Anda di halaman 1dari 165

RISET

PERBANDINGAN FREKUENSI PEMBERIAN


ERYTHROPOIETIN TERHADAP PENINGKATAN
HEMOGLOBIN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG
MENJALANI HEMODIALISIS DI RSU Z JAGAKARSA
JAKARTA SELATAN

Riset ini Sebagai Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Disusun Oleh:

NENDEN MARTIANA
NPM 08190100054

PROGRAM STUDI ILMUKEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU
JAKARTA
2021
HALAMAN PERSETUJUAN

Riset dengan Judul :

PERBANDINGAN FREKUENSI PEMBERIAN

ERYTHROPOIETIN TERHADAP PENINGKATAN

HEMOGLOBIN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG

MENJALANI HEMODIALISIS DI RSU Z JAGAKARSA

JAKARTA SELATAN

Telah Mendapat Persetujuan Untuk Dilaksanakan Uji

Riset akhir pada

Jakarta, 09 Maret 2021

Pembimbing,

(Ns. Agus Purnama, S.Kep, MKM)

I
LEMBAR PENGESAHAN

Riset dengan Judul :

PERBANDINGAN FREKUENSI PEMBERIAN

ERYTHROPOIETIN TERHADAP PENINGKATAN

HEMOGLOBIN PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIS YANG

MENJALANI HEMODIALISIS DI RSU Z JAGAKARSA

JAKARTA SELATAN

Riset ini telah disetujui, diperiksa dan di pertahankan di hadapan


Tim Penguji Riset Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Indonesia Maju

Jakarta, 09 Maret 2021

Penguji

(Ns. Saiful Gunardi, S.Kep.M.Kes)

Pembimbing

II
(Ns. Agus Purnama, S.Kep, MKM)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Nenden Martiana

NPM : 08190100054

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam riset saya yang

berjudul :

“Perbandingan Frekuensi Pemberian Erythropoietin Terhadap Peningkatan

Hemoglobin Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsu

Z Jagakarsa Jakarta Selatan.”

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat maka saya akan

menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta , 09 Maret 2021

(Nenden Martiana)

III
HALAMAN PERSEMBAHAN

…..Of course i want to be successful but i don’t crave success for me I need to
be successful to gain enough milk and honey to help those around me
succeed….

Sujud syukurku kusembahkan kepadaMu ya Allah, Tuhan Yang Maha


Agung dan Maha Tinggi. Atas takdirmu saya bisa menjadi pribadi yang berpikir,
berilmu, beriman dan bersabar. Semoga keberhasilan ini menjadi satu langkah
awal untuk masa depanku, dalam meraih cita-cita saya.
Dengan ini saya persembahkan skripsi ini untuk, keluarga besar.…
Terima kasih untuk Ayah saya atas kasih sayang yang berlimpah dari
mulai saya lahir, hingga saya sudah sebesar ini. Lalu teruntuk Ibu, terima kasih
juga atas limpahan doa yang tak berkesudahan. Serta segala hal yang telah Ibu
lakukan, semua yang terbaik.
Terima kasih selanjutnya untuk Suami dan anak-anak saya serta kakak-
kakak saya yang luar biasa, dalam memberi dukungan dan doa yang tanpa henti.
A Oleh, Teh Lina, A Marno, Teh Yeni dan Teh Tatin yang selama ini sudah
menjadi kakak sekaligus sahabat bagi saya. Kalian adalah tempat saya berlari
ketika saya merasa tidak ada yang memahami di luar rumah.
Kepada Bapak Agus Purnama selaku dosen pembimbing saya yang paling
baik dan bijaksana, terima kasih karena sudah menjadi pembimbing skripsi saya
sampai selesai. Terima kasih atas bantuannya, nasehatnya, dan ilmunya yang
selama ini dilimpahkan pada saya dengan rasa tulus dan ikhlas.
Sahabat dan seluruh teman di kampus tercinta tanpa kalian mungkin
masa-masa kuliah saya akan menjadi biasa-biasa saja, walaupun kuliah ini
dilakukan secara daring, maaf jika banyak salah dengan maaf yang tak terucap.
Terima kasih untuk support dan luar biasa, sampai saya bisa menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.

Nenden Martiana

IV
PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU JAKARTA
RISET, 09 Maret 2021

NENDEN MARTIANA
08190100054

PEMBERIAN ERYTHROPOIETIN TERHADAP PENINGKATAN


HEMOGLOBIN PASIEN HEMODIALISIS DI RSU Z JAGAKARSA
JAKARTA SELATAN
XVI + 94 Hal +16 Tabel + 2 Gambar + 12 Lampiran

ABSTRAK
Defisiensi erythropoietin pada gagal ginjal kronis sehingga menyebabkan anemia berat,
meskipun penyebab lainnya seperti defisiensi zat besi dan asam folat sudah diterapi
dengan adekuat. Pemberian erythropoietin menjadi terapi pilihan untuk mempertahankan
kualitas hidup pasien dan menurunkan mordibilitas. Tujuan: mengetahui perbandingan
pengaruh Frekuensi Pemberian Erythropoietin terhadap peningkatan hemoglobin pasien
penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialysis. Metode: Kuasi-eksperimen, dengan
pretest-posttest control group desain. Populasi dalam penelitian ini seluruh pasien
hemodialisis di RSU Z Jagakarsa, dengan Sampel 60 0rang, 30 orang kontrol dan 30
orang intervensi. Analisis data menggunakan uji-t independent. Hasil: Rata-rata
Hemoglobin responden pada kelompok kontrol setelah pemberian Erythropoietin 1 kali
perminggu adalah 10,31 gr% dengan standar deviasi 1,35 gr%, sedangkan pada kelompok
intervensi setelah pemberian Erythropoietin 2 kali perminggu adalah 8,36 gr% dengan
standar deviasi 0,79 gr%. Selisih rata-rata nilai Hb pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi setelah pemberian erythropoetin 1,95gr%. Hasil analisis didapatkan P-Value
0,000. Kesimpulan: Ada perbedaan yang signifikan peningkatan Hemoglobin antara
Pemberian Erythropoietin frekuensi 1 kali perminggu dengan Pemberian Erythropoietin
frekuensi 2 kali perminggu pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani
Hemodialisis. Rekomendasi: Perlu dilakukan pengembangan kebijakan pemberian
Erythropoietin dalam penatalaksanaan pasien hemodialisis dengan anemia guna
meningkatkan adekuasi terapi dan pencapaian target Hb.
Kata Kunci: Gagal ginjal kronis, Erythropoietin, Hemodialisis, Anemia, Hemoglobin

Abstract
Erythropoietin deficiency in chronic renal failure leading to severe anemia, although
other causes such as iron deficiency and folic acid have been adequately treated. The
administration of erythropoietin is the therapy of choice to maintain the patient's quality
of life and reduce mordibility. Objective: to determine the effect of the frequency of
Erythropoietin administration on the increase in hemoglobin in chronic kidney disease
patients undergoing hemodialysis. Method: Quasi-experimental, with pretest-posttest
control group design. The population in this study were all hemodialysis patients at RSU
Z Jagakarsa, with a sample of 60 people, 30 controls and 30 interventionists. Data
analysis using independent t-test. Results: The mean hemoglobin of respondents in the
control group after giving Erythropoietin once per week was 10.31 gr% with a standard
deviation of 1.35 gr%, while in the intervention group after giving Erythropoietin 2 times
per week was 8.36 gr% with a standard deviation. 0.79 gr%. The difference in mean Hb
values in the control group and the intervention group after erythropoetin was 1.95gr%.

V
The analysis results obtained P-Value 0.000. Conclusion: There is a significant
difference in the increase in hemoglobin between the administration of Erythropoietin
frequency of once per week with the administration of Erythropoietin twice per week in
chronic kidney disease patients undergoing hemodialysis. Recommendation: It is
necessary to develop a policy of administering Erythropoietin in the management of
hemodialysis patients with anemia in order to improve the adequacy of therapy and the
achievement of Hb targets.

Keywords: Chronic kidney failure, Erythropoietin, Hemodialysis, Anemia, Hemoglobin

VI
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaah Wasyukurillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkah

dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian Riset dengan

judul “PERBANDINGAN FREKUENSI PEMBERIAN ERYTHROPOIETIN

TERHADAP PENINGKATAN HEMOGLOBIN PASIEN PENYAKIT

GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISIS DI RSU Z

JAGAKARSA JAKARTA SELATAN”.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak terdapat kesalahan

serta masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapakan kritik

dan saran demi kebaikan Riset ini.

Proses penyusunan Riset ini penulis banyak mengalami hambatan dan

kesulitan, namun berkat dan bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak

akhirnya penelitian ini dapat terselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. DR. Astrid Novita, SKM., MKM Selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Indonesia Maju Jakarta.

2. Susaldi, S.ST., M.Biomed selaku Wakil Ketua 1 Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Indonesia Maju Jakarta

3. Dr. Rindu, SKM., M. Kes selaku Wakil Ketua 2 Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Indonesia Maju Jakarta

4. Nur Rizky Ramadhani, SKM., M. Epid selaku Wakil Ketua 3 Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju Jakarta

VII
5. Ns. Eka Rokhmiati, S.Kep., M.Kep Selaku Kepala Departemen

Keperawatan.

6. Ns. Agus Purnama, S.Kep., MKM selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan arahan, masukan dan nasehat yang sangat membangun.

7. Ns. Saiful Gunardi, S.Kep., M.Kes selaku dosen penguji yang telah

memberikan arahan dan nasehat yang membangun.

8. Direktur Utama Rsu Z dan Ka. Subag Keperawatan beserta jajaran nya.

9. Rekan-rekan Unit Hemodialisa Rsu Z yang selalu support dan pengertian

disela-sela kesibukan bekerja selalu peneliti repotkan.

10. Dr. Tiani W yang selalu membantu dan mendukung jalan nya penelitian

ini sampai akhir.

11. Para Dosen dan Staff karyawan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia

Maju (STIKIM).

12. Kedua Orang tua ku, Kaka-kaka ku, dan suamiku dan anak-anak ku

tercinta yang telah memberi dorongan semangat, dan doa restunya kepada

peneliti dalam melakukan penelitian ini.

13. Rekan sejawat dan satu angkatan atas segala motivasi dan dukungannya,

kalian semua sungguh sangat bermakna.

Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi

para pembaca sekalian pada umumnya serta bagi mahasiswa/mahasiswi Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju Jakarta dan bagi penulis lainnya.

Jakarta, 09 Maret 2021

Penulis

VIII
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii

DAFTAR SKEMA ......................................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 8

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8

1. Tujuan umum ................................................................................ 8

2. Tujuan khusus ............................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9

1. Institusi Pendidikan ....................................................................... 9

2. Pengembangan Rumah Sakit ......................................................... 10

3. Pengembangan Keilmuan .............................................................. 10

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Teori dan Konsep terkait ................................................................... 11

1. Penyakit Ginjal Kronis .......................................................... 11

a) Definisi .................................................................................. 11

b) Etiologi .................................................................................. 12

IX
c) Epidemiologi ......................................................................... 13

d) Patofisiologi ........................................................................... 14

e) Klasifikasi PGK ..................................................................... 15

f) Manifestasi Klinis .................................................................. 17

g) Faktor Resiko ......................................................................... 18

h) Prosedur Diagnostik .............................................................. 19

i) Komplikasi ............................................................................. 20

2. Hemodialisis Pada PGK ........................................................ 20

3. Pemberian terapi EPO ........................................................... 21

4. Status Besi ............................................................................. 25

B. Penelitian Terkait ................................................................................. 27

C. Kerangka teori ..................................................................................... 41

BAB III KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep .............................................................................. 42

B. Hipotesis ............................................................................................ 43

C. Definisi Operasional .......................................................................... 44

BAB IV METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian ............................................................................... 43

B. Populasi dan Sampel Penelitan ......................................................... 49

1. Penghitungan Sampel ................................................................... 49

2. Teknik Pengambilan Sampel ........................................................ 50

3. Kriteria Inklusi dan Ekslusi .......................................................... 50

C. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 51

X
D. Etika Penelitian .................................................................................. 51

E. Alat Pengumpulan Data ..................................................................... 52

F. Validitas dan Reabilitas Instrumen .................................................... 53

G. Prosedur Pengumpulan Data ............................................................. 55

H. Pengolahan Data ................................................................................ 56

I. Analisis Data ...................................................................................... 57

1. Uji Normalitas ............................................................................... 57

2. Analisa Univariat .......................................................................... 58

3. Analisa Bivariat ............................................................................ 58

J. Jadwal Kegiatan ................................................................................. 60

BAB V HASIL PENELITIAN

A. Analisis Univariat …………………………………………………… 66

B. Analisis Bivariat …………………………………………………….. 72

BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Analisis Univariat............................................................................... 76

1. Gambaran karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin, dan

pekerjaan ...................................................................................... 94

2. Gambaran Hb Pada pasien PGK sebelum diberikan terapi EPO

pada kelompok kontrol…………………………………………… 94

3. Gambaran Hb Pada pasien PGK sebelum diberikan terapi EPO

pada kelompok Intervensi ……………………………………….. 96

4. Gambaran Hb Pada pasien PGK sesudah diberikan terapi EPO

pada kelompok control …………………………………………... 97

XI
5. Gambaran Hb Pada pasien PGK sesudah diberikan terapi EPO

pada kelompok Intervensi ………………………………………. 98

B. Analisis Bivariat................................................................................. 100

1. Pengaruh pembrian terapi EPO terhadap peningkatan Hb

dengan pemberian 1x pada kelompok kontrol …………………… 100

2. Pengaruh pembrian terapi EPO terhadap peningkatan Hb

dengan pemberian 2x pada kelompok intervensi ………………… 102

3. Perbandingan pembrian terapi EPO terhadap peningkatan Hb

pada kelompok kontrol dan pada kelompok intervensi…………… 104

C. Keterbatasan Penelitian ……………………………………………… 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan......................................................................................... 107

B. Saran................................................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

XII
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Berdasarkan Penyebab nya .................. 15

Tabel 2.2 Klasifikasi penurunan LFG pada PGK ............................................ 17

Tabel 2.3 Komplikasi Pada PGK ..................................................................... 19

Tabel 2.4 Tabel Penelitian Terdahulu .............................................................. 28

Tabel 3.5 Definisi Oparasional ........................................................................ 45

Tabel 4.6 Jadwal Kegiatan ............................................................................... 60

Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan Usia,

Jenis Kelamin, Dan Pekerjaan…………………………………….. 66

Tabel 5.2 Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Yang Menjalani Hemodialisis Sebelum Mendapatkan Terapi

Erythropoietin pada kelompok kontro …………………… ……… 68

Tabel 5.3 Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit

Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Sebelum

Mendapatkan Terapi Erythropoietin pada Kelompok Intervensi ….. 69

Tabel 5.4 Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien

Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Sesudah

Mendapatkan Terapi Erythropoietin pada kelompok kontrol……… 70

Tabel 5.5 Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien

Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani

Hemodialisis Sesudah Mendapatkan

Terapi Erythropoietin pada kelompok intervensi ………………….. 71

XIII
Tabel 5.6 Uji Wilcoxon perningkatan Hb pada Kelompok Kontrol

antara sebelumdan sesudah pemberian Erythropoietin…………… 73

Tabel 5.7 Rata-rata peningktan Hb Responden pada kelompok

intervensi sebelum dan sesudah pemberian Erythropoietin ……… 74

Tabel 5.8 Perbandingan Peningkatan kadar Hb Pada

Kelompok Kontrol dan intervensi sesudah

pemberian Erythropoietin Pada Pasien

Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis ………….. 75

XIV
DAFTAR SKEMA

Skema 2.1 Kerangaka Teori ............................................................................ 41

Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian .......................................................... 43

Skema 4.3 The Static group pre test – post test design ................................... 48

Skema 4.2 Prosedur Pengumpulan Data .......................................................... 55

XV
DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat izin studi pendahuluan dan penelitian mahasiswa

2. Surat Rekomendasi Penelitian

3. Permohonan menjadi responden

4. Persetujuan menjadi responden

5. Lampiran SPSS

6. Lembar Konsultasi Bimbingan Skripsi

7. Lembar Observasi

8. Hasil Uji Plagiat

9. Surat Uji Etik

10. Lembar SPO

11. Foto Bukti Penelitian

12. Daftar Riwayat Hidup

XVI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan

masyarakat global dengan prevalensi dan insiden gagal ginjal yang

meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi

penyakit ginjal kronis meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk

usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar

1 dari 10 populasi global mengalami penyakit ginjal kronis pada stadium

tertentu. Penyakit ginjal kronis merupakan penyebab kematian peringkat

ke -27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada

tahun 2010. Sedangkan di indonesia, perawatan penyakit ginjal kronis

merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar BPJS kesehatan setelah

penyakit jantung. (Depkes, 2017)

Penyakit ginjal kronis adalah suatu kondisi dimana ginjal tidak

dapat menjalankan fungsinya secara normal. Pada penyakit ginjal kronis ,

penurunan fungsi ginjal trejadi secara perlahan. Proses penururnan fungsi

ginjal dapat berlangsung terus menerus selama berbulan-bulan atau

bertahun-tahun sampai ginjal tidak dapat berfungsi sama sekali dan

bersifat ireversibel, sampai pada satu derajat yang memerlukan pengganti

ginjal yang tetap berupa hemodialisis atau transplantasi ginjal (Kritawan,

2017).

1
2

Ginjal adalah salah satu organ penting dalam tubuh manusia. Ginjal

berfungsi mengatur sekresi sisa metabolisme dan mempertahankan zat-

zat yang berguna bagi tubuh, Ginjal juga berfungsi mengatur

keseimbangan cairan tubuh, keseimbangan asam-basa dan elektrolit

tubuh. Selain itu ginjal juga berperan penting mengatur tekanan darah,

pembentukan sel darah merah (eritropoiesis) dan beberapa fungsi

endokrin lain nya. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI, 2017).

Ginjal manusia bertugas untuk menghasilkan hormon penting yang

disebut erythropoietin. Hormon ini berfungsi merangsang sumsum tulang

untuk membentuk sel darah merah. Jika fungsi ginjal terganggu, maka

ginjal tidak dapat memproduksi cukup erythropoietin yang diproduksi.

Seiring waktu akan terjadi penurunan sel darah merah dan terjadilah

anemia (Rzaka, 2014).

Anemia merupakan salah satu komplikasi dari penyakit ginjal

kronis yang sering terjadi. Anemia dapat mulai terjadi pada penurunan

fungsi ginjal yang masih awal, namun umumnya menjadi nyata bila GFR

semakin menurun hingga <30 ml/menit. Anemia terjadi pada 80-90%

pasien penyakit ginjal kronis. Secara fungsional anemia didefinisikan

sebagai penurunan jumlah massa eritrosit yang ditandai dengan

menurunnya kadar hemoglobin dan hematokrit, sehingga tidak dapat

memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah cukup ke

jaringan perifer (Sukandar, 2013).


3

Anemia pada penyakit ginjal kronis terutama dapat disebabkan oleh

defisiensi hormon erythropoietin yang merangsang sumsum tulang untuk

menghasilkan sel darah merah. Jika ginjal mengalami kerusakan berat,

ginjal tidak mampu membentuk erythropoietin dalam jumlah yang cukup,

sehingga mengakibatkan penurunan produksi sel darah merah dan

menimbulkan anemia. Anemia pada penyakit ginjal kronis dapat

meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas serta penurunan fisik dan

kualitas hidup (Hadibroto, 2015).

Erythropoietin (EPO) adalah hormon glikoprotein yang merupakan

stimulan atau regulator utama bagi eritopoiesis sebuah lintasan

metabolisme yang menghasilkan produksi eritrosit sebagai respon terhadap

penurunan oksigenasi pada jaringan (Jelkmann et al., 2013).

Hemoglobin adalah metaloprotein pengangkut oksigen yang

mengandung besi dalam darah. Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel

darah merah yang berfungsi mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh

tubuh. Hemoglobin terdiri dari empat molekul zat besi (heme), dua

molekul rantai globin alpha dan dua molekul globin beta. Rantai globin

alpha dan beta adalah protein yang produksinya disandi oleh gen globin

alpha dan beta (Yuni, 2015).

Hemodialisis merupakan salah satu dari terapi pengganti ginjal,

yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal, baik akut

maupun kronis. Hemodialisis dapat dikerjakan untuk sementara waktu

(misalnya pada gagal ginjal akut) atau dapat pula untuk seumur hidup
4

(misalnya pada gagal ginjal kronis) (Permadi, 2011). Hemodialisis adalah

proses pembuangan limbah metabolik dan kelebihan cairan tubuh melalui

darah. Hemodialisis merupakan terapi pengganti fungsi ginjal yang paling

banyak digunakan di Indonesia, sesuai dengan data Perhimpunan

Nefrologi Indonesia pada tahun 2014 yang menyebutkan bahwa persentase

terapi hemodialisis sebesar 82%.

Salah satu terapi yang dapat diberikan pada pasien penyakit ginjal

kronis yang mengalami anemia yaitu dengan cara memberikan hormon

erythropoietin, Tujuan dari penatalaksanaan anemia pada pasien penyakit

ginjal kronis ini adalah sampai mencapai target Hb >10 g/dl. Terapi

erythropoietin diberikan dengan syarat kadar feritin serum > 100 mcg/dl

dan saturasi transferrin > 20 %. Erythropoietin adalah suatu hormon

glikoprotein yang dihasilkan oleh sel- sel peritubular di ginjal untuk

meningkatkan produksi eritrosit.

Terapi erythropoietin diindikasikan untuk pengobatan anemia pada

penyakit ginjal kronis. erythropoietin secara konsisten menjaga dan

memperbaiki kadar hemoglobin dan hematokrit. Hemoglobin (Hb) adalah

molekul protein pada sel darah merah yang berfungsi sebagai media

transport oksigen dari paru paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa

karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru paru. Hematokrit (Hct)

merupakan ukuran yang menentukan banyaknya jumlah sel darah merah

dalam 100 ml darah yang dinyatakan dalam persen (%) (Well, 2009).

Menurut rekomendasi Kidney Disease Improving Global Outcomes


5

(KDIGO), terapi erythropoietin diindikasikan apabila pada beberapa kali

pemeriksaan didapatkan nilai Hb < 10 g/dL dan Hct < 30 %. Rekomendasi

Pernefri menyebutkan bahwa target hemoglobin pada pasien penyakit

ginjal kronis adalah 10-12 g/dL (Pernefri, 2011).

Studi awal menemukan bahwa penggunaan terapi erythropoietin

dapat mengurangi kebutuhan untuk transfusi dan dapat meningkatkan

kualitas hidup pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, bila

dibandingkan dengan tidak ada administrasi erythropoietin, akan tetapi

erythropoietin sendiri harganya lebih mahal dibandingkan dengan

transfusi darah.

Badan Kesehatan Dunia yaitu World Health Organization (WHO)

menyebutkan pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013

telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian

dan prevalensi gagal ginjal meningkat 50% di tahun 2014. Data

menunjukkan bahwa setiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani

hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta

orang Amerika adalah pasien dialisis (Widiyastuti, 2014). (Yagina, 2014)

mengemukakan angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih

dari 500 juta orang dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung

pada cuci darah (hemodialisis) 1,5 juta orang. Data mengenai penyakit

ginjal didapatkan dari hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas), Indonesian

Renal Registry (IRR), dan sumber data lain. Pada tahun 2013 hasil

Riskesdas populasi umur  15 tahun yang terdiagnosis penyakit ginjal


6

kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi

penyakit ginjal kronis di negara-negara lain, juga hasil penelitian Pernefri

tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi penyakit ginjal kronis sebesar

12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang

terdiagnosis penyakit ginjal kronis sedangkan sebagian besar penyakit

ginjal kronis di indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir.

Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukan prevalensi meningkat seiring

dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok

umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi

laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi

terjadi pada masyarakat pedesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%),

pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks

kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3%.

Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah sulawesi tengah

sebesar 0,5 %, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi utara masin-masing

0,4% (Depkes, 2017). IRR mencatat ditahun 2015 jumlah tindakan

Hemodialisis rutin di indonesia sebanyak 595.358 kali perbulan, di

propinsi jawa barat tercatat 247.484 kali perbulan, dari 35 pasien penyakit

ginjal kronis prevalensi anemia menurut kriteria World Health

Organization (WHO) pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani

hemodialisis reguler adalah sebesar 86% (30/35). Rerata usia subjek

penelitian adalah 54,8 tahun. Derajat penyakit ginjal kronis pada subjek

penelitan adalah derajat 5 pada 25 pasien (71%), derajat 1 hingga 4 pada


7

10 pasien (29%). Morfologi SDM pasien adalah normositik normokromik

pada 32 pasien (91%), mikrositik hipokromik pada 3 pasien (9%). Rerata

kadar Hb pasien adalah 9.2 g/dl. Sejumlah 1 pasien (3%) dengan anemia

derajat ringan, 29 pasien (96%) dengan anemia derajat sedang. Sejumlah

24 pasien (80%) memiliki kriteria anemia pada penyakit kronis, 3 pasien

(10%) memiliki kriteria anemia defisiensi besi, 1 pasien (3,3%) memiliki

kriteria anemia hemolitik, 2 pasien (6,7%) memiliki kriteria anemia post

hemoragik. Prevalensi anemia pada pasien PGK yang menjalani

hemodialisis reguler adalah 86%. Jenis anemia berdasarkan kemungkinan

etiologi yang paling sering ditemukan adalah anemia penyakit kronis

(80%) (Candra, 2014).

Dalam sebuah studi kecil yang tidak terkontrol, Saleh dkk merawat

12 pasien Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dengan

pemberian terapi erythropoietin 4000 IU satu kali dalam perminggu, dan

menemukan kemanjuran yang serupa dengan erythropoietin tiga kali

dalam perminggu dengan dosis yang sama. Dua peneliti merawat 10

pasien dewasa dan 6 pasien anak CAPD dengan pemberian terapi

erythropoietin satu kali dalam perminggu dan peningkatan konsentrasi

hemoglobin terlihat pada kedua penelitian. Lui dkk, yang merawat 10

pasien CAPD dengan erythropoietin 100 IU/kg /BB satu kali dalam

perminggu atau dua kali dalam perminggu dan respon hemoglobin yang

setara serta kebutuhan dosis erythropoietin terlihat. Sebuah penelitian

serupa dilakukan oleh penulis yang sama pada pasien hemodialisis dan
8

tanggapan yang setara terlihat dengan erythropoietin satu kali atau dua kali

dalam perminggu.

Pemberian terapi erythropoietin satu kali dalam perminggu untuk

pasien penyakit ginjal kronis bukanlah hal yang baru, dan memang

serangkaian publikasi yang meneliti frekuensi pemberian ini muncul pada

awal tahun 1990 an. Namun, selama dekade terakhir, ahli nefrologi

sebagian besar pasien mereka, dan sejumlah kecil yang berakhir dengan

dosis sekali seminggu umunya mereka yang merespon dengan baik

terhadap terapi erythropoietin dalam fase pemeliharaan pengobatan. Hal

ini tentu kurang umum untuk memulai pasien seperti itu dengan pemberian

sekali seminggu, meskipun dalam jumlah besar di Austria studi multisenter

pada pasien pra-dialisis memang menggunakan pengobatan erythropoietin

10.000 IU sekali perminggu (Weiss & Macdougall, 2004).

Peneliti melakukan studi pendahuluan pada bulan oktober di Rsu Z

Jagakarsa Jakarta Selatan dengan mewawancarai perawat dan dokter

pelaksana harian hemodialisis di dapatkan data dari 60 pasien yang

menjalani hemodialisis mengalami anemia dan diberikan terapi

erythropoietin dengan dosis 3000 iu dan frekuensi pemberian satu kali dan

dua kali perminggu. Untuk dosis pemberian terapi EPO sendiri yang

diberikan satu kali dalam seminggu yaitu disesuaikan dengan terapi

dengan dosis pemeliharaan yang sudah tercantum di SOP yang ada di Rsu

Z, sedangkan untuk terapi yang diberikan dua kali dalam seminggu

merupakan terapi fase koreksi sesuai dengan intervensi dan instruksi dari
9

dokter yang dilihat berdasarkan hasil pemeriksaan hemoglobin pasien dari

bagian labolatorium Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan.

Berdasarkan fenomena di atas penulis tertarik untuk meneliti

tentang “Perbandingan Frekuensi Pemberian Erythropoietin satu kali

dalam seminggu dengan dua kali dalam seminggu terhadap peningkatan

hemoglobin pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di

Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan

diangkat yaitu apakah terdapat Perbedaan Frekuensi Pemberian

Erythropoietin terhadap peningkatan hemoglobin pasien penyakit ginjal

kronis yang menjalani hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Perbandingan Frekuensi Pemberian Erythropoietin

terhadap peningkatan hemoglobin pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan

2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik berdasarkan usia, jenis

kelamin, dan pekerjaan.

2. Untuk mengetahui gambaran kadar hemoglobin pada pasien

penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis sebelum

mendapatkan terapi Erythropoietin pada kelompok kontrol.


10

3. Untuk menegtahui gambaran kadar hemoglobin pada pasien

penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis pada kelompok

intervensi.

4. Untuk mengetahui kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal

kronis yang menjalani hemodialisis sesudah mendapatkan terapi

Erythropoietin satu kali dalam seminggu pada kelompok kontrol.

5. Untuk mengetahui kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal

kronis yang menjalani hemodialisis sesudah mendapatkan terapi

Erythropoietin dua kali dalam seminggu pada Kelompok

intervensi.

6. Untuk mengetahui perbandingan frekuensi pemberian

Erythropoietin pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

terhadap peningkatan kadar hemoglobin pada pasien penyakit

ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.

D. Manfaat Penelitian

1. Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan sumber bacaan

untuk penelitian-penelitian berikutnya dan dasar bagi institusi

pendidikan untuk mengembangkan mata kuliah tambahan maupun

pelatihan hemodialisis untuk memfasilitasi peserta didik

mengembangkan kemampuan dalam memberikan asuhan

keperawatan pada pasien hemodialisis.


11

2. Pengembangan Rumah Sakit

Untuk tenaga kesehatan, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

informasi tentang perbandingan peningkatan hemoglobin pada pasien

penyakit ginjal kronis dengan frekuensi pemberian satu kali dalam

seminggu dan dua kali sdalam seminggu yang telah diberikan

erythropeietin sesudah hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta

Selatan.

3. Pengembangan Keilmuan

Bagi peneliti sendiri, dapat dijadikan bahan masukan dan

pembelajaran yang bermanfaat untuk perkembangan keilmuan

peneliti. serta dapat menjadi referensi maupun bahan perbandingan

bagi penelitian selanjutnya.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Teori Dan Konsep Terkait

1. Penyakit Ginjal Kronis

a. Definisi

Penyakit ginjal kronis (PGK) adalah suatu kondisi dimana

ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya secara normal. Pada

penyakit ginjal kronis , penurunan fungsi ginjal trejadi secara

perlahan. Proses penururnan fungsi ginjal dapat berlangsung terus

menerus selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sampai ginjal

tidak dapat berfungsi sama sekali dan bersifat ireversibel, sampai pada

satu derajat yang memerlukan pengganti ginjal yang tetap berupa

hemodialisis atau transplantasi ginjal (Kritawan, 2017). Ginjal

merupakan organ retroperitoneal yang berfungsi dalam berbagai

proses homeostatik tubuh, sebagai regulator keseimbangan air dan

elektrolit, ekskresi sisa metabolik, tekanan arteri, keseimbangan asam-

basa, serta pembentukan sel darah merah dengan mengekskresikan

eritropoetin (Guyton, A. C., Hall, 2016).

Gagal ginjal kronis adalah suatu keadaan yang diawali

gangguan fisiologis yang bersifat patologis dan bisa disebabkan oleh

beragam keadaan yang tidak dapat kembali sesuai dengan fungsi awal

dan dibutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal seperti dialysis atau

transplantasi ginjal. Penyakit yang ditandai dengan adanya penurunan

12
13

laju filtrasi glomerulus (LFG) yang mencapai angka kurang dari 60

mL/menit ini terjadi secara progresif dan irreversibel selama lebih dari

3 bulan dan membutuhkkan terapi pengganti ginjal (Suwitra, 2014).

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah penurunan faal ginjal

yang menahun mengarah pada kerusakan jaringan ginjal yang tidak

reversible dan progresif. Adapun GGT (Gagal Ginjal Terminal) adalah

fase terakhir dari Peyakit Ginjal Kronis (PGK) dengan faal ginjal

sudah sangat buruk. Kedua hal tersebut bisa dibedakan dengan tes

klirens kreatinin (Irwan, 2016).

Menurut (Bayhakki, 2012), gagal ginjal kronis merupakan

kondisi dimana tidak terjadi keseimbangan metabolisme , cairan dan

elektrolit oleh ginjal sehingga terjadi penumpukan urea yang

menyebabkan uremia dan atau azotemia.

b. Etiologi

Penyebab terbesar penyakit ginjal kronis secara global, yaitu

diabetes melitus. Glomerulonefritis merupakan faktor terbesar

penyebab penyakit ginjal kronis di Indonesia hingga tahun 2000, namun

menurut IRR sejak beberapa tahun terakhir penyebab terbesar penyakit

ginjal kronis yaitu disebabkan oleh hipertensi (Depkes, 2017). Faktor

lain yang dapat meningkatkan kejadian penyakit ginjal kronis antara

lain merokok, penggunaan obat analgetik dan OAINS, serta minuman

suplemen berenergi. Riwayat dari suatu penyakit dapat pula menjadi

penyebab penyakit ginjal kronis seperti hipertensi, diabetes melitus,


14

serta gangguan metabolik yang dapat menyebabkan penurunan fungsi

ginjal. Usia dan jenis kelamin juga diketahui menjadi faktor resiko

penyakit ginjal kronis (Pranandari, 2015).

c. Epidemiologi

Berdasarkan data dari Riskesdas (2013) yang dilakukan oleh

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan angka

prevalensi gagal ginjal di Indonesia mencapai 0,2% yang berarti 2 per

1000 penduduk menderita penyakit tersebut. Sebanyak 98% penderita

gagal ginjal menjalani terapi hemodialisa dan 2% menjalani terapi

peritoneal dialisis (8 th Report Of Indonesian Renal Registry, 2015).

Berdasarkan Global Burden of Disease tahun 2010, penyakit ginjal

kronis merupakan peringkat ke-27 penyebab kematian di dunia tahun

1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010 (Pusat Data

dan Informasi Kemenkes RI, 2017). Prevalensi penyakit ginjal kronis di

Amerika Serikat mengalami kenaikan di setiap tahunnya, dengan

jumlah penderita sekitar 80.000 penderita pada tahun 2007 dan

mengalami kenaikan menjadi 660.000 penderita pada tahun 2010.

Prevalensi penyakit ginjal di Indonesia juga cukup tinggi. Penderita

penyakit ginjal kronik pada tahun 2007 mencapai 2.148 orang, dan

mengalami peningktan di tahun 2008 menjadi 2.260 orang. Berdasarkan

diagnosis dokter di Indonesai prevalensi penyakit ginjal kronis sebesar

0,2% (Sumingar, 2015).

d. Patofisilogi
15

Ginjal terdiri dari sekitar satu juta nefron yang berkontribusi dalam

laju filtrasi ginjal. Ginjal memiliki kemampuan untuk melakukan

kompensasi untuk mempertahankan laju filtrasi ginjal apabila terjadi

kerusakan pada nefron secara progresif. Kemampuan adaptasi nefron

ini memungkinkan dilakukan pembersihan darah secara normal

sehingga zat seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan

kadar plasma yang signifikan setelah total laju filtrasi glomerulus

menurun sebanyak 50%. Nilai kreatinin plasma meningkat dua kali

lipat dengan penurunan laju filtrasi glomerulus sebanyak 50%.

Kenaikan nilai kreatinin plasma dari 0,6 mg/ dL menjadi 1,2 mg/dL

dapat merepresentasikan kerusakan ginjal sebanyak 50% walaupun nilai

tersebut masih dapat dikatakan pada range normal (UBMMedica,

2011).

Hiperfiltrasi dan hipertrofi yang terjadi pada nefron yang masih

berfungsi dengan normal, meskipun bermanfaat dalam

mempertahankan laju filtrasi glomerulus namun dapat dikatakan bahwa

hal tersebut merupakan penyebab utama dari disfungsi ginjal secara

pogresif. Kerusakan ginjal tersebut terjadi akibat tekanan kapiler

glomerulus meningkat, yang merusak kapiler yang pada awalnya

mengarah pada glomerulosklerosis sekmental menjadi

glomerulosklerosis global (UBMMedica, 2011)


16

e. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis

Tabel.2.1 klasifikasi gagal ginjal berdasarkan penyebabnya

Penyakit Sistemik Penyakit Ginjal Primer

Gangguan glomerulus Diabetes, Penyakit Penyakit parenkim ginjal


autoimun, sistemik, difus, Proliferatif
Infeksi Sistemik, glomurerulonefritis,
Pengaruh obat Neoplasia fokal atau segmental,
(termasuk amyloidosis) Nefropati membranosa,
Penyakit perubahan
minimal

Gangguan sistik dan Ginjal polikistik Alport Displasia ginjal, Medulla


herediter Syndrom Fabry Disease kistik, Podositopati

Gangguan vaskuler Atherosklerosis, Fibromuscular,


Hipertensi, Dysplasia Penyakit
Iskemi, Embolus, ginjal vasculitis terkait
kolesterol Vaskulitis ANCA
sistemik Mikroangiopati
trombosis, Sklerosis
sistemik
17

e. Penyakit Infeksi sistemik Asam Saluran infeksi kemih


urat Autoimun Neoplasia Lithiasis
tubulointerstisial
(myeloma) Obstruksi saluran kemih

(KDIGO, 2013) mengeluarkan rekomendasi yang berisi gagal ginjal kronik

diklasifikasikan berdasarkan penyebab, penurunan Laju Filtrasi Glomerulus

(LFG), dan albuminuria category (CGA). Adanya gangguan glomerulus,

gangguan sistik dan herediter, gangguan vaskular, dan penyakit tubulointerstisial

yang selanjutnya dikelompokan sebagai penyakit ginjal primer dan penyakit

sistemik merupakan pengelompokan gagal ginjal yang didasarkan oleh

penyebabnya. Seperti klasifikasi dibawah ini yang disusun berdasarkan ada

tidaknya penyakit sistemik dan lokasinya pada ginjal berdasarkan gambaran

patologi anatomis yang ditemukan. Albuminuria juga dapat dijadikan prediktor

dalam klasifikasi penyakit gagal ginjal. Hubungan antara kadar proteinuria yang

tinggi telah diketahui sebagai penanda terjadinya sindroma nefrotik dan adanya

keterkaitan dengan albuminuria yang dijadikan pendekatan kategori konsep

praktek klinis. Klasifikasi lainnya juga dapat didasarkan pada penurunan laju

filtrasi glomerulusnya, yang terbagi menjadi lima stadium dan pada stadium

ketiga dikategorikan lagi menjadi dua tingkatan yaitu stadium 3A dan 3B. Gagal

ginjal dikategorikan seperti tabel dibawah ini :


18

Kategori LFG 2 Klasifikasi


LFG(ml/min/1.73 m )

Grade 1 ≥ 90 Normal atau tinggi

Grade 2 60-89 Penurunan ringan

Garde 3a 45-59 Penururnan ringan-sedang

Garde 3b 30-44 Penururnan Sedang Berat

Grade 4 15-29 Penururnan berat

Garde 5 <15 Gagal Ginjal

Tabel 2.2 Klasifikasi penurunan LFG pada gagal ginjal

Sumber : KDIGO, 2013

Albuminuria juga dapat dijadikan prediktor dalam klasifikasi penyakit gagal

ginjal. Hubungan antara kadar proteinuria yang tinggi telah diketahui sebagai

penanda terjadinya sindroma nefrotik dan adanya keterkaitan dengan albuminuria

yang dijadikan pendekatan kategori konsep praktek klinis.

f. Manifestasi Klinis PGK

Manifestasi yang terlihat pada penyakit ginjal berdasarkan tingkat LFG

menunjukan variasi pada setiap kategori. Pada keadaan LFG normal atau

meningkat pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan

daya cadang ginjal yang selanjutnya menyebabkan penurunan fungsi nefron


19

secara progresif namun belum terlihat gejala. Peningkatan kadar ureum dan

kreatinin pada LFG sebesar 60%, keluhan belum juga dirasakan atau masih berifat

asimptomatik. Pada LFG sebesar 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda

uremia, seperti anemia, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, mual, muntah,

peningkatan tekanan darah, pruritus seta adanya keluhan penurunan berat badan,

berrkurangnya nafsu makan, dan nokturia. Gejala dan komplikasi pada pasien

dengan LFG kurang dari 15% atau pada stadium gagal ginjal termanifestasi dalam

bentuk yang lebih serius dan membutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal seperti

hemodialisa dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).

g. Faktor Resiko

Menurut Tjekyan (2014), penyakit ginjal kronis lebih banyak terjadi pada

perempuan dibandingkan laki-laki. Adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus,

infeksi saluran kemih, dan batu saluran kemih juga berpengaruh secara signifikan

sebagai faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronik. Pada orang yang memiliki

keempat faktor resiko tersebut memiliki resiko menderita penyakit ginjal kronik

sebesar 83,5%. Faktor resiko peningkatan progresivitas gagal ginjal kronik terdiri

dari dua kategori, yaitu yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi.

Hipertensi, proteinuria, albuminuria, glikemia, obesitas, dislipidemia, merokok,

kadar asam urat merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi, sedangkan

usia, jenis kelamin, ras, genetik, dan kehilangan massa ginjal menjadi faktor yang

tidak dapat dimodifikasi (Hustrini, 2014).


20

h. Prosedur diagnostic

1) Pemeriksaan sinar-X atau ultrasonografi akan memperlihatkan ginjal yang

kecil atau atrofi

2) Nilai BUN serum, kreatinin, dan GFR tidak normal.

3) Hematokrit da hemoglobin turun

4) PH plasma rendah

5) Penigkatan kecepatan pernafasan mengisyaratkan kompensasi pernafasan

akibat asidosi metabolik.

i. Komplikasi

Penurunan fungsi ginjal yang terjadi pada gagal ginjal kronis mengakibatkan

perubahan fisiologis tubuh yang dimunculkan sebagai komplikasi.

Tabel 2.3 Kompikasi pada penyakit ginjal kronis

Grad Deskripsi 2 Kompilkasi


LFG (ml/mnt/1,73m )
e

1 LFG normal ≥ 90 -

2 Penurunan ringan 60-89 Peningkatan tekanan


LFG darah

3 Penurunan sedang 30-59 Hiperfosfatemia


LFG
Hipokalsemia, Anemia

Hiperparatiroid

Hipertensi
21

Hiperhomosistinemia

4 Penurunan berat 15-39 Malnutrisi Asidosis


LFG metabolik, Dislipidemia

5 Gagal Ginjal <15 Gagal Ginjal, Uremia

Sumber : Suwitra, 2014

2. Hemodialisis Pada Penyakit Ginjal Kronis

Hemodialisis merupakan usaha pengganti fungsi ginjal yang bertujuan

untuk mengoreksi elektrolit dan kelainan metabolisme yang terjadi menyebabkan

uremia dan hiperkalemi pada kondisi gagal ginjal (Krause et.al., 2013).

Berdasarkan penelitian pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis dengan

mayoritas usia 60-69 tahun, pemeriksaan lab menunjukan kadar serum iron (SI)

normal, penurunan TIBC, saturasi transferin normal, dan peningkatan feritin

(Silaban et.al., 2016). Parameter tersebut menunjukan kondisi anemia chronic

disease, peningkatan feritin yang terjadi karena terjadi penahanan besi dalam sel.

Penggunaan konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan asupan pengikat fosfat

yang diberikan pada hemodialisis reguler dapat mempengaruhi eritropoesis karena

alumunium menyebabkan anemia mikrositik pada kadar feritin tinggi atau normal.

Penumpukan aluminium juga dapat menghambat metabolisme besi normal,

sintesis porfirin, dan prekusor sel darah merah. (Lubis & Siregar, 2016).
22

3. Pemberian Erythropoietin pada Pasien PGK yang Menjalani Hemodialisis

Erythropoietin adalah hormon yang diproduksi oleh ginjal dan sebagian

kecil di hati yang memiliki peran utama dalam regulasi produksi eritrosit sebagai

respon terhadap hipoksia (Prenggono, 2015). Keberadaan erythropoietin akan

menstimulus proses eritropoesis sehingga kemampuan darah untuk mengangkut

oksigen akan meningkat dan mengurangi kondisi hipoksia yang selanjutnya akan

timbul umpan balik negatif dalam rangka menghentikan produksi erythropoietin

(Panjeta et.al., 2017). Hormon ini terdiri dari 165 residu asam amino dan memiliki

empat rantai karbohidrat kompleks yang terikat pada peptida dalam empat posisi

(Panjeta et.al., 2017). Penurunan kadar hemoglobin, peningkatan feritin serum dan

besi jaringan merupakan gambaran umum yang ditemukan pada pasien GGK.

Pemberian vitamin hemopoetik, zat besi dan erythropoietin merupakan usaha

yang dapat dilakukan dalam usaha perbaikan anemia (Reddy, Devaki & Rao,

2013).

Anemia yang terjadi pada GGK merupakan komplikasi multifakorial yang

disebabkan oleh penurunan kadar erythropoietin, defisiensi besi absolut dan

fungsional, serta inflamasi kronis. Anemia pada pasien CKD adalah masalah

kompleks multifaktorial yang dipengaruhi oleh kombinasi produksi erythropoietin

yang tidak memadai, defisiensi besi absolut dan fungsi, serta keadaan radang

kronis dan menjadi komorbiditas utama. Sementara serum ferritin dan saturasi

transferin telah menjadi parameter laboratorium yang paling umum digunakan

karena ketersediaannya yang luas, kedua penanda ini tunduk pada variabilitas

biologis yang berlebihan dan memerlukan perhatian ketika digunakan untuk


23

memandu suplementasi besi pada pasien CKD. Pemberian erythropoietin (EPO)

merupakan usaha penataklaksanaan rendahnya kadar erythropoietin yang

dianggap sebagai penyebab utama anemia pada GGK (Gaweda, 2017).

Eritropoiesis tidak akan terjadi pada kadar besi yang cukup atau tinggi

apabila tidak terdapat erythropoietin yang cukup begitu juga sebaliknya. Hormon

ini disintesis oleh sel fibroblas interstisial peritubular ginjal yang pada kondisi

gagal ginjal kronik akan menurun karena mulai berubah menjadi myofibroblas

(Pasek, 2018). Penelitian dengan desain kohort retrospektif membuktikan bahwa

pemberian eritropoetin pada 25 pasien hemodialisis memberikan efek yang

signifikan dalam usaha peningkatan kadar hemoglobin yang memiliki nilai mean

kadar Hb sebelum terapi yaitu 9,34 mg/dL menjadi 10,35 mg/dL setelah

pemberian erythropoietin (EPO) selama satu bulan (Elmi et.al., 2014).

Penggunaan EPO berperan dalam peningkatan proses eritropoesis sehingga terjadi

penurunan kadar besi yang tersedia atau disebut defisiensi besi fungsional

(Greenbaum, 2016). Hal ini berarti dapat menurunkan kadar feritin yang tinggi

karena adanya pacuan dalam eritropoesis yang membutuhkan suplai besi sebagai

bahan.

Terapi EPO diberikan pada pasien dengan konsentrasi Hb <10,0 g/dL dan

tidak digunakan dalam rangka pemeliharaan Hb > 11,5 g/dL pada pasien dewasa

(KDIGO, 2012). EPO tidak aktif saat diberikan melalui oral , sehingga pemberian

dilakukan melalui parenteral, baik subkutan maupun intravena. Pemberian

erythropoietin tersedia dalam beberapa pilihan bentuk rekombinan yaitu Epoetin

alfa dan Epoetin beta sebagai EPO generasi pertama yang diberikan 1-3
24

kali/minggu. Generasi dua yang memiliki watu paruh yang lebih lama yaitu

Darbopoetin, diberikan dengan frekuensi satu kali per minggu atau satu sampai

dua kali per minggu. Pemberian Mircera sebagai EPO generasi ketiga dapat

dilakukan satu kali tiap dua minggu atau sebulan sekali karena masa kerja yang

sangat panjang (Hayat, 2008). Pemberian EPO dilakukan apabila telah dilakukan

evaluasi anemia pada pasien GGK dengan mempertimbangkan kadar hemoglobin

(Hb) dan hematokrit (Ht) serta status besi yang cukup. EPO diberikan pada pasien

dengan Hb ≤ 10g/dL dan Ht ≤ 30% yang memiliki kadar besi yang cukup yang

ditandai dengan kadar feritin > 100 μg/L dan SAT > 20 %. Usaha terapi pada

pasien GGK anemia adalah dapat mencapai Hb > 10 g/dL dan dengan target

optimal mencapai 11-12 g/dL. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas

hidup dan menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas (PERNEFRI, 2001).

Terapi EPO dibagi menjadi dua fase yaitu fase koreksi dan fase

pemeliharaan, dimana pada kedua fase harus dilakukan pemantauan kecukupan

status besi. Fase koreksi ditujukan untuk perbaikan kondisi anemia renal hingga

tercapai target perbaikan dengan peningkatan kadar Hb sebesar 1-2 g/dL dalam 4

minggu atau peningkatan Ht sebesar 2-4% dalam 2-4 minggu. Pada fase ini

pemberian EPO dimulai pada dosis 2000-4000 IU secara subkutan dengan

frekuensi pemberian dua hingga tiga kali seminggu selama 4 minggu dan

selanjutnya dilakukan pemantauan Hb dan Ht setiap satu bulan. Apabila target

tercapai, dosis EPO dipertahankan hingga kadar Hb > 10 g/dL, apabila target

belum tercapai dosis dinaikan hingga 50%. Sedangkan penurunan dosis mencapai

25% dilakukan apabila Hb meningkat > 2,5 g/dL atau Ht meningkat > 8% dalam
25

kurun waktu satu bulan. Fase pemeliharaan merupakan keadaan dimana target Hb

sudah tercapai (> 10g/dL). Status besi pasien yang cukup menjadi syarat

dimulainya fase pemeliharaan, apabila angka kecukupan besi rendah, diperlukan

terapi besi terlebih dahulu untuk menjaga persediaan besi saat fase pemeliharaan

terapi EPO. Pada fase ini pemeliharaan dosis dan frekuensi pemberian dapat

diturunkan menjadi 2000 IU sebanyak 1 – 2 x dalam seminggu, serta dilakukan

pemeriksaan kadar Hb dan Ht setiap bulan serta pengecekan rutin status besi

setiap tiga bulan. Apabila didapatkan kadar Hb > 12 g/dL dan status besi cukup,

dosis EPO diturunkan 25% (PERNEFRI, 2001).

Tidak adanya kenaikan Hb atau Ht hingga target yang ditentukan selama

4-8 minggu menunjukan adanya respon yang tidak adekuat terhadap terapi EPO.

Hal tersebut dapat terjadi pada defisiensi besi yang sering terjadi pada pasien

GGK. Kondisi seperti malnutrisi, kehilangan darah kronik, intoksikasi

alumunium, dialisis tidak adekuat, penggunaan ACE Inhibitor, AT1 receptor

antagonist dalam dosis tinggi, hiperparatiroid, keganasan, hemolisis juga dapat

menjadi penyebab terjadinya respon tersebut. Tingginya kadar CRP (C-reactive

protein) juga menjadi prediktor terjadinya kondisi EPO resisten. Pada kondisi

respon EPO tidak adekuat, terapi EPO harus dilakukan setelah menanggulangi

penyakit penyerta. Penyimpanan EPO juga perlu diperhatikan yaitu disimpan pada

suhu 2-8oC agar tidak terganggu efektivitasnya (PERNEFRI, 2001).


26

4. Status Besi pada Penyakit Ginjal Kronis

a. Fe (Serum Iron)

Serum Iron (SI) merupakan gambaran kadar besi dalam bentuk ferri (Fe

3+) yang berikatan dengan transferin dalam darah. Pengukuran SI ditujukan untuk

mengevaluasi gangguan penimbunan besi atau kekurangan besi seperti pada

pasien anemia defisiensi besi. Kadar normal SI berkisar 50-150μg/dL (Longo

et.al., 2011). SI menunjukan fluktuasi seiring dengan variasi diurnal, terdapat

perbedaan konsentrasi SI pada pagi dan sore dengan kadar yang lebih tinggi pada

sore hari, kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh diet dan suplemantasi besi. Pada

kondisi tertentu didapatkan penrunan kadar SI seperti pada infeksi, penyakit

inflamasi kronik, dan anemia defisiensi. Peningkatan SI terjadi pada gangguan

iron-load seperti hemokromatosis dan pasien yang mendapatkan transfusi (Kelly

et.al., 2017).

b. TIBC

Total Iron Binding Capacity (TIBC) atau daya ikat besi total merupakan

gambaran kapasitas daya ikat transferin dalam mengikat besi serum. Hal ini

merefleksikan kadar tranferin secara tidak langsung. Pada kondisi konsentrasi besi

serum rendah, kadar TIBC akan meningkat dan menurun pada kondisi konsentrasi

besi serum yang tinggi. Kadar normal TIBC adalah 300-360 μg/dL (Longo et.al.,

2011).

c. Saturasi Transferin (SAT)


27

Saturasi Trasferin (ST) merupakan perbandingan kadar serum iron (SI)

terhadap kapasitas daya ikat besi total (TIBC) dalam persen kejenuhan (Bandiara,

2003). Pengukuran status besi ini menunjukan kadar transferin yang terikat

dengan besi. Pada kondisi defisiensi besi absolut maupun defisiensi besi

fungsional, kadar ST dapat mencapai hingga < 20%. Saturasi transferin > 45%

dapat terjadi pada penyakit hemokromatosis, transfusi berulang dan keracunan

besi. Peningkatan ST terjadi pada kondisi post pemberian zat besi intravena,

sedangkan penururunan ST akan terjadi pada kondisi infeksi atau kanker (Suega

K, 2015).

d. Feritin

Feritin adalah protein yang berfungsi sebagai penyimpan cadangan utama

besi dalam tubuh terutama pada limpa, hati, dan sumsum tulang (Puspitaningrum,

Rambert, & Wowor, 2016) Konsentrasi serum feritin menunjukkan kadar besi

total dan berperan sebagai indikator inflamasi sistemik (Kang, Hee-Taik et.al.,

2016). Senyawa protein yang terdiri atas 22 molekul apoferitin ini memiliki inti

yang berasal dari kompleks fosfat/besi sejumlah 4000-5000 molekul besi pada

tiap inti (Tanamal et.al., 2016).

Pemeriksaan feritin serum yang rutin dikerjakan dapat menunjukan adanya

defisiensi besi, karena feritin merupakan indikator yang menunjukan penurunan

pertama kali ketika terjadi penurunan cadangan besi tubuh (Tanamal et.al., 2016).

Kadar feritin normal pada laki-laki adalah 12-300 ng/mL dan 12-250 ng/mL untuk

perempuan (Farinde et.al., 2014).


28

Kadar feritin dan hepsidin pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis

terbukti lebih tinggi secara signifikan dibanding pada populasi kontrol yang terdiri

dari populasi sehat (Elmenyawi et.al., 2017). Adanya inflamasi kronik juga bisa

terjadi pada pasien yang mengalami GGK. Pada kondisi inflamasi, produksi

sitokin seperti IL- 1, IL-6, TNF-alfa, dan interferon-gamma dapat menyebakan

penahanan penghambatan pelepasan feritin pada sel sehingga kadarnya

meningkat, penurunan produksi eritropoetin endogen yang selanjutnya

menghambat eritropoesis (Zadrazil & Horak, 2015). Pada kondisi lain pada pasien

GGK, feritin dapat meningkat pada saat transferin yang berfungsi sebagai

transporter besi turun pada kondisi gangguan keseimbangan besi yang

menyebabkan peran feritin sebagai protein penyimpan besi utama dalam sel yang

seharusnya berikatan dengan protoporfirin untuk membentuk heme dan

selanjutnya diperlukan untuk pembentukan hemoglobin tidak terjadi.

B. Penelitian Terkait

Penelitian terdahulu yang berkait dengan perbandingan pemberian frekuensi

erythropoietin terhadap peningkatan hemoglobin pasien dengan penyakit

ginjal kronis yang menjalani hemodialisis antara lain :


29

Tabel 2.4 Tabel Penelitian Terdahulu


Judul
No Nama Peneliti Penelitian Metode Hasil penelitian Kesimpulan

1. Lain C. Once-weekly Metode pasien dari epoetin-alfa ke Pemberian epoetin dan darbepoetin alfa

Macdougall erythropoietic observasional darbepoetin alfa dengan faktor sekali seminggu dimungkinkan asalkan obat

therapy: is there analitik melalui konversi dari 200 U epoetin menjadi diberikan sc Ada kemungkinan bahwa dosis

a difference pendekatan cross 1 m g dari darbepoetin alfa. Pada epoetin yang lebih tinggi mungkin harus

between the sectional, dengan bulan ke-3, dosis yang setara untuk digunakan untuk mendapatkan respons

available jumlah responden mempertahankan konsentrasi biologis yang sama, dan ini tentu saja juga

preparations?, 36 pasien hemoglobin adalah 232 U epoetin tergantung pada faktor konversinya.

(2002) menjadi 1 m g darbepoetin alfa, dan digunakan untuk membandingkan epoetin

pada bulan ke-4 faktor konversinya dengan darbepoetin alfa. SPC untuk

adalah 238: 1. darbepoetin alfa menyarankan faktor

konversi dari 200 U epoetin menjadi 1 m g

darbepoetin alfa, tetapi rasio ini dapat


30

berubah, terutama pada tingkat dosis yang

lebih tinggi. Dengan pemberian iv, dosis

sekali seminggu benar-benar hanya layak

untuk darbepoetin alfa, dengan waktu paruh

eliminasi yang lebih lama.

2. Shochiro ohta, Metode Pada kelompok pasien NN, L dan H. Penelitian ini menghasilkan hasil yang
Efficacy of
Yuki Inomoto, observasional Setelah perubahan dari epoetin-β diperoleh selama periode pengamatan enam
once or twice
Nobuhiro, analitik dengan menjadi epoetin-κ, kadar Hb di setiap bulan, di mana administrasi epoetin-β diubah
weekly
Kaori Matsuda hasil uji analisis kelompok tetap pada : 11 g / dl menjadi epoetin-κ. Tiga bulan setelah
administration
dengan jumlah total sedangkan hematokrit (Ht) tetap pada peralihan ke epoetin-κ, tingkat
of epoetin κ in
responden 30 ~ 35% dan jumlah sel darah merah ketidakstabilan menurun. Meskipun situasi
patients
pasien tampaknya berkumpul pada 350 × setelah perubahan dari epoetin-β ke epoetin-
receiving
κ memerlukan penyelidikan lebih lanjut,
31

104/ μl dapat disimpulkan bahwa hasil yang


hemodialysis: A
diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan
retrospective
kesetaraan klinis dan kemanjuran epoetin-κ.
study, (2014)

3. S F Lui, C B Once weekly Metode kadar hemoglobin meningkat dari 6,6 Pemberian rHuEPO dosis rendah subkutan

Law, S M versus twice observasional +/- 1. 2 (mean +/- SD) menjadi 10,1 efektif dalam membalikkan anemia ginjal.

Ting, P Li, K weekly analitik dengan +/- 1,1 g / dl dalam kelompok sekali Tanggapan serupa diperoleh dengan rejimen

N Lai subcutaneous hasil uji analisis, seminggu dan dari 6,4 +/- 0,8 sekali seminggu dan dua kali seminggu.

administration dengan total 10 menjadi 10,2 +/- 1.1 g / dl dalam Oleh karena itu dapat diterima dan nyaman

of recombinant responden pasien kelompok dua kali seminggu. Dosis bagi pasien untuk menerima satu injeksi sc

human CAPD rata-rata rHuEPO yang digunakan mingguan rHuEPO untuk pengobatan

erythropoietin selama penelitian adalah 84 +/- 16 anemia ginjal. Pemberian rHuEPO dosis

in patients on dan 88 +/- 15 U / kg berat badan / rendah subkutan efektif dalam membalikkan

continuous minggu masing-masing untuk anemia ginjal. Tanggapan serupa diperoleh


32

ambulatory kelompok sekali seminggu dan dua dengan rejimen sekali seminggu dan dua kali

peritoneal kali seminggu. seminggu. Oleh karena itu dapat diterima

dialysis, (2007) dan nyaman bagi pasien untuk menerima

satu injeksi sc mingguan rHuEPO untuk

pengobatan anemia ginjal.

4. Olivia Wijaya Analisis Metode penelitian Nilai rerata kadar hemoglobin pre Tidak terdapat perbedaan signifikan kadar

Wong perubahan analitik hemodialisis 7,9 g/dL dan post hemoglobin pre dan post hemodialisis pada

hemoglobin observasional hemodialisis 8,8 g/dL dari 27 sampel, pasien penyakit ginjal kronis

pasien PGK dengan dan tidak terdapat perbedaan yang

yang menjalani menggunakan data signifikan dari hemoglobin pasien pre

hemodialisis sekunder dan teknik dan post hemodialisis. Hasil uji

selama 3 bulan Total Sampling. statistik Paired T didapatkan nilai p=

di Rumah sakit Sampel penelitian 0,271 (p>0,05).

perguruan berjumlah 27
33

tinggi negeri pasien.

universitas

Hasanuddin

Makasar,

(2017)

5. Suryanto, Hubungan Metode Hasil penelitian didapatkan pasien Terdapat hubungan yang signifikan antara

Amalia putri frekuensi observasional penyakit ginjal kronis dengan kadar frekuensi pemberian EPO terhadap Fe dan

ocean pemberian analitik melalui Fe normal 20%, dan menurun 80%. SAT namun tidak terdapat hubungan yang

eritropoietin pendekatan cross Sedangkan pada kadar TIBC signifikan terhadap TIBC.

(EPO) terhadap sectional dengan meningkat 6,7%, normal 43,3%, dan

kadar ferritin analisis uji korelasi. menurun 50%. Selanjutnya pada

pada pasien Jumlah sampel kadar SAT meningkat 6,7%, normal

penyakit ginjal pada penelitian ini 23,3%, dan menurun 70%. Hasil

kronis yang adalah 30 rekam analisis dengan uji Spearman


34

menjalani medis pasien didapatkan nilai signfikansi p = 0,020

hemodialisis, terhadap Fe, nilai signifikansi p =

(2019) 0,257 terhadap TIBC, dan nilai

signifikansi p = 0,010 terhadap SAT.

6. Adnan, Evaluasi terapi Observational Berdasarkan uji normalitas Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak

Hafizaah erytropoetin analitik dengan didapatkan hasil bahwa data Hb, terdapat perbedaan yang signifikan kadar

Dania pada pasien pendekatan cross- MCV, MCH, dan MCHC haemoglobin dan indeks eritrosit darah dari

hemodialisa di sectional. Dengan terdistribusi normal. Uji homogenitas kedua kelompok dan tidak terdapat

rumah sakit jumlah responden keseluruhan varabel menunjukkan hubungan penggunaan eritropoietin terhadap

Pku 60 pasien nilai P value > 0,005. Rata-rata profil kualitas hidup pasien hemodialisa.

muhammadiyah haemoglobin sebesar (9,28±1,528),

yogyakarta, rata- rata profil MCV sebesar

(90,06±6,150), Rata-rata profil MCH


35

(2016) (29,60±1,998), rata- rata

(32,89±0,688). Pada uji independent

Sampel t-test diperoleh p value profil

haemoglobin sebesar 0,68 ; MCV

0,124 ; MCH 0,164 ; 0,415. yang

menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan terhadap

profil sel darah merah terhadap

pemberian terapi anemia yang

berbeda.

7. Ardiya Garini Kadar Survey deskriftif Rata-rata kadar hemoglobin pasien Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

hemoglobin dengan pendekatan perempuan = 7,794 gr/dl dan laki-laki pasien yang sakit ≤ 3 bulan mempunyai

pada pasien cross sectional = 8,213 gr/dl. Rata-rata kadar kadar hemoglobin yang lebih rendah dengan
36

gagal ginjal dengan total jumlah hemoglobin pada pasien umur remaja derajat anemia berat daripada yang sudah >

kronik yang responden 48 = 6,150 gr/dl, dewasa = 7,831 gr/dl 3 bulan menderita sakit.

menjalani pasien. dan lansia = 8,273 gr/dl. Rata-rata

hemodialisis, kadar hemoglobin pada pasien yang

(2018) lama sakit ≤ 3 bulan = 6,750 gr/dl

dan yang lama sakit > 3 bulan =

8,122 gr/dl. Rata-rata kadar

hemoglobin pada pasien yang telah

menjalani hemodialisis ≤ 12 bulan =

7,020 gr/dl dan > 12 bulan = 8,186

gr/dl.
37

8. Lia dewi Perbedaan Hb Observational Berdasarkan uji normalitas dengan Terdapat perbedaan bermakna kadar hb

Pratiwi, lilis pada penderita analitik cross- menggunakan Shapiro-wilk sebelum dan sesudah hd pada pasien PGK

Majidah, Ita PGK sebelum sectional dengan didapatkan data berdistribusi normal, dimana kadar hb sesudah hd lebih tinggi dari

Ismunanti dan sesudah menggunakan data dimana nilai p sesudah hd adalah pada kadar hb sebelum hd.

Hemodialisis, sekunder dan 0,062. Uji dependent t test didapatkan

(2018) Teknik purposive nilai p=0,002 (p<0,05), dengan rerata

sampling, sampel sebelum hd adalah 8,66 g/dl

yang digunakan sedangkan rerata sesudah hd adalah

berjumlah 30 9,10 g/dl.

pasien.

9. Merra Pengaruh Desain penelitian Hasil uji t dependent menunjukkan Dengan demikian institusi pelayanan perlu

Rachmawaty latihan fisik menggunakan ada perbedaan nilai Hb setelah mengembangkan latihan fisik sebagai bagian

selama quasi experiment dilakukan latihan fisik (nilai p = dari program terapi dan rehabilitasi pasien

hemodialisis dengan rancangan 0,04), dan untuk penilaian fungsi penyakit ginjal kronis yang menjalani
38

terhadap nilai pretest dan postest fisik dengan dilakukan uji berjalan hemodialisis.

Hb dan fungsi without control selama 6 menit (6MWT) dan

fisik pada group dan metode pengukuran tingkat kelelahan dengan

pasien penyakit pengambilan skala Borg diperoleh perbedaan jarak

ginjal kronis sampel dengan yang ditempuh dalam 6MWT (nilai p

yang menjalani rancangan = 0,000) dan perbedaan tingkat

hemodialisis di purposive kelelahan setelah dilakukan latihan

Rumah Sakit sampling. fisik (nilai p = 0,000).

Islam Jakarta Perbedaan nilai Hb

Cempaka Putih, dan fungsi fisik

(2014) diuji dengan uji t

dependent.
39

10. Siska Sarwana Hubungan Metode analitik Hasil penelitian menunjukkan, pasien Terdapat hubungan antara penyakit ginjal

Penyakit Ginjal observasional PGK disertai anemia sebanyak 99 kronik dengan anemia dan pasien yang

Kronik Dengan dengan pendekatan pasien (94,3%) dan 6 orang pasien mengalami penyakit ginjal kronik memiliki

Anemia Pada rancangan cross PGK (5,7%) tidak disertai anemia. resiko untuk anemia sebesar 7,615 kali lebih
40

Pasien Rawat sectional dan data Sedangkan Pasien Non PGK yang besar dibandingkan pasien bukan penyakit

Inap RSUD yang diambil dalam mengalami anemia sebanyak 52 ginjal kronis.

Bari Palembang penelitian ini orang (68,4%) dan Pasien Non PGK

, (2014) adalah data tidak disertai anemia sebanyak 24

sekunder hasil orang (31,6%). Berdasarkan uji kai

catatan rekam kuadrat nilai P-0,000 (P< 0,05) jadi

medik. Sampel terdapat hubungan antara penyakit

penelitian ini ginjal kronik dengan anemia dan nilai

sebanyak 181 OR^ 7,615

pasien.
41

C. Kerangaka Teori

Hemodialisa Penyakit Ginjal Kronis

Intoksikasi Penurunan Inflamasi kronis Penurunan sel


aluminium volume darah interstesial Hiperparatiroid
pertibular
ginjal
Uremia
Penurunan transferin

Penurunan
Perubahan Erythropoietin
kadarFeritin

Gangguan proses eritropoesis

Anemia

Pemberian Transfusi

PemberianZat Besi

Pemberian Erythropoietin (EPO)

Skema 2.1 : Kerangka Teori, Sumber : Suwitra (2014), Tanamal et.al (2016),
Zadrazil & Horak (2015), Kritawan (2017), KDIGO (2013), Gaweda, (2017),
Krause et.al (2013), Silaban et.al (2016), Prenggono, (2015), Panjeta et.al (2017)
PERNEFRI (2001).
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep didefinisikan sebagai kerangka hubungan antara

konsep-konsep yang akan diukur atau di amati melalui penelitian yang

dilakukan. Dalam kerangka konsep tercantum diagram yang dapat

menunjukan hubungan antara variabel-variabel yang akan diteliti

(Masturoh & Anggita T, 2018). Variabel penelitian sendiri merupakan

suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang

memiliki variasi tertentu yang di tetapkan peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2018).

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi atau

menjadi sebab dari berubahnya atau datangnya variabel dependen.

Sedangkan variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi suatu akibat yang di sebabkan adanya variabel independen.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah frekuensi pemberian

erythropoietin dimana pemberian erythropoietin dapat merubah atau

mempengaruhi variabel lain. Kadar hemoglobin adalah variabel dependen

nya dimana variabel ini dapat berubah dan dipengaruhi karena adanya

variabel independen (Sugiyono, 2018).

Variabel pengganggu atau confounding adalah variabel yang

mengganggu terhadap hubungan antara variabel independen dengan

42
44

variabel dependen. Variabel counfounding dalam penelitian ini adalah

usia, jenis kelamin dan pendidikan (Notoatmodjo, 2010)

Skema 3.2 kerangka konsep penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

Frekuensi pemberian Kadar Hemoglobin


Erythropoietin (EPO)

Variabel Counfounding
- Usia
- Jenis Kelamin
- Pekerjaan
- Lama sakit
- Lama Hemodialisis

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Perbandingan

B. Hipotesis

Adalah jawaban sementara dari pertanyaan penelitian (Nursalam, 2012).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Hipotesis Alternatif (Ha):

Ada pengaruh pemberian erythropoietin terhadap peningkatan

hemoglobin dengan frekuensi pemberian satu kali pada kelompok kontrol


45

dan dua kali pada kelompok intervensi pada pasien hemodialisis di Rsu Z

Jagakarsa Jakarta Selatan.

Hipotesis Nol (H0):

Tidak ada pengaruh pemberian erythropoetin terhadap peningkatan

hemoglobin dengan frekuensi pemberian satu kali pada kelompok kontrol

dan dua kali pada kelompok intervensi pada pasien hemodialisis di Rsu Z

Jagakarsa Jakarta Selatan.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2010). Untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian

variabel-variabel diamati/diteliti, perlu sekali variabel-variabel tersebut

diberi batasan atau “definisi operasional”. Definisi operasional ini juga

bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan

terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan

instrument (Notoatmodjo, 2010).

Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.5

dibawah ini :

1. Vairiabel Independen

Variabel independen adalah suatu variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya variabel dependen (Hidayat, 2012). Dalam

penelitian ini, yang dimaksud dengan variabel independen adalah

frekuensi pemberian terapi erythropoietin (EPO).


46

2. Variabel Dependen

Variabel devenden adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi

akibat karena variabel independen (Hidayat, 2012). Dalam penelitian ini,

yang dimaksud dengan variabel dependen adalah kadar hemoglobin.


47

Tabel 3.5. Definisi Operasional

Alat ukur Cara Ukur Hasil Skala ukur


No Variabel Definisi operasional ukur
1. Independen : Terapi Farmakologis yang - - - -

Frekuensi diberikan kepada responden

Pemberian dengan PGK di Rsu Z

Erythropoieti

2. Dependen : Ukuran pigmen respiratorik Menggunakan metode Lembar Observasi Kadar Hb dalam Rasio

Pemeriksaan dalam butiran-butiran darah Hematologi Analyzer satuan gr% sesuai

kadar merah pada pasien PGK di hasil pemeriksaan

hemoglobin Rsu Z (costill, 1998) laboratorium


48

3. Usia Ukuran lama waktu hidup Kuisioner Pengisian kuisioner 1. Dewasa Awal : 26- Ordinal

responden sejak dilahirkan oleh responden 35 tahun

sampai waktu penelitian 2. Dewasa akhir : 36-

pada pasien PGK di Rsu Z 45 tahun

3. Lansia awal : 46-

55 tahun

4. Lansia akhir : 56-

65 tahun
49

4. Jenis Kelamin Tanda Biologis yang Kuisioner Pengisian kuisioner Berbentuk kategori Nominal

membedakan responden oleh responden 1: perempuan

berdasarkan kelompok 2: Laki-laki

perempuan dan laki-laki


50

5. Pekerjaan Ukuran responden yang Kuisioner Pengisian kuisioner Berbentuk kategori Ordinal

masih bekerja dan tidak oleh responden 1: Bekerja

bekerja selama menjalani 2: Tidak Bekerja

hemodialisis
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah Quasy Experiment dengan rancangan

Pretest-Posttest control group design yang terdiri atas dua kelompok yang

telah ditentukan. Pada desain ini test yang dilakukan sebanyak dua kali,

yaitu sebelum dan sesudah diberikan perlakuan eksperiment. Test yang

dilakukan sebelum mendapatkan perlakuan disebut pretest (O1 dan O3),

setelah itu penulis memberikan perlakuan berupa intervensi pemberian

erythropoietin sebanyak satu kali perminggu untuk kelompok kontrol (O1)

dan dua kali perminggu untuk kelompok intervensi (O3). Pada tahap akhir

penulis akan melakukan pengukuran ulang Hb atau melakukan post test

(O2 dan O4) setelah dilakukan intervensi. Adapun pola penelitian metode

Pretest-Posttest control group design menurut (Sugiyono, 2007) sebagai

berikut :

Skema 4.3

The Static Group Pretest-Postest Design

R O1 X O2

R O3 O4

Keterangan :

51
52

O1 = Pengukuran hasil hemolgobin sebelum diberikan terapi

erythropoietin pada kelompok kontrol

O2 = Pengukuran hasil hemoglobin sesudah diberikan terapi

erythropoietin pada kelompok kontrol

X = Terapi erythropietin

O3 = Pengukuran hasil hemoglobin sebelum diberikan erythropoietin pada

kelompok intervensi

O4 = Pengukuran hasil hemoglobin sesudah diberikan terapi

erythropoietin pada kelompok Intervensi


53

B. Populasi dan Sampel penelitian

1. Populasi

Populasi adalah kumpulan dari individu atau objek atau

fenomena yang secara potensial dapat diukur sebagai sebagian dari

penelitian (Mazhinduscoott, 2005) dalam (Swarjana, 2014). Pada

penelitian ini populasinya adalah sebanyak 60 pasien hemodialisis yang

melakukan hemodialisis rutin di Rsu Z Jagakrsa Jakarta Selatan.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi yang secara nyata diteliti dan ditarik kesimpulan.(Masturoh,

imas. Anggita T, 2018). Sampel dari penelitian ini adalah pasien

hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan yang berjumlah 60 pasien

terhitung sejak bulan Januari 2020 sampai dengan November 2020 yang

memenuhi ktiteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi.

1) Penghitungan sampel

Perhitungan sampel dengan teknik sampel yang digunakan dalam

penelitian ini adalah total sampling. Sampel pada penelitan ini adalah

seluruh populasi yang akan diteliti. Jumlah sampel dalam penelitian

ini sebanyak 60 responden. 30 untuk kelompok kontrol dan 30 untuk

kelompok intervensi. Perhitungan sampel dalam penelitian ini

menggunakan teknik total sampling yaitu teknik pengambilan sampel

dimana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi.


54

2) Kriteria inklusi dan ekslusi

a) Kriteria inklusi adalah kriteria yang menyaring anggota populasi

menjadi sampel yang memenuhi kriteria secara teori yang sesuai

dan terkait dengan topik dan kondisi penelitian. (Masturoh, imas.

Anggita T, 2018). Kriterian inklusi dalam penelitian ini adalah :

1) Pasien PGK grade 5

2) Pasien PGK yang menjalani hemodialisa secara rutin.

3) Bersedia menjadi responden

4) Pasien Hemodialiss 2x dalam seminggu

5) Pasien hemodialisa yang mendapat pemberian Erythropoietn

6) Pasien sadar penuh dengan hemodinamik stabil.

7) Rentang waktu hemodialisis 4-4:30 jam

Sedangkan Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek

penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat

sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2010). kriteria ekslusi dalam

penelitian ini yaitu :

1) Pasien hemodialisis yang mendapatkan tranfusi darah

2) Pasien yang mengalami gangguan hemodinamik

3) Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total

sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel

sama dengan jumlah populasi.


55

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2020 sampai dengan

Januari 2021 Di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan.

D. Etika Penelitian

Peneliti dalam melaksanakan seluruh kegiatan penelitian harus

menerapkan sikap ilmiah (scientific attitude) dan menggunakan prinsip-

prinsip dalam etika penelitian. Penelitian yang melibatkan subjek harus

menerapkan 4 (empat) prinsip dasar etika penelitian, yaitu : (Masturoh,

imas. Anggita T, 2018)

a) Menghormati atau menghargai subjek (Respect for Person)

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

(1) Peneliti harus mempertimbangan secara mendalam tehadap

kemungkinan bahaya dan penyalahgunaan penelitian.

(2) Terhadap subjek penelitian yang rentan terhadap bahaya penelitian

maka perlu perlindungan.

b) Lembar persetujuan (informed consent)

Peneliti memberikan penjelasan kepada responden untuk mengisi

Informend consent yang merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dan responden penelitian. Informed consent diberikan sebelum

penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk

menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subyek

mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya.


56

c) Manfaat (Benefience)

Penelitian diharapkan dapat menghasilkan manfaat yang sebesar-

besarnya dan mengurangi kerugian atau resiko bagi subjek penelitian.

Oleh karenanya desain penelitian harus memperhatikan keselamatan

dan kesehatan dari subjek peneliti.

d) Tidak membahayakan subjek (Non Maleficence)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian harus

mengurangi kerugian atau resiko bagi subjek penelitian. Penting bagi

peneliti memperkirakan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan

terjadi dalam penelitian sehingga dapat mencagah resiko yang

membahayakan bagi subjek penelitian.

e) Keadilan (Justice)

Makna keadilan dalam hal ini adalah tidak membedakan subjek perlu

diperhatikan bahwa penelitian seimbang antara manfaat dn resikonya.

Resiko yang dihadapi sesuai dengan pengertian sehat yang mencakup

fisik, mental dan sosial.

E. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh

informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian

(Masturoh, imas. Anggita T, 2018). Pengumpulan data yang akan

digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan observasi. Instrument

pada penelitian ini adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan

data yaitu lembar observasi yang berisi data demografi responden dan
57

hasil lab responden yang berada di unit hemodialisis Rsu Z Jagakarsa

Jakarta Selatan.

F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Validitas

Menurut (Arikunto, 2010) suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut

dapat mengukur apa yang hendak diukur. Pembuatan instrumen atau alat

ukur dapat dilakukan dengan acuan validitas isi (conten validity) dan

validitas konstruk atau validitas kerangka (construk validity) (Masturoh,

imas. Anggita T, 2018). Validitas isi adalah kesesuaian isi instrumen

dengan topik yang akan diteliti. Validitas konstruk adalah kesesuaian dari

definisi operasional tiap variable untuk digunakan ndalam penelitian

tersebut atau dapat dikatakankemempuan alat ukur untuk mengukur

pengertiann yang terkandungdalam definisi topik variabel yang telah

ditentukan (Masturoh, imas. Anggita T, 2018). Adapun rumus validitas

hitung koefisien korelasi adalah sebagai berikut :

Keterangan :

r = koefisien korelasi

n = jumlah responden uji coba

x = skor pada setiap item

y = skor pada seluruh item responden uji coba


58

Pada penelitian ini uji validitas tidak dilakukan karena penelitian ini

menggunakan desain Pra Eksperimen dengan one group pretest posttest

design, desain ini dari awal sudah dilakukan observasi melalui pretest

terlebih dahulu kemudian diberikan intervensi, selanjutnya diberikan

posttest sehingga dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi

sebelum dan sesudah diberikan perlakuan atau intervensi.

2. Reliabilitas

Langkah yang dilakukan setelah uji validitas adalah uji reliabilitas. Alat

ukur dikatakan reliabel jika alat ukur tersebut memiliki sifat yang

konsisten (Masturoh, imas. Anggita T, 2018)


59

G. Prosedur Pengumpulan Data

Skema 4.2 Prosedur Pengumpulan Data

Pengajuan judul
Penelitian

Pengajuan Surat permohonan Izin penelitian


kepada Bagian akademik STIKIM

Pengajuan surat permohonan Izin penelitian ke


bagian Diklat RSU Z

Pengumpulan data Konsul/ Bimbingan


Penyususnan BAB I – BAB IV
Proposal Riset

Sidang Proposal
Pengolahan Data Analisis data

Memulai Penelitian

Penyusunan BAB IV dan BAB V

Sidang Akhir

Pengumpulan Hasil sidang Akhir


60

H. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan melalui proses dengan tahapan (Notoatmodjo,

2010) sebagai berikut:

1. Editing yaitu agar data yang telah dikumpulkan dapat diolah dengan

baik,dan benar sehingga dapat menghasilkan informasi yang benar.

Dengan cara memeriksa dan mengamati kelengkapan pengisiannya.

Sehingga apabila terjadi kesalahan atau jawaban yang belum lengkap

dapat ditelusuri kembali.

2. Coding yaitu mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para

responden kedalam kategori. Dengan cara memberi tanda / kode

berbentuk angka pada masing-masing jawaban.

3. Sorting yaitu mensortir dengan memilih atau mengelompokkan data

menurut jenis yang dikehendaki ( klasifikasi data). Misalnya: menurut

daerah sampel, tanggal dan sebagainya.

4. Entry data yaitu jawaban-jawaban yang sudah diberi kode katagori

kemudian dimasukkan dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi

data. Memasukkan data, boleh dengan cara manual melalui

pengolahan komputer menggunakan spss.

5. Cleaning yaitu setelah semua data dimasukan melakukan

pengecekan kembali semua data untuk melihat kemungkinan adanya

kesalahan atau ketidaklengkapan data yang kemudian dilakukan

perbaikan atau koreksi.


61

6. Mengeluarkan data disesuaikan dengan tujuan penelitian yang

dilakukan.

I. Analisis Data

Prosedur analisis data merupakan proses memilih dan beberapa sumber

maupun permasalahan yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan

(Notoatmodjo, 2010).

1. Uji normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah segala yang

diselidiki memiliki distribusi normal atau tidak. Uji normalitas

dilakukan dengan aplikasi SPSS. Adapun interpretasi dari uji

normalitas untuk mengetahui distribusi suatu data menurut (Hastono,

2010), ada 3 cara:

a. Dilihat dari grafik histogram dan kurva normal, bila data

menyerupai bellshape berarti data normal

b. Menggunakan nilai skewness dan standar errornya, bila skewness

dibagi standar error nya menghasilkan angka ≤ 2, maka

distribusinya normal.

c. Menggunakan teknik statistik Kolmogorov-Smirnov (uji K-S),

namun teknik ini memiliki kelemahan sangat sensitif terhadap

jumlah sampel tertentu, sehingga akan lebih baik bila

menggunakan nilai skewness dibagi standar error.


62

2. Analisis Univariat

Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Analisa

univariat bertujuan untuk menjelaskan karakteristik setiap variabel

penelitian. Pada umumnya didalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi frekuensi dan presentase dari setiap variabel

(Notoatmodjo, 2012).

3. Analisis Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis untuk menguji hubungan atau

pengaruh antara dua variabel. Pemilihan uji statistik yang akan

digunakan untuk melakukan analisis didasarkan pada skala

pengukuran, jumlah populasi dan sampel dan jumlah variabel

( (Notoatmodjo, 2012). Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui

pengaruh pemberian erythropoietin terhadap hasil hemoglobin pada

pasien penyakit ginjal kronis. Jenis uji statistik yang akan digunakan

dalam penelitian ini adalah Uji T berpasangan (paired t-test). Uji T

berpasangan dilakukan pada subjek yang diuji pada situasi sebelum

dan sesudah proses, subjek sama tetapi mengalami dua perlakuan atau

pengukuran (pre dan post).


63

J. Jadwal Kegiatan

Pembuatan proposal riset dimulai dari bulan Juli 2020 sampai dengan bulan Maret 2021. Untuk lebih jelasnya jadwal

pembuatan proposal riset ini disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

Table 4.6. Jadwal Kegiatan Riset 2020 - 2021

Bulan

No Kegiatan Juli 2020 Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret

2020 2020 2020 2020 2020 2021 2021 2021

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Pengajuan

Judul

2 Bab I

3 Bab II

4 Bab III
64

5 Bab IV

6 Pengesahan

Proposal

7 Ujian Proposal

8 Pengumpulan

data

9 Uji Plagiat dan

Uji Etik

10 Mulai

Penelitian

11 Pengolahan

data SPSS

12 Konsul Bab

V,VI,VII
65

13 Melakukan

Ujian Akhir

14 Penyerahan

Laporan
BAB V

HASIL PENELITIAN

Data yang dianalisis dalam penelitian ini di kelompokkan menjadi data yang di

dapatkan dari hasil pengukuran pertama (Pre) sebelum perlakuan dan data yang di

dapatkan dari hasil pengukuran kedua (Post) setelah perlakuan. Data pengukuran

pertama dilakukan di bulan Desember tahun 2020 dan Data pengukuran kedua

dilakukan di bulan Januari tahun 2021.

A. Uji Normalitas Data

Kelompok Kolmogorov- Shapiro-Wilk


a
Smirnov

statistic df Sig Statistic df Sig


Hb Pre
0,197 30 0,004 0,754 30 0,000
KK
Hb Post
0,198 30 0,004 0,705 30 0,000
KK
Hb Pre KI 0,144 30 0,114 0,944 30 0,115
Hb Post
0,133 30 0,185 0,924 30. 0,034
KI
Tabel 5.1 Uji Normalitas

Sumber : SPSS

Pada tabel diatas diketahui bahwa berdasarkan uji kolmogorov smirnov variabel

kadar Hb pada kelompok kontrol sebelum dan setelah pemberian erythropoietin

terdistribusi tidak normal (p Value 0,004 < 0,05). Sedangkan kadar Hb pada

66
67

kelompok Intervensi sebelum dan setelah pemberian erythropoietin terdistribusi

normal (p Value pre 0,114 dan p Value post 0,185 > 0,05).

B. Analisis Univariat

1. Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Dan


Pekerjaan
Tabel 5.2
Gambaran Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Dan
Pekerjaan

Karakteristik Jumlah Persentase


Responden Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi
Dewasa
4 3 13,3 10,0
Akhir
Lansia
Usia 14 15 46,7 50,0
Awal
Lansia
12 12 40,0 40,0
Akhir
Jenis Laki-Laki 21 17 70 56,7
Kelamin Perempuan 9 13 30 43.3
Bekerja 4 7 13,3 23,3
Pekerjaan Tidak
26 23 86,7 76,7
Bekerja
67

Tabel 5.2 menunjukan distribusi responden berdasarkan usia paling banyak

berada pada usia lansia awal baik pada kelompok kontrol maupun kelompok

intervensi, masing-masing 14 orang (46,7%) dan 15 orang (50%). Berikutnya

disusul oleh kategori usia lansia akhir, 12 orang (40%) pada kelompok kontrol

dan 12 orang (40%) pada kelompok intervensi. Sedangkan kategori usia Dewasa

Akhir merupakan yang paling sedikit, 4 orang (13,3%) pada kelompok kontrol

dan 3 orang (10%) pada kelompok intervensi.

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak pada

kelompok kontrol adalah laki-laki sebanyak 21 orang (70%) dan perempuan

sebanyak 9 0rang (30%) . Pada kelompok intervensi juga menunjukan paling

banyak responden laki-laki yaitu 17 orang (56,7) dan responden perempuan

sebanyak 13 orang (43,3).

Distribusi responden berdasarkan pekerjaan paling banyak pada kelompok

kontrol adalah responden yang tidak bekerja sebanyak 26 orang (86,7%) dan

responden yang masih bekerja sebanyak 4 orang (13,3%). Pada kelompok

intervensi juga menunjukan paling banyak responden yang tidak bekerja yaitu 23

orang (76,7) dan responden yang bekerja sebanyak 7 orang (23,3).


68

2. Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang

Menjalani Hemodialisis Sebelum Mendapatkan Terapi Erythropoietin Pada

Kelompok Kontrol

Tabel 5.3 Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Yang Menjalani Hemodialisis Sebelum Mendapatkan Terapi Erythropoietin pada

kelompok kontrol

Kategori Mean Median SD Min-Max 95% CI

Hb Kelompok Kontrol
10,19 10,00 1,19 9.0-15,2 9,74 - 10,64
Pre EPO 1X/Minggu

Hasil analisis didapatkan rata-rata kadar Hb pada kelompok kontrol

sebelum diberikan Erythropoietin 1 kali perminggu adalah 10,19 gr% dengan

standar deviasi 1,19gr%. Hb terendah adalah 9,0 gr% dan tertinggi adalah 15,2 gr

%. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata

kadar Hb responden kelompok kontrol sebelum diberikan Erythropoietin diantara

9,74 gr% sampai dengan 10,64 gr%.


69

3. Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang

Menjalani Hemodialisis Sebelum Mendapatkan Terapi Erythropoietin Pada

Kelompok Intervensi

Tabel 5.4 Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Yang Menjalani Hemodialisis Sebelum Mendapatkan Terapi Erythropoietin pada

Kelompok Intervensi

Kategori Mean Median SD Min-Max 95% CI

Hb Kelompok

Intervensi 7,83 7,85 0,59 6,8-8,8 7,61 – 8,05

Pre EPO 2X/Minggu

Rata-rata kadar Hb pada kelompok intervensi sebelum diberikan

Erythropoietin 2 kali perminggu adalah 7,86 gr% dengan standar deviasi 0,59 gr

%. Hb terendah adalah 6,8 gr% dan tertinggi adalah 8,8 gr%. Dari hasil estimasi

interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata kadar Hb responden

kelompok intervensi sebelum diberikan Erythropoietin diantara 7,61 gr% sampai

dengan 8,05 gr%.


70

4. Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang

Menjalani Hemodialisis Sesudah Mendapatkan Terapi Erythropoietin Pada

Kelompok Kontrol

Tabel 5.5 Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal

Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Sesudah Mendapatkan Terapi

Erythropoietin pada kelompok kontrol

Kategori Mean Median SD Min-Max 95% CI

Kelompok Kontrol
10,31 10,10 1,35 8,8-16,30 9,80 – 10,81
Post EPO 1X/Minggu

Hasil analisis didapatkan rata-rata kadar Hb pada kelompok kontrol

sesudah diberikan Erythropoietin 1 kali perminggu adalah 10,31 gr% dengan

standar deviasi 1,35 gr%. Hb terendah adalah 8,8 gr% dan tertinggi adalah 16,30

gr%. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata

kadar Hb responden kelompok kontrol sesudah diberikan Erythropoietin diantara

9,80 gr% sampai dengan 10,81 gr%.


71

5. Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang

Menjalani Hemodialisis Sesudah Mendapatkan Terapi Erythropoietin Pada

Kelompok Intervensi

Tabel 5.6 Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pasien Penyakit Ginjal

Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Sesudah Mendapatkan Terapi

Erythropoietin pada kelompok intervensi

Kategori Mean Median SD Min-Max 95% CI

Kelompok Intervensi
8,36 8,15 0,79 7,2-10,00 8,07 – 8,65
Post EPO 2X/Minggu

Hasil analisis didapatkan rata-rata kadar Hb pada kelompok intervensi

sesudah diberikan Erythropoietin 2 kali permingu adalah 8,36 gr% dengan standar

deviasi 0,79 gr%. Hb terendah adalah 7,20 gr% dan tertinggi adalah 10,00 gr%.

Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata kadar

Hb responden kelompok intervensi setelah diberikan Erythropoietin diantara 8,07

gr% sampai dengan 8,65 gr%.


72

C. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk membandingkan pengaruh frekuensi

pemberian erythropoietin pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

terhadap peningkatan kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis. Analisis ini dilakukan dengan menganalisis

pengaruh pemberian erythropoietin pada masing-masing kelompok

responden. Pada kelompok kontrol pengaruh pemberian erythropoietin uji

hipotesis dilakukan dengan menganalisis data hb pre dan post pemberian

erythropoietin menggunakan uji Wilxone karena distribusi data tidak normal.

Pada kelompok intervensi pengaruh pemberian erythropoietin uji hipotesis

dilakukan dengan menganalisis data hb pre dan post pemberian

erythropoietin menggunakan uji T-dependen karena distribusi data normal.

Selanjutnya untuk membandingkan pengaruh frekuensi pemberian

erythropoietin peneliti melakukan melakukan uji-T independen pada hasil

pengukuran Hb post pada kelompok kontrol dan intervensi. Hasil analisis

bivariat sebagai berikut :


73

1. Pengaruh pemberian erythropoetin terhadap peningkatan hemoglobin

dengan frekuensi pemberian satu kali pada kelompok kontrol pada pasien

hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakrta Selatan

Tabel 5.7 Uji Wilcoxon perningkatan Hb pada Kelompok Kontrol antara

sebelum dan sesudah pemberian erythropoietin

Rank N P-Value

Negative Ranks 14

Positive Ranks 14 0,380

Ties 2

Hasil analisis pada kelompok kontrol menunjukan terdapat 14 Negative

Ranks atau 14 responden yang kadar Hbnya sesudah pemberian

Erythropoietin lebih rendah dari pada sebelum pemberian Erythropoietin.

terdapat 14 Positive Ranks atau 14 responden yang kadar Hbnya sesudah

pemberian Erythropoietin lebih tinggi dari pada sebelum pemberian

Erythropoietin. Dan terdapat 2 Ties atau 2 responden yang kadar Hbnya sama

antara sebelum dan sesudah diberikan Erythropoietin.

Hasil signifikansi p-Value sebesar 0,380 (>0,05) maka H0 diterima. Sehingga

disimpulkan bahwa Tidak ada pengaruh yang signifikan pemberian

erythropoetin terhadap peningkatan hemoglobin dengan frekuensi pemberian

satu kali pada kelompok kontrol pada pasien hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa

Jakarta Selatan.
74

2. Pengaruh pemberian erythropoetin terhadap peningkatan hemoglobin

dengan frekuensi pemberian dua kali pada kelompok intervensi pada

pasien hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan

Tabel 5.8 Rata-rata peningktan Hb Responden pada kelompok intervensi

sebelum dan sesudah pemberian erythropoietin

Variabel Mean SD SE n P Value


Hb
7,83 0,59 0,11 0,001
Sebelum
0,001
Hb
8,36 0,79 0,14 30
Sesudah

Rata-rata kadar Hb responden pada kelompok Intervensi sebelum pemberian

erythropoietin adalah 7,83 gr% dengan standar deviasi 0,59 gr%, sedangkan

rata-rata Hb pada kelompok intervensi setelah pemberian erythropoietin

adalah 8,36 gr% dengan standar deviasi 0,79 gr%. Hasil analisis didapatkan

P-Value 0,001 (<0,05) maka Ha diterima, berarti pada alpha 5% ada

pengaruh yang signifikan pemberian erythropoetin terhadap peningkatan

hemoglobin dengan frekuensi pemberian dua kali pada kelompok intervensi

pada pasien hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan.

3. Perbandingan Pengaruh Frekuensi Pemberian Erythropoietin

Terhadap Peningkatan kadar Hb Pada Kelompok Kontrol dan


75

intervensi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani

Hemodialisis di Rsu Z Jagakrsa Jakarta Selatan

Tabel 5.9 Perbandingan Peningkatan kadar Hb Pada Kelompok Kontrol

dan intervensi sesudah pemberian erythropoietin Pada Pasien Penyakit

Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis

Mean SD SE n P
Variabel
Value
Hb Kontrol 10,31 1,35 0,25 30
Hb 0,0001
8,36 0,79 0,14 30
Intervensi

Rata-rata kadar Hb responden pada kelompok kontrol setelah pemberian

erythropoietin 1 kali perminggu adalah 10,31 gr% dengan standar deviasi

1,35 gr%, sedangkan pada kelompok intervensi setelah pemberian

erythropoietin 1 kali perminggu adalah 8,36 gr% dengan standar deviasi

0,79 gr%. Hasil analisis didapatkan P-Value 0,0001, berarti pada alpha

5% terlihat perbedaan yang signifikan peningkatan Hb antara Pemberian

erythropoietin dengan frekuensi 1 kali perminggu dengan Pemberian

erythropoietin dengan frekuensi 2 kali perminggu pada pasien penyakit

ginjal kronis yang menjalani Hemodialisis.


BAB VI

PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Analisis Univariat

1. Gambaran karakteristik berdasarkan usia, jenis kelamin, dan

pekerjaan.

Hasil penelitian ini menunjukan berdasarkan usia, responden paling

banyak berada pada usia Lansia Awal (29 orang) baik pada kelompok

kontrol maupun kelompok intervensi, masing-masing 14 orang (46,7%)

dan 15 orang (50%). Berikutnya disusul oleh kategori usia lansia akhir, 12

orang (40%) pada kelompok kontrol dan 12 orang (40%) pada kelompok

intervensi. Sedangkan kategori usia Dewasa Akhir merupakan yang paling

sedikit, 4 orang (13,3%) pada kelompok kontrol dan 3 orang (10%) pada

kelompok intervensi.

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian (Yuwono,

2013) yang menunjukkan bahwa rata-rata umur pasien HD adalah 48,2

tahun, dengan usia termuda 25 tahun dan yang tertua 78 tahun.

(Erwinsyah, 2009) menyebutkan bahwa umur rata-rata dari sampel

penelitiaanya adalah 51,0 tahun. (Iseki, 2008) menyebutkan bahwa salah

satu faktor yang mempengaruhi penurunan fungsi ginjal adalah umur, hasil

penelitiannya menunjukan umur penderita PGK di Jepang berkisar antara

18 – 70 tahun, penderita PGK di Jepang mengalami peningkatan jumlah

pada usia diatas 50 tahun. (Flower, 2003) menyebutkan

76
77

bahwa proses penuaan atau bertambahnya umur sesorang akan

menurunkan fungsi biologik dari semua organ yang ada. Selain ini dengan

bertambahnya usia sesorang akan semakin rentan mengalami penyakit

metabolik seperti diabetes mellitus dan hipertensi yang merupakan salah

satu penyebab terbesar terjadinya gagal ginjal kronis. Hal ini menjadi salah

satu penyebab responden paling banyak dalam penelitian ini adalah

responden dalam kelompok usia lansia awal.

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak pada

kelompok kontrol adalah laki-laki sebanyak 21 orang (70%) dan

perempuan sebanyak 9 0rang (30%) . Pada kelompok interversi juga

menunjukan paling banyak responden laki-laki yaitu 17 orang (56,7) dan

responden perempuan sebanyak 13 orang (43,3). Dapat disimpulkan

bahwa responden dalam penelitian ini sebagian besar merupakan

responden dengan jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 38 orang.

Riskesdas 2013 juga menunjukan prevalensi yang serupa, dimana

revalensi laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%).

Namun berbeda halnya dengan hasil penelitian Widyastuti, R.,

Burat-Butar., Bebasari, E., (2014) di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau

yang menunjukkan bahwa responden jenis kelamin perempuan lebih

banyak yaitu sebesar 52% dan jenis kelamin laki-laki berjumlah 48%.

Penelitian Tayyem et al (2008) juga menunjukan jenis kelamin yang

terbanyak mengalami gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

adalah perempuan sebesar 46.6% dan diikuti oleh laki-laki sebesar 30.7%.
78

Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh adanya

perbedaan kriteria inklusi yang tetapkan oleh peneliti dalam penentuan

sample, dapat pula terjadi karena perbedaan teknik sampling yang

digunakan. Namun hasil wawancara dan pengamatan dilapangan selama

pengumpulan data, peneliti menemukan fakta bahwa responden laki-laki

sebagian besar mempunyai riwayat merokok, kebiasaan mengkonsumsi

alkohol dan penyakit metabolik yang tidak terkontrol. Sedangkan

responden perempuan tidak ada yang memilki riwayat merokok, dan

sebagian kecil memiliki riwayat konsumsi alkohol dan penyakit metabolik

cenderung lebih terkontrol. Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan

bahwa penderita PGK terbanyak pada laki-laki karena faktor gaya hidup

responden laki-laki di masa lalu yang tidak baik seperti merokok konsumsi

alkohol dalam jumlah yang banyak hingga memicu terjadinya gangguan

metabolik.

Distribusi responden berdasarkan pekerjaan paling banyak pada

kelompok kontrol adalah responden yang tidak bekerja sebanyak 26 orang

(86,7%) dan responden yang masih bekerja sebanyak 4 orang (13,3%).

Pada kelompok intervensi juga menunjukan paling banyak responden yang

tidak bekerja yaitu 23 orang (76,7) dan responden yang bekerja sebanyak 7

orang (23,3). Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini sebagianbesar

responden sudah tidak bekerja sebanyak 49 orang. Hasil penelitian ini

tidak jauh berbeda dengan penelitian (Septiwi, W., 2011) menunjukan


79

bahwa lebih banyak responden yang tidak bekerja (79,2%) dibandingkan

dengan yang masih aktif bekerja (20,8%).

Temuan dilapangan berdasarkan wawancara saat pengumpulan data

dilakukan, sebagian besar responden yang menjalani Hemodialisis dengan

usia produktif namun tidak bekerja lagi secara administratif, namun masih

aktif melakukan ADL. Karena merasa mengalami penurunan ketahanan

secara fisik, cepat lelah dan ingin fokus untuk menjalani terapi

hemodialisis. Pada kelompok responden yang masih aktif bekerja,

beberapa responden memilih aktif bekerja karena dapat memberikan

semangat dan menghilangkan kejenuhan namun porsi atau beban kerjanya

dikurangi, namun ada juga yang tetap aktif bekerja karena memenuhi

kewajiban sebagai pegawai atau pekerja diinstitusinya. Dari uraian diatas

peneliti menyimpulkan bahwa sebagain besar responden sudah tidak

bekerja lagi karena ingin fokus menjalani terapinya, selain itu juga karena

mengalami kemunduran fisik, seperti cepat lelah.

2. Gambaran kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis sebelum mendapatkan terapi Erythropoietin

pada kelompok kontrol.

Kadar hemoglobin (Hb) pada penderita gagal ginjal kronis penting

untuk dipantau, karena ginjal tidak mampu membentuk erythropoietin

dalam jumlah yang cukup, sehingga mengakibatkan penurunan produksi

sel darah merah dan menimbulkan anemia. Pemantauan anemia disarankan

setiap 3 bulan pada pasien PGK stage 3-5 non dialysis dan diserankan
80

setiap bulan pada pasien PGK stage 5 dengan hemodialysis (KDIGO,

2012; Case et al, 2018).

Anemia pada penyakit ginjal kronis dapat meningkatkan resiko

morbiditas dan mortalitas serta penurunan fisik dan kualitas hidup

(Hadibroto, 2015). Rekomendasi Pernefri menyebutkan bahwa target

hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronis adalah 10-12 g% (Pernefri,

2011). Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Hasil

penelitian ini menunjukan rata-rata kadar Hb pada kelompok kontrol

sebelum diberikan Erythropoietin 1 kali perminggu adalah 10,19 gr%

dengan standar deviasi 1,19gr%. Hb terendah adalah 9,0 gr% dan

tertinggi adalah 15,2 gr%. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan

bahwa 95% diyakini rata-rata kadar Hb responden kelompok kontrol

sebelum diberikan Erythropoietin diantara 9,74 gr% sampai dengan 10,64

gr%.

Rata-rata kadar Hb responden kelompok kontrol sebelum dilakukan

pemberian Erythopoitin adalah 10,19 gr%, bila mengacu pada

rekomendasi target Hb dari Pernefri (2011), target Hb sudah tercapai.

Namun masih ditemukan responden dengan Hb dibawah target Pernefri

(2011) dengan Hb terendah 9,0 gr% . Anemia pada PGK sering terjadi

dan salah satu penyebab tersering adalah difisiensi Erythopoitin, pada

kelompok kontrol dalam penelitian ini rata-rata kadar Hb responden diatas

10mg%. Kadar Hb 10mg% sudah mencapai target Hb pada pada

penatalaksanaan anemia pada PGK, sehingga diperlukan tindakan


81

pemberian Erythopoitin sebanyak 1 kali perminggu sebagai upaya

pemeliharaan, agar kadar Hb dapat selalu dipertahankan >10mg%. Dari

uraian diatas peneliti menyimpulkan kadar hemoglobin responden

kelompok kontrol sebelum diberikan interpensi rata-rata rendah karena

proses penyakit yang menyebabkan produksi Erythopoitin menurun,

sehingga mengalami gangguan produksi eritrosit.

3. Gambaran kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronis yang

menjalani hemodialisis sebelum mendapatkan terapi Erythropoietin

pada kelompok intervensi.

Pada kelompok intervensi sebelum diberikan Erythropoietin 2 kali

perminggu rata-rata kadar Hb dalah 7,86 gr% dengan standar deviasi 0,59

gr%. Hb terendah adalah 6,8 gr% dan tertinggi adalah 8,8 gr%. Dari hasil

estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata kadar

Hb responden kelompok intervensi sebelum diberikan Erythropoietin

diantara 7,61 gr% sampai dengan 8,05 gr%. Bila dibandingkan dengan

target hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronis adalah 10-12 g%

(Pernefri, 2011), kadar Hb kelompok intervensi sebelum diberikan

Erythropoietin kurang dari target, bahkan kadar Hb pada tertinggi

kelompok Intervensi hanya 8,05 gr% masih jauh dibawah target hb.

Data ini juga menunjukan bila dibandingkan dengan rata-rata hb

kelompok kontrol sebelum diberikan Erythropoietin (10,19 gr%) maka

rata-rata hb kelompok intervensi ebelum diberikan Erythropoietin (8,05 gr

%) lebih rendah, terdapat selisih rerata 2,14 gr%. Yang berarti rata-rata
82

kadar hb kelompok intervensi lebih rendah 2,14gr% dibandingkan rata-rata

kadar hb kelompok kontrol sebelum diberikan Erythropoietin. Data

dilapangan saat penelitian dilakukan menunjukan kelompok intervensi

yang mendapat terapi Erythropoietin 2 kali seminggu memang merupakan

kelompok pasien dengan gejala klinis Anemia sedang hingga berat.

Berdasarkan uraian diatas kadar Hb 7,86mg% pada kelompok

intervensi sebelum pemberian Erythropoietin belum mencapai target Hb

pada penatalaksanaan anemia pada PGK, sehingga diperlukan tindakan

pemberian Erythropoietin sebanyak 2 kali perminggu sebagai upaya untuk

mengkoreksi agar kadar Hb dapat selalu mencapai kadar >10mg% sesuai

target.

4. Gambaran kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis sesudah mendapatkan terapi

Erythropoietin satu kali dalam seminggu pada kelompok kontrol.

Salah satu terapi anemia pada pasien gagal ginjal kronis adalah

dengan menggunaan terapi erithropoietin untuk meningkatkan hemoglobin

pasien. Erythropoietin (EPO) merupakan hormon glikoprotein yang

stimulan atau regulator utama bagi eritopoiesis sebuah lintasan

metabolisme yang menghasilkan produksi eritrosit sebagai respon terhadap

penurunan oksigenasi pada jaringan (Jelkmann et al., 2013). Pada

kelompok kontrol terapi Erythropoietin satu kali dalam seminggu.

Rata-rata kadar Hb pada kelompok kontrol sesudah diberikan

Erythropoietin 1 kali perminggu adalah 10,31 gr% dengan standar deviasi


83

1,35 gr%. Hb terendah adalah 8,8 gr% dan tertinggi adalah 16,30 gr%.

Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-

rata kadar Hb responden kelompok kontrol sesudah diberikan

Erythropoietin diantara 9,80 gr% sampai dengan 10,81 gr%. Terjadi

peningkatan rata-rata hb (peningkatan 0,72 gr%) setelah diberikan terapi

Erythropoietin satu kali dalam seminggu, bila dibandingkan dengan rata-

rata hb sebelum diberikan terapi Erythropoietin (10,09gr%) pada

kelompok kontrol. Hasil ini tidak jauh berbeda dari hasi penelitian

Mulyadi, S dan Yuli (2017) yang menunjukan adanya peningkatan Hb

0,82 gr% pada pasien GGK setelah diberikan Erythropoietin 1 kali

perminggu.

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa pemberian

Erythropoietin satu kali dalam seminggu pada kelompok kontrol sebagai

terapi sebagai dosis pemeliharaan pada terapi anemia PGK dapat

meningkatkan rata-rata kadar hb sebesar 0,72%. Sehingga dapat dikatakan

pemberian Erythropoietin satu kali dalam seminggu dapat

mempertahankan kadar Hb sesuai target terapi >10mg%. Pemberian

Erythopoitin pada kelompok kontrol dapat membatu mengoreksi

kekurangan hormon Erythopoitin alami pada penderita gagal ginjal,

sehingga produksi eritrosit tetap dapat dipertahankan maksimal. Dengan

demikian kadar Hemoglobin dapat dipertahakan sesuai target terapi,

tentunya dengan didukung status nutrisi yang baik.


84

5. Gambaran kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis sesudah mendapatkan terapi

Erythropoietin dua kali dalam perminggu pada Kelompok intervensi.

Responden pada kelompok intervensi mendapatkan Erythropoietin 2

kali perminggu, merupakan kelompok pasien GGK yang menjalani

Hemodialisis yang memiliki Hb < 10 mg%. Hasil analisis didapatkan rata-

rata kadar Hb pada kelompok intervensi sesudah diberikan Erythropoietin

2 kali permingu adalah 8,36 gr% dengan standar deviasi 0,79 gr%. Hb

terendah adalah 7,20 gr% dan tertinggi adalah 10,00 gr%. Dari hasil

estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata kadar

Hb responden kelompok intervensi setelah diberikan Erythropoietin

diantara 8,07 gr% sampai dengan 8,65 gr%.

Terjadi peningkatan rata-rata kadar hb sebelum (7,86 gr%) dan

setelah (8,36 gr%) diberikan Erythropoietin 2 kali permingu pada

kelompok intervensi sebesar 0,5 gr%. Hasil ini tidak jauh berbeda dari hasi

penelitian Mulyadi, S dan Yuli (2017) yang menunjukan adanya

peningkatan rata-rata Hb 0,53 gr% pada pasien GGK setelah diberikan

Erythropoietin 2 kali perminggu. Meskipun terjadi peningkatan rata-rata


85

kadar Hb setelah pemberian Erythropoietin 2 kali permingu pada

responden dalam penelitian ini namun target hb 10-12 g% belum tercapai.

Terapi Erythropoietin diberikan pada pasien CKD bila anemia tidak

teratasi dengan terapi konservatif, dan diindikasikan apabila penyebab

anemia adalah defisiensi erithropoietin. Terapi ini diberikan bila kadar hb

< 10 gr% dan ht <30%, dengan syarat kadar feritin serum >100mcg/dl

saturasi transferin >20% (Ahmad,2013). Pemberian terapi Erythropoietin 2

kali perminggu ini merupakan bentuk terapi dalam fase koreksi. Tujuan

fase koreksi adalah untuk mengoreksi anemia renal hingga target Hb

tercapai, kemudian akan dilanjutkan dengan fase pemeliharaan dimana

pasien akan diberikan Erythropoietin 1 kali perminggu. Dengan

tercapainya target hb >10 gr%, diharapkan kualitas hidup meningkat dan

mordibilitas menurun.

Dari uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa pemberian

Erythropoietin dua kali dalam seminggu pada kelompok intervensi sebagai

terapi sebagai dosis koreksi pada terapi anemia PGK dapat meningkatkan

rata-rata kadar hb sebesar 0,5mg%. Sehingga dapat dikatakan pemberian

Erythropoietin dua kali dalam seminggu pada penelitian ini meskipun

sudah terjadi peningkatan namun belum dapat mencapai kadar Hb sesuai

target terapi Hb >10mg%.

B. Analisis Bivariat
86

1. Pengaruh pemberian erythropoietin terhadap peningkatan hemoglobin

dengan frekuensi pemberian satu kali pada kelompok kontrol pada pasien

hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan

Hasil analisis pada kelompok kontrol menunjukan terdapat 14

Negative Ranks atau 14 responden yang kadar Hbnya sesudah pemberian

Erythropoietin lebih rendah dari pada sebelum pemberian Erythropoietin.

Terdapat 14 Positive Ranks atau 14 responden yang kadar Hbnya sesudah

pemberian Erythropoietin lebih tinggi dari pada sebelum pemberian

Erythropoietin. Dan terdapat 2 Ties atau 2 responden yang kadar Hbnya

sama antara sebelum dan sesudah diberikan Erythropoietin. Berdasarkan

hasil ini diketahui bahwa pada kelompok kontrol cukup banyak pasien

yang kadar hb tidak naik bahkan cenderung lebih rendah setelah

pemberian Erythropoietin.

Anemia pada pasien GGK utamanya disebabkan defisiensi

Erythropoietin, namun terdapat faktor lain yang memperberat gejala klinis

seperti defisiensi zat besi, imflamasi akut maupun kronik, inhbisi sumsum

tulang dan pendeknya masa hidup eritrosit, hingga kondisi lain seperti

hemoglobinopati (Ahmad, 2013). Terapi Erythropoietin merupakan

pendekatan tahap akhir pada anemia GGK, dan dimulai ketika Hb turun

secara konsisten hingga <10 mg%, setelah penyebab lain anemia diobati

(Macdougall, 2011). Pada penelitian ini hasil signifikasi p-Value sebesar

0,380 (>0,05) maka H0 diterima. Sehingga disimpulkan bahwa Tidak ada

pengaruh yang signifikan pemberian erythropoetin terhadap peningkatan


87

hemoglobin dengan frekuensi pemberian satu kali pada kelompok kontrol

pada pasien hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan. Hasil ini

dapat peneliti jelaskan dengan temuan dilapangan saat pengumpulan data

dilakukan. Terdapat beberapa kondisi pasien atau responden dengan

penyulit seperti defesiensi besi dan dibuktikan dengan serum feritin yang

rendah. Hal ini diduga menjadi penyebab hasil analisis tidak ada ada

pengaruh yang signifikan pemberian erythropoetin terhadap peningkatan

hemoglobin responden.

Kadar hb yang cenderung tetap atau bahkan tidak naik dapat

setelah mendapatkan terapi erythropoietin terjadi pada kondisi dedisiensi

besi, sehinngga status zat besi perlu diperhatikan untuk mendukung

erythropoietin bekerja optimal (Suwitra, 2011). Kegagalan respon tubuh

ini dapat dikoreksi dengan pemberian suplemen besi, dan penambahan

suplemen asam folat juga dapat diperimbangkan untuk beberapa pasien

(Katjung, 2001). Responden dalam penelitian ini dengan hb yang

menetap atau belum mencapi target >10 gr% meskipun telah

mendapatkan terapi erythropoietin mendapat tambahan terapi oral besi

dan folat.

Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa tidak

adanya pengaruh yang signifikan pemberian terapi erythropoietin

terhadap peningkatan hemoglobin dengan frekuensi pemberian satu kali

pada kelompok kontrol dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti kondisi

umum responden terutama faktor metabolik dan status gizi. Status gizi

yang dimaksud adalah pemenuhan mikro nutrien, terutama stus besi


88

(feritin serum) yang rendah, selain itu defisiensi asam folat juga diduga

ikut mempengaruhi efektifitas kerja erythropoietin yang diberikan.

2. Pengaruh pemberian erythropoietin terhadap peningkatan hemoglobin

dengan frekuensi pemberian dua kali pada kelompok intervensi pada

pasien hemodialisis di Rsu Z Jagakrsa Jakrta Selatan

Kelompok intervensi dalam penelitian ini diberikan terapi

erythropoietin dengan frekuensi pemberian dua kali seminggu, untuk

mengoreksi hb responden. Rata-rata kadar Hb responden pada kelompok

Intervensi sebelum pemberian Erythropoietin adalah 7,83 gr% dengan

standar deviasi 0,59 gr%, sedangkan rata-rata Hb pada kelompok

intervensi setelah pemberian Erythropoietin adalah 8,36 gr% dengan

standar deviasi 0,79 gr%. Terjadi peningkatan rata-rata hb 0,53 gr%

setelah diberikan terapi erythropoietin. Untuk mengoreksi hb sampai

tercapai target hb >10 gr%, terapi erythropoietin akan terus diberikan

hingga 4 minggu, dan dilakukan pemantauan setiap 4 minggu untuk

menentukan penyesuaian dosis dan frekuensi terapi erythropoietin.

Hasil analisis didapatkan P-Value 0,001 (<0,05) maka Ha

diterima, berarti pada alpha 5% ada pengaruh yang signifikan pemberian

erythropoetin terhadap peningkatan hemoglobin dengan frekuensi


89

pemberian dua kali pada kelompok intervensi pada pasien hemodialisis di

Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan. Hal ini sesuai dengn hasil penelitian

Yuanita, S at all (2013) menunjukan ada pengaruh yang signifikan

pemberian terapi erythropoietin terhadap peningkatan kadar hemoglobin.

Sebagian besar pasien anemia pada GGK dapat tertangani dengan baik

dengan pemberian terapi erythropoietin (PPGI JATIM, 2009).

Terapi erythropoietin bermanfaat untuk meningkatkan sel darah

merah namun bekerjanya tergantung pada status gizi dan zat besi pasien

(Cedayti, 2011). Erythropoietin berguna untuk meransang sum-sum

tulang memproduksi sel darah merah yang cukup bagi tubuh. Mekanisme

kerja erythropoietin dalam tubuh dengan menginduksi erytrosit sehingga

terjadi erytopoesis dengan meransang proliferasi dan difrensiasi prekursor

erittroid untuk membentuk unit erytroid, kemudian colonyforming unit

erytroid, hingga eritrosit baru diproduksi (PPGI, 2009).

Uraian diatas menunjukan bahwa ada perngaruh yang signifikan

peningkatan Hb setelah pemberian Erythropoietin 2 kali peminggu pada

kelompok intervesi. Pemberian terapi Erythropoietin 2 kali perminggu

merupakan dosis pada fase awal terapi anemia pada PGK dengan

Erythropoietin atau dikenal dengan fase koreksi. Sebelum memulai fase

koreksi, pasien PGK yang anemia sudah mendapat terapi konservatif

dengan pemberian terapi besi, asam folat, vit b12, vit C dan suplemen

lainnya yang maksimal namun tidak mengalami kenaikan kadar Hb yang

bermakna. Sehingga dapat dipastikan status gizi mikro nutrien sudah


90

terpenuhi saat mendapat terapi Erythropoietin 2 kali perminggu. Hal ini

merupakan salah satu hal penting untuk mendukung Erythropoietin dapat

bekerja dengan baik.

3. Perbandingan Pengaruh Frekuensi Pemberian Erythropoietin

Terhadap Peningkatan kadar Hb Pada Kelompok Kontrol dan

intervensi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani

Hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan

Rata-rata kadar Hb responden pada kelompok kontrol setelah

pemberian Erythropoietin 1 kali perminggu adalah 10,31 gr% dengan

standar deviasi 1,35 gr%, sedangkan pada kelompok intervensi setelah

pemberian Erythropoietin 1 kali perminggu adalah 8,36 gr% dengan

standar deviasi 0,79 gr%. Terdapat selisih rata-rata nilai Hb pada

kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah pemberian terapi

erythropoietin 1,95gr%. Hasil analisis didapatkan P-Value 0,0001, berarti

pada alpha 5% terlihat perbedaan yang signifikan peningkatan Hb antara

Pemberian Erythropoietin dengan frekuensi 1 kali perminggu dengan

Pemberian Erythropoietin dengan frekuensi 2 kali perminggu pada pasien

penyakit ginjal kronis yang menjalani Hemodialisis.

Uraian data diatas menunjukan meningkatan kadar Hb tidak hanya

ditentukan oleh pemberian terapi erythropoietin dengan frekuensi 1 kali

atau 2 kali perminggu. Hal ini ditunjukan oleh data rata-rata kadar Hb
91

kelompok kontrol dengan pemberian terapi erythropoietin 1 kali

perminggu tampak lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata kadar

Hb responden kelompok intervensi yang diberikan terapi erythropoietin 2

kali seminggu. Peningkatan kadar Hb juga diduga diperengaruhi oleh

kondisi umum dan status metabolik responden selama menjalani terapi

erythropoietin. Saat pengambilan data diketahui beberapa pasien

mengalami defisiensi besi, dan sedang mendapat terapi besi oral. Selain

itu beberapa pasien juga memilih untuk mendapatkan Erythropoietin

melalui intra vena saat Hemodialisis, karena lebih nyaman dibandingkan

bila diberikan dengan injeksi sub cutan.

Yuanita et all (2013) menjelaskan bahwa selama menjalani terapi

erythropoietin agar tercapai target hemoglobin >10 gr% maka perlu

diperhatikan: pencegahan dan koreksi defisiensi besi, program dialisis dan

nutrisi yang adekuat, cegah dan koreksi defisiensi asam folat dan vitamin

B12, terapi perdarahan, dan teknik injeksi: injeksi sub cutan lebih baik.

Berdasarkan uraian diatas dapat peneliti simpulkan bahwa ada

perbedaan yang signifikan antara pemberian Erythropoietin satu kali

perminggu dengan pemberian Erythropoietin dua kali perminggu

terhadap peningkatan kadar hemoglobin. Peningkatan kadar hemoglobin

pada pasien yang mendapat terapi Erythropoietin dapat maksimal bila

nutrisi terpenuhi dengan baik, tidak terjadi perdarahan, dan cara atau rute

pemberian Erythropoietin dilakukan melalui Sub cutan.

C. Keterbatasan Penelitian
92

Penelitian ini telah diusahakan dirancang dan dilaksanakan sesuai

dengan prosedur ilmiah mengikuti kaidah keilmuan, namun demikian

masih memiliki keterbatasan yaitu: variabel yang dianalisis terbatas

pengaruh frekuensi pemberian terapi erythropoietin tehadap peningkatan

kadar Hb pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Sedangkan

masih banyak lagi faktor lain (variabel perancu) yang diduga dapat

mempengaruhi peningkatan kadar Hb pada pasien yang mendapatkan

terapi erythropoietin. Selain itu rancangan penelitian ini tidak dapat

mengukur dan menganalisis data kualitatif yang ditemukan dilapangan

selama pengumpulan data, yang mungkin saja dapat mempengaruhi

peningkatan kadar hb pada psien hemodialisis yang mendapatkan terapi

erythropoietin.
92

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Karakteristik responden berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan

Pekerjaan:

a. Distribusi berdasarkan Usia : Kelompok usia Dewasa Akhir

sebanyak 4 orang (13,3%) pada kelompok kontrol dan 3 orang

(10%) pada kelompok intervensi. Kelompok usia Lansia Awal

sebanyak 14 orang (46,7%) pada kelompok kontrol dan 15 orang

(50%) pada kelompok intervensi. Kelompok usia lansia akhir,

sebanyak 12 orang (40%) pada kelompok kontrol dan 12 orang

(40%) pada kelompok intervensi.

b. Distribusi berdasarkan jenis kelamin pada kelompok kontrol laki-

laki sebanyak 21 orang (70%) dan perempuan sebanyak 9 0rang

(30%) . Pada kelompok interversi responden laki-laki yaitu 17

orang (56,7) dan responden perempuan sebanyak 13 orang (43,3).

c. Distribusi berdasarkan pekerjaan pada kelompok kontrol responden

yang tidak bekerja sebanyak 26 orang (86,7%) dan responden yang

masih bekerja sebanyak 4 orang (13,3%). Pada kelompok

intervensi responden yang tidak bekerja yaitu 23 orang (76,7) dan

responden yang bekerja sebanyak 7 orang (23,3).

2. Rata-rata kadar Hb pada kelompok kontrol sebelum diberikan

erythropoietin 1 kali perminggu adalah 10,19 gr% dengan standar

92
93

deviasi 1,19gr%. Hb terendah adalah 9,0 gr% dan tertinggi adalah 15,2

gr%.

3. Rata-rata kadar Hb pada kelompok intervensi sebelum diberikan

erythropoietin 2 kali perminggu adalah 7,86 gr% dengan standar

deviasi 0,59 gr%. Hb terendah adalah 6,8 gr% dan tertinggi adalah 8,8

gr%.

4. Rata-rata kadar Hb pada kelompok kontrol sesudah diberikan

erythropoietin 1 kali perminggu adalah 10,31 gr% dengan standar

deviasi 1,35 gr%. Hb terendah adalah 8,8 gr% dan tertinggi adalah

16,30 gr%.

5. Rata-rata kadar Hb pada kelompok intervensi sesudah diberikan

erythropoietin 2 kali perminggu adalah 8,36 gr% dengan standar

deviasi 0,79 gr%. Hb terendah adalah 7,20 gr% dan tertinggi adalah

10,00 gr%.

6. Tidak ada pengaruh yang signifikan pemberian erythropoietin terhadap

peningkatan hemoglobin dengan frekuensi pemberian satu kali

seminggu pada kelompok kontrol pada pasien hemodialisis di Rsu Z

Jagakarsa Jakarta Selatan dan ada pengaruh yang signifikan pemberian

erythropoietin terhadap peningkatan hemoglobin dengan frekuensi

pemberian dua kali perminggu pada kelompok intervensi pada pasien

hemodialisis di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan.


94

B. Saran

1. Institusi Pendidikan

Institusi pendidikan diharapkan mengembangkan kurikulum atau

program khusus perawatan hemodialisa sebagai salah satunya program

unggulan, dengan memfasilitasi pelatihan atau stase khusus

hemodialisa bagi peserta didik yang memiliki peminatan di bidang

hemodialis.

2. Pengembangan Rumah Sakit

Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan institusi kesehatan dapat

melakukan pengembangan kebijakan pemberian terapi erithropoietin

dalam penatalaksanaan pasien hemodialisa dengan anemia guna

meningkatkan adekuasi terapi hemodialisa dan pencapaian target Hb,

baik berupa SOP, maupun surat edaran lainnya.

3. Pengembangan Keilmuan

Berdasarkan hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan dasar

pengembangan metode dan desain penelitian untuk mengeksplor lebih

jauh faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kadar hb

pada pasien GGK yang mendapat terapi erithropoeitin dan seberapa

besar pengaruhnya.yang mendapat terapi erythropoietin dan seberapa

besar pengaruhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. Ismatullah (2013).Manajemen Terapi Anemia pada Pasien Gagal Ginjal

kronik. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Bayhakki. (2012). Asuhan Keperawatan klien gagal ginjal. Jakarta: EGC :

Jakarta.

Cedayti. (2008). Erythropoietin. Http:www.Sciencedayly.com

Candra, D. (2014). Anemia pada penyakit ginjal kronis. Jakarta.

Depkes. (2017). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan

RI:Situasi Penyakit Ginjal Kronis. 1–10.

www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/

Guyton, A. C., Hall, J. E. (2016). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Revisi

Berwarna 12. 12.

Hadibroto, A. d. (2015). Anemia in Chronic Renal Disease. Vol 57,1507-25.

Hidayat, A. (2012). Metode penelitian kebidanan dan tehnik analisis data,

Salemba :Jakarta.http://repo.stikesicmejbg.ac.id/1097/2/KTI_LiaDwiPratiwi.

pdf

Irwan. (2016). Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta : Media Aesculapius: Kapita

Selekta. editor : Tanto C, et all edisi ke-$.

Jelkmann, Yanuartono, Y., Purnamaningsih, H., Nururrozi, A., Indarjulianto, S.,

& Raharjo, S. (2013). Recombinant Human Erythropoietin: Manfaat dalam

Bidang Kedokteran. Jurnal Sain Veteriner, 37(1), 49.

https://doi.org/10.22146/jsv.48516
KDIGO. 2012. KDIGO Clinical Practice Guideline for Anemia in Chronic

Kidney Disease. 2: 283-7.

Kritawan. (2017). Gagal Ginjal dan gagal ginjal kronis medika sehat : jakarta.

Masturoh, imas. Anggita T, N. notoatmojo 2012. (2018). Metodologi Penelitian

Kesehatan. Metodologi Penelitian Kesehatan.

Masturoh, I., & Anggita T, N. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Pusat

pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Badan Pengembangan dan

Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia.

Mulyadi, S dan Yuli (2017). Analisis Efektivitas biaya penggunaan eritropoietin

alfa dan eritropoietin beta pada pasien gaggal ginjal kronik di instalasi

hemodialisis rs pemerintah di bandung

Notoatmodjo. (2012). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit PT.

Rineka Cipta.

Notoatmodjo. (2010). Metode penelitian kesehtan : Jakarta.

Nursalam. (2012). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu

keperawatan, Jakarta : Salemba.

PPGII. (2009). Penatalaksanaan Anemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. Jakrta:

Untuk Kalangan Sendiri

PERNEFRI. (2017). Konsensus dialisis perhimpunan inonesia . Jakarta.

Pernefri. (2011). Konsesus Dialisis. Jakarta: Depkes.

Registry, I. R. (2015). 8 th Report Of Indonesian Renal Registry. Jakarta: IRR.


Rzaka. (2014). Interpretation of erythropoietin and Hemoglobin levels in patients

with Various stages of chronic kidney Disease. JAKARTA.

Sukandar. (2013). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Elsevier: Edisi

Revisi Berwarna 12.

Suwitra. (2014). Penyakit ginjal kronis, dalam : Buku ajar ilmu penyakit dalam

jilid II. Jakarta: Dept Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif,Kualitatif, dan R&D. Alvabeta.

Weiss, L. G., & Macdougall, I. C. (2004). Once-weekly erythropoietic therapy: Is

there a difference between the available preparations? (multiple letters) [4].

Nephrology Dialysis Transplantation, 19(5), 1330–1331.

https://doi.org/10.1093/ndt/gfh019

Widiyastuti, H. F. (2014). Prevalensi dan faktor resiko penyakit ginjal kronis.

Palembang.

Well, a. a. (2009). Erythropoietin stimulating agent in the management of anmeia

of chronic kidney disiase. vol 2.

Yuni. (2015). EVALUATION OF ERYTROPOETIN THERAPY ON PATIENTS

HEMODIALISA.

Yuanita, S at all (2013). Recombinant erythropoietin meningkatkan kadar

hemoglobin pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

Journals of Ners Community Vol 4 No 2 November 2013


Zadrazil, J. dan Horak, P. 2015. Pathophysiology of Anemia in Chronic Kidney

Diseases : A review. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech

Republic.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3

N0. Responden

SURAT PERMOHONAN MENJADI PENELITIAN

RESPONDEN

Kepada Yth,

Calon Responden Penelitian

Di

Tempat

Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Nenden Martiana

NPM : 08190100054

Status : Mahasiswa S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Indonesia

Maju - Jakarta

Dengan ini mengajukan permohonan kepada Bapak/ Ibu untuk bersedia menjadi

responden penelitian yang akan saya lakukan dengan judul “Perbandingan

Frekuensi Pemberian Erythropoietin Terhadap Peningkatan Hemoglobin Pasien

Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsu Z Jagakarsa Jakarta

Selatan”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai Hb dengan pemberian EPO

satu kali dan dua kali dalam satu minggu pada pasien PGK yang menjalani

hemodialisis rutin di Rsu Z.

Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa paksaan.

Peneliti akan menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan kerugian

bagi Bapak/ Ibu sebagai responden. Sebaliknya penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan nilai Hb dan mempertahankan nilai Hb selama menjalani

hemodialisis. Peneliti sangat menghargai hak Bapak / Ibu sebagai responden.

Identitas dan data atau informasi yang Bapak / Ibu berikan dijaga kerahasiaannya.

Demikian surat permohonan ini peneliti buat, atas kesediaan dan kerjasama

Bapak/ Ibu peneliti mengucapkan banyak terima kasih..

Jakarta, November 2020


Peneliti

Nenden Martiana
Lampiran 4

SURAT PERNYATAAN BERSEDIA BERPARTISIPASI SEBAGAI

RESPONDEN DALAM PENELITIAN

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ……………………………….

Usia : ……………………………….

Jenis Kelamin : ……………………………….

Setelah membaca surat permohonan dan mendapat penjelasan dari peneliti dengan

ini saya bersedia berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian yang berjudul

“Perbandingan Frekuensi Pemberian Erythropoietin Terhadap Peningkatan

Hemoglobin Pasien Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsu

Z Jagakarsa Jakarta Selatan”.

Keikutsertaan saya dalam penelitian ini tidak ada unsur paksaan dari pihak

manapun.

Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 01 Desember 2020

Yang Membuat pernyataan

(Nama dan Tanda tangan)


Lampiran 5

LEMBAR OBSERVASI PEMBERIAN EPO 1X/ MINGGU

(KELOMPOK KONTROL)

JENIS
KELAMIN Hasil
NAMA Hemoglobin
NO USIA/THN L/P BEKERJA/TIDAK
( Initial ) BEKERJA Pre Post

1 Tn. W 61 Tidak bekrja 10,0 10,8


P
2 47 Tidak bekrja 10,0 10,5
Tn. R P
3 57 Tidak bekrja 10,4 10,7
Tn. CS P
4 Tn. M 59 10,4 10,2
L Bekerja
5 50 Tidak bekrja 10,1 9,8
Tn.I L
6 48 Tidak bekrja 11,7 11,2
Tn. Y L
7 49 Tidak bekrja 9,7 10,8
Ny. S L
8 50 Tidak bekrja 9,0 9,4
Ny. N P
9 58 Tidak bekrja 9,8 9,8
Ny. M L
10 Tn. AS 52 Tidak bekrja 9,1 10,7
L
11 60 Tidak bekrja 9,2 10,2
Tn. R L
12 59 Tidak bekrja 9,8 8,8
Ny. T L
13 48 Tidak bekrja 11,4 11,3
Tn. Ig L
14 58 15,2 16,3
Tn. Sr L Bekerja
15 49 Tidak bekrja 10,4 10,8
Tn. S P
16 45 Tidak bekrja 9,5 9,8
Ny.E P
17 Ny. T 57 Tidak bekrja 10,5 10,9
P
Lampiran 5

18 Tn. W 58 Tidak bekrja 9,0 9,9


L
19 49 Tidak bekrja 10,9 10,5
Tn. B L
20 56 10,0 10,0
Ny. D L Bekerja
21 56 Tidak bekrja 9,2 10,0
Ny. R P
22 Ny. E 42 Tidak bekrja 10,3 9,2
L
23 59 Tidak bekrja 11,1 11,2
Ny. O L
24 Tn. M 48 10,4 9,1
L Bekerja
25 55 Tidak bekrja 9,7 9,6
Tn. H L
26 Ny. Am 52 Tidak bekrja 9,3 8,9
L
27 49 Tidak bekrja 9,1 9,0
Ny. K L
28 57 Tidak bekrja 11,0 10,8
Ny. Y L
29 54 Tidak bekrja 10,2 9,9
Tn. I L
30 Tn. P 47 Tidak bekrja 9,3 9,1
P
Lampiran 5

LEMBAR OBSERVASI PEMBERIAN EPO 2X/ MINGGU

(KELOMPOK INTERVENSI)

JENIS
KELAMIN Hasil
NAMA Hemoglobin
NO USIA L/P BEKRJA/
( Initial ) TIDAK Pre Post
BEKERJA
1 Ny. A 62 8,3 8,7
L Tidak bekrja

2 57 8,4 8,1
L Bekerja
Ny. S
3 49 8,3 8,1
L Tidak bekrja
Ny. Sm
4 Tn. S 59 8,8 9,6
L Bekerja
5 35 Bekerja 8,2 8,1
L
Tn. Sm
6 58 Bekerja 7,9 8,1
L
Tn. Z
7 44 Tidak bekrja 8,4 10
P
Tn . M
8 59 Tidak bekrja 8,1 8,5
P
Ny. M
9 54 Tidak bekrja 7,4 7,7
P
Tn. Sl
10 Tn. A 56 Tidak bekrja 7,2 7,2
L
11 56 Tidak bekrja 7,1 7,4
L
Tn. At
12 57 Tidak bekrja 7,8 8,2
P
Tn. G
13 64 8,3 9,2
L Bekerja
Tn. S
14 44 Tidak bekrja 7,0 8,8
L
Ny. A
15 52 Tidak bekrja 7,0 8,5
L
Ny. E
16 59 Tidak bekrja 7,8 7,4
P
Ny. O
17 Ny. S 54 8,0 10
P Tidak bekrja
Lampiran 5

18 Tn. L 55 7,0 7,2


L Bekerja
19 32 Tidak bekrja 6,8 10
L
Tn. S
20 46 Tidak bekrja 7,8 8,0
P
Tn. T
21 49 Tidak bekrja 6,9 7,9
P
Ny. R
22 Tn. R 46 Tidak bekrja 7,8 8,1
P
23 55 Tidak bekrja 7,9 8,3
P
Tn. T
24 Tn. B 48 7,7 8,7
L Bekerja
25 58 Tidak bekrja 8,3 8,6
L
Tn. S
26 Tn. M 49 Tidak bekrja 8,8 8,1
P
27 56 Tidak bekrja 7,3 7,5
P
Tn. A
28 52 Tidak bekrja 8,7 8,7
P
Tn. R
29 48 Tidak bekrja 7,8 7,6
L
Tn. Za
30 Ny. F 54 Tidak bekrja 8,2 8,5
L
Lampiran 6

PEMBERIAN ERYTHROPOIETIN PADA


PASIEN YANG MENJALANI
HEMODIALISIS
No. dokumen No. Revisi Halaman

09 / 025 / HD - 1/4

Ditetapkan oleh
Tanggal terbit Direktur RSU. Zahirah
SPO
Januari 2019

dr. Yulakanti Ruwadewi, MARS

PENGERTIAN Suatu hormon yang dihasilkan oleh ginjal yang memajukan

pembentukan dari sel-sel darah merah oleh sumsum tulang (bone

marrow).

TUJUAN
Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk melakukan

Penatalaksanaan anemia pada pasien gagal ginjal kronik.

KEBIJAKAN
Keputusan Direktur No : 05 / 024 / SK / II / 2019 tentang
Lampiran 6

Kebijakan Pelayanan Hemodialisis RSU.Z

1. Terapi EPO Fase Koreksi :

PROSEDUR Tujuan :

Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb / Ht tercapai

a. Pada umumnya mulai dengan 2000 – 4000 UI subcutan,

2 – 3 X seminggu selama 4 minggu.

b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1 – 2 gr/dL

dalam 4 minggu atau Ht naik 2 – 4 % dalam 2 – 4

minggu

c. Pantau Hb, Ht tiap 4 minggu

d. Bila target respon tercapai : pertahankan dosis EPO

sampai target Hb tercapai ( > 10 g/dL ).

e. Bila target respon belum tercapai naikkan dosis 50 %.

f. Bila Hb naik > 2,5 g/dL atau Ht naik > 8 % dalam 4

minggu turunkan dosis 25 %.

g. Pemantauan status besi :

Selama terapi EPO pantau status besi, berikan suplemen

sesuai dengan pantauan terapi besi.

2. Terapi EPO Fase Pemeliharaan

a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai ( > 10 g/dL ).

Dosis : 2 atau 1 kali 2000-3000 IU / minggu

Pantau Hb dan Ht setiap bulan


Lampiran 6

Periksa status besi setiap 3 bulan.

b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12

g/dL ( dan status besi cukup ) maka dosis EPO

diturunkan 25 %

3. Terapi Besi Fase Pemeliharaan

Tujuan :

Menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoisis selama

terapi EPO.

a. Target Terapi :

Feritin serum > 100 µg/L – 20 % – 500 g/L atau saturasi

tranferin > 40 %, suplementasi besi dihentikan selama 3

bulan.

b. Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan feritin serum < 500

µg / L dan saturasi tranferin < 40 %, suplementasi besi

dapat dilanjutkan kembali dengan dosis 1/3 – ½

sebelumnya.

Catatan :

 Karena berat badan rata – rata pasien HD di Indonesia 50 –

60 kg maka dosis 80 – 150 IU /kgBB/minggu setara

dengan 2000 – 4000 IU / kali HD

 Pemberian EPO subcutan dapat dilakukan sebelum, saat,


Lampiran 6

atau setelah HD selesai

UNIT TERKAIT IGD

Rawat Jalan

Rawat Inap
Lampiran 7
Lampiran 7
Lampiran 7
Lampiran 7

UJI NORMALITAS

Explore
Notes

Output Created 21-FEB-2021 22:43:22


Comments
Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Input
Split File <none>
N of Rows in Working Data 30
File
User-defined missing values for
Definition of Missing dependent variables are treated as
missing.
Missing Value Handling
Statistics are based on cases with no
Cases Used missing values for any dependent
variable or factor used.
EXAMINE VARIABLES=Hb_Pre_KK
Hb_Post_KK Hb_Pre_KI Hb_Post_KI
/PLOT BOXPLOT STEMLEAF NPPLOT
/COMPARE GROUPS
Syntax
/STATISTICS DESCRIPTIVES
/CINTERVAL 95
/MISSING LISTWISE
/NOTOTAL.
Processor Time 00:00:16,71
Resources
Elapsed Time 00:00:17,02

[DataSet0]
Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Hb_Pre_KK 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%


Hb_Post_KK 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%
Hb_Pre_KI 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%
Hb_Post_KI 30 100,0% 0 0,0% 30 100,0%
Lampiran 7

Descriptives

Statistic Std. Error

Mean 10,1900 ,21774

95% Confidence Interval for Lower Bound 9,7447


Mean Upper Bound 10,6353

5% Trimmed Mean 10,0426

Median 10,0000

Variance 1,422

Hb_Pre_KK Std. Deviation 1,19261

Minimum 9,00

Maximum 15,20

Range 6,20

Interquartile Range 1,13

Skewness 2,672 ,427

Kurtosis 10,275 ,833


Mean 10,3067 ,24668
95% Confidence Interval for Lower Bound 9,8022
Mean Upper Bound 10,8112
5% Trimmed Mean 10,1481
Median 10,1000
Variance 1,825
Hb_Post_KK Std. Deviation 1,35110
Minimum 8,80
Maximum 16,30
Range 7,50
Interquartile Range 1,25
Skewness 3,049 ,427
Kurtosis 13,362 ,833
Hb_Pre_KI Mean 7,8333 ,10703
95% Confidence Interval for Lower Bound 7,6144
Mean Upper Bound 8,0522
5% Trimmed Mean 7,8352
Median 7,8500
Variance ,344
Std. Deviation ,58624
Minimum 6,80
Maximum 8,80
Lampiran 7

Range 2,00
Interquartile Range 1,03
Skewness -,217 ,427
Kurtosis -,945 ,833
Mean 8,3600 ,14397

95% Confidence Interval for Lower Bound 8,0656


Mean Upper Bound 8,6544

5% Trimmed Mean 8,3333

Median 8,1500

Variance ,622

Hb_Post_KI Std. Deviation ,78854

Minimum 7,20

Maximum 10,00

Range 2,80

Interquartile Range ,85

Skewness ,712 ,427

Kurtosis ,078 ,833

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Hb_Pre_KK ,197 30 ,004 ,754 30 ,000


Hb_Post_KK ,198 30 ,004 ,705 30 ,000
Hb_Pre_KI ,144 30 ,114 ,944 30 ,115
Hb_Post_KI ,133 30 ,185 ,924 30 ,034

a. Lilliefors Significance Correction


Lampiran 7

Hb_Pre_KK
Hb_Pre_KK Stem-and-Leaf Plot

Frequency Stem & Leaf

8,00 9 . 00112233
5,00 9 . 57788
10,00 10 . 0001234444
2,00 10 . 59
3,00 11 . 014
1,00 11 . 7
1,00 Extremes (>=15,2)

Stem width: 1,00


Each leaf: 1 case(s)
Lampiran 7

Hb_Post_KK

Hb_Post_KK Stem-and-Leaf Plot

Frequency Stem & Leaf

2,00 8 . 89
5,00 9 . 01124
6,00 9 . 688899
4,00 10 . 0022
9,00 10 . 557788889
3,00 11 . 223
1,00 Extremes (>=16,3)

Stem width: 1,00


Each leaf: 1 case(s)
Lampiran 7

Hb_Pre_KI
Lampiran 7

Hb_Pre_KI Stem-and-Leaf Plot

Frequency Stem & Leaf

2,00 6 . 89
7,00 7 . 0001234
8,00 7 . 78888899
10,00 8 . 0122333344
3,00 8 . 788

Stem width: 1,00


Each leaf: 1 case(s)
Lampiran 7

Hb_Post_KI

Hb_Post_KI Stem-and-Leaf Plot

Frequency Stem & Leaf

4,00 7 . 2244
4,00 7 . 5679
9,00 8 . 011111123
8,00 8 . 55567778
1,00 9 . 2
1,00 9 . 6
3,00 Extremes (>=10,0)

Stem width: 1,00


Each leaf: 1 case(s)
Lampiran 7

ANALISIS UNIVARIAT
Lampiran 7

FREQUENCIES VARIABLES=Jenis_Kelami_KK Usia_KK Pekerjaan_KK


JEnis_kelamin_KI Usia_KI Pekerjaan_KI
/ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
Notes

Output Created 19-FEB-2021 23:04:54


Comments
Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Input
Split File <none>
N of Rows in Working Data 30
File
User-defined missing values are treated
Definition of Missing
as missing.
Missing Value Handling
Statistics are based on all cases with
Cases Used
valid data.
FREQUENCIES
VARIABLES=Jenis_Kelami_KK Usia_KK
Syntax Pekerjaan_KK JEnis_kelamin_KI Usia_KI
Pekerjaan_KI
/ORDER=ANALYSIS.
Processor Time 00:00:00,03
Resources
Elapsed Time 00:00:00,04
[DataSet0]
Statistics

Jenis_Kelami_K Usia_KK Pekerjaan_KK JEnis_kelamin_K Usia_KI Pekerjaan_KI


K I

Valid 30 30 30 30 30 30
N
Missing 0 0 0 0 0 0

Frequency Table
Jenis_Kelami_KK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Perempuan 9 30,0 30,0 30,0

Valid Laki-laki 21 70,0 70,0 100,0

Total 30 100,0 100,0


Lampiran 7

Usia_KK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Dewasa Akhir 4 13,3 13,3 13,3

Lansia Awal 14 46,7 46,7 60,0


Valid
Lansia Akhir 12 40,0 40,0 100,0

Total 30 100,0 100,0

Pekerjaan_KK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Bekerja 4 13,3 13,3 13,3

Valid Tidak bekerja 26 86,7 86,7 100,0

Total 30 100,0 100,0

JEnis_kelamin_KI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Perempuan 13 43,3 43,3 43,3

Valid Laki-laki 17 56,7 56,7 100,0

Total 30 100,0 100,0

Usia_KI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Dewasa Akhir 3 10,0 10,0 10,0

Lansia Awal 15 50,0 50,0 60,0


Valid
Lansia Akhir 12 40,0 40,0 100,0

Total 30 100,0 100,0

Pekerjaan_KI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Valid Bekerja 7 23,3 23,3 23,3

Tidak bekerja 23 76,7 76,7 100,0


Lampiran 7

Total 30 100,0 100,0

FREQUENCIES VARIABLES=Hb_Pre_KK Hb_Post_KK Hb_Pre_KI Hb_Post_KI


/STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN MODE
/HISTOGRAM NORMAL
/ORDER=ANALYSIS.

Frequencies
Notes

Output Created 19-FEB-2021 23:06:21


Comments
Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Input
Split File <none>
N of Rows in Working Data 30
File
User-defined missing values are treated
Definition of Missing
as missing.
Missing Value Handling
Statistics are based on all cases with
Cases Used
valid data.
FREQUENCIES
VARIABLES=Hb_Pre_KK Hb_Post_KK
Hb_Pre_KI Hb_Post_KI
Syntax /STATISTICS=STDDEV MINIMUM
MAXIMUM MEAN MEDIAN MODE
/HISTOGRAM NORMAL
/ORDER=ANALYSIS.
Processor Time 00:00:03,15
Resources
Elapsed Time 00:00:03,17

[DataSet0]
Statistics

Hb_Pre_KK Hb_Post_KK Hb_Pre_KI Hb_Post_KI

Valid 30 30 30 30
N
Missing 0 0 0 0
Mean 10,1900 10,3067 7,8333 8,3600
Median 10,0000 10,1000 7,8500 8,1500
Lampiran 7

Mode 10,40 10,80 7,80 8,10


Std. Deviation 1,19261 1,35110 ,58624 ,78854
Minimum 9,00 8,80 6,80 7,20
Maximum 15,20 16,30 8,80 10,00

Frequency Table
Hb_Pre_KK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

9,00 2 6,7 6,7 6,7

9,10 2 6,7 6,7 13,3

9,20 2 6,7 6,7 20,0

9,30 2 6,7 6,7 26,7

9,50 1 3,3 3,3 30,0

9,70 2 6,7 6,7 36,7

9,80 2 6,7 6,7 43,3

10,00 3 10,0 10,0 53,3

10,10 1 3,3 3,3 56,7

10,20 1 3,3 3,3 60,0


Valid
10,30 1 3,3 3,3 63,3

10,40 4 13,3 13,3 76,7

10,50 1 3,3 3,3 80,0

10,90 1 3,3 3,3 83,3

11,00 1 3,3 3,3 86,7

11,10 1 3,3 3,3 90,0

11,40 1 3,3 3,3 93,3

11,70 1 3,3 3,3 96,7

15,20 1 3,3 3,3 100,0

Total 30 100,0 100,0

Hb_Post_KK

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Valid 8,80 1 3,3 3,3 3,3

8,90 1 3,3 3,3 6,7


Lampiran 7

9,00 1 3,3 3,3 10,0

9,10 2 6,7 6,7 16,7

9,20 1 3,3 3,3 20,0

9,40 1 3,3 3,3 23,3

9,60 1 3,3 3,3 26,7

9,80 3 10,0 10,0 36,7

9,90 2 6,7 6,7 43,3

10,00 2 6,7 6,7 50,0

10,20 2 6,7 6,7 56,7

10,50 2 6,7 6,7 63,3

10,70 2 6,7 6,7 70,0

10,80 4 13,3 13,3 83,3

10,90 1 3,3 3,3 86,7

11,20 2 6,7 6,7 93,3

11,30 1 3,3 3,3 96,7

16,30 1 3,3 3,3 100,0

Total 30 100,0 100,0

Hb_Pre_KI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

Valid 6,80 1 3,3 3,3 3,3

6,90 1 3,3 3,3 6,7

7,00 3 10,0 10,0 16,7

7,10 1 3,3 3,3 20,0

7,20 1 3,3 3,3 23,3

7,30 1 3,3 3,3 26,7

7,40 1 3,3 3,3 30,0

7,70 1 3,3 3,3 33,3

7,80 5 16,7 16,7 50,0

7,90 2 6,7 6,7 56,7

8,00 1 3,3 3,3 60,0

8,10 1 3,3 3,3 63,3

8,20 2 6,7 6,7 70,0


Lampiran 7

8,30 4 13,3 13,3 83,3

8,40 2 6,7 6,7 90,0

8,70 1 3,3 3,3 93,3

8,80 2 6,7 6,7 100,0

Total 30 100,0 100,0

Hb_Post_KI

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

7,20 2 6,7 6,7 6,7

7,40 2 6,7 6,7 13,3

7,50 1 3,3 3,3 16,7

7,60 1 3,3 3,3 20,0

7,70 1 3,3 3,3 23,3

7,90 1 3,3 3,3 26,7

8,00 1 3,3 3,3 30,0

8,10 6 20,0 20,0 50,0

8,20 1 3,3 3,3 53,3


Valid
8,30 1 3,3 3,3 56,7

8,50 3 10,0 10,0 66,7

8,60 1 3,3 3,3 70,0

8,70 3 10,0 10,0 80,0

8,80 1 3,3 3,3 83,3

9,20 1 3,3 3,3 86,7

9,60 1 3,3 3,3 90,0

10,00 3 10,0 10,0 100,0

Total 30 100,0 100,0

Histogram
Lampiran 7
Lampiran 7
Lampiran 7

ANALISIS BIVARIAT

A. Kelompok Kontrol

NPar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


a
Negative Ranks 14 11,75 164,50

Positive Ranks 14b 17,25 241,50


Hb_Post_KK - Hb_Pre_KK
c
Ties 2

Total 30

a. Hb_Post_KK < Hb_Pre_KK


b. Hb_Post_KK > Hb_Pre_KK
c. Hb_Post_KK = Hb_Pre_KK
Lampiran 7

Paired Samples Test


Paired Differences t df Sig. (2-tailed)
Mean Std. Std. Error 95% Confidence Interval of the
Deviation Mean Difference
Lower Upper
Hb_Pre_KI -,52667 ,81998 ,14971 -,83285 -,22048 -3,518 29 ,001
Pair -
1 Hb_Post_K
I

Test Statisticsa

Hb_Post_KK -
Hb_Pre_KK

Z -,878b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,380

a. Wilcoxon Signed Ranks Test


b. Based on negative ranks.
Lampiran 7

B. Kelompok Intervensi

T-Test
Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Hb_Pre_KI 7,8333 30 ,58624 ,10703


Pair 1
Hb_Post_KI 8,3600 30 ,78854 ,14397

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Hb_Pre_KI & Hb_Post_KI 30 ,317 ,088

C. Perbandingan Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi

T-TEST GROUPS=Perlakuan(1 2)
/MISSING=ANALYSIS
/VARIABLES=Hb_Post
/CRITERIA=CI(.95).
T-Test
[DataSet0]
Group Statistics

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Kontrol 1 kali/minggu 30 10,3067 1,35110 ,24668


Hb_Post
Intervensi 2 kali/minggu 30 8,3600 ,78854 ,14397
Lampiran 7

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality t-test for Equality of Means


of Variances

F Sig. t df Sig. (2- Mean Std. Error 95% Confidence Interval of


tailed) Difference Difference the Difference

Lower Upper

Equal variances 1,142 ,290 6,816 58 ,000 1,94667 ,28561 1,37495 2,51839
assumed
Hb_Post
Equal variances 6,816 46,702 ,000 1,94667 ,28561 1,37199 2,52135
not assumed
Lampiran 7

LEMBAR KONSULTASI BIMBINGAN

Nama Mahasiswa : Nenden Martiana


NPM : 08190100054
Pembimbing : Ns. Agus Purnama, S. Kep, MKM
Judul Riset : Perbandingan Frekuensi Pemberian Erythropoietin Terhadap Peningkatan Hemoglobin Pasien
Penyakit Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialisis Di Rsu Z Jagakarsa Jakarta Selatan

No. Hari/ Materi Masukan Pembimbing Paraf


Tanggal Konsultasi Pembimbing
1. Jum’at 23 Juli 2020 Pengajuan - ACC judul : Pengaruh pemberian erythropoietin terhadap peningkatan

Judul Skripsi hemoglobin pada pasien hemodialisa rutin.

- Segera lapor ke Bu Yeni Koto

- Cari Jurnal sebanyak banyak nya dan lanjut buat Latar belakang BAB I
Lampiran 7

2. Selasa, 28 Juli 2020 BAB I - Revisi pembuatan latar belakang memakai konsep piramida terbalik

- Revisi pembuatan TUK

- Lanjut BAB II

3. Selasa, 11 Agustus BAB I dan - Masih Revisi BAB I karena belum sesuai dengan konsep piramida terbalik

2020 BAB II - Revisi Judul kembali menjadi : Perbandingan frekuensi pemberian

erythropoietin terhadap peningkatan hemoglobin pada pasien PGK

- Revisi TUK disesuaikan dengan karakteristik usia, jenis kelamin, dan

pekerjaan

4. 13 Agustus 2020 Bimbingan - Mencari jurnal online dengan cara menjadi anggota perpustakaan nasional

Cara Mencari - Pertemuan berikutnya akan dibahas tata cara pencarian jurnal nya dan

Jurnal wajib semua nya sudah terdaftar menjadi anggota perpustakaan Nasional
Lampiran 7

5. 19 Agustus 2020 BAB I - Lanjut ke BAB III

- Dapus harus memakai Mendeley semua nya wajib pakai mendeley dan ini

salah satu syarat untuk bisa maju ujian proposal

- Pertemuan berikutnya akan dibahas cara memakai mendeley

6. Selasa, Bimbingan - Bagi Mahasiswa yang belum memakai mendeley segera

22 September 2020 cara memakai - Penentuan sampel penelitian

Mendeley - Total Sampel 60 dibagi 2 group masing masing 30 untuk kelompok control

dan 30 untuk kelompok intervensi

7. 29 September 2020 BAB III dan - Perbaiki Sistematika penulisan jangan banyak typo

BAB IV - Prosedur pengumpulan data diperbaiki

- Pada DO perbaiki alat ukur Hb, diangka berapa Hb ringan, sedang, berat.
Lampiran 7

8. Jum’at 09 Oktober - Mahasiswa bimbingan Bapak Agus Wajib mendaftar anggota perpustakaan

2020 nacional

- Hari senin tgl 12/10/2020 jam 11.00 s/d 12.00 wajib Hadir via Zoom

- Rumus pembuatan Skripsi Meliputi : NOCT

N = Novelty (Sumber tidak lebih dari 10 tahun, lebih bagus < 5 tahun)

O = Originality (Benar-benar hasil ketikan sendiri)

C = Contribution (Kontribusi kita dalam penelitian)

T = Trend (Issu-issu terkini)

- Hal yang penting dalm penelitian :

> Sampel diatas 30

> Pastikan pakai Mendeley

> Batas sumber untuk jurnal 5 tahun terakhir

> Pastikan tidak copas kalaupun copy itu dibedakan urutan nya
Lampiran 7

9. Selasa, BAB III - Skema prosedur pengumpulan data masih perlu diperbaiki

03 November 2020 - Do untuk kategori hasil Hb cari kembali berdasarkan kemenkes

10. Senin, BAB IV - Segera di selesaikan untuk Dapus memakai mendeley

09 November 2020 - Pastikan Jurnal lebih dari 10, minimal 5

11. Sabtu, BAB IV - Untuk desain penelitian memakai Quasy Experimet

14 November 2020 - Dilakukan pre test sebelum perlakuan dan post test setelah perlakuan

- Bagi menjadi 2 Kelompok : kelompok intervensi dan kelompok kontrol

12. Selasa, BAB IV - Jika Sampel memungkinkan ambil seluruh populasi yang ada

17 November 2020 - Lanjut buat jadwal kegiatan


Lampiran 7

13. Jum’at BAB IV - Lanjut untuk persiapan uji proposal

20 November 2020 - Jangan lupa untuk mengingatkan penguji

14. Sabtu, BAB IV - Acc Untuk Maju Ujian Proposal

21 November 2020 - Kirim file proposal (Pdf) lewat email

15. Jum’at - Tidak ada lagi revisi proposal, sudah selesai

27 November 2020 - Lanjut untuk persiapan Uji plagiat, Uji etik dan Penelitian

16. Selasa, BAB V - Buat tittle chart

22 Februari 2021 - Tabel di seragamkan semuanya

- Tabel Pre Pemberian dan post pemberian dipisah

- Bab Pembahasan harus detail

- Minimal Sumber lebih dari 5


Lampiran 7

17 Rabu, BAB - Penempatan P-Value ada di paling pinggir tabel

23 Februari 2021 V,VI,VII - Tambahkan di setiap Pembahasan dicantumkan kesimpulan dari peneliti

sesuai bahasan (Usia,Jenis kelamin,pekerjaan) dst.

- ACC untuk maju sidang akhir


Lampiran 7

MENJELASKAN INFORMED CONSENT DLL

MELAKUKAN PENYUNTIKAN EPO PADA PASIEN KELOMPOK INTERVENSI

(2X/MINGGU)
Lampiran 7

MELAKUKAN PENYUNTIKAN EPO PADA PASIEN KELOMPOK KONTROL

(1X/MINGGU)
Lampiran 7

ERYTHROPOIETIN 3000 IU
Lampiran 7

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Diri :
Nama Lengkap : Nenden Martiana
Nama Panggilan : Nenden
Tempat/tanggalLahir : Cianjur, 30 Juni 1986
Alamat : Jl. Belimbing III No 15 A Rt 007/008 Jagakarsa
Jakarta Selatan
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Nomor Telepon : 085718160009

Riwayat Pendidikan :
2019 - 2020 : S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Indonesia Maju
2005 - 2008 : AKPER YASPEN Tugu Ibu
2001 - 2005 : SMUN 1 Cibinong - Cianjur
1998 - 2001 : SMPN 2 Cibinong - Cianjur
1992 - 1998 : SDN Cibinong 2 Cianjur
Riwayat Pekerjaan :

2008 – 2013 : IGD Rsu Zahirah


2009 – 2010 : Klinik Cahaya Murni
2013 – Sekarang : Instalasi Hemodialisa Rsu Zahirah

Anda mungkin juga menyukai