Anda di halaman 1dari 17

Makalah Wawasan Moderasi Beragama

Sejarah Walisongo dan Model Moderasi di Indonesia

Dosen: Fitria Kusuma Wardani, M.Pd.M

Oleh:
1. Nurul Izzah Aulia S (216121129)
2. Mutiara Hasnatuz Dzakiyah (216121133)
3. Aida Elrika (216121135)

Prodi Pendidikan Bahasa Inggris

Fakultas Adab dan Bahasa


Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

2021
Daftar Isi

Daftar Isi............................................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 3
B. Tujuan Makalah .................................................................................................... 4
C. Rumusan Masalah ................................................................................................. 4
BAB II ................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 6
A. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia........................................................................ 6
B. Sejarah Walisongo ................................................................................................. 7
C. Metode, dan Media Dakwah Walisongo ............................................................ 12
D. Model Moderasi Beragama................................................................................. 14
E. Model Moderasi Beragama Walisongo di Nusantara ...................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ke-14 dan 15, Nusantara merupakan wilayah yang dipenuhi oleh
beragam kerajaan dan kebudayaan. Kerajaan-kerajaan seperti Majapahit, Demak,
dan Malaka menjadi pusat kekuasaan dan perdagangan di wilayah ini. Pada saat
yang sama, Islam telah memasuki wilayah Nusantara melalui perdagangan dan
interaksi dengan pedagang dari Timur Tengah dan India.
Kedatangan agama Islam membawa perubahan signifikan dalam kehidupan
masyarakat Nusantara. Meskipun Islam telah ada di wilayah ini sejak abad ke-7,
penyebarannya secara massal dimulai pada abad ke-13 dengan kedatangan para
pedagang Arab dan Persia. Namun, transformasi yang paling signifikan terjadi pada
abad ke-14 dan 15 dengan kedatangan Walisongo.
Perkembangan Islam awal di jawa tidak lepas dari syi’ar dakwah Walisongo
dengan menggunakan pendekatan terhadap kebudayaan lama. Dalam berdakwah,
walisongo banyak melakukan strategi dan metode untuk menyebarkan agama Islam
dikalangan Masyarakat khususnya Masyarakat di pulau Jawa. Hingga saat ini
walisongo masih diakui sebagai tokoh ulama besar yang memberikan keteladanan
dalam berbagai hal. Nama para tokoh walisongo sampai saat ini masih sangat
dihormati dikalangan Masyarakat khususnya Masyarakat Jawa. Terbukti dengan
makam para walisongo yang masih ramai dikunjungi oleh para peziarah.
Walisongo, yang secara harfiah berarti sembilan wali, adalah sembilan tokoh
Islam yang dianggap sebagai penyebar agama Islam di Jawa dan sekitarnya. Mereka
merupakan ulama dan sufi yang menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan
yang inklusif dan adaptif terhadap budaya lokal. Para wali ini, seperti Sunan
Kalijaga, Sunan Giri, dan Sunan Bonang, tidak hanya mengajarkan agama Islam,
tetapi juga membangun hubungan baik dengan masyarakat setempat,
memperhatikan adat-istiadat mereka, dan menggunakan bahasa dan simbol-simbol
yang dikenali oleh mereka.
Konsep moderasi beragama menjadi ciri khas ajaran yang dibawa oleh
Walisongo. Mereka menekankan pentingnya toleransi antarumat beragama,
menghormati perbedaan budaya, dan mempromosikan perdamaian dalam
masyarakat yang beragam. Melalui pendekatan moderasi ini, Islam dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat Nusantara tanpa menghilangkan identitas dan
keberagaman budaya lokal.
Dalam konteks modern, nilai-nilai moderasi beragama yang diajarkan oleh
Walisongo tetap relevan dan penting. Di tengah tantangan ekstremisme agama dan
konflik antarumat beragama, pemahaman tentang moderasi beragama menjadi
kunci untuk membangun harmoni sosial dan keberagaman yang berkelanjutan di
Indonesia. Oleh karena itu, studi tentang Walisongo dan ajaran moderasi beragama
yang mereka bawa memiliki relevansi yang besar dalam memahami identitas dan
dinamika sosial Indonesia saat ini.

B. Tujuan Makalah
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang
mendalam tentang periode sejarah masuknya Islam di Indonesia, terutamanya di
Pulau Jawa. Selain itu, juga untuk menganalisis bagaimana moderasi beragama
muncul di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang heterogen pada saat itu hingga
ke saat ini, dimana tentu saja mengalami banyak sekali perubahan yang signifikan.

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarahnya Walisongo masuk ke Indonesia?
2. Siapa saja Tokoh Wali Di Indonesia?
3. Apa saja metode-metode dakwah yang digunakan Walisongo dalam
menyiarkan agama Islam?
4. Apa itu moderasi beragama?
5. Bagaimana caranya Walisongo menerapkan moderasi beragama pada
masyarakat Indonesia di zaman itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Islam merupakan agama dengan jumlah penganut terbesar di Indonesia. Islam
datang ke Indonesia sejak abad ke-7 sampai abad ke-11 M. Terdapat beberapa teori
tentang jalur masuknya Islam di Indonesia. Teori-teori tersebut antara lain adalah:
• Teori Gujarat (India). Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, J.
Pijnapel, Willem Frederik Stutterheim, J.P. Moquette, serta Sucipto
Wirjosuprapto. Pada teori ini, Snouck Hurgronje mengemukakan bahwa Islam
lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Secara garis
besar teori ini menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan perantara
pedagang dari Gujarat, India. Teori ini diperkuat dengan ditemukannya nisan-
nisan dengan gaya yang sama dengan nisan yang berada di Bengal, India.
• Teori Arab. Teori ini disebut juga teori Mekkah dan didukung oleh J.C. Van
Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold, dan Buya Hamka. Menurut Buya
Hamka, Islam masuk ke Indonesia karena dibawa oleh pedagang Arab. Selain
berdagang, para pedagang Arab itu juga menyiarkan agama Islam dengan
berbagai cara. Salah satu cara yang dilakukan ialah dengan menikah dengan
warga local dan membentuk komunitas muslim. Teori ini didukung dengan
bukti yang diberikan oleh Buya Hamka berupa naskah kuno dari Cina yang
menyebutkan bahwa sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan
Pantai Barat Sumatera sejak 625 M. Di wilayah yang pernah di kuasai oleh
Kerajaan Sriwijaya itu juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh
Rukunuddin, wafat pada 672 M.
• Teori Persia (Iran). Teori Persia ini menyatakan bahwa ajaran Islam di
Indonesia dibawa oleh para pedagang Persia pada abad ke-13. Teori ini
didukung oleh Umar Amir Husen dan Husein Djajadiningrat. Menurut
Djajadiningrat teori ini diperkuat oleh tradisi dan kebudayaan Islam orang
Indonesia yang punya kesamaan dengan Persia. Salah satu contohnya adalah
seni kaligrafi yang terpahat di batu-batu nisan di Indonesia. Ada Sumatera Barat
yang serupa dengan ritual yang ada di Persia setiap 10 Muharram. Akan tetapi
ajaran Islam yang masuk dari Persia kemungkinan adalah ajaran Syiah.
• Teori Cina. Menurut teori ini, ajaran Islam berkembang di Cina pada masa
dinasti Tang (618-905 M), dibawa oleh seorang panglima muslim dari
kekhalifahan di Madinah semasa era khalifah Usman bin Affan, Saad bin Abi
Waqqash. Dalam buku Islam in China (2004), Jean A. Berlie menyebut relasi
pertama antara orang-orang Islam dari Arab dan Cina terjadi pada 713 M. Teori
Cina meyakini jika Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya
orang- orang Cina ke Asia Tenggara. Mereka masuk melalui Sumatera Selatan,
Palembang pada 879 atau abad ke-9 M. Bukti dari teori ini adalah banyaknya
para pendakwah Islam keturunan Cina yang mempunyai pengaruh penting di
Kesultanan Demak. Kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah yang
merupaksn putra dari Raja Majapahit dari istrinya yang merupakan seorang
perempuan Cina, Jin Bun.
• Teori Coromandel (Malabar). Selain keempat teori tersebut ada lagi teori
Coromandel atau teori Malabar. Menurut teori ini, Islam masuk dibawa oleh
para orang-orang Malabar atau orang-orang dari wilayah pesisir India Timur.
Pencetus dari teori Malabar ialah Thomas W. Arnold dan Morrison. Bukti dari
teori Coromandel yang dijelaskan oleh Arnold adalah kesamaan mazhab fiqih
yang dianut oleh penduduk Islam Malabar dan Indonesia. Keduanya sama-sama
menganut mazhab Syafi’i. Maka dari itu, Arnold meyakini para pedagang atau
saudagar yang datang dari India dan mengawali penyebaran Islam ke Nusantara
ialah orang Malabar (Coromandel), bukan Gujarat. Hal ini kemudian diperkuat
oleh hipotesis Morrison. Dia mengajukan bukti saat terjadinya islamisasi di
Pasai pada 1292 M, Gujarat masih di bawah kekuasaan Kerajaan Hindu. Oleh
karena itu, Morrison berpendapat kecil kemungkinan penyebaran agama Islam
di Pasai dirintis oleh pedagang dari Gujarat. Argumennya juga didasarkan pada
laporan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental.
Dari kelima teori yang telah dijabarkan tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Selain itu, ada banyak
faktor lain yang melatarbelakangi perkembangan Islam di Indonesia, antara lain
perkawinan dari warga local dengan para pedagang baik dari Gujarat, Arab, Persia,
ataupun Cina. Bukan hanya lewat pernikahan, Islam juga dikembangkan lewat
kesenian dan juga tradisi yang telah di akulturasi hingga sesuai dengan
masyarakatnya.

B. Sejarah Walisongo
Dalam perkembangannya, ulama yang membawa Islam ke Indonesia
membawa perubahan jangka panjang yang besar. Salah satunya adalah ajaran yang
dibawa oleh Walisongo. Mereka adalah tokoh penting dalam penyebaran Islam
terutama di Tanah Jawa. Walisongo berasal dari kata Wali dan Songo. Kata Wali
sendiri memiliki arti Kekasih Allah yang merupakan manusia pilihan Allah dengan
di berikan kelebihan berupa karomah. Sedangkan kata Songo memiliki beberapa
arti, Songo dalam Bahasa Jawa berarti sembilan namun dalam Bahasa Arab adalah
mulia. Walisongo sering juga di sebut sunan yang berasal dari kata “suhu nan” yang
artinya orang yang memiliki ilmu tinggi dan disebut juga guru besar.
Menurut R. Tanojo, Atlas Wali Songo dalam buku Walisana yang dikutip
Agus Sunyoto menegaskan bahwa istilah Wali Songo yang benar adalah Walisana.
Namun kata “Sana” bukan berasal dari bahasa Arab “Tsana” melainkan dari bahasa
Jawa Kuno “Sana” yang berarti tempat, daerah, wilayah. Dalam tafsir ini, berarti
Walisana yang berarti “penjaga suatu tempat, wilayah, atau penjaga suatu wilayah
tertentu”. Dalam kapasitasnya sebagai penguasa suatu wilayah tertentu, Walisanga
diberi gelar Sunan, Susuhan, dan Sinuhun, dan Kanjeng dari kata Kang Jumeneng
(pangeran), sebutan yang biasa digunakan untuk raja dan penguasa pemerintahan
Jawa.
Bukti bahwa agama Islam adalah ajaran yang dianut oleh banyak orang
yaitu dengan adanya pembangunan pembangunan tempat ibadah diberbagai daerah.
Para walisongo dipandang sebagai ahli agama dan memiliki agama yang baik juga
sebagai contoh teladan yang baik bagi Masyarakat.

Tokoh – Tokoh Walisongo

1. Sunan Gresik (Sayyid Ibrahim As-Samarqandhi/Maulana Malik


Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim dilahirkan di Samarkand, yamg saat ini
merupakan wilayah Uzbekistan, pada tahun 720H/1360M. Ayahnya
bernama Barakat Zainul Alam yang merupakan seorang Ulama besar dari
Maghribi. Maulana Malik Ibrahim juga disebut sebagai Sunan Gresik atau
Syekh Maghribi atau Makdum Ibrahim Al-Samarandi. Maulana Malik
Ibrahim menikahi Putri Condrowulandan memiliki tiga anak yakni Raden
Raja Pendito, Sayyid Rahmat, dan Sayyidah Zainab.
Sunan Gresik menyebarkan agama Islam di Desa Sembolo Kecamatan
Manyar, sekitar 9 km ke utara dari Kota Gresik. Beliau melakukan dakwah
dengan berbagai cara. Misalnya seperti berdakwah dengan melalui bidang
perdagangan dan Pendidikan. Pada mulanya, Sunan Gresik mulai berdagang
di daerah Pelabuhan hal ini dilakukan dengan tujuan supaya Masyarakat
tidak kaget terhadap ajaran Islam yang dibawanya.
2. Sunan Ampel (Sayyid Rahmat)
Sunan Ampel lahir pada tahun 1401M. Putra dari Sayyid Ibrahim As-
Samarqandhi dengan Putri Raja Champa, Putri Condrowulan. Sayyid
Rahmat menikah dengan Raden Ayu Condrowati dan tinggal di Desa Ampel
di Surabaya. Sayyid Rahmat memiliki lima anak dengan Raden Ayu
Condrowati yaitu Sayyidah Syarifah, Sayyidah Muthmainnah, Sayyidah
Hafshah, Sayyid Ibrahim, dan Sayyid Qasim. Sayyid Rahmat menikah
dengan Mas Karimah binti Ki Bang Kuning dan dari pernikahan ini
memiliki dua orang putri yaitu Murtiah dan Murtasimah.
Sunan Ampel menyiarkan Islam dengan berdakwah kepada orang-orang
dan mengajak penduduk Ampel untuk masuk Islam. Dengan ketekunannya
Masyarakat mulai memasuki Agama Islam, hal ini tidak lain kecuali dengan
nasehat (Pelajaran) yang baik, penuh hikmah, akhlak yang baik dengan
orang-orang, serta diskusi dengan baik dengan mereka sesuai dengan
perintah Allah SWT, sesuai firman-Nya:
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran
yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik” (An-
Nahl;125)
Sunan Ampel mulai mendirikan pesantren saat mulai merintis
dakwahnya, dengan mendirikan pesantren Ampel Denta, Beliau dikenal
sebagai Pembina atau pemimpin pondok pesantren dijawa timur kemudian
keturunan beliau lah yang menjadi penerus Pesantren Ampel Denta.
3. Sunan Giri (Raden Paku)
Sunan Giri merupakan anak dari pasangan Maulana Ishaq dengan Dewi
Sekardadu yang merupakan keturunan Raja Blambangan dan Isteri kedua
dari Maulana Ishaq. Beliau lahir pada tahun 1442M di daerah Blambangan
(Banyuwangi). Sunan Giri atau yang sering disebut Raden Paku adalah
sepupu dari Sunan Ampel yakni Sayyid Rahmat, Ayah mereka merupakan
Adik-Kakak. Raden Paku atau Sunan Giri dibuang oleh Raja Blambangan
dan di temukan oleh Nyai Gede Tundo Pinatih dan dibesarkan selama 15
tahun di didik dengan syariat agama Islam dan kemudian menyerahkannya
pada Sunan Ampel untuk belajar Ilmu Agama. Sunan Giri menikahi anak
dari Sunan Ampel yakni Murtiah dan menjadi seorang imam di Tandes dan
tinggal di daerah Giri. Sunan Giri dan Murtiah memiliki empat anak, yakni
Raden Prabu, Raden Masani, Raden Gua, dan Retnowati.
Pesantren Giri pada awalnya digunakan sebagai pusat pengembangan
masyarakat sebelum dijadikan sebagai sarana Pendidikan namun semakin
berjalannya waktu pesantren giri berkembang dengan begitu pesat terbukti
dengan santri yang berdangan untuk menimba ilmu didesa Sidomukti,
kabupaten Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri menyampaikan dakwahnya
secara lugas terutama mengenai akidah dan ibadah.
Sunan Giri menciptakan permainan anak seperti jamuran, dan jelungan.
Beliau juga menciptakan tembang permainan anak seperti padhang bulan,
dan cublak-cublak suweng. Sunan Giri wafat pada abad ke 16 di dusun
Kedhaton, Desa Giri Gajah, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik.
4. Sunan Drajat (Sayyid Qasim)
Sunan Drajat atau yang disebut Sayyid Qasim merupakan anak bungsu
dari Sunan Ampel dan Raden Ayu Condrowati, yang terkenal dengan
kecerdasannya. Beliau lahir pada tahun 1470M. Sayyid Qasim atau Sunan
Drajat merupakan imam bagi penduduk Lamongan dan Sedayu, beliau
tinggal di Desa Drajat, Lamongan. Ia memiliki tiga anak, yakni Pangeran
Rekyo, Pangeran Sendi, dan Sayyidah Wuryan. Ia menyendiri di sana untuk
focus beribadah, riyadah, dan membersihakan diri dari hawa nafsu hingga
menjadi Wali Allah. Ia terus berdakwah hingga memiliki banyak pengikut
dan terkenal sebagai Sunan Drajat. Pada tahun 1522M Sunan Drajat wafat
dan dimakamkan di Paciran Lamongan, Jawa Timur.
Sunan Drajat mendirikan pesantrennya didaerah kematan Paciran,
Lamongan, Jawa Timur. Tanah yang digunakan beliau dalam mendirikan
pesantren merupakan hadiah dari sultan demak atas peran dan jasa Sunan
Drajat dalam membrantas kemiskinan dan telah menyebarkan ajaran agama
Islam. Sunan drajat dikenal sebagai sosok yang dermawan, bijaksana dan
seorang yang pekerja keras demi menciptakan Masyarakat yang Makmur.
5. Sunan Bonang (Sayyid Ibrahim)
Sunan Bonang atau lebih dikenal dengan Sayyid Makdum Ibrahim lahir
pada tahun 1456M. Putra dari Sayyid Rahmat atau Sunan Ampel dengan
Istri pertamanya Raden Ayu Condrowati. Menikah dengan Dewi Irah binti
Jaka Kandar dan memiliki anak Perempuan Bernama Rahel. Sayyid Ibrahim
menjadi Imam bagi penduduk Lasem dan Tuban, dan tinggal di desa
Bonang, Lasem. Sunan Bonang lebih memilih menyepi untuk beribadah di
atas bukit didekat Pantai dan bersungguh-sungguh dalam melakukan
riyadah. Beliau lebih focus untuk mengerjakan fardhu dan sunnah semata-
mata untuk taat kepada Allah SWT dan menjauhi godaan setan dengan cara
mengasingkan diri.
Disebutkan bahwa Sunan Bonang mendirikan pesantren disebuah desa
dekat dengan kecamatan lasem, Jawa Tengah. Hal itu dijelaskan dalam buku
Cakrawala Budaya Islam yang diyulis Abdul Haji Wiji Muthari. Namun ada
sumber yang menyebutnya bahwa Sunan Bonang hanya membangun tempat
yang digunakan Sunan Bonang untuk bertafakur. Sunan Bonang wafat pada
tahun 1525M.
6. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga lahir sekitar tahun 1400an dari keluarga bangsawan
Tuban, yakni dari seorang bupati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta
dan istrinya yang bernama Dewi Nawangrum. Kala itu, nama kecil Beliau
adalah Raden Sahid. Menurut sejarah, Sunan Kalijaga memiliki tiga orang
istri, yakni Dewi Sarah, Siti Zaenab, dan Siti Hafsah. Dari pernikahannya
dengan Dewi Sarah, Beliau memiliki 3 anak yakni Raden Umar Said (Sunan
Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah. Sementara itu, dari
pernikahannya dengan Siti Zaenab (anak dari Sunan Gunungjati), Beliau
dikaruniai 5 anak yakni Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panegak, Sunan Hadi,
Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang. Lalu dari pernikahannya
dengan Siti Khafsah belum diketahui secara jelas siapa nama putranya.
Perlu diketahui bahwa Siti Khafsah ini adalah putri dari Sunan Ampel.
Strategi utama dalam proses menyebarkan dakwah agama Islam yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah berupa menggunakan pertunjukan
wayang. Kala itu, pertunjukan wayang sangat digemari oleh masyarakat
yang masih menganut kepercayaan agama lama. Mengingat ajaran Islam
yang hendak disampaikan kepada masyarakat memang harus diberikan
sedikit demi sedikit sehingga mereka akan mudah dalam mengamalkan
ajaran agama Islam. Strategi dakwahnya diawali dengan mengajari
masyarakat membaca kalimat syahadat terlebih dahulu dengan hati ikhlas
supaya mereka dapat masuk Islam secara agama. Kemudian selama
berdakwah, Sunan Kalijaga mengenalkan agama Islam kepada masyarakat
melalui pertunjukan wayang
7. Sunan Muria (Raden Said)
Sunan Muria adalah salah satu tokoh wali songo. Dia dikenal sebagai
tokoh yang menyebarkan agama Islam di daerah Gunung Muria, pantai
utara Jepara. Sunan Muria menyebarkan Islam sampai ke daerah Tayu, Pati,
Juana, Kudus, dan di lereng Gunung Muria. Sunan Muria adalah putra dari
Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Ia memiliki nama asli Raden Umar
Said. Kemudian ia menikah dengan Dewi Roroyono, putri dari seorang
ulama Bernama Sunan Ngerang atau Ki Ageng Ngerang yang sangat
disegani oleh masyarakat.
Dalam menyebarkan agama, Raden Umar Said biasanya mendekati
kaum dagang, nelayan, dan pelaut. ketika berdakwah, ia mempertahankan
gamelan sebagai kesenian Jawa yang sangat digemari rakyatnya. Ia
menggunakan kesenian ini sebagai sarana untuk memasukkan nilai-nilai
keislaman kepada rakyat, sehingga secara tidak langsung, rakyat kemudian
dibawa untuk mengingat Tuhan lebih dekat. Ia juga banyak menggunakan
cara yang halus dan tidak menghilangkan tradisi lama dalam budaya yang
sudah melekat dengan kehidupan, sehingga masyarakat juga tidak terkejut
dengan ajaran yang dibawanya itu. Salah satu contohnya adalah ketika
Raden Umar Said mengubah syair dari tembang-tembang Jawa dengan
menyisipkan berbagai nilai keislaman. Sehingga masyarakat juga bisa
mengenal Islam dengan sesuatu yang tidak terkesan memaksa.
8. Sunan Kudus (Sayyid Jaffar Shodiq)
Sunan Kudus yang sering dikenal dengan nama Ja’far Shodiq,
merupakan putra dari Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung dari Jipang.
Lahir pada tahun 1400M. Sunan Kudus sebagai walisongo periode ketiga
yang ditugaskan untuk menyiarkan agama Islam ke daerah Kudus
bersamaan pada masa berdirinya Kerajaan Islam di Kota Demak. Sunan
Kudus dijuluki wali yang mumpuni di bidang Ilmu Tauhid (keagamaan),
ahli dalam pemerintahan, ahli dibidang kesusastraan (budaya dan sastra)
dan pandai juga berdagang.
Sunan Kudus memiliki strategi yang telah diselaraskan senan situasi dan
kondisi Kudus zaman itu, bagaimana mengnalkan ajaran Islam, agar mau
mempelajarinya, memahami nilai-nilai Islam, sampai titik memeluk Islam.
Kebijaksanaan menjadi contoh dalam usaha Sunan Kudus dalam
menciptakan strategi pengenalan dakwah Islam di Kudus secara halus dan
sopan. Hal ini dibuktikan dengan Sunan Kudus yang menghormati bagian
dari struktur keagamaan Masyarakat Hindu-Budha yang saat itu mayoritas
mengisi ruang gerak kehidupan Masyarakat kota kudus, bahwa setiap orang
mengerti sapi adalah Binatang yang sangat disegani oleh kalangan pemeluk
agama Hindu-Budha.
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Syarif Hidayatullah lahir pada tahun 1448 M dari pasangan Ulama
Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul Alam Nasab dari pihak ayah berurutan
dari Abdullah bin Ali Nurul Alam bin Jamaludin Al-Husein hingga sampai
Rasulullah SAW di Kairo, Mesir. Silsilah nasab itu berdasarkan kitab
Negara Kertabhumi. Sementara ibunya bernama Nyai Rara Santang (1448
M) adalah putri dari Raja Pajajaran, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.
Sunan Gunung Jati merupakan pendiri dinasti Kesultanan Banten.
Sunan Gunung Jati juga pernah melakukan penyerangan terhadap Sunda
Kelapa pada tahun 1527 dibawah kepemimpinan Pangeran Fatahillah
panglima dari Kesultanan Demak.
Penghormatan terhadap budaya lokal dipraktikkan dengan membuat
menara masjid yang menggabungkan seni arsitektur Islam dengan arsitektur
budaya Jawa. Tak hanya dari segi arsitektur, metode dakwah Sunan Gunung
Jati juga merambah pada pemanfaatan kesenian tradisional seperti wayang
dan gamelan sebagai salah satu sarana menyentuh hati masyarakat sehingga
mereka mau menerima ajaran Islam. Sunan Gunung Jati juga menciptakan
tembang-tembang yang berisi nasihat agama yang bersumber dari kitab suci
dan hadits nabi. Ada juga nasihat yang berisi etika kehidupan untuk menuju
keselamatan dunia dan akhirat serta ridha Allah SWT.
.

C. Metode, dan Media Dakwah Walisongo


Dalam menytebarkan ajarannya Walisongo menggunakan beberapa metode
dan media yang tersebar dimasyarakat. Berikut adalah metode dan media yang
digunakan walisongo:
• Metode Dakwah
1. Dakwah Bil Hikmah (Kebijaksanaan)
Dakwah bil hikmah adalah metode dakwah yang memanfaatkan
kemampuan pendakwah dalam mengkategorikan dan memilih
kisah-kisah bijak serta pedoman yang sesuai dengan tujuan jamaah.
Dakwah Bil Hikmah terkenal sebagai metode dakwah Sunan Kudus
yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Sunan Kudus sangat
berhati-hati dalam dakwahnya. Seperti saat hendak
memperkenalkan wudhu kepada masyarakat Hindu dan Budha yaitu
dengan mengajak warga masuk ke dalam rumahnya, Sunan Kudus
menginstruksikan mereka untuk mencuci tangan dan kaki terlebih
dahulu sebelum masuk ke dalam rumah. Itu bukan sekedar instruksi,
itu adalah perkenalan. Tujuan spesifiknya adalah untuk
memperkenalkan wudhu kepada komunitas Budha dan Hindu.
2. Mau’idzotil Hasanah ( Nasihat yang baik)
Menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang baik dan nasehat
yang baik, maka perkataan dan cerita yang disampaikan akan
merasuk jauh ke dalam hati Madhu, sehingga membuatnya bisa
terbuka dan melakukan apa yang disampaikan kepadanya dari Dai.
Dengan cara ini, Dakwa bertujuan untuk menjinakkan dan
meluluhkan hati Madhu melalui nasehat.
3. Al Mujadallah Billati Hiya Ahsan (Bertukar pikiran dengan baik)
Metode dakwah ini didasarkan pada dalil-dalil yang kuat. Cara ini
melibatkan pertukaran gagasan dan mengharuskan setiap orang
untuk berargumentasi berdasarkan bukti nyata dan kekuatan
kebenaran.
Sebagaimana yang diajarkan Sunan Ampel kepada Alia Damar
Adipati, lawan bicara harus ikhlas menghormati dan menerima
kebenaran orang lain.
Walisongo juga memanfaatkan berbagai media saat berdakwah,
antara lain:
• Media Dakwah
1. Bidang Kesenian
Walisongo cenderung menggunakan seni sebagai media dakwah
karena dianggap lebih efektif, tidak dipaksakan dan lebih ramah
dengan memberikan unsur-unsur keislaman. Hal itu dikarenakan
sangat sesuai dengan kebudayaan jawa. Tokoh walisongo yang
menggunakan media kesenian diantaranya adalah Sunan Kalijaga
yang menggunakan wayang kulit sebagai media dakwahnya.
Dengan demikian, Sunan Kalijaga memberikan kesan memberikan
hiburan kepada penontonnya tanpa penonton mengetahui alur cerita
wayang kulit Sunan Kalijaga, dan karya tersebut mengandung unsur
dakwah.
Tak hanya Sunan Kalijaga, Sunan Muria putra Sunan Kalijaga juga
menggunakan gamelan sebagai media dakwah dan memasukkan
unsur kerukunan Islam.
Sunan Maulana Makhdum Ibrohim atau dikenal dengan Sunan
Bonang juga menggunakan wayang, tembang, dan sastra sufi.
Apalagi Sunan Bonang banyak melakukan perubahan sastra berupa
tembang Suruk dan tembang Tamsir. Sunan Bonang juga
mentransformasikan lagu Tombo Ati (dari bahasa Jawa yang artinya
penyembuh atau obat jantung yang masih sering terdengar hingga
saat ini.
2. Mendirikan Tempat Ibadah
Bukti peran Warisongo di wilayah nusantara khususnya wilayah
Jawa adalah dengan dibangunnya tempat ibadah seperti masjid dan
musala. Orang Jawa dulu menyebutnya Langar. Masjid ini
digunakan sesuai fungsinya yaitu sebagai tempat ibadah dan masih
dipertahankan keberadaannya hingga saat ini. Bahkan, saat ini Anda
sering melihat masjid dan musala didirikan di setiap sudut jalan
sebagai tempat ibadah.
3. Menciptakan Sarana Pendidikan
Pada masa Walisongo, banyak wali yang mendirikan pesantren
sebagai sarana pendidikan untuk mengamalkan ilmunya dan
memberikannya kepada masyarakat. Selain itu, dalam dakwah dan
penyebaran Islam, pesantren juga berfungsi sebagai media dakwah.
Pondok pesantren ini pertama kali didirikan oleh Sunan Maulana
Malik Ibrahim, seorang Walisongo bernama Sunan Gresik. Sunan
yang mendirikan pesantren antara lain:
➢ Pesantrem Ampel Denta (Sunan Ampel)
➢ Pesantren Sunan Drajat
➢ Pesantren Giri (Sunan Giri)
➢ Pesantren Sunan Gunung Jati
➢ Pesantren Sunan Bonang

D. Model Moderasi Beragama


Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, dengan kelompok
Islam moderat menjadi fokus utama. Moderasi adalah ajaran utama Islam. Islam
moderat merupakan paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks
keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat istiadat, suku, dan bangsa itu
sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami moderasi beragama harus dipahami
dalam konteks, bukan teks. Artinya moderasi beragama di Indonesia bukan berarti
Indonesia moderasi, namun cara memahami agama juga harus moderasi, karena
Indonesia mempunyai banyak budaya, adat istiadat, dan adat istiadat. Islam moderat
mampu menyelesaikan berbagai persoalan agama dan peradaban dunia. Yang tidak
kalah pentingnya, umat Islam moderat dapat melawan kelompok ekstremis.
Ekstremis dan Puritan yang melakukan segala sesuatu dengan kekerasan, tindakan
kekerasan dan damai. Setidaknya, umat Islam menghadapi dua tantangan pada
zaman ini. Pertama, sebagian umat Islam memiliki pemahaman yang ekstrem dan
kaku terhadap teks-teks agama dan cenderung menerapkan metode ini pada sesama
muslim dan terkadang dengan kekerasan. Kedua, tren lainnya juga ekstrem. Yaitu,
memoderasi agama dan tunduk pada tindakan dan gagasan negatif yang dating dari
budaya peradaban lain. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa di Indonesia
terdapat umat beragama moderat yang hidup dalam masyarakat modern dengan
pola pikir generasi sebelumnya, seperti mereka yang lahir belakangan.
Heterogenitas atau pluralitas/keberagaman sangat penting dalam kehidupan ini.
Sunnatullah terlihat di kawasan ini.
Allah menciptakan dunia ini dalam kerangka terpadu berdasarkan Sunnah
heterogenitas. Kita melihat bagaimana Tuhan menciptakan kelompok etnis yang
berbeda sebagai bagian dari kesatuan umat manusia. Sebagai bagian dari persatuan
bangsa, Allah menciptakan berbagai bangsa, suku, dan kelompok. Allah
menciptakan dialek yang berbeda-beda dalam satu bahasa. Allah menciptakan
berbagai aliran pemikiran dalam kerangka syariat yang terpadu, yang masing-
masing muncul sebagai hasil ijtihad-Nya. Dalam kerangka kesatuan umat
(Ummatan Wahida), Allah SWT menciptakan berbagai agama. Keberagaman
agama merupakan sunnathura dan keberadaannya tidak bisa dipungkiri begitu saja.

E. Model Moderasi Beragama Walisongo di Nusantara


Dalam menyebarkan ajaran Islam Walisongo sangat memperhatikan
kondisi, keadaan dan tradisi masyarakat agar dakwah yang disampaikan mudah
menyerap. Maka dari itu tak menutup kemungkinan bahwa ajaran Islam harus
berbaur dan dikemas oleh tradisi dan kebudayaan masyarakat. Hal yang tidak
menyenangkan akan terjadi ketika penyebaran Islam di Indonesia tidak sesuai
dengan latar belakang tradisi dan kebudayaan Indonesia. Akan terjadi konflik
kekerasan bahkan mungkin di Indonesia tidak akan terciptanya moderasi beragama.
Hal ini selaras dengan pemikiran Islam yang mengutamakan sikap tengah tengah
dan tidak berat sebelah, cinta damai dan moderat.
Indonesia dengan keanekaragaman budaya, suku, agama, dan Bahasa yang
dimiliki menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki Masyarakat
multicultural. Sikap moderasi yang diajarkan oleh walisongo perlu dikembangkan
kembali agar dapat menciptakan ketentraman dan keseimbangan antar Masyarakat.
Dengan demikian, sikap moderat dapat menjadi jalan tengah dari adanya
perbedaan yang ada. Dalam konteks agama Islam moderat berarti mengedepankan
sikap toleransi dalam sebuah keberagaman. Sikap moderat harus dipahami sebagai
sebuah komitmen Bersama yang dapat menciptakan sebuah keseimbangan
Masyarakat dalam bernegara.
Berikut adalah sikap yang harus dimiliiki oleh seorang yang moderat,
diantaranyan adalah:
• Tawazun
Tawazun (seimbang) adalah sikap tidak berat antara ekstrem kiri
maupun ekstrem kanan
• Tawasuth
Adalah sikap yang bertujuan terciptanya keserasian hubungan antar
sesame manusia, dan hubungan manusia dengan Allah Swt.
• Tasamuh
Tasamuh adalah sikap toleransi, dalam moderasi beragama toleransi
sangatlah penting, mengajarkan seseorang agar selaras antara agama dan
budaya dan menghargai segala bentuk keragaman yang ada di Indonesia
BAB III
KESIMPULAN

Masuknya Walisongo dalam ke Indonesia membawa pengaruh yang sangat


besar dalam perkembangan agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.
Masuknya ajaran Islam yang diajarkan oleh para Walisongo pun telah disesuaikan
dengan budaya, tradisi, dan adat istiadat masyarakat Indonesia tanpa ada paksaan
maupun kekerasan, semua didasarkan dari hati dan juga kesadaran masing-masing
individu. Metode dakwah yang seperti inilah yang menyebabkan munculnya tradisi
moderat dan toleransi beragama di masyarakat. Nilai-nilai moderasi yang diasuh
oleh Walisongo ini jugalah yang masih tetap relevan dalam keberagaman agama
dan masyarakat Indonesia.

Sedangkan, secara umum moderasi merupakan pendekatan penting dalam


menjaga perdamaian dan kerukunan masyarakatnya yang heterogen. Melalui
moderasi, masyarakat dapat membangun toleransi, menghormati perbedaan, dan
juga menjaga perdamaian antar umat beragama dalam menghadapi tantangan yang
tercipta di tengah-tengah masyarakat.
Di era modern ini dengan adanya keberagaman tentunya sikap moderasi
beragama perlu terus dikembangkan kembali demi persatuan dan kesatuan dalam
keberagaman agama. Hal ini tentunya dapat menjadi tantangan bagi semua lapisan
Masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Agis Mubarok, Islam Nusantara: Moderasi Islam Di Indonesia, Jurnal
Kajian Islam dan Humaniora UIN Sunan Kali Jaga, Vol 3 no. 2 (2018).
Ali,Z (2010), Pendidikan agama islam. Jakarta:Bumi Aksara
Alma “arif, Islam Nusantara: Studi Epistimologi dan Kritis “, Jurnal Analisis Studi
Keislaman, Vol.15,2015, h.283.

Dawing,D (2017). MENGUSUNG MODERASI ISLAM DITENGAH


MASYARAKAT MULTIKULTURAL .Raulsyan fikr:
jurnal studi islam ushuluddin dan ilmu filsafat,13(2) 225-225
Hatmansyah. (2015). Strategi dan Metode Dakwah Walisongo.Jurnal "Al-hiwar",
Vol 03, No 05.

Muhajarah,K. (2022). MENJAGA TRADISI WALISONGO::Urgensi Moderasi


Beragama bagi Penguatan Kajian Kebangsaan, Keberagaman dan Tradisi Lokal
Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi. Farabi, 19 (2).
Nurul Syalafiyah,& Budi Harianto.(2020). Walisongo: Strategi Dakwah Islam di
Nusantara.j-kI: jurnal Komunikas Islam, 1 (2),167-178.

Anda mungkin juga menyukai