Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

DI BUAT OLEH :
NAMA : SARIFATI ZEBUA
NIM : 202119038
KELAS/SEMESTER : A/VII
PRODI : PPKn
MATAKULIAH : FILSAFAT HUKUM

DOSEN PENGAMPU :
ADRIANUS BAWAMENEWI, S.H., M.H

UNIVERSITAS NIAS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
T.A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Berkat dan
Rahmat-Nya Kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan tugas makalah
pada pertemuan ke 9 sampai pertemuan ke 15. Tuhan ini saya buat secara ringkas dan
sederhana sesuai kemampuan yang saya miliki dan tugas ini saya buat untuk memenuhi tugas
pembuatan makalah pada Matakuliah : Filsafat Hukum.

Dalam pembuatan makalah ini ada banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu
saran dan masukan yang bersifat membangun dari semua pihak akan sangat saya butuhkan
demi kesempurnaan makalah ini, dan saya juga berterimakasih kepada Bapak Adrianus
Bawamenewi S.H., M.H. Selaku Dosen Pengampu Matakuliah Filsafat Hukum yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Gunungsitoli, 04 Februari 2024


Penulis,

Sarifati Zebua
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
PEMBAHASAN.................................................................................................................
PERTEMUAN KE 9 : Hukum Dan Keadilan.................................................................
A. Pengertian Hukum Dan Keadilan............................................................................
B. Hukum Dan Kekuasaan...........................................................................................
C. Hukum Dan Nilai Sosial Budaya.............................................................................
PERTEMUAN KE 10-11 : Hukum Dan Kebenaran......................................................
A. Arti Kebenaran........................................................................................................
B. Teori-Teori Kebenaran............................................................................................
C. Hubungan Hukum, Ilmu Dan Kebenaran................................................................
PERTEMUAN KE 12 : Teori-Teori Hukum..................................................................
A. Negara Hukum.........................................................................................................
B. Tentang Keadilan.....................................................................................................
C. Demokrasi................................................................................................................
D. Kedaulatan...............................................................................................................
PERTEMUAN KE 13 : Aspek-Aspek Persoalan Filsafat Hukum................................
A. Hukum dan Keadilan...............................................................................................
B. Sumber Hukum........................................................................................................
C. Hukum dan moralitas...............................................................................................
D. Tatanan hukum global.............................................................................................
E. Hukum dan etika......................................................................................................
F. Konsep kepemilikan dan Hak..................................................................................
PERTEMUAN KE 14 : Hakekat Dan Tujuan Hukum..................................................
A. Hakikat Hukum........................................................................................................
B. Fungsi dan tujuan filsafat hukum............................................................................
C. Tujuan hukum..........................................................................................................
PERTEMUAN KE 15 : Hukum Sebagai Alat Pembaharuan Masyarakat..................
A. Pengertian pembaharuan masyarakat......................................................................
PERTEMUAN KE 9
A. Pengertian Hukum Dan Keadilan
1. Hukum
Hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda, namun keduanya saling terkait.
Hukum adalah seperangkat aturan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga
terkait untuk mengatur perilaku manusia dalam masyarakat. Hukum ini dapat mencakup
berbagai bidang seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum konstitusi, dan hukum
internasional.
Keadilan, di sisi lain, merujuk pada konsep moral yang menyatakan bahwa setiap orang
harus diperlakukan sama dan adil. Keadilan ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti dalam sistem peradilan, politik, dan sosial.
Meskipun hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat, terdapat situasi di mana
hukum dan keadilan tidak selalu sejalan. Contohnya, dalam sistem peradilan, seseorang
dapat dinyatakan bersalah secara hukum namun tidak adil, atau sebaliknya, seseorang dapat
dinyatakan tidak bersalah secara hukum namun merasa tidak adil.
Dalam kasus seperti ini, terdapat perdebatan tentang apakah hukum harus selalu
mengedepankan keadilan, atau apakah hukum harus mengikuti aturan dan prosedur yang
telah ditetapkan terlepas dari apakah itu adil atau tidak.
Dalam hal ini hukum dapat menciptakan beberapa hal yaitu :
 Hukum yang Menciptakan Keadilan
Hukum dapat membantu menciptakan keadilan dalam masyarakat, terutama jika hukum
tersebut adil dan diterapkan secara konsisten. Beberapa contoh hukum yang dapat
menciptakan keadilan adalah sebagai berikut:
a. Hukum anti diskriminasi: Hukum ini melarang diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin, agama, ras, atau orientasi seksual. Dengan demikian, hukum ini membantu
memastikan bahwa setiap orang diperlakukan sama dan adil.
b. Hukum perlindungan konsumen: Hukum ini memberikan perlindungan kepada
konsumen dari praktik bisnis yang tidak adil atau menipu. Dengan demikian, hukum ini
membantu memastikan bahwa konsumen diperlakukan dengan adil dan tidak dimanipulasi
oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab.
c. Hukum perlindungan buruh: Hukum ini memberikan perlindungan kepada pekerja
dari eksploitasi dan penyalahgunaan oleh majikan. Dengan demikian, hukum ini membantu
memastikan bahwa pekerja diperlakukan dengan adil dan tidak dimanipulasi oleh majikan
yang tidak bertanggung jawab.
 Hukum yang Menghalangi Keadilan
Di sisi lain, hukum juga dapat menghalangi keadilan dalam masyarakat, terutama jika
hukum tersebut tidak adil atau diterapkan secara diskriminatif. Beberapa contoh hukum yang
dapat menghalangi keadilan adalah sebagai berikut:
a. Hukum rasial: Hukum ini memberikan perlakuan yang tidak adil kepada kelompok
ras tertentu. Contohnya adalah hukum Jim Crow di Amerika Serikat yang memberikan
perlakuan diskriminatif kepada orang Afrika-Amerika.
b. Hukum yang memberi keuntungan bagi kelompok tertentu: Hukum ini memberikan
keuntungan kepada kelompok tertentu di masyarakat, seperti hukum pajak yang memberikan
keuntungan kepada orang kaya.
c. Lambatnya proses hukum: Jika proses hukum memakan waktu yang lama atau tidak
efesien, hal ini dapat menghambat keadilan, keterlambatan dalam penyelesaian kasus dapat
menyebabkan kerugian bagi pihak yang tidak bersalah atau memperpanjang penderitaan
korban.
Untuk itu ada beberapa cara untuk mengatasi hukum yang menghalangi keadilan dalam
sistem hukum antara lain:
1. Meningkatkan akses ke sistem Hukum
Membuat sistem hukum lebih terbuka dan fleksibel bagi semua orang dapat membantu
mengatasi ketidaksetaraan akses ke sistem hukum. Ini dapat dilakukan melalui penyediaan
bantuan hukum gratis atau terjangkau, informasi yang mudah di akses, dan penyediaan
pelayanan hukum yang lebih dekat dengan masyarakat.
2. Mengatasi Diskriminasi
Hal ini dapat dilakukan melalui penyediaan pelatihan dan pendidikan bagi para profesional
hukum, serta melalui perubahan undang-undang yang mempromosikan kesetaraan.
3. Memerangi korupsi
Korupsi dapat di atasi dengan meningkatkan transparansi dalam sistem hukum, sehingga ada
lebih sedikit ruang bagi praktik korupsi. Ini dapat dilakukan melalui penerapan kode etik dan
peraturan anti korupsi yang ketat, serta meningkatkan pengawasan dan penegak hukum.
4. Meningkatkan efesiensi proses hukum
Meningkatkan efesiensi proses hukum dapat membantu mengatasi keterlambatan dan
mempercepat penyelesaian kasus. Hal ini dapat dilakukan melalui penyediaan sumber daya
yang memadai untuk sistem hukum, pelatihan bagi profesional hukum, dan peningkatan
teknologi dan infrastruktur.
2. Hukum Sebagai Suatu Sistem
Sistem hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations),
namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang
mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan
budaya hukum (legal structure).
Menurut Lawrence Friedman, unsur-unsur sistem hukum itu terdiri dari struktur hukum
(legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum meliputi badan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga
terkait, seperti Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan lain-lain. Sedangkan substansi hukum adalah mengenai norma,
peraturan maupun undang-undang. Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan
maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari
sistim hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari
pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan.
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang
terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya (without legal
culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in
its sea). Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum. Selalu ada
sikap dan pendapat mengenai hukum. Hal ini tidak berarti bahwa setiap orang dalam satu
komunitas memberikan pemikiran yang sama.
Banyak sub budaya dari sukusuku yang ada, agama, kaya, miskin, penjahat dan polisi
mempunyai budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Yang paling menonjol
adalah budaya hukum dari orang dalam, yaitu hakim dan penasihat hukum yang bekerja di
dalam sistem hukum itu sendiri, karena sikap mereka membentuk banyak keragaman dalam
sistem hukum. Setidak-tidaknya kesan ini akan mempengaruhi penegakan hukum dalam
masyarakat Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social
control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang
berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau
aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku
tertentu, misalnya aturan umum perbuatan melawan hukum. Tidak ada cara lain untuk
memahami sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan
keputusan pemerintah atau undangundang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena diperintahkan hukum atau karena
tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dalam sistem hukum.
3. Pandangan Filsafat Terhadap Hukum
Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam ruang lingkup
filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang hanya dapat merasa puas
menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu sendiri. Filsafat tidak membatasi
diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal, psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak
hanya mempertanyakan “mengapa” dan “bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga
landasan dari gejala-gejala itu yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia
berupaya merefleksi hubungan teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti
atau dipikirkan.
Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu jawaban.
Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami secara rasional.
Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berfikir, artinya dalam suatu hubungan
dialogikal dengan yang lain ia berupaya merumuskan argumenargumen untuk memperoleh
pengkajian. Berikutnya filsafat menurut hakikatnya bersifat terbuka dan toleran. Filsafat
bukanlah kepercayaan atau dogmatika, jika ia tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan
secara kaku berpegangan pada pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika
kefilsafatan secara praktikal akan menyebabkan kekacauwan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan bagian khusus dari
filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya mempelajari hukum secara
khusus. Sehingga, halhal non hukum menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat
hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya tidak begitu tepat. Filsafat hukum
sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu pembatasan akademik
dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum
itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian terhadap sifat-sifat,
caracara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai
obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan demikian secara
timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling berhubungan. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika,
yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek
tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.
4. Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna
(utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya
penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita
pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga
sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian
hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa
menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa
pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan
bidangbidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan
strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya
lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau
pembentukan undangundang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak
memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam
pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus
dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensidimensi
geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik
hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum
diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang
hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian
hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku
tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan
perasaan keadilan hukum masyarakat.
Pada taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak
akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang
dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun
karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja
dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas
dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari
kesadaran moral tradisional.
A. Keadilan
Keadilan adalah kondisi yang bersifat adil terhadap suatu sifat, perbuatan maupun
perlakuan terhadap sesuatu hal. Dalam arti yang lebih luas Keadilan ialah konsep bahwa
individu harus diberlakukan dengan cara yang setara tidak memihak dan tidak sewenang-
wenang. Sifat dari keadilan ialah tidak dapat dinyatakan seluruhnya dalam satu pernyataan,
karena keadilan merupakan gagasan yang dinyatakan. Sudut pandang kebaikan terhadap
keadilan dapat dalam tingkat pengertian individu hingga ke tingkat negara Nilai keadilan
merupakan salah satu jenis nilai yang menjadi tujuan perwujudan hukum sehingga keadilan
selalu berkaitan dengan hukum.
Di dalam filsafat, keadilan merupakan salah satu persoalan mendasar, Keadilan
merupakan salah satu jenis nilai yang bersifat abstrak sehingga sulit untuk diukur,
Pemahaman akan keadilan hanya dapat diperoleh dengan menjadikannya sebagai
perwujudan hukum. Pemenuhan keadilan menjadi salah satu fungsi dan peranan hukum bagi
masyarakat, Sarana pemenuhan keadilan di masyarakat umumnya melalui sistem peradilan
pidana, Pengaturan keadilan yang bersifat umum maupun individu serta keselarasan
keduanya merupakan peran dari hukum negara. Selain itu, penyebarluasan nilai keadilan
kepada seluruh manusia juga merupakan salah satu misi dari agama. Plato meyakini bahwa
keadilan merupakan pemberian hak yang memang telah dimiliki oleh setiap manusia. Ia
meyakini keadilan di dalam masyarakat tercapai ketika setiap anggota masyarakat
memperoleh haknya. Perolehan hak ini dapat terjadi jika setiap individu di dalam
masyarakat memperoleh kedudukan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Teori keadilan yang dikemukakan oleh Plato mengutamakan keselarasan dan moral. Ia
meyakini bahwa keadilan merupakan substansi rohani yang membentuk dan menjaga
kesatuan lingkungan sosial di dalam masyarakat. Prinsip keselarasan tercapai ketika
masyarakat mengadakan pengaturan bagi anggota masyarakatnya. Keadilan tercapai ketika
setiap orang memperoleh pekerjaan yang sesuai dengannya secara merata.
A. Hukum Dan Kekuasaan
1. Esensi Kekuasaan
Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat,
negara, dan umat manusia. Konsep hubungan sosial itu meliputi hubungan personal di antara
dua insan yang berinteraksi, hubungan institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan
subjek dengan objek yang dikuasainya. Karena kekuasaan memiliki banyak dimensi, maka
tidak ada kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologi, hukum dan kenegaraan
mengenai pengertian kekuasaan.
Max Weber, dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1992) mengemukakan bahwa
“kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan
sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.” Perumusan
kekuasaan yang dikemukakan Weber dijadikan dasar perumusan pengertian kekuasaan oleh
beberapa pemikir lain Misalnya, Strausz-Hupe2 mendefinisikan kekuasaan sebagai
“kemampuan untuk memaksakan kemauan pada orang lain” Demikian pula pengertian yang
dikemukakan oleh C. Wright Mills3 , “kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan
untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang, artinya kekuasaan
mempunyai sifat memaksa”.
Di samping pengertian kekuasaan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak atau
kemauan kepada pihak lain, beberapa pakar mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan
untuk membatasi tingkah laku pihak lain. Harold D.Laswell, dan Abraham Kaplan
mengatakan bahwa “kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau kelompok
orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai tujuan dari
pihak pertama.
Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan negara berkaitan
dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan damai.
Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan masyarakat untuk mengelola dan
mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat
yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat berjalan secara lancar.
Ketidakseimbangan diantara keduanya akan mendorong terjadinya kekuasaan hegemonik di
mana negara sangat kuat dan masyarakat sangat lemah, sehingga tercipta pola hubungan
dominatif dan eksploitatif. Hal ini mengakibatkan negara bukan hanya campur tangan dalam
urusan-urusan kenegaraan dan kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas seluruh tindakan
masyarakat yang sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya.
2. Esensi Hukum
Dalam konteks ini hakekat hukum bisa ditinjau dari empat perspektif, yaitu perspektif
otoritas (wewenang), perspektif substantif, perspektif sosiologis, dan perspektif realis.
Perspektif otoritas merupakan pandangan paham positivisme yang menempatkan keabsahan
hukum pada otoritas pembentukan dan penegakan hukum. Pemikir positivisme yang cukup
berpengaruh, John Austin mengemukakan bahwa hukum adalah seperangkat perintah, baik
langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya
yang merupakan masyarakat politik yang independen, di mana otoritasnya (pihak yang
berkuasa) merupakan otoritas tertinggi).
3. Hubungan Hukum dan Kekuasaan
Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu
sendiri. Menurut Lassalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verfassungswessen,
“konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan
“secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu
Negara”. Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara
merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-
hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan
hukum yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi
struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubunganhubungan kekuasaan antara
lembaga-lembaga negara. Struktur kekuasaan menurut UUD 1945 menempatkan MPR
(Majelis Permusyawaratan Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan
di bawah MPR adalah kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, yaitu presiden, DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung)
dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). UUD 1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasan
pusat dan daerah. Di samping itu, juga dideskripsikan hubungan antara kekuasaan lembaga
tertinggi negara dengan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, hubungan kekuasaan di
antara lembaga-lembaga tinggi negara, dan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.
Hubungan hukum dan kekuasaan antara lain adalah sebagai berikut :
a. Hukum sebagai alat kekuasaan
Penguasa atau kelompok yang memilih kekuasaan politik dapat menggunakan hukum untuk
mengontrol masyarakat atau untuk mempertahankan posisi mereka dalam struktur politik.
b. Hukum sebagai pembatas kekuasaan
Hukum memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan atau melanggar hak-hak
individu atau kelompok tertentu. Hukum memberikan kerangka kerja yang adil dan setara
untuk semua orang.
c. Hukum sebagai penyeimbang kekuasaan
Hukum memberikan mekanisme untuk mengatur dan membatasi tindakan pemerintah, serta
memberikan hak-hak dan perlindungan bagi individu atau kelompok yang tidak memiliki
kekuatan politik yang sama.
d. Hukum sebagai sarana perubahan sosial.
Melalui perubahan hukum, kelompok kelompok yang tidak memiliki kekuasaan politik
dapat mencoba mengubah status dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.
A. Hukum Dan Nilai Sosial Budaya
Hukum dan nilai-nilai sosial budaya merupakan dua konsep yang saling terkait dan saling
mempengaruhi dalam kehidupan suatu masyarakat. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut
mengenai keduanya: Hukum adalah seperangkat aturan dan prinsip yang ditetapkan oleh
otoritas hukum dalam suatu masyarakat. Tujuan hukum adalah untuk mengatur perilaku
individu dan kelompok dalam rangka mencapai keadilan, ketertiban, dan perlindungan hak-
hak. Hukum berfungsi sebagai kerangka kerja yang memberikan batasan dan konsekuensi
bagi pelanggarannya.
Nilai sosial budaya mencakup keyakinan, norma, dan etika yang dipegang oleh suatu
masyarakat. Nilai-nilai ini membentuk pandangan dan sikap masyarakat terhadap berbagai
hal, seperti moralitas, agama, keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Nilai sosial budaya
dapat membentuk identitas dan perilaku individu serta memengaruhi keputusan dan tindakan
dalam kehidupan sehari-hari.
Hubungan antara hukum dan nilai sosial budaya: Hukum dan nilai sosial budaya saling
mempengaruhi satu sama lain. Nilai sosial budaya dapat mempengaruhi pembentukan
hukum, karena hukum sering kali mencerminkan nilai-nilai yang dianggap penting oleh
masyarakat. Di sisi lain, hukum juga dapat memengaruhi dan mengubah nilai-nilai sosial
budaya dengan mengatur perilaku masyarakat melalui aturan dan sanksi
Selain itu, terdapat juga situasi di mana hukum dan nilai sosial budaya dapat saling
bertentangan. Ketika hukum tidak sejalan dengan nilai-nilai sosial budaya yang dipegang
oleh masyarakat, hal ini dapat menimbulkan konflik dan perdebatan mengenai validitas dan
penerapan hukum tersebut. Pada saat yang sama, perubahan nilai sosial budaya juga dapat
mendorong perubahan dalam hukum, seperti pengakuan hak-hak LGBT+, perubahan dalam
isu-isu pernikahan, dan perlindungan lingkungan.
Penting untuk diingat bahwa hukum dan nilai sosial budaya dapat berbeda dalam setiap
masyarakat dan budaya yang berbeda. Pengaruh dan hubungan antara keduanya dapat
beragam tergantung pada faktor-faktor seperti sejarah, agama, politik, dan konteks sosial
budaya yang spesifik.
Hubungan antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya sangat erat. Nilai-nilai sosial budaya
mencerminkan keyakinan, norma, dan etika yang berlaku dalam suatu masyarakat,
sedangkan hukum berfungsi sebagai aturan yang mengatur perilaku masyarakat tersebut.
Berikut ini adalah beberapa poin yang berkaitan dengan hubungan antara hukum dan nilai-
nilai sosial budaya:
a. Hukum sebagai cermin nilai-nilai sosial budaya: Hukum sering kali mencerminkan nilai-
nilai sosial budaya suatu masyarakat. Nilai-nilai seperti keadilan, kesetaraan, kebebasan,
dan keamanan sering kali tercermin dalam hukum yang berlaku. Hukum juga dapat
mencerminkan norma-norma sosial yang dianut oleh masyarakat, seperti norma-norma
agama atau tradisi budaya.
b. Pengaruh nilai-nilai sosial budaya terhadap hukum: Nilai-nilai sosial budaya dapat
mempengaruhi pembentukan hukum. Nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat
cenderung diwujudkan dalam bentuk peraturan hukum. Contohnya, jika suatu masyarakat
menganut nilai-nilai keadilan yang tinggi, hukum yang dihasilkan akan cenderung
memperjuangkan keadilan tersebut.
c. Perubahan nilai-nilai sosial budaya dan hukum: Perubahan nilai-nilai sosial budaya dapat
mempengaruhi perubahan dalam hukum. Ketika nilai-nilai sosial budaya berubah,
masyarakat dapat menuntut perubahan dalam hukum untuk mencerminkan nilai-nilai baru
tersebut. Misalnya, perubahan pandangan masyarakat terhadap hak-hak LGBT+ telah
mempengaruhi perubahan hukum terkait pernikahan dan perlindungan hak-hak mereka di
beberapa negara.
d. Konflik antara nilai-nilai sosial budaya dan hukum: Terkadang, terdapat konflik antara
nilai-nilai sosial budaya dan hukum yang berlaku. Nilai-nilai sosial budaya yang dianut
oleh sebagian masyarakat tidak selalu sejalan dengan hukum yang berlaku. Konflik
semacam ini dapat memicu perdebatan dan perubahan dalam hukum.
Hubungan antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya tidaklah statis dan dapat berubah
seiring waktu. Nilai-nilai sosial budaya dapat mempengaruhi hukum, namun hukum juga
dapat mempengaruhi perubahan nilai-nilai sosial budaya. Selain itu, hubungan ini dapat
bervariasi dalam berbagai negara dan budaya yang berbeda.

PERTEMUAN KE 10 – 11
A. ARTI KEBENARAN
Menyoal dan membahas pengertian kebenaran, akan mengantarkan pada kajian
kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak dan relatif sifatnya. Untuk mengatakan sesuatu itu
benar, tergantung dari sudut mana orang melihatnya. Pada uraian sebelumnya telah
dikatakan bahwa pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya, karena
sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metaisika tentu tidak
sama dengan pengetahuan tentang alam isik. Alam isik pun memiliki perbedaan ukuran
kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.
Menurut Abbas Hamami Mintaredja, kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu
kata benda yang konkret maupun yang abstrak. Jika subjek hendak menuturkan kebenaran
artinya proposisi yang benar. Proposisi maksudnya makna yang dikandung dalam
pernyataan atau statement. Jika subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu
pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Hal yang demikian
karena kebenaran tidak dapat begitu saja dari kualitas, sifat hubungan dan nilai itu sendiri.
Meskipun pada tahap awalnya, seperti juga pada kebanyakan tahap tahap lain, filsafat
berkembang berdasarkan anggapan bahwa ada kebenaran yang harus ditemukan, anggapan
ini kemudian ditentang oleh kaum Sofis Yunani. Protagoras berpendapat bahwa kebenaran
adalah relatif. Apakah berkaitan dengan individu atau spesies tidak jelas dari anggapan ini;
tetapi pandangan Relativisme telah memberikan pengaruh yang berarti dalam sejarah
Filsafat.
dalam pandangan thomas Aqinas, bersama dengan kaum Skolastik pada umumya
mendeinisikan kebenaran sebagai adequatio rei et intellectus (kesesuaian, kesamaan pikiran
dengan hal, benda). Kebenaran dianggap sebagai istilah transendental yang mengenai pada
semua yang ada, arti tertentu kebenaran bukanlah suatu pernyataan tentang cara hal-hal
berada tetapi melulu hal-hal itu sendiri. Dan karena Allah adalah kebenaran-Nya sendiri,
ide-ide dalam pikiran Ilahi adalah benar, entah ide-ide itu berkorespondensi dengan apa pun
di luar Allah (yaitu keadaan dunia yang sekarang) atau tidak.
Dalam konteks menyempurnakan dan/atau memberikan perbandingan tentang kebenaran
dalam perspektif mutlak dan relatif dalam sifatnya, berikut beberapa pandangan para ilsuf
tentang apa itu kebenaran:
1. Plotinos beranggapan bahwa kebenaran menuntut suatu identitas (kesamaan) antara
pemikiran dan hal. Dengan demikian, ia meninggalkan teori korespondensi dan memasuki
teori identitas tentang kebenaran.
2. Carneades, Filsuf Buddhis, Nagarjuna, mengemukakan bahwa kebenaran mempunyai dua
aspek. Yang satu empiris dan merupakan tampakan semata, sedangkan yang lain absolut dan
mengatasi akal budi.
3. Hobbes memandang kebenaran sebagai pengaturan namanama dengan tepat. Benar dan
salah, pada hematnya, merupakan atributatribut dari ucapan, bukan dari halhal. Itulah
sebabnya orang yang bernalar secara tepat dengan katakata tak akan jatuh ke dalam
kekeliruan.
4. Spinoza mengemukakan bahwa kebenaran mempunyai standarnya sendiri. Sebagaimana
terang menyingkapkan baik dirinya sendiri dan kegelapan. Begitu pula “kebenaran adalah
standar untuk dirinya sendiri dan kesalahan.”
5. Leibniz membedakan antara kebenaran akal dan kebenar an fakta. Yang terdahulu
berlandaskan prinsip identitas, dan yang belakangan prinsip alasan yang mencukupi. Yang
terdahulu niscaya, dan yang belakangan kontingen. Pembedaan dewasa ini dinamakan
pembedaan analitiksintetik.
6. Locke sambil meneruskan tradisi teori korespondensi, melanjutkan pembedaan dari
Leibniz atas tipetipe kebenaran. Ia membedakan antara kebenaran kata (berdasarkan
kesesuaian ideide) dan kebenaran pemikiran (berdasarkan kesesuaian ideide dengan halhal).
Ditegaskan pula, kebenaran dan kesalahan berpautan dengan proposisiproposisi dan bukan
dengan ideide sendirisendiri.
7. Hume menggunakan terminologi yang berbeda untuk perbedaan analitiksintetik, dengan
memisahkan matters of fact (fakta) dari relasi ideide.
8. Kant beranggapan bahwa kebenaran berhubungan dengan putusanputusan Ia
menambahkan putusan sintetik priori kepada pembedaan analitik sintetik yang tengah
berkembang.
9. Hegel membedakan antara kebenaran formal dan historis. Yang pertama bertalian dengan
matematika, dan yang kedua keberadaan yang konkret. Ia juga berbicara tentang kebenaran
absolut sebagai sintesis terakhir dari faktorfaktor universal dan individual, abstrak, dan
konkret.
10. Kierkegaard, yang menentang Hegel, membedakan antara kebenaran sebagai
apropsiasi subjektif dan sebagai aproksimasi objektif (penghampiran objektif). Dengan
anggapan bahwa pendekatan yang kedua menuju kepada aproksimasi yang tak ada akhirnya,
ia mendukung pendekatan yang pertama. Dia menyatakan bahwa dalam arti lebih dalam
kebenaran adalan subjektif.
11. Peirce, pendiri pragmatisme, mendefenisikan kebenaran sebagai kepercayaan yang
dipeluk oleh persekutuan peneliti dalam jangka panjang—setelah suatu rangkaian penelitian
yang tak tertentu panjangnya. Pasangan objektif kepercayaan atau keyakinan ini adalah yang
real. Oleh karena itu, kebenaran merupakan hasil penelitian.
12. Pandangan William James mungkin lebih umum dipandang sebagai doktrin pragmatik
tentang kebenaran dibandingkan dengan kebenaran Peirce. Dia memandang kebenaran
sebagai apa saja yang menempatkan orang ke dalam hubungan yang memuaskan dengan
dunia. Kebenaran adalah sesuatu yang layak dan berguna dalam jalan keyakinan
sebagaimana kejujuran merupakan sesuatu yang layak dan berguna dalam cara membawa
diri. Kebenaran dapat berubah maupun maju terus.
13 Bertrand Russel beranggapan bahwa kebenaran harus ditafsir sebagai korespondensi
antarproposisi atau kalimat dan fakta. Dalam Atomisme logisnya korespondensi ini
merupakan segi utama kenyataan.
14. G.E Moore memandang kebenaran sebagai korespondensi antara keyakinan dan fakta.
Jika keyakinan benar, dalam alam raya terdapat fakta yang menjadi padanan keyakinan. Jika
keyakinan salah, tidak terdapat fakta seperti itu.
15. Bagi Heidgger, kebenaran ditemukan oleh individu dalam keterbukaan terhadap hal
yang dimungkinkan oleh kebebasan.
16. Strawson menolak analisis metalinguistik yang diperkenalkan oleh Tarski dan
menggantinya dengan teori perf ormatif. Karena, menurut Strawson, benar dan salah bu
kanlah istilahistilah deskriptif bila kita berkata bahwa suatu pernyataan benar, kita hanya
menyingkapkan persetujuan kita terhadap pernyataan itu.

B. TEORI - TEORI KEBENARAN


1. Teori Kebenaran Koresponsden (The Corresponsdence Theory of Truth atau The
Accordance of Truth)
Menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu keadaan benar itu terbukti benar bila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang
dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Masalah kebenaran menurut teori
ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat)
dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek
(pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar. Kebenaran adalah
kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan
sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
a) Pernyataan (statement)
b) Persesuaian (agreemant)
c) Situasi (situation)
d) Kenyataan (reality)
e) Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori
ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, Aristoteles dan Moore dikembangkan lebih
lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada
abad moderen.
1. Teori Kebenaran Koherensi atau Konsistens (The Consistence Theory of Truth atau The
Coherence Theory of Truth)
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu
dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan
atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan
subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya.
Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali
berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
2. Teori Kebenaran Pragmatism (The Pragmatic Theory of Truth)
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode
project atau metode problem Solving dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya
jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika
mengmbalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan
kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam
keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-
tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu
menjadi lebih jelas d an mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini
salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu
benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau
dalil itu memliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat
dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena
itu tidak ada kebenaran yang multak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibatnya.
3. Teori Kebenaran Berdasarkan Arti
Teori ini dianut oleh paham Filsafat analitika bahasa yang dikembangkan pasca Filsafat
Betrand Russel sebagai toko pemula dari Filsafat analitika bahasa. Menurut Abbas Ha mami,
dengan teori ini proposisi itu ditinjau dari segi artinya dan maknanya. Apakah proposisi
yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori
ini mempunyai tugas untuk menguakkan ke sahan dari proposisi dan referensinya. Contoh
kata ilsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan
kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi benar. Jika tidak
mempunyai referensi yang benar, maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah.
4. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang di antara Filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap
pemakaian gramatika. Para penganut teori ini berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis
atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan memiliki benar apabila pernyataan itu
mengikuti aturanaturan sintaksis yang baku. Dengan kata lain, apabila proposisi itu tidak
mengikuti syarat atau keluar dari hal yang diisyaratkan, maka proposisi tidak mempunyai
arti. Jika kalimat tidak ada subjek, maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan
kalimat. Misalnya “semua korupsi“, ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya.
5. Teori Kebenaran Non-Diskrepsi
Teori ini dikembangkan oleh penganut Filsafat fungsionalisme karena pada dasarnya suatu
statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan
fungsi dari pernyataan itu. Jadi pengetahuan akan memiliki nilai benar sejauh pernyataan itu
memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan seharihari.
6. Teori Kebenaran Logis yang Berkelebihan (Logical Superluity of Truth)
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Menurut teori ini
problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini merupakan suatu
pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki
derajat logis yang sama yang masingmasing saling melingkupinya. Dengan demikian,
sesungguhnya setiap proposisi mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama
dan semua sepakat, maka apabila kita membuktikannya lagi, karena pada dasarnya lingkaran
adalah satu garis yang sama jaraknya dari titik yang sama, sehingga berupa garis yang bulat.
Dari kajian teori tentang kebenaran sebagaimana diuraikan di atas, maka kriteria tentang
kebenaran dapat dilihat pada halhal berikut:
a) Adanya kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyat aan lain sebelum yang
diketahui, diterima serta diakui.
b) Adanya kesesuaian antara pernyataan dengan fakta atau kenyataan
c) Apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.
d) Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan arti dan maknanya.
e) Apakah pernyataan tersebut merupakan suatu pernyataan menurut tata bahasa atau aspek
gramatikalnya.
f) Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan peran dan fungsinya.
g) Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan suatu keadaan yang logis.
C. HUBUNGAN HUKUM, ILMU DAN KEBENARAN
Berbicara tentang hubungan hukum dan kebenaran, akan dimulai dengan membincangkan
dan mendiskusikan ilmu dan kebenaran ditinjau dari sudut epistemologis, maka itu berarti
kajian yang akan dilakukan terhadap kebenaran dalam hubungannya dalam pengetahuan
manusia. Menurut Hartono Kasmadi dkk, bahwa cara untuk menemukan kebenaran dapat
dilakukan dengan cara:
Pertama, penemuan secara kebetulan, yaitu pertemuan yang berlangsung tanpa disengaja.
Kedua, penemuan coba dan ralat (trial and error), yaitu suatu penemuan tanpa adanya
kepastian akan berhasil atau tidak berhasil bagi kebenaran yang akan dicari. Jadi di sini ada
aktivitas untuk mencari kebenaran, akan tetapi aktivitas itu mengandung unsur spekulatif
atau untunguntungan.
Ketiga, penemuan melalui otoritas atau kewajiban, yaitu penemuan melalui para pemegang
otoritas dan orangorang yang berwibawa.
Keempat, penemuan secara spekulatif yaitu penemuan yang hampir sama dengan coba dan
ralat (trial and error), namun pada penemuan spekulatif ini ada beberapa alternatif, di mana
salah satu alternatif yang dipilih, namun masih tetap tidak yakin terhadap keberhasilannya.
Kelima, penemuan melalui cara berpikir kritis dan rasional, yaitu menemukan kebenaran
cara berpikir dan menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki
untuk sampai pada pemecahan yamg tepat. Cara berpikir yang ditempuh pada tingkat
permulaan dalam memecahkan masalah adalah dengan cara berpikir analitis dan cara
berpikir sintesis.
Keenam, penemuan melalui penelitian ilmiah dengan menggunakan metode tertentu,
universal, objektif, serta dengan menggunakan prosedur tertentu.
Adapun menurut Tim Dosen ilsafat ilmu, Fakultas Filsafat Ilmu Universitas
Yogyakarta, kebenaran itu dapat dibedakan ke dalam tiga hal yaitu:
1. Kebenaran Berkaitan dengan Kualitas Pengetahuan
Kebenaran yang berkaitan dengan kualitas ilmiah yaitu setiap pengetahuan yang dimiliki
oleh seseorang yang mengetahui suatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun.
Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa:
a. Pengetahuan biasa atau yang disebut knowledge of the man in the street atau ordinary
knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran
yang sifatnya subjektif, artinya amat terkait pada subjek yang mengenal. Dengan demikian,
pengetahuan tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh
pengetahuan yang bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
b. Pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesiik
dengan menerapkan atau hampiran metodologis yang khas pula, artinya me todologis yang
telah mendapatkan kesepakatan di antara ahli yang sejenis. Kebenaran yang terkandung da
lam pengetahuan yang bersifat relatif, maksudnya kan dungan kebenaran dari jenis
pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi, yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan
yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu
mengalami pembaruan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapat
persetujuan para ilmuwan sejenis.
c. Pengetahuan ilsafat, jenis pengetahuan yang pendekatan nya melalui metodologi
pemikiran ilsafat, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran yang
analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan isafat
adalah absoluteintersubjektif. Maksudnya nilai kebenaran yang terkan dung dalam
pengetahuan filsafat selalu merupakan pend apat yang selalu melekat pada pandangan
filsafat dari seseorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari ilsuf
kemudian yang menggunakan metodologi yang sama pula. Jika pendapat filsafat itu ditinjau
dari sisi lain, artinya dengan pendekatan filsafat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya
akan berbeda atau bahkan bertentangan atau menghilangkan sama sekali.
d. Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam penget ahuan agama. Pengetahuan
agama memiliki sifat dogmatis, artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh
keyakinan yang tela tertentu, sehingga pernyataan dalam ayat kitab suci agama memiliki
nilai keb enaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Implikasi
makna dari kandungan kitab suci itu dapat berkembeng secara dinamis sesuai den gan
perkembangan waktu, tetapi kandungan dari ayat kitab suci itu tidak dapat diubah dan
sifatnya absolut.
2. Kebenaran Dikaitkan dengan Sifat atau Karakteristik dari Bagaimana Cara atau dengan
Alat Apakah Seseorang Membangun Pengetahuan.
Kebenaran yang dikaitkan dengan sifat dan karakteristik bagaimana cara atau dengan alat
apakah seseorang membangun pengetahuan apakah ia membangunnya dengan pengindra an
atau sense experience, atau dengan alat pikir atau rasio, intuisi, atau keyakinan. Implikasi
dari pembangunan alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu mengakibatkan
karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pe ngetahuan akan memiliki cara tertentu
untuk membuktikannya, artinya jika seseorang membangunnya melalui indra atau sense
experience, pada saat ia membuktikan kebenaran pengetahuan harus melalui indra pula,
begitu juga dengan cara yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan kandungan
kebenaran yang dibangun oleh intuitif, dibuktikan dengan cara lain, seperti cara indriawi
misalnya.
3. Kebenaran yang Dikaitkan Atas Ketergantungan Terjadinya Pengetahuan
Artinya bagaimana relasi antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk
membangun pengetahuan, subjek dan objeknya. Jika subjek yang berperan, maka jenis
pengetahuan itu mangandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif artinya nilai kebenaran
dari pengetahuan yang di kandungnya amat tergantung pada subjek yang memiliki
pengetahuan itu. Atau jika objek amat berperan, maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan
tentang alam atau ilmu ilmuan.
Dari berbagai pandangan yang dikemukakan di atas, maka kajian epistemologis ilsafat ilmu
tentang kebenaran yang mengaitkannya dengan pengetahuan manusia menunjuk bah wa
sebenarnya kebenaran yang dihasilkan melalui suatu ilmu sangat tergantung pada kualitas
pengetahuan, apakah pengetahuan itu sebagai suatu pengetahuan biasa (knowledge of the
man street atau ordinary atau Common sense, sebagai pengetahuan ilmiah, sebagai
pengetahuan ilsafat, atau pengetahuan yang memiliki nilainilai agama), sifat atau
karakteristik tentang cara atau alat yang digunakan untuk membangun pengetahuannya atau
adanya ketergantungan bagi terjadinya pengetahuan itu.
Bentuk pengetahuan manusia yang digunakan untuk mengkaji kebenaran suatu objek
sebagaimana yang diuraikan di atas, menunjukkan bahwa kebenaran sesungguhnya relatif.
Kerelatifan kebenaran itu tergantung pada sudut penget ahuan yang dimiliki manusia untuk
menilai objek yang bersangkutan.
Namun jika kebenaran itu merupakan hasil kajian ilmu, maka objek harus memiliki kriteria
sasuai dengan apa yang diketahui, dapat diterima dan diakui, sesuai dengan fakta dan
kenyataan, bersifat fungsional dalam kehidupan manusia, sesuai dangan arti dan maknanya,
sesuai dengan peran dan fungsinya, atau sesuai dengan suatu keadaan yang logis. Dengan
kata lain, nilai kebenaran melalui kajian ilmu haruslah realistis dan terbuka untuk dilakukan
pengkajian kembali.
Kebenaran mutlak yang sesungguhnya dipahami sebagai hukum yang juga mutlak sifatnya
tidak akan mudah diimplementasikan menjadi hukum dalam realitas sesungguhnya. Artinya
hukum yang mutlak sifatnya tidak dapat dituangkan dalam hukum yang akan mengatur
kehidupan masyarakat. Begitu pula kebenaran yang relatif sifatnya. Pendekatan
epistemologi yang digunakan untuk menguraikan ketertautan hukum dengan suatu realitas
yang akan diwujudkan dalam kaidah, norma, dan/atau hukum akan mengalami hambatan
dalam perwujudannya sebagai hukum.
Hal ini tentunya tidaklah mengherankan karena nilai kebenaran yang dikandung atau yang
dituangkan dalam suatu norma hukum (di dunia) sangatlah fleksibel dalam merespons nilai
kepentingan yang ada di sekelilingnya, sehingga keb enaran yang dikandungnya adalah
kebenaran relatif dan/ atau ketidakbenaran

PERTEMUAN KE 12
A. Pengertian teori hukum

Teori hukum pertama kali diperkenalkan pada tahun 1926 yang kemudian berkembang pada
tahun 1930-an, hal ini dibahas dalam buku Teori Hukum karya Abintoro Prakoso yang juga
membahas hal penting mengenai teori hukum yang harus kamu ketahui. erdasarkan
pengertian dan pendapat dari para ahli diatas, dapat dirumuskan disiplin dari teori hukum
menjadi tiga, sebagai berikut.
 Teori hukum memiliki pengertian yang sama dengan filsafat hukum.
 Teori hukum memiliki pengertian yang berbeda dengan filsafat hukum
 Teori hukum merupakan sinonim dari ilmu hukum.
Dari penjelasan yang ada di atas tersebut, Lili Rasjidi serta Ira Thania Rasjidi melakukan
usaha dalam membedakan antara teori hukum dengan filsafat hukum. Pengertian dari teori
hukum menurut mereka adalah ilmu yang mempelajari pengertian pokok serta sistem yang
ada dari hukum.Pengertian pokok tersebut dapat berupa subjek hukum, perbuatan hukum,
serta hal lain yang memiliki definisi yang sifatnya umum serta teknis. Pengertian pokok
tersebut sangatlah penting agar dapat memahami sistem hukum secara umum dan juga
sistem hukum positif.Selanjutnya, mereka juga menjelaskan mengenai teori hukum yang
merefleksikan objek serta metode dari berbagai bentuk pada ilmu hukum.
Teori hukum sendiri terbagi menjadi dua pandangan besar yang sifatnya saling bertolak
belakang namun berada dalam satu realitas. Penjelasan mengenai kedua pandangan tersebut
sebagai berikut.
 Pertama, pandangan yang didukung oleh tiga argumen yang menyatakan bahwa hukum
sebagai suatu sistem yang memiliki prinsip dapat diprediksi dari pengetahuan yang tepat
mengenai kondisi sistem tersebut sekarang, perilaku sistem tersebut kemudian ditentukan
oleh berbagai bagian terkecil yang ada di dalam sistem tersebut dan teori hukum dapat
menjelaskan mengenai persoalan sebagaimana adanya tanpa memiliki kaitan dengan orang
atau pengamat. Hal tersebut menggambarkan pandangan mengenai teori hukum yang
bersifat deterministik, reduksionis, serta realistik.
 Kedua, pandangan yang menyatakan mengenai hukum yang bukan suatu sistem teratur
tetap melainkan sebagai suatu hal yang memiliki kaitan dengan ketidakberaturan, tidak dapat
diprediksi, serta hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi seseorang atau pengamat dalam
memaknai arti dari hukum tersebut. Pandangan tersebut sendiri banyak dikemukakan oleh
orang-orang yang memiliki aliran sosiologis serta post-modernis, dimana pada umumnya
memandang bahwa segala hal mengalami perubahan di setiap waktu, baik dalam ukuran
kecil maupun besar, serta evolutif ataupun revolusioner.
B. Teori-teori Hukum
1. Negara Hukum

Istilah negara hukum merupakan terjemahan dari istilah “rechtsstaat”. Istilah lain yang
digunakan dalam alam hukum Indonesia adalah the rule of law, yang juga digunakan untuk
maksud “negara hukum”. Notohamidjojo menggunakan kata-kata “...maka timbul juga
istilah negara hukum atau rechtsstaat.”Djokosoetono mengatakan bahwa “negara hukum
yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab kalau kita hilangkan
democratische rechtsstaat, yang penting dan primair adalah rechtsstaat.”
Sementara itu, Muhammad Yamin menggunakan kata negara hukum sama dengan
rechtsstaat atau government of law, sebagaimana kutipan pendapat berikut ini: “polisi atau
negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula
negara Republik Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat, government of law) tempat
keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga
senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang.”(kursifpenulis).”
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dalam literature hukum Indonesia, selain istilah
rechtsstaat untuk menunjukkan makna Negara hukum, juga dikenal istilah the rule of law.
Namun istilah the rule of law yang paling banyak digunakan hingga saat ini.
Menurut pendapat Hadjon,kedua terminologi yakni rechtsstaat dan the rule of law tersebut
ditopang oleh latar belakang sistem hukum yang berbeda. Istilah Rechtsstaat merupakan
buah pemikiran untuk menentang absolutisme, yang sifatnhya revolusioner dan bertumpu
pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law. Sebaliknya, the rule of law
berkembang secara evolusioner, yang bertumpu atas sistem hukum common law. Walaupun
demikian perbedaan keduanya sekarang tidak dipermasalahkan lagi, karena mengarah pada
sasaran yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Meskipun terdapat perbedaan latar belakang paham antara rechtsstaat atau etat de droit dan
the rule of law, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran istilah “negara hukum” atau
dalam istilah Penjelasan UUD 1945 disebut dengan “negara berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat)”, tidak terlepas dari pengaruh kedua paham tersebut. Keberadaan the rule of
law adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Pemerintah juga dilarang
menggunakan privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan hukum biasa. Paham negara
hukum (rechtsstaat atau the rule of law), yang mengandung asas legalitas, asas pemisahan
(pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut, kesemuanya
bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari kemungkinan bertindak
sewenang-wenang, tirani, atau penyalahgunaan kekuasaan. Pada zaman modern, konsep
Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu
“rechtsstaat‟. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum
dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut
Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah „rechtsstaat‟ itu
mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum
yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip „rechtsstaat‟ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip „Rule of Law‟ yang dikembangkan oleh
A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan,
oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah
lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of
judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The
International Commission of Jurists” itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan
negara hukum materiel atau Negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut
pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-
undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih
mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman
dalam bukunya „Law in a Changing Society‟ membedakan antara „rule of law‟ dalam arti
formil yaitu dalam arti „organized public power‟, dan „rule of law‟ dalam arti materiel yaitu
„the rule of just law‟.
Pembedaan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu,
keadilan tidak serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang
mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan
dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materiel. Jika hukum dipahami secara
kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian
negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu
menjamin keadilan substantive. Karena itu, di samping istilah „the rule of law‟ oleh
Friedman juga dikembangikan istilah „the rule of just law‟ untuk memastikan bahwa dalam
pengertian kita tentang „the rule of law‟ tercakup pengertian keadilan yang lebih esensiel
daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit.
Kalaupun istilah yang digunakan tetap „the rule of law‟, pengertian yang bersifat luas itulah
yang diharapkan dicakup dalam istilah „the rule of law‟ yang digunakan untuk menyebut
konsepsi tentang Negara hukum di zaman sekarang.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, terdapat dua-belas prinsip pokok Negara Hukum
(Rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua-belas prinsip pokok tersebut
merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga
dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti
yang sebenarnya.
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law); Adanya pengakuan normatif dan empirik akan
prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai
pedoman tertinggi.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law); Adanya persamaan kedudukan
setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan
dilaksanakan secara empirik.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law); Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan
berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala
tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan
tertulis.
4. Pembatasan Kekuasaan; Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organorgan Negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
kekuasaan secara horizontal.
5. Organ-Organ Eksekutif Independen; Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman
sekarang berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang bersifat
„independent‟, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu, ada pula lembagalembaga baru seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemilihan Umum, lembaga Ombudsman, Komisi Penyiaran, dan lain sebagainya. Lembaga,
badan atau organisasi-organisasi ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam
kekuasaan eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi
sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan
pengangkatan ataupun pemberhentian pimpinannya. Independensi lembaga atau organ-organ
tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena fungsinya dapat
disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak; Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak
(independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus
ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi).
7. Peradilan Tata Usaha Negara; Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut
prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai
pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum,
harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative
court) oleh pejabat administrasi negara.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court); Di samping adanya pengadilan tata usaha
negara yang diharapkan memberikan jaminan tegaknya keadilan bagi tiap-tiap warga negara,
Negara Hukum modern juga lazim mengadopsikan gagasan pembentukan mahkamah
konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia; Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi
manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai
ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis.
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat); Dianut dan dipraktekkannya
prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah
masyarakat.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat);
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial; Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka
terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan
kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam
rangka menjamin keadilan dan kebenaran.

Sementara itu, cita Negara Hukum di Indonesia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasal-
pasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara
eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide „rechtsstaat‟,
bukan „machtsstaat‟.
Guna menjamin tertib hukum, penegakan hukum, dan tujuan hukum, fungsi kekuasaan
kehakiman atau lembaga peradilan berperan penting, terutama fungsi penegakan hukum dan
fungsi pengawasan. Dalam penegakan hukum atau pelaksanaan hukum sering merupakan
penemuan hukum atau pembentukan hukum.
Fungsi lain yang juga sangat penting adalah fungsi pengawasan dari lembaga peradilan.
Dalam negara hukum moderen, kekuasaan pemerintah sangat luas, terutama dengan adanya
delegasi dari pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk membuat peraturan
pelaksanaan, dan freies Ermessen. Dengan demikian peran pembentuk undang-undang
berkembang, dari pembentuk normanorma menjadi pembentuk undang-undang yang
memberikan wewenang kepada pemerintah. Oleh karena itu menurut Lunshof, harus ada
pengawasan pengadilan terhadap pelaksanaan pemerintahan. Pengawasan dimaksud adalah
pengawasan represif melalui lembaga peradilan.
Salah satu lembaga peradilan tersebut adalah Badan Peradilan Tata Usaha Negara yang
dibentuk dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, dengan fungsi yang dijalankan
peradilan, yaitu untuk menjamin tertib hukum, penegakan hukum, dan pencapaian tujuan
hukum, ketertiban dan keadilan sosial bagi seluruh warga negara. Berkaitan dengan
pelaksanaan Putusan (Eksekusi) Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta perkara No :
10/G/2010/PTUN-YK dalam sengketa Kepegawaian perlu adanya pelaksanaan fungsi
peradilan tersebut serta pengawasan terhadap pelaksanaan Putusan tersebut agar tercapainya
tujuan hukum serta pengawasan terhadap Keputusan Pemerintah atau Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara agar tercapai keadilan bagi pencari keadilan yang merasa dirugikan atas
KTUN tersebut, dari teori-teori yang berkembang dapat ditemukan konsepsi negara hukum
khususnya Hukum Administrasi Negara yang diharapkan dapat mengawasi dan membatasi
tindakan hukum Pemerintah (dalam arti luas) yang selanjutnya dalam Hukum Administrasi
Negara dikenal istilah tindakan Hukum Administrasi (administratieve rechtshandeling) serta
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dinilai cacat, keliru, sewenang-wenang, atau
tidak sesuai dengan Undang-undang serta Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.
2. Keadilan
1. Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah tidak
sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil terutama mengandung arti
bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada
dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu
belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu
keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala
keadilan diakui. Skala keadilan sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, setiap skala
didefinisikan dan sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan ketertiban umum
dari masyarakat tersebut.
Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima tersebut terkandung nilai-nilai yang
merupakan tujuan dalam hidup bersama.Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh
hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara,
serta hubungan manusia dengan Tuhannya.
Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan
dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu mewujudkan
kesejahteraan seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya.
Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara
sesama bangsa didunia dan prinsip-prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama
dalam suatu pergaulan antarbangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan
bagi setiap bangsa, perdamaian abadi, serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).
2. Keadilan Menurut Filsuf
a. Teori Keadilan Aristoteles
Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan pemikiran
pemikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum
(hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain
keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai
keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai
keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu
menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran
keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles
memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia
disamakan dalam satu unit. Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian
kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya,
sesuai kemampuan dan prestasinya

b. Teori Keadilan John Rawls

Menurut John Rawls, keadilan adalah fairness (justice as fairness). Pendapat John Rawls ini
berakar pada teori kontrak sosial Locke dan Rousseau serta ajaran deontologi dari Imanuel
Kant. Beberapa pendapatnya mengenai keadilan adalah sebagai berikut:
1. Keadilan ini juga merupakan suatu hasil dari pilihan yang adil. Ini berasal dari anggapan
Rawls bahwa sebenarnya manusia dalam masyarakat itu tidak tahu posisinya yang asli, tidak
tahu tujuan dan rencana hidup mereka, dan mereka juga tidak tahu mereka milik dari
masyarakat apa dan dari generasi mana (veil of ignorance). Dengan kata lain, individu dalam
masyarakat itu adalah entitas yang tidak jelas. Karena itu orang lalu memilih prinsip
keadilan.
2. Keadilan sebagai fairness menghasilkan keadilan prosedural murni. Dalam keadilan
prosedural murni tidak ada standar untuk menentukan apa yang disebut “adil” terpisah dari
prosedur itu sendiri. Keadilan tidak dilihat dari hasilnya, melainkan dari sistem (atau juga
proses) itu sendiri.
3. Dua prinsip keadilan. Pertama, adalah prinsip kebebasan yang sama sebesar- besarnya
(principle of greatest equal liberty). Prinsip ini mencakup:
a. Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan
diri dalam pemilihan);
b. Kebebasan berbicara ( termasuk kebebasan pers);
c. Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama);
d. Kebebasan menjadi diri sendiri (person)
e. Hak untuk mempertahankan milik pribadi. Kedua, prinsip keduanya ini terdiri dari dua
bagian, yaitu prinsip perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil
atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity). Inti prinsip pertama adalah
bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosio-ekonomis dalam
prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan
unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sedang istilah yang paling kurang
beruntung (paling kurang diuntungkan) menunjuk pada mereka yang paling kurang
mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.
Dengan demikian prinsip perbedaan menurut diaturnya struktur dasar masyarakat adalah
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan,
pendapatan, dan otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang
diuntungkan.
c. Teori Keadilan Thomas Hobbes
Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah
didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa keadilan atau rasa keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan
antara dua pihak yang berjanji. Perjanjian disini diartikan dalam wujud yang luas tidak
hanya sebatas perjanjian dua pihak yang sedang mengadakan kontrak bisnis, sewa-
menyewa, dan lain-lain. Melainkan perjanjian disini juga perjanjian jatuhan putusan antara
hakim dan terdakwa, peraturan perundang- undangan yang tidak memihak pada satu pihak
saja tetapi saling mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan publik.
d. Teori Keadilan Roscoe Pound
Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada
masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan
kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil- kecilnya. Pound
sendiri mengatakan, bahwa ia sendiri senang melihat “semakin meluasnya pengakuan dan
pemuasan terhadap kebutuhan, tuntutan atau keinginan-keinginan manusia melalui
pengendalian sosial; semakin meluas dan efektifnya jaminan terhadap kepentingan sosial;
suatu usaha untuk menghapuskan pemborosan yang terus-menerus dan semakin efektif dan
menghindari perbenturan antara manusia dalam menikmati sumber-sumber daya, singkatnya
social engineering semakin efektif”.
e. Teori Keadilan Hans Kelsen
Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang dibawah
lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dan subur. Karena keadilan
menurutnya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi –
keadilan toleransi.
3. Demokrasi

Satu hal yang perlu dipahami bahwa sebagai suatu faham ”demokrasi bersifat netral”,
dengan demikian keberadaannya sangat bergantung pada terpenuhinya indikator-indikator
demokrasi yang “standar” baik pada tataran kebijakan, tataran implementasi, maupun pada
tataran kultural yang selalu mensyaratkan adanya mekanisme check and balances (saling
kontrol dan saling mengimbangi) di antara suprastruktur dan antara suprastruktur dengan
infrastruktur politik. Sebagai ajaran universal, demokrasi paling tidak ditunjukkan oleh lima
prinsip utama.
1. adanya hak yang sama dan tidak diperbedakan antara rakyat yang satu dengan rakyat
yang lainnya. Hak tersebut diatur dalam suatu undang-undang dan peraturan–peraturan yang
dapat dipertanggungjawabkan dan diterima semua pihak (legitimate)
2. adanya partisipasi yang efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang
sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusan-keputusan yang
diambil. Untuk itu, harus ada ruang yang memperkenankan publik untuk mengekspresikan
kehendak-kehendaknya
3. adanya enlightened understanding yang menunjukkan bahwa rakyat mengerti dan paham
terhadap keputusan-keputusan yang diambil negara, tidak terkecuali eksekutif.
Kemengertian tersebut menunjukkan pada adanya efektivitas peran eksekutif dalam
mensosialisasikan keputusan-keputusannya dan memberikan kesempatan yang sama kepada
rakyat untuk mengkritisinya. Artinya., rakyat pada umumnya dapat menerima keputusan
pemerintah sebagai keputusan yang paling adil, dalam hal ini peran legislatif selaku
representasi rakyat yang memoderatori.
4. adanya kontrol akhir yang diagendakan oleh rakyat (final control on the agenda by the
demos), yang menunjukkan bahwa rakyat memiliki kesempatan istimewa untuk membuat
keputusan, membatasi materi, atau memperluas materi yang akan diputuskan dan dilakukan
melalui proses-proses politik, yang dapat diterima dan memuaskan berbagai pihak, dalam
hal ini peran legislatiflah yang harus benar-benar kapabel memainkan perannya
5. inclusiveness, yakni suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah
seluruh rakyat, yaitu, semua anggota masyarakat dewasa terkecuali orang-orang yang
terganggu mentalnya (diadaptasi dari Robert A. Dahl, l985).

Kelima prinsip di atas menunjukkan bahwa demokrasi harus dipahami sebagai proses yang
sistemik. Ia melibatkan berbagai potensi yang saling berpengaruh serta mempunyai kekuatan
yang seimbang. Dengan kata lain, demokrasi membutuhkan suatu keseimbangan kekuatan
diantara lembaga-lembaga negara dan antara lembaga negara dengan lembaga masyarakat
yang karenanya tidak terjadi dominasi elit terhadap rakyat, sehingga berbagai kebijakan
negara dapat merepresentasikan semua potensi yang ada pada rakyat. Hal ini juga
menunjukkan bahwa koridor demokrasi adalah kesetaraan yang dicerminkan dari sikap dan
prilaku yang memandang suatu perbedaan sebagai suatu kekayaan demokrasi. Perbedaan
tidak lagi ditabukan, sementara ketidaksepakatan lebih dianggap sebagai “bunga-bunga”
demokrasi menuju kematangan politik (political maturity).
Untuk mencapai koridor demokrasi demikian, dibutuhkan suatu mekanisme pemerintahan
yang dapat memfasilitasi berlangsungnya proses-proses ekonomi, politik dan sosial budaya
yang sistemik. Sehingga terjadi penguatan politik rakyat, yang juga dapat diartikan sebagai
penguatan ekonomi, sosial, sekaligus budaya rakyat, sebagai dasar dari model pemerintahan
yang demokratis.
Jika hal itu dilakukan di daerah, maka peran pemerintah Daerah memfasilitasi terjadinya
proses-proses politik, ekonomi dan sosial budaya dalam kerangka Otonomi Daerah. Hal ini
didasari oleh beberapa pandangan bahwa demokrasi dapat dijadikan sarana bagi
terwujudnya tujuan bernegara dan berpemerintahan, yaitu tercapainya kesejahteraan rakyat.
Dalam kerangka ini, demokrasi jelas mensyaratkan suatu pemerintahan yang memiliki
kemampuan untuk menyerap kepentingan-kepentingan publik, yang kemudian diekspresikan
dan diimplementasikan dalam kehidupan politik pemerintahan. Hal ini tentunya
membutuhkan prasyarat-prasyarat institusional, baik menyangkut prasyarat politik,
ekonomi, sosial, maupun prasyarat relasi (koneksi) yang memungkinkan dinamika
demokrasi berjalan utuh.
Terdapat beberapa pandangan mengenai prasarat-prasarat institusional bagi demokrasi yang
merupakan wacana publik untuk mengekspresikan kehendaknya. Pandangan-pandangan
tersebut antara lain adalah : Pertama, bahwa Demokrasi dipandang identik dengan satu
bentuk pemerintahan bersama, dimana setiap orang merasa berhak untuk memerintah. Akan
tetapi sejalan dengan makin berkembangnya jumlah anggota masyarakat serta banyaknya
kepentingan yang ingin diwujudkan dalam masyarakat, maka muncul gagasan pada
demokrasi perwakilan. Dalam hal ini individu rakyat menyerahkan hak politiknya kepada
orang lain untuk mewujudkan cita-citanya. Dan orang lain tersebut harus dipilih secara
terbuka, terlepas dari sistem pemilihan yang dipakai. Gagasan ini terbukti efektif digunakan
untuk menyelenggarakan pemerintahan, karena kedaulatan rakyat diimplementasikan pada
lembaga perwakilan yang mengatasnamakan rakyat dengan asumsi adanya suatu posisi yang
setara antara lembaga perwakilan rakyat tersebut dengan Pemerintah. Dalam konteks ini,
keterwakilan rakyat dan kesetaraan lembaga wakil rakyat dengan Pemerintah merupakan
prasyarat adanya demokrasi.
Pandangan kedua, menyebutkan bahwa demokrasi pada dasarnya menunjuk pada hak
berpartisipasi dalam mempengaruhi atau menentukan pembuatan satu keputusan, terutama
yang menyangkut kepentingan individu anggota masyarakat. Sementara diketahui bahwa
partisipasi dapat terjadi apabila terdapat proses empowerment oleh suatu kekuatan yang
memiliki hak untuk menentukan maupun untuk membentuk sesuatu. Dan empowerment
dapat berlangsung dengan baik apabila diberikan kemungkinan untuk terlibatnya apa yang
disebut civic engagement yang diekspresikan dalam berbagai kegiatan rakyat, antara lain
voters turnout, newspaper readership, social organizations, NGO dan keterlibatan lembaga-
lembaga lainnya. Hal ini dikemukakan oleh Putnam sebagai social capital, who refers to
features of social organization such as networks, norms, and social trust that fasilitate
coordination and cooperation for mutual benefit (Robert D. Putnam, 1995;67). Berdasar
pemikiran di atas, maka demokrasi sebagai suatu bentuk keterlibatan partisipasi rakyat
membutuhkan kebersamaan rakyat di dalam menyusun jaringan kerja yang saling
mendukung, sementara individu merupakan sub ordinasi dari jaringan masyarakat tersebut.
Dengan demikian, sekalipun anggota masyarakat memiliki hak berpartisipasi, namun
kepentingan kelompok harus tetap ditempatkan diatas kepentingan individu.
Pandangan ketiga menunjuk pada prasarat ekonomi bagi berkembangnya sistem demokrasi
yang demokratis. Proposisi yang dikemukakan adalah “semakin sejahtera suatu bangsa atau
negara, maka semakin besar kemungkinannya untuk menopang sistem politik yang
demokratis, dengan kata lain ada hubungan yang erat antara meningkatnya kesejahteraan
dalam bidang ekonomi dengan terbentuknya rezim politik yang demokratis” (Lipset, 1959.
P.53). Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh James Colemann yang bependapat :
“There is a positive correlation between economic development and political
competitiveness” (Colemann, 1960. p.638). Juan J. Linz mengemukakan …… there has
never been, and there cannot be a consolidated democracy that has a command economy …
there has never been and almost certainly will never be a modern consolidated democracy
with a pure market economy. Modern consolidated democracyies requires a set of
sociopolitically crafted and accepted norms, institutions and regulations … what we call
economic society…that mediate between the state and the market. ( Juan J. Linz, l996; p.3 ).
Pendapat di atas menunjukkan bahwa faktor ekonomi menentukan apakah suatu sistem
demokrasi berjalan demokratis. Gagasan teori ini juga dikenal sebagai “wealth democracy
theory”. Teori ini menunjukkan bahwa tidak akan terjadi proses demokratisasi dalam sistem
demokrasi, jika masyarakat miskin dan jika masyarakat lapar. Sinyalemen ini menunjukkan
bahwa orang yang miskin atau orang yang lapar sangat mungkin dipengaruhi oleh orang lain
dengan imbalan materi (money politics). Hal itu dapat diterima logika apabila dihubungkan
dengan teori kebutuhan manusia yang menunjukkan bahwa kebutuhan manusia pada Well
being,wealth, skill, enlightenment, respect , goodness, affection dan power. (laswell dan
Kaplan, 1960)
Pandangan keempat menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang demokratis ditentukan oleh
kelompok sosial yang sifatnya “Intermediaries” antara negara dan masyarakat (Dahl, 1982.
p.59). Hal ini juga dapat dilihat dari pendapat Juan J.Linz di atas. Dengan kata berbeda dapat
dikemukakan bahwa adanya kelompok sosial yang sifatnya “Intermediaries” antara negara
dan masyarakat, maka kecil kemungkinan akan munculnya pemerintahan yang otoriter,
monarki absolut dan diktator totaliter. Hal ini menyebabkan posisi “Intermediaries”
menjadi penting bagi tumbuhnya demokrasi, karena ia dapat menjadi benteng terhadap
kekuasaan negara yang berlebihan (Kornhauser, 1973). Intermediaries ini dalam
perkembangannya sering juga dikemukakan sebagai kelas menengah ekonomi (borjuis)
yang mandiri dan otonom. Barrington Moore kemudian menyebut : “No bourgeois, no
democracy” (Moore, 1966. p.418). Teori ini sering juga disebut sebagai teori struktur sosial
dalam demokrasi.
Pandangan kelima, adalah pandangan yang dikemukakan oleh Huntington yang menyatakan
bahwa pendorong utama bagi tumbuhnya demokrasi di suatu negara adalah dorongan
eksternal (teori “eksternal democracy”). Sejauh pengaruh luar tersebut lebih dominan
daripada pengaruh internal masyarakat bersangkutan. Pengaruh dominan eksternal tersebut
dimaksudkan untuk menunjuk peran Negara Amerika dan Inggris yang dapat mempengaruhi
demokrasi di negara-negara lain – melalui diplomasi bantuan dan perdagangan (Huntington,
1984. p.221). Teori ini kemudian banyak dipakai partai-partai politik baru dinegara-negara
yang baru bebas dari suatu sistem Pemerintahan yang sentralistis. Harapan yang diacu
adalah adanya kepercayaan dan perhatian serta dukungan negara-negara besar tersebut
kepada partai politik yang bersangkutan. Teori ini sesungguhnya sangat potensial untuk
menumbuhkan kekerasan massa, karena tentunya negara-negara besar tersebut tidak ingin
kehilangan muka tatkala partai politik yang didukungnya tersebut kalah dalam pemilu (ingat
kasus Irak, Kamboja, Vietnam, Zaire, Siera Leone).
Pandangan keenam, adalah pandangan yang menyatakan bahwa pendorong utama demokrasi
adalah budaya politik rakyat yang bersangkutan. Teori ini disebut juga sebagai “teori budaya
politik” (Verba, 1965. P.513). Hal itu didasari pemikiran bahwa konteks budaya politik,
yang meliputi sistem relasi antar individu, keyakinan keagamaan, nilai-nilai yang tumbuh
dalam masyarakat menentukan terbentuk tidaknya institusi demokrasi dalam suatu
masyarakat. Jadi, jika suatu masyarakat menganggap konflik sebagai suatu hal yang wajar,
oposisi merupakan institusi yang diperlukan dan bukan institusi yang merusak, menghormati
perbedaan pendapat dan perbedaan pikiran antar individu/kelompok rakyat negara
bersangkutan, maka dapat diprediksi bahwa di negara tersebut terdapat nilai-nilai demokrasi
dan institusi demokrasi.
Berbagai prasyarat kedemokrasian di atas seyogyanya dijadikan dasar bagi peran dan fungsi
lembaga Negara , karena persoalan Negara umumnya akan bersumber dari tarikan lima
prinsip demokrasi dan enam prasyarat insitusional di atas. Sebagai representasi rakyat.
Harus disadari bahwa ekspresi kehendak rakyat umumnya muncul dalam isu-isu politik yang
kemudian menjadi opini publik sebagai akibat terhambatnya saluran politik rakyat,
sementara tidak semua isu dan opini publik benar-benar kehendak mayoritas rakyat. Oleh
sebab itu kecerdasan Elit-elit politik menangkap isu dan opini publik mayoritas akan
menunjukkan image fungsional dan tidaknya lembaga-lembaga negara ini.
4. Kedaulatan
Kedaulatan berasal dari bahasa Arab yaitu “daulah” yang artinya kekuasaan tertinggi,
yang artinya adalah kekuasaan yang tertinggi untuk membuat UU dan melaksanakannya.
Sedangkan kedaulatan rakyat berarti pemerintah mendapatkan mandatnya dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Negara yang berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan
tertinggi atas suatu pemerintahan negara. Arti dari kedaulatan dapat dibagi menjadi dua
aspek, yaitu eksternal dan internal. Secara internal, konsep kedaulatan merujuk pada
supremasi individu atau sekelompok orang di dalam suatu negara terhadap individu-individu
di wilayah yurisdiksinya.
Sementara itu, dari segi eksternal, kedaulatan mencerminkan independensi mutlak
suatu negara secara keseluruhan dalam hubungannya dengan negara lain. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa kedaulatan mengandung arti kekuasaan yang penuh, baik dalam
maupun luar negara tertentu, dan sering diidentifikasi dengan pengertian kekuasaan dalam
penyelenggaraan kegiatan negara.
Jenis Teori Kedaulatan
Berkaitan dengan siapa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan di dalam suatu
negara, muncul berbagai teori kedaulatan, yaitu :
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Menurut teori ini, segala sesuatu yang terdapat di alam semesta berasal dari Tuhan. Secara
langsung, artinya Tuhanlah yang memegang kekuasaan tertinggi yang biasanya
dipersonifikasikan dalam pribadi seorang penguasa yang dianggap sebagai Tuhan.
Sementara, kedaulatan Tuhan secara tidak langsung diwujudkan dengan kekuasaan yang
dipegang oleh wakil Tuhan di muka bumi atau diwujudkan melalui hukum Tuhan sebagai
sumber hukum tertinggi. Perwujudan kedaulatan Tuhan melalui hukum dapat ditemui dalam
ajaran agama yang tidak melembagakan agama dalam bentuk personifikasi. Kedaulatan
Tuhan melalui aturan hukum ini lazim disebut sebagai Nomokrasi. Teori Kedaulatan Tuhan
umumnya dianut oleh raja-raja yang mengakui sebagai keturunan dewa, contoh raja-raja
mesir kuno, kaisar jepang dan cina, raja-raja jawa pada zaman hindu.
2. Teori Kedaulatan Raja
Kekuasaan negara menurut teori ini, terletak ditangan raja ialah sebagai penjelmaan
kehendak Tuhan. Raja adalah bayangan dari Tuhan.
3. Teori Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat, yakni teori yang menyatakan bahwa kekuasaan suatu negara berada
ditangan rakyat sebab yang benar- benar berdaulat dalam suatu negara adalah rakyat.
Konsepsi kedaulatan rakyat ini berakar pada doktrin Romawi, yaitu lex regia, yang berarti
bahwa kekuasaan diperoleh dari rakyat (populus). Dalam hal ini kedaulatan rakyat dapat
dipahami dalam beberapa pengertian: a) Rakyat diartikan sebagai “seluruh rakyat”, dalam
suatu wilayah negara; b) Rakyat dapat ditafsirkan sebagai suatu “bangsa” (the nation, das
Volk); c) Korporatis, maksudnya “rakyat” juga meliputi penguasa; d) Kedaulatan terletak
pada suatu dewan pemilihan (the electorate); dan e) Kekuasaan rakyat diwakilkan dalam
suatu majelis.
4. Teori Kedaulatan Negara
Dalam Teori ini, kekuasaan tertinggi terletak pada suatu negara. sumber maupun asal
kekuasaan yang dinamakan dengan kedaulatan itu ialah negara. Negara sebagai lembaga
tertinggi kehidupan suatu bangsa, dengan sendirinya mempunyai kekuasaan, jadi kekuasaan
negara tersebut ialah kedaulatan negara yang timbul bersamaan dengan berdirinya suatu
negara.
5. Teori kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum adalah suatu paham yang tidak disetujui oleh paham dari
kedaulatan negara. Menurut Teori kedaulatan hukum, kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara terletak pada hukum. hal tersebut berarti bahwa yang berdaulat ialah suatu lembaga
atau orang yang berwenang mengeluarkan perintah maupun larangan yang mengikat semua
warga negaranya.
Dari berbagai teori kedaulatan tersebut Negara Indonesia sendiri menganut sistem
kedaulatan rakyat dan dipertegas dengan kedaulatan hukum.

PERTEMUAN KE 13
ASPEK – ASPEK PERSOALAN FILSAFAT HUKUM
A. Hukum dan Keadilan
Kajian Theo Huijbers menunjukan ada dua paham filsafat mengenai keterkaitan “Hukum
dan Keadilan” .Paham aliran filsafat hukum alam mereflesikan pandangan bahwa keadilan terletak
pada hakekat hukum. Dengan begitu hukum sama dengan keadilan, hukum yang tidak adil bukan
hukum. Pelopor filsafat hukum alam, Thomas Aquinas menyatakan bahwa Setiap orang secara
moral hanya terikat untuk mentaati hukum yang adil, dan bukan kepada hukum yang tidak adil.
Hukum yang tidak adil harus dipatuhi hanya apabila tuntutan keadaan yakni untuk menghindari
skandal atau kekacauan. Hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda, namun keduanya
saling terkait. Hukum adalah seperangkat aturan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau
lembaga terkait untuk mengatur perilaku manusia dalam masyarakat.Hukum ini dapat mencakup
berbagai bidang seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum konstitusi, dan hukum
internasional. Keadilan, di sisi lain, merujuk pada konsep moral yang menyatakan bahwa setiap
orang harus diperlakukan sama dan adil. Keadilan ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek
kehidupan, seperti dalam sistem peradilan, politik, dan sosial.Meskipun hukum dan keadilan
memiliki hubungan yang erat, terdapat situasi di mana hukum dan keadilan tidak selalu
sejalan.Contohnya, dalam sistem peradilan, seseorang dapat dinyatakan bersalah secara hukum
namun tidak adil, atau sebaliknya, seseorang dapat dinyatakan tidak bersalah secara hukum namun
merasa tidak adil. Hukum sangat erat hubunganya dengan keadilan. Bahkan ada orang yang
berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguhsungguh berarti
sebagai hukum. Pernyataan ini ada sangkut pautnya dengan tanggapan bahwa hukum merupakan
bagian usaha manusia menciptakan suatu koesistensi etis di dunia ini.Hanya melalui suatu tata
hukum yang adil orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani
maupun rohani. Kebenaran ini paling tampak dalam menggunakan kata “ius” untuk menandakan
hukum yang sejati. Namun ungkapan “ The rule of law” mempunyai latar belakang yang sama juga
yakni cita-cita akan keadilan. Keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari
kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Namun dalam khazanah filsafat hukum
sampai 3 sekarang masih menjadi perdebatan tentang apa makna adil. Keadilan itu sendiri terkait
dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban manusia.Konsep dasar hukum itu
sesungguhnya berbicara pada dua konteks persoalan : 1. Konteks yang pertama adalah keadilan
yang menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil ditengah sekian banyak dinamika
dan konflik di tengah masyarakat 2. Konteks yang kedua adalah aspek legalitas menyangkut apa
yang disebut dengan hukum positif, yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan
negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum. Dua konteks
persoalan tersebut di atas seringkali terjadi benturan, dimana terkadang hukum positif tidak
menjamin sepenuhnya rasa keadilan,dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki
kepastian hukum. Untuk mencari jalan tengahnya maka komprominya adalah bagaimana agar
semua hukum positf yang ada selalu merupakan cerminan dari rasa keadilan itu sendiri. Menurut
Kahar Masyhur apa yang dinamakan adil tersebut adalah : 1. Adil ialah meletakan sesuatu pada
tempatnya. 2. Adil ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain tanpa kurang. 3.
Adil ialah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara
sesame yang berhak,dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang
melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya. Thomas Aquinas mengelompokan
keadilan menjadi dua, yaitu : 1. Keadilan umum, yaitu keadilan menurut kehendak undang-undang
yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. 2. Keadilan khusus, yaitu keadilan yang didasarkan
pada asas kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi tiga yaitu : a.
Keadilan distributif (justitia distributiva) adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam
lapangan hukum public secara umum. Sebagai contoh, negara hanya akan mengangkat seseorang
menjadi hakim apabila orang itu memiliki kecakapan untuk menjadi hakim. b. Keadilan komunikatif
adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontrapestasi. c. Keadilan vindikatif
adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang
dianggap adil apabila ia dipidana badan atau benda sesuai dengan besarnya hukuman hukuman
yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya. B. Hukum dan Kekuasaan Hukum
berasal dari Negara, namun dalam kehidupan sehari-hari ternyata hukum itu berasal dari penguasa
negara yaitu pemerintah, pemerintah mengatur kehidupan masyarakat melalui politiknya, hukum
bertujuan untuk menciptakan aturan yang adil, berdasarkan hak-hak manusia yang sejati, hukum
mengatur kehidupan bersama agar dalam aktifitasnya sehari-haridi masyarakat bila timbul konflik-
konflik dapat segera diatasi dengan berpegangan pada hukum yang berlaku. Antara hukum dan
kekuasaan mempunyai hubungan yang sangat erat bagaikan dua sisi mata uang, sebagaimana
dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa ‘hukum tanpa kekuasaan adalah anganangan, dan
kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Hubungan hukum dan kekuasaan yang pertama terjadi
karena hukum pada dasarnya bersifat memaksa, dan kekuasaan dipergunakan untuk mendukung
hukum agar ditaati oleh anggota masyarakat. Namun kekuasaan tersebut diperlukan hanya pada
anggota masyarakat yang tingkat kesadaran hukumnya rendah, sehingga dalam pelaksanaan hukum
di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan teratur suatu kelompok
masyarakat atau dengan kata lain bahwa masyarakat semakin tinggi tingkat kesadaran hukumnya,
maka makin berkurang dukungan yang diperlukan oleh kekuasaan untuk melaksanakan hukum.
Hukum tidak hanya membatasi kebebasan individu terhadap individu yang lain, tetapi juga
kebebasan wewenang dari penguasa negara. Kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman,
pernyataan tersebut mengandung arti bahwa kekuasaan yang tidak terbatas seperti para raja
absolut dan diktaktor akan dapat menimbulkan dampak yang buruk karena dapat merangsang
pemegang kekuasaan tersebut untuk berbuat semaunya sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa
melihat atau mempertimbangkan keadaan masyarakat. Kekuasaan merupakan konsep hubungan
sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat, negara, dan umat manusia.Konsep hubungan
sosial itu meliputi hubungan personal di antara dua insan yang berinteraksi, hubungan institusional
yang bersifat hierarkis, dan hubungan subjek dengan objek yang dikuasainya.Karena kekuasaan
memiliki banyak dimensi, maka tidak ada kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologi, hukum
dan kenegaraan mengenai pengertian kekuasaan. Max Weber, dalam bukunya Wirtschaft und
Gesellschaft (1992) mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu
hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apa pun
dasar kemampuan ini.” Perumusan kekuasaan yang dikemukakan Weber dijadikan dasar
perumusan pengertian kekuasaan oleh beberapa pemikir lain Misalnya, Strausz-Hupe2
mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan kemauan pada orang lain”
Demikian pula pengertian yang dikemukakan oleh C. Wright Mills3 , “kekuasaan itu adalah
dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang,
artinya kekuasaan mempunyai sifat memaksa”. Di samping pengertian kekuasaan sebagai
kemampuan untuk memaksakan kehendak atau kemauan kepada pihak lain, beberapa pakar
mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk membatasi tingkah laku pihak lain. Harold
D.Laswell, dan Abraham Kaplan mengatakan bahwa “kekuasaan adalah suatu hubungan di mana
seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar
sesuai tujuan dari pihak pertama. Oleh sebab itulah maka kekuasaan harus dibatasi dengan rambu-
rambu hukum, menurut Montesquiue yang terkenal dengan teori trias politica, kekuasaan harus
dipisahkan menjadi tiga lembaga yaitu eksekutif, legeslatif, dan yudikatif hal ini dimaksudkan agar
antara satu lembaga dan yang lainnya dapat saling mengontrol sehingga terjadi checks and balance.
Salah satu diantara ciri khas norma hukum ialah bahwa hukum itu bersifat imperative. Sifat
imperative ini memberikan jaminan agar hukum ditaati.Namun kenyataannya tidak setiap orang
mau mentaati hukum.Oleh karena itu, dalam penerapannya, hukum itu memerlukan dukungan
kekuasaan.Seberapa besar dukungan kekuasaan itu diperlukan tergantung pada kesadaran hukum
masyarakat yang bersangkutan. Makin tinggi kesadaran hukum masyarakat, makin berkuranglah
dukungan kekuasaan itu diperlukan. Hukum merupakan sumber kekuasaan, disamping sumber-
sumber lain yang berupa kekuatan dan kewibawaan. Dalam praktek sering terjadi bahwa kekuasaan
itu bersifat negative yaitu merangsang pemegangnya untuk bersikap dan berbuat melampaui batas-
batas kekuasaannya. Merangsang pemegangnya untuk menguasai kekuasaan melebihi kekuasaan
yang dimilikinya, oleh karena itu hukum juga menjadi pembatas kekuasaan, disamping pembatas-
pembatas yang lain yaitu kejujuran dan dedikasi pemegang kekuasaan itu sendiri serta kesadaran
hukum masyarakat bersangkutan. Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan
untuk mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu pihak dengan
norma-norma social dan norma agama. Kekuasaan itu diperlukan oleh karena hukum bersifat
memaksa. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum di masyrakat akan mengalami hambatan-
6 hambatan. Semakin tertib dan teratur masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan
kekuasaan. Masyarakat tipe terakhir ini dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran
hukum yang tinggi di lingkungan anggota-anggotanya. Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah
kekuasaan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya
kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat.Karena itu, disamping
keharusan adanya hukum sebagai alat pembatas, juga bagi pemegang kekuasaan ini diperlukan
syarat-syarat lainnya seperti memiliki watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan
masyarakat.Kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat juga merupakan pembatas yang ampuh
bagi pemegang kekuasaan. Antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat adanya
hubungan ini dapat diperlihatkan dengan dua cara yaitu Cara pertama dengan menelaahnya dari
konsep sanksi. Adanya perilaku yang tidak memenuhi aturan – aturan hukum menyebabkan
diperlukan sanksi untuk penegakan aturan-aturan hukum tadi. Karena sanksi dalam kenyataannya
merupakan suatu kekerasan, maka penggunaanya memerlukan legitimasi yuridis (Pembenaran
Hukum) agar menjadikannya sebagai kekerasan yang sah. Cara kedua dengan menelaahnya dari
konsep penegakan konstitusi.Pembinaan system aturanaturan hukum dalam suatu negara yang
teratur adalah diatur oleh hukum itu sendiri. Perihal ini biasanya tercantum dalam konstitusi dari
negara bersangkutan. C. Hukum dan Nilai Sosial Budaya Hukum dan nilai-nilai sosial budaya
merupakan dua konsep yang saling terkait dan saling mempengaruhi dalam kehidupan suatu
masyarakat. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai keduanya:Hukum adalah
seperangkat aturan dan prinsip yang ditetapkan oleh otoritas hukum dalam suatu masyarakat.
Tujuan hukum adalah untuk mengatur perilaku individu dan kelompok dalam rangka mencapai
keadilan, ketertiban, dan perlindungan hak-hak.Hukum berfungsi sebagai kerangka kerja yang
memberikan batasan dan konsekuensi bagi pelanggarannya. Nilai sosial budaya mencakup
keyakinan, norma, dan etika yang dipegang oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai ini membentuk
pandangan dan sikap masyarakat terhadap berbagai hal, seperti moralitas, agama, keluarga,
pendidikan, dan sebagainya.Nilai sosial budaya dapat membentuk identitas dan perilaku individu
serta memengaruhi keputusan dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara hukum
dan nilai sosial budaya: Hukum dan nilai sosial budaya saling mempengaruhi satu sama lain. Nilai
sosial budaya dapat mempengaruhi pembentukan hukum, karena hukum sering kali mencerminkan
nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat. Di sisi lain, hukum juga dapat memengaruhi dan
mengubah nilai-nilai sosial budaya dengan mengatur perilaku masyarakat melalui aturan dan sanksi
Negara Indonesia sedang berada dalam masa transisi, masa transisi yang dimaksudkan adalah
terjadinya perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakatnya, untuk menghindari agar tidak
terjadi konflik serta gesekan-gesekan maka diperlukanlah adanya suatu aturan hukum yang dapat
mengatur perilaku kehidupan sosialdan budaya masyarakat agar tetap stabil dan tidak melampaui
atau keluar dari koridor-koridor nilainilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam
kehidupaan sosial masyarakat. Hukum mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai social
budaya.Hal ini ternyata dari adanya adagium yang menyatakan bahwa hukum yang baik adalah
hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.Perlu diingat bahwa dalam
masyarakat adanya perubahan dan pergeseran nilai itu tidak dapat dielakan.demikian pula halnya
dengan masyarakat Indonesia yang pada masa ini sedang mengalami perubahan nilai dari nilai-nilai
tradisional ke nilai-nilai modern. Dalam perubahan itu masih dipertanyakan perihal nilai-nilai
manakah yang akan menggantikannya. Proses perubahan nilai itu tak luput dari hambatan-
hambatan, antara lain : 1. Yang akan diubah itu ternyata sesuai dengan kepribadian nasional; 2.
Adanya sikap sementara golongan intelektual dan pemimpin masyarakat yang tidak mempraktekan
nilai-nilai yang dianjurkan; 3. Sifat heterogenitas ethnis pada bangsa Indonesia karena perbedaan
agama dan kepercayaan, perbedaan tingkat kemajuan, perbedaan sosial-ekonomi dan sebagainya.
Antara hukum di satu pihak dengan nilai-nilai sosial budaya di lain pihak terdapat kaitan yang erat.
Hal ini telah dibuktikn berkat penyelidikan beberapa ahli antropologi hukum, baik bersifat perintis
seperti Sir Henry Maine, A.M. Post dan Yosef Kohler Maupun Malinowski dan R.H. Lowie di abad ini.
Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat itu ternyata bahwa hukum
yang baik tidak lain adalah hukum yang mencerminkan nilainilai yang hidup dalam masyarakat.
Indonesia masa kini berada dalam masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan nilai-nilai dalam
masyarakat dari nilai-nilai yang bersifat tradisional ke nilai-nilai modern. Namun masih menjadi
persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru manakah yang akan
menggantikannya. Sudah barang tentu dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi
hambatanhambatan yang kadang-kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun
goncangan di dalam masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja misalnya mengemukakan beberapa
hambatan utama seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap
golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekan nilai-nilai yang dianjurkan
disamping sifat heterogenitas bangsa Indonesia yang baik tingkat kemajuannya, agama serta
bahasanya berbeda satu dengan lainnya.
PERTEMUAN KE 14
HAKIKAT DAN TUJUAN HUKUM
A. Hakikat Hukum
Secara fungsional hukum diciptakan sekedar demi tujuan tertentu. Salah satu tujuan
dari banyaknya tujuan hukum adalah mendapatkan atau menegakkan keadilan. Menerapkan
teori kausalitas Aristoteles, ada empat sebab dalam realitas untuk mengartikan hukum yaitu,
antara lain: sebab yang berupa bahan (causa materialis), sebab yang berupa bentuk (causa
formalis), sebab yang berupa pembuat (causa efisien) dan sebab yang berupa tujuan (causa
finali). Hakikat hukum dapat diketahui dengan menggunakan kausalitas tersebut. Menueut
Aristoteles hukum itu ada karena terdapat causa (sebab) tertentu. Apabila hukum itu
bertujuan untuk menertibkan masyarakat atau untuk mendapatkan keadilan, maka hakikat
mendasar dari hukum adalah fungsi atau manfaatnya.

Pengertian hukum menurut Theo Huijbers adalah hakikat hukum itu sendiri, yaitu
hukum yang menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil. Adil disini
merupakan suatu keadaan yang ingin diwujudkan oleh semua masyarakat manapun. Hukum
menurut hakikatnya adalah sebagai hukum, yang melebihi negara, walaupun berasal dari
negara itu sendiri. Hukum merunjuk pada suatu aspek hidup yang istimewa yang tidak
terjangkau ilmu-ilmu lain. Maka dapat disimpulkan bahwa hakikat hukum adalah
menciptakan suatu aturan yang adil ke dalam masyarakat.
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para filsuf mengenai hakikat
hukum, berikut penjelasannya :
1. Aristoteles
Berpendapat bahwa hakikat hukum itu ada karena kausalitas, yaitu dari sebab yang
berupa bahan (causa materialis), dari sebab yangberupa bentuk (causa formalis), dari sebab
yang berupa pembuat (causa efisien), dan dari sebab yang berupa tujuan (causa finalis).
2. J.J.H.Bruggink
Memiliki pandangan bahwa hakikat hukum itu adalah bahasa. Bruggink memiliki
pandangan tersebut karena yang memungkinkan hukum itu ada dan dapat dipahami dengan
beberapa definisi adalah dari bahasa yakni :
a. Definisi kausal, yaitu hukum itu ada oleh penguasa
b. Definisi fungsional, yaitu hakikat hukum adalah fungsi
c. Definisi fenomenologis, yaitu hakikat hukum adalah kesepakatan
d. Definisi sinonim, yaitu hakikat hukum adalah peraturan
e. Definisi etimologis, yaitu hukum berasal dari kata bahasa Arab “al hukmu”
yang berarti peraturan
f. Definisi konotatif, yaitu hakikat hukum terletak pada sifatnya.
3. Kattsoff
Berpendapat bahwa hakikat hukum tergantung dari orang yang membunyikannya,
“jika sebuah pohon tumbang di hutan dan tidak ada yang mendengarkannya, adakah
bunyinya?”. Syahdan, harus ada yang membunyikannya dengan makna. Apakah makna
tersebut dalam wujud makna asosiasi, yang artinya hukum sama dengan undang-undang,
apakah dalam bentuk makna matter (esensi), yang artinya hukum sama dengan masyarakat,
apakah dalam makna operasi, yang artinya hukum mempunyai makna bila dapat
dioperasionalkan, ataupun dalam bentuk makna pengalaman, yang artinya hukum terbentuk
karena pengalaman dan akal.
Secara sederhana hakikat utama dari hukum adalah untuk mewujudkan keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum memiliki sifat yang mengatur dan memaksa.
Yang mana merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa
orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang
tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang melakukan pelanggaran. Sanksi itu merupakan
alat yang mengangkat wibawa hukum dan pengukuh berlakunya norma atau kaidah dan
merupakan reaksi hukum terhadap perbuatan manusia yang melanggar kaidah atau norma.
B. Fungsi dan Tujuan Filsafat Hukum
Pada hukum umumnya, nilai-nilai terjalin saling berkaitan tetapi jarang pula juga
yang bertegangan. Fungsi utama dari filsafat hukum adalah untuk menganalisis kemudian
menyerasikan nilai-nilai yang bersangkutan. Seperti yang dikemukakan oleh
Prof.Dr.Roscue Pound,M.A dalam bukunya An Introduction to the philoshopy of law
(1922,1954).
Beberapa Fungsi filsafat hukum adalah sebagai atau untuk menguji hukum positif
tentang efektivitasnya. Fungsi filsafat hukum untuk mengatur norma-norma, doktrin-
doktrin, dan lembaga bermanfaat bagi masyarakat, juga memimpin penerapan hukum dengan
menunjuk pada tujuan hukum.
Tentang fungsi Filsafat Hukum itu sendiri, berpendapat bahwa ahli filsafat berupaya
untuk mencari jawaban untuk permasalahan tentang gagasan membuat sebuah hukum yang
sempurna, kemudian menunjukan kepada masyarakat kalau hukum yang sudah ditentukan,
kekuasaannya tidak dipersoalkan lagi. Untuk memenuhi perkembangan hukum yang
dimana menjamin kelangsungan dimasa mendatang.
Filsafat hukum memberikan penjelasan yang logis mengenai hukum. Mewujudkan
rasa keadilan yang sesuai dengan kaidah hukum yang abstrak dan konkrit, filsafat
hukum lebih memperhatikan dari sisi filosofis hukum yang lebih mengarah terhadap
permasalahan fungsi dan filsafat hukum melakukan perubahan tata tertib penyelesaian
masalah pertikaian dan mengadakan perubah yang lebih baik. Filsafat hukum sangat
berdampak positif karena melakukan sebuah analisis yang dapat dikatakan mendalam
terhadap segala persoalan-persoalan hukum yang sering ada ditengah masyarakat atau
melakukan pengkajian terhadap perkembangan ilmu hukum itu sendiri secara teoritis,
dan cakupannya berkembang luas dan komprehensif.
C. Tujuan Hukum
Berkenaan dengan tujuan hukum, maka kita akan mengenal beberapa pendapat para
ahli hukum tentang tujuan hukum tersebut yang diantaranya sebagai berikut:
a. Tujuan Hukum menurut Prof. Subekti, S.H beliau menyatakan didalam buku
yang telah ditulis dengan berjudul “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan” bahwa
hukum itu berkaitan dengan mengabdikan diri kepada tujuan Negara yang
terdapat didalam pokoknya adalah untuk dapat mendatangkan sebuah
kemakmuran dan mampu mendatangkan kebahagiaan kepada rakyatnya.
Hukum, menurut Prof Subekti, S.H telah mengatakan bahwa hukum tersebut
untuk dapat mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya adalah mendatangkan
sebuah kemakmuran dan kebahagiaan untuk rakyatnya.Hukum menurut Prof Subekti,
S.H melayani suatu tujuan negara itu dengan cara mengadakan “Keadilan” dan
“ketertiban”, adapun mengenai syarat- syarat yang pokok untuk dapat dalam
mendatangkan kebahagiaan dan kemakmuran.
Ditegaskan selanjutnya bahwa pada keadilan tersebut kiranya dapat digambarkan
menjadi sebagai sebuah kondisi keseimbangan yang mampu membawakan ketentraman
kedalam hati setiap orang, dan kalau terusik atau dilanggar maka akan dapat segera
memunculkan kegoncangan dan kegelisahaan. Keadilan akan selalu mempunyai
kandungan berupa unsur “penghargaan, penilaian, pertimbangan dan karena ini ia lazim
kemudian disimbolkan dengan neraca keadilan. Dikatakan bahwa keadilan tersebut
akan menuntut bahwa “dalam keadaan yang sama maka tiap orang mestilah menerima
bagian yang sama juga”.
b. Tujuan Hukum menurut Prof. Mr Dr. LJ. Apeldoorn Didalam bukunya “inleiding tot
de studie van het nederlandse recht” beliau menyatakan bahwa pada tujuan hukum
adalah untuk mengatur segala pergaulan hidup manusia dengan secara damai. Hukum
menghendaki adanya suatu perdamaian. Perdamaian diantara manusia itu mesti
dipertahankan dalam hukum dengan cara melakukan pemberian perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan tentang hukum manusia tertentu, kemerdekaan, keselamatan,
harta benda, jiwa terhadap pihak yang ingin berbuat untuk merugikannya.
Kepentingan perseorangan akan selalu senantiasa bertentangan dengan kepentingan
setiap golongan manusia. Segala pertentangan kepentingan ini dapat menjadi bahan
pertikaian bahkan bisa melakukan penjelmaan menjadi sebuah peperangan seandainya
jika hukum tak bertindak menjadi sebuah suatu perantara untuk dapat mempertahankan
sebuah perdamaian.
c. Tujuan hukum menurut teori Etis Terdapat sebuah teori yang telah berhasil
mengajarkan bahwa hukuman tersebut hanya semata-mata untuk menginginkan
adanya keadilan. Teori-teori yang mengajarkan tentang hal tersebut maka dikatakan
sebagai teori etis, karena menurut teori ietis, untuk isi hukum semata- mata mesti
dapat ditentukan oleh setiap kesadaran etis kita tentang apa yang disebut adil dan apa
yang tak adil.
Teori etis ini menurut pendapat Prof. Van Apeldoorn sebagai berat sebelah,
karena ia telah melebih-lebihkan ukuran keadilan dari hukum, sebab ia tidak cukup
untuk dapat memperhatikan kondisi yang sebenarnya. Hukum telah
memutuskan segala peraturan yang umum yang telah menjadi sebuah petunjuk bagi
setiap orang-orang yang terdapat di dalam pergaulan masyarakat. Jika hukum
tersebut hanya semata-mata untuk menginginkan keadilan, jadi semata-mata memiliki
tujuan untuk dalam memberikan setiap orang mengenai apa yang patut untuk bisa
diterimanya maka ia tidak dapat untuk membentuk segala peraturan yang umum.
Dalam hukum ada dua teori berkaitann dengan tujuan hukum diantaranyaa yaitu teori
utilities dan teori etis. Teori utilities, yang menganggap hukum dapat memberikan manfaat
kepada orang banyak dalamm masyarakat. Sedangkan Teori Etis memmiliki tolak ukur
pada etika dimana isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang sesuai dengan nilai etis
tentangg keadilan dan ketidakadilan. Dimana bertujuan untuk mencapai keadilan dan
memberikannya kepada setiap anggota masyarakat yang menjadi haknya. Pada hakekatnya,
tujuan hukum adalah manfaat dalam menyalurkan kebahagiaan atau kenikmatan yang besar
bagi jumlah yang terbesar.
PERTEMUAN KE 15
HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBAHARUAN MASYARAKAT
A. Pergulatan Manusia dan Hukumnya
Sejak dicitrakan sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup berada diluar jejaring
tatanan, bagaimana dan apapun bentuknya. Sosialitas menegaskan, bahwa manusia itu adalah
makhluk berkelompok, seperti semut, lebah dan lainnya. Tetapi apabila komunitas semut
tersebut bersifat alami, maka boleh dikatakan, bahwa jejaring tatanan manusia adalah buatan.
Persoalan segera muncul dari tatanan buatan itu. Hukum adalah tatanan yang sengaja dibuat
oleh manusia dan sengaja pula untuk dibebankan kepadanya.
Hukum adalah sesuatu yang tidak dapat untuk dipisahkan dari kehidupan manusia. Hukumlah
yang mengatur segala sesuatu yang ada dalam masyarakat. Hukum dikatakan sebagai suatu
proses dari masyarakat dengan manusia sebagai subjeknya. Bekerjanya hukum didukung
dengan pembuatan hukum itu sendiri. Jika pembuatan hukum itu dilakukan dengan baik
maka hukum akan berjalan dengan baik, demikian sebaliknya.
Manusia ingin diikat dan ikatan itu dibuatnya sendiri, namun pada waktu yang sama ia
berusaha untuk melepaskan ikatan diri dari ikatan yang dibuatnya sendiri itu. Ternyata tidak
mudah untuk hidup dengan hukum tersebut. Sejak hukum itu selesai dibuat, kehidupan tidak
serta merta berjalan dengan mulus, tetapi tetap penuh dengan gejolak dan patahan.
Kehidupan membutuhkan kaidah social dan dizaman sekarang, hukum menjadi primadona.
Melalui lembaga-lembaga yang diciptakannya, manusia memproduksi hukum, tetapi uniknya,
hukum itu disana-sini dirasakan membelenggu dan manusia ingin lolos dari belenggu
tersebut. Bahkan, orang sempat mengatakan bahwa tanpa hukumpun hidup bisa berjalan.
Sudah terlalu sering kita mendengar ujaran “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat
disitupun ada hukum), hal tersebut baru merupakan pernyataan sederhana, yaitu bahwa
manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup diluar tatanan. Tetapi tidak membicarakan
kerumitan yang ada antara societas dan ius tersebut. Tidak sederhana untuk mengatakan
bahwa hukum
bertujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Alih-alih berbuat demikian, hukum
juga bisa menimbulkan persoalan. Kekurang hati-hatian dalam membuat hukum memiliki
resiko, bahwa hukum malah menyusahkan atau menimbulkan kerusakan dalam masyarakat.
Hukum juga memiliki potensi untuk menjadi kriminogen, sungguh inilah tragedi manusia dan
hukumnya.
Hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk yang formal, dengan prosedur-prosedur dan
birokrasi penyelenggaraan hukum materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal dan
diciptakan pula konsep-konsep baru serta konstruksi khusus, juga tidak setiap orang bisa
menjadi operator hukum, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan menjalani
inisiasi formal tertentu, hakim harus berijazah sarjana hukum, advokat harus mempunyai
lisensi kerja, dan seterusnya.
Akibatnya hukum berubah menjadi institusi artificial dan makin menjauh dari masyarakat.
Bagi masyarakat umum, hukum lalu menjadi dunia yang esetorik, yaitu hanya bisa dimasuki
oleh orang-orang yang telah menjalani inisiasi atau pendidikan khusus. Sejak ketertiban
diwakili oleh hukum yang terstruktur dan diadministrasi secara rasional itu, maka orang tidak
bisa lagi bergerak secara aman dan selamat dimasyarakat, kecuali memperoleh panduan dari
pawing-paang hukum seperti advokat. Orang tidak lagi bisa memperjuangkan kebenaran,
hak-hak dan sebagainya, kecuali disalurkan kedalam jalur hukum modern itu.
Apa yang sesungguhnya terjadi sejak dunia dan manusia memasuki era hukum modern
dengan sekalian karakteristiknya itu? Kita melihat betapa proses hukum itu makin menjadi
proses peraturan. Hukum semakin menampilkan dimensi peraturan daripada manusia.
Berdasarkan hal tersebut bahwa sesungguhnya hukum itu tidak bisa dipahami sebagai urusan
atau masalah peraturan semata. Hukum lebih merupakan masalah manusia daripada
peraturan. Peraturan itu tidak akan menimbulkan berbagai pergolakan dalam hukum apabila
tidak digerakkan oleh manusia.
B. Hukum dan Masyarakat Modern Yang Kompleks
Indeks yang dibuat oleh Unesco untuk mengukur tingkat modernisasi suatu desa mencakup
antara lain faktor-faktor:
1. Jumlah tingkatan yang ada pada sekolah-sekolah (semakin banyak tingkat semakin
modern).
2. Pengangkutan sesuai dengan keadaan jalan.
3. Pengangkutan sesuai dengan jumlah pelayanan yang dilalui oleh bis (semakin sering
semakin modern).
4. Penggunaan radio.
5. Jumlah keragaman pekerjaan / profesi.
Dari faktor-faktor yang dipakai untuk mengukur tingkat kemodernan suatu masyarakat itu
dapat diketahui kira-kira bagaimana wajah atau struktur masyarakat yang demikian itu.
Dengan demikian kiranya dapat ditunjukkan bahwa masyarakat modern itu memperlihatkan
ciri keterbukaan dan pemekaran yang semakin jauh dalam bidang-bidang kehidupan
sosialnya.
Kalau hukum boleh dilihat sebagai pembadanan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat,
maka semakin padu susunan nilai-nilai itu semakin mudah pula hukum mengaturnya.
Kepaduan dalam nilai-nilai yang terdapat didalam masyarakat itu akan memudahkan
terjadinya kesepakatan mengenai norma-norma yang berlaku didalam masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka pengaturan oleh hukum dalam masyarakat akan
memperlihatkan karakteristiknya sebagai berikut :
1. Kemudahan untuk menentukan pilihan-pilihan.
2. Kesederhanaan dalam organisasi dan prosedur penetapan norma-norma.
3. Kurangnya beban permintaan / tuntutan yang terorganisasi maupun tidak dari anggota
masyarakat-masyarakat terhadap pembuat hukum.
4. Kemudahan untuk menyusun norma-norma yang berlaku umum dan yang diikuti dengan
efektivitas yang tinggi pula.
Satu hal yang perlu untuk diketahui adalah bahwa semakin modern suatu masyarakat itu
maka semakin terbuka pula keadaannya dan semakin luas pemekaran bidang-bidang
kehidupan sosial yang ada disitu. Suatu faktor yang sering dikutip sebagai pendorong utama
atau pendobrak kearah pemekaran itu
adalah teknologi yang dipergunakan. Semakin maju teknologi yang digunakan, maka
semakin dibutuhkan dukungan organisasi-organisasi yang kompleks.
Salah satu pengaruh dari penggunaan teknologi sedemikian itu dibidang sosial adalah
terhadap bidang ekonomi. Oleh berbagai macam sebab, maka masyarakat dengan teknologi
sedemikian itu akan mengalami perbedaan-perbedaan dalam tingkat kehidupan ekonomi yang
menonjol diantara para anggotanya. Keadaan yang demikian ini pada gilirannya akan
memberikan pengaruhnya terhadap bidang hukum pula.
Dari apa yang diuraikan diatas, bahwa pembuatan hukum di dalam masyarakat modern atau
yang sedang dalam proses modernisasi adalah tidak sederhana. Kata-kata Von Savigny,
bahwa hukum itu merupakan pencerminan “volkgeist”, jiwa rakyat, tidak begitu mudah untuk
diterjemahkan mlalui pembuatan hukum dewasa ini. Ungkapan itu akan lebih sesuai dengan
masyarakat pedesaan, yang belum mengalami penguraian yang tajam dalam bidang-bidang
kehidupan sosialnya. Badan-badan pembuat hukum dalam masyarakat modern lebih banyak
berfungsi sebagai tempat untuk mengendapkan konflik nilai-nilai atau memecahkan konflik-
konflik itu.
C. Hubungan Antara Perubahan-Perubahan Sosial Dengan Hukum
Kehidupan sosial suatu masyarakat sangatlah dinamis dalam arti selalu mengalami perubahan
dan pergeseran sejalan dengan terjadinya perubahan dan kemajuan kebudayaan (IPTEK).
Perubahan tersebut ada yang berjalan denganlambat dan ada pula yang berjalan dengan cepat
serta ada yang pengaruhnya kecil terhadap kehidupan manusia dan ada pula yang
pengaruhnya besar.
Perubahan sosial atau dalam bahasa Inggris disebut social change adalah segala perubahan
yang menyangkut dalam unsure-unsur atau isi dari masyarakat. Untuk dapat lebih memahami
pengertian perubahan sosial kita dapat melihat pendapat Selo Soemardjan yang mengatakan:
Perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk
nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok masyarakat. Yang
ditekankan adalah adanya pengaruh besar dari unsure-unsur kebudayaan material terhadap
unsur-unsur kebudayaan immaterial.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat dapat terjadi oleh karena
bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut sumbernya ada yang terletak didalam
masyarakat itu sendiri dan ada yang letaknya diluar masyarakat itu. Sebab-sebab yang
bersumber dalam masyarakat itu sendiri antara lain adalah :
1) Bertambah atau berkurangnya penduduk.
2) Penemuan-penemuan baru.
3) Pertentangan (conflict) dalam masyarakat.
4) Terjadinya pemberontakan atau revolusi didalam tubuh masyarakat itu sendiri
Sedangkan yang bersumber dari luar masyarakat adalah:
a) Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada disekitar manusia.
b) Pepeangan.
c) Pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada umumnya adalah
lembaga-lembaga kemasyarakatan dibidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan
lain-lain. Lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan titik tolak, tergantung pada
penilaian tertinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap masing-masing lembaga
kemasyarakatan tersebut.
Didalam proses perubahan hukum (terutama yang tertulis) pada umunya dikenal ada 3 (tiga)
badan yang dapat mengubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan-badan
penegak hukum, dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum
yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum merupakan cirri-ciri
yang terdapat pada suatu Negara modern.
Keadaan semacam itu di Indonesia dapat membawa akibat bahwa saluran-saluran untuk
mengubah hukum dapat dilakukan melalui beberapa badan. Artinya, apabila hukum harus
berubah agar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, maka perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada suatu badan
semata-mata. Apabila karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami kemacetan,
maka badan-badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini sedikit
banyaknya juga tergantung pada pejabat-pejabat hukum dari badan-badan tersebut.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya, perubahan-
perubahan hukum dan perubahan-perubahan sosial) tidak selalu berlangsung bersama-sama.
Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh
perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya, atau mungkin hal
yang sebaliknya yang terjadi,. Apabila terjadi hal yang demkian maka terjadilah social lag,
yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-
lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.
Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya, terjadi
oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar didalam suatu masyarakat bahwa
terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah hukum
dengan pola-pola perikelakuan yang diharapkan oleh kaidah-kaidah sosial lainnya. Hal ini
terjadi oleh karena hukum pada hakikatnya disusun atau disahkan oleh bahagian kecil dari
masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kekuasaan dan wewenang.
Faktor tertinggalnya kaidah-kaidah hukum sudah menimbulkan pelbagai persoalan, persoalan
tersebut akan bertambah banyak apabila diusahakan untuk menyoroti kemungkinan-
kemungkinan bahwa unsur-unsur lain dalam masyarakat tertinggal oleh hukum. Selanjutnya
pengaruh hukum pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya adalah sangat luas. Bahkan
dapat dikatakan bahwa hukum mempengaruhi hampir semua lembaga-lembaga
kemasyarakatan.
Kemungkinan, kesulitan-kesulitan diatas dapat diatasi dengan terlebih dahulu menganalisa
peranan hukum dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan
membedakan antara aspek-aspek hukum yang secara tidak langsung. Hukum mempunyai
pengaruh yang tidak langsung dalam mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial
dengan membentuk
lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu yang berpengaruh langsung terhadap masyarakat,
sebaliknya apabila hukum membentuk atau mengubah basic institutions dalam masyarakat,
maka terjadi pengaruh yang langsung. Hal ini akan membawa pembicaraan pada penggunaan
hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat.
D. Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat
Untuk dapat memastikan mengenai adanya hubungan antara hukum dan perubahan
masyarakat kiranya perlu diperhatikan tentang bagaimana hukum itu berkait dengan
masyarakatnya. Berikut ini kita akan melihat fungsi yang dijalankan oleh hukum didalam
masyarakat.
Dua macam fungsi yang berdampingan satu sama lain adalah :
1. Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial.
2. Sebagai sarana untuk melakukan social engineering.
Kalau fungsi hukum dilihat sebagai sarana pengendalian sosial, maka kita akan melihat
hukum sebagai menjalankan tugas untuk mempertahankan suatu tertib atau pola kehidupan
yang telah ada. Hukum disini sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya
sebagaimana telah ditentukan atau sebagaimana diharapkan daripadanya.
Sedangkan fungsi hukum sebagai social engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum
digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi
dalam hal ini maka hukum tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada
didalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-
hubungan yang baru. Perubahan ini hendak dicapai dengan cara memanipulasi keputusan-
keputusan yang akan diambil oleh individu-individu dan mengarahkannya kepada tujuan-
tujuan yang dikehendaki. Manipulasi ini dapat digunakan dengan berbagai macam cara,
misalnya dengan memberikan ancaman pidana, insentip, dan sebagainya. Hubungan antara
hukum dengan perubahan masyarakat disini sangat jelas sekali, oleh karena hukum disini
justeru dipanggil untuk mendatangkan perubahan-perubahan didalam masyarakat.
Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang
dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan (intended change atau planed
change). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan yang direncanakan oleh warga-
warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat dan dalam masyarakat yang
sudah kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting dalam tindakan-tindakan
sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk sahnya. Dalam hal ini maka
hukum dapat merupakan alat yang ampuh untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial.
Sehubungan dengan hal tersebut Roscoe Pound mengatakan:
“Hukum itu pada dasarnya merupakan suatu bentuk dari teknik sosial atau rekayasa sosial
(social engineering) yang bertujuan untuk mengatur secara harmonis kepentingan dan
kebutuhan individu secara optimal, dalam keseimbangan dengan kepentingan masyarakat.
Keseimbangan yang harmonis inilah yang dapat dikatakan merupakan hakikat dari keadilan
yang harus terdapat dalam hukum. Disamping itu hukum dapat berfungsi sebagai kekuatan
dari Negara atau masyarakat yang harus disorganisasi secara politis, sehingga dapat
dipergunakan sebagai alat paksa untuk menjamin dan menjaga keselamatan atau keamana
masyarakat.”
Dengan didasari pemikiran hukum Roscoe Pound serta dengan memperhatikan asfek nilai
yang terdapat dalam filsafat Pancasila, Mochtar Kusumaatmadja telah mengintrodusir
paradigma teori hukum pembangunan, dengan menyebutkan : “Jika kita artikan dalam artian
yang luas, maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga
(institutions) dan proses-proses (processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu
dalam kenyataan”.
Lebih lanjut menurut Mochtar, pengembangan konsepsional dari hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat di Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang lingkupnya daripada
teori hukum Roscoe Pound, yaitu :
a. Lebih menonjolkan peundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia,
walaupun yurisprudensi memegang peranan.
b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang menolak
aplikasi mekanistis dari konsepsi law as a tool of social engineering.
c. Apabila dalam pengertian hukum termasuk hukum internasional, di Indonesia jauh
sebelum konsepsi ini dirumuskan sudah menjalankan asas hukum sebagai alat pembaharuan
masyarakat.
Di Indonesia, penggunaan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat berhubungan erat
dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Apabila orang
berpendapat bahwa proses sosial ekonomi itu hanya hendak dibiarkan berjalan menurut
hukum kemasyarakatan sendiri, maka hukum tidak akan digunakan sebagai sarana
perubahan, sebaliknya apabila konsepnya justeru merupakan kebalikan dari yang tersebut
diatas, maka peranan hukum sangat penting untuk membangun masyarakat. Oleh karena itu,
peranan hukum yang demikian berkaitan erat dengan konsep perkembangan masyarakat yang
didasarkan pada perencanaan. Perencanaan membuat pilihan-pilihan yang dilakukan secara
sadar tentang jalan yang mana dan cara yang bagaimana yang akan ditempuh oleh
masyarakat untuk mencapai tujuannya.
Oleh karena itu, dalam konteks Indonesia, hukum sebagai sarana perubahan masyarakat
haruslah didasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat untuk dituangkan
dalam garis politik dengan memperhatikan berbagai kondisi dan potensi nasional serta
direalisasikan dalam proyek-proyek nasional.
Sebagai sarana social engineering, hukum juga merupakan sebagai suatu sarana ynag
ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam bisang ini adalah,
apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, dimana
hukum-hukum tertentu dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam
itu akan timbul apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor
tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun
golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus didefenisikan oleh
karena merupakan suatu kelemahan
yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan sarana-
sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada
pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat
hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas didalam penggunaan hukum sebagai sarana
(untuk mengubah ataupun mengatur peri kelakuan warga masyarakat), sebab sarana yang ada
membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat
untuk dipergunakan.
Untuk lebih memahamkan terkaitnya peranan hukum sebagai sarana dalam pembaharuan
masyarakat, berikut ini akan diberikan beberapa perincian mengenai apa yang secara teknis
dilakukan oleh hukum:
1) Hukum memberikan prediktabilitas dalam hubungan-hubungan didalam masyarakat.
Semakin tinggi prediktabilitas yang diberikan oleh hukum, semakin tinggi pula nilai
kepastian hukum itu terselenggara didalam masyarakat.
2) Hukum memberikan definisi sehingga mengurangi kesimpang-siuran dan kesalah-
pahaman yang mungkin terjadi disebabkan tidak adanya pegangan yang dapat diketahui
setiap orang. Termasuk kedalam pemberian definisi ini pemberian kejelasan status seseorang.
3) Hukum memberikan jaminan keteraturan dalam cara-cara hubungan-hubungan dijalankan
didalam masyarakat, yaitu dengan menegaskan prosedur yang harus dilalui.
4) Hukum mengkodifikasikan tujuan yang ditentukan atau dipilih. Didalam masa
pembangunan atau perubahan sosial ini kemampuan teknis hukum untuk mengkodifikasikan
tujuan ini menjadi semakin penting, oleh karena pembangunan menghasilkan bermacam-
macam tujuan yang ingin dicapai dalam jangka waktu yang bersamaan atau hamper
bersamaan. Dengan melakukan kodifikasi tersebut maka tujuan yang ingin dicapai itu juga
menjadi jelas. Sebaliknya tujuan yang kabur atau samara-samar pastilah tidak akan
membantu kearah pencapaiannya dengan memuaskan.
5) Hukum memberikan kemungkinan pada orang-orang untuk menyesuaikan diri pada
perubahan-perubahan. Tanpa fasilitas akomodasi ini maka warga masyarakat dapat
mengalami kerugian-kerugian yang sesungguhnya dapat diatasi apabila hukum dibiarkan
menjalankan akomodasi itu.
Dengan mengemukakan perincian tersebut diatas, maka dapat diketahui 2 (dua) hal, yaitu:
pertama, bahwa hukum itu sesungguhnya memang dipersiapkan sebagai suatu sarana untuk
menangani proses-proses didalam masyarakat, termasuk didalamnya proses perubahan. Hal
tersebut adalah merupakan bagian dari eksistensi hukum itu sendiri yang harus mampu untuk
menyalurkan proses-proses itu secara tertib dan teratur. Kedua, dengan demikian
sesungguhnya juga diketahui bahwa adanya potensi pada hukum untuk mampu menangani
proses-proses perubahan didalam masyarakat.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat hukum merupakan pemahaman terhadap berbagai pandangan dan teori dalam
disiplin ini. Beragam pendekatan yaitu karakter interpretative yang artinya menyoroti
karakter interpretative hukum, dimana interprestasi terhadap hukum sering tergantung pada
kerangka berpikir filosofis yang mendasarinya. Pemahaman terhadap hukum seringkali
melibatkan analisis mendalam terhadap nilai-nilai. Etika, dan prinsip-prinsip yang
membentuk dasar hukum.
Tujuan daripada filsafat hukum adalah untuk memahami dan menganalisis dasar-dasar
konseptual, etika, dan teoritis dari hukum. Filsafat hukum berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan mendasar tentang sifat hukum, sumber keabsahan hukum. Filsafat hukum
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang sifat hukum, sumber
keabsahan hukum, hubungan antara hukum dan moral, serta peran hukum dalam
masyarakat. Berikut adalah beberapa tujuan utama dari filsafat hukum yaitu pemahaman
konsep hukum, analisis etika hukum, pemahaman sumber keabsahan hukum, kritik terhadap
sistem hukum, pemahaman peran hukum dalam masyarakat.

B. Saran
Dalam filsafat hukum kita banyak belajar tentang apa saja hubungan dari hukum dan
keadilan, hukum dan kebenaran, teori-teori hukum, aspek-aspek persoalan filsafat hukum,
hakekat dan tujuan hukum, hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat. Dan ini juga
merupakan salah satu konsep penting dalam mempelajarinya dimana berhubungan pada
masyarakat, berkaitan pada keadilan yang berdampak positif kepada orang lain, serta bagian
dari membentuk rasa sosial.

Anda mungkin juga menyukai