Anda di halaman 1dari 4

Menurut Helius Sjamsuddin, dalam bukunya “Metodologi Sejarah, 1996”, beliau membagi

metode-metode dalam eksplanasi sejarah sebagai berikut.

a. Kausalitas
Menurut para ahli filsafat sejarah masalah kausalitas adalah bagian dari masalah eksplanasi
sejarah yang luas dan mendalam serta semuanya merupakan masalah metodologis. Kajian
sejarah merupakan bahasan tentang sebab- sebab dari suatu peristiwa yang terjadi sehingga
hampir merupakan aksioma bahwa segala sesuatu mempunyai sebab- sebab. Dengan kata lain
bahwa setiap fenomena merupakan akibat(consequence) dari sebab sebelumnya (antecendent
cause) (Temperley, ed, 1964: 60).
Kausalitas dalam sejarah adalah suatu rangkaian peristiwa yang mendahului dan peristiwa
yang menyusul. Konsep kausalitas telah memasuki kisah sedemikian rupa tanpa kausalitas
penulisan sejarah mungkin merupakan katalogus atau kronologi. Akan tetapi, penelitian “
sebab” dalam sejarah harus di tempatkan berdasarkan dua pembatasan yang di tentukan saja,
yaitu :
1) Batas jangkauan masa lampau yang di alamnya akan di cari interelasi anteseden atau
yang mendahului;
2) Batas jumlah factor yang berpengaruh yang di anggap tetap kotan dan krnanya tidak
di periksa (Gottschalk, 1975: 164).
Model kausalitas berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan berbagai
fakta dalam sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum sebab akibat (law of
Causation) menunjukkan bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya.
Kajian sejarah adalah kajian tentang sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi sehingga hampir
merupakan aksioma atau kebenaran umum. Dalam perkembangannya, hukum jausalitas
dianggap ketinggalan karena memiliki tendensi deterministik. Alternatif terhadap hukum
kausalitas adalah pendekatan fungsional.
Penjelasan dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari sejumlah sebab untuk peristiwa
yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut kemajemukan sebab (multiplicity of
causes). Dalam konteks ini, setiap sebab memiliki kedudukan sama penting. Langkah
selanjutnya adalah menganalisis sebab-sebab untuk kemudian mendapatkan penyebab utama
(the ultimate cause), sebab dari semua sebab (cause of all causes).
Kaitannya dengan kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme dalam sejarah
(determinism in history) dan kebetulan dalam sejarah (chance in history). Ahli filsafat Hegel
dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah determinisme. Kritik terhadap determinisme
adalah dianggap mengabaikan kemauan bebas (free will) manusia. Determinisme dianggap
bertentangan dengan adanya penyebab majemuk atau multikausal.
Sementara itu, kebetulan sejarah menganggap pertemuan atau benturan antar sebab dalam
peristiwa sejarah sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan yang kemudian mengubah jalannya
sejarah. Teori kebetulan mendapat kritik karena dianggap melebih-lebihkan. Penganut teori
ini dianggap malas melakukan penelitian, kemalasan inteletual(intellectual laziness) atau
vitalitas yang rendah (low intellectual vitality).
Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi fakta sejarah.
Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan memilihnya karena dianggap
mempunyai hubungan (relevansi)dan berarti (signifikansi) dengan apa yang diteliti. Hal yang
sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa sejarah. Susunan sebab-sebab,
signifikansi serta relevansi antar satu sebab atau serangkaian sebab dengan yang lainnya
merupakan esensi penafsiran sejarah.

b. Covering Law Model (CLM)


Sebagian besar ahli filsafat sejarah analitis mencoba memaksakan pengetahuan sejarah ke
dalam suatu formula hukum umum (general law), suatu pernyataan dari bentuk kondisi
universal yang sanggup dikonfirmasi atau dibantah berdasarkan bukti-bukti empiris yang
sesuai. Penganut CLM berpendapat bahwa setiap penjelasan dalam sejarah harus dapat
diterangkan oleh hukum umum (general law) atau hipotesis universal(universal hypothesis)
atau hipotesis dari bentuk Universal (hypothesis of universal form).
Menurut teori CLM, tidak ada perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan sejarah.
Penjelasan sejarah diperoleh dengan menempatkan peristiwa-peristiwa itu di bawah hipotesis,
teori, atau hukum umum. Penjelasan diperoleh dengan cara mendeduksikannya dari
pernyataan-pernyataan tentang hukum-hukum umum dan kondisi-kondisi awal.

c. Hermeneutika
Hermeneutika bertolak dari tradisi – tradisi relativisme (humaniora), yaitu berbuat dengan
mencapai tujuan tertentu (intensionalisme) dengan tokoh –tokoh seperti Dilthey, Croce, dan
Collingwood, yang berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya lebih sesuai dengan bentuk
kajian ideorafik (kekhususan, partikularistik)daripada kajian nomotetik, (keumuman,
Generalistik). Tradisi hermeneutika yang menjadi pembela utama pendekatan interpretif
(interpretive approach) menolak kemungkinan suatu unifikasi(atas dasar- dasar empiris aau
realis) antara ilmu alam dan kajian –kajian menenai perbuatan (action ), sejarah, dan
masyarakat. Hermeneutika menekankan secara tegas perbedaan antara ilmu alam dengan
ilmu kemanusiaan.
Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam antitesis terhadap teori CLM. Hermeneutika
menekankan secara jelas antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Penganut hermeneutika
berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya bisa diterangkan dengan kajian edografik
(kekhusunan, partikularistik) daripada nomotetik (keumuman, generalistik).
Pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari masa lalu dan
penjelasan pelaku sejarah. Sejarawan mencoba menjelaskan masa lalu dengan mencoba
menghayati atau dengan empati, menempatkan dirinya dalam alam pemikiran pelaku sejarah.
Hermeneutika mencoba memasuki diri pelaku dan berupaya memahami apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan diperbuat pelaku sejarah. Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan
yang menggunakan pengalaman hidupnya sendiri dengan sumber-sumber sejarah yang
digunakan.

d. Model Analogi
Analogi merupakan salah satu alat dalam eksplanasi sejarah yang juga sangat berguna.
Adapun urgensi analogi antara lain:
1) Dapat menjadi semacam ornament dalam artikulasi ide- ide.
2) Cara kerja analogi dapat berlangsung kdalam (internal) maupun keluar (eksternal).
3) Dapat memacu sesuatu argumen yang masuk akal.
4) Dapat memberikan saran dan membujuk,
5) Memberikan informasi dan ilustrasi , mengomunikasikan dan menjelaskan.
6) Meupakan alat pedagogis yang serbaguna dan dan efektif.
7) Alat eksplanasi dalam pengajaran sejarah dan guna memperindah tulisan.
Masih terjadi perdebatan di antara para pakar tentang analogi sebagai eksplanasi sejarah.
Namun bagi penganutnya, analogi merupakan alat eksplanasi yang sangat berguna. Analogi
berperan penting dalam proses kreativitas intelektual. Analogi dapat berperan ke dalam
maupun ke luar. Ke dalam, analogi dapat meningkatkan suatu yang tidak disadari atan
inferensi awal ke tingkat rasionalitas dalam pikiran . Keluar, analogi bekerja sebagai wahana
mengalihkan pikiran seseorang kepada orang lain.
Meskipun demikian, penggunaan analogi dalam eksplanasi sejarah berpotensi menimbulkan
kekeliruan. Karena itu, para sejarawan dituntut lebih selektif dalam menggunakannya.
Analogi, meskipun suatu alat untuk menjelaskan peristiwa sejarah, kedudukannya hanya alat
bantu (auxiliary) dalam pembuktian.
Analogi juga berkaitan dengan metafora. Sejarawan yang menggunakan metafora dalam
penjelasannya kerap menggunakan analogi. Beberapa contoh metafora sejarah antara lain:
1) Machiavellian, diambil dari nama Niccolo Machiavelli untuk menggambarkan doktrin
politik seseorang yang menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan
politiknnya;
2) Cut the Gordian Knot, dari nama Raja Gordius dari Phrygia kuno untuk
menggambarkan penggunaan cara-cara drastis tanpa bersusah payah;
3) Pyrrhic victiry, dari nama raja Pyrrhus dari Epirus untuk menggambarkan sebuah
kondisi di mana kemenangan perang diperoleh dengan kerugian besar. Sejarawan
menggunakan istilah ini untuk menggambarkan perjuangan seseorang untuk
mendapatkan sesuatu dengan kerja keras sampai kehabisan daya;
4) Carthaginian Peace, dari nama Kartago di Afrika Utara. Penghancuran Kartago yang
dilakukan Romawi untuk menghindari kebangkitan sebuah kekuatan. Sejarawan
menggunakan metafora ini untuk menggambarkan politik bumi hangus sebagai reaksi
atas kekhawatiran munculnya kekuatan lain.
e. Model Motivasi
Eksplanasi model motivasi dibagi atas dua bagian diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bentuk eksplanasi kausal, di mana akibat merupakan suatu perbuatan yang inteligen,
sedangkan sebab merupakan pikiran di belakang perbuatan itu;
2. Bentuk tingkah laku yang berpola. Pada dasarnya, model ini menekankan penggunaan
pendekatan psikohistori yang berpijak pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud.
Kelemahan pendekatan ini terletak pada keterbatasan-keterbatasan metode
psikoanalisis sendiri, selain prosedur historiografis yang kurang memadai.

Sumber :
Gottschalk, L. (1975). Mengerti Sejarah. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Sjamsuddin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud, Proyek Pendidikan
Tenaga Akademik Dalam http://ahmadnajip.wordpress.com/2012/04/10/eksplanasi-sejarah-
menurut helius-sjamsuddin

Anda mungkin juga menyukai