Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Skenario
Amir, berusia 16 tahun, diajak teman-temannya ikut karaoke di sebuah rumah
karaoke. Ketika memasuki gedung karaoke tampak banyak anak muda merokok di dalam
gedung sambil menunggu giliran masuk rumah karaoke. Amir yang tidak terbiasa dengan
asap rokok sebelumnya terbatuk dan segera berjalan menuju toilet umum.

1.2 Tabel
Keyword Hipotesa awal Learning Issue
Laki-laki 16 Refleks batuk karena 1. Definisi, Klasifikasi dan Etiologi
tahun terpapar asap rokok Batuk
Terpapar 2. Mekanisme Batuk, Refleks Batuk
asap rokok dan Bersin
Refleks batuk 3. Struktur Makro Sistem Respirasi
4. Struktur Mikro Sistem respirasi
5. Fisiologi Sistem respiratori
6. Keseimbangan Asam-Basa sistem
respirasi
7. Embriologi Sistem Respirasi
8. Kandungan asap rokok dan
Pengaruhnya

1
1.3 Mind map awal

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi, Klasifikasi dan Etiologi Batuk

Batuk merupakan ekspirasi eksplosif untuk mengeluarkan sekret dan benda asing dari
saluran trakeobronkial. Batuk merupakan gejala kardiorespirasi yang paling sering
ditemukan dan salah satu gejala yang paling sering menyebabkan seseorang datang ke dokter
alasannya dapat berupa keletihan, insomnia dan kekhawatiran terhadap penyakit batuk,
khususnya rasa takut terhadap kemungkinan penyakit kanker serta AIDS. (Hal 199, Asdie
,A.H. Harrison)

Klasifikasi Batuk

Jenis – jenis batuk berdasarkan sebabnya :

1. Batuk berdahak
Karena adanya dahak ditenggorokan, otomatis tubuh melakukan mekanisme
pengeluaran zat-zat asing dari saluran nafas,termasuk dahak. (Tjay, HT.Rahardja, K.
2003)
2. Batuk kering
Biasa terjadi saat tenggorokan terasa gatal ,tetapi tidak berdahak.
3. Batuk yang khas
 Batuk rejan, batuknya bisa berlangsung 100 hari. Dapat menyebabkan pita suara
radang dan suara parau
 Batuk TBC, berlangsung berbulan-bulan tetapi ringan (timbul sekali-kali),
terkadang disertai bercak darah.
 Batuk karena asma, sehabis serangan asma lendir banyak dihasilkan. Lendir
inilah yang merangsang timbulnya batuk.
 Batuk karena penyakit jantung lemah, darah yang terbendung di paru, menjadikan
paru basah dan menimbulkan batuk.
 Batuk karena kanker paru yang menahun tidak sembuh, semakin luas kerusakan
paru-paru maka batuk semakin parah.
 Batuk karena kemasukan benda asing, pada saat saluran pernafasan berusaha
mengeluarkan benda asing, maka akan terjadi batuk. (Yunus, F. 2007)

3
Etiologi Batuk

Batuk ditimbulkan oleh 4 stimulus pada reseptor batuk.

1. Stimulus inflamasi
Dicetuskan oleh penimbunan cairan yang berlebihan didalam rongga dan
hiperemia (gangguan aliran darah) pada membrana mukosa sistem respirasi, seperti pada
bronkitis bakterial, penyakit selesma (common cold) dan merokok yang berlebihan.
Stimulus semacam itu dapat timbul dalam saluran napas (seperti laringitis, bronchitis,
trakeitis dan bronkiolitis) atau dalam alveoli paru (pneumonitis dan abses paru).
2. Stimulus mekanis
Ditimbulkan saat proses menghirup udara (inhalasi) bersamaan dengan partikel
kecil, seperti partikel debu, dan oleh kompresi saluran napas serta tekanan atau tegangan
pada struktur ini. Tekanan dan tegangan pada saluran napas biasanya ditimbulkan oleh
lesi yang berkaitan dengan penurunan kelenturan jaringan paru. Contoh penyebab yang
spesifik meliputi fibrosis interstitialis yang akut dan kronik,edema paru dan atelektasis.
3. Stimulus kimiawi
Dapat terjadi akibat inhalasi gas yang iritatif,termasuk asap rokok dan gas kimia.
Stimulus dapat juga berupa obat-obatan yang menimbulkan efek samping yang
merugikan sistem respirasi dan menyebabkan batuk. Namun demikian, batuk sendiri
merupakan efek samping yang penting pada penggunaan preparat inhibitor enzim
pengubah angiotensin, yaitu sebuah dipsogen dan hormon oligopeptida didalam serum
darah yang menyebabkan pengkerutan pada pembuluh darah sehingga menaikkan
tekanan darah.
4. Stimulus termal
Dapat ditimbulkan oleh proses penghirupan udara (inhalasi) yang sangat dingin
atau sangat panas.

4
2.2 Mekanisme Batuk, Refleks Batuk dan Refleks Bersin

Mekanisme dan Refleks Batuk

Tabel 1 : Komponen reflek batuk

Reseptor Aferen Pusat Batuk Eferen Efektor


Larings
Trakhea Otot
Bronkus Cabang Nervus Nervus Vagus laring,trakhea,dan
Telinga Vagus bronkus
Lambung
Hidung Nervus Berada dalam Nervus Diafragma,
trigeminus area medula frenikus, interkostal,
interkostal, abdominal, dan
lumbaris lumbal
Sinus paranasal
Farings Nervus Nervus Otot saluran
glosofarings trigeminus, repiratorik dan
Perikardium Nervus fasial, bantu nafas
Frenikus hipoglosus
Diafragma

Mekanisme batuk merupakan suatu bentuk pertahanan dari sistem respirasi terhadap
benda asing yang disebabkan oleh rangsangan reseptor di trakea. Batuk dapat menjadi batuk
secara volunteer dan reflektif. Refleks batuk merupakan suatu cara untuk mendorong benda
asingatau penyebab iritasi lain keluar yang dilakukan akibat bronkus dan trakea yang sensitif
pada sentuhan ringan. Bagian yang paling sensitif adalah laring dan karina, yaitu tempat
trakea bercabang dan menyambung menjadi bronkus. Selain itu, bagian lain seperti alveoli
dan bronkiolus terminalis juga bersifat sensitive terhadap rangsangan dari bahan kimia yang
bersifat korosif, contohnya klorin atau gas sulfur dioksida. Adapun impuls aferen dari
saluran pernapasan utama akan berjalan melewati nervus vagus dan menuju medulla otak.
Pada medulla otak,lintasan neuronal medulla akan menggerakkan rangkaian peristiwa
otomatis dan mengakibatkan beberapa hal. Hal pertama yang terjadi adalah terinspirasinya
2,5 L udara secara cepat. Hal kedua yang terjadi adalah menutupnya epiglottis dan

5
menutupnya pita suara agar udara dapat terjerat dalam paru. Hal ketiga yang terjadi adalah
kontraksi otot-otot abdomen yang mendorong kuat diafragma, disertai dengan kontraksi kuat
interkostalis internus yang merupakan otot ekspirasi lain. Akibat kontraksi-kontraksi
tersebut, terjadi peningkatan tekanan dalam paru mencapai 100 mm Hg atau bahkan lebih.
Hal keempat yang terjadi adalah terbukanya pita suara dan epiglottis dengan lebar. Hal ini
menyebabkan udara dengan tekanan tinggi di dalam paru meledak dan beranjak keluar.
Terkadang, kecepatan pengeluaran udara ini adalah 75 sampai 100 mil/jam. Akibat kompresi
kuat pada paru, bronkus dan trakea dapat kolaps melalui invaginasi bagian tak berkartilago
kea rah dalam dan mengakibatkan udara yang meledak mengalir lewat celah pada bronkus
dan trakea. Udara yang beranjak dengan cepat tersebutlah yang akan membawa benda asing
yang terdapat di bronkus dan trakea.(Guyton and Hall, 2011)

Refleks Bersin

Refleks bersin memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan refleks batuk. Namun, ada
perbedaan bahwa refleks bersin terjadi di saluran hidung, tidak seperti refleks batuk yang
terjadi di saluran pernapasan bagian bawah.Iritasi dalam saluran hidung merupakan
rangsangan awal yang dapat memicu refleks bersin dimana impuls aferen akan melewati
nervus kelima menuju medulla dimana refleks dicetuskan. Setelah itu, akan terjadi reaksi-
reaksi yang hampir sama dengan refleks batuk. Namun, berbeda dengan refleks batuk, pada
refleks bersin uvula akan ditekan sehingga udara akan keluar dengan cepat melalui hidung
dan melewati proses ini akan membersihkan saluran hidung dari benda asing. (Guyton and
Hall, 2011)

2.3 Struktur Makro Sistem Respirasi

 Struktur utama (Saluran udara pernafaasan)


 Upper Respiratory Tract
1. Hidung
o Struktur Eksternal
o Cavum Nasi
o Sinus Parsales
- Sinus Maxillaris
- Sinus Frontalis
- Sinus Sphhenoidalis
- Sinus Ethmoidalis

6
2. Pharinx
o Nasopharynx
o Orofaring
o Laringofaring

 Lower Respiratory Tract


1. Larynx
- Cartilago Thyoridea
- Cartilago Cricoidea
- Cartilago Arytenoidea
- Cartilago Corniculata
- Cartilago Cuneiforme

7
- Epiglotis

o Aditus Larynx
o Fossa Piriformis
o Lipatan Larynx
- Plica Vestibularis
- Plica Vocalis
o Cavitas Larynx
- Vestibulum laryngis
o Sinus laryngis
o Sacculus laryngis
o Otot – otot larynx
a. otot ekstrinsik – menarik larynx keatas dan bawah selama proses menelan
- otot-otot elevator : M. digasricus, M. Stylohyoideus , N. mylohyoideus, M.
geniohyoideus
- otot-otot depresor : M. sternothyroideus, M. sternohyoideus, M. omohyoideus
b. otot intrisik
2. Trachea
 Carnia
 Bifurcatio
8
 N. vagus
 N. Laryngeus recurrens
 Aa. Thyroidea inferior
 Arteriae bronchiales
3. Bronchi
4. Bronchiolus
- Bronchiolus Terminalis
- Bronchiolus Respiratorius
- Ductus Alveolaris
- Saccus Alveolaris

- Alveoli
 Struktur pendukung:
o Sternum
o Costa
o Costae verae – 7 pasang costa paling aras melekat pada sternum di anterior
melalui cartilago costalisnya
o Costae spuriae – pasangan costa VIII, IX dan X di di anterior melekat satu sama
lain dan costa VII melalui cartilago costalis
o Costae fluctuantes – pasangan costa XI dan XII yang tidak memiliki perlekatan di
anterior
o Musculus
 M. Intercostalis eksternus
 M. Intercatilagonius parasternal
 Otot diafragma

9
o Otot – otot respirasi tambahan
 M. Sternocledomastiloideus
 M. Scalenus anterior
 M. scalenus medius
 M. Scalenus posterior
 Otot pada saat respirasi
o Inspirasi
 M. sternocledoimastilodeus
 M scalenus anterior
 M. scalenus medius
 M. Scalenus posterior

o Ekspirasi
 M. intercostalis internus
 M. interkalimus parasternal
 M. rectus abdominis
 M. obliqus abdominis

10
o Pleura

11
 Anatomy nervus reflek batuk
Tabel 2 : Tabel 1 : Komponen reflek batuk

Reseptor Aferen Pusat Batuk Eferen Efektor


Laring Cabang N. Medulla Cabang N. Laring, trakea,
vagus oblongata vagus bronkus, otot

2.4 Struktur Mikroskopis Sistem Respirasi

Sistem pernapasan memiliki dua bagian utama yaitu bagian konduksi dan bagian
respirasi. Bagian konduksi merupakan bagian yang terletak di bagian dalam dan luar paru-
paru yang berfungsi untuk membawa udara ke dalam paru-paru. Bagian respirasi merupakan
bagian yang terletak di dalam paru-paru dan berfungsi sebagai tempat pertukaran oksigen
dengan karbondioksida. (Gartner, 2007)

Sistem respirasi dibagi menjadi tiga divisi yaitu:

1. Extrapulmonaryconducting
2. Intrapulmonary Conducting
3. Respiratory

(Gartner, 2007)

1. Extrapulmonary conducting
Terdiri dari:
1. Nasal vestibulum
- Tersusun dari tulang rawan hialin
- Mempunyai kelenjar sebasea dan keringat
- Memiliki epitel berlapis pipih bertanduk dan vibrissa (bulu hidung)
- Pada bagian dalam memiliki epitel tidak berlapis tanduk yang akan menjadi epitel
respiratorik
- Memiliki tipe sel epidermal
2. Nasal Cavity Respiratory
- Tersusun dari tulang rawan hialin dan tulang
- Mempunyai kelenjar seromukus
- Memiliki epitel respiratory
- Memiliki tipe sel basal, goblet, silia, brush, serous dan DNES
12
- Memiliki jaringan mirip ereksi
3. Nasal Cavity Olfactory
- Tersusun dari tulang keras
- Mempunyai kelenjar bowman (serous)
- Memiliki epitel olfactory
- Memiliki tipe sel olfactory, sustentacular, dan basal
- Memiliki vesikel olfactory

(Bukupanduanpraktikumhistologi dr. Halim , 2012)


4. Nasofaring
- Tersusun dari otot skelet
- Mempunyai kelenjar seromukus
- Memiliki epitel respiratory
- Memiliki tipe sel basal, goblet, silia, brush, serous, dan DNES
- Memiliki tonsil faringeal dan tuba eustachius
5. Laring
- Tersusun dari tulang rawan hialin dan tulang rawan elastis
- Mempunyai kelenjar mucus dan seromukus
- Memiliki epitel Skuamosa berstrata pernapasan nonkeratin
- Memiliki tipe sel basal, goblet, silia, brush, serous, dan DNES
- Terdapat epiglottis, plikaventrikularis, dan plikavokalis

(Junqueira,2002)
13
6. Trakea dan Bronkus Primer
- Tersusun dari tulang rawan hialin, jaringan ikat padat tidak teratur, dan serabut
kolagen
- Mempunyai kelenjar mucus dan seromukus
- Memiliki epitel respiratory
- Memiliki tipe sel basal, goblet, silia, brush, serous, dan DNES
- Memiliki otot berbentuk cincin dan menyerupai huruf C pada adventitia

(Junqueira, 2002)
2. Intrapulmonary Conducting
1. Bronkus Sekunder (Intrapulmonar)
- Tersusun dari tulang rawan hialin dan otot polos
- Mempunyai kelenjar seromukus
- Memiliki epitel respiratori
- Memiliki tipe sel basal, goblet, silia, brush, serous, dan DNES
- Memiliki piring tulang rawan hialin dan dua pita otot polos yang berorientasi
secara heliks
2. Bronkiolus (Primer)
- Tersusun dari otot polos
- Tidak memiliki kelenjar
- Memiliki epitel simple columnar to simple cuboidial
- Memiliki tipe sel yaitu sel bersilia dan sel clara
- Punya diameter kurang dari 1 mm
- Berfungsi untuk memasukkan udara ke lobules
- Memiliki dua pita otot polos yang berorientasi secara heliks

14
(Gartner, 2007)
3. Bronkiolus Terminal
- Terusun dari otot polos
- Tidak memiliki kelenjar
- Memiliki epitel simple cuboidial
- Tipe sel terdiri dari beberapa sel, banyak sel clara, dan tidak memiliki sel goblet
- Diameternya kurang dari 0,5mm
- Berfungsi untuk memasukkan udara ke sinus paru
3. Respiratory
1. Bronkiolus Respiratory
- Tersusun dari beberapa otot polos dan serabut kolagen
- Tidak memiliki kelenjar
- Memiliki epitel Simple cuboidal and highly attenuated simple squamous
- Memiliki tipe sel beberapa sel kuboid bersilia, sel Clara, dan tipe I dan II pneumosit
- Memiliki alveoli di dinding dan memiliki sphincter otot polos di lubangnya
2. Duktus Alveoli
- Tersusun dari serabut kolagen tipe III dan sfingter otot polos dari alveoli
- Tidak memiliki kelenjar
- Memiliki epitel skuamosa sederhana yang sangat lemah
- Memiliki tipe sel pneumocytes tipe I dan tipe II dari alveoli
- Tidak memliki dinding dan hanya terdiri dari urutan linear alveoli

15
(Junqueira, 2002)
3. Saccus Alveoli
- Tersusun dari serabut kolagen tipe III dan serabut elastic
- Tidak memiliki kelenjar
- Memiliki epitel skuamosa sederhana yang sangat lemah
- Memiliki tipe sel pneumocytes tipe I dan tipe II
- Merupakan kumpulan alveoli

(Gartner,2007)
4. Alveoli
- Tersusun dari serabut kolagen tipe III dan serabut elastic
- Tidak memiliki kelenjar
- Memiliki epitel skuamosa sederhana yang sangat lemah
- Memiliki tipe sel pneumocytes tipe I dan tipe II
- Memiliki diameter 200 μm dan memiliki makrofag alveolar

16
(Gartner, 2007)

Tabel 3 : Perbandingan Karakteristik Sistem Respirasi

Divisi Regio Penyusun Kelenjar Epitel Tipe Sel Tambahan


Konduksi Nasal Tulang Sebasea Epitel Epiderm Vibrissa
Ekstrapulmonar Vestibulum Rawan dan berlapis al
Hialin Keringat pipih
bertanduk
dan
vibrissae
Nasal Tulang Seromuk Respirator basal, Jaringan
cavity: rawan us i goblet, mirip ereksi
respiratory hialin dan silia,
tulang brush,
keras serous
dan
DNES
Nasal Tulang Serous Olfaktori olfactory vesikel
cavity: keras , olfactory
olfactory sustentac
ular, dan
basal
Nasofaring Otot skelet Seromuk Respirator basal, tonsil
us i goblet, faringeal
silia, dan tuba
brush, eustachius

17
serous
dan
DNES

Laring Tulang Mucus Skuamosa basal, epiglottis,


rawan dan berstrata goblet, plikaventrik
hialin dan seromuk pernapasa silia, ularis, dan
elastic us n brush, plikavokalis
nonkeratin serous
dan
DNES
Trakea dan Tulang Mucus Respirator basal, Otot
bronkus rawan dan i goblet, berbentuk
primer hialin, seromuk silia, cincin dan
jaringan us brush, menyerupai
ikat padat serous huruf C
tidak dan pada
teratur, DNES adventitia
dan
serabut
kolagen
Konduksi Bronkus Tulang Seromuk Respirator basal, Piring
intrapulmoner sekunder rawan us y goblet, tulang
hialin dan silia, rawan hialin
otot polos brush, dan dua pita
serous otot polos
dan yang
DNES berorientasi
secara
heliks

18
Bronkioulus Otot polos - simple Sel dua pita otot
primer columnar bersilia polos yang
to simple dan sel berorientasi
cuboidial clara secara
heliks

Bronkiolus Oto tpolos - Kuboid Beberapa Memasukka


terminal sederhana sel, nudara ke
banyak sinus paru
sel clara,
dan tidak
memiliki
sel
goblet
Respirasi Bronkiolus Otot polos - epitel sel alveoli di
respiratori dan sabut Squamous kuboid dinding dan
kolagen cuboidal bersilia, memiliki
sederhana sel Clara, sphincter
dan sangat dan tipe I otot polos di
dilemahka dan II lubangnya
n pneumos
it
Duktus Sabut - Skuamosa Pneumoc Tidak
alveolus kolagen sederhana ytes tipe memliki
tipe III yang I dan tipe dinding dan
dan sangat II dari hanya
sfingter lemah alveoli terdiri dari
otot polos urutan
dari linear
alveoli alveoli

19
Sakus Sabut - Skuamosa Pneumoc kumpulan
alveolus kolagen sederhana ytes tipe alveoli
dan elastic yang I dan tipe
tipe III sangat II
lemah

(Gartner, 2007)

2.5 Fisiologi Sistem Respiratori

Mekanisme Respirasi

A. Proses respirasi
Proses respirasiterjadi karena adanya perbedaan tekanan parsial oksigen maupun
tekan parsial karbondioksida. Proses perpindahannya berlangsung secara difusi. Dimana
ada tekanan parsial yang tinggi, maka dari situ akan berpindah. Didalam alveolus paru-
paru tekanan parsial oksigen lebih tinggi daripada tekanan di kapiler darah paru-paru.
Sehingga oksigen mengalir dari alveolus menuju ke kapiler darah paru. Setelah oksigen
melewati sepertiga kapiler, maka secara otomatis tekanan parsial kapiler akan meningkat
sehingga oksigen akan mengalir menuju ke jaringan tubuh. Sama halnya dengan
karobondioksida, didalam sel akan terjadi proses pembentukan karbondioksida sehingga
tekanan parsial karbondioksida dalam sel akan meningkat. Karbondioksida mengalir
menuju ke kapiler jaringan. Dan pada akhirnya sampai kedalam paru. (Guyton, hal 495 )

a. Respirasi seluler
Respirasi seluler berarti proses-proses metabolik intrasel yang terjadi di
dalam mitokondria yang mana molekul kaya energy akan dipecah menjadi ATP
menggunakan O2 dan pada akhirnya menghasilkan CO2 selama prosesnya. Ada
empat tahap dalam proses respirasi seluler, yaitu : glikolisis, siklus asam sitrat, dan
fosforilasi oksidatif.
b. Respirasi Ekstraseluler
Respirasi ekstraseluler mengacu pada keseluruhan rangkaian kejadian dalam
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal (atmosfer) dengan sel tubuh.
Respirasi ekstraseluler terdiri dari 4 langkah yaitu, ventilasi, difusi, transport, dan
regulasi.

20
Gambar : Respirasi ekstraseluler dan respirasi seluler

(Sherwood, 2013.)

1. Ventilasi
Udara secara bergantian dimasukkan ke dalam dan dikeluarkan dari paru-paru
sehingga udara dapat dipertukarkan antara atmosfer (lingkungan eksternal) dan kantong
udara paru atau alveolus. Mekanisme pertukaran ini disebut dengan bernafas, atau
ventilasi. Kecepatan mekanisme Ventilasi akan diatur untuk disesuaikan dengan aliran
udara antara lingkungan eksternal dan alveolus sesuai dengan kebutuhan metabolic
tubuh terhadap pemasukan O2 dan pengeluaran CO2. (Sherwood,2013)

2. Difusi
Dalam proses difusi, O2 dan CO2 mengalami pertukaran dalam alveolus dan darah
di dalam kapiler pulmonar. Secara sederhana, proses difusi merupakan gerakan
molekul-molekul secara acak yang menjalin jalan ke seluruh arah melalui membrane
pernafasan dan cairan yang berdekatan. (Guyton&Hall,2016)

21
Karena PO2 alveolus lebih tinggi daripada PO2 darah yang masuk ke paru, O2
berdifusi menuruni gradient tekanan parsialnya dari alveolus ke dalam darah hingga
tidak lagi terdapat gradien.
Sebaliknya dengan CO2, darah yang masuk ke kapiler paru memiliki PCO yang
lebih tinggi daripada PCO2 alveolus, karbondioksida berdifusi dari darah ke dalam
alveolus.

a. Difusi Oksigen dari Alveoli ke Darah Kapiler Paru


Po2 dari gas oksigen dalam alveolus rata-rata 104 mm
Hg, sedangkan Po2 darah vena yang masuk kapiler paru pada
ujung arterinya, rata-rata hanya 40 mm Hg karena sejumlah
besar oksigen dikeluarkan dari darah ini setelah melalui
jaringan perifer. Oleh karena itu, perbedaan tekanan awal yang
menyebabkan oksigen berdifusi ke dalam kapiler paru adalah
104-40, atau 64 mm Hg. Pada bagian bawah gambar, terdapat
kurva yang memperlihatkan peningkatan Po2 yang cepat dalam
darah sewaktu darah melewati kapiler; Po2 darah meningkat
hamper sebanding dengan peningkatan yang terjadi pada udara
alveolus sewaktu darah telah melewati sepertiga panjang
kapiler, menjadi hampir 104 mm Hg.( guyton Hal. 495 )

b. Difusi Oksigen dari Kapiler Perifer kedalam Cairan Interstisial

Bila darah arteri sampai ke jaringan perifer, Po2 dalam kapiler masih 95
mm Hg. Namun, seperti terlihat Po2 dalam cairan interstisial yang mengelilingi
sel jaringan rata-rata hanya 40 mm Hg. Dengan demikian, terdapat perbedaan
tekanan awal yang sangat besar yang menyebabkan oksigen berdifusi secara
cepat dari darah kapiler ke dalam jaringan begitu cepatnya sehingga Po2 kapiler
turun hamper sama dengan tekanan dalam interstisium, yaitu 40 mm Hg. Oleh
karena itu, Po2 darah yang meninggalkan kapiler jaringan dan memasuki vena
sistemik juga kira-kira 40 mm Hg.

22
( Guyton Hal. 496 )

c. Difusi Oksigen dari Kapiler Perifer ke Sel Jaringan


Oksigen selalu dipakai oleh sel. Oleh karena itu, Po2 intrasel dalam
jaringan perifer tetap lebih rendah daripada Po2 dalam kapiler perifer. Juga, pada
beberapa keadaan, ada jarak fisik yang sangat besar antara kapiler dan sel. Oleh
karena itu, Po2, intrasel normal berkisar dari 5 mm Hg sampai 40 mm Hg,
dengan rata-rata (dengan pengukuran langsung pada hewan tingkat rendah) 23
mm Hg. Karena pada keadaan normal hanya dibutuhkan tekanan oksigen sebesar
1 sampai 3 mm Hg untuk mendukung sepenuhnya proses kimiawi dalam sel yang
menggunakan oksigen, maka kita dapat melihat bahwa Po2 intrasel yang rendah,
yaitu 23 mm Hg, lebih dari cukup dan merupakan suatu factor pengaman yang
besar.

d. Difusi Karbondioksida dari Sel Jaringan Perifer ke dalam


Kapiler Jaringan dan dari Kapiler Paru ke dalam Alveoli
Ketika oksigen di pakai oleh sel, sebenarnya seluruh oksigen ini menjadi
karbondioksida, sehingga Pco2, intrasel meningkat; karena Pco2 sel jaringan
yang tinggi ini, karbondioksida berdifusi dari sel kedalam kapiler jaringan dan
kemudian di bawa oleh darah ke paru. Di paru, karbondioksida berdifusi dari
kapiler paru ke dalam alveoli dan kemudian dikeluarkan. Dengan demikian, pada
tiap tempat dalam rantai pengangkutan gas, karbondioksida berdifusi dalam arah
yang berlawanan dengan difusi oksigen. Meskipun demikian, terdapat satu
perbedaan besar antara difusi karbondioksida dan oksigen: karbondioksida dapat
berdifusi kira-kira 20 kali lebih cepat dari oksigen. Oleh karena itu, perbedaan
tekanan yang dibutuhkan untuk menimbulkan difusi karbondioksida, pada setiap
keadaan, jauh lebih kecil daripada perbedaan tekanan yang dibutuhkan untuk

23
menimbulkan difusi oksigen. Tekanan-tekanan CO2 ini kurang lebih sebagai
berikut.
1. Pco2 intrasel, kira-kira 46 mm Hg; Pco
2. interstisial, kira-kira 45 mm Hg. Dengan demikian, hanya ada perbedaan
tekanan 1 mm Hg, seperti yang dilukiskan pada Gambar 40-5. 2. Pco2 darah
arteri yang masuk ke jaringan 40 mm Hg; Pco2 darah vena yang
meninggalkan jaringan, 45 mm Hg. Dengan demikian, sebagaimana
dilukiskan pada Gambar 40-5, darah kapiler jaringan mencapai imbangan
yang hamper sama dengan Pco2 interstisial, yaitu 45 mm Hg.
3. Pco2 darah yang masuk kapiler paru pada ujung arteri 45 mm Hg; Pco2 udara
alveolus, 40 mm Hg. Dengan demikian, perbedaan tekanan yang dibutuhkan
untuk menyebabkan difusi karbondioksida dari kapiler paru ke dalam alveoli
hanya 5 mm Hg. Lagi pula, seperti yang dilukiskan pada Gambar 40-6, Pco2
darah kapiler paru turun hampir mendekati Pco2 alveolus, 40 mm Hg,
sebelum darah melewati lebih dari kira-kira sepertiga jarak kapiler. Efek ini
sama dengan efek yang diamati pada permulaan difusi oksigen, hanya saja
efek ini berlangsung dalam arah yang berlawanan. ( Guyton, Hal. 497 )

3. Transport
Oksigen yang telah di serap oleh darah di paru harus diangkut ke jaringan untuk
digunakan oleh sel. Sebaliknya, CO2 yang diproduksi di tingkat sel harus diangkut ke
paru untuk dikeluarkan. Oksigen tidak dapat langsung diserap dalam bentuk gas. Oleh
karena itu, oksigen dalam darah ada dua bentuk, yaitu larut secara fisik dan secara
kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb). (Sherwood,2013)

24
4. Regulasi
Disini terjadi pertukaran antara oksigen dan karbondioksida antara jaringan dan
pembuluh sistemik melalui proses difusi. Karena PO2 darah yang masuk ke kapiler
sistemik jauh lebih besar daripada PO2 jaringan sekitar, O2 segera berdifusi dari darah ke
jaringan. Sementara karena PCO2 dalam kapiler sistemik lebih kecil dari PCO2 jaringan
sekitar, CO2 segera berdifusi menembus jaringan menuju ke kapiler sistemik.
(Sherwood,2013)
5. Pengambilan okesigen oleh darah paru selama aktif bekerja
Selama kondisi aktif atau bekerja , darah membutuhkan oksigen kira-kira 20 kali
dari keadaan normal. Darah juga mengalami penurunan waktu menetap dikapiler paru.
Sisamping ituD dfusi darah akan meningkat karena adanya pelebaran permukaan
pembuluh kapiler. Akan tetapi pada saat tanpa aktivitas darah akan hampir semunya
bercampur dengan oksigen pada saat melalui sepertiga kapiler paru. Oleh karena itu,
pada saat kita melakukan pekerjaan,walaupun darah hanya sebentar dikapiler paru akan
tetapi masih bisa teroksigenasi.

Kapasitas Paru dan Pemeriksaan Fungsional Paru

A. Kapasitas Paru Orang Dewasa Saat Normal


Secara rerata, pada orang dewasa sehat, udara maksimal yang dapat ditampung
paru adalah sekitar 5,7 liter pada pria sedangkan pada wanita 4,2 liter. Dalam keadaan
normal, sewaktu bernapas tenang, volume paru jauh dari volume inspirasi atau ekspirasi
maksimal. Karena itu, dalam keadaan normal paru mengalami perkembangan moderat
sepanjang siklus pernapasan. Pada akhir ekspirasi tenang normal, paru masih
mengandung sekitar 2200 ml udara. Selama bernapas biasa pada keadaan istirahat,
sekitar 500 ml udara masuk dan keluar paru sehingga selama bernapas tenang volume
paru bervariasi antara 2200 ml hingga 2700 ml pada akhir ekspirasi. Selama ekspirasi
maksimal, volume paru dapat turun menjadi 1200 ml pada pria sedangkan pada wanita
1000 ml, tetapi paru tidak pernah dapat dikempiskan secara total karena saluran-saluran
napas kecil kolaps ketika ekspirasi paksa pada volume paru yang rendah, menghambat
pengeluaran udara lebih lanjut.

25
B. Spirometer
Alat yang digunakan untuk mengukur perubahan volume paru yang terjadi selama
berbagai upaya bernapas.

C. Volume Dan KapasitasParu

Sumber : Guyton Hal. 469

Rata-rata udara keluar masuk paru-paru bisa dukur dengan metode spirometri
dengan alatyang namanya spirometer. Spirometer ini terdiri dari beberapa komponen
penyusun seperti drum terbali yang ditempatkan bak air. Didalam drum itu sendiri
terdapat gas hasil pernafasan yang kita keluarkan dari paru-paru yang nantinya akan
dihubungan dengan selang spirometer. Ketika kita melakukan proses pernafasan, maka
drum secara otomatis akan naik maupun turun yang kemudian hasil kenaikan maupun
penurunan itu akan dicatat di bagian drum pencatat. Hasil grafik itulah yang bisa kita
analisis untuk mengetahui volumen paru-paru tertentu. Beberapa volume paru-paru
sebagai berikut :

1. Tidal Volume/ TV (VT)


Volume udara yang diinspirasi dan eksperasi setiap kali bernafas normal, volume
tidal 500 ml

2. Inspiratory Reserve Volume/ IRV


Volume udara tambahan yang dapat secara maksimal dihirup di atas volume tidal
istirahat. VCI dicapai oleh kontraksi maksimal diafragma, otot interkostalis eksternal
dan otot inspirasi tambahan. Nilai rerata = 3000 Ml.
26
3. Expiratory Reserve Volume/ ERV
Volume udara tambahan yang dapat secara aktif dikeluarkan dengan
mengontraksikan secara maksimal otot-otot ekspirasi melebihi udara yang secara
normal dihembiskan secara pasif pada akhir volume tidal istirahat. Nilai rerata = 1100
mL.

4. Residual Volume/ RV (VR)


Volume udara minimal yang tertinggal di paru-paru bahkan setelah ekspirasi
maksimal. Nilai rerata = 1200 mL.

Untuk menguraikan peristiwa-peristiwa didalam siklus paru-paru,maka


dibutuhkan suatu kombinasi antara volume-volumen tertentu. Gabungan beberapa
volume inilah yang disebut dengan kapasitas paru-paru.

1. Inspiratory Capacity/ IC (KI)


Volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi tenang normal
(KI= volume cadangan inspirasi + volume tidal). Nilai rata-rata = 3500 ml.

2. Residu Fungtional Capacity


Volume ini merupakan kombinasi antara volume cadanga ekspirasi dengan
volume residu. Rara-rata ukuranya 2300 ml

3. Vital Capacity/ VC (KV)


Volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan dalam satu kali bernapas setelah
inspirasi maksimal. Pertama-tama melakukan inspirasi maksimal lalu ekspirasi
maksimal (KV = volume cadangan inspirasi + volume vital + volume cadangan
ekspirasi ). KV mencerminkan perubahan volume maksimal yang dapat terjadi pada
paru. Nilai rata - rata = 4600 mL.

27
4. Total Lung Capacity/ TLC (KPT)
Volume udara maksimal yang dapat ditampung oleh paru (KPT = KV + VR). Nilai
rerata = 5800 mL.

Sumber : ( Guyton Hal.469 )

2.6 Keseimbangan Asam-Basa Pada Sistem Respirasi

A. Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa berhubungan dengan pengaturan konsentrasi ion H
bebas dalam cairan tubuh pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah
vena 7,35. Jika pH <7,35 dikatakan asidosis, dan jika pH darah >7,45 dikatakan
alkalosis. Ion H terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh.
B. Buffer yang terdapat di dalam tubuh
1. Buffer kimia (sistem buffer bikarbonat)
Sistem buffer bikarbonat merupakan buffer ekstra selular utama dan
bertanggung jawab mempertahankan pH darah. Sistem ini terdiri dari larutan air
yang mengandung :
(1) Asam lemah (H2CO3)
(2) Garam bikarbonat (NaHCO3)
CO2 + H2O H2CO3

CO2 yang terbentuk selama respirasi sel akan larut dan membentuk
H2CO3, proses pembentukan ini di bantu oleh enzim anhydrase. Enzim ini
terletak pada dinding alveoli dan sel epitel pada ginjal dimana nanti nya CO2
bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3.

28
H2CO3 H+ + HCO3-

Asam karbonat akan berdisosiasi menjadi hydrogen dan asam karbonat.

NaHCO3 Na+ + HCO3-

Komponen selanjutnya adalah garam bikarbonat, yaitu NaHCO3 yang


terjadi dalam cairan ekstraseluler, NaHCO3 hampir terionisasi sempurna
membentuk Na+ dan HCO3-. CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3- .

Ratio ini menentukan keseimbangan asam-basa pada keadaan :

pH : bila pH lebih dari 7,4 = ALKALOSIS

kurang dari 7,4 = ASIDOSIS

2. Buffer Fisiologis
Bila buffer kimia tidak dapat menstabilkan pH = 7,4 maka akan di
lanjutkan dengan buffer fisiologis sebagai berikut :
1. Paru-paru
Apabila pH turun (CO2 meningkat) : paru-paru akan berusaha
meningkatkan pernafasan (hiperventilasi)

Apabila pH naik (CO2 turun) : paru-paru akan berusaha menurunkan


pernafasan (hipoventilasi)

2. Renal (ginjal), mekanisme yang terjadi pada ginjal itu lebih lambat jika di
bandingkan dengan paru-paru.
 Apabila pH turun (CO2 meningkat) :
 Ekskresi H+ (NH4) ke urine meningkat
 Reabsorpsi Na+ (sodium) dan HCO3- dari ginjal ke darah meningkat (1
Na+ untuk 1 H+) = mengatur pertukaran Na+ dan H+

3. Buffer Biologis
 Buffer yang terakhir yaitu buffer biologis yaitu hemoglobin
 Hb sangat berperan penting untuk buffer H+ yang di lepas oleh karbonik
anhidrase pada eritrosit.
Enzim karbonik anhidrase
 Enzim ini mengandung zinc

29
 Mengkatalisis reaksi : CO2 + H2O = H2CO3 = H+ + HCO3-
 Terdapat pada eritrosit dan pada sel tubulus ginjal sumbernya adalah
HCO3-
 Melalui reaksi ini ginjal mengatur kadar HCO3- plasma dengan cara
reabsorpsi dan sintesis HCO3- , sedangkan eritrosit mengatur melalui
respon nya terhadap perubahan PCO2
 Komponen gas darah arteri dalam keadaan normal :
1. pH = 7,35-7,45
2. PaCO2 = 35-45 mmHg
3. HCO3- = 18-24 mEq/L
4. PaO2 = 50-80 mmHg
HCO3- merupakan metabolik asidosis / alkalosis
CO2 merupakan respiratori asidosis / alkalosis
A. Sistem di paru-paru
 Kendali dari otak hubungan dengan karbon dioksida dan PaCO2,
PCO2,PO2 dan CO2.
 PaCO2 terus meningkat dan penumpukan CO2 dalam jaringan dan
cairan tubuh ( cairan serebrospinal & pusat respiratori di medula)
 Peningkatan CO2 dan H+ merangsang pusat respiratori untuk
meningkatkan frekuensi pernafasan dan CO2 banyak keluar dan pH
akan kembali normal.
 PCO2 yang meningkat merangsang pusat pernapasan dan menaikkan
laju pernapasan (asal kelainan primer bukan pada pusat pernapasan)
dan pengeluaran CO2 lewat paru
B. Transport oksigen ke darah
Hubungan antara konsentrasi atau tekanan parsial, O2 (PO2) dan jumlah O2 yang
terkait di nyatakan sebagai isoterm saturasi O2. Kurva pengikatan oksigen untuk
miogoblin berbentuk hiperbola. Jadi, miogoblin secara cepat memuat O2, pada PO2
jaringan kapiler paru (100 mmHg). Mioglobin adalah kendaraan yang kurang efektif
menyalurkan O2. Hemoglobin adalah tetramer yang tersusun dari pasangan dua subunit
polipeptida yang berlainan. Hemoglobin mengikat 4 molekul O2 per tetramer, satu per
heme. Satu molekul O2 akan lebih mudah mengikat tetramer hemoglobin jika molekul
O2 lain nya sudah terikat. Fenomena ini disebut dengan pengikatan kooperatif, yang

30
memungkinkan hemoglobin memaksimalkan baik jumlah O2 yang di muat pada PO2
paru maupun jumlah O2 yang di bebaskan pada PO2 jaringan perifer.
C. Efek bohr
PO2 yang rendah di jaringan perifer mendorong sintesis 2,3-bifosgliserat (BPG)
di eritrosit. Tetramer hemoglobin mengikat 1 molekul BPG di rongga tengah yang
terbentuk oleh keempat subunitnya. BPG membentuk jembatan garam dengan gugus
amino. Oleh sebab itu BPG menstabilkan hemoglobin terdeoksigenasi (keadaan T)
dengan membentuk jembatan-jembatan garam tambahan yang harus di putuskan dahulu
sebelum ke keadaan R.BPG di hidrolisis menjadi 3-fosfogliserat melalui aktivitas 2-
fosfat BPGM dan menjadi 2-fosfogliserat oleh enzim kedua, multiple inositol
polyphosphate phosphatase (MIPP). Aktivitas enzim ini kadar BPG dalam eritrosit di
pengaruhi oleh pH. Akibatnya, kadar dan pengikatan BPG dipengaruhi dan semakin
meningkat, efek bohr pada pengikatan dan penyaluran O2 oleh hemoglobin.
D. Transport CO2 dalam darah
Selain mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan perifer, hemoglobin
mengangkut CO2. Hemoglobin membawa CO2 sebagai karbonat yang terbentuk oleh
nitrogen amino ujung rantai polipeptida. Pembentukan karbonat mengubah muatan
amino terminal dari positif ke negatif yang mempermudah pembentukan jembatan
garam antara α dan β. Karbamat hemoglobin membentuk 15% CO2 dalam darah vena.
Sebagian besar CO2 lainnya diangkut sebagai bikarbonat, yang terbentuk eritrosit oleh
hidrasi CO2 menjadi asam karbonat (H2CO3), suatu proses yang di katalisis oleh
karbonik anhidrase. Pada pH darah vena, H2CO3 terurai menjadi bikarbonat dan proton.
Deoksihemoglobin mengikat suatu proton untuk setiap dua molekul O2 yang di
bebaskan, berperan signifikan pada kapasitas buffer darah. Kadar pH pada jaringan
perifer yang agak lebih rendah, di tambah dengan karbamasi, menstabilkan keadaan T
sehingga meningkatkan penyaluran O2. Di paru-paru prosesnya terbalik. Sewaktu O2
berikatan dengan deoksihemoglobin, proton dibebaskan dan berikatan dengan bikarbonat
membentuk asam karbonat. Dehidrasi H2CO3 yang dikatalisis oleh karbonik anhidrase,
membentuk CO2 yang kemudian di tembuskan keluar. Oleh sebab itu pengikatan oksigen
mendorong pengeluaran CO2.

31
2.7 Embriologi Sistem Respirasi

Tahapan perkembangan paru

Perkembangan paru berlangsung dalam 4 tahapan besar :

 Tahap pesudoglandular pada minggu perkembangan 5-17, percabangan bronkus hingga


bronchioli terminals. Bronchioli respiratorius dan alveoli belum terbentuk
 Tahap kanalikular, minggu perkembangan ke 16-25 percabangan Bronchiolus terminalis
menjadi Bronkioli respiratorii, yang bercabang lagi menjadi Ductus alveolares dengan
Alveoli-nya
 Tahap sakular, minggu perkembangan 24 hingga lahir alveolisedrhana berkontak dengan
kapiler, alveoli berdiferensiasi pertama kali dengan membentuk sel-sel epitel alveolus
khusus tipe I dan II. Paru sudah mempunyai kemampuan pernapasan secara terbatas.
 Tahap alveolar, setelah lahir sekitar kelahiran hingga usia 8-10 tahun. Kenaikan tajam
jumlah alveoli melalui pemisahan terus-menerus dari yang sebelumnya berupa kuncup
paru. Diferensiasi alveoli matang dengan pembentukan sawar-darah-udara.

Pembentukan alveoli dan pematangan paru

Dari saat munculnya kuncup paru pada minggu ke-5 hingga ke perkembangan bronkiolus
terminalis pada minggu ke-17, paru primitif menyerupai kelenjar eksokrin (yakni tahap
pseudoglandular. Pada tahap kanalikular, percabangan bronkus bercabang-cabang
bercabang-cabang lagi menjadi lebih kecil hingga yang paling, Bronchii respiratorii, yang
sudah menunjukkan bakal alveoli. Epitel kubus Bronchioli respiratorii berproliferasi
menghasilkan sel epitel alveolar gepeng. Sel-sel tersebut mulai berkontak dengan kapiler;
secara mofrologis sesuai dengan sawar-darah-udara. Melalui proses ini terbentuk alveolus
primer. Pada bulan ke-7, jumlahnya mencukupi untuk menjamin bayi yang lahir prematur
dapat hidup. Pada dua bulan terakhir sebelum kelahiran (tahap sakular), paru membesar
karena percabangan bronkus terus berlanjut dengan penambahan jumlah Bronchioli
respiratorii dan alveoli. Terbentuk Sacculi alveolares pertama dan kapiler darah menjulur ke
ruang-ruang alveolus. Di dalam alveoli, lapisan epitel terus berdiferensiasi menjadi sel epitel
alveolus tipe I dan tipe II. Sel tipe II memproduksi surfaktan, suatu fosfolipid yang
menurunkan tegangan permukaan di alveoli, sehingga paru dapat mengembang pada tarikan
napas pertama ketika bayi lahir. Pada saat lahir, baru terbentuk sekitar 15-20% jumlah
alveoli (sekitar 300 juta alveoli di dalam paru dewasa); sisa yang 80-85% terbentuk pada 8-

32
10 tahun berikutnya melalui pembentuk baru dan diferensiasi yang terus-menerus (tahap
alveolar). (Prometheus, 2016)

Di dalam rahim, paru berisi cairan (aspirat dari amnion dan sekret dari bronchus). Ketika
bayi bernapas pertama kali, cairan ini akan digantikan oleh udara. Jadi, pengembang paru
bukan disebabkan oleh perbesaran atau pengembangan paru, melainkan karena penggantian
cairan dengan menghirup udara. Surfaktan menurunkan tegangan permukaan, sehingga
alveoli yang berisi udara dapat mengembang dan tidak kolaps kembali. Kekurangan
surfaktan bawaan mengakibatkan sindrom sesak napas (respiratory distress syndrome =
RDS) yang mengancam jiwa. Kekurangan surfaktan menjadi penyebab utama kematian pada
bayi premature. Pada kasus kelahiran di bawah 30 minggu, hampir 60% bayi premature akan
mengalami RDS. Pada kasus RDS, terapi surfaktan diberikan melalui nebulizer.
(Prometheus, 2016)

2.8 Kandungan Asap Rokok dan Pengaruhnya

Rokok memiliki 4000 zat kimia yang sangat berbahaya, ada 1.200 di nyatakan berbahaya
bagi kesehatan, dan ada 43 bahan tersebut yang beracun dan penyebab kanker. Bahan-bahan
tersebut antara lain:

1. Tar
Adalah komponen dalam asap rokok yang tinggal sebagai sisa sesudah menghilangkan
nikotin dan bersifat lengket dan menempel pada paru dan menyebabkan kanker.
2. Karbon Monoksida (CO)
Ada gas beracun yang tidak berwarna dan tidak bau yang menghasilkan pembakaran
yang tidak sempurna. Karbon Monoksida zat yang mengikat Hemoglobin (HB) dalam
darah hingga meracuni Hemoglobin (HB). Dan membuat darah tidak mampu berikatan
dengan oksigen.
3. Hidrogen Sianida
Silia pada saluran pernapasan akan rusak dan hingga memudahkan zat berbahaya dalam
sistem pernapasan bertumpuk.
4. Nikotin
Adalah zat adiktif yang mempengaruhi saraf dan peredaran darah. Yang dihirup melalui
saluran pernapasan dan bergerak dan berikatan reseptor nikotin kolinergik. Dan mampu
memicu kanker paru yang mematikan. Nikotin menyebabkan cepatnya denyut jantung

33
dan menyebabkan ketergangguan fisik tetapi toleransi kerjanya semakin lama semakin
meningkat. Nikotin juga mempengaruhi rangsangan pada zat:
- Dopamine: Perilaku kecanduan merokok, Gangguan tidur, napsu makan,
Gangguan psikologis.
- Acetylcholine: Meningkatkan kognitif, Gariah meningkat, penurunan dan
pelepasan insulin.
- Glutamate: Peningkatan memori akan menurun, Pembelajaran terganggu,
- Serotonin: peningkatan napsu makan
- Beta-endorphin: Membuat pencandu menjadi tidak cemas dan tidak
tegang/banyak pikiran.
- Norepinephrine: Pecandu menjadi lebih bergairah dan napsu makan menjadi lebih
banyak.
- GABA: memiliki kesamaan dengan beta-endorphin yang juga membuat pencandu
menjadi tidak cemas dan tidak tegang.

5. Zat-zat lain
- Aformaidehida
- Asetaldehida
- Hydrogen
- Amoniak
- Benzene
- Methanol
- NO
- Pormaldehid
- Acrolein
- Armonia
- Nitro Samin
- Fimil Klorida

34
Mekanisme Asap Rokok Terhadap Respirasi

 Mekanisme asap rokok meningkatkan resiko infeksi

Saat asap rokok masuk ke dalam tubuh dan melalui tenggorokan, maka asap akan masuk
ke dalam tabung bronkial dan mengendap di alveoli. Dalam rokok terdapat kandungan
Tar dan Residu lainnya yang akan mengendap di jalur pernapasan dan akan menghambat
pernapasan dan mersak alveoli. Alveoli berfungsi sebagai suplai oksigen ke dalam aliran
darah oleh karena itu siklus oksigen akan berkurang atau terganggu. Di dalam rokok juga
terdapat Nikotin yang berbentuk partikel-partikel halus dan menempel pada partikel Tar
yang masuk ke dalam tubuh. Nikotin masuk dalam aliran darah dan sampai ke otak
hanya memerlukan waktu kurang lebih 10 detik atau 5 sampai 10 detik, lalu Nikotin akan
menyebar ke seluruh tubuh. Pada tahap ini perokok akan merasa nyaman dan lebih
terjaga, masuknya Nikotin ke dalam peredaran darah juga menyebabkan turunnya suhu
tubuh dan akan mengganggu stabilitas metabolisme. Saat Tar menumpuk pada
tenggorokan hingga ke paru asap rokok yang panas akan membakar bulu halus pada
tenggorokan (silis) yang berfungsi mencegah dan menyaring zat berbahaya yang masuk
ke dalam paru. Asap rokok yang meningkatkan resiko infeksi pada saluran pernapasan
dan organ lain, baik perokok aktif maupun pasif. Mekanisme asap rokok terhadap
respirasi meningkatkan resiko infeksi di bagi menjadi 2 bagian yaitu melalui perubahan
struktur dan imunologis. (academia.edu)

o Secara struktur asap rokok terdapat berbagai komponen:


 Acrolein
 Asetaldehid
 Formaldehid
 H2S
 AsamNitrat

Komponen-komponen tersebut mengakibatkan radang dan memicu


pembentukan jaringan fibrosis peribrokial, juga meningkatkan permeabilitas
mukosa, menurunkan fungsi mukosilia, meningkatkan resiko penempelan
pathogen, dan juga merusak epitel respiratorik.

o Secara imunologi, jumal sirkulasi imonoglobin dalam darah akan menurun, dan
menurunkan limfosit CD4, juga meningkatkan limfosit CD8, penurunan aktivitas
fagosit, penurunan produksi sitokin pro inflammatory dalam bersifat refleksible
35
dan kembali menjadi normal setelah 6 minggu tidak merokok. Zat kekebalan
tubuh yang terdapat dalam ludah yang berguna menetralisir bakteri juga menurun
dan terjadi gangguan fungsi sel pertahanan tubuh. Sel pertahanan tubuh tidak
dapat mendekati dan memakan bakteri penyerang tubuh sehingga tubuh tidak
peka lagi terhadap perubahan sekitar juga terhadap infeksi. (Academia.edu)

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Mind Map Akhir

37
3.2 Kesimpulan

Amir, berusia 16 tahun, diajak teman-temannya ikut karaoke di sebuah rumah karaoke.
Ketika memasuki gedung karaoke tampak banyak anak muda merokok di dalam gedung
sambil menunggu giliran masuk rumah karaoke. Amir yang tidak terbiasa dengan asap rokok
sebelumnya terbatuk dan segera berjalan menuju toilet umum. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa Amir mengalami refleks batuk akibat paparan asap rokok dsn kemungkinan ada iritasi
di parunya.

38
DAFTAR PUSTAKA

Asdie ,A. H. Harisson prinsip-prinsip ilmu penyakit volume 1. edisi 13, EGC. 2014.

H:1999

Netter, F.H. Atlas of Human Anatomy. Six Edition. Elsevier.2014

Antony L Mescher. Buku Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas. Edisi 12. EGC. 2002

Gartner LP, Hiatt JL. 2007. Colour Textbook oh Hystology. 3rd ed. China: Saunder Elsevier

Semihardjo, halim. 2012. Buku panduan praktikum histologi. Jakarta :buku kedoteran EGC

Guyton n Hall.Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Elsevier, 2011.hal.499-508


Sherwood,2013

Schunke, M., Schulte, E., & Schumacher, U. (2013). Atlas Anatomi Manusia Prometheus:
Kepala, Leher, & Neuroanatomi(3 ed.). EGC.

http://www.academia.edu/8477494/Bahan_tugas_akhir_biologi

39

Anda mungkin juga menyukai