Anda di halaman 1dari 26

Kuliah online 2:

MK. Green Building, Program Arsitektur FTSP USTJ


Oleh: Dr. Ir. M. Amir Salipu, MT

2
1 Arsitektur Hemat Energi

Kejayaan arsitektur modern pertengahan abad 20 terhenti ketika embargo


minyak dari negara Timur Tengah terhadap negara Amerika dan Eropa
yang membantu Israel pada perang Arab-Israil tahun 1973.

Tidak terelakan krisis enegi melanda negara-negara Barat yang


merupakan tempat berkembangnya Arsiitektur Modern yang cenderung
konsumtif terhadap pemakaian energi.

Laporan penelitian di Amerika menyatakan bahwa energi yang dikonsumsi


bangunan-bangunan tinggi di Amerika Serikat lebih besar dari total energi
yang dipakai oleh negara-negara miskin di Dunia Ketiga (Tri Harso
Karyono, Green Architecture, 2014:29-30)

Para arsitek di negara barat mulai sadar akan pentingnya arti energi bagi
arsitektur. Penghematan energi dalam bangunan hanya mungkin dicapai
apabila arstek mau memanfaatkan kemjuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

2
2 Arsitektur Berkelanjutan dan Arsitektur Hijau

Ketika komisi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan menelorkan


suatu deklarasi yang populer dengan nama Brundtland report (1.1),
dimana di dalamnya diformulasikan defenisi pembangunan berkelanjutan,
para arsitek mulai mempelajari dan mengambil sikap terhadap isi deklarasi
tersebut.

Deklarsi ini sangat terkait dengan kepentingan arsitek, yaitu masalah


lingkungan binaan: baik kota, bagian kota, maupun bangunan yang
dituntut selaras dengan kemampuan daya dukung alam. Bagaimana
arsitek harus merancang suatu karya arsitektur yang seminimal mungkin
menggunakan sumber daya alam dan menimbulkan dampak negative
sekecil mungkin terhadap alam, terhadap lingkungan dimana manusia
hidup.

2
Di negara maju, Gerakan arsitektur berkelanjutan sudah mengarah
kepada perundangan. Bahwa pada saatnya hanya arsitek yang
merancang dengan konsep arsitektur berkelanjutan yang diberikan ijin
bekerja sebagai perancang. Ikatan Arsitek Skotlandia – The Royal
Incorporation of Architects in Scotland (RIAS) mempelopori suatu sistem
akreditasi kepada arsitek yang dinilai mampu memenuhi kriteria sebagai
‘arsitek berkelanjutan’ (sustainable architects) – arsitek yang mampu
merancang karya arsitektur berkelanjutan.

Akreditasi ini diberikan kepada sejumlah arsitek melalui penilaian karya-


karyanya, bukan berdasar atas training atau penddikan formal-informal
yang pernah mereka tempuh tentang arsitek berkelanjutan.

Menurut sandy Halliday – salah seorang pemrakarsa akreditasi ini, bahwa


sistem ini akan segera disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia, agar
asosiasi-asosiasi di seluruh dunia segera mengikutinya.

2
Arsitektur hijau (green architecture) merupakan konsekwensi dari
konsep arsitektur berkelanjutan. Bahwa dengan merancang arsitektur
hijau, diharapkan manusia dapat hidup dan melaksanakan aktifitas di
muka bumi ini secara berkelanjutan.

Arsitektur hijau meminimalkan penggunaan sumber daya alam oleh


manusia untuk menjamin generasi mendatang dapat memanfaatkan
bagi kehidupannya kelak.

Arsitektur hijau juga menggaris bawahi perlunya meminimalkan dampak


negatif yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap lingkungan, di mana
manusia hidup.

Pemikiran dasar semacam itu yang barangkali tidak pernah ada


sebelumnya sebagai tuntutan dasar manusia modern dalam melakukan
kegiatan arsitektur.

2
STANDAR DAN KRITERIA
ARSITEKTUR HIJAU
Pada tahun 1994 salah satu arsitektur hijau Amerika atau U.S.
Green building Council mengeluarkan sebuah standar yang
bernama Leadership in Energy and Environmental Design
(LEED) Standards. Adapun Dasar kualifikasinya adalah sebagai
berikut :

1. Pembangunan yang berkelanjutan


Diusahakan menggunakan kembali bangunan yang ada dan
dengan pelestarian lingkungan sekitar. Tersedianya tempat
penampungan tanaman, Taman diatas atap, penanaman pohon
sekitar bangunan juga dianjurkan
2. Pelestarian air

Dilakukan dengan berbagai cara termasuk diantaranya


pembersihan dan daur ulang air bekas serta pemasangan
bangunan penampung air hujan. Selain itu penggunaan dan
persediaan air harus juga di pantau secara berkelanjutan.

3. Peningkatan efisiensi energi

Dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya membuat


layout dengan orientasi bangunan yang mampu beradaptasi
dengan perubahan musim terutama posisi matahari.
4. Bahan bangunan terbarukan

Material terbaik untuk arsitektur hijau adalah usahakan


menggunakan bahan daur ulang atau bisa juga dengan
menggunakan bahan terbarukan sehingga membutuhkan
sedikit energi untuk diproduksi. Bahan bangunan ini
idealnya adalah bahan bangunan lokal dan bebas dari
bahan kimia berbahaya. Sifat bahan bangunan yang baik
dalam arsitektur hijau adalah bahan mentah tanpa polusi
yang dapat bertahan lama dan juga bisa didaur ulang
kembali.
5. Kualitas lingkungan dan ruangan

Dalam ruangan diperhatikan hal-hal yang mempengaruhi


bagaimana pengguna merasa dalam sebuah ruangan itu.
Hal ini seperti penilaian terhadap kenyamanan dalam
sebuah ruang yang meliputi ventilasi, pengendalian suhu,
dan penggunaan bahan yang tidak mengeluarkan gas
beracun.
Sementara Brenda dan Robert Vale, 1991, Green Architecture
Design for Sustainable Future mengungkapkan bahwa
Arsitektur Hijau memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Conserving Energy (Hemat Energi)

Sungguh sangat ideal apabila menjalankan secara operasional


suatu bangunan dengan sedikit mungkin menggunakan
sumber energi yang langka atau membutuhkan waktu yang
lama untuk menghasilkannya kembali.
Solusi yang dapat mengatasinya adalah desain bangunan
harus mampu memodifikasi iklim dan dibuat beradaptasi
dengan lingkungan bukan merubah lingkungan yang sudah
ada. Lebih jelasnya dengan memanfaatkan potensi matahari
sebagai sumber energi. Cara mendesain bangunan agar hemat
energi, antara lain:

•Banguanan dibuat memanjang dan tipis untuk


memaksimalkan pencahayaan dan menghemat energi listrik.

•Memanfaatkan energi matahari yang terpancar dalam


bentuk energi thermal sebagai sumber listrik dengan
menggunakan alat Photovoltaic yang diletakkan di atas atap.
Sedangkan atap dibuat miring dari atas ke bawah menuju
dinding timur-barat atau sejalur dengan arah peredaran
matahari untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimal.
•Memasang lampu listrik hanya pada bagian yang intensitasnya
rendah. Selain itu juga menggunakan alat kontrol pengurangan
intensitas lampu otomatis sehingga lampu hanya memancarkan
cahaya sebanyak yang dibutuhkan sampai tingkat terang
tertentu.
•Menggunakan Sunscreen pada jendela yang secara otomatis
dapat mengatur intensitas cahaya dan energi panas yang
berlebihan masuk ke dalam ruangan.
•Mengecat interior bangunan dengan warna cerah tapi tidak
menyilaukan, yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas
cahaya.
•Bangunan tidak menggunkan pemanas buatan, semua
pemanas dihasilkan oleh penghuni dan cahaya matahari yang
masuk melalui lubang ventilasi.
•Meminimalkan penggunaan energi untuk alat pendingin (AC)
dan lift.
2. Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber
energi alami)

Melalui pendekatan green architecture bangunan beradaptasi


dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan
kondisi alam, iklim dan lingkungannya sekitar ke dalam bentuk
serta pengoperasian bangunan, misalnya dengan cara:

•Orientasi bangunan terhadap sinar matahari.


•Menggunakan sistem air pump dan cros ventilation untuk
mendistribusikan udara yg bersih dan sejuk ke dalam ruangan.
•Menggunakan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim.
Misalnya dengan membuat kolam air di sekitar bangunan.
•Menggunakan jendela dan atap yang sebagian bisa dibuka dan
ditutup untuk mendapatkan cahaya dan penghawaan yang
sesuai kebutuhan.
3. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada
bangunan)

Perencanaan mengacu pada interaksi antara bangunan dan


tapaknya. Hal ini dimaksudkan keberadan bangunan baik dari
segi konstruksi, bentuk dan pengoperasiannya tidak merusak
lingkungan sekitar, dengan cara sebagai berikut.

• Mempertahankan kondisi tapak dengan membuat desain


yang mengikuti bentuk tapak yang ada.
• Luas permukaan dasar bangunan yang kecil, yaitu
pertimbangan mendesain bangunan secara vertikal.
• Menggunakan material lokal dan material yang tidak
merusak lingkungan.
4. Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan)

Antara pemakai dan green architecture mempunyai


keterkaitan yang sangat erat. Kebutuhan akan green
architecture harus memperhatikan kondisi pemakai yang
difikirkan di dalam perencanaan dan pengoperasiannya.
5. Limitting New Resources
(Meminimalkan Sumber Daya Baru)

Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan


material yang ada dengan meminimalkan penggunaan
material baru, dimana pada akhir umur bangunan dapat
digunakan kembali unutk membentuk tatanan arsitektur
lainnya.
6. Holistic

Memiliki pengertian mendesain bangunan dengan


menerapkan 5 poin di atas menjadi satu dalam proses
perancangan. Prinsip-prinsip green architecture pada
dasarnya tidak dapat dipisahkan, karena saling
berhubungan satu sama lain.

Tentu secara parsial akan lebih mudah menerapkan prinsip-


prinsip tersebut. Oleh karena itu, sebanyak mungkin dapat
mengaplikasikan green architecture yang ada secara
keseluruhan sesuai potensi yang ada di dalam site.
PENERAPAN KONSEP GREEN BUILDING PADA
BANGUNAN DI BERBAGAI TEMPAT BAIK RUMAH
TINGGAL MAUPUN BANGUNAN LAINNYA, ANTARA
LAIN :
PENERAPAN GREEN BUILDING PADA BANDARA DI BANYUANGI JAWA TIMUR
GREEN BUILDING PADA RUMAH TINGGAL
GREEN BUILDING PADA RUMAH TINGGAL
GREEN BUILDING DI NEW ZEALAND
GREEN BUILDING PADA ECO MOSQUE DI INDIA
GREEN BUILDING PADA KANTOR DPD GOLKAR DKI JAKARTA
59

Anda mungkin juga menyukai