PERUNDANG-UNDANGA
N
asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan
pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum
Van Der Velden. Asas hukum adalah tipe putusan yang dapat digunakan
sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman
berperilaku. Asas hukum didasarkan atas nilai atau lebih yang menentukan
situasi yang bernilai yang harus direalisasi
Bellefroid, menyatakan asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari
hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari
aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum merupakan pengendapan
dari hukum positif.
P. Sholten. Asas hukum adalah kecendrungan-kecendrungan yang disaratkan
oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum
dengan keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada.
Asas-Asas Perundang-Undangan
Asas Legalitas, Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht
van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). asas legalitas yang
mengandung tiga pengertian, yaitu: Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (qiyas) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
Undang-undang tidak berlaku surut. Asas ini dapat dibaca dalam Pasal 13 Algemene
Bepalingen van Wetgeving (selanjutnya disebut A.B.) yang terjemahannya berbunyi
sebagai berikut: “Undangundang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak
mempunyai kekuatan yang berlaku surut.” Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Pidana,yang berbunyi sebagai berikut: “Tiada peristiwa dapat dipidana,
kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan pidana yang
mendahulukan.”
Asas Fiksi hukum, setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang setelah
diundangkan dalam lembaran Negara
3. Undang-undang yang tidak dapat diganggu gugat.
4. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal
mungkin untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaharuan (asas welvarstaat).
5. Undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan
undang-undang yang lebih rendah (lex superiori derogate
lex inferiori).
6. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan
undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogate
lex generalis).
7. undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan
undang-undang terdahulu (lex posteriori derogate lex
priori).
ASAS PEMBENTUKAN Peraturan
perundag-undangan
Asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam
bukunya yang berjudul Handboek Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu
Asas-asas formil:
1) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
2) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan perundagundagan
yang berwenang; peraturan perundangundangan tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar)atau batal
demi hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ yang tidak berwenang;
3) Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel);
4) Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel van uitvoerbaarheid), yakni setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena telah
mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
5) Asas konsensus (het beginsel van de consensus).
Asas-asas materiil:
1) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het
beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke
systematiek);
2) Asas dapat dikenali (het beginsel van de
kenbaarheid);
3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
4) Asas kepastian hukum (het
rechtszekerheidsbeginsel);
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan
individual (het beginsel van de individuele
rechtsbedeling).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1) “asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai;
2) “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” , bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang,
Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat yang tidak berwenang;
3) “asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan” , bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan;
4) “asas dapat dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
5) “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap Peraturan perundang-undangan dibuat karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
6) “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
7) “asas keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
1) “asas pengayoman”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan
pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat;
2) “asas kemanusiaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional;
3) “asas kebangsaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) “asas kekeluargaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan;
5) “asas kenusantaraan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
6) “asas bhinneka tunggal ika”, bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
7) “asas keadilan” , bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara;
8) “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” , bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial;
9) “asas ketertiban dan kepastian hukum”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian;
10) “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara;
11) “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah;
dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
itikad baik.
Melalui Asas pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut dapat ditentukan suatu
Ratio Legis dari peraturan perundang-undangan tersebut,
yakni suatu prinsip dasar yang membentuk tujuan umum
dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Ratio
Legis inilah yang menjadi kerangka acuan perumusan
ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Seperti yang diungkapkan oleh Kelsen “The unity of
these norms is constituted by the fact that the creation
of the norm–the lower one-is determined by
another-the higher-the creation of which of determined
by a still higher norm, and that this regressus is
terminated by a highest, the basic norm which, being
the supreme reason of validity of the whole legal order,
constitutes its unity”
Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami
oleh Adolf Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech
stanilitz, yaitu norma hukum memiliki dua wajah, yang dengan
pengertiannya: Norma hukum itu keatas ia bersumber dan
berdasar pada norma yang ada diatasnya; dan Norma hukum ke
bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma
yang dibawahnya. Sehingga norma tersebut mempunyai masa
berlaku (rechkracht) yang relatif karena masa berlakunya suatu
norma itu tergantung pada norma hukum yang diatasnya,
sehungga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut
atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada
dibawahnya tercabut atau terhapus pula
Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma
hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat
kelompok besar yaitu:
a. Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental
Negara);
b. Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara);
c. Formell Gesetz (Undang-undang „formal‟); d.
Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana
& aturan otonom).
Berdasarkan teori Hans Kelsen, struktur tata hukum
Indonesia adalah:
a. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan
UUD 1945);
b. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, TAP
MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
c. Formell Gesetz : Undang-Undang;
d. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis
mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan
Bupati atau Walikota