Anda di halaman 1dari 14

Drewes, B.F. Mojau, Julianus, Apa itu teologia?

pengantar ke dalam ilmu teologi,


(Jakarta : BPK Gunung Mulia , 2003), 187 halaman.

Ketika saya masuk ke sekolah teologi pada tahun 1972 dan belajar di kelas persiapan,
seingat saya tidak pernah kami diberi mata kuliah Pengantar Teologi. Yang diberikan kepada kami
adalah Ensiklopedi Teologi, yakni penjelasan mengenai apa itu Sistematika, Biblika, Historika dan
Praktika. Sesudah lulus dari kelas persiapan (dulu disebut propadeuse), kami diberi, antara lain
mata kuliah Dogmatik, dan dengan mata kuliah ini kami dianggap sudah mengetahui apa yang
dimaksud dengan teologi. Padahal, sebenarnya hal itu berarti bahwa kami baru mempelajari
Sistematika. Itu pun baru sebagian dari Sistematika. Namun, pada waktu itu, Dogmatika adalah
Sistematika, dan Sistematika adalah teologi (murni). Lama baru kami menyadari bahwa Dogmatik
adalah Teologi Sistematik tertentu, bu- kan Teologi Sistematik. Dengan menekankan kata
"tertentu" ini maka jelaslah bahwa yang kami pelajari adalah teologi dogmatik kalangan ter-
tentu, yaitu Calvinisme, dan dari teolog tertentu, yaitu Harun Hadiwijono (yang pada gilirannya
dipengaruhi oleh Gerrit Berkouwer). Sampai selesai studi di sekolah teologi pada tahun 1977,
hanya itu yang kami pelajari mengenai teologi. Menjelang lulus, ketika kami mempelajari Teologi
Barat abad ke-20, baru kami menyadari bahwa teologi masih lebih luas daripada dogmatik. Baru
kemudian sekali kami menyadari bahwa teologi adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan
konteks dan bahwa semua teologi –

juga yang diklaim sebagai bersifat universal - adalah teologi kontekstual yang menjawab
tantangan-tantangan dari konteks yang di dalamnya se- buah persekutuan Kristen berada. Jadi,
ketika saya mulai belajar teologi, dunia adalah tunggal, dan karena itu teologi adalah juga
tunggal. Sebalik- nya, ketika sekarang saya mengajar teologi, dunia adalah jamak dan, ka- rena
itu, teologi adalah juga jamak. Perubahan dari tunggal ke jamak bu- kan hal yang menyenangkan,
tetapi justru karena itu kita perlu dengan sungguh-sungguh mempelajari dan
mempertimbangkan kembali apa itu teologi, khususnya teologi yang mau kita pergunakan dalam
konteks tem- pat kita berada.

Bisa juga terjadi kemungkinan bahwa orang tidak menyadari bahwa

dia mempelajari teologi. Pada waktu itu terdapat pembagian tajam di an-

tara "teologi murni" dan "teologi terapan". Teologi murni adalah yang ber-

sifat abstrak-spekulatif-teoretik, sedangkan teologi terapan sesuai de-

ngan namanya - adalah penerapan teologi murni ke bidang praktis. Saya

ingat bahwa saat berkuliah saya tidak pernah menerima mata kuliah teo-

logi praktika secara tersendiri, oleh karena, misalnya, mata kuliah Homi-

letika, Hukum Gereja dan Pendidikan Agama Kristen dianggap sebagai

mata kuliah yang bersifat praktis. Mereka yang mengambil spesialisasi

dalam ketiga mata kuliah terakhir ini tidak akan mendapat kuliah teologi
dalam pengertian teologi murni di atas. Mereka akan menjadi lulusan

sekolah teologi, tetapi tidak mempunyai bayangan apa itu teologi dan

tidak bisa menghubungkan profesinya sebagai pendeta dengan teologi.

Bandingkan dengan seorang lulusan sekolah kedokteran yang mempu-

nyai bayangan mengenai ilmu kedokteran dan profesinya sebagai dokter.

Sekarang zaman berubah. Pembagian teologi menjadi teologi murni dan

teologi terapan sudah banyak ditinggalkan (meski di beberapa sekolah

teologi masih dipertahankan secara formal). Semua teologi seharusnya

mengandung teologi dan praksis bersama-sama. Di dalam teologi sistema-

tik sudah diasumsikan bagaimana penghayatannya di bidang praksis, se-

dangkan dalam teologi praktis orang membicarakan teologi sebagai teori.

Saya menampilkan kedua ingatan di atas untuk memperlihatkan ke- pada mahasiswa-
mahasiswi teologi zaman sekarang dalam konteks In- donesia bahwa mereka lebih beruntung
daripada kami. Sebab mereka bisa memanfaatkan buku pengantar ilmu teologi ini, yang sejauh
saya ingat, merupakan buku pertama mengenai apa itu teologi dalam bahasa Indo- nesia.
Tentunya penerbitan buku pengantar ilmu teologi ini tidak dapat dilepaskan dari pengakuan
pemerintah Republik Indonesia terhadap teo- logi sebagai ilmu dalam Kurikulum Nasional
(Kurnas) dan Kurikulum Standar Persetia 1997, yang mencantumkan mata kuliah Pengantar Ilmu
Teologi sebagai salah satu mata kuliah inti. Orang tentu dapat memper- debatkan apakah teologi
adalah ilmu. Dulu di zaman modern, orang membedakan antara ilmu pasti-alam sebagai sains
dan ilmu-ilmu lain sebagai humaniora. Semua ilmu lain harus menyesuaikan diri pada pola sains.
Namun, kemudian kita masuk ke dalam zaman postmodern, yang mulai mempertanyakan
pembagian ini. Dalam rangka ini, humaniora pun dapat disebut sebagai sains dan ilmu pasti-alam
pun merupakan ilmu- ilmu yang tetap dipengaruhi oleh subjektivitas manusia. Dalam konteks
perubahan zaman, saya tidak berkeberatan bahwa teologi disebut ilmu. Tetapi bagi saya hal ini
tidak menentukan. Yang penting adalah agar kita menyadari bahwa dalam konteks Indonesia
masalahnya adalah peng- akuan pemerintah (dan selanjutnya secara logis pengakuan publik)
pada teologi sebagai ilmu. Kalau sudah diakui sebagai ilmu, maka secara politis, teologi
mempunyai dasar berpijak di Indonesia, sama seperti ilmu-ilmu lain. Saya merasa kita semua
berutang budi kepada Pdt. B.F. Drewes, M.Th. dan Pdt. J. Mojau, M.Th. yang adalah dosen-dosen
di Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur (INTIM) di Makassar (Sulawesi Selatan) dan yang
menyusun buku pengantar ini. Buku ini mengemukakan ilmu teologi sebagai suatu kesatuan yang
utuh.

TUJUAN BUKU INI

Apa itu "ilmu teologi"? Ada orang yang mengaguminya sebab ilmu ini menjelaskan dan
menerangi rahasia-rahasia kehidupan kita. Ada pula orang yang meremehkannya karena
menganggap teologi sebenarnya bu- kan ilmu, melainkan hanya sebuah uraian mengenai
perasaan-perasaan.

Buku ini bermaksud menjelaskan isi dan metode ilmu teologi. Hal ini penting dilakukan
untuk menghindari kesalahpahaman, dan secara khu- sus penting pula, dengan adanya
pengakuan pemerintah melalui menteri pendidikan dan kebudayaan terhadap ilmu teologi
sebagai salah satu pro- gram studi dalam rangka Program Pendidikan Ilmu Sastra dan Filsafat
pada tahun 1996. Dengan demikian, ilmu teologi menerima tempat formal dalam dunia ilmu
pengetahuan di Indonesia.

Ilmu teologi merupakan ilmu yang majemuk isinya. Di dalamnya ter- dapat beberapa
bidang pokok yang perlu dikenal. Oleh karena itu, buku ini menyajikan uraian mengenai bidang-
bidang dalam ilmu teologi: Bibli- ka, Umum, Historika, Sistematika, dan Praktika (bab 4). Namun,
perlu pula untuk mengerti hubungan antarbidang ini. Sebab dengan demikian ilmu teologi
menjadi nyata sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Kesatuan yang utuh ini secara khusus diuraikan dalam bab 5. Hal ini tidak terlepas dari
pengertian yang kini hangat dibicarakan, yaitu penger- tian kontekstualisasi. "Teologi" senantiasa
muncul dalam situasi kondisi atau konteks tertentu. Firman Allah menanggapi kehidupan kita
kini. Se- baliknya, pemahaman kita akan Kabar Baik diwarnai oleh pergumulan kita saat ini. Ada
hubungan dialogis antara amanat Alkitab dan konteks. Sebab itu, bidang Umum-yang berkaitan
dengan konteks - diberi tempat yang penting dalam uraian buku ini.

Siapa yang diharapkan sebagai pembaca buku ini? Pertama-tama, memang kepada setiap
orang yang ingin memahami ilmu ini dan secara khusus perkembangannya di Indonesia. Mereka
dapat melewati bab 1 yang lebih terfokus mengenai tempat formal ilmu teologi dan langsung
terjun ke dalam bab 2. Namun, buku ini secara khusus disusun untuk me- nolong mereka yang
memasuki studi teologi (khususnya dalam lingkung- an Kristen Protestan). Penting bagi mereka
untuk memahami isi dan hu- bungan mata kuliah-mata kuliah yang ditawarkan pada perguruan
tinggi teologi. Dengan demikian, studi mereka akan mempunyai arah dan mak- sud tujuan yang
jelas. Dengan diakuinya ilmu teologi sebagai salah satu program ilmiah oleh pemerintah
(mendikbud), berarti mata kuliah "Peng- antar Ilmu Teologi" menjadi mata kuliah wajib. Besar
harapan buku ini dapat menolong dalam proses pembelajaran mata kuliah tersebut. Daftar
pustaka dan lampiran memberi petunjuk untuk maju lebih jauh dalam mendalami ilmu teologi
dengan mengutamakan buku-buku yang terbit dalam bahasa Indonesia.

Ilmu teologi sesungguhnya bukanlah ilmu yang kering, melainkan berhubungan dengan
spiritualitas yang hidup, memberi kekuatan dan pengarahan, meskipun kadang-kadang melalui
kebingungan. Memang benar bahwa belajar ilmu teologi sering dapat membingungkan sebab di
dalamnya orang bertemu dengan hal-hal baru menyangkut persoalan-per- soalan sentral dalam
kehidupan orang percaya. Namun, kebingungan ini dapat membawa pada wawasan yang lebih
luas dan kematangan yang lebih dewasa. Jangan lupa bahwa ilmu teologi tidak berada demi
dirinya sendiri saja. Ilmu teologi pada akhirnya hendak melayani damai sejahtera di dunia ini,
demi kemuliaan Allah! Semoga buku ini bermanfaat dalam kerangka maksud seperti ini.

TEMPAT DAN PEMBAGIAN FORMAL ILMU TEOLOGI DI INDONESIA


Dalam bab ini kita akan memperhatikan secara khusus tempat dan pem- bagian formal
ilmu teologi di Indonesia. Kita perlu memperhatikan hal ini berhubungan dengan dua hal: (a)
adanya pengakuan formal dari peme- rintah RI tentang tempat ilmu teologi dalam ensiklopedi
ilmu pengeta- huan di Indonesia, dan (b) pembagian formal rumpun-rumpun ilmu teologi yang
dilakukan oleh Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di In- donesia (PERSETIA) sebagai suatu
usaha pengelompokan mata kuliah- mata kuliah sebagaimana dituntut dalam Surat Keputusan
Menteri Pendi- dikan dan Kebudayaan (SK Mendikbud) RI. Karena itu, dalam bab ini akan
diuraikan dua hal yang terkait dengan kedua aspek formal ini, yaitu: (1) SK Mendikbud RI; dan (2)
rumpun-rumpun ilmu teologi menurut PERSETIA.

Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia didirikan pada tahun 1963, lih.


Lampiran 2.

Sebagian besar uraian bab ini berdasarkan pada Buku Kurikulum Nasional 5, Teologi:
Latar Bela kang. Penjelasan. Deskripsi dan Mata Ujian Negara (Jakarta: PERSETIA, 1997). 1.
BERBAGAI KEPUTUSAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN MAKNANYA

Sampai dengan tahun 1999, pendidikan di Indonesia berada di bawah menteri


pendidikan dan kebudayaan (mendikbud), kemudian di bawah menteri pendidikan nasional
(mendiknas).

Penyelenggaraan formal pendidikan teologi di Indonesia telah berlang- sung sejak abad
ke-19. Namun, tempat formal pendidikan ini menjadi masalah setelah pemerintah Republik
Indonesia mengatur gelar-gelar aka- demik melalui Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15
tahun 1974. Kepres dan inpres ini kemudian ditindaklanjuti oleh mendikbud dengan
mengeluarkan kebijakan pemerintah yang mengharuskan penggantian nama "Sekolah Tinggi
Teologi" menjadi "Sekolah Tinggi Filsafat/Agama".

Namun, tidak semua pendidikan teologi menerima kebijakan pemerintah ini. Untuk
mengatasi penolakan sebagian lembaga pendidikan teologi, terutama yang berlatar belakang
Protestan, pemerintah lantas mengeluarkan SK Menteri Agama tahun 1992 tentang Kurikulum
Standar Minimal Teologi versi Departemen Agama. Namun, SK menteri ini pun belum dapat
diterima oleh semua lembaga pendidikan teologi Protestan. Itu terindikasi dari ada- nya sebagian
sekolah teologi yang mau berafiliasi di bawah Departemen Aga- ma, dan sebagian sekolah teologi
yang lain ingin tetap berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Keadaan semakin sulit setelah mendikbud mengeluarkan SK No. 035/U/ 1993 yang
meresmikan kebijakan pemerintah tahun 1972 dan 1973. Surat keputusan ini mengandung dua
konsekuensi: (a) ilmu teologi tidak ter- daftar dalam ensiklopedi ilmu pengetahuan di Indonesia;
(b) gelar sarjana theologia (S.Th.) juga tidak diakui. Dalam situasi seperti ini, sekolah- sekolah
teologi, yang menolak berafiliasi secara formal di bawah Departe- men Agama untuk semua
jurusan atau program studi yang dimilikinya,

harus memilih satu dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, sekolah-sekolah yang
semula memakai nama "Sekolah Tinggi Teologi" (STT) meleburkan diri menjadi "fakultas" dalam
suatu universitas. Misalnya, STT Duta Wacana Yogyakarta menjadi Fa- kultas Teologi Universitas
Kristen Duta Wacana (UKDW); STT GPM Ambon menjadi Fakultas Teologi Universitas Kristen
Indonesia Maluku (UKIM); STT Tomohon menjadi Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia
Tomohon (UKIT). Dengan demikian, sekolah-sekolah teologi yang memi- lih kemungkinan ini
dapat mengatasi sebagian masalah, sekalipun masih ada masalah dengan pemakaian gelar
akademik, yaitu apakah memakai gelar sarjana theologia (S.Th.) atau sarjana sains (S.Si.). Pada
tahun 1994, Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana mulai memberi gelar sarjana sains
(S.Si.) kepada lulusannya dan menjadi fakultas teologi per- tama yang mendapat status
disamakan oleh pemerintah melalui Koordi- nator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V.

Kemungkinan kedua, sekolah-sekolah teologi yang tetap memakai nama "Sekolah Tinggi
Teologí" dan memilih untuk tidak berafiliasi secara menyeluruh di bawah Departemen Agama.
Sekolah-sekolah teologi ini mengambil dua posisi formal yang berbeda, yaitu menyelenggarakan
dua program pendidikan yang berbeda. STT Indonesia Timur (INTIM) Makassar, misalnya,
membuka dua program studi dengan dua posisi formal secara berbeda, yaitu program studi S,
Teologi yang secara formal berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kopertis
Wilayah IX dan program studi S, Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang secara formal berada di
bawah Departemen Agama (Bimas Kristen Protestan).

Tentu ada alasan tertentu yang menjadi latar belakang mengapa tempat for- mal
pendidikan ilmu teologi dalam ensiklopedi keilmuan di Indonesia begitu kontroversial. Paling
tidak, ada tiga alasan yang dapat disebutkan di sini.

Pertama, hal ini berhubungan dengan cara gereja-gereja di Indonesia sendiri


memandang pendidikan teologi. Gereja-gereja cenderung berpenda- pat bahwa pendidikan
teologi tidak perlu ilmiah. Yang diperlukan oleh gereja adalah pendidikan teologi yang
mempersiapkan orang-orang yang mau me- layani di dalam gereja dengan pengetahuan Alkitab
yang cukup, penguasaan pokok-pokok ajaran gereja, dan keterampilan berkhotbah. Di sini, pendi-
dikan teologi menyerupai pendidikan kedinasan, yaitu pendidikan pelatihan. Menurut kami, hal
ini berhubungan dengan latar belakang gereja-gereja di Indonesia itu sendiri. Gereja-gereja di
Indonesia sebagian besar lahir dari ha- sil pekabaran Injil lembaga-lembaga zending yang sangat
kuat dipengaruhi oleh semangat pietisme dan sikap antitesis terhadap rasionalisme. Ini kemu-
dian terwarisi dan membentuk sikap dan pandangan negatif, serta kecuri- gaan gereja-gereja
terhadap apa saja yang berbau "ilmiah".

Kedua, kalangan pemerintah Indonesia sendiri sulit melihat perbedaan antara apa yang
disebut ilmu teologi dan ilmu agama. Seolah-olah ilmu aga- ma sama dengan ilmu teologi. Kami
kira hal ini tidak menjadi masalah da- lam tradisi agama Islam. Namun, dalam tradisi agama
Kristen, khususnya Kristen Protestan, ilmu agama tidak sama dengan ilmu teologi.

Ketiga, kuatnya pengaruh kriteria ilmiah berdasarkan epistemologi posi- tivisme dan
empirisme. Dalam kriteria epistemologi, sesuatu dikatakan "il- miah" apabila memenuhi syarat-
syarat objektivitas (bebas nilai dan keya- kinan) dan pembuktian sesuai dengan hukum-hukum
ilmu eksakta. Kami melihat bahwa kriteria ilmiah model positivisme-empirisme ini sangat do-
minan dalam epistemologi ilmu pengetahuan di Indonesia sejak tahun 1970- an. Hal ini sejalan
dengan proyek modernisasi yang dilaksanakan oleh pe- merintah Orde Baru. Dalam kriteria ini,
pendidikan teologi jelas tidak dapat disebut sebagai sebuah pendidikan yang bersifat ilmiah.
Sebab ilmu teologi mempunyai model dan metode yang tidak begitu saja sama dengan ilmu
eksakta.
Kini, setelah melalui suatu perjuangan cukup lama yang dilakukan oleh sekolah-sekolah
teologi yang terhimpun dalam PERSETIA, bersama-sama dengan pendidikan teologi Katolik dan
gereja-gereja di Indonesia, akhir- nya pendidikan teologi sebagai pendidikan keilmuan mendapat
tempat formal dalam ensiklopedi ilmu pengetahuan di Indonesia. Pengakuan for- mal itu
dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebuda- yaan RI No. 0359/U/1996 tanggal
24 Desember 1996. Dalam keputusan itu, ilmu teologi diakui sebagai salah satu program studi
dalam rangka pro- gram pendidikan ilmu sastra dan filsafat. Di situ ilmu teologi sejajar ke-
dudukannya dengan ilmu-ilmu lain seperti ilmu sejarah, ilmu filsafat, ilmu religi, antropologi
budaya, dan lain-lain. Jadi, ciri khas ilmu teologi diakui dan dibedakan, misalnya, dari ilmu religi
(lih. bab 2.3).

Dalam SK mendikbud yang mengesahkan status formal pendidikan teologi di Indonesia


tersebut, dicantumkan pula Kurikulum Standar Mini- mal secara Nasional atau Kurikulum
Nasional (Kurnas) Program Studi Teologi dengan sistem penyelenggaraan perkuliahan satuan
kredit semester

(SKS). Kurnas ini terdiri atas tiga bagian besar:

(a) mata kuliah umum (MKU) dengan 10 SKS;

(b) mata kuliah dasar keahlian (MKDK) dengan 30 SKS;

(c) mata kuliah keahlian (MKK) dengan 47 SKS."

Marilah kita perhatikan dalam daftar berikut ini ketiga bagian kuri- kulum nasional itu
dengan mata kuliah-mata kuliah pada setiap bagian.

• MKU terdiri atas lima mata kuliah dengan bobot satuan kredit semes- ter untuk setiap
mata kuliah sebagai berikut:

a) Pendidikan Agama

: 2 SKS

b) Pendidikan Pancasila

: 2 SKS

c) Pendidikan Kewarganegaraan/Kewiraan

: 2 SKS

d) Ilmu Sosial Dasar

: 2 SKS

e) Ilmu Alamiah Dasar

: 2 SKS
MKDK terdiri atas lima belas mata kuliah dengan bobot satuan kredit semester untuk
setiap mata kuliah sebagai berikut:

a) Pengantar Hermeneutik Perjanjian Lama

: 2 SKS

b) Pengantar Hermeneutik Perjanjian Baru

: 2 SKS

c) Pengantar Filsafat Timur

2 SKS

d) Pengantar Filsafat Barat

2 SKS

e) Pengantar Ilmu Teologi

: 2 SKS

f) Metodologi Penelitian Sosial

: 2 SKS

g) Metodologi Penelitian Teologi

: 2 SKS

h) Agama dan Ipteks

: 2 SKS

i) Sejarah Gereja Indonesia

: 2 SKS

j) Agama dan Masyarakat

: 2 SKS

k) Agama Hindu dan Buddha

: 2 SKS

1) Agama Islam

: 2 SKS

m) Agama Suku dan Kebatinan

: 2 SKS
n) Teologi dan Komunikasi

: 2 SKS

o) Teologi dan Manajemen

2 SKS :

MKK terdiri atas lima belas mata kuliah dengan bobot satuan kredit semester untuk
masing-masing mata kuliah sebagai berikut:

a) Hermeneutik Perjanjian Lama I

b) Hermeneutik Perjanjian Baru I

: 3 SKS

: 3 SKS

c) Hermeneutik Perjanjian Lama II

: 3 SKS

d) Hermeneutik Perjanjian Baru II

: 3 SKS

e) Sejarah Agama Kristiani

: 4 SKS

f) Kristologi

: 3 SKS

g) Eklesiologi

: 2 SKS

h) Teologi Agama-agama

: 3 SKS

i) Teologi Kontekstual

: 4 SKS

j) Etika Kristiani

: 4 SKS

k) Teologi Sosial

: 3 SKS
1) Teologi Pastoral

: 4 SKS

m) Misiologi

: 4 SKS

n) Liturgika

: 2 SKS

o) Homiletika

: 2 SKS

Ada tiga konsekuensi yang perlu diperhatikan lebih jauh dari keputusan pemerintah ini.

Pertama, ilmu teologi sebagai pendidikan ilmiah harus terus-menerus mengembangkan


diri (metode dan isinya) sebagai sebuah ilmu pengeta- huan. Tantangan ini memerlukan suatu
usaha yang serius dari para pendi- dik di sekolah-sekolah teologi. Dengan metode dan isi yang
baik, maka ilmu teologi, seperti ilmu-ilmu lain, akan mampu melayani gereja dan du- nia. Di sini,
setiap orang yang belajar ilmu teologi dituntut kemampuan akademis tertentu untuk dapat
menyelesaikan pendidikannya. Orang yang mempelajari ilmu teologi tidak cukup hanya dengan
"mengandalkan" kesalehan hidup, namun juga dituntut untuk memiliki kecakapan ilmiah. Kedua,
pendidikan teologi sebagai pendidikan keilmuan harus men-

jadi pendidikan yang terbuka bagi siapa saja. Dengan demikian, belajar

ilmu teologi tidak selalu berhubungan dengan sikap untuk menganut ajar- an atau aliran
teologis tertentu. Perspektif ini mulai muncul dalam Study

Institute PERSETIA tentang Pengantar Ilmu Teologi dan Teologi Konteks-

tual, 24 Juni s.d. 1 Juli 2000 di Wisma Binawarga, Cipayung, Bogor. Di

sana dikatakan bahwa,

""Ada perkembangan pemikiran dan kebutuhan tentang 'siapa yang bisa dan boleh
diterima menjadi mahasiswa teologi, sebagai konsekuensi Teologi sebagai ilmu. Hal ini mulai
muncul mengingat bahwa mahasiswa yang kuliah teologi tidak selalu berkeinginan menjadi
pendeta. Malah ada kecen- derungan, orang bukan Kristen pun berminat mengikuti pendidikan
Teologi Kristen. Kenyataan tersebut menimbulkan ketegangan antara pemikiran dalam STATUTA
suatu Lembaga Teologi dengan pemikiran dalam SK Menteri, mengingat kebanyakan STATUTA
yang ada masih membatasi calon mahasiswa hanya untuk yang beragama Kristen."

Ketiga, dengan kedudukan formal sebagaimana diatur dalam SK menteri tadi, setiap
lembaga pendidikan teologi di Indonesia pada prinsipnya dapat memperoleh pengakuan formal
atas ijazah yang dikeluarkannya." 2. RUMPUN-RUMPUN ILMU TEOLOGI MENURUT PERSETIA
PERSETIA berpendapat bahwa pembagian mata kuliah-mata kuliah ke dalam tiga bagian
tersebut di atas tidaklah mencerminkan arah pendidikan teologi macam manakah yang hendak
dicapai dengan kurnas ini. Pembagian ini lebih merupakan pembagian akademis seperti
pendidikan tinggi pada umumnya. Berdasarkan alasan tersebut, pada tahun 1997 PERSETIA
menyelenggarakan Study Institute di Salatiga untuk membicarakan pem- bagian kurnas itu dalam
arah pendidikan teologi sebagaimana dikehen- daki oleh PERSETIA.

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan tertentu dalam pemba-

gian tersebut. Misalnya, jika dalam SK menteri penggolongan mata kuliah

dikenal dengan mata kuliah umum (MKU), mata kuliah dasar keahlian

(MKDK) dan mata kuliah keahlian (MKK), maka PERSETIA mengubah

penggolongan mata kuliah dengan sebutan "rumpun". Ada tiga rumpun

besar dalam pembagian PERSETIA, yaitu (a) Rumpun I atau Rumpun

Umum; (b) Rumpun II atau Rumpun Teologi; dan (c) Rumpun III atau

Rumpun Konteks. Perubahan ini mempengaruhi pembagian mata kuliah

ke dalam rumpun-rumpun. Misalnya, dalam SK menteri, mata kuliah

Pendidikan Agama termasuk dalam MKU, Pengantar Filsafat Timur dan

Barat termasuk MKDK. Sedangkan dalam pembagian PERSETIA, mata

kuliah Pendidikan Agama digolongkan ke dalam Rumpun II atau Rum-

pun Teologi, Filsafat Timur dan Barat digolongkan ke dalam Rumpun I

atau Rumpun Umum.

Untuk jelasnya, mari kita memperhatikan pembagian sebagaimana dikehendaki oleh


PERSETIA sebagai berikut.

Rumpun I atau Rumpun Umum. Mata kuliah-mata kuliah yang terma- suk dalam rumpun
ini adalah:

a. Pendidikan Pancasila

b. Pendidikan Kewarganegaraan/Kewiraan

c. Ilmu Sosial Dasar

d. Ilmu Alamiah Dasar

e. Pengantar Filsafat Timur

f. Pengantar Filsafat Barat


Mata kuliah-mata kuliah dalam rumpun ini lebih merupakan pemenuhan tuntutan formal
dari pihak pemerintah. Mata kuliah-mata kuliah ini adalah mata kuliah wajib bagi setiap program
studi S, dalam bidang ilmu- ilmu humaniora. Sekalipun demikian, PERSETIA mengharapkan agar
dalam proses belajar mengajar, sekolah-sekolah teologi juga menempatkan mata kuliah-mata
kuliah dalam rumpun ini ke dalam perspektif Rumpun II (Teologi) dan Rumpun III (Konteks).

• Rumpun II atau Rumpun Teologi. Mata kuliah-mata kuliah yang terma- suk dalam
rumpun ini adalah:

a. Pengantar Ilmu Teologi

b. Pengantar Hermeneutik Perjanjian Lama

c. Pengantar Hermeneutik Perjanjian Baru

d. Hermeneutik Perjanjian Lama I

e. Hermeneutik Perjanjian Lama II

f. Hermeneutik Perjanjian Baru I

g. Hermeneutik Perjanjian Baru II

h. Sejarah Agama Kristen

i. Kristologi

j. Eklesiologi

k. Etika Kristen

1. Teologi pastoral

m. Pendidikan Agama (Kristen)

n. Liturgika

o. Homiletika

PERSETIA berpendapat bahwa mata kuliah-mata kuliah dalam rumpun ini lebih
merupakan ciri khas pendidikan teologi itu sendiri. Mata kuliah- mata kuliah dalam rumpun ini
adalah mata kuliah yang harus diajarkan oleh suatu lembaga pendidikan teologi. Dengannya
diharapkan para ma- hasiswa teologi dapat dilatih untuk memiliki kompetensi teologis yang
mendasar sebagai bekal untuk mengembangkan diri lebih lanjut dalam panggilan pelayanannya.
PERSETIA mengharapkan bahwa perkuliahan dalam rumpun ini

dapat menciptakan suatu kompetensi teologi yang memadai dan menda- sar pada
tingkat S, Teologi. Karena itu ada tiga tekanan yang perlu diper- hatikan dalam pembelajaran
teologi menurut rumpun PERSETIA ini. a) Proses pendidikan dan pengajaran dalam rumpun ini
diharapkan di- mulai dengan Pengantar Ilmu Teologi yang menjadi suatu orientasi pada

teologi sebagai disiplin keilmuan. Karena itu, Pengantar Ilmu Teologi


dapat memberi suatu perspektif yang tepat tentang ilmu teologi itu. b) Mata-mata kuliah
biblika, yakni Pengantar Hermeneutik (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), Hermeneutik
(Perjanjian Lama dan Perjan- jian Baru), dan Teologi Biblika (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru)
dipandang sebagai dasar pokok ilmu teologi. Ditegaskan bahwa tanpa dasar biblika yang kuat,
bangunan ilmu teologi akan sangat lemah.

c) Mata-mata kuliah seperti Sejarah Agama Kristen, Kristologi, Eklesio- logi dan Etika
Kristen, dipandang sebagai yang melengkapi studi Bi- blika dan Konteks sehingga pada tahap ini
para mahasiswa diharapkan sudah memiliki gambaran yang jelas tentang ilmu teologi.
Sedangkan mata kuliah-mata kuliah seperti Pendidikan Agama Kristen, Teologi Pastoral, Liturgika
dan Homiletika diharapkan dapat memberikan garn- baran kepada mahasiswa tentang praksis
ilmu teologi.

• Rumpun III atau Rumpun Konteks. Mata kuliah-mata kuliah yang ter- masuk dalam
rumpun ini adalah:

a. Metodologi Penelitian Sosial

b. Metodologi Penelitian Teologi

c. Agama dan Ipteks

d. Sejarah Gereja Indonesia

f. Agama dan Masyarakat

g. Agama Hindu dan Buddha

h. Agama Islam

i. Agama Suku dan Kebatinan

j. Teologi dan Komunikasi

k. Teologi dan Manajemen

1. Teologi Agama-agama

m. Teologi Kontekstual

n. Teologi Sosial

o. Misiologi

Pada rumpun ini, PERSETIA mencatat bahwa dalam proses pembelajaran perlu
diperhatikan tiga hal sebagai berikut.

a) Keterampilan metodologis para mahasiswa diperlengkapi dengan kete- rampilan


metodologi baik umum (sosial) maupun teologi. Dengan ke- terampilan metodologi itu
diharapkan para mahasiswa akan mampu membaca dan memahami konteks sosial, budaya,
ekonomi, politik dan agama; serta memakai kemampuan ini dalam perkembangan teologi. Di sini
mata kuliah metodologi penelitian sosial dan metodologi pene- litian teologi mendapat posisi
penting.

b) Mempelajari konteks secara memadai mata kuliah Agama dan Masyara- kat, Sejarah
Gereja Indonesia, Agama-agama, Manajemen, Ipteks (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta
Seni) dan Komunikasi diharapkan dapat memberi deskripsi yang memadai tentang konteks
berteologi. Disadari bahwa tanpa pemahaman yang memadai tentang konteks, maka usaha
berteologi akan kehilangan relevansinya.

c) Kegiatan atau eksperimen berteologi di sini ditekankan bahwa pada akhirnya para
mahasiswa diharapkan dapat bereksperimen dalam ber- teologi secara kontekstual. Mata kuliah
Teologi Sosial, Misiologi, Teo- logi dan Manajemen, Teologi dan Komunikasi dapat menjadi ajang
bagi dilakukannya upaya (latihan) berteologi. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pada Rumpun II
atau Teologi tidak berlangsung suatu upaya berteologi secara eksperimental. Bisa saja. Hanya di
sini mau ditekankan bahwa dalam mata kuliah seperti Teologi Sosial dan Misio- logi, proporsi
praktik berteologi harus diberi perhatian secara khusus dalam proses belajar mengajarnya.
Pembagian PERSETIA itu digambarkan dalam bentuk diagram berikut ini.

Pengantar Teologi

Teologi Rumpun II

Biblika

Filsafat

Historika & Sistematika.

Metodologi

MKU Rumpun I

Umum

Konteks Rumpun III

Agama & Masyarakat

Berteologi

Skripsi

Perlu dicatat bahwa sekalipun perjuangan untuk memperoleh pengakuan formal dari
pemerintah yang menghasilkan Kurikulum Standar Nasional sebagaimana SK menteri merupakan
perjuangan bersama pendidikan teo- logi Protestan dan pendidikan teologi Katolik, namun
pembagian ke dalam rumpun-rumpun seperti diuraikan di atas hanya berlaku untuk kalangan
sekolah teologi anggota PERSETIA. Sekolah-sekolah teologi Katolik mempu- nyai pembagian
tersendiri.
Pembagian PERSETIA di atas lebih bersifat pedoman umum bagi sekolah- sekolah teologi
anggotanya dalam menyusun kurikulum mereka sesuai dengan konteks dan tradisi teologi
masing-masing. Demikian pula dengan pembagian PERSETIA ke dalam rumpun-rumpun bukanlah
pembidangan dalam ilmu teologi. Pembagian itu lebih bersifat praktis. Di sini dapat di- katakan
bahwa pembagian PERSETIA ini belum "matang" (sebab masih berada di antara konsep
tradisional dan konsep baru tentang ilmu teologi). Hal ini dapat dipahami mengingat hasil
konsultasi selalu bersifat kompro- mistis. Dalam buku ini, kami berusaha membuat suatu
pembagian dengan arah berteologi secara kontekstual (lihat bab 4 dan 5).

Anda mungkin juga menyukai