Anda di halaman 1dari 42

PROPOSAL PENELITIAN

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOLABORATIF TERHADAP


KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SEKOLAH DASAR PADA
MATERI RANGKAIAN LISTRIK

Oleh :

RAFIATUL MUNIRA

NIM. 11308505210098

DEPARTEMEN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

INSTITUT SAINS DAN BISNIS INTERNASIONAL

SINGKAWANG

2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat dan
hidayahnya penulis diberi Kesehatan dan kesempatan untuk dapat menyelesaikan
tugas Proposal Penelitian ini. Sholawat dan salam kita sampaikan atas kehadirat
Nabi Besar Muhammad SAW, karena berkat perjuangan beliau kita telah terlepas
dari zaman zahiliyah dan telah sampai pada zaman yang penuh dengan
pengetahuan, teknologi dan seni ini.

Puji syukur juga penulis haturkan sehingga penulis dapat menyelesaikan


penulisan proposal ini, dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kolaboratif
Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Sekolah Dasar Pada Materi
Rangkaian Listrik”. Penulisan proposal ini merupakan salah satu langkah awal
dalam melakukan penelitian sebagai syarat untuk gelar sarjana Pendidikan pada
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Penulis sangat mengharapkan gar
proposal ini dapat diterima dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Semoga
segala bantuan yang diberikan dapat menjadi amal baik dan mendapatkan balasan
dari Allah SWT.

Singkawang, 20 Desember 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………...………………………………………i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………...1
A. Latar Belakang…………………………………………………………...1
B. Masalah Penelitian……………………………………………………….5
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………....5
D. Manfaat Penelitian………………………………………………………..5
E. Variabel Penelitian……………………………………………………….6

BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………………..7

A. Kajian Teori…………………………………………………………….7
1. Model Pembelajaran Kolaboratif…………………………………...7
2. Kemampuan Berpikir Kreatif……………………………………...13
3. Pembelajaran IPA Materi Rangkaian Listrik………………………16
B. Kajian Penelitian Yang Relevan……………………………………….17
C. Kerangka Pikir………………………………………………………...19
D. Hipotesis penelitian……………………………………………………22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………………...23

A. Jenis dan Desain Penelitian……………………………………………23


B. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………25
C. Populasi dan Sampel Penelitian……………………………………….26
D. Definisi Operasional…………………………………………………..27
E. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………28
F. Teknik Analisis Data………………………………………………….29

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...34

iii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dan telah menjadi salah satu tolak ukur kemajuan suatu
bangsa. Pendidikan dilaksanakan dengan maksud untuk membekali setiap
warga negara dengan keterampilan, pengetahuan dan wawasan sehingga
dapat mengembangkan potensinya. Dengan dilaksanakannya Pendidikan,
setiap warga negara Indonesia diharapkan mampu dapat bersaing pada era
globalisasi ini dan ikut serta dalam proses pembangunan bangsa sehingga
tidak kalah dari negara lain. Hal tersebut dapat tercapai apabila
penyelenggaraaan Pendidikan dilaksanakan dengan baik dan maksimal.
Guna untuk mencapai pendiidkan yang maksimal, proses
pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan standar proses. Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses
menyatakan beberapa prinsip pembelajaran diantaranya adalah (1) dari
siswa diberi tahu menjadi siswa yang mencari tahu; (2) dari guru sebagai
satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis berbagai sumber; (3)
pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan
(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun kurso)
dan mengembangkan kreativitas siswa selama proses pembelajaran (tut
wuri handayani); (4) pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa
saja adalah guru dan siapa saja adalah siswa, serta di mana saja adalah
kelas(Larasanti dan Prihatnani, 2021: 271). Meskipun prinsip tersebut sudah
menjadi bagian kurikulum sekarang, tetapi belum semua proses
pembelajaran telah menerapkan prinsip-prinsip tersebut secara optimal.
Perkembangan kurikulum di Indonesia saat ini sudah mengarah
pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, dimana siswa harus bisa
menyelesaikan masalah secara tepat dalam kemampuan berpikir kreatif.
Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perkembangan pola pikir global
yang berupaya menghasilkan manusia yang professional dan mampu
menyelesaikan suatu permasalahan dengan ringkas, dan bermakna. Apalagi
sekolah sekarang banyak yang masih menerapkan sistem kurikulum 2013
yang bertitik fokus pada pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter. Hal
ini diharapkan dapat mampu untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif siswa.

Pada kurikulum 2013 ini guru terus dipacu kemampuannya melalui


pelatihan-pelatihan dan Pendidikan guna untuk dapat meningkatkan
kemampuan siswa. Kemudian pada kurikulum ini juga menggunakan
pendekatan yang bersifat kontekstual karena berfokus dan bermuara pada
peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan
kompetensi masing-masing. Salah satunya yaitu kompetensi kemampuan
berpikir kreatif siswa. Untuk kurikulum 2013 ada mata pelajaran yang
berkaitan dengan kemampuan berpikir kreatif, yaitu pembelajaran IPA yang
diintegrasikan di buku tema.
Pembelajaran IPA harus dimulai dalam suasana yang
menyenangkan bagi siswa yang memberikan ruang bagi siswa untuk
berfikir seluas-luasnya. Didalam pembelajaran IPA juga sangat membantu
siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada. Jadi sebagai guru yang baik,
haruslah menyiapkan pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk
mengembangakan kemampuan tersebut. Apalagi IPA ini merupakan
pengetahuan yang bisa didapatkan secara langsung melalui observasi dan
eksperimen yang melibatkan siswa dalam keterampilan proses, contoh pada
materi listrik.
Pada materi listrik siswa diharapkan dapat mampu mengenal dan
merangkai rangkaian seri dan paralel. Didalam materi ini, siswa diharapkan

2
mampu menggunakan berpikir kreatifnya dalam merangkai rangkaian seri
dan parallel. Tentunya fasilitas yang diberikan guru haruslah sangat
mendukung untuk mengasah kemampuan tersebut. Jika hanya
menggunakan metode konvensional saja, siswa cenderung akan bosan dan
lebih pasif bahkan siswa bisa sukar memahami materi.
Berdasarkan hasil observasi di SDN 12 Singkawang ternyata hasil
ulangan siswa masih 60 % dibawah KKM dengan KKM 80. Hal ini
didukung juga dengan hasil prariset tentang kemampuan berpikir kreatif
siswa dengan pertanyaan (1) apakah kamu mengetahui tentang rangkaian
seri dan parallel, (2) bagaimana merangkai rangkaian seri dan parallel
menurut pemahaman anda. Ternyata banyak siswa yang kesulitan dalam
materi rangkaian listrik dan kurang bisa berpikir kreatif untuk menjawab
permasalahan diatas. Penulis juga melakukan wawancara kepada guru mata
pelajaran yang mengajar untuk mengetahui model pembelajaran yang
digunakan, ternyata model pembelajaran yang digunakan masih
menggunakan model pembelajaran yang konvensional dan monoton. Hal ini
akan berdampak pada respon siswa saat pembelajaran berlangsung.
Hal tersebut diperkuat oleh penelitian terdahulu, dimana
penggunaan model pembelajaran sangatlah berpengaruh. Smarabawa et al.,
(2013) menyatakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan
judul “Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat
Terhadap Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Kreatif Siswa”
terdapat perbedaan yang kemampuan berpikir kreatif siswa yang
menggunakan model pembelajaran sains teknologi masyarakat. Hal tersebut
sangat jelas bahwa penggunaan model menjadi pengaruh terhadap
kemampuan berpikir kreatif siswa. Guru yang menggunakan model
pembelajaran yang konvensional akan cenderung berpusat pada dirinya
sendiri dan tidak memperhatikan kemampuan siswa seperti yang terjadi di
SDN 12 Singkawang. . Dalam pembelajaran guru tidak cukup menggunakan
satu model dan metode saja, namun perlu mencoba berbagai model dan
metode yang sesuai dengan materi pembelajaran.

3
Salah satu cara menangani permasalahan di atas adalah dengan
menggunakan model pembelajaran yang tidak kaku dan mononton, salah
satunya yaitu model pembelajaran kolaboratif. Hal ini sependapat dengan
penelitian Khorunisa (2018) bahwa pembelajaran kolaboratif dalam konteks
pendidikan dipuji secara luas sebagai praktik yang mampu mengembangkan
dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Jadi dapat disimpulkan
dengan penerapan pembelajaran kolaboratif mampu meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa. Apalagi didalam model pembelajaran
kolaboratif ini siswa dapat berkerja sama dengan teman sebaya ataupun
guru untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada secara kreatif.
Dalam model pembelajaran kolaboratif ini juga dapat merangsang respon
siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Painitz dalam Suryani (2016) menjelaskan bahwa pembelajaran
kolaboratif adalah suatu filsafat personal, bukan sekadar teknik
pembelajaran di kelas. Menurutnya, kolaborasi adalah filsafat interaksi dan
gaya hidup yang menjadikan kerja sama sebagai suatu struktur interaksi
yang dirancang sedemikian rupa guna memudahkan usaha kolektif untuk
mencapai tujuan bersama. Pada segala situasi, ketika sejumlah orang berada
dalam suatu kelompok, kolaborasi merupakan suatu cara untuk
berhubungan dengan saling menghormati dan menghargai kemampuan dan
sumbangan setiap anggota kelompok. Pokok pikiran yang mendasari
pembelajaran kolaboratif adalah konsensus yang terbina melalui kerja sama
di antara anggota kelompok sebagai lawan dari kompetisi yang
mengutamakan keunggulan individu.
Berdasarkan uraian diatas, penulis berusaha untuk menerapkan
model pembelajaran yang berbeda dalam penyampaian materi rangkaian
listrik melalui sebuah penelitian yang berjudul “Penerapan Model
Pembelajaran Kolaboratif Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa
Sekolah Dasar Materi Rangkaian Listrik”

4
2. Masalah Penelitian
a. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
terdapat beberapa masalah, yaitu :
1. Kurangnya keaktifan belajar peserta didik dalam mengikuti
pembelajaran IPA
2. Rendahnya hasil belajar peserta didik pembelajaran IPA
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan yaitu,
1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa
dengan menerapkan model kolaboratif daripada model
pembelajaran yang diterapkan sekolah.?
2. Apakah kemampuan berpikir kreatif siswa yang mendapat model
pembelajaran kolaboratif memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal?
3. Bagaimanakah respon siswa terhadap proses pembelajaran
kolaboratf?
3. Tujuan Peneltian
Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Apakah terdapat peningkatan kemampuan berpikir
kreatif siswa dengan menerapkan model kolaboratif daripada model
pembelajaran yang diterapkan sekolah.
2. Untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa yang mendapat
model pembelajaran kolaboratif memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal.
3. Untuk mengetahui respon siswa terhadap proses pembelajaran
kolaboratif.
4. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan referensi kepada peneliti selanjutnya bahwa
penggunaan model pembelajaran terhadap hasil belajar sangat menarik
untuk dikaji.

5
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat diharapkan dapat dimanfaatkan untuk dijadikan
bahan pertimbangan bahwa model pembelajaran sangatlah membantu
hasil belajar siswa
5. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhiatau yang
menjadi sebab perubahannya dan timbulnya variabel terikat atau
dependen (Sugiyono, 2013). Yang menjadi variabel bebas dalam
penelitian ini yaitu model pembelajaran kolaboratif.
2. Variabel Terikat
Varibel terikat merupakan variabel yang menjadi pusat utama
perhatian penelitian. Menurut Sugiyono (2013) varibel ini sering
disebut variabel variabel output. Variabel terikat adalah variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas.
Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini yaitu kemampuan
berpikir kreatif siswa.

6
7
7

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. KAJIAN TEORI
(1) Model Pembelajaran Kolaboratif
a. Pengertian Pembelajaran Kolaboratif
Kolaborasi nampaknya sudah menjadi kata serapan, yang terambil dari
Bahasa Inggris collaboration, yang sering diartikan sebagai
kerjasama. Namun ada kata lain dalam Bahasa Inggris yang juga
diartikan sebagai kerjasama, yaitu cooperation (kooperasi). Menurut
para ahli ada sedikit perbedaan makna antara collaboration dan
cooperation. Sebagaimana dilansir dalam portal ibe.unesco dikatakan,
Sometimes cooperative and collaborative learning are used
interchangeably but cooperative work usually involves dividing work
among the team members, whilst collaborative work means all the
team members tackle the problems together in a coordinated effort.
Walaupun istilah kolaborasi dan kooperasi sering digunakan secara
bergantian, namun pada kooperasi terdapat pembagian tugas yang jelas
antar anggota (team), sedangkan pada kolaborasi seluruh anggota team
lebur menyelesaikan pekerjaan bersama.
Keterampilan kolaborasi menjadi salah satu dari 4 keterampilan abad
21 yang dirumuskan UNESCO, yang dikenal dengan sebutan 4C, yaitu
mencakup; critical thinking, communication, creativity, dan
collaboration. Masih menurut portal ib.unesco, collaborative learning
is a relationship among learners that fosters positive interdependence,
individual accountability, and interpersonal skills. Jadi pembelajaran
kolaborasi merupakan suatu hubungan antar siswa yang
menumbuhkan sikap saling ketergantungan secara positif,
menunjukkan sikap taggungjawab setiap individu, serta keterampilan
komunikasi interpersonal. Pembelajaran kolaboratif merupakan
sebuah proses di mana peserta didik pada berbagai tingkat
kemampuan (kinerja) bekerja sama dalam kelompok kecil menuju
tujuan bersama.
Menurut Panitz dalam Apriono (2013) disebut dengan
collaborative learning, yakni suatu metode dalam pembelajaran yang
melibatkan beberapa peserta didik secara bersama-sama tergabung
dalam kelompok yang mengakui adanya perbedaan kemampuan dan
sumbangan pemikiran tiap-tiap individu. Ditambahkan oleh Smith &
MacGregor dalam MacGregor dalam Apriono (2013), pembelajaran
kolaboratif membangun kapasitas untuk mentoleransi atau
menyelesaikan perbedaan dan membangun pendapat dalam sebuah
kelompok. Model kolaboratif dapat digambarkan sebagai berikut.
Ketika terjadi kolaborasi, semua peserta didik aktif. Mereka saling
berkomunikasi secara alami.
Untuk memudahkan pemahaman, kolaborasi dapat diklasifikasi
sekurang-kurangnya pada tiga ranah, yakni; kolaborasi sebagai
kompetensi, kolaborasi sebagai aksi atau implementasi, dan kolaborasi
sebagai model pembelajaran. Sebagai kompetensi, kolaborasi
termasuk salah satu dari empat keterampilan abad 21 yang disarankan
oleh UNESCO. Kurikulum bukan hanya untuk siswa, kompetensi
kolaborasi juga merupakan salah satu kompetensi TIK bagi guru,
bahkan pada level kompetensi TIK, berbagi dan berkolaborasi
menempati level tertinggi.
Pada ranah aksi atau implementasi, kolaborasi merupakan suatu
bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Kolaborasi dalam
tataran ini, bisa terjadi antar guru, antar sekolah, ataupun antar
lembaga. Sedangkan kolaborasi sebagai model pembelajaran
merupakan suatu upaya dari guru ataupun para pendidik untuk
meniongkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran, sebagai suatu
strategi pemecahan masalah pembelajaran dan mencapai tujuan
pembelajaran secara optimal.
8
b. Kelebihan dan Kelemahan Kolaboratif
Menurut Hill dalam Suryani (2016) ada beberapa keunggulan
pembelajaran kolaborasi, antara lain berkenaan dengan
(1) prestasi belajar lebih tinggi,
(2) pemahaman lebih mendalam,
(3) mengembangkan keterampilan kepemimpinan,
(4) meningkatkan sikap positif,
(5) meningkatkan harga diri,
(6) belajar secara inklusif,
(7) merasa saling memiliki, dan
(8) mengembangkan keterampilan masa depan.
Selain memiliki kelebihan dalam proses pembelajaran, metode
kolaboratif juga memiliki kelemahan. Menurut Wasilah dalam
Wahyuni & Hasnah (2017) Beberapa kelemahan dari metode
kolaborasi sebagai berikut :
(1) Memerlukan pengawasan yang baik dari guru, karena jika tidak
dilakukan pengawasan yang baik, maka proses kolaboratif tidak
akan efektif.
(2) Ada kecenderungan untuk saling mencontoh pekerjaan orang lain.
(3) Memakan waktu yang cukup lama, karena itu harus dilakukan
dengan penuh kesabaran.
(4) Sulitnya mendapatkan teman yang dapat bekerjasama.

Tetapi model pembelajaran Kolaboratif ini banyak memberikan


dampak positif. Salah satu hasil penelitian pembelajaran kolaboratif
ditunjukkan oleh Clark & Baker (2007), bahwa penerapan
collaborative learning pada kelompok yang beragam memberikan
hasil yang positif. Penelitian oleh Gokhale (1995) menyimpulkan
bahwa pembelajaran kolaboratif melalui diskusi, klarifikasi gagasan,
dan evaluasi dari orang lain dapat menguatkan pemikiran kritis dan
efektif dalam mendapatkan pengetahuan faktual.
9
c. Penerapan Model Kolaboratif
Dalam menerapkan pembelajaran kolaboratif, menurut Driver &
Leach dalam Husain (2020) harus tercipta lingkungan kelas yang
berperspektif konstruktivis antara lain sebagai berikut:
(1) Siswa tidak dipandang secara pasif, tetapi aktif untuk belajar
mereka sendiri – mereka membawa konsepsi mereka ke dalam
situasi belajar.
(2) Belajar mengutamakan proses aktif siswa mengkonstruksi makna,
dan acapkali dengan melalui negosiasi interpersonal
(3) Pengetahuan tidak bersifat out there, tetapi terkonstruk secara
personal dan secara sosial
(4) Guru juga membawa konsepsi mereka ke dalam situasi belajar,
tidak hanya dalam hal pengetahuan mereka, tetapi juga pandangan
mereka terhadap belajar dan mengajar yang dapat memengaruhi
cara mereka berinteraksi dengan siswa di dalam kelas
(5) Pengajaran bukan mentransmisi pengetahuan tetapi mencakup
organisasi situasi di dalam kelas dan desain tugas yang
memudahkan siswa menemukan makna.
(6) Kurikulum bukan sesuatu yang perlu dipelajari tetapi program-
program tugas belajar, bahan-bahan, sumber-sumber lain, dan
wacana dari mana siswa mengkonstruksi pengetahuan mereka
Demikianlah dalam pembelajaran kolaboratif diciptakan
lingkungan sosial yang kondusif untuk terlaksananya interaksi yang
memadukan segenap kemauan dan kemampuan belajar siswa.
Lingkungan yang dibentuk berupa kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari empat atau lima siswa pada setiap kelas dengan anggota
kelompok yang sedapat mungkin tidak bersifat homogen. Artinya,
anggota suatu kelompok diupayakan terdiri dari siswa laki-laki dan
perempuan, siswa yang relatif aktif dan yang kurang aktif, siswa yang
relatif pintar dan yang kurang pintar. Dengan komposisi sedemikian
10
itu dapat diharapkan terlaksananya peran tutor beserta tutee antar
teman dalam setiap kelompok.
d. Macam-macam Model Pembelajaran Kolaboratif
Menurut Husain (2020) Ada banyak macam pembelajaran
kolaboratif yang pernah dikembangkan oleh para ahli maupun praktisi
pendidikan, teristimewa oleh para ahli Student Team Learning pada
John Hopkins University. Tetapi hanya sekitar sepuluh macam yang
mendapatkan perhatian secara luas, yaitu:
(1) Learning Together
Dalam metode ini kelompok-kelompok sekelas
beranggotakan siswa-siswa yang beragam kemampuannya. Tiap
kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu
set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
(2) Teams-Games-Tournament (TGT)
Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota
suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain
sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian
didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok.
(3) Group Investigation (GI)
Semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan
suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang
dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan
dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana
perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian
didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
(4) Academic-Constructive Controversy (AC)
Setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk
berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan
berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota
sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan
11
pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan
kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan,
hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian
didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok
mempertahankan posisi yang dipilihnya.
(5) Jigsaw Proscedure (JP)
Dalam bentuk pembelajaran ini, anggota suatu kelompok
diberi tugas yang berbeda-beda tentang suatu pokok bahasan. Agar
setiap anggota dapat memahami keseluruhan pokok bahasan, tes
diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasarkan
pada ratarata skor tes kelompok.
(6) Student Team Achievement Divisions (STAD)
Para siswa dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa
kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok saling
belajar dan membelajarkan sesamanya. Fokusnya adalah
keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan
kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan
berpengaruh terhadap keberhasilan individu siswa. Penilaian
didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual maupun
kelompok.
(7) Complex Instruction (CI)
Metode pembelajaran ini menekankan pelaksanaan suatu
proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang
sains, matematika dan pengetahuan sosial. Fokusnya adalah
menumbuhkembangkan ketertarikan semua anggota kelompok
terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam
pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa)
dan di antara para siswa yang sangat heterogen. Penilaian
didasarkan pada proses dan hasil kerja kelompok.
(8) Team Accelerated Instruction (TAI)

12
Bentuk pembelajaran ini merupakan kombinasi antara
pembelajaran kooperatif/ kolaboratif dengan pembelajaran
individual. Secara bertahap, setiap anggota kelompok diberi soal-
soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu
dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal
tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap siswa
mengerjakan soalsoal tahap berikutnya. Namun jika seorang siswa
belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia
harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap
tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian
didasarkan pada hasil belajar individual maupun kelompok.
(9) Cooperative Learning Stuctures (CLS)
Dalam pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan
anggota dua siswa (berpasangan). Seorang siswa bertindak sebagai
tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan
yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia
memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu.
Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua
siswa yang saling berpasangan itu berganti peran.
(10) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC).
Model pembelajaran ini mirip dengan TAI. Sesuai namanya,
model pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca,
menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para siswa saling
menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik
secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.

(2) Kemampuan Berpikir Kreatif


a. Pengertian
Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang
bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus
dipecahkan. Pada hakikatnya berpikir kreatif berhubungan dengan
13
penemuan sesuatu, mengenai hal yang menghasilkan sesuatu yang
baru dengan menggunakan sesuatu yang telah ada. Menurut Hariman
dalam Damaiyanti et al., (2023) berpikir kreatif adalah suatu
pemikiran yang berusaha menciptakan gagasan yang baru. Berpikir
kreatif merupakan serangkaian proses, termasuk memahami masalah,
membuat tebakan dan hipotesis tentang masalah, mencari jawaban,
mengusulkan bukti, dan akhirnya melaporkan hasilnya.

b. Indikator Kemampuan Berpikir Kreatif


Hanifah & Julia (2019) menyatakan bahwa berpikir kreatif dapat
diukur secara langsung melalui beberapa indikator yang meliputi :
1. Kelancaran, yaitu suatu kemampuan peserta didik dalam
mengemukakan beberapa pendapat dalam pembelajaran.
2. Keluwesan, yaitu suatu keterampilan berpikir yang berbeda
dengan kebanyakan orang, mencari alternatif jawaban secara
variatif, memberi pertimbangan yang berbeda terhadap situasi
yang dihadapi, dan mampu mengubah arah berpikir secara
spontan.
3. Keaslian, yaitu ketrampilan peserta didik dalam melahirkan
ideide baru yang unik, membuat kombinasi yang tidak lazim
untuk menunjukan diri, mencari pendekatan baru untuk
menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
4. Kerincian, yaitu peserta didik mampu mengembangkan suatu
gagasan yang diterimanya. Peserta didik yang memiliki
ketrampilan memperinci tidak cepat puas dengan pengetahuan
yang sederhana.
c. Ciri-ciri Kemampuan Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif yakni kemampuan seseorang untuk menciptakan
sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, dalam
bentuk ciri-ciri aptitude maupun non aptitude, dalam karya baru
maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, dan semuanya
14
relatif berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Adapun ciri-ciri
kemampuan dari berpikir kreatif yaitu Menurut Susanto (2013: 102)
ciri-ciri anak yang kreatif dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek
kognitif dan efektif.
1. Aspek kognitif Ciri-ciri kreativitas yang berhubungan dengan
kemampuan berpikir kreatif atau divergen., yang ditandai dengan
adanya beberapa keterampilan tertentu, seperti : keterampilan berpikir
lancar, berpikir luwes/fleksibel, berpikir orisinal, keterampilan
merinci, dan keterampilan menilai. Makin kreatif seseorang, maka ciri-
ciri ini makin melekat pada dirinya.
2. Aspek afektif Ciri-ciri kreatif yang lebih berkaitan dengan
sikap dan perasaan seseorang, yang ditandai dengan berbagai perasaan
tertentu, seperti : rasa ingin tahu, bersifat imajinatif/fantasi, sifat berani
mengambil resiko, sifat menghargai, percaya diri, keterbukaan
terhadap pengalaman baru.
Sedangkan menurut Munandar dalam Fakhriyani (2016)
mengemukakan ciri-ciri dari kreativitas antara lain:
1. Kelancaran berpikir (fluency of thinking)
Kemampuan untuk menghasilkan banyak ide yang keluar dari
pemikiran seseorang secara cepat. Dalam kelancaran berpikir, yang
ditekankan adalah kuantitas, dan bukan kualitas.
2. Keluwesan berpikir (flexibility)
Kemampuan untuk memproduksi sejumlah ide, jawaban-jawaban
atau pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu
masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda, mencari alternatif atau
arah yang berbeda-beda, serta mampu menggunakan bermacam-
macam pendekatan atau cara pemikiran. Orang yang kreatif adalah
orang yang luwes dalam berpikir. Mereka dengan mudah dapat
meninggalkan cara berpikir lama dan menggantikannya dengan cara
berpikir yang baru.
3. Elaborasi (elaboration)
15
Kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan menambahkan
atau memperinci detail-detail dari suatu objek, gagasan atau situasi
sehingga menjadi lebih menarik.
4. Originalitas (originality)
Kemampuan untuk mencetuskan gagasan unik atau kemampuan
untuk mencetuskan gagasan asli.
Maka kreativitas merupakan kemampuan seseorang berfikir dan
bertingkah laku. Seseorang yang memiliki kreativitas atau kemampuan
berfikir divergensi yang tinggi tidak banyak kesulitan dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, kreativitas
yang didefinisikan para ahli selalu berkaitan dengan kemampuan
berfikir dan bertingkah laku
(3) Mata Pelajaran IPA Materi Rangkaian Listrik Kelas VI
a. Pembelajaran IPA Materi Rangkaian Listrik Kelas VI
Pembelajaran IPA di SD merupakan salah satu mata pelajaran
SAINS yang mempelajari tentang Listrik. Terutama menyangkut
pengenalan dan pemahaman tentang cara-cara merangkai rangkaian
listrik. Secara substansial pelajaran IPA memiliki konstribusi dalam
memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan
memahami bagaimana merangkai listrik dalam kehidupan sehari-hari.
Didalam pembelajaran rangkaian listrik, ada dua materi yang
diajarkan yaitu, rangkaian seri dan rangkaian paralel.
b. Tujuan IPA Materi Rangkaian Listrik di SD
Mata Pelajaran IPA Materi listrik di SD bertujuan untuk membekali
peserta didik agar dapat :
(1) Menyebutkan peralatan rumah tangga yang menggunakan energi
listrik.
(2) Menyebutkan kegunaan peralatan rumah tangga yang
menggunakan energi listrik dalam kehidupan sehari hari.
(3) Dapat merangkai rangkaian listrik sederhana dikehidupan sehari-
hari.
16
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Dalam tinjauan hasil penelitian relevan di gunakan sebagai
pendukung terhadap penelitian yang akan dilakukan. Di satu sisi juga
merupakan bahan perbandingan terhadap penelitian sebelumnya, serta
menguatkan argument, sehingga dalam hal ini penulis mengambil penelitian
yang berkaitan dengan judul yang di angkat.
Berdasarkan dari hasil penelitian yag dilakukan oleh Cintia et al.,
(2018) yang berjudul “Penerapan model pembelajaran discovery learning
untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar siswa”
diketahui bahwa Kondisi awal persentase kemampuan berpikir kreatif
33,2% skor rata-rata 13,3. Ketuntasan hasil belajar 38% rata-rata 60 nilai
tertinggi 72,5 dan terendah 45. Siklus I, kemampuan berpikir kreatif siswa
73%, skor rata-rata 29,2. Persentase hasil belajar 71,8%, rata-rata 69,48,
nilai tertinggi 82,5 dan terendah 50. Siklus II, persentase kemampuan
berpikir kreatif 81,2% , rata-rata 32,2. Hasil belajar 84,6%, rata-rata 74,2,
nilai tertinggi 87,5 dan terendah 55. Dapat disimpulkan bahwa penerapan
model Discovery Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif
dan hasil belajar pembelajaran tematik siswa kelas V SDN Sidorejo Kidul
02 Tingkir.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dengan yang akan peneliti
lakukan adalah terdapat perbedaan dalam penggunaan model pembelajaran.
Peneliti akan menggunakan model pembelajara kolaboratif, sedangkan
penelitian sebelumnya menggunakan model pembelajaran discovery
learning. Selain itu terdapat perbedaan yaitu lokasi penelitian. Pada
penelittian ini juga memiliki persamaan dengan penelitian yang sudah
dilakukan oleh ini persamaan nya dengan penelitian yang sudah dilakukan
oleh Nichen Irma dkk, persamaannya yaitu sama-sama meneliti tentang
kemampuan berpikir kreatif siswa .
Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rusdian dkk
dengan judul “Penerapan model pembelajaran trefinger untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa” hasil dari
17
penelitian ini adalah menunjukan bahwa kemampuan berpikir kreatif
matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran treffinger lebih
baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif
siswa pada pembelajaran matematika.
Dilihat dari penelitian terdahulu dan yang akan peneliti lakukan
yaitu terdapat perbedaan dan persamaan. Perbedaan dalam penelitian ini
yaitu dilihat dari model pembelajarannya, peneliti terdahulu menggunakan
model pembelajaran treffinger sedangkan yang akan peneliti lakukan adalah
menggunakan model pembelajaran kolaboratif. Pada penelitian ini juga
memiliki persamaan yaitu sama-sama meneliti tentang kemampuan berpikir
kreatif siswa.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Cristian, dkk yang berjudul
“Pengembangan model pembelajaran IPA terintegrasi estnosains untuk
meningkatkan hasil belajar dan kemampuan berpikir kreatif”. Penelitian ini
menghasilkan model pembelajaran IPA terintegrasi etnosains yang terdiri
atas delapan komponen yaitu tujuan, sintaks, fondasi, sistem sosial, prinsip
reaksi, sistem pendukung, dampak instruksional dan pengiring. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan
valid dan layak digunakan. Keefektifan penerapan model pembelajaran
terlihat dari jumlah siswa yang mencapai nilai ketuntasan lebih dari 70%.
Uji banding dua sampel T-test menunjukkan kelas eksperimen memperoleh
rataan hasil belajar lebih baik dari pada kelas kontrol. Berdasarkan analisis
N gain, persentase siswa di kelas eksperimen yang memperoleh kategori
“tinggi” lebih banyak dari pada persentase siswa di kelas kontrol. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran IPA terintegrasi
etnosains layak digunakan pada proses pembelajaran, serta dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dan kemampuan berpikir kreatif siswa.
Dari penelitian yang sudah dilakukan ataupun penelitian yang akan
peneliti lakukan, terdapat perbedaan yaitu pada penelitian Cristian dkk
menggunakan pengembangan model pembelajaran etnosains dimana
18
banyak mengintegrasikan model pembelajaran IPA. Sedangkan pada
penelitian yang akan dilakukan menggunakan model pembelajaran
kolaboratif yang tidak mengintegrasikan etnosaisn.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nada et al. (2018) yang
berjudul “penerapan model open ended problems berbantuancd
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa kelas
VI SD 1 Golantepus” Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan
berpikir kreatif siswa mengalami peningkatan. Pada siklus I diperoleh
presentase 74,1% dengan kriteria cukup kreatif, dan meningkat di siklus II
presentase 85,92% dengan kriteria kreatif. Berdasarkan hasil penelitian,
dapat disimpulkan bahwa penerapan model open ended problems
berbantuan compact disk (CD) pembelajaran dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif siswa kelas IV SD 1 Golantepus.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan nada, dkk dengan
peneltiian yang akan dilakukan terdapat perbedaan dan persamaan.
Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh nada dkk yaitu penelitian
tersebut menggunakan model pembelajaran Open Ended Problems yang
menggunakan alat bantu CD, sedangkan penelitian yang akan dilakukan
adalah dengan menggunakan model pembelajaran kolaboratif yang
menggunakan alat bantu rangkaian listrik. Persamaan dari kedua penelitian
adalah sama-sama meneliti tentang kemampuan berpikir kreatif siswa
sekolah dasar.
C. Kerangka Berfikir
Pembelajaran adalah kegiatan belajar mengajar yang dapat
mengubah perilaku individu. Aktivitas belajar mengajar akan terjadi
interaksi antara pendidik dengan peserta didik hal tersebut sebagai bentuk
adanya stimulus dan respon. Adanya stimulus dan respon akan
mempengaruhi tingkah laku, perkembangan pola pikir, dan meningkatkan
keterampilan peserta didik secara bertahap.
Pembelajarna yang baik merupakan pembelajaran yang dapat
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Pembelajaran pada
19
umumnya terjadi atau berlangsung di lembaga pendidikan baik formal
atupun non formal. Untuk mendukung jalanya pembelajaran maka situasi
dan kondisi peserta didik dalam keadaan nyaman dan kondusif. Hal ini akan
berpengaruh terhadap transfer of knowledge yang sedang berlangsung pada
saat pembelajaran. Jika keadaan lingkungan dan kondisi nyaman dan
kondusif pesrta didik akan lebih mudah dalam memahami meteri yang
diajarkan.
Jadi peneliti akan melakukan observasi dahulu tentang kondisi awal
siswa, kemudian setelah ditemukannya permasalahan, peneliti akan
membagi kelas control yang akan masih menerapkan model pembelajaran
yang konvensioal dan kelas eksperimen yang akan diterapkan model
pembelajaran kolaboratif.

20
Gambar 2.1
Kerangka Berfikir

Kondisi Awal

Wawancara Angket

1. Kurangnya respon siswa dalam mengikuti


pelajaran rangkaian listrik
2. Kurangnya pemahaman siswa terhadap
materi.
3. Siswa kurang bisa untuk menyelesaikan
suatu masalah.
4. Siswa kurang untuk mengeluarkan
keterampilan berpikir kreatif.

K. Kontrol K. Eksperimen

Pretes
Pretes
t
t

1. Terdapat peningkatan
Konvensional kemampuan berpikir
kreatif siswa. Kolaboratif
2. Kemampuan berpikir
kreatif siswa mencapai
kriteria ketuntasan
maksimal.
3. Meningkatnya respon
siswa pada proses
pembelajaran.

21
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah kesimpulan sementara yang harus dibuktikan
kebenarannya atau dapat dikatakan sesuai dengan hubungan antara dua
variabel. Dalam hipotesis ini juga ialah jawaban sementara terhadap
rumusan masalah peneliti, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Adapun hipotesis yang
penulis gunakan adalah :

𝜇1 = 𝑚𝑒𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙


𝜇2 = 𝑚𝑒𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙𝑖 𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑒𝑟𝑖𝑚𝑒𝑛

1. 𝐻𝑂1 : 𝜇1 = 𝜇2
Tidak ada peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa sekolah dasar
dalam pembelajaran Rangkaian Listrik.
𝐻𝑎 1 : 𝜇1 ≠ 𝜇2
Ada peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa sekolah dasar dalam
pembelajaran Rangkaian Listrik.
2. 𝐻𝑂2 : 𝜇1 = 𝜇2
Kemampuan berpikir kreatif siswa tidak mencapai kriteria ketentuan
minimal.
𝐻𝑎 2 : 𝜇1 ≠ 𝜇2
Kemampuan berpikir kreatif siswa mencapai kriteria ketentuan
minimal.
3. 𝐻𝑂3 : 𝜇1 = 𝜇2
Tidak ada peningkatan respon siswa terhadap proses pembelajaran
kolaboratif.
𝐻𝑎 2 : 𝜇1 ≠ 𝜇2
Ada peningkatan respon siswa terhadap proses pembelajaran kolaboratif.

22
23

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian
kuantitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan deduktif, artinya
pendekatan yang berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli,
maupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya. Kemudian
dikembangkan menjadi permasalahan berserta pemecahan yang diajukan untuk
memperoleh pembenaran dalam bentuk dukungan data empiris di lapangan.
Penelitian kuantitatif adalah bentuk penelitian yang banyak menggunakan
angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut sampai
kepada penampilan dari hasil akhirnya.
Hal pokok yang disoroti dalam penelitian kuantitatif adalah hubungan
antar variable dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.
Serangkaian teknik pengujian dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara
teori yang telah ditetapkan dengan kenyataan atau bukti-bukti empiris.
Berdasarkan hasil pengujian tersebut, lalu ditetapkan kesimpulan berdasarkan
rumusan masalah yang diajukan peneliti.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksperimen. Penelitian
eksperimen dilakukan untuk mengetahui hasil dari penerapan model
pembelajaran kolaboratif dibandingkan dengan hasil model pembelajaran yang
dilakukan disekolah(konvensional). jenis penelitian ini dikatakan sebagai
metode penelitian yang produktif, karena jika penelitian ini dilakukan dengan
baik akan dapat menjawab hipotesis yang berkaitan dengan hubungan sebab
akitab. Inilah sebabnya penelitian jenis ini disebut sebagai pendekatan
penelitian kuantitatif yang paling penuh, sebab memenuhi semua persyaratan
untuk menguji hubungan sebab akibat. Penelitian ini mempunyai ciri yang
unik, dapat dilihat dari 2 hal yaitu, pertama penelitian eksperimen menguji
secara langsung pengaruh suatu variable terhadap variable lain, dan kedua
menguji hipotesis hubungan sebab akibat. Hipotesis dalam penelitian
eksperimen akan selalu mengarah pada upaya membandingkan dari penerapan
tindakan antara kelompok ekperimen dengan kelompok control.
2. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua kelompok kelas, yaitu kelompok kelas
eksperimen dan kelompok kelas kontrol. Pada kelas eksperimen akan diberi
perlakuan menggunakan model pembelajaran kolaboratif dan pada kelas
kontrol akan menggunakan model pembelajaran konvensional (yang
diterapkan disekolah). Perbedaan rata-rata tersebut akan dibandingkan untuk
menentukan apakah penerapan model pembelajaran kolaboratif akan mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Secara umum, quasi-
experimen yang digunakan dalam penelitia ini melibatkan tipe intervensi atau
perlakuan tertentu dan perbandingan. Salah satu dari desain yang tergolong
quasi-experiment adalah “Pretest-Posttes Control Group Design”.

Kontrol O1 O2

Eksperimen O3 O4
en

Gambar 3.1
Desain Penelitian eksperimen Pretest-Posttest Control Group Design
O1 = Nilai pretest kelas kontrol sebelum diberi tindakan
O3 = Nilai pretest kelas eksperimen sebelum diberi tindakan
X = Pemberian tindakan
O2 = Nilai posttest kelas kontrol setelah diberi tindakan.
O4 = Nilai posttest kelas eksperimen setelah diberi tindakan
Menurut Sugiyono (2013: 113) Pretest-Posttes Control Group Design
adalah desain yang terdapat dua kelompok yang dipilih secara random,
kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal, hasil pretest yang

24
baik bila nilai kelompok eksperimen tidak berbeda secara signifikan. Maka dari
konsep tersebut, desain metode penelitian dalam penelitian ini merupakan
desain eksperimen yang dilakukan dengan pretest sebelum perlakuan diberikan
dan posttest sesudah perlakuan diberikan, dan juga terdapat kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penulis akan melakukan penelitian selama 2 minggu pada bulan maret
2023. Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar yaitu SDN 12 Singkawang.
Sebagai gambaran dari pelaksanaan penelitian ini, dapat dilihat pada table
berikut.
Tabel 3.1
Waktu Penelitian
No Kegiatan Maret 2023
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
1. Perencanaan V
di sekolah
2. Pelaksanaan v
pretest di
kelas kontrol
dan
eksperimen
3. Pelaksanaan V
tindakan
dikelas
kontrol
4. Pelaksanaan V
tindakan
dikelas
eksperimen

25
5. Pelaksanaan V
posttest di
kelas kontrol
dan
eksperimen
6. Pengumpula V
n data

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Penentuan jumlah populasi dalam suatu penelitian merupakan salah satu
Langkah penting karena dalam populasi diharapkan diperoleh data yang
diperlukan. Untuk mengetahui secara jelas populasi yang akan dijadikan objek
penelitian, terlebih penulis mengemukakan pengertian populasi berdasarkan
rumusan oleh beberapa ahli antara lain, menurut Sudjana dalam Faturohman (
2015)populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung
ataupun pegukuran, kuantitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua
anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
Maka dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa di SDN
12 Singkawang pada semester ganjil tahun pelajaran 2023/2024.
2. Sampel
Dalam penelitian diperlukan adanya sampel penelitian dari populasi yang
dijadika sebagai contoh. Dalam hal ini Sugiyono (2013: 118) mengemukakan
sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Peneliti menggunakan teknik cluster random sampling, berdasarkan
kelompok belajar. Kelompok belajar yang diambil adalah kelompok belajar
yang sudah memenuhi karakteristik.
Peneliti memperoleh sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas 6 di
SDN 12 Singkawang, dimana peneliti memilih 2 kelas yaitu untuk kelas
kontrol dan kelas eksperimen. Untuk kelas kontrol diambil kelas VI A yang
terdiri dari 10 orang siswa laki-laki dan 9 orang siswa perempuan. Kemudian
26
untuk kelas eksperimen peneliti mengambil kelas VI B yang terdiri dari 10
orang siswa laki-laki dan 9 orang siswa perempuan. Jadi total keseluruhan
sampel adalah 38 siswa.
D. Definisi Operasional
Penelitian ini mengkaji dua variable, yaitu “Model Pembelajaran
Kolaboratif” sebagai variable bebas (X) dan “Kemampuan Berfikir Kreatif”
sebagai variable terikat (Y). Untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk
menyamakan presepsi, maka terlebih dahulu penulis mengemukakan definisi
operasional variabel penelitian agar tidak terjadi penafsiran yang keliru.
1. Model Pembelajaran Kolaboratif
Model pembelajaran kolaboratif adalah proses belajar kelompok
dimana setiap anggota menyumbangkan informasi, ide, sikap, pendapat,
untuk secara bersama-sama saling meningkatkan sikap siswa untuk
memahami seluruh bagian pembahasan, tidak seperti kelompok belajar
yang kita kenal, yang menyebabkan hanya siswa tertentu yang memahami
materi. Metode ini membuat siswa akan memiliki pemahaman yang setara
akan suatu pembahasan.
2. Kemampuan Berfikir Kreatif
Susanto (2013: 110) Kreativitas siswa dan kemampuan berpikir
kreatif dapat dilihat melalui aktivitas kreatif dalam pembelajaran.
Kreativitas merupakan produk dari berpikir kreatif, sedangkan aktivitas
kreatif merupakan kegiatan dalam pembelajaran yang diarahkan untuk
mendorong atau memunculkan kreativitas siswa. Kemampuan berpikir
kreatif siswa dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui kualitas
kemampuan siswa dalam berpikir kreatif dan perkembangannya selama
proses pembelajaran. Sehingga terdapat tingkatan-tingkatan dalam berpikir
kreatif.
3. Rangkaian Listrik
Rangkaian listrik adalah jalur yang tersusun dari berbagai macam
komponen elektronik yang mampu mengalirkan arus listrik dari sumber
listrik ke berbagai perangkat. Didalam rangkaian listrik ini juga terdapat

27
bagian-bagian kecil pembentuk sebuah rangkaian elektronik baik yang
sederhana maupun yang sangat kompleks sehingga rangkaian tersebut
bekerja dengan baik. Rangkaian listrik dibagi menjadi dua, yaitu rangkaian
seri dan rangkaian paralel.
E. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, perlu adanya teknik pengumpulan data yang
dapat digunakan secara tepat sesuai dengan masalah yang diselidiki dan tujuan
penelitian, maka penulis menggunakan beberapa metode yang tepat
mempermudah penelitian ini, antara lain :
1. Angket
Menurut Sugiyono (2013) Angket merupakan teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pernyataan atau
pertanyaan tertulus kepada responden untuk dijawabnya. Bentuk angket ini
adalah pilihan ganda yang berhubungan dengan masalah materi rangkaian
listrik yang telah dibahas.
2. Wawancara
Wawancara adalah proses pengumpulan data yang menanyakan
seseorang atau narasumber dalam usaha untuk memperoleh sebuah
informasi. Wawancara dilakukan untuk mengetahui secara langsung point
dari suatu permasalahan. Bentuk dari instrument wawancara adalah berisi
pedoman-pedoman pertanyaan yang telah dibuat untuk diajukan kepada
narasumber/guru mata pelajaran.
3. Tes
Tes adalah prosedur yang dibuat dalam bentuk tugas-tugas yang
distandarisasikan dan diberikan kepada individua tau kelompok untuk
dikerjakan, dijawab atau direspon, baik dalam bentuk tertulis, lisan,
maupun perbuatan. Secara lebih praktis, tes merupakan serangkaian
pertanyaan atau Latihan yang digunakan untuk mengukur keterampilan
pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
individu atau kelompok. Tes yang diberikan merupakan test uraian tentang
proses merangkai rangkaian listrik
28
F. Teknik Analisis Data
1. Tahap Pra Penelitian
a. Uji validitas Instrumen
Dalam penelitian kuantitatif, kriteria utama terhadap data hasil
penelitian adalh valid, reliabel, dan objektif. Validitas merupakan derajat
ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian.
Adapun rumus yang digunakan adalah
𝑵∑𝒙𝒚 − (∑𝒙)(∑𝒚)
𝒓𝒙𝒚 =
√{𝑵∑𝒙𝟐 − (∑𝒙)𝟐 } {𝑵∑𝒚𝟐 − (∑𝒚)𝟐 }
Keterangan
𝑟𝑥𝑦 = 𝐾𝑜𝑒𝑓𝑒𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑘𝑜𝑟𝑒𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑥 𝑑𝑎𝑛 𝑦
∑𝑥 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑥
∑𝑦 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑦
∑𝑥𝑦 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟𝑘𝑎𝑙𝑖𝑎𝑛 𝑎𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑥 𝑑𝑎𝑛 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑦
𝑁 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛
Tabel 3.1
Interpretasi Validitas
KOEFESIEN VALIDITAS INTERPRETASI
0,80 < 𝑟𝑥𝑦 ≤1,00 Sangat Baik
0,60 < 𝑟𝑥𝑦 ≤0,80 Baik
0,40 < 𝑟𝑥𝑦 ≤0,60 Cukup
0,20 < 𝑟𝑥𝑦 ≤0,40 Kurang
0,00 < 𝑟𝑥𝑦 ≤0,20 Sangat Kurang
𝑟𝑥𝑦 ≤0,00 Tidak Valid

b. Uji Reliabilitas Instrumen


Menurut Sugiyono (2017: 130) menyatakan bahwa uji reliabilitas adlah
sejauh mana hasil pengukuran dengan menggunakan objek yang sama, akan

29
menghasilkan data yang sama. Untuk menguji reliabilitas isntrumen penelitian
ini menggunakan rumus alpha Cronbach, yaitu :
𝑘 ∑ 𝜎𝑖2
𝑟11 = {1 − }
( 𝑘 − 1) 𝜎𝑖2
Keterangan :
𝑟11 = 𝐾𝑜𝑒𝑓𝑒𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑟𝑒𝑙𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑚𝑒𝑛
𝑘 = 𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 butir pertanyaan atau banyaknya soal

∑ 𝜎𝑖2 = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟

𝜎𝑖2 = 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙


Tabel 3.2
Klasifikasi Koefesien Reliabilitas
KOEFESIEN RELIABILITAS INTERPRETASI
𝑟11 < 0,20 Sangat Rendah
0,20 ≤ 𝑟11 < 0,40 Rendah
0,40 ≤ 𝑟11 < 0,70 Sedang
0,70 ≤ 𝑟11 < 0,90 Tinggi
0,90 ≤ 𝑟11 < 1,00 Sangat Tinggi

c. Indeks Tingkat Kesukaran Soal


Skor yang rendah banyak disebabkan oleh soal yang terlalu sukar, karena
Sebagian besar siswa akan mendapat nilai yang rendah. Kadang kala soal yang
sulit memang harus diberikan kepada siswa untuk melatih kemampuan berpikir
kreatif siswa, tetapi banyak siswa yang akan mengeluh Ketika dihadapkan jika
soal tersebut diberikan kepada siswa dengan frekuensi yang banyak. Begitu
juga sebaliknya, soal yang mudah akan memungkinkan siswa mendapat nilai
yang tinggi, tetapi hal ini sangatlah kurang efektif untuk siswa karena kurang
merangsang siswa untuk lebih kuat berpikir dan kurang mampu meningkatkan
motivasi untuk belajar. Tingkat kesukaran soal dapat diuji dengan rumus
berikut menurut Suherman dalam Dewi (2018) :

30
𝑋
𝑇𝐾 =
𝑆𝑀𝐼
Keterangan :
TK : Indeks tingkat kesukaran
X : Nilai rata-rata tiap butir soal
SMI : Skor maksimal Ideal
Klasifikasi interpretasi indeks tingkat kesukaran menurut Suherman
dalam Suherman dalam Dewi (2018) adalah sebagai berikut.
Tabel 3.3
Kriteria Indeks Tingkat Kesukaran
DAYA PEMBEDA INTERPRETASI
IK = 0,00 Terlalu Sukar
0,00 < IK < 0,30 Sukar
0,30 < IK < 0,70 Sedang
0,70 < IK < 1,00 Mudah
IK = 1,00 Terlalu Mudah

2. Tahap Prasyarat Penelitian


a. Uji Normalitas
Uji normalitas merupakan uji kenormalan distribusi data. Dengan
demikian, uji normalitas ini mengamsusi bahwa, data ditiap variabel
berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Metode yang digunakan adalah uji Kolmogorov Smirnov, dengan
hipotesis :
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data tidak berdistribusi normal
Statistik uji :
𝑓𝑖 𝑓𝑘𝑖
𝐷𝑚𝑎𝑥 = { − [ − (𝑝 ≤ 𝑧)]}
𝑛 𝑛
𝑘𝑒𝑡𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 ∶
𝑛 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎

31
𝑓𝑖 = 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖
𝑓𝑘𝑖 = 𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑢𝑚𝑢𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah beberapa
varian populasi adalah sama atau tidak. Menurut usmadi (2020: 51) uji
homogenitas sangat diperlukan sebelum membandingkan dua kelompok
atau lebih, agar perbedaan yang ada bukan disebabkan oleh adanya
perbedaan data dasar (ketidakhomogenan).
Statistic yang digunakan untuk menguji homogenitas varians
menggunakan metode uji varians, yaitu :
Hipotesis :
H0 : Varians homogen
H1 : Varians tidak homogen
Statistik uji :
𝑆 2 𝑚𝑎𝑥
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 : 2
𝑆 𝑚𝑖𝑛

3. Uji Hipotesis
a. Uji t
Uji t ini dilakukan untuk mengetahui ngaimana perbedaan
penerapan model pembelajaran yang berbeda dari dua kelompok data
yang independent. Salah satu syarat dalam uji t ini adalah data harus
berdistribusi normal. Menurut Nuryadi et al. (2017: 108) rumus
independent sampel t-test yaitu :

𝑀1 − 𝑀2
𝑡ℎ𝑖𝑡 =
𝑆𝑆1 + 𝑆𝑆2 1 1

𝑛1 + 𝑛2 − 2 (𝑛1 + 𝑛2 )

Keterangan :
𝑀1 = 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 1
𝑀2 = 𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 2

32
𝑆𝑆1 = 𝑆𝑢𝑚 𝑜𝑓 𝑠𝑞𝑢𝑎𝑟𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 1
𝑆𝑆2 = 𝑆𝑢𝑚 𝑜𝑓 𝑠𝑞𝑢𝑎𝑟𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 2
𝑛1 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 1
𝑛2 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 2
Dimana :
∑𝑿𝟏 (∑𝑿𝟏 )𝟐
𝑴𝟏 = 𝑺𝑺𝟏 = ∑ 𝑿𝟐𝟏 −
𝒏𝟏 𝒏𝟏

∑𝑿𝟐 𝟐 (∑𝑿𝟐 )𝟐
𝑴𝟐 = 𝒏𝟐
𝑺𝑺𝟐 = ∑ 𝑿𝟏 − 𝒏𝟐

33
Daftar Pustaka
Apriono, D. (2013). Collaborative learning: A foundation for building togetherness and
skills. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, 17(1), 292–304.
https://journal.uny.ac.id/index.php/diklus/article/view/2897
Cintia, N. I., Kristin, F., & Anugraheni, I. (2018). Penerapan model embelajaran discovery
learning untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar siswa.
Perspektif Ilmu Pendidikan, 32(1), 67–75. https://doi.org/10.21009/pip.321.8
Damaiyanti, R., Akbar, M. taheri, & Prasrihamni, M. (2023). 1498-Article Text-6938-1-10-
20230820. Jurnal Ilmiah PGSD FKIP Universitas Mandiri, 09(4), 339–348.
Dewi, M. P. (2018). Efektivitas penerapan pendekatan realistic mathematics education
(RME) dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas v
sekolah dasar.
Fakhriyani, D. V. (2016). Pengembangan kreativitas anak usia dini. Wacana Didaktika,
4(2), 193–200. https://doi.org/10.31102/wacanadidaktika.4.2.193-200
Faturohman, C. (n.d.). Statistik dasar. Sekolah Tinggi Komputer Bandung.
Hanifah, N. (2019). Pengembangan instrumen penilaian Higher Order Thinking Skill
(HOTS) di sekolah Dasar. Jurnal Penelitian & Pengembangan Pendidikan Fisika,
3(2), 197–202. https://ejournal.upi.edu/index.php/crecs/article/view/14286
Husain, R. (2020). Penerapan model kolaboratif dalam pembelajaran di sekolah dasar. E-
Prosiding Pascasarjana Universitas Negeri …, 1(2012), 12–21.
http://ejurnal.pps.ung.ac.id/index.php/PSI/article/download/396/359
Khorunisa, K. (2018). Penerapan model problem based learning (pbl) dalam peningkatan
pembelajaran matematika tentang pecahan pada siswa kelas iii sdn 3
tambakmulyo tahun ajaran 2017/2018. Universitas sebelas maret.
Nada, I., Utaminingsih, S., & Ardianti, S. D. (2018). Penerapan model open ended
problems berbantuan cd pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif siswa kelas Iv Sd 1 Golantepus. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, 4(2), 216.
https://doi.org/10.30870/jpsd.v4i2.3856
Nuryadi, Astuti, T. D., Utami, E. S., & Budiantara, M. (2017). Buku Ajar Dasar-dasar
Statistik Penelitian. In Sibuku Medi.
Smarabawa, I., Arnyana, I. B., & Setiawan, I. (2013). Pengaruh model pembelajaran sains
teknologi masyarakat terhadap pemahaman konsep biologi dan keterampilan
berpikir kreatif siswa sma. Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Program Studi IPA, 3.
Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. In Penerbit Alfabeta.
ALFABETA.
Suryani, N. (2016). Implementasi model pembelajaran kolaboratif untuk meningkatkan
ketrampilan sosial siswa. Jurnal Harmoni IPS, 1(2), 1–23.

34
Susanto, H. A. (2011). Pemahaman Pemecahan Masalah Pembuktian Sebagai Sarana
Berpikir Kreatif. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, Dan Penerapan
MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 1997, 189–196.
Wahyuni, R., & Hasnah, Y. (2017). Pengaruh model pembelajaran collaborative writing
terhadap kemampuan menulis mahasiswa pada mata kuliah creative writing.
Kumpulan Jurnal Dosen ….
http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/kumpulandosen/article/view/1342

35

Anda mungkin juga menyukai