Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagian terluar bumi ditutupi oleh daratan dan lautan, dimana luas
lautan lebih besar dari bumi. Namun Bumi merupakan bagian kerak bumi
yang dapat langsung diamati dari dekat, sehingga banyak hal yang dapat
diketahui dengan cepat dan jelas. Salah satunya adalah Bumi terdiri dari
berbagai jenis batuan dan mengandung batuan yang berbeda-beda
(Wahyudi Wijayanto, 2022).
Petrologi merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang fokus
mempelajari batuan dan kondisi pembentukannya. Petrografi adalah
cabang petrologi yang memberikan gambaran rinci tentang batuan
berdasarkan kandungan mineral dan strukturnya. Batuan merupakan
kumpulan mineral yang memadat, mineral ini sering disebut mineral
pembentuk batuan. Klasifikasi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
setiap mineral pada batuan menggunakan mikroskop. Ciri-ciri setiap jenis
batuan dapat dibedakan berdasarkan persentase mineral penyusun batuan
tersebut (Abu Amar Tantowi, 2018).
Analisis petrologi merupakan dasar yang sangat penting untuk
menentukan analisis selanjutnya. Dalam analisis ini dengan mikroskop
polarisasi. Contoh batuan yang diambil diserahkan untuk analisis
petrografi, yang meliputi deskripsi struktur batuan primer, sekunder dan
batuan. Dengan cara ini dapat diketahui nama dan jenis batuan serta
tingkat perubahan mineral yang terjadi (Harjanto, 2011).
Batuan adalah sekumpulan mineral-mineral yang menjadi satu.
Batuan bisa terdiri dari satu macam mineral saja atau campuran beberapa
mineral (Zuhdi, 2019). Batuan metamorf merupakan batuan hasil malihan
dari batuan yang telah ada sebelumnya yang ditunjukkan dengan adanya
perubahan komposisi mineral, tekstur dan struktur batuan yang terjadi
pada fase padat (solid rate) akibat adanya perubahan temperatur, tekanan
dan kondisi kimia di kerak bumi (Ehlers, 1982). Sedangkan menurut (Kurt

1
Bucher, 2011) Batu metamorf adalah batuan hasil dari proses geologi yang
mengubah mineralogi dankomposisi kimia, serta struktur dan tekstur
batuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu batuan Metamorf?
2. Bagaimana proses terbentuknya batuan Metamorf?
3. Apa saja tipe metamorfosa dari batuan Metamorf?
4. Bagaimana dengan derajat metamorfosa dari batuan Metamorf?
5. Apa itu fasies metamorfisme?
6. Bagaimana cara mendeskripsikan batuan metamorf?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu batuan Metamorf.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses terbentuknya batuan Metamorf.
3. Untuk mengetahui apa saja tipe metamorfosa dari batuan Metamorf.
4. Untuk mengetahui Bagaimana dengan derajat metamorfosa dari batuan
Metamorf.
5. Untuk mengetahui apa itu fasies metamorfisme.
6. Untuk mengetahui Bagaimana cara mendeskripsikan batuan metamorf.
D. Alat dan Bahan
1. Sampel batuan
2. Lembar deskripsi
3. Lup
4. Komparator
5. Larutan HCl
6. Buku dan Alat tulis

2
BAB II
TEORI DASAR
A. Batuan Metamorf
Batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk oleh proses
metamorfisme pada batuan yang telah ada sebelumnya. Batuan asalnya
(yang telah ada sebelumnya) dapat berupa batuan beku, sedimen maupun
metamorf. Proses metamorfosisme adalah proses yang menyebabkan
perubahan komposisi mineral, tekstur dan struktur pada batuan karena
panas dan tekanan tinggi, serta larutan kimia yang aktif (Suroyo, 2019).
Batuan metamorf atau batuan malihan ini merupakan sekelompok
batuan yang merupakan hasil dari ubahan atau transformasi dari suatu tipe
batuan yang sudah ada sebelumnya (protolith) oleh suatu proses yang
disebut dengan metamorfosis atau mengalami perubahan bentuk (Fry,
1985).
Kata Metamorfosis berasal dari kata Yunani, dimana “meta” berarti
“perubahan” dan “morpho” berarti bentuk. Dengan demikian, pengertian
metamorfosis dalam geologi mengacu pada perubahan kelompok mineral
batuan dan struktur batuan akibat perubahan tekanan dan suhu selama
pembentukan batuan. Batuan metamorf atau metamorf adalah batuan yang
terbentuk dari batuan asli (batuan beku, batuan sedimen atau batuan
metamorf itu sendiri), yang secara bersamaan mengalami perubahan suhu
(T), tekanan (P) atau perubahan suhu dan tekanan pada kerak bumi
sehingga mengakibatkan . struktur batuan baru dan struktur baru yang
terjadi pada fase padat (kecepatan padat) tanpa adanya perubahan
komposisi kimia. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diartikan
bahwa batuan metamorf terbentuk karena adanya perubahan akibat proses
metamorf (Irsyad Nuruzzaman Sidiq, 2019).
B. Proses Pembentukan Batuan Metamorf
Metamorfisme adalah proses-proses yang mengubah mineral suatu
batuan pada fase padat karena pengaruh kondisi fisik dan kimia di dalam
kerak bumi dimana kondisi fisik dan kimia tersebut berbeda dengan

3
kondisi sebelumnya. Proses-proses tersebut tentu saja tidak termasuk
proses pelapukan dan diagenesis (Zuhdi, 2019).
Proses metamorfose dapat berlangsung sangat lama hingga jutaan
tahun. Semakin lama prosesnya, maka semakin sempurna tingkat
metamorfosenya. Selain faktor waktu, faktor suhu dan tekanan sangat
menentukan sempurnanya metamorfose. Metamorfose yang terjadi secara
sempurna maka karakteristik batuan asalnya tidak terlihat lagi. Pada
metamorfisme yang tak sempurna, perubahan yang terjadi pada batuan
asal tidak terlalu nampak mencolok. Hanya kekompakan pada batu saja
yang bertambah (Zuhdi, 2019).
Proses terjadinya batuan metamorf dari batuan yang sudah ada
sebelumnya yaitu protolit. Protolit atau batuan purba yang terkena panas
lebih dari 150 derajat Celcius dan juga tekanan ekstrim mengalami
perubahan fisik atau kimia yang penting. Ada beberapa jenis batuan
protolitik. Batuan protolitik tersebut antara lain batuan beku, batuan
sedimen, atau batuan metamorf tua lainnya seperti gneiss, serpih, dan
marmer. (Suroyo, 2019).
Menurut (Noor, 2012) Pada dasarnya metamorfosis terjadi karena
beberapa mineral hanya stabil pada kondisi tekanan dan suhu tertentu.
Ketika tekanan dan suhu berubah, terjadi reaksi kimia, akibatnya mineral
yang terkandung dalam batuan menjadi kelompok mineral yang stabil
pada kondisi tekanan dan suhu yang baru. Namun proses ini sangat rumit,
seperti berapa tekanan yang dibutuhkan untuk mengubah batuan, berapa
lama waktu yang dibutuhkan batuan untuk berubah, ada tidaknya larutan
cair pada saat metamorfosis. Berikut merupakan faktor faktor pengendali
dari metamorfosa:
1. Temperatur
a. Naiknya temperatur seiring dengan kedalaman bumi sesuai
dengan gradient geothermal.
b. Dengan demikian temperatur semakin tinggi dapat terjadi pada
batuan yang berada jauh didalam bumi.

4
c. Temperatur dapat juga meningkat karena adanya intrusi batuan.
2. Tekanan
a. Tekanan juga akan meningkat dengan kedalaman bumi, dengan
demikian tekanan dan temperatur akan bervariasi disetiap tempat
di kedalaman bumi. Tekanan didefinisikan sebagai gaya yang
bekerja kesegala arah secara seimbang dan tekanan jenis ini
disebut sebagai “hydrostatic stress” atau “uniform stress”. Jika
tekanan kesegala arah tidak seimbang maka disebut sebagai
“differential stress”.

Gambar : Tekanan Hydrostatic (kiri) dan Tekanan Diferensial


(kanan) dalam buku (Noor, Pengantar Geologi, 2012).
b. Jika tekanan diferensial hadir selama proses metamorfosa, maka
tekanan ini dapat berdampak pada tektur batuan. Butiran butiran
yang berbentuk membundar (rounded) akan berubah menjadi
lonjong dengan arah orientasinya tegak lurus dengan tekanan
maksimum dari tekanan diferensial.

Gambar : Perubahan bentuk butir dari bentuk membundar ke


bentuk lonjong sebagai akibat tekanan diferensial dalam buku
(Noor, Pengantar Geologi, 2012).

5
c. Mineral-mineral yang berbentuk kristal atau mineral yang tumbuh
dalam kondisi tekanan diferensial dapat membentuk orientasi. Hal
ini terutama terjadi pada mineral-mineralnsilikat, seperti mineral
biotite, muscovite, chlorite, talc, dan serpentine.

Gambar : Orientasi lembaran mineral mineral silikat akibat


Tekanan Diferensial dalam buku (Noor, Pengantar Geologi,
2012).
Mineral-mineral silikat yang tumbuh dengan lembarannya
berorientasi tegak lurus terhadap arah maksimum tekanan
diferensial akan menyebabkan batuan mudah pecah sejajar
dengan arah oerientasi dari lembaran mineralnya. Struktur yang
demikian disebut sebagai foliasi.
3. Fasa Fluida
Fase cair Setiap rongga intergranular pada batuan dapat diisi
dengan larutan cair, dan biasanya larutan cair yang paling dominan
adalah H2O, namun mengandung bahan mineral. Fase cair
merupakan fase yang penting karena reaksi kimia perubahan mineral
padat menjadi mineral padat lainnya hanya dapat dipercepat. cairan
yang bertindak sebagai pembawa ion-ion terlarut. Ketika tekanan
meningkat selama proses deformasi, ruang antarbutir tempat cairan
mengalir berkurang, sehingga cairan tidak bertindak sebagai
pengontrol reaksi. Dengan demikian, tidak ada larutan cair ketika suhu
dan tekanan turun, sehingga metamorfosis regresi menjadi sulit.
4. Waktu
Reaksi kimia yang terlibat dalam metamorfosa, selama re-
kristalisasi, dan pertumbuhan mineral-mineral baru terjadi pada waktu

6
yang sangat lambat. Hasil uji laboratorium mendukung hal tersebut
dimana dibutuhkan waktu yang lama dalam proses metamorfosa untuk
membentuk butiran butiran mineral yang ukurannya cukup besar. Jadi,
batuan metamorf yang berbutir kasar akan memerlukan waktu yang
lama, diperkirakan membutuhkan waktu hingga jutaan tahun.
C. Tipe Metamorfosa
Menurut (Noor, Pengantar Geologi, 2009) tipe metamorfosa dapat
dibagi sebagai berikut:
1. Metamofisme Kataklastik
Metamorfosa yang diakibatkan oleh deformasi mekanis, seperti
yang terjadi pada dua blok batuan yang mengalami pergeseran satu dan
lainnya disepajang suatu zona sesar / patahan. Panas yang ditimbulkan
oleh gesekan yang terjadi disepanjang zona patahan inilah yang
mengakibatkan batuan tergerus dan termetamorfosokan disepanjang
zona ini. Metamorfosa kataklastik jarang dijumpai dan biasanya
menyebaran terbatas hanya disepanjang zona sesar.
2. Metamorfisme Burial
Metamorfosa yang terjadi apabila batuan sedimen yang berada
pada kedalaman tertentu dengan temperaturnya diatas 300° C serta
absennya tekanan diferensial. Pada kondisi tersebut maka mineral-
mineral baru akan berkembang, akan tetapi batuan tampak seperti tidak
mengalami metamorfosa. Mineral utama yang dihasilkan dalam
kondisi tersebut adalah mineral zeolite. Metamorfosa burial umumnya
saling overlap dengan diagenesa dan akan berubah menjadi
metamorfosa regional seiring dengan meningkatnya tekanan dan
temperatur
3. Metamorfisme Kontak
Metamorfosa yang terjadi didekat intrusi batuan beku dan
merupakan hasil dari kenaikan temperatur yang tinggi dan
berhubungan dengan intrusi batuan beku. Metamorfosa kontak hanya
terjadi disekeliling intrusi yang terpanaskan oleh magma dan bagian

7
kontak ini dikenal sebagai “aureole metamorphic”. Derajat
metamorfosa akan meningkat kesegala arah kearah luar dari tubuh
intrusi. Metamorfosa kontak biasanya dikenal sebagai metamorfosa
yang bertekanan rendah dan temperatur tinggi dan batuan yang
dihasilkan seringkali batuan berbutir halus tanpa foliasi dan dikenal
sebagai hornfels.
4. Metamorfisme Regional
Metamorfosa yang terjadi pada wilayah yang sangat luas dimana
tingkat deformasi yang tinggi dibawah tekanan diferensial.
Metamorfosa jenis ini biasanya akan menghasilkan batuan metamorf
dengan tingkat foliasi yang sangat kuat, seperti Slate, Schists, dan
Gneisses. Tekanan diferensial berasal dari gaya tektonik yang
berakibat batuan mengalami tekanan (kompresi), dan tekanan ini
umumnya berasal dari dua masa benua yang saling bertumbukan satu
dengan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa batuan
metamorfosa regional terjadi pada inti dari rangkaian pegunungan atau
pegunungan yang mengalami erosi. Hasil dari tekanan kompresi pada
batuan yang terlipat dan adanya penebalan kerak dapat mendorong
batuan kearah bagian bawah sehingga menjadi lebih dalam yang
memiliki tekanan dan temperatur lebih tinggi.
D. Derajat Metamorfosa
Menurut (Noor, Pengantar Geologi, 2012) Berdasarkan tekanan
dan temperatur yang berada diatas kondisi diagenesa, maka ada 3 tingkat
derajat metamorfosa yang dapat dikenal, yaitu derajat metomorfosa
rendah, sedang dan tinggi.
Adapun batas antara metamorfosa dan peleburan sangat
dipengaruhi oleh jenis batuan dan jumlah air yang terdapat dalam batuan.
Pada gambar 3-24 diperlihatkan hubungan antara Tekanan (P), Temperatur
(T), Kedalaman (D) dan Tipe/Jenis Metamorfosa.
Metamorfosa Burial dicirikan oleh tekanan, temperatur, yang
rendah dan kedalaman yang relatif dangkal. Tipe metamorfosa akan

8
meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan, temperatur, dan
kedalaman, yaitu dari Burial Metamorfosa berubah menjadi Metamorfosa
Regional Derajat Rendah dan kemudian dengan semakin meningkatnya
tekanan, temperatur dan kedalaman Metamorfosa Regional Derajat
Rendah dapat berubah menjadi Metamorfosa Regional Derajat Tinggi,
sedangkan pada kedalaman (D > 20 km), Tekanan (P > 7 kilobars), dan
Temperatur (T > 700° C) batuan akan mengalami peleburan (mencair)
menjadi magma.

Gambar : Hubungan antara Tekanan (P), Temperatur (T), Kedalaman (D)


dan Derajat Metamorfosa dalam buku (Noor, Pengantar Geologi, 2012).
Kecepatan dimana suatu batuan akan mengalami perubahan dari
sekumpulan mineral-mineralnya untuk mencapai keseimbangan pada
kondisi tekanan dan temperatur yang baru tergantung pada Kandungan
fluida (terutama air) yang ada dalam batuan, Temperatur, dan Waktu.
Perubahan dalam suatu kelompok mineral mencerminkan
peningkatan kualitas deformasi (misalnya terkuburnya sedimen akibat
tektonik atau penebalan kerak bumi) diketahui dengan "metamorfisme
prograde". Perubahan karena berkurangnya kedalaman Derajat
metamorfisme (seperti terjadinya pengangkatan dan erosi tektonik)
disebut "mundur". Perubahan sekelompok batuan metamorf komponen
kimianya mencapai konfigurasi energi terendah dalam kondisi tersebut

9
tekanan dan suhu yang ada. Jenis mineral yang terbentuk tidak hanya
bergantung pada T dan P, serta komposisi mineral pada batuan tersebut.
Jika bingkai batu mengalami peningkatan tekanan dan/atau suhu pada saat
batuan berada dalam kondisi "metamorfisme tingkat lanjut", yaitu batuan
yang derajat metamorfismenya meningkat. derajat Metamorfosis adalah
istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan situasi stres dan
suhu di mana batuan metamorf terbentuk.

Gambar : Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan Tekanan,


Temperatur dan Kedalaman dalam buku (Noor, Pengantar Geologi, 2012).
Metamorfosa derajat rendah terjadi pada temperatur antara 200° –
320° C dan tekanan yang relatif rendah. Batuan metamorf derajat rendah
dicirikan oleh berlimpahnya mineral-mineral hydrous, yaitu mineral-
mineral yang mengandung air (H2O) didalam struktur kristalnya).
Contoh dari mineral-mineral hydrous yang terdapat pada batuan-
batuan metamorf derajat rendah yaitu Mineral Lempung, Serpentine, dan
Chlorite.
Metamorfosa derajat tinggi terjadi pada temperatur lebih besar dari
320° C dan tekanan yang relatif tinggi. Seiring dengan meningkatnya
derajat metamorfosa, maka mineral-mineral hydrous akan semakin kurang
hydrous dikarenakan hilangnya unsur H2O dan mineral-mineral non-
hydrous menjadi bertambah banyak. Contoh mineral-mineral yang kurang
hydrous dan mineral-mineral non-hydrous yang mencirikan batuan
metamorfosa derajat tinggi adalah:

10
a. Muscovite, mineral hydrous yang akan menghilang pada metamorfosa
derajat tinggi
b. Biotite, mineral hydrous yang stabil pada meskipun pada metamorfosa
derajat tinggi sekalipun.
c. Pyroxene, mineral non-hydrous
d. Garnet, mineral non-hydrous
E. Fasies Metamorfisme
Kumpulan mineral pada batuan metamorf merupakan karakteristik
genetik yang sangat penting sehingga terdapat hubungan antara kumpulan
mineral dan kompisisi batuan pada tingkatmetamorfosa tertentu.

Gambar : Fasies Metamorfisme menurut Klasifikasi menurut (Barker,


1990).

11
Gambar : Fasies Metamorfisme dalam buku (Noor, Pengantar Geologi,
2012).
Konsep fasies matamorfik diperkenalkan oleh Eskola, 1925
(Bucher & Frey, 1994). Eskola mengemukakan bahwa kumpulan mineral
pada batuan metamorf merupakan karakteristik genetik yang sangat
penting sehingga terdapat hubungan antara kumpulan mineral dan
kompisisi batuan pada tingkat metamorfosa tertentu. Dengan kata lain
sebuah fasies metamorfik merupakan kelompok batuan yang
termetamorfosa pada kondisi yang sama yang dicirikan oleh kumpulan
mineral yang tetap. Tiap fasies metamorfik dibatasi oleh tekanan dan
temperatur tertentu serta dicirikan oleh hubungan teratur antara komposisi
kimia dan mineralogi dalam batuan.
Facies merupakan suatu pengelompokkan mineral-mineral
metamorfik berdasarkan tekanan dan temperatur dalam pembentukannya
pada batuan metamorf. Setiap facies pada batuan metamorf pada
umumnya dinamakan berdasarkan jenis batuan (kumpulan mineral),
kesamaan sifat-sifat fisik atau kimia. Metamorfisme dapat terjadi pada
tekanan rendah.
1. (Zeolite fasies (LP / LT)

12
The zeolit fasies adalah fasies metamorf dengan terendah grade
metamorf. Pada suhu dan tekanan rendah proses dalam batu disebut
diagenesis.
2. Prehnite-pumpellyite-fasies (LP / LT)
The prehnite-pumpellyite fasies adalah sedikit lebih tinggi tekanan dan
temperatur daripada fasies zeolit. Hal ini dinamai dari mineral
prehnite (a Ca – Al - phyllosilicate) dan pumpellyite (a sorosilicate)
3. Greenschist fasies (MP / MT)
Greenschist fasies menengah berada pada tekanan dan temperatur.
The fasies ini dinamai khas schistose tekstur dari batu dan warna hijau
mineral klorit, epidote dan actinolite.
4. Amphibolite-fasies (MP / MT-HT)
The amphibolite fasies adalah fasies tekanan menengah dan rata-rata
suhu tinggi. Hal ini dinamai amphiboles yang terbentuk dalam
keadaan seperti itu.
5. Granulite fasies (MP / HT)
The granulite fasies adalah nilai tertinggi di metamorphism tekanan
menengah. Kedalaman di mana hal ini terjadi tidak konstan.
Karakteristik mineral fasies ini dan pyroxene-hornblende fasies adalah
orthopyroxene.
6. Blueschist fasies (MP-HP/LT)
The blueschist fasies berada pada suhu relatif rendah, tetapi tekanan
tinggi, seperti terjadi pada batuan di zona subduksi. The fasies ini
dinamai menurut karakter schistose bebatuan dan mineral biru
glaucophane dan lawsonite
7. Eclogite fasies (HP / HT)
The eclogite fasies adalah fasies pada tekanan tinggi dan suhu tinggi.
Hal ini dinamai untuk metabasic batu eclogite
8. Albite-epidote-hornfels fasies (LP / LT-MT)

13
The albite-epidote-hornfels fasies adalah fasies pada tekanan
rendah dan suhu relatif rendah. Ini adalah nama untuk kedua mineral
albite dan epidote, meskipun mereka adalah lebih stabil dalam fasies.
9. Hornblende hornfels fasies (LP / MT)
Hornblende-hornfels fasies adalah fasies dengan tekanan rendah
yang sama tapi sedikit lebih tinggi suhu sebagai albite-epidote fasies.
10. Pyroxen hornfels fasies (LP / MT-HT)
Pyroxene-hornfels fasies adalah fasies metamorf kontak dengan
suhu tertinggi dan adalah, seperti granulite fasies, dicirikan oleh
mineral orthopyroxene.
11. Sanidinite fasies (LP / HT)
The sanidinite fasies adalah fasies langka yang sangat tinggi suhu
dan tekanan rendah. Itu hanya bisa dicapai di bawah metamorf kontak
tertentukeadaan. Karena suhu tinggi pengalaman batu mencair parsial
dan kaca terbentuk.

F. Deskripsi Batuan Metamorf


Menurut (Irsyad Nuruzzaman Sidiq, 2019) pemeria batuan metamorf
didasarkan sebagai berikut:
1. Warna
Terdiri dari warna segar dan lapuk.
2. Komposisi Mineral
Mineral-mineral yang terdapat pada batuan metamorf dapat
berupa mineral yang berasal dari batuan asalnya maupun dari mineral
baru yang terbentuk akibat proses metamorfisme sehingga dapat
digolongkan menjadi 3 yaitu:
a. Mineral yang umumnya terdapat pada batuan beku dan metamorf
seperti kuarsa, feldspar, muskovit, biotit, hornblende, piroksen,
olivine, dan bijih besi.

14
b. Mineral yang umumnya terdapat pada batuan sedimen dan batuan
metamorf seperti kuarsa, muskovit, mineral-mineral lempung,
kalsit dan dolomite.
c. Mineral Indeks batuan metamorf seperti garnet, andalusit, kianit,
silimanit, stautolit, kordiorit, epidot dan klorit.
3. Tekstur
a. Berdasarkan Ketahanan
1) Palimset/ Relict/Sisa, merupakan tekstur batuan metamorf
yang masih menunjukkan sisa tekstur batuan asalnya atau
tekstur batuan asalnya masih tampak pada batuan metamorf
tersebut.
2) Kristaloblastik, merupakan tekstur batuan metamorf yang
terbentuk oleh sebab proses metamorfosa itu sendiri. Batuan
dengan tekstur ini sudah 14 mengalami rekristalisasi sehingga
tekstur asalnya tidak tampak.
b. Berdasarkan Ukuran Butir
1) Fanerit, bila butiran kristal masih dapat dilihat dengan mata
2) Afanit, bila butiran kristal tidak dapat dibedakan dengan mata

4. Bentuk kristal
a. Euhedral, bila kristal dibatasi oleh bidang permukaan kristal itu
sendiri
b. Subhedral, bila kristal dibatasi sebagian oleh bidang
permukaannya sendiri dan sebagian oleh bidang permukaan
kristal disekitarnya.
c. Anhedral, bila kristal dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan
kristal lain disekitarnya.
Berdasarkan bentuk kristal tersebut maka tekstur batuan metamorf
dapat dibedakan menjadi:
1) Idioblastik, apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk
euhedral.

15
2) Xenoblastik/Hypidioblastik, apabila mineralnya dibatasi oleh
kristal berbentuk anhedral.
5. Bentuk Mineral
a. Lepidoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk tabular
b. Nematoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk prismatic.
c. Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular,
equidimensional, batas mineralnya bersifat sutured (tidak teratur)
dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
d. Granuloblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular,
equidimensional, batas mineralnya bersifat unsutured (lebih
teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
6. Struktur
Tekanan yang mengenai batuan yang mengalami metamorfisme,
dimana terbentuk mineral baru sering mengakibatkan penjajaran
kenampakan tekstur dan struktur. Jika hal itu planar maka disebut
foliasi. Berdasarkan kenampakkan bidang planar yang dibentuk
selama metamorfisme, struktur batuan metamorfisme dibagi menjadi
dua yakni struktur foliasi dan struktur non foliasi. Hal tersebut tidak
dipermasalahkan, apakah keseluruhan batuan mengalami
rekristalisasi (kristaloblastik) ataukah tidak secara keseluruhan
mengalami rekristalisasi (pelimsest).
a. Struktur Foliasi
Adanya penjajaran mineral-mineral yang planar pada
penyusun batuan metamorf. Seringkali terjadi pada metamorfisme
regional dan kataklastik.
1) Slatycleavage, berasal dari batuan sedimen (lempung) yang
berubah ke metamorfik, snagat halus dan keras, belahannya
rapat, mulai terdapat daun-daun mika halus, memberikan
warna kilap, klorit dan kuarsa mulai hadir.
2) Filitik (Phylitic), rekristalisasi lebih kasar daripada
slatycleavage, lebih mengkilap daripada batusabak, mineral

16
mika lebih banyak dibanding slatycleavage. Mulai terdapat
mineral lain yaitu tourmaline.
3) Skistosa (Schistosity), batuan yang sangat umum dihasilkan
dari metamorfisme regional, sngata jelas keping-kepingan
mineral-mineral plat seperti mika, talk, klorit, hematit, dan
mineral lain yang berserabut. Terjadi perulangan anatara
mineral pipih dengan mineral granular dimana mineral pipih
lebih banyak daripada mineral granular. Orientasi penjajaran
mineral pipih menerus.
4) Gneistosa, mineral granular lebih banyak dari mineral pipih,
tetapiorientasi mineral pipihnya tidakmenerus / terputus.
b. Struktur Non-Foliasi
1) Hornfelsic/Granulose, Terbentuk oleh mozaic mineral-
mineral equidimensional dan equigranular dan umumnya
berbentuk polygonal. Batuannya disebut hornfels
(batutanduk).
2) Katalistik, Berbentuk oleh pecahan/fragmen batuan atau
mineral berukuran kasar dan umumnya membentuk
kenampakan breksiasi. Struktur kataklastik ini terjadi akibat
metamorfosa kataklastik. Batuannya disebut cataclasite
(kataklasit).
3) Milonitic, Dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada
metamorfosa kataklastik. Ciri struktur ini adalah mineralnya
berbutir halus, menunjukkan kenampakan goresan-goresan
searah dan belum terjadi rekristalisasi mineral-mineral
primer. Batiannya disebut mylonite (milonit).
4) Phylonitic, Mempunyai kenampakan yang sama dengan
struktur milonitik tetapi umumnya telah terjadi rekristalisasi.
Cirri lainnya adlah kenampakan kilap sutera pada batuan
yang, mempunyai struktur ini. Batuannya disebut phyllonite
(filonit).

17
7. Penamaan Batuan Metamorf
Kebanyakan nama batuan metamorf didasarkan pada
kenampakan struktur dan teksturnya. Untuk memperjelas banyak
dipergunakan kata tambahan yang menunjukkan ciri khusus batuan
metamorf tersebut, misalnya keberadaan mineral pencirinya
(contohnya sekis klorit) atau nama batuan beku yang mempunyai
komposisi yang sama (contohnya granite gneiss). Beberapa nama
batuan juga berdasarkan jenis mineral penyusun utamanya (contohnya
kuarsit) atau dapat pula dinamakan berdasarkan fasies metamorfiknya
(misalnya granulit). Selain batuan yang penamaannya berdasarkan
struktur, batuan metamorf lainnya yang banyak dikenal antara lain:
1. Amphibolit yaitu batuan metamorf dengan besar butir sedang
sampai kasar dan mineral utama penyusunnya adalah amfibol
(umumnya hornblende) dan plagioklas. Batuan ini dapat
menunjukkan schystosity bila mineral prismatiknya terorientasi.
2. Eclogit yaitu batuan metamorf dengan besar butir sedang sampai
kasar dan mineral penyusun utamanya adalah piroksen ompasit
(diopsid kaya sodium dan aluminium) dan garnet kaya pyrope.
3. Granulit, yaitu tekstur batuan metamorf dengan tekstur granoblastik
yang tersusun oleh mineral utama kuarsa dan felspar serta sedikit
piroksen dan garnet. Kuarsa dan garnet yang pipih kadang dapat
menunjukkan struktur gneissic.
4. Serpentinit, yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineralnya
hampir semuanya berupa mineral kelompok serpentin. Kadang
dijumpai mineral tambahan seperti klorit, talk dan karbonat yang
umumnya berwarna hijau.
5. Marmer, yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineral
karbonat (kalsit atau dolomit) dan umumnya bertekstur
granoblastik.

18
6. Skarn, Yaitu marmer yang tidak murni karena mengandung mineral
calc-silikat seperti garnet, epidot. Umumnya terjadi karena
perubahan komposisi batuan disekitar kontak dengan batuan beku.
7. Kuarsit, Yaitu batuan metamorf yang mengandung lebih dari 80%
kuarsa.
8. Soapstone, Yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineral
utama talk.
9. Rodingit, Yaitu batuan metamorf dengan komposisi calc-silikat
yang terjadi akibat alterasi metasomatik batuan beku basa didekat
batuan beku ultrabasa yang mengalami serpentinitasi.

BAB III
PEMBAHASAN
A. MT-05

19
Sekis adalah salah satu dari jenis batuan metamorf. Batuan ini
terbentuk pada saat batuan sedimen atau batuan beku yang terpendam pada
tempat yang dalam mengalami tekanan dan temperatur yang tinggi. Batuan
metamorphic yang berbutir sedang-kasar dengan memperlihatkan
penjajaran mineral yang lebih besar, seperti mika, yang dibariskan pada
satu arah, memperlihatkan struktur foliasi yang tidak teratur. Terbentuk
pada temperature (> 400C) dan tekanan yang cukup tinggi yang diperlukan
selama pembentukannya. suatu batuan metamorphic yang telah mengalami
proses metamorfisme sangat jauh sehingga bentuknya sudah jauh berbeda
dibanding dengan Slate atau phyllite. menjadi lebih raksasa(masive) dan
secara keseluruhan lebih micaceous dibanding phyllite.

B. MT- 08

20
Serpentinit adalah batuan yang terdiri dari satu atau lebih mineral
kelompok serpentine. Mineral dalam kelompok ini dibentuk oleh
serpentinisasi, hidrasi dan transformasi metamorfik dari batuan ultrabasa
yang berasal dari mantel bumi. Alterasi mineral sangat penting di dasar
laut pada batas lempeng tektonik. Serpentinisasi adalah proses metamorfik
geologi suhu rendah yang melibatkan panas dan air di mana batuan
ultramafik dan mafik dengan kandungan silika yang rendah teroksidasi
(oksidasi anaerobik dari Fe2 + oleh proton-proton air yang mengarah ke
pembentukan H2) dan dihidrolisis dengan air menjadi serpentinit.
Peridotit, termasuk dunit, yang berada di dan dekat dasar laut dan di sabuk
pegunungan diubah menjadi serpentin, brusit, magnetit, dan mineral
lainnya - beberapa mineral langka seperti awaruit (Ni3Fe), dan bahkan
besi murni. Dalam proses tersebut sejumlah besar air diserap ke dalam
batuan sehingga meningkatkan volume dan menghancurkan struktur.
C. MT-03

21
Gneiss biasanya terbentuk oleh metamorfisme regional di batas
lempeng konvergen. Batuan ini merupakan salah satu jenis batuan
metamorf berkualitas tinggi dimana butiran mineral penyusunnya
direkristalisasi oleh suhu dan tekanan yang tinggi. Rekristalisasi ini
meningkatkan ukuran butiran mineral yang dipisahkan menjadi “bands”
sebagai indikasi transformasi yang menghasilkan batuan dan mineral yang
lebih stabil dalam lingkungan pembentukannya. Gneis dapat terbentuk
dalam beberapa cara. Terbentuknya gneis yang paling umum dimulai
dengan batu serpih, yang merupakan batuan sedimen. Metamorfosis
regional dapat mengubah serpih (shale) menjadi batuan sabak, lalu filit
(phyllite), kemudian sekis, dan akhirnya menjadi genes. Selama
transformasi ini, partikel lempung di serpih berubah menjadi mika dan
tumbuh bertambah besar (growthing). Akhirnya, lembaran mika mulai
mengkristal menjadi mineral bertekstur granular. Munculnya mineral
bertekstur granular sebagai tanda proses transisi ke gneiss.

D. MT-15

22
Batuan marmer adalah salah satu jenis batuan metamorf atau
malihan, di mana proses terbentuknya batu marmer ini karena diakibatkan
oleh proses metamorfosis batu kapur atau batu gamping. Batu marmer
merupakan jenis batuan yang memiliki nilai ekonomi paling tinggi di
antara kelompok batuan lainnya. Pada umumnya, bentuk batuan marmer
ialah mengilap dan memiliki motif garis berwarna. Jenis batuan ini juga
memiliki tingkat kepadatan kristal yang sangat tinggi.
Marmer adalah batu pualam yang bertekstur granoblastik, dan
tersusun dari mineral kalsit serta dolomit sebagai hasil metamorfosis
kontak atau regional. Pada umumnya, bentuk batuan marmer ialah
mengilap dan memiliki motif garis berwarna. Jenis batuan ini juga
memiliki tingkat kepadatan kristal yang sangat tinggi. Dilansir dari situs
Encyclopedia Britannica, marmer (marble) adalah batu kapur granular
atau batuan yang terdiri dari kalsium serta magnesium karbonat. Jenis
batuan ini direkristalisasi di bawah pengaruh panas, tekanan, juga larutan
air.

23
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk akibat proses
perubahan tekanan (P), temperatur (T) atau keduanya di mana batuan
memasuki kesetimbangan baru tanpa adanya perubahan komposisi
kimia (isokimia) dan tanpa melalui fasa cair (dalam keadaan padat),
dengan temperatur berkisar antara 200-800°C. Proses metamorfosa
membentuk batuan yang sama sekali berbeda dengan batuan asalnya,
baik tekstur dan struktur maupun asosiasi mineral. Perubahan tekanan
(P), temperatur (T) atau keduanya akan mengubah mineral dan
hubungan antar butiran/kristalnya bila batas kestabilannya terlampaui.
Selain faktor tekanan dan temperatur, pembentukan batuan metamorf
juga tergantung pada jenis batuan asalnya.
2. Proses metamorfose dapat berlangsung sangat lama hingga jutaan
tahun. Semakin lama prosesnya, maka semakin sempurna tingkat
metamorfosenya. Selain faktor waktu, faktor suhu dan tekanan sangat
menentukan sempurnanya metamorfose
3. Tipe-tipe dari metamorfosa batuan metamorf terdiri dari metamorfosis
kataklastik, matamorfisme burial, metamorfisme kontak dan
metamorfisme regional.
4. Batuan metamorf derajat rendah dicirikan oleh berlimpahnya mineral-
mineral hydrous, yaitu mineral-mineral yang mengandung air (H2O)
didalam struktur kristalnya). Metamorfosa derajat tinggi terjadi pada
temperatur lebih besar dari 320° C dan tekanan yang relatif tinggi.
Seiring dengan meningkatnya derajat metamorfosa, maka mineral-
mineral hydrous akan semakin kurang hydrous dikarenakan hilangnya
unsur H2O dan mineral-mineral non-hydrous menjadi bertambah
banyak
5. fasies metamorfik merupakan kelompok batuan yang termetamorfosa
pada kondisi yang sama yang dicirikan oleh kumpulan mineral yang

24
tetap. Tiap fasies metamorfik dibatasi oleh tekanan dan temperatur
tertentu serta dicirikan oleh hubungan teratur antara komposisi kimia
dan mineralogi dalam batuan
6. Penamaan batuan metamorf dalam laporan ini dilihat dari dari
Kenampakan struktur dan teksturnya, ciri khusus batuan metamorf,
jenis mineral penyusun utamanya, fasies metamorfiknya dan Batuan
metamorf lain
B. Saran
1. Pelajari modul terlebih dahulu sebelum melakukan pratikum
2. Hati-hati dan focus selama pratikum
3. Alat dijaga supaya tidak hilang dan rusak

25
DAFTAR PUSTAKA

Abu Amar Tantowi, B. H. (2018, November 1). Identifikasi Tekstur Untuk


Klasifikasi Batuan Beku Dengan Metode Discrete Wavelet
Transform (Dwt) Dan Support Vector Machine (Svm). TEKTRIKA-
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Telekomunikasi, Kendali,
Komputer, Elektrik, dan Elektronika, 3(2), 37-42.
Barker, A. J. (1990). Metamorphic extures and Microstructures. New York:
Chapman and Hall.
Danis Agoes Wiloso, K. (2018, Februari). ANALISIS PETROGRAFI
BATUGAMPING FORMASI SENTOLO SEBAGAI BATUAN
RESERVOIR HIDROKARBON DAERAH KARANGSARI
KECAMATAN PENGASIH, KABUPATEN KULONPROGO.
JURNAL TEKNOLOGI TECHNOSCIENTIA, Vol. 10 No. 2, 176-
185.
Ehlers, E. a. (1982). Petrology: Igneous, Sedimentary and Metamorphic. New
York: W. H. Freeman .
Fry, N. (1985). The field description of metamorphic rocks. New York: Geological
Society of London Handbook Series.
Harjanto, A. (2011, Januari). PETROLOGI DAN GEOKIMIA BATUAN
VOLKANIK DI DAERAH KULON PROGO DAN
SEKITARNYA, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.
JURNAL ILMIAH MAGISTER TEKNIK GEOLOGI, 4(7), 1-22.
Irsyad Nuruzzaman Sidiq, T. F. (2019). Modul Kuliah Lapangan Geologi.
Yogyakarta: UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA.
Islami, N. (2017). Fisika Bumi. Pekanbaru: Universitas Riau Press.
Kurt Bucher, R. G. (2011). Petrogenesis of Metamorphic Rocks (8 ed.). Springer
Berlin, Heidelberg.
Marin, T. W. (2020). Buku Ajar Mineralogi. Semarang: UNDIP PRESS.
Noor, D. (2009). Pengantar Geologi (Pertama ed.). Bogor: By Pakuan University
Press.
Noor, D. (2012). Pengantar Geologi (Kedua ed.). Bogor: Pakuan University
Press.
Prabandini, S. D. (2019). Identifikasi kondisi bawah permukaan untuk pondasi
jembatan di Kecamatan Kulawi Selatan Kabupaten Sigi

26
menggunakan metode geolistrik. Jakarta: Bachelor's thesis,
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah .
Sukandarrumidi, d. (2021). Belajar Petrologi Secara Mandiri. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Supandi, S. (2023). Pelapukan dan Material Properties Batuan Korelasi dan
Perubahannya. (E. R. Fadilah, Ed.) Yogyakarta: DEEPUBLICH
DIGITAL(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA).
Suroyo, H. (2019). MODUL 2 GEOLOGI DASAR. Bandung: Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Kontruksi.
Suroyo, H. (2019). Modul II Geologi Dasar Pelatihan Teknologi Geolistrik 2
Dimensi Perencanaan Pemanfaatan Potensi Air Tanah. Bandung:
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SUMBER DAYA AIR
DAN KONSTRUKSI.
Tiranda, S. (2022). Keterkaitan Kerapatan Mangrove dengan Tekstur Sedimen
DiKawasan Unit Tambak Pendidikan Universitas Hasanuddin,
Desa Bojo,Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru. Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Verrent Hervania Anwar, R. M. (2021, Agustus ). FASIES DAN LINGKUNGAN
PENGENDAPAN BATUGAMPING BAGIAN ATAS FORMASI
BATURAJA DI LAPANGAN “VE”, CEKUNGAN JAWA BARAT
UTARA. Padjadjaran Geoscience Journal, Vol. 5, No. 4, 405-415.
Wahyudi Wijayanto, S. M. (2022). GEOGRAFI : MENGENAL BATUAN. SCv
Media Edukasi Creative. Retrieved April 11, 2022
WAHYUDI WIJAYANTO, S. P. (2022). GEOGRAFI: MENGENAL BATUAN .
CV MEDIA EDUKASI CREATIVE.
Zuhdi, M. (2019). Buku Ajar Pengantar Geologi. Mataram: Duta Pustaka Ilmu –
Gedung Catur 1.2 FPMIPA IKIP Mataram,Jln. Pemuda No. 59A
Mataram – Lombok-NTB.

27
28

Anda mungkin juga menyukai