Anda di halaman 1dari 11

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

La Ode Aminudin (S1A122071)

Universitas Halu Oleo

Laode717@gmail.com

ABSTRACT

Education policy is the final result of a decision in the field of education that is taken by taking
into account educational components and related social components. To produce appropriate
education policies, education administrators must be able to understand the nature of education
policies, especially those related to the framework for developing education policies. Therefore,
the purpose of writing this article is to provide a framework for developing educational policies,
the process of analyzing educational policies and strategies for implementing educational
policies. This article was written by reviewing 10 national journals and 5 international journals
related to education policy contained in the Google Scholar data base.

Key words: Education policy, framework, process, strategy.

ABSTRAK

Kebijakan penididikan merupakan hasil akhir dari sebuah keputusan dibidang pendidikan yang
diambil dengan memperhatikan komponen-komponen pendidikan dan komponen sosial yang
berkaitan. Untuk menghasilkan kebijakan pendidikan yang tepat maka penyelenggara pendidikan
harus mampu mengetahui hakikat kebijakan pendidikan terutama yang berhubungan dengan
kerangka kerja pengembangan kebijakan pendidikan. Oleh sebab itu, tujuan penulisan artikel ini
adalah untuk kerangka kerja pengembangan kebijakan pendidikan, proses analisis kebijakan
pendidikan dan strategi implementasi kebijakan pendidikan. Penulisan artikel ini dilakukan
dengan mengkaji sebanyak 10 jurnal nasional dan 5 jurnal internasional yang berhubungan
dengan kebijakan pendidikan yang terdapat pada data base google scholar.

Kata kunci: Kebijakan pendidikan, kerangka, proses, strategi

PENDAHULUAN

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional Indonesia telah
menetapkan bahwa segala bentuk proses pendidikan yang ada dinegara Indonesia harus
dilaksanakan dan dikembangkan secara maksimal agar tercapainya tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan (Hakim, 2016). Berdasarkan undang-undang tersebut tujuan pendidikan nasional yaitu
menjadikan setiap warga negara memiliki wawasan keilmuan yang luas serta memiliki
kepribadian yang luhur berdasarkan pancasila. Artinya bahwa tujuan pendidikan nasional di
Indonesia menjadikan warga negara menguasai aspek pengetahuan dan aspek keterampilan yang
dilandasi oleh aspek sikap yang baik.

Agar dapat memberikan pelayanan pendidikan yang baik maka penyelenggara pendidikan harus
dapat memahami aspirasi, kebutuhan dan karakteristik masyarakat (Mustaqim, 2016). Penidikan
diharapkan mampu meberikan pelayanan secara nyata kepada masyarakat baik dari tingkat pusat
bahkan harus juga memberikan pelayanan kepada masyarakat yang berada pada daerah (Purba et
al, 2021). Artinya diperlukan upaya untuk menjalin komunikasi dengan stakeholders dalam
pendidikan agar penyelenggara pendidikan dapat merumuskan kebijakan dan mengambil
keputusan yang berhubungan dengan perluasan dan pemerataan layanan pendidikan,peningkatan
mutu dan relevansi pendidikan serta mengoptimalkan proses pengelolaan pendidikan. Ha ini lah
yang menjadi pandangan baru dalan proses pengelolaan pendidikan bahwa perlunya gagasan
yang bersifat desentralisasi agar pengelolaan pendidikan dilakukan secara bersamaan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Pengelolaan pendidikan bukanlah hal yang mudah (Aziz, 2015). Diperlukannya proses
perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan yang tepat (Muhdi et al, 2017). Penyelenggara
pendidikan harus benarbenar paham mengenai hakikat kebijakan pendidikan (Nurhardjadmo,
2008). Kebijakan pendidikan yang dilahirkan tidak hanya saja bersifat pada golongan tertentu
namun akan memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat (Bakry, 2010).
Kebijakan pendidikan yang dihasilkan dengan proses yang tepat akan menghasilkan luaran yang
akan mampu mencapai tujuan pendidikan yang telah disepakati dan apabila kebijakan
pendidikan yang dihasilkan tanpa adanya proses yang bersifat prosedural maka akan berdampak
kepada mutu pendidikan (Winarsih, 2017).

METODE

Metodologi penulisan ini menggunakan metodologi studi kepustakaan. Penulisan artikel ini
dilakukan dengan mengkaji sebanyak 10 jurnal nasional dan 5 jurnal internasional yang
berhubungan dengan kebijakan pendidikan yang terdapat pada data base google scholar. Hasil
dari pengkajian kemudian di jabarkan melalui artikel ilmiah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kebijakan pendidikan merupakan hasil akhir dari sebuah keputusan dibidang pendidikan yang
diambil dengan memperhatikan komponen-komponen pendidikan dan komponen sosial yang
berkaitan (Solichin, 2015). Kebijakan pendidikan yang dilahirkan harus bersifat intredisipliner
dan kontekstual (Asmawi, 2018). Untuk dapat melahirkan kebijakan pendidikan maka diperlukan
analisis kebijakan pendidikan yang tepat. Analisis kebijakan pendidikan merupakan cara untuk
memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pendidikan melalui pendeiatan ilmu sosial
terapan dengan menggunakan metode inguiri dan argumen ganda.
Kerangka Kerja Pengembangan Kebijakan Pendidikan
Analisis kebijakan merupakan proses pengimplementasian ilmu sosial dengan menggunakan
bentuk pemikiran, penalaran, pembuktian, penilaian dan pemecahan masalah yang berhubungan
dengan masyarakat luas (Alam, 2012). Agar dapat menghasilkan pandangan yang rasional
diperlukan sebuah prosedur analisis. Adapun prosedur tersebut adalah: 1) Informasi Kebijakan.
Pada proses informasi kebijakan terdapat 3 jenis informasi yang harus dilahirkan yaitu informasi
mengenai (Afifah dan Yuningsih, 2016); 2) Nilai. Infromasi mengenai nilai berhubngan dengan
bagamanakah proses nilai yang terdapat pada kebijakan tersebut; 3) Fakta. Informasi tentang
fakta berhubungan dengan apakah hal yang dibicarakan tersebut ada atau tidak ada; 4) Perbuatan.
Informasi tentang perbuatan berhubungan dengan apa yang harus dilakukan terhadap
permasalahan tersebut.

Proses Analisis Kebijakan Pendidikan


Dalam proses analisis kebijakan terdapat proses yang harus dilaksanakan oleh pembuat
kebijakan. Proses ini bertujuan agar kebijakan yang dilahirkan sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi. Adapun proses analisis kebijakan tersebut yaitu, (Keban, 2015):
1. Inisiasi
Tahap inisiasi diawali ketika adanya masalah yang bersifat potensial. Permasalahan
potensial tersebut dirasakan ketika adanya upaya untuk mengurangi permasalahan yang
bertujuan untuk memecahan permasalahan tersebut secara tepat. Pada fase ini belum
dituntut untuk dapat merumuskan permasalahan namun diperlukan sebuah pemikiran
lebih lanjut apakah permasalahan ini diperlukan untuk dirumuskan. Pada tahap ini juga
dilakukan proses inovasi dalam melakukan konseptualisasis dan membuat kerangkan
permasalahan secara umum. Selain itu juga diperlukan pengumpulan infromasi yang
berkaitan dengan kebijakan secara umum dan memprediksi pilihan-pilhan kebijakan yang
dirasa dapat untuk dikembangkan.
2. Estimasi
Pada tahapan estimasi ini diperlukan pemikiran yang berhubungan dengan dampak,
pembiayaan dan kelebihan dari alternatif yang disajikan. Pada tahapan ini masalah di
fokuskan dengan menggunakan metode olian yang bersifat proyektif dan empirik agar
dapat diketahuinya dampak yang ditimbulkan dari kebijakan yang dipilih. Pengkajian
juga difokuskan kepada evaluasi terhada luaran yang akan dihasilkan melalui pendekatan
teknis lainnya.
3. Seleksi
Tahapan seleksi ini berkaitan dengan keputusan. Setelah dilakukan analisis kebijakan
berupa perumusan dan penilaian kebijakan maka diperlukanlah pemilihan kebijakan.
Pengambilan keputusan sering kali dilahirkan dengan perhitungan dan perkiraan teknis
namun adanya aspek lain yang perlu diperhatika seperti keterlibatan pihak-pihak lain
yang memiliki tjuan yang berbeda mengenai pandang ideologi, mora dan kerangka acuan.
4. Implementasi
Tahapan implementasi merupakan tahapan melaksanakan pilihan yang telah disepakati.
Tahapan implementasi merupakan saran untuk melakukan uji kelayakan pilihan yang
dipilih secara nyata. Pada tahapan sebelumnya kebijakan masih dalam bentuk pemikran
sedangkan pada tahapan implementasi ini kebijakan dapat dilaksanakan secara nyata.
5. Evaluasi
Pada tahapan inisiasi dan estimasi, sifat tahapan bersifat antisipatif sedangkan pada
tahapan seleksi lebih bersifat kekinian. Pada tahapan implementasi lebih bserfiat
transformasi kedalam dunia nyata sedangkan pada tahapan evaluasi lebih bersifat
restrospektif. Pada tahapan ini berusaha untuk menemukan jawaban mengenai sejauh
mana kebijakan yang dipilih berhasil. Pada tahapan ini dilakukan pengukuran dengaan
indikator yangtelah dilakukan.
6. Terminasi
Tahapan terminasi adalah tahapan yang menyesuaikan kebijakan yang tidak diperlukan
dengan keadaan.

Strategi Implementasi Kebijakan Pendidikan


Praktek kebijakan pendidikan dituangkan dalam sebuah pengelolaan yang dikenal dengan
manajemen berbasis sekolah (MBS) (Athiyah, 2019). Pada sistem MBS ini terjadinya
penyerahan wewenang pengelolaan sekolah kepada sekolah dan stakeholder yang terkait,
(Ismali, 2018). Maka perlu diketahuinya strategi pengelolaan pendidikan di sekolah secara
merata meskipun konsep pengelolaanya bersifat desentralisasi. Adapun tahapan tersebut yaitu
(Huda et al, 2020):
1. Tahap sosialisasi
Tahapn sosialisasi meruakan tahapanyang penting karena diperlukannya penyebaran
kebijakan yang merata kesetiap daerah yang ada di Indonesia. Penyebaran informasi ini
dapat dilakukan secara online maupun offline. Adapun yang menjadi tantangan dalam
tahapan sosialisasi ini adalah masyarakat sulit menerima adanya perubahan sehingga
diperlukan waktu yang lama untuk adaptasi. Maka dalam memaksimalkan perubahan
kebijakan tersebut diperlukan pertimbangan dengan memperhatikan aspek tujuan,
manusia, lingkungan , proses, hasil dan kebiasaan.
2. Tahap piloting
Tahapan pilotting ini bertujuan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari uji coba
kebijakan sehingga diperlukan model uji coba. Model uji coba ini jatus memenuhi syarat
yaitu akseptabilitas, akuntabilitas, replikablitas dan sustainabilitas.
3. Tahap diseminasi
Tahapan diseminasi merupakan tahapan penyebaran secara luas kebijakan yang
ditetapkan. Perlu diperhatikan bahwa tahapan disiminasi ini memerlukan fasilitas yang
banyak dan anggaran yang besar.

Karakteristik Kebijakan Pendidikan


Guna meningkatkan Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, yakni:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus
memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada
pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal
Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya
pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu
diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus
memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hierarki konstitusi yang berlaku di sebuah
wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga,
dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus
mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah
keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi
kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki
kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan
dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga
pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur
minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya
untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan
jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki.
6. Memiliki sistematika
Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi
agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu
sama lainnya.

Model Perumusan Kebijakan Pendidikan


Ada beberapa model perumusan kebijakan pendidikan yaitu model kelembagaan, model sistem,
model penyelidikan, model rasional, model inkrementalis, model analisis kebijakan, dan model
pendekatan implementasi kebijakan publik. Adapun pembahasannya sebagai berikut:
1. Model Kelembagaan
Model kelembagaan ini berprinsip bahwa pemerintah adalah penanggung jawab
pembuatan kebijakan, (Wibowo, 2013). Apapun yang dihasilkan oleh pemerintah
merupakan kebijakan publik. Model kelembagaan ini didasari oleh fungsi kelembagaan
dari setiap sektor pemerintah dalam merumuskan kebijakan, (Nurain et al, 2016).
2. Model Sistem
Model sistem ini dikembangkan oleh ahli yang bernama Paine dan Naumes, (Triastuti,
2003). Model sistem merupakan model yang menggambarkan kejadian nyata yang terjadi
saat pembuatan kebijakan. Model sistem ini disebut juga dengan model deskriptif. Model
sistem ini dirumuskan dari sudut pandang pembuat kebijakan.
3. Model Penyelidikan Campuran
Model penyelidikan campuran disebut juga dengan model mixed scanning yang
menggunakan aspek-aspek dari dua pendekatan maupun dua sudut pandang. Model
penyelidikan campuran menuntut pembuat kebijakan untuk menggunakan teori rasional
yang bersifat menyeluruh dan inkrementalisme dengan memperhatikan situasi dan
kondisi yang berbeda, (Mulyana et al, 2019).
4. Model Proses
Model proses mengansumsikan bahwa politik merupakan kegiatan yang memiliki proses.
Adapun tahapan perumusan kebijakan dengan model proses yaitu mengindentifikasi
masalah, menyusun agenda, merumuskan perancangan kebijakan, pengesahan kebijakan,
penerapan kebijakan, dan penilaian kebijakan, (Thomas, 2011).
5. Model Teori Elite
Teori elite mengasumsikan bahwa masyarkat terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok
pemegang kekuasaan (penguasa/ elite) dan kelompok yang tidak memegan kekuasaan
(masa),(Suryono, 2014). Teori elite ini berpadangan bahwa demokrasi yang dijalankan
secara penuh akan memumngkinkan adanya bias dalam merumuskan kebijakan.
6. Model Rasional
Model rasional merupakan kebijakan yang didapatkan dari perolehan sosial maksimum.
Artinya bahwa model rasional yang digunakan oleh pemerintah harus mampu untuk
menghasilkan kebermanfaatan yang maksimal bagi masyarakat, (Latifa, 2016).
7. Model Inkrementalis
Model inkrementalis merupakan bentuk dari kritik model rasional. Model ini
beranggapan bahwa pembuat kebijakan tidak memungkinkan melaksanakan proses
seperti model rasional dikarenakan adanya keterbatasan pada pembuat kebijakan seperti
keterbatasan waktu, intelektual dan biaya, (Handrian et al, 2021).

Analisis Model Kebijakan Pendidikan di Indonesia


Kebijakan dalam dunia pendidikan sering disebut dengan beberapa istilah yang hampir
memiliki kesamaan.Diantara istilah itu adalah perencanaan pendidikan (educational
planning),rencana induk tentang pendidikan (master plan of education), pengaturan pendidikan
(educational regulatuion), kebijakan tentang pendidikan (policy of education). Beberapa istilah
di atas memiliki perbedaan dan penggunaan yang berbeda pula (Azis, 2017).
Sementara itu kebijakan pendidikan yang digunakan di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh
Yoyon yaitu lebih banyak mmenggunakan model analisis kebijakan politik yang didasarkan pada
asumsi-asumsi politis. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikatorindikator. Pertama,
ketidakjelasan dalam asumsi-asumsi yang digunakan terhadap permasalahan-permasalahan
pendidikan. Kompleksitas dan heterogenitas, sifat dan situasi yang disebut sekolah selalu
diidentikan dengan pendidikan. Sehingga tidak heran manakala membicarakan sistem pendidikan
ternyata yang dibahas adalah sistem persekolahan.
Temuan dari penelitian ini adalah bahwa hasil analisis kebijakan pendidikan yang digunakan di
Indonesia sebagian para praktisi mengatakan lebih banyak mmenggunakan model analisis
kebijakan politik yang didasarkan pada asumsi-asumsi politis. Namun tidak semuanya demikian,
banyak pula kebijakan pendidikan yang diputuskan berbasarkan analisis serta kebutuhan yang
terjadi di lapangan. Untuk itu perlu strategi yang tepat dalam memetakan permasalahan yang
terjadi, menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi, serta merumuskan beberapa alternatif
pemecahan masalah yang tentunya disajikan dalam formulasi model anaslisis kebijakan
pendidikan, sehingga kebijakan yang diberikan bukan hanya menguntungkan sebelah pihak,
namuan kebijakan harus dapat memberikan manfaat untuk seluruh stakeholder yang terlibat
dalam dunia pendidikan. Karena kebijakan dalam dunia pendidikan merupakan kebijakan yang
perlu dianalisa dengan serius untuk membangun perbaikan dalam dunia pendidikan secara
komprehensif dan integratif.

Urgensi Analisis Kebijakan Pendidikan


Kunci utama yang dapat dilakukan dalam analisis kebijakan yaitu perlu nya pengidentifikasian
masalah dan tujuan dirumuskanya kebijakan (Ismail, 2016). Namun banyak permasalahan yang
sering terjadi adalah ketika penentu kebijakan memerintahkan analisis kebijakan untuk
melakukan analisis namun tidak disertai dengan ketegasan informasi dan bahkan ada yang
memberikan informasi dengan tujuan yang berbeda kepada penganalisis kebijakan.
Meskipun terdapat tujuan yang berbeda namun tujuan tersebut harus dicapai . Bisa jadi tujuan
tersebut dapat dicapai dalam waktu dekat dan ada juga tujuan yang dicapai untuk generasi
selanjutnya. Contoh yang dapat ditemua adalah pendidikan. Tujuan pendidikan terdiri dari dua
yaitu tujuan pendidikan primer dan tujuan pendidikan sekunder. Tujuan pendidikan yaitu untuk
dapat meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan,meningkatkan karakter warga
negara, meningkatkan kualitas mental,dan meningkatkan struktur sosial masyarakat.
Maka secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa alasan yang mendasari diperlukannya
analisis kebijakan yaitu untuk mengetahui segala bentuk kelayakan dan pembiayaan dari
kebijakan yang diambil yang dianalisis melalui proses ilmiah dengan pendekatan saintifik.
Proses analisis kebijakan di Indonesia belum sepenuhnya dilaksanakan dengan maksimal.
Kebijakan yang diambil banyak yang bersifat politis dan terkesan terburu-buru. Dari paparan
yang disampaikan tersebut dapat disimpulkan bahwa pentingnya analisis kebijakan sebelum
pengambilan keputusan dapat mempengaruhi terhadap keefektifan kebijakan tersebut.
Namun banyak yang disayangkan bahwa banyak kebijakan yang diambil di Indonesia tidak
secara menyeluruh dilakukan proses analisis. Alhasil banyaknya kebijakan yang tidak pro aktif
dan bersifat problem solving dihasilkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses kebijakan
memakan biaya yang besar sehingga banyak kebijakan yang akhirnya tidak terjalankan secara
maksimal.

Sosialisasi Kebijakan Pendidikan


Sosialisasi kebijakan pendidikan merupakan suatu mekanisme penyampaian informasi suatu
sikap dan tindakan yang diambil seseorang atau dengan kesepakatan kelompok pembuat
kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan.
Tujuan sosialisasi kebijakan pendidikan adalah mengupayakan masyarakat luas memahami dan
mampu menginternalisasikan makna dari tujuan dan konsep dari keputusan pemerintah, sehingga
tercipta kerjasama dan komitmen antara pemerintah dengan masyarakat. Ada beberapa tahapan-
tahapan yang diperlukan diperhatikan dalam proses sosialisasi kebijakan pendidikan, yaitu: 1)
tahap persiapan (preparatory stage), tahap meniru (play stage), dan 3) tahap tindakan (game
stage). Kebijakan pendidikan yang sudah dirumuskan dapat disosialisaikan dengan menggunakan
berbagai media, baik berupa media komunikasi seperti poster, leaflet brosur, spanduk, dan
baliho, maupun melalui media elektronik, seperti cakram optik (compact disk atau DVD), media
sosial,internet, radio dan televisi.

Monitoring Kebijakan Pendidikan


Upaya “meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia membutuhkan kebijakan yang tepat dari
pemerintah, ini berarti pemunculan kebijakan itu harus dilandaskan pada orientasi tujuan yang
kuat” (Sholeh, 2005). Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam bidang
pendidikan tidak hanya berbentuk undang-undang saja. Kebijakan pendidikan merupakan
keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan
dari visi dan misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan
dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu (Purnama, 2010)
Monitoring kebijakan pandidikan berarti mengamati secara seksama suatu keadaan atau kondisi,
termasuk juga perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan yang berupa
regulasi pendidikan, kurikulum, proses pembelajaran, maupun segala hal yang dijalankan oleh
pemerintah berkaitan dengan pendidikan sehingga menemukan gambaran yang jelas apa,
mengapa, serta bagaimana sesungguhnya kondisi pendidikan yang ada.

Implementasi Kebijakan Publik


Dalam proses implementasi kebijakan akan terlihat kendala atau permasalahan yang dihadapi
dalam pencapain tujuan pendidikan. Dari semua rangkaian perumusan kebijakan pendidikan,
maka proses implementasi ini lah yang menjadi tahapan yang lebih rumit dan kompleks. Hal ini
dikarenakan perlunya kerjasama yang kuat antar elemen yang ada baik dari pihak pusat maupun
elemen daerah. Proses implementasi kebijakan pendidikan terdiri umumnya menggunakan empat
pendekatan yaitu: 1) Pendekatan struktural. Pada hakikatnya pendekatan struktural bersifat top
down. Pendekatan ini memandang bahwa perancangan, pengimplementasian dan proses evaluasi
kebijakan pendidikan dilakukan secara struktutral serta sesuai dengan tingkatan maupun
tahapannya, (Yuliah, 2020). Sehingga jika diamati bahwa pendekatan ini lebih bersifat birokratis
dan cendrung kaku; 2) Pendekatan prosedural dan manajerial. Pendekatan prosedural dan
manjerial lebih mementingkan prosedur dan teknik yang tepat dalam mengembangkan kebijakan
dibandingkan penantaan struktur pelaksana, (Setyawan, 2014). Sehingga pendekatan ini
membutuhkan alat teknologi dalam proses pengimplementasian kebijakan; 3) Pendekatan
perilaku. Pendekatan perilaku memandang bahwa pelaksana kebijakan adalah prilaku manusia,
(Machali, 2015). Implementasi kebijakan pendidikan akan terlaksana dengan baik apabila
manusia juga memiliki prilaku yang baik; 4) Pendekakatan politik. Pendekatan politik lebih
memfokuskan faktor politik penguasa dalam mempermudah maupun memperhambat penerapan
kebijakan pendidikan, (Hartono, 2016). Pendekatan ini cendrung mempertimbangkan kenyataan
politik yang terjadi.

Pendekatan terhadap Perumusan Kebijakan Pendidikan


Pendekatan diartikan sebagai ide atau gagasan pertama yang dapat dilakukan kelompok
atau individu ketika akan menjalankan suatu pergerakan menutu sesuatu. Maka pendekatan
yang dimaksud dalam perumusan kebijakan pendidikan ialah ide yang dapat digunakan dalam
mencapai perumusan kebijakan pendidikan. Menurut Latifah dan Khusnul Pendekatan
terhadap perumusan kebijakan pendidikan ada dua pendekatan (Wijiutami & Khasanah,
2022), yakni:
1. Kebutuhan Sosial
Berdasarkan aspirasi, tuntutan, dan kepentingan berbagai kalangan, maka pendekatan
kebutuhan sosial merupakan salah satu jenis pendekatan untuk menciptakan perumusan
kebijakan pendidikan. Jenis strategi ini meliputi pengkajian dan identifikasi aspirasi
masyarakat sebelum merumuskan kebijakan pendidikan yang akan dilaksanakan.
Pendekatan tuntutan sosial, juga dikenal sebagai kebutuhan sosial, sebenarnya lebih dari
sekedar menjawab kebutuhan masyarakat setelah kebijakan pendidikan diberlakukan dan
aspirasi masyarakat sebelum dikembangkan. Namun, diharapkan partisipasi dari anggota
semua lapisan masyarakat akan efektif dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
pendidikan. Ini dapat dikategorikan sebagai gaya tertentu pembuatan kebijakan pasif.
Artinya, kebijakan baru dapat dibuat jika diminta terlebih dahulu oleh masyarakat.
2. Tenaga Kerja
Untuk menemukan orang-orang yang tepat dalam masyarakat, pendekatan tenaga kerja
semacam ini menekankan pemikiran logis. Pendekatan staf, tentu saja tidak
mempertimbangkan tuntutan masyarakat atau apakah masyarakat menuntut kebijakan
pendidikan tertentu. Sebaliknya, pendapat dari mereka yang membuat kebijakan
pendidikan sangat penting. Pemerintah memiliki legitimasi yang kuat untuk
mempengaruhi perumusan kebijakan pendidikan sebagai pemimpin yang mampu
mengambil keputusan. Sifat otoriter adalah sifat umum dari kedua pendekatan ini yang
mana merupakan aspek penting.
Analisis Financial Reseources sebagai Faktor Penentu dalam Implementasi Kebijakan
Pendidikan
Ananlisis financial resources sebagai faktor penentu dalam implementasi kebijakan pendidikan
dilakukan berdasarkan teori Carl V. Patton dan David S. Sawicki (1986:25) terdiri dari enam
langkah. Analisis ini dimulai dari verifikasi, perumusan dan perincian masalah financial
resources sebagai faktor penentu dalam implementasi kebijakan pendidikan. Perumusan masalah
dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-
asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui
penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang
memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan dan merancang peluang-
peluang kebijakan yang baru sebelum implementasi kebijakan pendidikan dilaksanakan.
Masalah sumber daya finansial dalam implementasi kebijakan pendidikan meliputi: 1) dana
pemerintah, orang tua dan masyarakat, 2) SDM seperti guru, siswa, komite, dan lain-lain, 3)
sarana dan prasarana sekolah, 4) stakeholders.

Fungsi Kebijakan Pendidikan


Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah
terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-
benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya
adalah tujuan, prinsip dan aturanaturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai
pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan
eksternal. Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan
(policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan
kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem.
Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan),
proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada
pembuat kebijakan. Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan dipandang sebagai: (1) pedoman
untuk bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan
(Pongtuluran, 1995:7)

Menurut Nanang Fattah, fungsi kebijakan dalam pendidikan adalah:


1. Menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintahan perlu ada dalam
pendidikan. Hal ini berkaitan dengan karakter kepribadian yang sangat beragam dan
berbeda-beda.
2. Melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru. Perlu
diupayakan pendirian suatu lembaga independen dan mandiri yang bertugas khusus untuk
melakukan kegiatan evaluasi dan pengawasan.
3. Bantuan bagi pengambil keputusan. Kebijakan pendidikan disini adalah sebagai ujung
tombak dalam mengambil keputusan yang tepat dan benar setelah melalui serangkaian
proses perumusan oleh para pembuat kebijakan pendidikan.
Berdasarkan penegasan di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi
pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dengan kata lain, kebijakan merupakan garis umum untuk bertindak bagi
pengambilan keputusan pada semua jenjang organisasi.

KESIMPULAN
Definisi kebijakan pendidikan salah satu kebijakan negara memberikan pengertian kebijakan
pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai
dan beberapa penilaian atas faktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut
dijadikan sebagai dasar untuk mengoprasikan pendidikan yang bersifat melembaga. Sedangkan
penidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah.
Dengan dasar kata-kata bijak itu, maka perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi
beban bersama orang tua, masyarakat, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan yang dapat dilakukan masyarakat, pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

https://jurnal.iicet.org/index.php/jrti/article/view/818
https://scholar.archive.org/work/ougucnwtvfc5fh7ci3bi5m2xqq/access/wayback/https://
jurnal.kopertais1.or.id/alim/article/download/218/191/
https://journal.unsika.ac.id/index.php/muntazam/article/view/5878
https://scholar.archive.org/work/om7ahn2ofrghfflyxi472m73ci/access/wayback/https://
jurnal.iicet.org/index.php/jrti/article/download/908/636
https://journals.eduped.org/index.php/intel/article/view/112
http://ejournal.staisyamsululum.ac.id/index.php/attadbir/article/view/58
https://jurnal.iicet.org/index.php/jrti/article/view/909
http://journal.unipdu.ac.id/index.php/religi/article/view/486
https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/tapis/article/view/2575
https://www.academia.edu/download/36920358/Aminuddin_Bakry1.pdf
http://journal.uny.ac.id/index.php/jimp/article/view/741
https://journal.banjaresepacific.com/index.php/jimr/article/view/107
http://ejournal.undiksha.ac.id › index.php › JIPP › article › download
https://ejournal.upi.edu/index.php/JAPSPs/article/view/19853

Anda mungkin juga menyukai