Anda di halaman 1dari 2

4.

4 Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang –
undang dengan melihat pada apa yang telah diterangkan dalam undang – undang
yang bersangkutan. Pada umum nya dalam suatu undang – undang terdapat pasal
tentang ketentuan umum yang isinya menjelaskan arti dari ketentuan yang telah
diatur. Istilah-istilah tertentu dianggap memiliki peranan penting dimana sering
memberikan definisi secara khusus, namun dalam prakteknya tidak semuanya
menjelaskan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan tersebut.
Tafsiran yang ada dalam memori penjelasan mengenai undang-undang
yang dapat diperdebatkan dihadapan pengadilan. Demikian juga, tafsiran yang
dilakukan oleh fiskus (pemerintah) ataupun wajib pajak tidak dapat mengikat bagi
pihak lainnya. Penafsiran secara resmi ini dapat berasal dari pembentukan undang
– undang, bukan dari sudut pelaksana hukum, yakni hakim. Dalam penafsiran ini,
kebebasan hakim sangat dibatasi.
4.5 Penafsiran Tata Bahasa
Penafsiran tata bahasa ialah penafsiran atas suatu ketentuan dalam undang
undang berdasarkan bunyi kata-kata secara keseluruhan dalam kalimat-kalimat
yang disusun oleh pembuat undang-undang. Penafsiran tata bahasa atau disebut
juga penafsiran objektif merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk
mengetahui makna ketentuan Undang-undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata, atau bunyinya. Dari semua penafsiran yang ada, penafsiran
menurut tata bahasa merupakan penafsiran yang paling penting dibandingkan
dengan penafsiran-penafsiran lainnya, karena apabila kata-kata dalam kalimat
suatu pasal dalam undang-undang telah jelas maksudnya, maka tidak boleh lagi
dipergunakan cara-cara penafsiran lainnya.
Ketentuan Undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang
umum. Hal ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari
Undang-undang. Penafsiran menurut bahsa juga harus logis. Inilah pentingnya
pembuat undang-undang untuk memilih kata-kata di dalam menyusun suatu
kalimat menjadi suatu aturan supaya tidak menimbulkan salah pengertian bagi
masyarakat yang membacanya.
Contohnya, KUH Pidana Pasal 372 kata “memiliki” dan “menggelapkan”
dalam pasal 372 tidak selalu mangandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi.
Perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan, tetapi suatu kasus perdata.

Anda mungkin juga menyukai