Anda di halaman 1dari 43

Model Pengajaran-Pembelajaran dalam Pendidikan Agama Katolik (PAK)

Jenjang SMP di Kota Pontianak


Gustaf Hariyanto, Kristina Laora, Florentinus Sutami, Aldi Alfrianza Sinulingga

Abstrak: keragaman paradigma dan model pembelajaran selalu bermula


dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan siswa. Kebutuhan ini
dilatarbelakangi oleh beragam faktor. Oleh sebab itu, materi pembelajaran
dan pengajaran perlu disesuaikan seiring kebutuhan siswa yang semakin
beragam dari hari ke hari. Implementasi model-model pengajaran dan
pembelajaran perlu ditingkatkan sehingga upaya para guru dalam
mengaktifkan belajar siswanya dapat terpetakan dan teridentifikasi dengan
baik. Perlu diketahui bahwa model-model yang ada seringkali tidak sesuai
dengan kebutuhan dan keinginan para siswa yang beragam. Di sisi lain,
perkembangan ilmu dan teknologi juga turut memengaruhi dunia
pendidikan di setiap eranya. Misalnya, sebagaimana diketahui, era
komunikasi digital – yang menandai Revolusi Industri 4.0 – juga turut
memengaruhi dunia pendidikan saat ini. Semua perubahan ini sudah
barang tentu akan memengaruhi para siswa dalam bertindak, bersikap dan
berpikir: tempora mutantur, nos et mutamur in illis (waktu berubah, dan
kita pun ikut berubah di dalamnya). Semakin semaraknya orkestari model
pengajaran dan pembelajaran, dan kompleksnya tugas para guru
Pendidikan Agama Katolik (PAK) mengakibatkan lingkungan
pembelajaran yang powerfull menjadi suatu kebutuhan. Oleh sebab itu,
pengidentifikasian dan pemetaan model pengajaran dan pembelajaran guru
PAK jenjang SMP di Kota Pontianak perlu dilakukan sehingga terbangun
sistem evaluasi yang memungkinkan perbaikan.

Kata-kata kunci: model, pemetaan, pengajaran, pembelajaran, PAK,


evaluasi, identifikasi, Revolusi Industri 4.0, digital.

Pendahuluan
Pendidikan Agama Katolik (PAK –selanjutnya PAK) memiliki kompleksitas,
sekaligus keunikan dan kekhasan tersendiri jika dibandingkan dengan mata
pelajaran lainnya, terlebih jika dikaitkan dengan model pengajaran dan
pembelajarannya. Misalnya, pada mata pelajaran PAK selalu terkandung dimensi
spiritual, sesuatu yang membutuhkan penghayatan. PAK juga berkaitan dengan
hakikat hidup manusia, pengembangan spiritual dan jati diri, serta interioritas
hidup. Interioritas artinya sadar diri, mempunyai “kedalaman”, hal yang membuat
seseorang bisa memegang dan mewujudkan suatu nilai kehidupan. Oleh sebab itu,
belajar bukan sekadar untuk tahu, melainkan dengan belajar seseorang menjadi
tumbuh dan berubah. Tidak sekadar belajar lalu berubah, tetapi juga bisa
mengubah keadaan. Demikian Kurikulum 2013 dirancang agar tahapan
pembelajaran memungkinkan siswa berkembang dari proses menyerap

1
pengetahuan dan mengembangkan keterampilan hingga mengembangkan sikap
serta nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pembelajaran agama juga diharapkan mampu
menambah wawasan keagamaan, mengasah keterampilan beragama, dan
mewujudkan sikap beragama peserta didik yang utuh dan berimbang yang
mencakup hubungan manusia dan Penciptanya, sesama manusia dan
lingkungannya. Untuk itu, pendidikan agama perlu diberi penekanan khusus
terkait dengan penanaman karakter dalam pembentukan budi pekerti yang luhur.
Karakter yang ditanamkan tersebut, antara lain, seperti kejujuran, kedisiplinan,
cinta kebersihan, cinta kasih, semangat berbagi, optimisme, cinta tanah air,
intelektualitas, dan kreativitas.
Demikian pula halnya dengan guru PAK, berikut tugas dan beban kerjanya
yang begitu kompleks. Mereka adalah para pendidik yang diandaikan sanggup
mendedikasikan diri dengan sungguh-sungguh demi pembinaan, pertumbuhan dan
perkembangan hidup para siswa untuk menjadi orang beriman. Itulah sebabnya
mereka sering disebut sebagai pendidik iman, saksi iman, dan penanggung jawab
pembinaan iman. Mereka diandaikan mampu secara sungguh-sungguh
memberikan kesaksian pengalaman hidup konkret kepada para siswa agar dapat
diteladani. Namun, tugas sebagai guru PAK tidak sesederhana itu; tugas tersebut
tidak dapat dilaksanakan layaknya guru bidang studi lain. PAK lebih menekankan
pemahaman, perencanaan dan pengorganisiran serta pertanggungjawaban demi
perubahan anak didik sehingga dapat memgembangkan hidup beriman mereka.
Mengingat begitu kompleks dan strategisnya peran guru PAK ini berarti mereka
harus memiliki kemampuan dalam menggunakan beragam model atau metode
mengajar dalam menstimulasi keinginan belajar siswanya. Model-model
pengajaran dan pembelajaran diperlukan karena masih banyaknya guru yang
bingung dalam memilih model atau metode dalam mengajar (Huda, 2014).
Spesifikasi pembelajaran dan pengajaran akan meningkat seiring kebutuhan siswa
yang semakin beragam dari hari ke hari. Perlunya penguasaan atas beragam model
seperti tersebut juga untuk merespon berbagai perubahan era yang selalu manusia
alami.1 Pemaparan berikut memerlihatkan betapa kompleksnya tugas seorang guru
PAK.
Dalam kehidupan beragama dan beriman, pendidikan iman mempunyai peran
dan tempat yang utama. Perkembangan hidup beriman pertama-tama dipandang
sebagai karya Allah yang menyapa dan membimbing anak menuju kesempurnaan
hidup berimannya. Untuk itu, manusia dapat membantu perkembangan hidup
beriman anak dengan menciptakan situasi yang memudahkan semakin erat dan
mesranya hubungan antara anak dan Allah. Dengan demikian, pendidikan iman
tidak dimaksudkan untuk mencampuri secara langsung perkembangan hidup
beriman anak yang misteri, tetapi untuk menciptakan situasi dan iklim kehidupan
yang membantu serta memudahkan perkembangan iman anak.2 Salah satu bentuk
dan pelaksanaan pendidikan iman adalah kegiatan yang dilaksanakan secara

1
Berbagai faktor, temuan teknologi baru yang memicu revolusi Industri juga sangat
mempengaruhi sistem pendidikan di eranya: Yunani-Kuno, Romawi, Renaissance – humanisme
(1450-1600), realisme, rasionalisme, pendidikan sosial, peralihan (kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknik abad ke-19), dan pendidikan dunia ketiga.
2
Di sini “perkembangan” menjadi kata kunci.

2
formal dalam konteks sekolah yang disebut pelajaran agama. Dalam konteks
agama Katolik, kegiatan tersebut dinamakan Pendidikan Agama Katolik (PAK).
Hal itu sebagai realisasi tugas dan perutusan untuk menjadi pewarta dan saksi
Kabar Gembira Yesus Kristus.
Melalui PAK peserta didik dibantu dan dibimbing agar semakin mampu
memperteguh iman terhadap Tuhan sesuai ajaran Katolik dengan tetap
memerhatikan dan mengusahakan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan
lain. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan antarumat beragama yang
harmonis dalam masyarakat Indonesia yang plural. Dengan kata lain, PAK
bertujuan membangun hidup beriman Kristiani peserta didik. Membangun hidup
beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan terhadap Injil Yesus Kristus
sehingga terwujud Kerajaan Allah dalam hidup manusia. PAK adalah usaha yang
dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan agama Katolik. Hal ini dilakukan dengan tetap
memerhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan
antarumat beragama. Dapat dikatakan bahwa PAK di sekolah merupakan salah
satu usaha untuk memampukan peserta didik berinteraksi/berkomunikasi,
memahami, menggumuli dan menghayati iman. Dengan kemampuan berinteraksi
antara pemahaman iman, pergumulan iman dan penghayatan iman diharapkan
iman peserta didik semakin diperteguh.
Di sisi lain, penyelenggaraan PAK pada dasarnya bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan membangun hidup yang semakin beriman. Artinya,
membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus. Perlu juga untuk diketahui bahwa
ruang lingkup pembelajaran PAK mencakup empat aspek yang memiliki
keterkaitan satu sama lain. Keempat aspek tersebut adalah pribadi peserta didik,
Yesus Kristus, Gereja, dan masyarakat. Terkait pendekatan pembelajaran PAK
yang merujuk kepada Kurikulum 2013 (K-13) adalah pendekatan saintifik.
Pendekatan ini harus melalui proses 5 M, yakni mengamati, menanya,
mengeksplorasi, mengasosiasikan dan mengkomunikasikan (Wibawa dan Maman
Sutarman, 2017).3 Meskipun merupakan salah satu ciri K-13, pendekatan ini
bukanlah pendekatan satu-satunya. Dalam kegiatan pembelajaran, guru dapat
menggunakan berbagai pendekatan dan pola pembelajaran yang lain sesuai
karakteristik mata pelajaran. Selain pendekatan saintifik, pembelajaran PAK juga
menggunakan pendekatan kateketis. Pendekatan kateketis ini berorientasi pada
pengetahuan yang tidak lepas dari pengalaman, sesuatu yang menyentuh
pengalaman hidup peserta didik. Adapun tahapan pendekatan kateketis meliputi
hal-hal berikut: 1) menampilkan fakta dan pengalaman manusiawi yang membuka
pemikiran atau yang dapat menjadi umpan, 2) menggumuli fakta dan pengalaman
manusiawi secara mendalam dan meluas dalam terang Kitab Suci, 3) merumuskan
nilai-nilai baru yang ditemukan dalam proses refleksi sehingga terdorong utuk
menerapkan dan mengintegrasikannya dalam hidup.

3
Pendekatan pembelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK). Namun, menerapkan pendekatan
‘saintifik’ dalam ilmu keagamaan bukanlah perkara gampang, jika tidak dapat dikatakan tidak
mungkin.

3
Dalam proses pembelajaran PAK di sekolah, salah satu hal yang harus
dipertimbangkan adalah tahap perkembangan kognitif peserta didik. Menurut
Piaget, tahap perkembangan kognitif adalah seperti berikut:

Tabel 1
Tahap Perkembangan Kognitif menurut Piaget

Periode Usia Deskripsi Perkembangan


1. Sensorimtor 0-2 tahun Pengetahuan anak diperoleh melalui interaksi
fisik, baik dengan orang atau objek (benda).
Skema-skemanya baru berbentuk refleks-refleks
sederhana, seperti menggenggam atau
menghisap.
2. Praoperasional 2-6 tahun Anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk
mempresentasikan dunia (lingkungan) secara
kognitif. Simbol-simbol itu seperti kata-kata dan
bilangan yang dapat menggantikan objek,
peristiwa dan kegiatan (tingkah laku yang
tampak).
3. Operasi Konkret 6-11 tahun Anak sudah dapat membentuk operasi-operasi
mental atas pengetahuan yang mereka miliki.
Mereka dapat menambah, mengurangi dan
mengubah. Operasi ini memungkinkan untuk
dapat memecahkan masalah secara logis.
4. Operasi Formal 11 tahun Periode ini merupakan operasi mental tingkat
hingga dewasa tinggi. Di sini anak (remaja) sudah dapat
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
hipotesis atau abstrak, tidak hanya dengan
objek-objek konkret. Remaja sudah dapat
berpikir abstrak dan memecahkan masalah
melalui pengujian semua alternaltif yang ada.
Sumber: Yusuf LN (2012)4

Piaget dalam teori perkembangannya memerlihatkan bahwa anak pada usia 11


tahun sudah memiliki kemampuan untuk memahami dan memvisualisasasikan
pemikiran mereka dengan baik. Bertepatan dengan itu terlihat bahwa pelajar pada
jenjang pendidikan SMP adalah mereka yang telah berusia di atas 11 tahun.
Dengan demikian, diandaikan bahwa pada tingkat SMP pembelajaran PAK sudah
dapat dilaksanakan secara maksimal. Di sisi lain, merujuk kepada kurikulum
sebelumnya yang berbasis kompetensi terlihat bahwa orientasinya tidak lagi
terlalu pada materi, tetapi lebih pada kompetensi.5

4
Yusuf LN, Syamsu 2016, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja
Rosdakarya, hal. 6.
5
Masih merujuk kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Selain itu,
berbeda dengan Kurikulum PAK SD (bersifat spiral, tema yang sama muncul setiap tahunnya),
Kurikulum PAK SLTP dan SMU justru bersifat linier.

4
Di era komunikasi digital ini tantangan bagi para pendidik PAK juga semakin
berat.6 Tesis atau teori psikolog kontemporer terkait perkembangan psikologis
anak bisa dipertanyakan kembali. Hal ini dihadapkan pada realitas bahwa
sekarang dan ke depannya guru PAK akan mendidik mereka yang disebut sebagai
generasi milenial sebagai „homo digitalis‟. Beban yang ditaruh di pundak para
guru PAK – guru agama pada umumnya – menjadi lebih berat dan kompleks. Di
sisi lain, bisa dipertanyakan ulang apakah komunikasi digital membuat manusia
menjadi bebih manusiawi. Jika ponsel pintar di tangan bagai tongkat sihir yang
dapat menghadirkan pizza, tukan pijat, taksi atau barang dari toko daring (dalam
jaringan; online) dalam beberapa menit, tentu ponsel itu memanusiawikan dan
bahkan mendewakan penggunanya. Namun, hal itu belum tentu terjadi dengan
mereka yang dipanggilnya. Dewasa ini, di senja kala modernitas, keadaan telah
berubah sangat drastis. Negara hukum berdiri tegak dan kelihatannya kokoh,
tetapi perubahan yang sangat cepat sedang menggerogoti Deus Mortalis7 ini dari
dalam. Tidak ada darah yang tumpah, tak ada bau mesiu. Yang terjadi adalah
suatu pandemik hoaks dengan plintiran kebenciaan yang memicu konflik
horizontal. Demagogi rasis dan orasi kebencian dilolongkan kencang-kencang dari
revolusi digital yang terlihat senyap itu. Dari klik pada gawai (gadget) dipiculah
kekacauan baru, digital state of nature.8
Dalam menyikapi perubahan drastis ini sepertinya perlu dilontarkan
pertanyaan: siapakah manusia di era digital? Dalam Homo Digitalis (2017),
Rafael Capuro, seorang filsuf teknologi yang saat ini mengajar di Karlruhe Jerman
menjelaskan bagaimana perkembangan teknik digital dewasa ini telah
mengharuskan filsafat kontemporer untuk memikirkan ulang ontologi,
antropologi, dan etika di era digital. Perubahan besar dalam komunikasi ini
tentulah mengubah tidak hanya gaya hidup manusia, melainkan juga pemahaman
manusia tentang realitas, tentang dirinya, dan juga tentang baik dan buruk.
Komunikasi dan bahasa memang merupakan ciri manusia yang mendasar.

6
Lih. Hardiman, F. Budi 2018. Homo Digitalis: Kondisi Manusia di Era Komunikasi Digital.
Makalah ini disampaikan kepada para undangan Seminar Dies Natalis ke-49 Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara (STFD) dengan tema “Etika Komunikasi Digital – Membela Moralitas dalam
Prahara Politik Pascakebenaran”, dilaksanakan di Aula STFD, 24 Februari 2018.
7
Sebutan Thomas Hobbes untuk negara sebagai “Allah yang dapat mati”.
8
“Kondisi asli digital” sebagai “dunia baru tanpa negara”, istilah yang diambil dari Hobbes, yakni
“state of nature” (keadaan asli) manusia, ketiadaan kebebasan manusia. Era komunikasi digital ini
juga menjadi salah satu ciri yang oleh Klaus Schwab – pendiri dan ketua Forum Ekonomi Dunia –
disebut Revolusi Industri 4.0. Revolusi Industri ini ditandai oleh sistem fisik cyber (cyber physical
system). Cyber physical system adalah sistem cerdas yang meliputi rekayasa interaksi jaringan
komponen fisik dan komputasi. Sebuah mekanisme yang dikontrol atau dimonitor oleh algoritma
berbasis computer (computer-based algorithms), terintegrasi secara ketat dengan internet dan
penggunanya. Selain itu, revolusi tersebut juga didahului oleh revolusi-revolusi sebelumnya,
yakni Revolusi Industri 1.0 ditandai oleh mekanisasi, tenaga air, tenaga uap; Revolusi Industri 2.0
ditandai oleh produksi massal, assembly line/perakitan, listrik (awal abad ke-20); Revolusi Industri
3.0 ditandai oleh komputer dan otomatisasi (awal 1970-an); lih. Nugraha, Dadan 2018.
Transformasi Sistem Revolusi Industri 4.0. Makalah ini disampaikan pada Workshop
Technopreneurship "Road to TBIC 2019”, 30 September 2018.

5
Tidaklah mengherankan bahwa perubahan dari komunikasi korporeal ke
komunikasi digital mengubah ciri mendasar tersebut.9
Dahulu, dalam masyarakat pradigital, Aristoeles menyebut manusia zoon
logon echon, makhluk pemakai bahasa. Waktu itu penutur hadir ragawi bagi
pendengar. Di era digital keduanya telepresen.10 Manusia hanyalah sebuah
komponen sistem media komunikasi. Ia tampaknya memakai media, tetapi
sebenarnya ia sendiri adalah media (komunikasi). Hal tersebut menjadi demikian
karena dalam sebuah jejaring anonim komunikasi digital manusia hanyalah
penyalur pesan dari internet of things.11 Makhluk yang dikendalikan media,
berfungsi sebagai media, dan mengadaptasi iklim teknologi digital ini dapat
disebut sebagai homo digitalis. Christian Montag misalnya mempertanyakan
kemungkinan berubahnya spesies homo sapiens secara hakiki akibat keterlibatan
terus menerus dengan dunia digital. Montag juga mempertanyakan kemungkinan
simbiosis homo sapiens yang lebih kuat dengan teknik digital. Montag
berkesimpulan bahwa hasil akhir perkembangan simbiosis itu adalah
kemungkinan peralihan dari homo sapiens ke homo digital.
Sebelumnya masyarakat itu satu sebagai masyarakat korporeal yang terdiri
atas orang-orang. Di era digital manusia hidup juga dengan masyarakat tambahan
berupa digital beings, seperti grup Whatsapp, Twitter, facebook, Instagram dst.
Kehadiran terpecah ke dalam dua masyarakat, yakni digital dan korporeal.
Kadang sulit menentukan apakah mitra komunikasi kita sedang presen atau
telepresen.12 Tubuhnya memang hadir saat ini di sini, tetapi keterlibatannya saat
ini tidak di sini, melainkan di sana, di dalam komunitas virtualnya. Dalam arti
tertentu „schizophrenia‟ menjadi cara berada digital. Dualisme kehadiran ini bisa
saling mengkhianati. Orang tidak bisa sungguh yakin bahwa rapat yang sedang
berlangsung tidak sedang disabotase oleh rapat digital lewat ponsel para peserta.
Inilah era ketika pesan lebih penting dari pengirimnya. Dalam masyarakat
informasi, sebagaimana dinyatakan oleh Niklas Luhman, bukan orang-orang yang
berkomunikasi, tetapi komunikasi berkomunikasi dengan komunikasi karena
sirkulasi pesan-pesan lepas dari para pencetusnya. Dulu di era Romantik lahir
distingsi antara alam pertama (alam yang belum diolah) dan alam kedua (alam
kebudayaan). Era digital adalah alam ketiga yang lahir dari alam kedua.
Perbatasan antara alam, teknologi, dan eksistensi manusia masih ada, tetapi makin
subtil, sehingga batas antara originalitas dan artifisialitas makin kabur. Dunia
maya adalah artifisal, tetapi juga seklaigus orisinal, jika dalam praktiknya telah
menjadi lingkungan eksistensial homo digitalis.
Dalam ruang digital tidak ada urutan zaman, status sosial, dan hierarki nilai.
Yang privat itu publik, yang publik itu privat. Satu atau banyak sulit diputuskan
karena tiap pengguna media sosial bisa memiliki ribuan pemirsa. Segala yang
privat potensial menjadi yang politis karena pengunggahan konten-konten privat

9
Korporeal berarti jasmani, berwujud fisik.
10
Penutur dan pendengar tidak hadir secara ragawi/fisik.
11
Isitlah ini mengacu kepada interkoneksi (kesalingketerhubungan) digital kehidupan sehari-hari
manusia dengan kulkas, TV, mesin fotocopy, mobil, rumah hingga kantor dengan internet
(Chrsitian Montag, 2018).
12
‘Presen’ berarti hadir secara jasmani/fisik, ‘telepresen’ sebaliknya.

6
yang dibaca publik akan membuatnya politis. Begitu juga setiap saat peristiwa
media yang berisi pesan-pesan politis segera menyusupi setiap kamar rahasia
ruang privat. Karier pesan dalam ruang digital dapat dicapai hanya sejauh satu
klik asalkan provokatif. Menyendiri dan berkerumun sulit dibedakan karena
kerumunan berceloteh dalam gawai yang digenggam seseorang, bahkan ketika ia
sendirian. Sensasi, bukan rasionalisasi, menjadi asas kreativitas. Takhayul
menjadi masuk akal asalkan sensasional. Sentimentalisasi publik mulai dari bilik
yang paling intim. Hal-hal privat, seperti agama, ras, bahkan seks, menjadi
stereotip. Di era digital ini radikalisme dipupuk dari gawai para peternak massa
tanpa demagogi di auditorium; setiap gawai bisa menjadi ruang indoktrinasi.
Kebiadaban baru yang berseliweran di ruang digital itu tentu menggema ke
dalam demokrasi. Kebencian dan prasangka yang berinkubasi terus dipupuk
dengan plintiran logika pasca-kebenaran (post-truth) menginfeksi organisme
sosial nyata.13 Pentolan tidak perlu lagi menyebar plakat subversif atau pun
mengundang massa ke lapangan. Lewat satu klik tindakan digital sambil
menyeruput kopi di warteg, mob terbentuk, provokasi diberikan, aksi massa
dilancarkan untuk sabotase pemilu, atau melakukan persekusi. Betapa mudahnya
di era hoaks ini untuk melakukan subversi atas demokrasi dan menggerogoti
negara hukum dari dalam. Revolusi digital mengubah lanskap politis
kontemporer. Ideal-ideal politis yang konvensional ditantang. Istilah-istilah seperti
sharing economy, e-government, online-learning, dst akan semakin sering
terdengar. Masyarakat semakin terinterkoneksi secara digital; hal itu dapat
mempercepat banyak proses yang selama ini terkendala oleh ruang dan waktu.
Kata haus kebenaran kiranya kurang tepat untuk saat ini. Untuk para pengguna
gawai saat revolusi digital kata yang lebih tepat adalah haus informasi.
Kelimpahan informasi tidak membuat orang tenang. Ada jurang yang makin lebar
antara apa yang ia mengerti dan apa yang ia kira harus ia mengerti. Dari
kesenjangan inilah muncul suatu perasaan khas yang tidak dimiliki manusia di era
lain. Untuk itu Capurro menyebutnya informationsangst (kecemasan informasi).
Tipe kecemasan ini berupa kecenderungan kerumunan untuk tahu sesuatu agar
tidak tertinggal dari yang lain. Artinya, hal itu bukan didorong untuk mencari
kebenaran, melainkan suatu gairah mimetis primordial.14
Dahulu dalam masyarakat pradigital orang berpandangan bahwa media,
seperti radio, TV, atau Koran, adalah bayang-bayang dalam gua Plato sebagai
sesuatu yang bukan kenyataan. Dewasa ini ketika media menjadi omnipresen,
pembedaan itu makin kabur.15 Setiap pemakai gawai hidup dalam gua masing-

13
Post-truth berarti bahwa fakta alternatif menggantikan fakta faktual, dan perasaan lebih
menentukan ketimbang bukti. Istilah post-truth digunakan pertama kali tahun 1992. Istilah itu
digunakan oleh Steve Tesich di majalah The Nation ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan
kasus Iran yang terjadi di kala itu. Selain itu, Ralph Keyes dalam bukunya The Post-truth Era
(2004) dan komedian Stephen Colber mempopulerkan istilah truthiness yang kurang lebih
sebagai sesuatu yang seolah-olah benar, meski tidak benar sama sekali. Selain ditandai dengan
merebaknya berita hoax di media sosial, era post-truth juga ditandai dengan kebimbangan media
dan jurnalisme, khususnya dalam menghadapi pernyataan-pernyataan bohong dari para politisi.
14
Sebatas ikut trend.
15
‘Omnipresen’ berarti media seolah-olah mampu menampilkan ‘realitas seutuhnya’.

7
masing dan meyakini kebenarannya masing-masing. Hal ini memerlihatkan bahwa
tidak ada gunanya membedakan antara di dalam dan di luar gua jika ada begitu
banyak gua tempat manusia merasa cukup diri dengan dunia informasinya.
Sebelum gawai menengahi komunikasi, kebenaran disampaikan lewat kehadiran
korporeal sehingga berada dalam kontrol pengirim pesan. Tidak demikian dengan
komunikasi digital. Gawai memediasi kebenaran dengan sistem digital. Sistem itu
sendiri bukan media netral karena sirkulasi dan seleksi di dalamnya membangun
konstruksi makna tertentu yang berbeda dari intensi pencetusnya. Media ikut
menggerus makna yang disampaikan pengirim sehingga tidak lagi diterima oleh
penerima sebagaimana dimaksud pengirim. Pemaparan singkat mengenai „era
digital‟ ini paling tidak dapat memberi gambaran betapa bahwa para pendidik –
khususnya guru PAK – sedang dan akan menghadapi suatu generasi yang begitu
berbeda dari sebelumnya, dan perubahan-perubahan lain sebagai turunannya
sangat mungkin untuk terjadi selang waktu yang singkat.

Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi beragam
model pengajaran dan pembelajaran berikut kompleksitas penerapannya oleh para
guru PAK jenjang SMP di Kota Pontianak, yang meliputi;
1) Pengajaran dan pembelajaran yang dipraktikkan oleh para guru Pendidikan
Agama Katolik (PAK) pada jenjang SMP di Kota Pontianak;
2) Berbagai kendala yang dialami oleh para guru Pendidikan Agama Katolik
(PAK) dalam menerapkan model pengajaran dan pembelajaran pada jenjang
SMP di Kota Pontianak;
3) Sejauhmana kebutuhan para siswa terhadap spesifikasi pembelajaran dan
pengajaran PAK.
Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, seperti
berikut ini:
1) Guru PAK
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rujukan bagi para guru PAK
untuk meningkatkan profesionalisme sebagai guru agama Katolik yang
berintegritas dan kapabel. Dalam hal ini juga membantu mereka untuk melakukan
evaluasi dalam menggunakan model seturut kebutuhan siswa di lapangan.
2) Para siswa
Dampak penelitian ini juga dapat dirasakan oleh para siswa di mana mereka
akan mempunyai pengalaman belajar yang bervariasi dan bermutu sehingga
membantu mereka untuk menjadi pribadi yang berkompeten, tidak hanya secara
mental tetapi juga spiritual.
1) Dinas Pendidikan
Melalui penelitian ini teridentifikasi beragam model pengajaran dan
pembelajaran yang digunakan oleh para guru PAK di Kota Pontianak. Melalui
penelitian ini dapat terpetakan penggunaan berbagai model pengajaran oleh para
guru PAK berikut kendala-kendalanya. Hasil pemetaan ini sangat bermanfaat bagi
evaluasi pengajaran dan pembelajaran PAK jenjang SMP di Kota Pontianak

8
Tinjauan Pustaka
Pengajaran
Pengajaran dapat diartikan sebagai praktik menularkan infromasi untuk
proses pembelajaran. Praktik inin bisa dipahami dengan berbagai cara. Pengajaran
merupakan gaya penyampaian dan perhatian terhadap kebutuhan para
pembelajar/siswa yang diterapkan di ruang kelas atau lingkungan mana pun di
mana pembelajaran itu terjadi. Pengajaran merupakan fasilitas pembelajaran
(teaching is the facilitation of learning). Agar pengajaran menjadi lebih efektif
dan afektif, pembelajar seharusnya dipahami lebih dari sekadar penerima pasif
pengetahuan, melainkan seseorang yang secara aktif terlibat dalam proses
pembelajaran yang diarahkan oleh guru menuju lingkungan kelas yang nyaman
dan kondusif (Dunn dan Dunn dalam Huda, 2014).
Di sisi lain, yang membuat pengajaran menjadi efektif adalah bagaiamana
guru berusaha menjadi panutan (modeling) dengan memerlihatkan kepribadian
dan sikapnya yang positif, berpengalaman dalam mengajar, cakap dalam
menayampaikan informasi, reflektif, motivatoris, dan bergairah untuk turut beajar
(Borish dalam Huda, 2014). Selain itu, keseriusan siswa dalam belajar sangatlah
bergantung pada siapa gurunya, bagaimana pemikiran, gagasan, opini, penilaian,
dan perasaan yang dibawanya. Paling tidak ada lima sikap kognitif guru yang
sangat menentukan proses pembelajaran siswa (Schiering dan Bogner dalam
Huda, 2014). Pertama, pemikiran. Hal ini menyangkut respon langsung secara
sadar terhadap refleksi yang melibatkan memori. Kedua, gagasan. Prediksi
terhadap respons atau spekulasi yang didasarkan pada reaksinya terhadap
perspektif seseorang. Ketiga, opini. Ini merupakan kombinasi antara pemikiran
dan gagasan yang menghasilkan konsep tertentu. Keempat, penilaian. Pemikiran,
gagasan, dan opini konkret yang dipengaruhi oleh memori dan didasarkan pada
refleksi tentang pengalaman masa lalu. Kelima, perasaan. Respons sensorik
dan/atau emosional terhadap stimulus yang sifatnya deskriptif atau klasifikatoris.

Pembelajaran
Pandangan yang sudah berlangsung lama yang menempatkan pembelajaran
sebagai proses transfer informasi (transfer of knowledge) dari guru kepada siswa
semakin banyak mendapat kritikan. Penempatan guru sebagai satu-satunya
informasi menempatkan siswa atau peserta didik tidak sebagai indvivdu yang
dinamis, akan tetapi lebih sebagai objek yang pasif sehingga potensi-potensi
keindividualannya tidak dapat berkembang secara optimal. Ketidaktepatan
pandangan ini juga semakin terasa jika dikaji dari pesatnya perkembangan arus
informasi dan media komunikasi yang sangat memungkinkan siswa secara aktif
mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan. Dalam hal ini guru
hendaknya dapat memberikan dorongan dan arahan kepada siswa untuk mencari
berbagai sumber yang dapat membantu peningkatan pengetahuan dan pemahaman
mereka tentang aspek-aspek yang dipelajari (Aunurrahman, 2016).
Melalui proses pembelajaran guru dituntut untuk mampu membimbing dan
memfasilitasi siswa agar mereka dapat memahami kekuatan serta kemampuan
yang mereka miliki untuk selanjutnya memberikan motivasi agar siswa terdorong
untuk bekerja atau belajar sebaik mungkin untuk mewujudkan keberhasilan

9
berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Untuk dapat memfasilitasi agar
siswa dapat lebih mengenal kemampuannya langkah awal yang perlu dilakukan
guru adalah berusaha mengenal siswanya dengan baik. Guru perlu mengenal lebih
mendalam tentang bakat, minat, motivasi, harapan-harapan siswa serta beberapa
dimensi khusus kepribadiannya. Dalam kegiatan pembelajaran, guru dituntut
untuk memiliki sikap terbuka dan sabar agar dengan hati yang jernih dan rasional
dapat memahami siswanya (Aunurrahman, 2016).
Pembelajaran dapat dikatakan sebagai hasil dari memori, kognisi, dan
metakognisi yang berpengaruh terhadap pemahaman. Hal inilah yang terjadi
ketika seseorang sedang belajar, dan kondisi ini juga sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari karena belajar merupakan proses alamiah setiap orang.
Pembelajaran bukanlah aktivitas, sesuatu yang dilakukan seseorang ketika ia tidak
melakukan aktivitas yang lain. Pembelajaran juga bukanlah sesuatu yang berhenti
dilakukan oleh seseorang. Lebih dari itu, pembelajaran bisa terjadi di mana saja
dan pada level yang berbeda-beda secara indvivdual, kolektif, ataupun sosial.
Salah satu bentuk pembelajaran adalah pemrosesan informasi. Hal ini bisa
dianalogikan dengan pikiran pikiran atau otak yang berperan layaknya computer
di mana ada input dan penyimpanan informasi di dalamnya. Yang dilakukan oleh
otak adalah bagaimana memeroleh kembali materi informasi tersebut, baik berupa
gambar maupun tulisan. Dengan demikian, dalam pembelajaan seseorang perlu
terlibat dalam refleksi dan penggunaan memori untuk melacak apa saja yang harus
diserap, disimpan dalam memori, dan bagaiaman menilai informasi yang telah
diperoleh (Glass dan Holyoak dalam Huda, 2014). Bentuk lain dari pembelajaran
adalah modifikasi. Modifikasi seringkali diasosiasikan dengan perubahan. Para
behavoris akan menganggap pembelajaran sebagai perubahan dalam tindakan dan
perilaku seseorang. Misalnya, ada perubahan sikap dalam diri seeorang ketika ia
berhasil menggunakan kuas dengan baik dalam menggambar atau mampu
menggunakan mikroskop dengan benar selama proses eksperimen (Huda, 2014).
Kesuksesan seringkali membuat seseorang cenderung mengubah pola
pendekatan dalam dalam belajar. Meskipun demikian, kegagalan juga bisa
menjadi alasan atas perubahan atau modifikasi tersebut. Misalnya, ketika ggal
menggunakan kuas dengan baik saat menggambar atau gagal menggunakan
mikroskop dengan benar selama proses eksperimen, maka seseorang akan
cenderung mengubah pendekatan dalam menggunakan instrument-instrumen
tersebut. Meskipun berhasil sekalipun, seseorang juga tak jarang melakukan
perubahan pada pendekatan untuk memperoleh pencapaian yang berbeda. Dengan
demikian, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses modifikasi dalam kapasitas
manusia yang bisa dipertahankan dan ditingkatkan levelnya (Gagnes dalam Huda,
2014). Selama proses ini seseorang bisa memilih untuk melakukan perubahan atau
tidak sama sekali terhadap apa yang ia lakukan. Ketika pembelajaran diartikan
sebagai perubahan dalam perilaku, tindakan, cara, dan performa, maka
konsekuensinya jelas: seseorang bisa mengobservasi, bahkan memverifikasi
pembelajaran itu sendiri sebagai objek.
Jika pembelajaran tidak didefinisikan dengan merujuk kepada perubahan
tingkah laku, maka akan sangat sulit untuk mengetahui bagaiaman proses
pembelajaran itu berlangsung. Meski demikian, menghubungkan pembelajaran

10
dan perubahan tingkah laku juga seringkali menimbulkan dilema tersendiri terkait
dengan bagaimana mengukur kapan dan seperti apa pembelajaran itu terjadi saat
merespon lingkungan sekitarnya, atau metode apa yang seharusnya digunakan
ketika memberi instruksi. Beberapa teoretikus juga melihat adanya kelemahan
dalam definisi pembelajaran sebagai perubahan perilaku karena definisi ini tidak
bisa menjelaskan secara meyakinkan elemen-elemen penting dalam pembelajaran
itu sendiri. hilgard dan Bower dalam Huda (2014) berpendapat bahwa kontroversi
mengenai pembelajaran pada hakikatnya adalah perdebatan mengenai fakta-fakta,
interpretasi atas fakta-fakta, dan bukan definisi istilah pembelajaran itu sendiri.
Namun, hampir semua orang sepakat bahwa pembelajaran berkaitan erat dengan
pemahaman. Artinya, pembelajaran tidak hanya melibatkan interpretasi berbasis
fakta, tetapi juga merepresentasikan pemahaman terapan. Singkatnya,
pembelajaran merupakan konsep yang terbuka dan lepas. Ketika seseorang
berusaha memahami operasi-operasi kompleks proses pembelajaran, praktik
pembelajaran itu sendiri sebenarnya telah didefinisikan dengan cara yang berbeda-
beda (Huda, 2014).
Tampaknya ada dua definisi yang cukup mewakili berbagai perspektif
teoretis terkait dengan praktik pembelajaran. Pertama, pembelajaran sebagai
perubahan perilaku. Misalnya, ketika seorang pembelajar yang awalnya tidak
begitu perhatian dalam kelas ternyata berubah menjadi sangat perhatian. Kedua,
pembelajaran sebagai perubahan kapasitas. Misalnya, ketika seorang pembelajar
yang awalnya takut pada pelajaran tertentu ternyata berubah menjadi seseorang
yang sangat percaya diri dalam menyelesaikan pelajaran tersebut. Dengan
menggunakan teori pembelajaran tertentu perubahan dapat dilihat dari berubahnya
tindakan atau kesadaran seseorang yang berpengaruh terhadap perilaku atau
kapasitasnya dalam belajar. Selain itu, proses pembelajaran pada umumnya
dipercaya sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Ketika
interaksi semacam ini terjadi sangat intens, di situlah stimulus respon akan
berlangsung, dan pada saat itulah interaksi yang lebih sadar dengan lingkungan
tersebut mulai terjadi (Huda, 2014).
Mengenai bagaimana pembelajaran terjadi dan faktor-faktor yang
memengaruhi proses belajar sehingga menjadi efektif adalah sesuatu yang
menarik untuk diketahui. Hauster dan Nordkvelle dalam Huda (2014) mengatakan
bahwa pembelajaran merefleksikan pengetahuan konseptual yang digunakan
secara luas dan memiliki banyak makna yang berbeda-beda. Ada beberap konsep
mengenai pembelajaran yang seringkali menjadi fokus riset dan studi selama ini.
Pertama, pembelajaran bersifat psikologis. Dalam hal ini pembelajaran
dideskripsikan dengan merujuk kepada apa yang terjadi dalam diri manusia secara
psikologis. Ketika pola perilakunya stabil, proses pembelajaran dapat dikatakan
berhasil. Kedua, pembelajaran merupakan proses interaksi antara individu dan
lingkungannya. Artinya, proses-proses psikologis tidak terlalu banyak tersentuh di
sini. Ketiga, pembelajaran merupakan produk dari lingkungan eksperiental
seseorang terkait dengan bagaimana ia merespon lingkungan. Hal ini sangat
berkaitan dengan pengajaran di mana seseorang akan belajar dari apa yang
diajarkan padanya. Singkatnya, pembelajaran merupakan fenomena kompleks
yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Ia merupakan rekonstruksi pengalaman

11
masa lalu yang berpengaruh terhadap perilaku dan kapasitas seseorang atau suatu
kelompok (Huda, 2014).

Paradigma Konstruktivisme dalam Pembelajaran


Adanya perubahan-perubahan paradigm dan pandangan pendidikan berarti ada
tuntutuan terhadap proses pembelajaran yang menuntut terjadinya proses
pemberdayaan diri dan pengembangan potensi-potensi peserta didik secara
holistic melalui proses pembelajaran yang dilakukan setiap guru. Pergeseran
paradigm pembelajaran yang sebelumnya lebih menitikberatkan pada peran guru,
fasilitator, instruktur yang sedemikian besar, dalam perjalanannya semakin
bergeser pada pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif
dan partisipasi dalam kegiatan belajar. Berkembangnya konstruktivisme tidak
terlepas dari perubahan pandangan sebelumnya yang menempatkan pengetahuan
sebagai representasi kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat. Pengetahuan
hanya kumpulan fakta. Namun, perkembangan di bidang sain memerlihatkan
bahwa pengetahuan tidak terlepas dari subjek yang sedang belajar mengerti
(Suparno dalam Aunurrahman, 2016). Pengetahuan dipandang sebagai suatu
proses pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus berkembang dan berubah.
Konstruktivisme merupakan respons terhadap berkembangnya harapan-
harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang mengingkan peran aktif
siswa dalam merekayasa dan memrakarsai kegiatan belajarnya sendiri.
konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan itu adalah konstruksi
(bentukan) manusia itu sendiri (von Glasserfeld dan Matthews dalam
Aunnurrahman, 2016). Menurut von Glasserfeld dalam Aunurrahman (2016),
pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari suatu kenyataan (realitas), tetapi akibat
dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang. Melalui proses belajar yang
dilakukan seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur
pengetahuan yang diperlukan untuk suatu pengetahuan tertentu. Oleh karena itu,
pengetahuan bukanlah tentang dunia yang lepas dari pengamat, akan tetapi hasil
konstruksi pengalaman manusia sejauh yang dialaminya. Menurut Piaget dalam
Ainurrahman (2016), pembentukan ini tidak pernah mencapai titik akhir, akan
tetapi terus menerus berkembang setiap kali mengadakan reorganisasi karena
adanya suatu pemahaman yang baru.
Konstruktivisme ini berimplikasi pada pemahaman mengenai belajar. Pertama,
belajar berarti membentuk makna. Makna dalam hal ini merupakan hasil bentukan
siswa sendiri yang bersumber dari apa yang mereka lihat, rasakan, dan alami.
Konstruksi dalam artian ini terkait dengan pengertian yang telah seseorang miliki.
Kedua, konstruksi berarti adanya suatu proses yang berlangsung secara dinamis.
Setiap kali seseorang berhadapan dengan fenomena atau pengalaman-pengalaman
baru, siswa melakukan rekonstruksi. Ketiga, secara substansial belajar bukanlah
aktivitas menghimpun fakta atau informasi, akan tetapi lebih kepada upaya
pengembangan pemikiran baru. Belajar bukan merupakan hasil perkembangan itu
sendiri (Fosnot dalam Ainurrahman, 2016). Suatu perkembangan yang menuntut
penemuan dan pengaturan kembali pemikiran-pemikiran seseorang. Keempat,
proses belajar yang sebenarnya terjadi ketika skema pemikiran seseorang dalam
keraguan yang menstimulir pemikiran-pemikiran lebih lanjut. Kelima, hasil

12
belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa tentang lingkungannya. Keenam dan
terakhir, hasil belajar siswa tergantung dari apa yang telah ia ketahui, baik
berkenaan dengan pengertian, konsep, formula dll.
Konstruktivisme memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif siswa
dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, bukan merupakan
suatu kegiatan mekanistik untuk mengumppulkan informasi atau fakta. Itulah
sebabnya konstruktivisme menjadi landasan bagi beberapa teori belajar. Misalnya,
teori perubahan konsep, teori belajar bermakna, dan teori skema (Pannen, Mustafa
dan Sekarwinahyu dalam Ainurrahman, 2016). Proses belajar merupakan suatu
proses organik di mana seseorang menemukan sesuatu, bukan suatu proses
mekanik sekadar mengumpulkan fakta. Dalam pandangan konstruktivisme proses
belajar seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan yang dimiliki
seseorang bukanlah sesuatu yang sekali jadi, akan tetapi melalui suatu proses
dinamis yang berlangsung secara terus menerus. Namun, menurut pandangan
behavorisme, belajar lebih merupakan aktivitas pengumpulan informasi yang
diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan bagi konstruktivis pengetahuan itu
adalah kegiatan aktif siswa meneliti lingkungannya (Bettencourt dalam
Ainurrahman, 2016). Bagi behavoris, pengetahuan itu bersifat statis dan sudah
jadi, sedangkan bagi konstruktivis pengetahuan itu meruapakan suatu proses
menjadi. Mengajar bagi behavoris merupakan kegiatan mengatur lingkungan agar
dapat membantu belajar. Bagi konstruktivis mengajar berarti berpartisipasi dengan
siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan
kejelasan, bersikap kritis serta mengadakan justifikasi (Ainurrahman, 2016).

Mendefinisikan Ulang Pembelajaran


Istilah pembelajaran dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Salah
satu sudut pandang yang dianggap paling awal menyajikan konsepsi pembelajaran
adalah sudut pandang behavioristik. Berdasarkan teori ini, pembelajaran sering
dikatakan sebagai proses perubahan tingkalh laku siswa melalui pengoptimalan
lingkungan sebagai sumber stimulus belajar. Sejalan dengan banyaknya paham
behaviortistik yang dikembangkan para ahli, pembelajaran selanjutnya ditafsirkan
sebagai upaya pemahiran keterampilan melalui pembiasaan siswa secara bertahap
dan terperinci dalam memberikan respons para pengajar. Pembelajaran dalam
definisi ini menempatkan siswa pada posisi kurang menguntungkan karena siswa
dianggap kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki potensi individual
(Abidin, 2016).
Sudut pandang lain yang biasa digunakan untuk mendefinisikan
pembelajaran adalah teori kognitif. Berdasarkan teori ini pembelajaran
didefinisikan sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk
mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan siswa
dalam mengontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan
yang baik terhadap materi pelajaran. Berdasarkan pengeertian ini, pembelajaran
dapat dikatakan sebagai upaya guru untuk memberikan stimulus, bimbingan,
pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar. Pembelajaran
dalam definiisi ini bukanlah sebuah proses pemberian pengetahuan, melainkan

13
proses pembentukan pengetahuan oleh siswa dan untuk siswa melalui optimalisasi
kinerja kognitifnya. Oleh sebab itu, belajar sendiri dapat dikatakan sebagai proses
yang ditempuh siswa untuk memeroleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan
sikap dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya.
Pembelajaran mengandung dua karakteristik utama, yakni (1) proses
pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal yang menghendaki
aktivitas siswa untuk berpikir dan (2) pembelajaran diarahkan untuk memperbaiki
dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa yang pada giliranya dapat
membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri.

Metode Penelitian
Sebelum turun ke lapangan, terlebih dahulu tim peneliti menentukan sekolah-
sekolah yang akan diteliti. Dalam hal ini tim terbantu oleh daftar guru PAK dari
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Agama Katolik Tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Pada daftar itu tercantum pula sekolah-sekolah tempat
mengajar mereka. Akhirnya, tim memutuskan meneliti 11 SMP, terdiri dari 9
SMPN dan 2 SMP Swasta Katolik. Penentuan jumlah sekolah sudah barang tentu
didasarkan oleh beberapa pertimbangan dan kategori tertentu. Di Kota Pontianak
sendiri ada 76 SMP, baik negeri maupun swasta. Sebelum ke lapangan, tim telah
memberitahu guru PAK masing-masing sekolah melalui surat resmi. Bahkan, atas
masukan seorang kepala sekolah sebuah SMPN tim meminta izin kepada Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Kota Pontianak, dan izin pun diberikan
untuk meneliti 11 sekolah seperti tersebut.
Sebagai instrumen pengumpul data, tim juga menyiapkan pedoman
wawancara dan observasi. Penyusunan instrumen ini didasarkan pada rumusan
masalah dan teori. Tim penelitian ini dibagi dalam dua kelompok masing-masing
terdiri dari dua orang. Penelitian terhadap 11 sekolah ini dilakukan dalam waktu 6
hari. Kelompok pertama meneliti enam sekolah, sedangkan kelompok keduaa
meneliti lima sekolah. Hari pertama dilakukan penelitian terhadap SMPN 2,
SMPN, dan SMPN 3. Pada hari kedua dilakukan penelitian ke SMPN 13 dan
SMPN 19, sedangkan pada hari ketiga ke SMP Suster, dst.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan
Barat. Di Pontianak sendiri ada 76 SMP, di mana untuk Pontianak Selatan ada 15,
Pontianak Timur ada 8, Pontianak Barat ada 14, Pontianak Utara ada 15,
Pontianak Kota ada 16, dan Pontianak Tenggara ada 8, dengan rasio murid-guru
16,06. APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) dari
SMA tersebut berturut-turut adalah 84,89 dan 62,87 (BPS, 2018).

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data


Untuk pengumpulan data primer, peneliti menggunakan teknik Focused
Group Discussion (FGD) dan wawancara (interview). Melalui teknik wawancara
peneliti berusaha untuk mendapatkan keterangan lisan dari informan (guru, siswa,
dan pihak terkait lainnya).Wawancara dilakukan secara semiterstruktur, dibantu

14
oleh pedoman wawancara sebagai alat pengumpul data, namun berbagai
pertanyaan yang diajukan tidak dibatasi. Informan dipilih baik secara purposive
maupun snowball. Dalam upaya memperkuat data yang diperoleh, peneliti juga
melakukan observasi, baik terlibat (participant observant) maupun tidak, dan
pendokumentasian. Tahapan ini juga dibantu oleh pedoman observasi, fieldnotes
dan recording sebagai alat pengumpul data. Untuk pengumpulan data sekunder,
peneliti melakukan kajian literatur (library research) dan dokumentasi (perangkat
pembelajaran) dengan mengumpulkan data yang dianggap relevan.
Dalam penelitian ini data diperoleh dari berbagai sumber, dengan
menggunakan teknik pengumpulan data yang beragam (triangulasi), dan
dilakukan secara terus menerus hingga data jenuh. Selain itu, pengamatan – proses
belajar mengajar di kelas dan kegiatan MGMP – yang terus menerus bertujuan
agar variasi data menjadi tinggi. Analisis data dilakukan sejak memasuki
lapangan, selama di lapangan, dan setelah di lapangan. Sebelum memasuki
lapangan, analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan (data
sekunder). Data itulah yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian.
Meskipun demikian, fokus dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara,
dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan (Sugiyono, 2005).
Analisis lapangan dilakukan saat berlangsungnya pengumpulan data, dan setelah
selesainya pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara,
peneliti sudah harus melakukan analisis terhadap jawaban informan yang
diwawancarai. Bila – setelah dianalisis – jawaban informan belum memuaskan,
peneliti akan mengajukan pertanyaan lagi hingga pada tahap tertentu diperoleh
data yang kredibel. Penganalisisan dilakukan secara interaktif dan berlangsung
terus menerus hingga data jenuh.Aktivitas dalam analisis data meliputi reduksi
data (data reduction), penyajian data (data display), dan penyimpulan
(conclusion).

output:
outcome
input model pengajaran melalui FGD muncul
contextual dan pembelajaran kesadaran di kalangan
teaching, yang digunakan partisipan (guru PAK)
proses
contextual didominasi oleh – bahwa keberadaan
learning, model pengajaran berturut-turut -
dan pembelajaran model sangat
cooperative classroom meeting membantu mereka
learning, tidak dapat dan cooperative
diterapkan secara dalam keberhasilan
communicative learning. Perlu belajar-mengajar PAK
approach, project- optimal karena adanya komunikasi
terkendala fasilitas di sekolah dengan
based learning, antara pihak latar belakang siswa
problem-based belajar-mengajar, pengawas PAK dan
pengadaan media yang beragam
learning, direct pihak sekolah terkait
instruction pembelajaran, dan ketersediaan fasilitas
kebiajakn sekolah. belajar-mengajar
PAK di beberapa
sekolah SMP di Kota
Pontianak.

Diagram Alur Penelitian

15
Pembahasan
Hakikat, Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Katolik (PAK)
Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan
berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memperteguh iman dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama Katolik. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan
penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat
beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Secara lebih
tegas dapat dikatakan bahwa Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan
salah satu usaha untuk memampukan peserta didik berinteraksi (berkomunikasi),
memahami, menggumuli dan menghayati iman. Dengan kemampuan berinteraksi
antara pemahaman iman, pergumulan iman dan penghayatan iman itu diharapkan
iman peserta didik semakin diperteguh.
Pendidikan Agama Katolik pada dasarnya bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan untuk membangun hidup yang semakin beriman.
Membangun hidup beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil
Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah.
Kerajaan Allah merupakan situasi dan peristiwa penyelamatan: situasi dan
perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan,
persaudaraan dan kesetiaan, kelestarian lingkungan hidup, yang dirindukan oleh
setiap orang dari pelbagai agama dan kepercayaan.
Ruang lingkup pembelajaran dalam Pendidikan Agama Katolik mencakup empat
aspek yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Keempat aspek yang
dibahas secara lebih mendalam sesuai tingkat kemampuan pemahaman peserta
didik adalah sebagai berikut: 1. Pribadi peserta didik; 2. Yesus Kristus; 3. Gereja;
4. Masyarakat.

Pembelajaran yang Bertujuan Multidimensi


Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan saintifik melalui proses 5 M, yakni
mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasikan dan mengomunikasikan.
Meski menjadi salah satu ciri Kurikulum 2013, pendekatan ini bukanlah
merupakan pendekatan satu-satunya. Dalam kegiatan pembelajaran, guru dapat
menggunakan berbagai pendekatan dan pola pembelajaran yang lain sesuai
dengan karakteristik mata pelajaran. Selain pendekatan saintifik, kegiatan
pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti menggunakan
pendekatan kateketis sebagai ciri pembelajarannya. Pendekatan kateketis
berorientasi pada pengetahuan yang tidak lepas dari pengalaman, yakni
pengetahuan yang menyentuh pengalaman hidup peserta didik. Pengetahuan
diproses melalui refleksi pengalaman hidup, selanjutnya diinternalisasikan sebagai
pembentuk karakter peserta didik. Pengetahuan iman tidak akan mengembangkan
diri peserta didik, jika ia tidak mengambil keputusan terhadap pengetahuan
tersebut. Proses pengambilan keputusan itulah yang menjadi tahapan kritis
sekaligus sentral dalam pembelajaran agama katolik. Tahapan proses pendekatan
kateketis adalah 1) Menampilkan fakta dan pengalaman manusiawi yang
membuka pemikiran atau yang dapat menjadi umpan, 2) Menggumuli fakta dan
pengalaman manusiawi secara mendalam dan meluas dalam terang Kitab Suci, 3)

16
Merumuskan nilai-nilai baru yang ditemukan dalam proses refleksi sehingga
terdorong untuk menerapkan dan mengintegrasikan dalam hidup.
Pada bagian Pendahuluan buku guru untuk pengajaran agama Katolik –
formalnya disebut Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti (selanjutnya
PAK-BP) – disebutkan bahwa PAK-BP bertujuan untuk membangun hidup
beriman kristiani siswa (Komisi Kateketik KWI, 2017:9). Namun, sebelum lanjut
ke pembahasan berikutnya, ada hal menarik terkait subjudul yang patut
diperhatikan: Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Dari subjudul itu
secara ekplisit terlihat bahwa dalam pengajaran agama Katolik terjadi pemisahan
antara ajaran agama dan moral. Ajaran agama Katolik diwakili oleh PAK,
sedangkan ajaran moral diwakili oleh Budi Pekerti. Di sisi lain, penggunaan
istilah Budi Pekerti juga menyiratkan sesuatu yang normatif. Artinya, dalam
pembelajaran siswa lebih diarahkan untuk berpegang teguh pada norma, aturan
dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal ini mengacu kepada sikap, loyalitas
dan kesetiaan seseorang terhadap aturan atau kaidah yang berlaku di
lingkungannya. Pemisahan ini – yang tertera dalam subjudul – bukanlah bersifat
mendadak, tetapi ia merupakan suatu produk terencana yang bersifat kontinu
untuk membantu mengembangkan kemampuan siswa dalam memperteguh iman
dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran iman
Katolik (Komisi Kateketik KWI, 2017:10).
Secara prinsip PAK-BP bertujuan untuk memperteguh iman dan ketakwaan
kepada Tuhan seturut ajaran Katolik. Namun, dari sisi normatif juga diajarkan
sikap toleran terhadap pemeluk agama lain agar dapat hidup berdampingan secara
damai (koeksistensi; coexistence).16Demikian juga dengan para siswa dalam
upaya mencerap dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
membangun hidup harus menjadikan iman sebagai landasannya. Dari sisi
epistemologis juga disinggung seputar pemrolehan pengetahuan dan keterampilan,
dan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan. Misalnya, untuk pengetahuan diperoleh
melalui tindakan mengetahui, memahami, menerapkan, menganalisis, dan
mengevaluasi; keterampilan diperoleh melalui tindakan mengamati, menanya,
mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta; sikap dibentuk – bukan „diperoleh‟ –
melalui pembiasaan, seperti menerima, menjalankan, menghargai, menghayati,
dan mengamalkan (Komisi Kateketik KWI, 2017:10). Namun, untuk mencapai
tujuan tersebut, pelaksanaan PAK-BP tetap mengacu pada koridor iman melalui
pendekatan kateketis, suatu pendekatan yang menekankan proses komunikasi
iman.17 Di sini aspek religiusitas terlihat secara eksplisit.

16
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan hubungan antara Blok Barat dan Timur saat Perang
Dingin (cold war) ketika itu. Blok Barat diwakili oleh Amerika Serikat dan Timur oleh Uni Soviet.
Secara sosiologis hal ini menyiratkan bahwa hubungan antarumat beragama dalam beberapa hal
masih mengalami kendala.
17
Pendekatan kateketis ini meliputi kemampuan memahami, menginternalisasi, dan menghayati
iman (Komisi Kateketik KWI, 2017:10).

17
Cakupan Pembelajaran
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran PAK-BP yang berlaku di tingkat
SMA/SMK juga memiliki batasan-batasan tertentu yang tercakup dalam ruang
lingkup pembelajaran. Adapun batasan ini mencakup empat aspek penting
(Komisi Kateketik KWI, 2017:10-11). Empat aspek ini menyangkut berbagai
dimensi, namun tetap mengacu pada iman Katolik. Pertama, pribadi siswa.
Bahasan ini mengulas identitas diri siswa, sesuatu yang juga terkait dengan aspek
psikologis. Di sini dibahas mengenai „diri‟ sebagai laki-laki atau perempuan yang
memiliki kemampuan dan keterbatasan, kelebihan dan kekurangan, yang
dipanggil untuk membangun relasi dengan sesama serta lingkungannya sesuai
dengan ajaran iman Katolik. Kedua, Yesus Kristus. Bahasan ini sangat jelas
berdimensi religi. Di sini dibahas mengenai pribadi Yesus Kristus yang
mewartakan Kerajaan Allah sebagaimana diwartakan dalam Kitab Suci Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru agar siswa membangun relasi dengan Yesus Kristus
dan meneladani-Nya. Ketiga, Gereja. Bahasan ini lebih mengarah ke doktrin
ajaran. Di sini dibahas mengenai Gereja agar siswa mampu melibatkan diri dalam
hidup menggereja. Keempat, masyarakat. Bahasan kali ini bernuansa sosiologis.
Di sini dibahas tentang perwujudan iman dalam hidup bersama di tengah
masyarakat sesuai dengan ajaran iman Katolik.

Berbagai Pendekatan Pembelajaran


Pembelajaran dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang
dirancang sedemikian rupa agar siswa secara aktif mampu membuat konsep,
hukum, atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (mengidentifikasi atau
menemukan masalah), merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan
hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data,
menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep (Komisi Kateketik KWI,
2017:11-13). Dari sisi metode, sepintas terkesan bahwa pendekatan ini diwarnai
oleh semangat „positivisme‟.18 Pada penjelasan selanjutnya hal ini terlihat lebih
kentara. Pendekatan “ilmiah” ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
kepada siswa dalam mengenal dan memahami berbagai materi bahwa informasi
bisa berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah
dari guru. Oleh karena itu, kondisi pembelajaran yang diharapkan diarahkan untuk

18
Pengertian positivisme di sini merujuk ke penggunaan metode ilmu alam ke ilmu-ilmu lain,
misalnya ilmu-ilmu sosial. Bentuk lain positivisme adalah saintisme (scientism) yang mempercayai
ilmu pengetahuan sebagai pemecah segala masalah manusia. Bagi kaum positivis agama adalah
suatu fenomena alam yang dapat dipelajari dan dijelaskan secara objektif dan ilmiah layaknya
fenomena-fenomena alam lainnya. Namun, Mircea Eliade berpendapat bahwa fenomena agama
tidaklah dapat dipahami dengan mereduksinya menjadi fakta sosial atau psikologis. Lebih lanjut
mengenai pandangan Eliade dapat dibaca dalam The Sacred and the Profane: the Nature of
Religion; lih. Eliade, Mircea 1959, The Sacred and the Profane: the Nature of Religion, San Diego:
Harcourt Brace Jovanovich; lih. Hamilton, Malcolm B 1995, The Sociology of Religion: Theoretical
and Comparative Perspectives, London: Routledge, p. 1-3; Magnis-Suseno, Franz 2006, Menalar
Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, hal. 55-56; lih. Hardiman, F. Budi 1993, Menuju Masyarakat
Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius; lih. Hardiman, Fransisco Budi 2004, Kritik Ideologi:
Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jürgen Habermas, Yogyakarta: Buku Batik; lih.
Hardiman, F. Budi 2003, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, hal. 54-62.

18
mendorong siswa dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui observasi,
bukan hanya diberi tahu. Langkah-langkah pendektan saintifik ini meliputi
mengamati, bertanya, mengumpulkan informasi (eksperimen), mengasosiasikan
(mengolah informasi), dan mengkomunikasikan (Komisi Kateketik KWI,
2017:11-13).
Pendekatan lainnya adalah kateketis. Dapat dikatkan bahwa pendekatan ini
khas dalam pembelajaran agama Katolik. Pendekatan kateketis berorientasi pada
pengetahuan yang tidak lepas dari pengalaman siswa: pengetahuan yang
menyentuh pengalaman hidup siswa. Pengetahuan diproses melalui refleksi
pengalaman hidup yang diinternalisasikan dalam diri siswa sehingga menjadi
karakter. Pengetahuan iman tidak akan mengembangkan diri seseorang atau ia
tidak mengambil keputusan terhadap pengetahuan tersebut. Proses pengambilan
keputusan inilah yang menjadi tahapan kritis sekaligus sentral dalam
pembelajaran agama. Paling tidak ada empat tahapan pendekatan kateketis
(Komisi Kateketik KWI, 2017:11). Pertama, menampilkan fakta dan pengalaman
manusiawi yang membuka pemikiran atau dapat menjadi umpan. Kedua,
menggumuli fakta dan pengalaman manusiawi secara mendalam dan meluas
dalam terang Kitab Suci. Ketiga, merumuskan nilai-nilai baru yang ditemukan
dalam proses refleksi sehingga terdorong untuk menerapkan dan
mengintegrasikannya dalam hidup.
Metode bernarasi juga digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam PAK-
BP, dan lebih dikenal dengan sebutan naratif-eksperiensial. Pendekatan ini
dimulai dengan menampilkan cerita – yang mengandung nilai-nilai kehidupan dan
kesaksian – yang dapat menggugah sekaligus menilai pengalaman hidup siswa.
Ada empat tahapan dalam pendekata naratif-eksperiensial seperti berikut (Komisi
Kateketik KWI, 2017:14): (1), menampilkan cerita pengalaman/kehidupan/rakyat;
(2), mendalami cerita pengalaman/kehiudpan/rakyat; (3), membaca Kitab
Suci/Tradisi; (4), menghubungkan cerita pengalaman/kehidupan/rakyat dengan
cerita Kitab Suci/Tradisi sehingga dapat menemukan kehendak Allah yang perlu
diwujudkan.
Pendekatan reflektif – pendekatakan khas ilmu-ilmu noneksakta, khususnya
ilmu-ilmu sosial – menekankan suatu pembelajaran yang mengutamakan aktivitas
siswa untuk menemukan dan memaknai pengalamannya sendiri. Pendekatan ini
memiliki lima aspek pokok (Komisi Kateketik KWI, 2017:14-16): konteks,
pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. Pertama, konteks. Perkembangan pribadi
siswa dimungkin jika mengenal bakat, minat, pengetahuan, dan keterampilan
mereka. konteks hidup siswa adalah keluarga, teman-teman sebaya, adat, keadaan
sosial ekonomi, politik, media, musik, dan lain-lain. Dengan kata lain, konteks
hidup siswa meliputi seluruh kebudayaan yang melingkupinya, termasuk
lingkungan sekolah. Kedua, pengalaman. Pengalaman yang dimaksud adalah
suatu pengalaman yang baik itu bersifat langsung maupun tidak langsung.
Pengalaman tersebut merupakan akumulasi dari proses pembatinan yang
melibatkan aspek kognitif dan afektif. Di situ memuat juga fakta-fakta, analisis,
dugaan-dugaan, serta penilaian terhadap ide. Pengalaman langsung jauh lebih
mendalam ketimbang tidak langsung.

19
Ketiga, refleksi. Pengalaman akan bernilai jika ia diolah. Pengalaman yang
diolah secara kognitif akan menghasilkan pengetahuan. Pengalaman yang diolah
secara afektif akanb menghasilkan sikap, nilai-nilai, dan kematangan pribadi.
Pengalaman yang diolah dalam perspektif religius akan menghasilkan pengalaman
iman.pengalaman yang diolah dalam perspektif budi akan mendidik nurani.
Refleksi adalah mengolah pengalaman dengan berbagai perspektif tersebut.
Keempat, aksi. Refleksi menghasilkan kebenaran yang berpihak. Ia menjadi
pegangan yang akan mempengaruhi semua keputusan lebih lanjut. Hal ini
Nampak dalam prioritas-prioritas keputusan dalam batin, yang selanjutnya
mendorong siswa untuk mewujudkannya dalam aksi nyata secara konsisten.
Kelima, evaluasi. Evaluasi dalam konteks pendekatan reflektif mencakup
penilaian terhadap proses/cara belajar, kemajuan akademis, dan perkembangan
pribadi siswa. Evaluasi proses (cara belajar) dan evalauasi akademis dilakukan
secara berkala. Demikian pula evalauasi perkembangan pribadi perlu dilakukan
berkala meskipun frekuensinya tidak sesering evalauasi akademis.

Strategi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Model Pembelajaran, dan


Penilaian Hasil Belajar
Dalam strategi pembelajaran aspek etis terlihat lagi secara eksplisit. Misalnya,
dinyatakan bahwa secara prinsip PAK-BP berisi pembelajaran mengenai hidup
(Komisi Kateketik KWI, 2017:16). Di sini pengalaman hidup menjadi sesuatu
yang sentral. Pandangan itu tidak hanya etis, tetapi juga sosiologis karena terkait
dengan berbagai relasi intersubjektif manusia. Keberadaan strategi pembelajaran
juga bertujuan untuk mengoptimalisasi potensi-potensi yang dimiliki siswa,
seperti perkembangan minat dan harapan, juga kebudayaan yang mencakup
kehidupan siswa sehingga dapat terwujud. Di sisi lain, pendekatan yang
positivisitk muncul kembali dalam metode pembelajaran. Metode yang digunakan
dalam PAK-BP mengarah ke optimalisasi potensi siswa dengan pendekatan
saintifik. Merujuk ke K-13, ini berarti bahwa metode tersebut harus mencakup
beberapa aspek, seperti observasi, bertanya, refeleksi, diskusi, presentasi, dan
unjuk kerja (Komisi Kateketik KWI, 201717). Rencana pembelajaran sendiri
meliputi analisis kompetensi, analisis konteks, identifikasi permasalahan, dan
penentuan strategi. Penentuan strategi ini meliputi pemilihan model, materi,
metode, dan media pembelajaran. Media pembelajaran ini berfungsi untuk
mencapai kompetensi yang bertolak dari konteks.
Beberapa model pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip
pendekatan saintifik (ilmiah), antara lain, adalah contextual teaching and
learning, cooperative learning, communicative approach, project-based learning,
problem based-learning, direct instruction, dan lain-lain (Komisi Kateketik KWI,
2017:16-17).19 Model-model ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal
masalah, merumuskan, mencari solusi, atau menguji jawaban sementara atas suatu
masalah yang pada akhirnya dapat menarik kesimpulan dan menyajikannya secara
lisan dan tulisan. Model-model ini sebenarnya sesuatu yang berlaku umum dalam
19
Lebih lanjut mengenai ragam model pembelajaran bisa dibaca dalam Model-model Pengajaran
dan Pembelajaran: Isu-isu Metodis dan Paradigmatis; lih. Huda, Miftahul 2014, Model-model
Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-isu Metodis dan Paradigmatis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

20
pembelajaran. Selain model, penilaian dalam pembelajaran juga merupakan aspek
yang krusial.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh data dan
informasi tentang proses dan hasil belajar siswa. Penilaian dilakukan dengan cara
menganalisis dan menafsirkan data hasil pengukuran capaian kompetensi siswa
yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi
informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. K-13 merupakan
kurikulum berbasis kompetensi yang menekankan pembelajaran berbasis aktivitas
yang bertujuan memfasilitasi siswa memperoleh sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Hal ini berimplikasi pada penilaian yang harus mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan, baik selama proses (formatif) maupun pada akhir
periode pembelajaran (sumatif). Penilaian hasil belajar siswa pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada beberapa prinsip: sahih, objektif,
adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan berkesinambungan, sistematis, beracuan
kriteria, dan akuntabel (Komisi Kateketik KWI, 2017:17-21).

Kompetensi: Inti dan Dasar


Dalam kegiatan pembelajaran PAK-BP, bagi para siswa dipandang perlu
untuk memiliki Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Misalnya, salah satu
kompetensi inti untuk kelas X untuk PAK-BP adalah menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Kompetensi inti ini terdiri dari
sebelas poin kompetensi dasar. Kompetensi dasar adalah jabaran dari kompetensi
inti. Pembelajaran di kelas X sendiri memiliki empat kompetensi inti, sedangkan
setiap kompetensi inti memiliki kompetensi dasar yang terdiri dari 40 aspek
(Komisi Kateketik KWI, 2017:21-23).

Model Pengajaran dan Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik (PAK) di


SMP Negeri Kota Pontianak
SMP Negeri 2 Pontianak
SMP Negeri 2 Pontianak adalah salah satu sekolah menengah pertama negeri
yang ada di Kota Pontianak. sekolah ini beralamat di jalan Selayar, Pontianak
Selatan Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dari sisi infrastruktur, sekolah ini
dapat dikatakan terlihat megah, memiliki gedung besar dan bertingkat. Sekolah ini
memiliki gedung berlantai tiga. Di bagian dalamnya struktur gedung membentuk
susunan segi empat tertutup. Jumlah ruangan kelas juga cukup memadai,
demikian pula halnya dengan halaman sekolah yang juga terlihat luas. Dari
pengamatan sekilas jumlah murid sepertinya ratusan orang. Berbagai fasilitas
yang dimiliki SMPN 2 ini, antara lain, adalah ruang kelas, perpustakaan,
laboratorium biologi, laboratorium fisika, laboratorium komputer, dan ruang
musik. Luas 2000 m2
Pada 27 November 2018 pukul 07.00 kami berkunjung di SMPN 2 Pontianak
untuk melakukan penelitian. Di sekolah ini kami menemui guru Pendidikan
Agama Katoliknya (PAK – selanjutnya PAK), yakni ARS.20 Dua minggu

20
Atas beberapa pertimbangan, untuk orang terkait kami menggunakan nama inisial.

21
sebelumnya kami memang telah menghubungi beliau melalui surat resmi bahwa
kami akan meneliti di sekolah tempatnya mengajar. Namun, persyaratan
adminsitrasi perizinan yang diminta oleh pihak sekolah yang diteliti – khususnya
sekolah negeri – untuk penelitian ini tidaklah sederhana. Kami dari tim peneliti
harus membuat surat usulan ke kampus agar pihak kampus membuat surat yang
ditujukan kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pontianak agar
mendapatkan surat izin untuk meneliti sekolah-sekolah terkait. Pada akhirnya
kami mendapatkan surat izin dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota
Pontianak. Kami tiba di SMPN 2 setelah jam pelajaran berlangsung kurang lebih
30 menit. Ruang kelas yang kami tuju berada di lantai tiga gedung sekolah. Untuk
itu kami menaiki tangga yang cukup panjang untuk sampai di lantai tiga tersebut.
Akhirnya kami tiba di sebuah kelas yang bertuliskan ruang musik. Ruangan ini
dapat dikatakan sempit dengan ukuran ± 4 x 6 m2. Saat memasuki ruang kelas
kami menemui siswa yang jumlahnya kurang dari 10 orang. Mereka duduk
membentuk persegi empat, mengikuti lekukan dinding ruang kelas. Guru berada
di depan mereka. Tidak ada bangku atau meja belajar untuk mereka. Namun,
proses belajar mengajar tetap berlangsung.
Tindakan awal yang kami lakukan adalah melakukan pengamatan atas proses
belajar mengajar di kelas yang terkait dengan aspek pengajaran. Pertama, hal yang
terkait dengan jumlah materi. Terlihat bahwa materi pelajaran yang disampaikan
oleh guru PAK disesuaikan dengan rambu-rambu, salah satunya adalah
Kompetensi Dasar (KD). Bagi para siswa jumlah materi yang disampaikan kepada
mereka tidaklah banyak. Kedua, frekuensi penilaian guru terhadap siswa.
Penilaian guru terhadap siswa bisa dalam berbagai bentuk. Misalnya, mekanisme
penilaian melalui berbagai ulangan adalah sesuatu yang lumrah (harian, mid,
umum/akhir semester). Guru juga menilai kemampuan siswa dalam menjawab
suatu pertanyaan berikut cara pemaparannya, hal yang juga dilakukan oleh AR
saat mengajar. Ketiga, dalam mengajar, sebagai guru, AR memiliki pengandaian
bahwa siswa pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan sebelumnya. Dengan
demikian, AR tidak memperlakukan siswa sebagai subjek yang pengetahuannya
perlu diisi dari luar.
Dalam pengajarannya, AR terlihat tidak mendominasi berlangsungnya proses
belajar mengajar di kelas. AR memposisikan diri sebagai fasilitator yang menata
agar proses pengajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun, belum begitu
terlihat tindakan guru (AR) dalam menciptakan lingkungan dan pengalaman
kreatif. Dalam melakukan penilaian AR juga melihatnya dari berbagai aspek
seturut rambu-rambu yang berlaku dalam K-13. Namun, penyampaian materi
yang mempertimbangkan berbagai aspek dalam kelas sebagai sesuatu yang
holistic belum terlihat. Konsep ini sepertinya masih terlihat belum begitu familiar
oleh AR. Sesekali terlihat juga AR menstimulasi pengetahuan yang dimiliki oleh
siswanya. Namun, proses belajar-mengajar dengan menonton film, game
(permainan), dan penggunaan in-focus belum pernah dilakukan.
Dalam pengajarannya sebenarnya terlihat AR selalu berupaya memberikan
kebebasasn kepada para siswa untuk menciptakan sumber belajarnya sendiri,
dalam hal ini penekanan kreativitas. Namun, seringkali hal ini tidaklah mudah.
Salah satu kendala utama adalah minimnya fasilitas media pembelajaran yang

22
mendukung. Dihadapkan pada jumlah siswa yang terbatas membuat AR
memandang guru sebagai aktor-aktor penting yang menginisiasi proses belajar
mengajar. Jumlah siswa yang sedikit juga memudahkan AR mengontrol ketertiban
kelas saat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Namun, belum begitu terlihat
sikap siswa yang memerlihatkan bahwa mereka mampu membangun iklim kreatif
dalam kelas. Menarik bahwa selama proses belajar mengajar berlangsung tidak
terlihat ketegangan yang dialami siswa. Bahkan, bagi para siswa PAK merupakan
mata pelajaran yang begitu mengena dalam keseharian hidup mereka. Saat
berlangsungnya pelajaran PAK terlihat siswa merasa dihargai dan diperlukan oleh
guru terkait inisiasi proses belajar mengajar di kelas.
Sebagaimana yang kami amati, dalam mengajar AR disiplin dalam
menggunakan waktu. Ketepatan jam masuk dan bubarnya kelas sangat
diperhatikan. Hal yang juga tak kalah menarik adalah model mengajar yang
digunakan oleh AR, yakni classroom meeting.21 AR, misalnya, meminta siswanya
untuk duduk melingkar. Ini dilakukan untuk mendorong partisipasi dan
memungkinkkan semua siswa bisa saling. Namun, posisi duduk juga diubah
sesuai dengan bentuk ruangan yang persegi empat. Variasi dalam duduk ini
diupayakan tidak mengurangi produktivitas siswa. Terlihat juga AR memberikan
alokasi waktu sekitar 10-20 menit untuk para siswa untuk berdiskusi. Alokasi
waktu ini sangat diperhatikan sekali oleh AR agar siswa tidak melangkahi
tanggung jawabnya sendiri. oleh AR meeting ini dibuka dengan meminta siswa
mendiskusikan topic seputar materi terkait. Berbagai aturan sudah disepakati
bersama. AR juga melatih siswa untuk tidak memonopoli pembicaraan dalam
diskusi.
Dalam model ini AR selalu mendorong agar diskusi bisa sampai pada solusi-
solusi yang tidak menyudutkan atau menghakimi siapa pun. Intinya, siswa harus
didorong untuk mencari pemecahan, bukan celaan. Harus diakui bahwa penerapan
model ini tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan siswa. Dalam model ini peran
AR sebagai guru memegang peranan penting dalam menjaga efektivitas disiplin
siswa. Dalam hal ini AR selalu menekankan tanggung jawab, membuat aturan-
aturan yang menuntun pada kesuksesan, tidak menghakimi, menghargai solusi
dan pendapat siswa, menawarkan alternative-alternatif yang sesuai, konsisteen,
dan melakukan review berkelanjutan. AR berperan sebagai fasilitator siswa yang
membimbing mereka menuju pemecahan masalah yang efektif. Sebagaimana
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ruang kelas tempat AR mengajar didesain
sedemikian rupa sehingga siswa bisa saling berhadapan dan saling berbagi opini
untuk mencapai solusi atas permasalahan tertentu.
Ada beberapa hal terkait pembelajaran yang kami amati selama
berlangsungnya proses belaajr mengajar di kelas. AR selaku guru selalu
memberikan motivasi kepada siswa untuk menciptakan suasana belajar yang
saling mebutuhkan, interaksi positif. Terlihat bahwa cara ini bertujuan mendorong
para siswa agar merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
Menurut AR, untuk melakukan hal itu ia harus melakukan persaiapan dan

21
Diperkenalkan oleh William Glasser (1969); lih. Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 130.

23
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anak harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri-sendiri agar tugas selanjutnya dapat
terlaksana. AR menuntun setiap siswa harus saling bertatap muka dan berdiskusi.
Kegiatan interaksi ini bertujuan memberikan kepada para siswa untuk membentuk
sinergi yang menguntungkan mereka. Inti dari pendekatan yang AR lakukan
adalah memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing.
Pendekatan ini juga bertujuan agar siswa (pemelajar/pembelajar) memiliki
keterampilan berkomunikasi. Tidak mengherankan jika AR sesekali mengajarkan
cara-cara berkomunikasi sederhana. Selama proses belajar mengajar berlangsung,
terlihat bahwa tidak semua siswa berkemampaun mendengarkan dan berbicara.
Setelah diamati, keberhasilan belajar mengajar di kelas ini juga ternyata
bergantung pada kesediaan para siswa untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mengutarakan pendapat. Kelas yang diajar oleh AR ini
memmerlihatkan interaksi yang cukup aktif.22

SMP Negeri 3 Pontianak


SMP Negeri 3 Pontianak adalah salah satu sekolah menengah pertama negeri
yang ada di Kota Pontianak. Sekolah ini beralamat di jalan Kalimantan No.123,
Pontianak Selatan, Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Pada 2007, sekolah ini
memakai Kurikulum Tingkat Unit Pendidikan pada awal mulanya dengan KBK.
serta sekitaran tahun 2007 SMPN 3 Pontianak mulai berstatus RSBI. Telah
banyak prestasi yang didapat oleh SMP 3 Pontianak. Satu di antaranya adalah
berturut-turut memperoleh peringkat 1 nilai UN se-KAL-BAR. pada awalnya
cuma di buka 2 kelas untuk kelas RSBI serta bekasnya yaitu kelas regular. tetapi
bersamaan berjalannya saat, pada 2010 seluruhnya kelas sudah diaplikasikan
sistem evaluasi rsbi. Dari sisi infrastruktur, sekolah ini dapat dikatakan tidak
terlihat megah, memiliki gedung besar tapi tidak bertingkat. Sekolah ini memiliki
gedung berlantai satu saja. Di bagian dalamnya struktur gedung membentuk
susunan segi empat tertutup. Jumlah ruangan kelas terlihat cukup memadai,
demikian pula halnya dengan halaman sekolah yang juga terlihat luas. Dari
pengamatan sekilas jumlah murid sepertinya ratusan orang. Berbagai fasilitas
yang dimiliki SMPN 3 ini, antara lain, adalah ruang kelas, perpustakaan,
laboratorium biologi, laboratorium fisika, laboratorium komputer, dan ruang
musik. SMPN 3 memiliki lahan yang luasnya 11.697 m2.
Kami tiba di SMPN 3 setelah jam pelajaran berlangsung kurang lebih 30
menit. Ruang kelas yang kami dituju berada di lantai satu sekolah. Untuk itu kami
tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai ruang kelas. Akhirnya kami tiba
di sebuah kelas yang cukup standar. Ruangan ini dapat dikatakan cukup besar
layaknya ruang kelas pada umumnya. Saat memasuki ruang kelas kami menemui
siswa yang jumlahnya kurang empat orang. Mereka duduk membentuk persegi
empat mengelilingi meja besar persegi, mengikuti lekukan persegi empat meja.

22
Model pembelajaran kooperatif.; lih. Abiding, Yunus 2013, Desain Pembelajaran dalam Konteks
Kurikulum 2013, Bandung: Refika Aditama, hal. 243-244; bdk. Aunurrahman 2016, Belajar dan
Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, hal. 140-173; Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 213-2015.

24
Guru berbaur satu meja bersama para siswa. Bangku terpisah tapi dan meja belajar
satu. Namun, proses belajar mengajar tetap berlangsung dengan lancar.
Tindakan awal yang kami lakukan adalah melakukan pengamatan atas proses
belajar mengajar di kelas yang terkait dengan aspek pengajaran. Pertama, hal yang
terkait dengan jumlah materi. Terlihat bahwa materi pelajaran yang disampaikan
oleh guru PAK disesuaikan dengan rambu-rambu, salah satunya adalah
Kompetensi Dasar (KD). Bagi para siswa jumlah materi yang disampaikan kepada
mereka tidaklah banyak. Kedua, frekuensi penilaian guru terhadap siswa.
Penilaian guru terhadap siswa bisa dalam berbagai bentuk. Misalnya, mekanisme
penilaian melalui berbagai ulangan adalah sesuatu yang lumrah (harian, mid,
umum/akhir semester). Guru juga menilai kemampuan siswa dalam menjawab
suatu pertanyaan berikut cara pemaparannya, hal yang juga dilakukan oleh PM
saat mengajar.23 Ketiga, dalam mengajar, sebagai guru, PM memiliki pengandaian
bahwa siswa pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan sebelumnya. Dengan
demikian, PM tidak memperlakukan siswa sebagai subjek yang pengetahuannya
perlu diisi dari luar.
Dalam pengajarannya, PM terlihat tidak mendominasi berlangsungnya proses
belajar mengajar di kelas. PM memposisikan diri sebagai fasilitator yang menata
agar proses pengajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun, belum begitu
terlihat tindakan guru (PM) dalam menciptakan lingkungan dan pengalaman
kreatif. Dalam melakukan penilaian PM juga melihatnya dari berbagai aspek
seturut rambu-rambu yang berlaku dalam K-13. Namun, penyampaian materi
yang mempertimbangkan berbagai aspek dalam kelas sebagai sesuatu yang
holistic belum terlihat. Konsep ini sepertinya masih terlihat belum begitu familiar
oleh PM. Sesekali terlihat juga PM menstimulasi pengetahuan yang dimiliki oleh
siswanya. Namun, proses belajar-mengajar dengan menonton film, game
(permainan), dan penggunaan in-focus belum pernah dilakukan.
Dalam pengajarannya sebenarnya terlihat PM selalu berupaya memberikan
kebebasasn kepada para siswa untuk menciptakan sumber belajarnya sendiri,
dalam hal ini penekanan kreativitas. Namun, seringkali hal ini tidaklah mudah.
Salah satu kendala utama adalah minimnya fasilitas media pembelajaran yang
mendukung. Dihadapkan pada jumlah siswa yang terbatas membuat PM
memandang guru sebagai actor-aktor penting yang menginisiasi proses belajar
mengajar. Jumlah siswa yang sedikit juga memudahkan PM mengontrol
ketertiban kelas saat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Namun, belum
begitu terlihat sikap siswa yang memperlihatkan bahwa mereka mampu
membangun iklim kreatif dalam kelas. Menarik bahwa selama proses belajar
mengajar berlangsung tidak terlihat ketegangan yang dialami siswa. Bahkan, bagi
para siswa PAK merupakan mata pelajaran yang begitu mengena dalam
keseharian hidup mereka. Saat berlangsungnya pelajaran PAK terlihat siswa
merasa dihargai dan diperlukan oleh guru terkait inisiasi proses belajar mengajar
di kelas.
Sebagaimana yang kami amati, dalam mengajar PM disiplin dalam
menggunakan waktu. Ketepatan jam masuk dan bubarnya kelas sangat

23
PM adalah inisial guru PAK bernama Petronila Merlin.

25
diperhatikan. Hal yang juga tak kalah menarik adalah model mengajar yang
digunakan oleh PM, yakni classroom meeting.24 PM, misalnya, meminta siswanya
untuk duduk melingkar. Ini dilakukan untuk mendorong partisipasi dan
memungkinkkan semua siswa bisa saling. Namun, posisi duduk juga diubah
sesuai dengan bentuk ruangan yang persegi empat. Variasi dalam duduk ini
diupayakan tidak mengurangi produktivitas siswa. Terlihat juga PM memberikan
alokasi waktu sekitar 10-20 menit untuk para siswa untuk berdiskusi. Alokasi
waktu ini sangat diperhatikan sekali oleh PM agar siswa tidak melangkahi
tanggung jawabnya sendiri. Oleh PM meeting ini dibuka dengan meminta siswa
mendiskusikan topic seputar materi terkait. Berbagai aturan sudah disepakati
bersama. PM juga melatih siswa untuk tidak memonopoli pembicaraan dalam
diskusi.
Dalam model ini PM selalu mendorong agar diskusi bisa sampai pada solusi-
solusi yang tidak menyudutkan atau menghakimi siapa pun. Intinya, siswa harus
didorong untuk mencari pemecahan, bukan celaan. Harus diakui bahwa penerapan
model ini tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan siswa. Dalam model ini peran
PM sebagai guru memegang peranan penting dalam menjaga efektivitas disiplin
siswa. Dalam hal ini PM selalu menekankan tanggung jawab, membuat aturan-
aturan yang menuntun pada kesuksesan, tidak menghakimi, menghargai solusi
dan pendapat siswa, menawarkan alternative-alternatif yang sesuai, konsisteen,
dan melakukan review berkelanjutan. PM berperan sebagai fasilitator siswa yang
membimbing mereka menuju pemecahan masalah yang efektif. Sebagaiaman
seudah dijelaskan sebelumnya bahwa ruang kelas tempat PM mengajar didesain
sedemikian rupa sehingga siswa bisa saling berhadapan dan saling berbagi opini
untuk mencapai solusi atas permasalahan tertentu.
Ada beberapa hal terkait pembelajaran yang kami amati selama
berlangsungnya proses belaajr mengajar di kelas. PM selaku guru selalu
memberikan motivasi kepada siswa untuk menciptakan suasana belajar yang
saling mebutuhkan, interaksi positif. Terlihat bahwa cara ini bertujuan mendorong
para siswa agar merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
Menurut PM, untuk melakukan hal itu ia harus melakukan persaiapan dan
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anak harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri-sendiri agar tugas selanjutnya dapat
terlaksana. AR menuntun setiap siswa harus saling bertatap muka dan berdiskusi.
Kegiatan interaksi ini bertujuan memberikan kepada para siswa untuk membentuk
sinergi yang menguntungkan mereka. Inti dari pendekatan yang PM lakukan
adalah memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing.
Pendekatan ini juga bertujuan agar siswa (pemelajar/pembelajar) memiliki
keterampilan berkomunikasi. Tidak mengherankan jika PM sesekali mengajarkan
cara-cara berkomunikasi sederhana. Selama proses belajar mengajar berlangsung,
terlihat bahwa tidak semua siswa berkemampaun mendengarkan dan berbicara.
Setelah diamati, keberhasilan belajar mengajar di kelas ini juga ternyata
bergantung pada kesediaan para siswa untuk saling mendengarkan dan

24
Diperkenalkan oleh William Glasser (1969); lih. Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 130.

26
kemampuan mengutarakan pendapat. Kelas yang diajar oleh PM ini
memmerlihatkan interaksi yang cukup aktif.25

SMP Negeri 10 Pontianak


SMP Negeri 10 Pontianak adalah salah satu sekolah menengah pertama negeri
yang ada di Kota Pontianak. Sekolah ini beralamat di jalan W.R. Supratman No.2,
RT.3/RW.34, Benua Melayu Darat, Pontianak Selatan, Kota Pontianak. Dari sisi
infrastruktur, sekolah ini dapat dikatakan terlihat megah, memiliki gedung besar
dan bertingkat. Sekolah ini memiliki gedung berlantai tiga. Di bagian dalamnya
struktur gedung membentuk susunan segi empat tertutup. Jumlah ruangan kelas
juga cukup memadai, demikian pula halnya dengan halaman sekolah dengan luas
9445 m2. Dari pengamatan sekilas jumlah murid sekolah ini sepertinya ratusan
orang. Berbagai fasilitas yang dimiliki SMPN 10 ini, antara lain, adalah ruang
kelas, perpustakaan, laboratorium biologi, laboratorium fisika, laboratorium
komputer, dan ruang musik.
Kami tiba di SMPN 10 setelah jam pelajaran berlangsung kurang lebih 30
menit. Ruang kelas yang kami tuju berada di lantai dua gedung sekolah. Untuk itu
kami menaiki tangga untuk sampai di sekolah tersebut. Akhirnya kami tiba di
sebuah kelas yang luasnya standar. Saat memasuki ruang kelas kami menemui
siswa yang jumlahnya 12 orang. Mereka duduk berjejejr mengikuti luasnya
ruangan. Fasilitas berupa bangku atau meja belajar cukup memadai. Dengan
demikian, proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan lancar.
Tindakan awal yang kami lakukan adalah melakukan pengamatan atas proses
belajar mengajar di kelas yang terkait dengan aspek pengajaran. Pertama, hal yang
terkait dengan jumlah materi. Terlihat bahwa materi pelajaran yang disampaikan
oleh guru PAK disesuaikan dengan rambu-rambu, salah satunya adalah
Kompetensi Dasar (KD). Bagi para siswa jumlah materi yang disampaikan kepada
mereka tidaklah banyak. Kedua, frekuensi penilaian guru terhadap siswa.
Penilaian guru terhadap siswa bisa dalam berbagai bentuk. Misalnya, mekanisme
penilaian melalui berbagai ulangan adalah sesuatu yang lumrah (harian, mid,
umum/akhir semester). Guru juga menilai kemampuan siswa dalam menjawab
suatu pertanyaan berikut cara pemaparannya, hal yang juga dilakukan oleh EM
saat mengajar.26 Ketiga, dalam mengajar, sebagai guru, EM memiliki pengandaian
bahwa siswa pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan sebelumnya. Dengan
demikian, EM tidak memperlakukan siswa sebagai subjek yang pengetahuannya
perlu diisi dari luar.
Dalam pengajarannya, EM terlihat tidak mendominasi berlangsungnya proses
belajar mengajar di kelas. EM memposisikan diri sebagai fasilitator yang menata
agar proses pengajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun, belum begitu
terlihat tindakan guru (EM) dalam menciptakan lingkungan dan pengalaman
kreatif. Dalam melakukan penilaian EM juga melihatnya dari berbagai aspek

25
Model pembelajaran kooperatif.; lih. Abiding, Yunus 2013, Desain Pembelajaran dalam Konteks
Kurikulum 2013, Bandung: Refika Aditama, hal. 243-244; bdk. Aunurrahman 2016, Belajar dan
Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, hal. 140-173; Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 213-2015.
26
EM adalah inisial guru PAK yang bernama Emiliana.

27
seturut rambu-rambu yang berlaku dalam K-13. Namun, penyampaian materi
yang mempertimbangkan berbagai aspek dalam kelas sebagai sesuatu yang
holistic belum terlihat. Konsep ini sepertinya masih terlihat belum begitu familiar
oleh EM. Sesekali terlihat juga EM menstimulasi pengetahuan yang dimiliki oleh
siswanya. Namun, proses belajar-mengajar dengan menonton film, game
(permainan), dan penggunaan in-focus belum pernah dilakukan.
Dalam pengajarannya sebenarnya terlihat EM selalu berupaya memberikan
kebebasasn kepada para siswa untuk menciptakan sumber belajarnya sendiri,
dalam hal ini penekanan kreativitas. Namun, seringkali hal ini tidaklah mudah.
Salah satu kendala utama adalah minimnya fasilitas media pembelajaran yang
mendukung. Dihadapkan pada jumlah siswa yang terbatas membuat EM
memandang guru sebagai actor-aktor penting yang menginisiasi proses belajar
mengajar. Jumlah siswa yang sedikit juga memudahkan EM mengontrol
ketertiban kelas saat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Namun, belum
begitu terlihat sikap siswa yang memperlihatkan bahwa mereka mampu
membangun iklim kreatif dalam kelas. Menarik bahwa selama proses belajar
mengajar berlangsung tidak terlihat ketegangan yang dialami siswa. Bahkan, bagi
para siswa EM merupakan mata pelajaran yang begitu mengena dalam keseharian
hidup mereka. Saat berlangsungnya pelajaran PAK terlihat siswa merasa dihargai
dan diperlukan oleh guru terkait inisiasi proses belajar mengajar di kelas.
Sebagaimana yang kami amati, dalam mengajar EM disiplin dalam
menggunakan waktu. Ketepatan jam masuk dan bubarnya kelas sangat
diperhatikan. Hal yang juga tak kalah menarik adalah model mengajar yang
digunakan oleh EM, yakni classroom meeting.27 EM, misalnya, meminta
siswanya untuk duduk melingkar. Ini dilakukan untuk mendorong partisipasi dan
memungkinkkan semua siswa bisa saling. Namun, posisi duduk juga diubah
sesuai dengan bentuk ruangan yang persegi empat. Variasi dalam duduk ini
diupayakan tidak mengurangi produktivitas siswa. Terlihat juga EM memberikan
alokasi waktu sekitar 10-20 menit untuk para siswa untuk berdiskusi. Alokasi
waktu ini sangat diperhatikan sekali oleh EM agar siswa tidak melangkahi
tanggung jawabnya sendiri. Oleh EM meeting ini dibuka dengan meminta siswa
mendiskusikan topik seputar materi terkait. Berbagai aturan sudah disepakati
bersama. EM juga melatih siswa untuk tidak memonopoli pembicaraan dalam
diskusi.
Dalam model ini EM selalu mendorong agar diskusi bisa sampai pada solusi-
solusi yang tidak menyudutkan atau menghakimi siapa pun. Intinya, siswa harus
didorong untuk mencari pemecahan, bukan celaan. Harus diakui bahwa penerapan
model ini tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan siswa. Dalam model ini peran
EM sebagai guru memegang peranan penting dalam menjaga efektivitas disiplin
siswa. Dalam hal ini EM selalu menekankan tanggung jawab, membuat aturan-
aturan yang menuntun pada kesuksesan, tidak menghakimi, menghargai solusi
dan pendapat siswa, menawarkan alternative-alternatif yang sesuai, konsisteen,
dan melakukan review berkelanjutan. EM berperan sebagai fasilitator siswa yang

27
Diperkenalkan oleh William Glasser (1969); lih. Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 130.

28
membimbing mereka menuju pemecahan masalah yang efektif. Sebagaiaman
seudah dijelaskan sebelumnya bahwa ruang kelas tempat EM mengajar didesain
sedemikian rupa sehingga siswa bisa saling berhadapan dan saling berbagi opini
untuk mencapai solusi atas permasalahan tertentu.
Ada beberapa hal terkait pembelajaran yang kami amati selama
berlangsungnya proses belaajr mengajar di kelas. EM selaku guru selalu
memberikan motivasi kepada siswa untuk menciptakan suasana belajar yang
saling mebutuhkan, interaksi positif. Terlihat bahwa cara ini bertujuan mendorong
para siswa agar merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
Menurut EM, untuk melakukan hal itu ia harus melakukan persaiapan dan
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anak harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri-sendiri agar tugas selanjutnya dapat
terlaksana. EM menuntun setiap siswa harus saling bertatap muka dan berdiskusi.
Kegiatan interaksi ini bertujuan memberikan kepada para siswa untuk membentuk
sinergi yang menguntungkan mereka. Inti dari pendekatan yang EM lakukan
adalah memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing.
Pendekatan ini juga bertujuan agar siswa (pemelajar/pembelajar) memiliki
keterampilan berkomunikasi. Tidak mengherankan jika EM sesekali mengajarkan
cara-cara berkomunikasi sederhana. Selama proses belajar mengajar berlangsung,
terlihat bahwa tidak semua siswa berkemampaun mendengarkan dan berbicara.
Setelah diamati, keberhasilan belajar mengajar di kelas ini juga ternyata
bergantung pada kesediaan para siswa untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mengutarakan pendapat. Kelas yang diajar oleh EM ini
memmerlihatkan interaksi yang cukup aktif.28

SMP Negeri 13 Pontianak


SMP Negeri 13 Pontianak adalah salah satu sekolah menengah pertama negeri
yang ada di Kota Pontianak. sekolah ini beralamat di jalan Tebu, Sungai Beliung,
Pontianak Barat, Kota Pontianak. Dari sisi infrastruktur, sekolah ini dapat
dikatakan terlihat megah, memiliki gedung besar dan bertingkat tiga. Sekolah ini
memiliki gedung berlantai dua. Di bagian dalamnya struktur gedung membentuk
susunan segi empat tertutup. Jumlah ruangan kelas juga cukup memadai,
demikian pula halnya dengan halaman sekolah yang juga terlihat luas. Dari
pengamatan sekilas jumlah murid sepertinya ratusan orang. Berbagai fasilitas
yang dimiliki SMPN 13 ini, antara lain, adalah ruang kelas, perpustakaan,
laboratorium biologi, laboratorium fisika, laboratorium komputer, dan ruang
musik.
Kami tiba di SMPN 13 setelah jam pelajaran berlangsung kurang lebih 30
menit. Ruang kelas yang kami tuju berada di lantai dua gedung sekolah. Untuk itu
kami menaiki tangga untuk sampai di lantai tiga tersebut. Akhirnya kami tiba di
sebuah kelas yang lantainya ditutup karpet, bukan porselen. Ruangan ini dapat
28
Model pembelajaran kooperatif.; lih. Abiding, Yunus 2013, Desain Pembelajaran dalam Konteks
Kurikulum 2013, Bandung: Refika Aditama, hal. 243-244; bdk. Aunurrahman 2016, Belajar dan
Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, hal. 140-173; Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 213-2015.

29
dikatakan besar dengan ukuran kelas standar. Namun, kelas ini disekat menjadi
dua bagian: sekat pertama untuk pelajaran agama Protestan, sedangkan sekat
kedua untuk Katolik. Saat memasuki ruang kelas kami menemui siswa yang
jumlahnya 4 orang. Mereka duduk membentuk satu barisan. Kondisi di sekitar
kelas begitu berisik. Namun, proses belajar mengajar tetap berlangsung.
Tindakan awal yang kami lakukan adalah melakukan pengamatan atas proses
belajar mengajar di kelas yang terkait dengan aspek pengajaran. Pertama, hal yang
terkait dengan jumlah materi. Terlihat bahwa materi pelajaran yang disampaikan
oleh guru PAK disesuaikan dengan rambu-rambu, salah satunya adalah
Kompetensi Dasar (KD). Bagi para siswa jumlah materi yang disampaikan kepada
mereka tidaklah banyak. Kedua, frekuensi penilaian guru terhadap siswa.
Penilaian guru terhadap siswa bisa dalam berbagai bentuk. Misalnya, mekanisme
penilaian melalui berbagai ulangan adalah sesuatu yang lumrah (harian, mid,
umum/akhir semester). Guru juga menilai kemampuan siswa dalam menjawab
suatu pertanyaan berikut cara pemaparannya, hal yang juga dilakukan oleh YL
saat mengajar.29 Ketiga, dalam mengajar, sebagai guru, YL memiliki pengandaian
bahwa siswa pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan sebelumnya. Dengan
demikian, YL tidak memperlakukan siswa sebagai subjek yang pengetahuannya
perlu diisi dari luar.
Dalam pengajarannya, YL terlihat tidak mendominasi berlangsungnya proses
belajar mengajar di kelas. YL memposisikan diri sebagai fasilitator yang menata
agar proses pengajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun, belum begitu
terlihat tindakan guru (YL) dalam menciptakan lingkungan dan pengalaman
kreatif. Dalam melakukan penilaian YL juga melihatnya dari berbagai aspek
seturut rambu-rambu yang berlaku dalam K-13. Namun, penyampaian materi
yang mempertimbangkan berbagai aspek dalam kelas sebagai sesuatu yang
holistic belum terlihat. Konsep ini sepertinya masih terlihat belum begitu familiar
oleh YL. Sesekali terlihat juga YL menstimulasi pengetahuan yang dimiliki oleh
siswanya. Namun, proses belajar-mengajar dengan menonton film, game
(permainan), dan penggunaan in-focus belum pernah dilakukan.
Dalam pengajarannya sebenarnya terlihat YL selalu berupaya memberikan
kebebasasn kepada para siswa untuk menciptakan sumber belajarnya sendiri,
dalam hal ini penekanan kreativitas. Namun, seringkali hal ini tidaklah mudah.
Salah satu kendala utama adalah minimnya fasilitas media pembelajaran yang
mendukung. Dihadapkan pada jumlah siswa yang terbatas membuat YL
memandang guru sebagai actor-aktor penting yang menginisiasi proses belajar
mengajar. Jumlah siswa yang sedikit juga memudahkan YL mengontrol ketertiban
kelas saat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Namun, belum begitu terlihat
sikap siswa yang memperlihatkan bahwa mereka mampu membangun iklim
kreatif dalam kelas. Menarik bahwa selama proses belajar mengajar berlangsung
tidak terlihat ketegangan yang dialami siswa. Bahkan, bagi para siswa PAK
merupakan mata pelajaran yang begitu mengena dalam keseharian hidup mereka.
Saat berlangsungnya pelajaran PAK terlihat siswa merasa dihargai dan diperlukan
oleh guru terkait inisiasi proses belajar mengajar di kelas.

29
YL adalah inisial dari guru PAK yang bernama Yuliana.

30
Sebagaimana yang kami amati, dalam mengajar YL disiplin dalam
menggunakan waktu. Ketepatan jam masuk dan bubarnya kelas sangat
diperhatikan. Hal yang juga tak kalah menarik adalah model mengajar yang
digunakan oleh YL, yakni classroom meeting.30 YL, misalnya, meminta siswanya
untuk duduk melingkar. Ini dilakukan untuk mendorong partisipasi dan
memungkinkkan semua siswa bisa saling. Namun, posisi duduk juga diubah
sesuai dengan bentuk ruangan yang persegi empat. Variasi dalam duduk ini
diupayakan tidak mengurangi produktivitas siswa. Terlihat juga YL memberikan
alokasi waktu sekitar 10-20 menit untuk para siswa untuk berdiskusi. Alokasi
waktu ini sangat diperhatikan sekali oleh YL agar siswa tidak melangkahi
tanggung jawabnya sendiri. Oleh YL meeting ini dibuka dengan meminta siswa
mendiskusikan topik seputar materi terkait. Berbagai aturan sudah disepakati
bersama. YL juga melatih siswa untuk tidak memonopoli pembicaraan dalam
diskusi.
Dalam model ini YL selalu mendorong agar diskusi bisa sampai pada solusi-
solusi yang tidak menyudutkan atau menghakimi siapa pun. Intinya, siswa harus
didorong untuk mencari pemecahan, bukan celaan. Harus diakui bahwa penerapan
model ini tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan siswa. Dalam model ini peran
AR sebagai guru memegang peranan penting dalam menjaga efektivitas disiplin
siswa. Dalam hal ini YL selalu menekankan tanggung jawab, membuat aturan-
aturan yang menuntun pada kesuksesan, tidak menghakimi, menghargai solusi
dan pendapat siswa, menawarkan alternative-alternatif yang sesuai, konsisteen,
dan melakukan review berkelanjutan. YL berperan sebagai fasilitator siswa yang
membimbing mereka menuju pemecahan masalah yang efektif. Sebagaimana
seudah dijelaskan sebelumnya bahwa ruang kelas tempat YL mengajar didesain
sedemikian rupa sehingga siswa bisa saling berhadapan dan saling berbagi opini
untuk mencapai solusi atas permasalahan tertentu.
Ada beberapa hal terkait pembelajaran yang kami amati selama
berlangsungnya proses belaajr mengajar di kelas. YL selaku guru selalu
memberikan motivasi kepada siswa untuk menciptakan suasana belajar yang
saling mebutuhkan, interaksi positif. Terlihat bahwa cara ini bertujuan mendorong
para siswa agar merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
Menurut YL, untuk melakukan hal itu ia harus melakukan persaiapan dan
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anak harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri-sendiri agar tugas selanjutnya dapat
terlaksana. YL menuntun setiap siswa harus saling bertatap muka dan berdiskusi.
Kegiatan interaksi ini bertujuan memberikan kepada para siswa untuk membentuk
sinergi yang menguntungkan mereka. Inti dari pendekatan yang YL lakukan
adalah memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing.
Pendekatan ini juga bertujuan agar siswa (pemelajar/pembelajar) memiliki
keterampilan berkomunikasi. Tidak mengherankan jika YL sesekali mengajarkan
cara-cara berkomunikasi sederhana. Selama proses belajar mengajar berlangsung,
terlihat bahwa tidak semua siswa berkemampaun mendengarkan dan berbicara.

30
Diperkenalkan oleh William Glasser (1969); lih. Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 130.

31
Setelah diamati, keberhasilan belajar mengajar di kelas ini juga ternyata
bergantung pada kesediaan para siswa untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mengutarakan pendapat. Kelas yang diajar oleh YL ini
memmerlihatkan interaksi yang cukup aktif.31

SMP Negeri 19 Pontianak


SMP Negeri 19 Pontianak adalah salah satu sekolah menengah pertama negeri
yang ada di Kota Pontianak. Sekolah ini beralamat di jalan Ampera, Sungai
Bangkong, Sungai Jawi, Kota Pontianak. Dari sisi infrastruktur, sekolah ini tidak
terlihat megah, dan gedungnya juga tidak bertingkat. Sekolah ini memiliki gedung
berlantai tiga. Di bagian dalamnya struktur gedung membentuk susunan segi
empat tertutup. Jumlah ruangan kelas juga cukup memadai, demikian pula halnya
dengan halaman sekolah yang luasnya 15.139 m2. Dari pengamatan sekilas jumlah
murid sepertinya ratusan orang. Berbagai fasilitas yang dimiliki SMPN 19 ini,
antara lain adalah ruang kelas, perpustakaan, laboratorium biologi, laboratorium
fisika, laboratorium komputer, dan ruang musik.
Kami tiba di SMPN 19 setelah jam pelajaran berlangsung kurang lebih 15
menit. Ruang kelas yang kami dituju berada di lantai dasar gedung sekolah,
namun masuk agak jauh ke dalam. Untuk itu kami berjalan agak jauh. Akhirnya
kami tiba di sebuah kelas yang cukup kecil. Ruangan ini dapat dikatakan sempit
dengan ukuran ± 4 x 9 m. Saat memasuki ruang kelas kami menemui siswa yang
jumlahnya 7 orang. Mereka duduk membentuk formasi L, mengikuti jalur
memanjang dinding ruang kelas. Guru berada di depan di tempat yang telah
tersedia, dan siswa duduk dengan tertib. Proses belajar mengajar berlangsung
dengan lancar.
Tindakan awal yang kami lakukan adalah melakukan pengamatan atas proses
belajar mengajar di kelas yang terkait dengan aspek pengajaran. Pertama, hal yang
terkait dengan jumlah materi. Terlihat bahwa materi pelajaran yang disampaikan
oleh guru PAK disesuaikan dengan rambu-rambu, salah satunya adalah
Kompetensi Dasar (KD). Bagi para siswa jumlah materi yang disampaikan kepada
mereka tidaklah banyak. Kedua, frekuensi penilaian guru terhadap siswa.
Penilaian guru terhadap siswa bisa dalam berbagai bentuk. Misalnya, mekanisme
penilaian melalui berbagai ulangan adalah sesuatu yang lumrah (harian, mid,
umum/akhir semester). Guru juga menilai kemampuan siswa dalam menjawab
suatu pertanyaan berikut cara pemaparannya, hal yang juga dilakukan oleh RL
saat mengajar.32 Ketiga, dalam mengajar, sebagai guru, RL memiliki pengandaian
bahwa siswa pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan sebelumnya. Dengan
demikian, RL tidak memperlakukan siswa sebagai subjek yang pengetahuannya
perlu diisi dari luar.
Dalam pengajarannya, RL terlihat tidak mendominasi berlangsungnya proses
belajar mengajar di kelas. RL memposisikan diri sebagai fasilitator yang menata

31
Model pembelajaran kooperatif.; lih. Abiding, Yunus 2013, Desain Pembelajaran dalam Konteks
Kurikulum 2013, Bandung: Refika Aditama, hal. 243-244; bdk. Aunurrahman 2016, Belajar dan
Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, hal. 140-173; Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 213-2015.
32
RL adalah inisial dari guru PAK SMPN 19 yang bernama Romana Laeni.

32
agar proses pengajaran dapat berlangsung dengan lancar. Namun, belum begitu
terlihat tindakan guru (RL) dalam menciptakan lingkungan dan pengalaman
kreatif. Dalam melakukan penilaian RL juga melihatnya dari berbagai aspek
seturut rambu-rambu yang berlaku dalam K-13. Namun, penyampaian materi
yang mempertimbangkan berbagai aspek dalam kelas sebagai sesuatu yang
holistik belum terlihat. Konsep ini sepertinya masih terlihat belum begitu familiar
oleh RL. Sesekali terlihat juga RL menstimulasi pengetahuan yang dimiliki oleh
siswanya. Namun, proses belajar-mengajar dengan menonton film, game
(permainan), dan penggunaan in-focus belum pernah dilakukan.
Dalam pengajarannya sebenarnya terlihat RL selalu berupaya memberikan
kebebasasn kepada para siswa untuk menciptakan sumber belajarnya sendiri,
dalam hal ini penekanan kreativitas. Namun, seringkali hal ini tidaklah mudah.
Salah satu kendala utama adalah minimnya fasilitas media pembelajaran yang
mendukung. Dihadapkan pada jumlah siswa yang terbatas membuat RL
memandang guru sebagai actor-aktor penting yang menginisiasi proses belajar
mengajar. Jumlah siswa yang sedikit juga memudahkan AR mengontrol ketertiban
kelas saat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Namun, belum begitu terlihat
sikap siswa yang memperlihatkan bahwa mereka mampu membangun iklim
kreatif dalam kelas. Menarik bahwa selama proses belajar mengajar berlangsung
tidak terlihat ketegangan yang dialami siswa. Bahkan, bagi para siswa PAK
merupakan mata pelajaran yang begitu mengena dalam keseharian hidup mereka.
Saat berlangsungnya pelajaran PAK terlihat siswa merasa dihargai dan diperlukan
oleh guru terkait inisiasi proses belajar mengajar di kelas.
Sebagaimana yang kami amati, dalam mengajar RL disiplin dalam
menggunakan waktu. Ketepatan jam masuk dan bubarnya kelas sangat
diperhatikan. Hal yang juga tak kalah menarik adalah model mengajar yang
digunakan oleh AR, yakni classroom meeting.33 RL, misalnya, meminta siswanya
untuk duduk melingkar. Ini dilakukan untuk mendorong partisipasi dan
memungkinkkan semua siswa bisa saling. Namun, posisi duduk juga diubah
sesuai dengan bentuk ruangan yang persegi empat. Variasi dalam duduk ini
diupayakan tidak mengurangi produktivitas siswa. Terlihat juga RL memberikan
alokasi waktu sekitar 10-20 menit untuk para siswa untuk berdiskusi. Alokasi
waktu ini sangat diperhatikan sekali oleh RL agar siswa tidak melangkahi
tanggung jawabnya sendiri. Oleh RL meeting ini dibuka dengan meminta siswa
mendiskusikan topic seputar materi terkait. Berbagai aturan sudah disepakati
bersama. RL juga melatih siswa untuk tidak memonopoli pembicaraan dalam
diskusi.
Dalam model ini RL selalu mendorong agar diskusi bisa sampai pada solusi-
solusi yang tidak menyudutkan atau menghakimi siapa pun. Intinya, siswa harus
didorong untuk mencari pemecahan, bukan celaan. Harus diakui bahwa penerapan
model ini tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan siswa. Dalam model ini peran
RL sebagai guru memegang peranan penting dalam menjaga efektivitas disiplin
siswa. Dalam hal ini RL selalu menekankan tanggung jawab, membuat aturan-

33
Diperkenalkan oleh William Glasser (1969); lih. Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 130.

33
aturan yang menuntun pada kesuksesan, tidak menghakimi, menghargai solusi
dan pendapat siswa, menawarkan alternative-alternatif yang sesuai, konsisteen,
dan melakukan review berkelanjutan. RL berperan sebagai fasilitator siswa yang
membimbing mereka menuju pemecahan masalah yang efektif. Sebagaiaman
seudah dijelaskan sebelumnya bahwa ruang kelas tempat RL mengajar didesain
sedemikian rupa sehingga siswa bisa saling berhadapan dan saling berbagi opini
untuk mencapai solusi atas permasalahan tertentu.
Ada beberapa hal terkait pembelajaran yang kami amati selama
berlangsungnya proses belaajr mengajar di kelas. RL selaku guru selalu
memberikan motivasi kepada siswa untuk menciptakan suasana belajar yang
saling mebutuhkan, interaksi positif. Terlihat bahwa cara ini bertujuan mendorong
para siswa agar merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
Menurut RL, untuk melakukan hal itu ia harus melakukan persaiapan dan
menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anak harus
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri-sendiri agar tugas selanjutnya dapat
terlaksana. RL menuntun setiap siswa harus saling bertatap muka dan berdiskusi.
Kegiatan interaksi ini bertujuan memberikan kepada para siswa untuk membentuk
sinergi yang menguntungkan mereka. Inti dari pendekatan yang RL lakukan
adalah memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing.
Pendekatan ini juga bertujuan agar siswa (pemelajar/pembelajar) memiliki
keterampilan berkomunikasi. Tidak mengherankan jika RL sesekali mengajarkan
cara-cara berkomunikasi sederhana. Selama proses belajar mengajar berlangsung,
terlihat bahwa tidak semua siswa berkemampaun mendengarkan dan berbicara.
Setelah diamati, keberhasilan belajar mengajar di kelas ini juga ternyata
bergantung pada kesediaan para siswa untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mengutarakan pendapat. Kelas yang diajar oleh RL ini
memmerlihatkan interaksi yang cukup aktif.34

SMP Suster Pontianak


SMP Suster Pontianak adalah salah satu sekolah swasta Katolik di Kota
Pontianak. Sekolah ini beralamat di jalan. AR. Hakim No.106, Darat Sekip,
Pontianak Kota, Kota Pontianak. Dari sisi infrastruktur, sekolah ini dapat
dikatakan terlihat megah, memiliki gedung besar dan bertingkat. Sekolah ini
memiliki gedung berlantai dua. Di bagian dalamnya struktur gedung membentuk
susunan persegi empat. Jumlah ruangan kelas juga cukup memadai, demikian pula
halnya dengan halaman sekolah yang luasnya 2.758 m2. Dari pengamatan sekilas
jumlah murid sepertinya ratusan. Berbagai fasilitas yang dimiliki SMP Suster ini
sudah memiliki standar yang sangat bagus. Berbagai fasilitas yang dimiliki, antara
lain, seperti ruang kelas, perpustakaan, laboratorium biologi, laboratorium fisika,
laboratorium komputer, dan ruang musik.

34
Model pembelajaran kooperatif.; lih. Abiding, Yunus 2013, Desain Pembelajaran dalam Konteks
Kurikulum 2013, Bandung: Refika Aditama, hal. 243-244; bdk. Aunurrahman 2016, Belajar dan
Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, hal. 140-173; Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 213-2015.

34
Kami tiba di SMP Suster ketika sekolah tersebut sedang menyelenggarakan
ulangan semesteran. Oleh sebab itu, kami tidak bisa mengamati proses belajar-
mengajar di kelas. Namun, kami masih diberi kesempatan untuk melakukan
wawancara dengan guru PAK-nya, yakni AU.35 Wawancara kami lakukan di
sebuah ruangan khusus BK yang berukuran 4 x 6 m. Dari jarak jauh kami
mengamati ruang kelas yang berukuran standar. Ruangan ini dapat dikatakan
sangat memadai. Setiap ruang kelas rata-rata ditempati oleh 30-an siswa. Mereka
duduk dilengkapi bangku dan meja yang standar. Kondisi ruang kelas sangat
mendukung proses belajar-mengajar. Proses belajar mengajar tak terhalangi oleh
kurangnya fasilitas. Proses belajar-mengajar dengan menonton film, game
(permainan), dan penggunaan in-focus biasa dilakukan.
Disebabkan oleh tidak adanya kegiatan belajar mengajar, kami akhirnya
melakukan wawancara atas proses belajar mengajar di kelas yang terkait dengan
aspek pengajaran. Pertama, hal yang terkait dengan jumlah materi. Menurut AU
materi pelajaran yang disampaikan oleh guru PAK disesuaikan dengan rambu-
rambu, salah satunya adalah Kompetensi Dasar (KD). Menurutnya jumlah materi
yang disampaikan kepada siswa tidaklah banyak. kedua, frekuensi penilaian guru
terhadap siswa. Penilaian guru terhadap siswa bisa dalam berbagai bentuk.
Misalnya, mekanisme penilaian melalui berbagai ulangan adalah sesuatu yang
lumrah (harian, mid, umum/akhir semester). Guru juga menilai kemampuan siswa
dalam menjawab suatu pertanyaan berikut cara pemaparannya, sesuatu yang juga
dilakukan oleh AU saat mengajar. Ketiga, dalam mengajar, sebagai guru, AU
memiliki pengandaian bahwa siswa pada dasarnya sudah memiliki pengetahuan
sebelumnya. Dengan demikian, AU tidak memperlakukan siswa sebagai subjek
yang pengetahuannya perlu diisi dari luar.
Dalam pengajarannya, AU tidak mendominasi berlangsungnya proses belajar
mengajar di kelas. AU memposisikan diri sebagai fasilitator yang menata agar
proses pengajaran dapat berlangsung dengan lancar. Menurut AU, ia selalu
menciptakan lingkungan dan pengalaman kreatif bagi siswa. Dalam melakukan
penilaian AU juga melihatnya dari berbagai aspek seturut rambu-rambu yang
berlaku dalam K-13. Penyampaian materi yang mempertimbangkan berbagai
aspek dalam kelas sebagai sesuatu yang holistic juga dilakukan oleh AU. Konsep
ini sepertinya sudah begitu familiar bagi AU. Sesekali, menurut AR, ia
menstimulasi pengetahuan yang dimiliki oleh siswanya.
Dalam pengajarannya AU selalu berupaya memberikan kebebasasn kepada
para siswa untuk menciptakan sumber belajarnya sendiri, dalam hal ini
menekankan kreativitas. Bagi SMP Suster untuk mewujudkan hal ini tidaklah
sulit. Salah satu pendukung pembelajaran yang baik adalah optimalnya fasilitas
media pembelajaran. AU juga memandang guru sebagai aktor-aktor penting yang
menginisiasi proses belajar mengajar. Homogenitas siswa juga memudahkan AU
mengontrol ketertiban kelas saat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Siswa
juga memperlihatkan kemampuan dalam membangun iklim kreatif dalam kelas.
Menurut AU, selama proses belajar mengajar berlangsung tidak terlihat
ketegangan yang dialami siswa. Bahkan, bagi para siswa PAK merupakan mata

35
Inisial guru PAK SMP Suster yang bernama A’us.

35
pelajaran yang begitu mengena dalam keseharian hidup mereka. Saat
berlangsungnya pelajaran PAK terlihat siswa merasa dihargai dan diperlukan oleh
guru terkait inisiasi proses belajar mengajar di kelas. Menurut AU, di SMP Suster
siswa yang mengikuti PAK tidak hanya dari Katolik, tapi juga siswa yang non-
Katolik, seperti Islam dan Kong Hu Cu. Komposisi sisiwa berdasarkan agama
yang dianut adalah 30 % Katolik, sedangkan sisanya terdiri dari agama lain non-
Katolik (70%).
Sebagaimana yang dipaparkan, dalam mengajar AU selalu disiplin dalam
menggunakan waktu. Ketepatan jam masuk dan bubarnya kelas sangat
diperhatikan. Hal yang juga tak kalah menarik adalah model pengajaran dan
pembelajaran yang digunakan oleh AU sangat bervariasi.36 AU, misalnya,
meminta siswanya untuk belajar dalam kelompok. Ini dilakukan untuk mendorong
partisipasi dan memungkinkan semua siswa bisa saling mengenal. Posisi duduk
juga bisa sesuai dengan bentuk ruangan yang persegi empat. Variasi dalam duduk
ini diupayakan tidak mengurangi produktivitas siswa. AU juga memberikan
alokasi waktu sekitar 10-20 menit bagi para siswa untuk berdiskusi. Alokasi
waktu ini sangat diperhatikan sekali oleh AU agar siswa tidak melangkahi
tanggung jawabnya sendiri. AU juga selalu meminta siswa mendiskusikan topik
seputar materi terkait, selain melatih siswa untuk tidak memonopoli pembicaraan
dalam diskusi.
Dalam model ini AU selalu mendorong agar diskusi bisa sampai pada solusi-
solusi yang tidak menyudutkan atau menghakimi siapa pun. Intinya, siswa harus
didorong untuk mencari pemecahan, bukan celaan. Harus diakui bahwa penerapan
model ini tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan siswa. Dalam model ini peran
AU sebagai guru memegang peranan penting dalam menjaga efektivitas disiplin
siswa. Dalam hal ini AU selalu menekankan tanggung jawab, membuat aturan-
aturan yang menuntun pada kesuksesan, tidak menghakimi, menghargai solusi
dan pendapat siswa, menawarkan alternative-alternatif yang sesuai, konsisteen,
dan melakukan review berkelanjutan. AU berperan sebagai fasilitator siswa yang
membimbing mereka menuju pemecahan masalah yang efektif. Sebagaimana
seudah dijelaskan sebelumnya bahwa ruang kelas tempat AU mengajar didesain
sedemikian rupa sehingga siswa bisa saling berhadapan dan saling berbagi opini
untuk mencapai solusi atas permasalahan tertentu.
Ada beberapa hal terkait pembelajaran yang juga kami tanyakan terkait
berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas. AU selaku guru selalu
memberikan motivasi kepada siswa untuk menciptakan suasana belajar yang
saling mebutuhkan, interaksi positif. Cara ini bertujuan mendorong para siswa
agar merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Menurut AU,
untuk melakukan hal itu ia harus membuat persiapan dan menyusun tugas
sedemikian rupa sehingga masing-masing anak harus melaksanakan tanggung
jawabnya sendiri-sendiri agar tugas selanjutnya dapat terlaksana. AU menuntun
setiap siswa harus saling bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini
bertujuan memberikan kepada para siswa untuk membentuk sinergi yang

36
Diperkenalkan oleh William Glasser (1969); lih. Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

36
menguntungkan mereka. Inti dari pendekatan yang AU lakukan adalah
memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing. Pendekatan ini
juga bertujuan agar siswa (pemelajar/pembelajar) memiliki keterampilan
berkomunikasi. Tidak mengherankan jika AU sesekali mengajarkan cara-cara
berkomunikasi sederhana. Selama proses belajar mengajar berlangsung, terlihat
bahwa tidak semua siswa berkemampaun dalam mendengarkan dan berbicara.
Setelah diamati, keberhasilan belajar mengajar di kelas ini juga ternyata
bergantung pada kesediaan para siswa untuk saling mendengarkan dan
kemampuan mengutarakan pendapat. Kelas yang diajar oleh AU ini
memmerlihatkan interaksi yang cukup aktif.37

Focused Group Discussion (FGD)


Focus Group Discussion (FGD – selanjutnya FGD) atau Diskusi Kelompok
Terarah38 adalah suatu diskusi yang dilakukan secara sistematis dan terarah
mengenai masalah-masalah tertentu. Tujuan diselenggarakannya FGD kali ini
adalah untuk mendiskusikan pentingnya model pengajaran dan pembelajaran PAK
jenjang SMP untuk menstimulasi daya penerimaan siswa. Tema diskusi dalam
kegiatan ini adalah Model Pengajaran dan Pembelajaran Pendidikan Agama
Katolik (PAK) Jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Pontianak.39
FGD ini dilaksanakan di Hotel Kapuas Dharma pada Kamis, 20 Desember 2018
yang berlangsung dari pukul 08.30 – 12.00.40 Jumlah peserta dari FGD ini
totalnya adalah 14 orang, terdiri dari tim peneliti, narasumber, dan para guru
(partisipan).41 Tim Peneliti sendiri masing-masing bertugas sebagai MC sekaligus
moderator, asisten-moderator/co-fasilitator, dan notulen. Acara dibuka dengan
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Selanjutnya, kata sambutan dari
Ketua Peneliti dan Plt. Wakil Ketua Bidang Akademik dan Kelembagaan, yang
notabene juga anggota peneliti.

Proses Diskusi
Mengingat tujuan utama pelaksanaan FGD ini adalah untuk berdiskusi perihal
model pengajaran dan pembelajaran kepada para guru PAK sebagai peserta FGD,
juga dipandang perlu untuk memberikan materi kepada para partisipan (guru
PAK). Dalam pelaksanaannya pihak penyelenggara – dalam hal ini Tim Peneliti –
menyediakan satu tim narasumber yang terdiri dua orang: Dr. Hariansyah, Ketua
Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) IAIN Pontianak dan Ana Rosilawati, S.Ag.,

37
Model pembelajaran kooperatif.; lih. Abiding, Yunus 2013, Desain Pembelajaran dalam Konteks
Kurikulum 2013, Bandung: Refika Aditama, hal. 243-244; bdk. Aunurrahman 2016, Belajar dan
Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, hal. 140-173; Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran
dan Pembelajaran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 213-2015.
38
Ada beberapa terjemahan untuk Focused Group Discusion (FGD), antara lain Diskusi Terfokus
dan Diskusi Kelompok Terarah. Dalam tulisan ini digunakan istilah keduanya.
39
Urutannya adalah tema, topik, dan judul. Tema lebih luas dari topik, dan topik lebih luas dari
judul.
40
Jadwal ditempatkan pada bagian Lampiran Laporan Penelitian ini.
41
Undangan yang beredar khusus untuk guru agama Katolik adalah dua puluh empat.

37
M.Ag. Dalam pemaparannya, kedua narasumber ini lebih banyak menggunakan
berbagai contoh berikut penerapannya ketimbang penjelasan-penjelasan rumit
konseptual-teoritis. Dalam mengawali pemaparannya Ana Rosilawati tidak
langsung ke pokok permasalahan dengan melakukan curah pendapat
(brainstorming), tetapi melakukan semacam penyegaran kepada para partisipan
FGD agar tetap brsemangant mengikti kegiatan, semacam ice breaking. Ana
Rosilawati mengajak para peserta untuk menggerakkan badan dan bernyanyi. Hal
tersebut memang sering dilakukan saat memulai suatu sesi tertentu.
Di awal pembukaan sesi yang bernuansa gembira tersebut Ana Rosilawati
mengajak para peserta untuk menyanyikan sebuah lagu popular yang syairnya
telah digubah:42
Resah dan gelisah
Belajar tak betah
Bosan dan menjemukan
Anak terlihat pasif
Guru aktif ceramah
Anak duduk dengarkan
Sungguh sangat membosankan
Malu aku malu, mengajar begitu
Padahal telah ditatar
Uang banyak keluar
Seakan cuek saja
Ogah pembaharuan
(“pak guru, bu guru, ngajarnya kok gitu-gitu ajah sih?”)
“Gini pun lulus,” jawabnya
Sungguh aneh tapi nyata
Di negeri sana
Cara ngajar tak berubah
sejak zaman abah
pada siapa minta bantu
untuk tingkatkan mutu
proses belajar mengajar
aktif, kreatif,
menyenangkan
Melalui teks gubahan dari sebuah lagu pop ini jelas sekali terlihat bahwa
narasumber mengajak para guru – dalam hal ini peserta FGD – untuk
memerhatikan betapa pentingnya membangun kreativitas mengajar melalui media
belajar sehingga suatu model pengajaran dan pembelajaran tertentu yang
didasarkan pada kebutuhan siswa dapat dipraktikkan. Ketidaksesuaian metode
mengajar dan pembelajaran sangat berdampak pada minat belajar siswa. Selain
itu, narasumber juga memberikan penjelasan mengenai pendidikan sebagai sebuah
sistem yang meliputi elemen instrumental input, raw input, environtmental input,
dan output yang semuanya terhubung ke proses.
Dalam pemaparannya, narasumber memberikan materi seputar strategi
pembelajaran kreatif. Model pertama yang diperkenalkan adalah Active Debate
(Debat Aktif). Model ini berangkat dari pengandaian bahwa suatu perdebatan

42
Bersumber dari slide presentasi narasumber, Ana Rosilawati.

38
dapat menjadi sebuah metode berharga untuk mengembangkan pemikiran dan
refleksi, khususnya jika para peserta didik mengambil posisi yang bertentangan
dengan pendapatnya. Ini adalah sebuah strategi untuk suatu perdebatan yang
secara aktif melibatkan setiap peserta didik dalam kelas, bukan hanya orang-orang
yang berdebat. Beberapa prosedur perlu diperhatikan dalam menerapkan model
ini:
1. Kembangkan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan sebuah isu
kontroversial yang ada kaitannya dengan mata pelajaran yg Anda ampu;
2. Bagilah kelas menjadi dua tim debat;
3. Tugaskan (secara acak) posisi pro pada satu kelompok dan posisi kontra
pada kelompok yg lain;
4. Selanjutnya, buatlah dua atau empat sub-sub kelompok didalam masing-
masing tim debat itu;
5. Mintalah tiap sub-sub kelompok mengembangkan argumen untuk posisi
yang ditentukannya;
6. Berikan sebuah daftar argumen yang lengkap yang dapat mereka
diskusikan. Pada akhir diskusi mereka, suruhlah sub-sub kelompok
memilih seorang juru bicara;
7. Aturlah tempat duduk mereka sesuai dgn sub-sub kelompok, untuk para
juru bicara kelompok pro dan kontra yang saling berhadapan;
8. Mulailah perdebatan dengan meminta juru bicara menyampaikan
pandangannya sesuai dengan masalah yg didebatkan;
9. Setelah setiap orang selesai berargumen, sub-subkelompok bergabung
kembali seperti semula, mintalah subkelompok tersebut membuat strategi
bagaimana meng-counter agumen-argumen pembuka tersebut dari sisi
yang berlawanan;
10. Mulailah perdebatan lagi, suruhlah juru bicara memberikan argumennya
dan memberikan counter-argument. Doronglah peserta yang lain untuk
mencatat apa-apa yang perlu didebatkan dan disarankan;
11. Doronglah mereka memberikan aplaus terhadap argumen dari para wakil
tim debat mereka;
12. Ketika Anda berpikir bahwa sesi sudah cukup, maka akhiri perdebatan
tersebut;
13. Buatlah suatu diskusi seluruh kelas tentang apa yang telah dipelajari,
mintalah peserta didik untuk mengidentifikasi tentang apa yang mereka
pikirkan dari argumen terbaik yang dibuat oleh dua kelompok debat
tersebut.
Model kedua, Point Counter Point (saling beradu pendapat). Kegiatan ini
merupakan sebuah teknik yang mumpuni untuk merangsang diskusi dan
mendapatkan pemahaman lebih mendalam tentang berbagai isu kompleks.
Formatnya mirip dgn sebuah perdebatan namun kurang formal dan berjalan
dengan lebih cepat. Ada pun prosedurnya adalah sebagai berikut:
1. Pilihlah sebuah masalah yang mempunyai dua sisi/perspektif atau lebih;
2. Bagilah kelas dalam kelompok menurut jumlah posisi yang telah Anda
tetapkan dan mintalah tiap kelompok mengungkapkan argumen untuk

39
mendukung bidangnya. Doronglah mereka bekerja dengan partner tempat
duduk atau kelompok inti yang kecil;
3. Gabungkan kembali seluruh kelas, mintalah para anggota dari tiap
kelompok untuk duduk bersama dengan jarak yang berbeda;
4. Peserta didik diberikan untuk menyampaikan argumen yang sesuai dengan
posisi yang telah ditentukan. Teruskan diskusi tersebut dengan bergerak
secara cepat;
5. Simpulkan kegiatan tersebut dengan membandingkan isu-isu sebagaimana
Anda melihatnya. Berikan reaksi dan diskusi lanjutan.
Dalam model ini juga dimungkinkan variasi. Beberapa langkah yang perlu diikuti
adalah:
1. Sebagai ganti perdebatan kelompok dan kelompok, pasangkan peserta
didik individual dari kelompok yang berbeda dan suruhlah mereka saling
berargumen. Ini dapat dilakukan secara serentak agar setiap peserta didik
didorong dalam perdebatan itu pada saat yang sama;
2. Aturlah kelompok yang berlawanan agar mereka saling berhadap-hadapan.
Ketika seseorang menyimpulkan argumennya, mintalah seorang yang lain
untuk menangkis argumennya, begitulah seterusnya.
Beberapa model lainnya adalah The Power of Two
(kekuatan Berdua). Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan belajar
berkolaboratif dan mendorong kepentingan dan keuntungan sinergi itu, karenanya
dua kepala tentu lebih baik dari pada satu. Strategi ini baik utk digunakan
memulai pembelajaran terutama materi-materi mata pembelajaran yg bersifat
konseptual atau pemikiran. Model Reading Aloud. Mungkin mengherankan
membaca suatu teks dengan keras dapat membantu siswa memfokuskan perhatian
secara mental, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, dan merangsang diskusi.
Strategi ini mempunyai efek untuk memuaskan perhatian dan memuat suatu
kelompok yang kohesif. Model Everyone is A Teacher here. Ini merupakan
sebuah strategi yang mudah guna memperoleh partisipasi kelas yang besar dan
tanggung jawab individu. Strategi ini memberikan kesempatan pada setiap peserta
didik untuk bertindak sebagai seorang “pengajar” terhadap peserta didik lain.
Model Index Card Match (Mencocokan kartu induk). Model ini adalah strategi
cara menyenangkan aktif untuk meninjau ulang materi pelajaran. Ia membolehkan
perserta didik untuk berpasangan dan memainkan kuis dengan kawan sekelas.
Model Card Sort (memilah & memilih kartu). Model ini merupakan strategi
kolaboratif yang bisa digunakan untuk mengajarkan konsep, penggolongan sifat,
fakta tentang suatu objek, atau mengulangi informasi. Gerakan fisik yg
ditanamkan dapat membantu untuk memberi energi kepada kelas yang telah letih.
Model Question Students Have (pertanyaan siswa). Strategi ini adalah merupakan
cara yang mudah untuk mempelajari tentang keinginan dan harapan siswa.
Strategi ini menggunakan sebuah teknik untuk mendapatkan partisipasi melalui
tulisan daripada percakapan. Model Group Resume (Resume Kelompok). Strategi
ini secara khusus untuk menggambarkan sebuah prestasi, kecakapan dan
pencapaian individual. Secara kelompok strategi ini adalah merupakan cara yang
menyenangkan untuk membantu siswa lebih mengenal atau melakukan kegiatan
membangun tim. Strategi ini sangat efektif jika resume tersebut cocok dengan

40
mata pelajaran yang diajarkan guru. Model Small Group Discussion. Strategi
dimaksudkan untuk membangun kerja sama kelompok, kemampuan analitis dan
kepekaan sosial serta tanggung jawab individu dalam klompok.
Model Snow Balling (Bola Salju). Strategi ini diawali dari aktivitas baik itu
kegiatan mengamati maupun membaca yang dilakukan secara individu. Kegiatan
perorangan diikuti dengan kelompok kecil yang terdiri atas dua orang.
Berkembang menjadi 4 org, 8 orang dan seterusnya hingga pembagian dua
kelompok besar dalam satu kelas. Model Information Search. Metode ini dapat
diterapkan pada materi-materi yang padat, monoton dan membosankan, Materi
dapat diambil dari berbagai sumber seperti koran, majalah dan sebagainya. Model
Critical Incident. Strategi digunakan untuk memulai pelajaran. Tujuan dari
penggunaan strategi ini adalah untuk melibatkan siswa sejak awal dengan melihat
pengalaman mereka. Model Poster Session. Strategi ini adalah sebuah cara yg
tepat utk menginformasikan kepada siswa secara cepat, menangkap imajinasi
mereka, dan mengundang pertukaran ide di antara mereka. Siswa
mengekspresikan persepsi dan perasaan mereka tentang topik yang sekarang
sedang didiskusikan. Model Team Quiz. Strategi ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan tanggung jawab siswa terhadap apa yang mereka pelajari melalui
cara yang menyenangkan. Concept Map (peta konsep). Pemetaan pikiran
merupakan cara kreatif bagi tiap siswa untuk menghasilkan gagasan, mencatat apa
yang dipelajari atau merencanakan tugas baru. Dalam strategi ini guru meminta
mensintesis atau membuat suatu gambar atau diagram tentang konsep-konsep
utama yang saling berhubungan yang ditandai dengan garis panah dan di setiap
panah ditulis level yang membunyikan bentuk hubungan antara konsep-konsep
utama. Masih ada beberapa strategi lain lagi, seperti model Examples non-
examples, model Numbered Heads Together, model Cooperative Script, model
Kepala Bernomor Struktur, model Student Teams Divisions (STAD), Jigsaw
(model TIM ahli), dan model Problem-based Instructions (PBI).

Kesimpulan, Saran dan Rekomendasi


Kesimpulan
Kemunculan berbagai model pengajaran dan model pembelajaran – berikut
berbagai pengandaian konseptual teoretis dan filsosofis di belakangnya –
sebenarnya dapat dipandang sebagai reaksi dunia pendidikan terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi di lingkungan yang melingkupinya, dan itu adalah
tantangan. Perubahan itu bisa muncul dari ranah sosial-politik, ekonomi, budaya,
dan perkembangan ilmu dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan
psikologis siswa. Keberagaman model pengajaran dan pembelajaran sebenarnya
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan siswa yang beragam. Dari 11 SMP yang
kami teliti, 9 adalah SMP berstatus negeri, sedangkan 2 SMP berstatus swasta:
yang satunya swasta Katolik dan satunya lagi swasta umum. Secara umum model
pengajaran PAK yang digunakan di sekolah SMPN adalah classroom meeting.
Model ini dirancang untuk membantu siswa yang bermasalah dalam perilaku
sehari-hari untuk belajar bertindak dengan cara yang lebih bertanggung jawab.
Model ini juga mengandaikan bahwa jika siswa terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran dan mengembangkan relasinya dengan sekolah mereka akan mampu

41
bertanggung jawab dalam proses belajar mengajar. Di salah satu SMP swasta
umum juga menggunakan model classroom meeting, sedangkan di SMP swasta
Katolik menggunakan beragam model pengajaran: model memproses informasi,
model personal, model interaksi sosial, dan perubahan perilaku. Ada banyak
faktor yang menyebabkan terbatasnya penggunaan model pengajaran, salah
satunya adalah keterbatasan fasilitas belajar yang ada/diberikan (ruang kelas yang
memadai dan bersifat khusus).
Model pembelajaran PAK yang digunakan di SMPN pada umumnya adalah
model pembelajaran kooperatif. Model ini merupakan sistem pembelajaran yang
memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesame siswa
dalam tugas-tugas terstruktur. Pembelajaran kooperatif ini dikenal juga sebagai
pembelajaran berkelompok atau kerja kelompok. Dalam belajar kooperatif ada
struktur dorongan yang bersifat interdependensi efektif di antara anggota
kelompok. Hubungan kerja demikian memungkinkan timbulnya persepsi yang
positif tentang apa yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan
belajar berdasarkan kemampuan dirinya dan dari anggota selama belajar bersama
kelompok. Pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam
menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan
dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Siswa didorong untuk bekerja sama
pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan guru.

Saran
Berkaitan dengan berbagai perubahan zaman yang dipicu oleh berbagai hal
yang berdampak terhadap dunia pendidikan, terlebih lagi jika hal tersebut sangat
memengaruhi cara berpikir dan bertindak etis, sangat pentinglah bagi para guru
PAK untuk mengenal, memahami, dan mempraktikkan berbagai model
pengajaran dan pembelajaran. Di era teknologi digital seperti saat ini tugas para
guru PAK menjadi lebih berat karena mereka akan mengajar generasi millenial
(generasi Y, setelah generasi X) yang sangat berbeda dari generasi-generasi
sebelumnya. Kebutuhan siswa didik sangat mungkin semakin beragam, dan hal ini
menuntut para pendidik untuk menguasai berbagai model/metode seperti tersebut,
dan yang paling tak kalah pentingnya adalah kreativitas guru dalam membuat dan
memergunakan media pembelajaran.

Rekomendasi
Terkait dengan belum optimalnya proses belajar-mengajar PAK di sekolah-
sekolah negeri jenjang SMP di Kota Pontianak yang disebabkan oleh kurangnya
fasilitas dan media belajar, sebaiknya hal ini dapat menjadi perhatian bersama
berbagai pemangku kepentingan (stakeholder). Perlu diupayakan semacam
pemfasilitasian bagi pihak-pihak terkait untuk menjembatani ketidaktersediaan
fasilitas yang memadai demi terwujudnya proses belajar mengajar PAK yang
optimal. Pengawas PAK jenjang SMP Kota Pontianak mungkin salah satu pihak
yang bisa menjembatani permasalahan-permasalahan antara guru PAK dan
sekolah tempat mereka mengajar.

42
DAFTAR PUSTAKA

Nugraha, Dadan 2018. Transformasi Sistem Revolusi Industri 4.0. Makalah ini
disampaikan pada Workshop Technopreneurship "Road to TBIC 2019”, 30
September 2018.

Go, Piet 1990, Katolisitas Sekolah Katolik, Malang: Dioma.

Huda, Miftahul 2014, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Hardiman, F. Budi 2018. Homo Digitalis: Kondisi Manusia di Era Komunikasi


Digital. Makalah ini disampaikan kepada para undangan Seminar Dies
Natalis ke-49 Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) dengan tema
“Etika Komunikasi Digital – Membela Moralitas dalam Prahara Politik
Pascakebenaran”, dilaksanakan di Aula STFD, 24 Februari 2018.

Komisi Kateketik KWI 2007, Persekutuan Murid-Murid Yesus: Pendidikan


Agama Katolik untuk SMP (Buku Guru I), Yogyakarta: Kanisius.

Kuhn, Thomas S 1989, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Bandung:


Remadja Karya.
Mulyasa, H. E 2014, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013,
Bandung: Rosda.

Rooijakkers, Ad. 1991, Mengajar dengan Sukses, Jakarta: Grasindo.

Sembiring, M. Gorky 2009, Mengungkap Rahasia dan Tips Manjur: Menjadi


Guru Sejati, Yogyakarta: Best Publisher.

Sugiyono 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta.

Tse, Antonius dan Hipolitus K. Kewuel 2011, Bahan Ajar Pendidikan Agama
Katolik di Perguruan Tinggi, Malang: Serva Minora.

Wibawa, Lorensius Atik dan Y. Sulisdwiyanta 2017, Buku Guru: Pendidikan


Agama Katolik dan Budi Pekerti SMP Kelas VIII, Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.

43

Anda mungkin juga menyukai