu suplemen melatonin serta vitamin B6
(Lemoine, et al. 2019), apabila tidak ada perbaikan pasien dapat
mengkonsultasikan kembali dengan dokter pribadi, sehingga diberikan terapi
farmakologi yang lain. (Sutardi, 2021).

Dosis aturan pakai

 Melatonin : 3-5 mg PO 3-4 jam sebelum tidur x 4 minggu.


 Vitamin B6 : 1,3 mg x sehari
(Medscape, 2024)

Terapi Non Farmakologi Insomnia

1. Terapi non-farmakologi yang dapat digunakan untuk mengatasi insomnia


salah satunya yaitu pijat aromaterapi (Silalahi dan Astarani, 2018)
2. Terapi non farmakologi diketahui mampu mempengaruhi atau mengontrol
pikiran dan tubuh yang dipercaya akan berdampak baik bagi kesehatan.
Terapi ini bisa berupa terapi seni, imagery, relaksasi, biofeed back dan
aromaterapi, namun dari beberapa jenis terapi tersebut, terapi non
farmakologi yang mudah dilakukan dan dapat dilakukan kapan saja tanpa
efek samping yang merugikan yaitu terapi sleep hygine dan terapi rendam
air hangat pada kaki (Oktaviani dan Chalid, 2023)
3. Terapi non farmakologi yang dapat digunakan untuk mengatasi insomnia
yaitu pemberian aromaterapi dengan cara dihirup (Damayanti dan Hadiati,
2019).
4. Terapi non farmakologi yang dapat digunakan mengatasi insomnia adalah
terapi dzikir karena dapat membuat jiwa merasa nyaman dan tenteram
serta tidka memiliki efek samping (Yanti dkk., 2022).

Monitoring:
1. Monitoring gejala yang dikeluhkan
2. Monitoring waktu tidur dan bangun
KIE:
1. Memberikan informasi pola hidup sehat seperti melakukan olah raga yaitu
jalan santai, yoga, dan berenang
2. Memberikan informasi untuk membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk
tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur. Hindari menonton TV,
membaca, dan makan di tempat tidur
3. Memberikan informasi untuk membatasi tidur siang maksimal 30 menit
4. Memberikan saran untuk menggunakan aromaterapi sebelum tidur yang
dapat membantu meringankan pikiran dan merileksasi otot tubuh yang
tegang sehingga bisa mengurangi stres, kecemasan, dan rasa sakit yang
sering mengganggu tidur
5. Memberikan informasi untuk mengurangi konsumsi minuman berkafein dan
beralkohol
Daftar Pustaka
Anggara, M.Y.D., & Annisa. 2019. Hubungan Jenis Kelamin Terhadap Simtom
Insomnia pada Mahasiswa yang Sedang Melakukan Penulisan Skripsi di FK
UMSU. Jurnal Kedokteran Anatomica, 02 (03) : 168 – 176

Boer, J., Höhle, N., Rosenblum, L., & Fietze, I. 2023. Impact of Gender on
Insomnia. Brain Sciences, 13(3):480

Damayanti, N., dan Hadiati, T. 2019. Pengaruh Pemberian Aromaterapi Terhadapt


Tingkat Insomnia Lansia. Jurnal Kedokteran Diponegoro, Vol 8(4) : 1210-1216.

Huda, Miftachul. 2020. Mengatasi Insomnia Secara Alami. New Media.

Levenson, J. C., Kay, D. B., & Buysse, D. J. (2015). The pathophysiology of


insomnia. Chest, 147(4), 1179-1192.

Medscape.com, 2024, Drug Interaction Checker, Terdapat di:


https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker [Diakses pada Maret 13,
2024].
Ningsih, A. W., & Wibowo, D. A. 2018. Faktor - faktor yang Mempengaruhi
Kejadian Insomnia pada Lansia Di Posyandu Lansia Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Puncu Kabupaten. Jurnal Ilmu Kesehatan, 09 (01) : 66 - 74

Nurdin, M. Akbar., Arsin., A. Arsuna., dan Thaha, R. M. (2018).Kualitas Hidup


Penderita Insomnia pada Mahasiswa. Jurnal MKMI, Vol. 14 No. 2.
http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i1.3464.

Oktaviani, Mayang dan Desridius Chalid. 2023. Hubungan Terapi Non


Farmakologi Terhadap Ganguan Tidur Pada Lansia Di Desa Sukahurip.
Malahayati Health Student Journal, Volume 3 Nomor 10 Hal 3141-3150

Pizova, N. V., Pizov, A. V., & Solovyov, I. N. (2022). Insomnia: risk factors, sex-
and age-specific features, and therapeutic approaches. Meditsinskiy
Sovet, 2022(11), 62–70. https://doi.org/10.21518/2079-701X-2022-16-11-62-70

P. Lemoine, et al. 2019. A combination of melatonin, vitamin B6 and medicinal


plants in the treatment of mild-to-moderate insomnia: A prospective pilot study.
Paris : Complementary Therapies in Medicine 45 (2019) 104–108.

Pratiwi, Yulia., Rahmawaty, Annis., dan Islami yati, Ricka.(2020).PERANAN


APOTEKER DALAM PEMBERIAN SWAMEDIKASI PADA PASIEN BPJS.
Jurnal Pengabdian Kesehatan, Vol. 3, No. 1. Stikes Cendekia Utama Kudus.
https://doi.org/10.31596/jpk.v3i1.69

Rianjani, E., Nugroho, H. A., & Astuti, R. (2011). Kejadian insomnia berdasar
karakteristik dan tingkat kecemasan pada lansia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang. FIKkeS, 4(2).

Schutte-Rodin S; Broch L; Buysse D; Dorsey C; Sateia M. 2008. Clinical


guideline for the evaluation and management of chronic insomnia in adults.
Journal of Clinical Sleep Medicine, 4(5):487–504.
Sharon S.R. et,all. Clinical Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Insomnia in Adults.Journal of Clinical Sleep Medicine, Vol. 4, No. 5,
2008 ; 488.

Silalahi, Firman Samuel Agustino dan Kili Astarani. 2018. Pijat Aromaterapi
Efektif Menurunkan Insomnia Lansia. Jurnal Stikes,Volume 11, Nomor 2,
Halaman 89-160.

Sutardi, M.A.G. 2021. Tatalaksana Insomnia. Fakultas Kedokteran, Universitas


Lampung : Jurnal Medika Hutama Vol 03 No 01, Oktober 2021
http://jurnalmedikahutama.com.

Van Someren, E. J. W. (2021). BRAIN MECHANISMS OF INSOMNIA: NEW


PERSPECTIVES ON CAUSES AND CONSEQUENCES. In Physiological
Reviews (Vol. 101, Issue 3, pp. 995–1046). American Physiological Society.
https://doi.org/10.1152/physrev.00046.2019

Yanti, L., Andari, F.N., Novriadi, D., & Ferasinta, F. 2022. Penurunan Insomnia
Pada Lansia Dengan Terapi Zikir. Jurnal Pengabdian Masyarakat Bumi Raflesia,
5(3) : 1031-1036.

Yun, S., & Jo, S. (2021). Understanding insomnia as systemic disease. Yeungnam
University Journal of Medicine, 38(4), 267–274.
https://doi.org/10.12701/yujm.2021.01424

Woodward MC. Managing Insomnia in Older People. Journal of Pharmacy


Practice and Research. 2007;37:236-241.
Wungouw, H., & Lolong, J. 2017. Hubungan Stress dengan Kejadian Insomnia
pada Ibu Hamil di Puskesmas Bahu Kota Manado. e-Journal Keperawatan, 05
(01) : 01 – 07

Yin G., dan Liu Z. 2000. Advance Modern Chinese Acupuntur Theraphy.
Publishing New World PreSs. China.pp 378-383.

Anda mungkin juga menyukai