Anda di halaman 1dari 58

BUKU PANDUAN

PRAKTIKUM
LABORATORIUM
DRUG RELATED
PROBLEM (DRP)

NAMA :

NIM :

SEMESTER :

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JAYAPURA
1
2024
HALAMAN VALIDASI

PEDOMAN PRAKTIKUM DRUG RELATED PROBLEM

Edisi 1

TAHUN 2024

Telah diperiksa dan telah disetujui untuk memenuhi standar buku panduan penulisan
pedoman praktikum serta telah memiliki kesesuaian antara kompetensi dasar dengan materi
praktikum.

Disahkan Oleh Disusun Oleh


Tanggal : Februari 2024 Tanggal : Februari 2024
Ketua Program Studi S-1 Farmasi Penyusun

Risna, S.Farm., M.Si Apt. Dita Angra Sari Hs, S.Farm


NIDN. 1416129401 NUP. 9914012007

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan
kenikmatan yang tiada bandingannya dan karena berkat limpahan rahmat-Nya maka
penyusun akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan buku panduan praktikum Drug Related
Problem (DRP). Buku petunjuk praktikum ini dipersiapkan dalam rangka membantu
pengadaan sarana pendidikan terutama dalam praktikum Drug Related Problem (DRP).
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa petunjuk praktikum ini masih banyak
kekurangannya dan jauh dari sempurna, sehingga saran dan kritik yang konstruktif sangat
penyusun butuhkan demi perbaikan buku petunjuk praktikum ini. Semoga buku petunjuk ini
dapat bermanfaat menuntun mahasiswa sebelum melakukan praktikum Drug Related
Problem (DRP).

Jayapura, Februari 2024

Penyusun

3
VISI DAN MISI PRODI S1 FARMASI STIKES JAYAPURA

Visi :
“Menjadi Program Studi Farmasi Yang Menghasilkan Lulusan Unggul Di Bidang Farmasi
Klinik Dan Komunitas Serta Mampu Menjalankan Asuhan Kefarmasian Pada Kasus Aids,
TBC, dan Malaria Sampai Tahun 2030”

Misi :
1. Menyelenggarakan pendidikan akademik yang menghasilkan lulusan farmasi yang
memiliki semangat belajar seumur hidup.
2. Menyelenggarakan pendidikan belajar mengajar yang kondusif dengan implementasi
kurikulum dalam bidang farmasi klinik dan komunitas.
3. Mengelola sumber daya manusia, dana, sarana dan prasarana yang diperlukan secara
efektif dan efisien.
4. Menjalin kerjasama dan kemitraan dengan berbagai unsur untuk meningkatkan mutu
asuhan kefarmasian dalam penanganan AIDS, TBC dan Malaria.
5. Mengembangkan penelitian kefarmasian yang inovatif dan berkualitas dalam upaya
pananganan AIDS, TBC, dan Malaria.
6. Melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas
dan kemandirian masyarakat dalam penanganan AIDS, TBC, dan Malaria.
7. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru di bidang farmasi klinik dan
komunitas.

4
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................................
HALAMAN VALIDASI..........................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................................
VISI MISI.................................................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
TATA TERTIB PRAKTIKUM...............................................................................................vi
Praktikum 1 Pengenalan Praktikum DRP’s (Klinik Komunitas) ...........................................
Praktikum 2 Analisa DRP dan Penelusuran Pustaka..............................................................1
Praktikum 3 Analisa DRP pada Kasus TBC...........................................................................16
Praktikum 4 Analisa DRP pada Kasus Gangguan Sistem Pernafasan ...................................19
Praktikum 5 Analisa DRP pada Kasus Gangguan Sistem Syaraf..........................................19
Praktikum 6 Analisa DRP pada Kasus Gangguan Sistem Endokrin......................................22
Praktikum 7 Analisa DRP pada Kasus Infeksi Saluran Kemih...............................................24
Praktikum 8 Analisa DRP pada Kasus Gangguan Gout dan Rhematoid.................................27
Praktikum 9 Analisa DRP pada Kasus HIV/AIDS..................................................................27

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................43

5
TATA TERTIB PRAKTIKUM

1. Pada saat memasuki laboratorium untuk praktikum, letakkan tas dan barang-barang yang
tidak diperlukan pada tempat yang tersedia.
2. Tidak diperbolehkan makan dan minum selama praktikum berlangsung.
3. Setiap praktikan harus mempelajari teori praktikum yang akan dilakukan sebelum
praktikum berlangsung.
4. Tidak berbicara berlebihan yang dapat mengganggu jalannya praktikum.
5. Setiap kegiatan harus dicatat dengan cerat dan dilaporkan sebagai laporan sementara.
6. Praktikan diwajibkan membawa literature terkait farmakoterapi
7. Semua praktikan bertanggung jawab terhadap kebersihan dan keamanan ruangan
praktikum
8. Sebelum meninggalkan laboratorium, bersihkan meja kerja dan tangan anda serta
kembalikan bangku ketempat semula.
9. Gunakan jas laboratorium dalam keadaan bersih setiap praktikum.

6
PRAKTIKUM I DAN II
PENGENALAN PRAKTIKUM DRP’s (KLINIK KOMUNITAS) DAN
PENELUSURAN PUSTAKA

A. Tujuan Praktikum
Mahasiswa mampu melakukan pemilihan obat untuk terapi yang rasional dan
mengevaluasi penggunaan obat dengan menentukan Drug Related Problem (DRP) dan
memberikan solusi untuk DRP yang ditemukan pada penyakit yang diderita oleh pasien.
B. Dasar Teori
1. Definisi Drug Related Problems (DRPs)
Drug-related problems (DRPs) atau dikenal dengan permasalahan yang terkait
dengan pengobatan ialah suatu kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan terapi
obat, yang secara potensial maupun aktual memengaruhi luaran klinis pasien. DRPs
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan secara berkontribusi
terhadap meningkatnya biaya kesehatan.
Pengembangan produk obat baru dan pengetahuan farmakologi baru
didasarkan pada prinsip farmakologi fundamental sebagai DRPs, yaitu indikasi klinis,
efektivitas, keamanan, dan kepatuhan. Ketika produk obat baru dikembangkan untuk
penggunaan komersial, berbagai studi penelitian yang ketat harus dilakukan untuk
menunjukkan keamanan dan efikasi ketika digunakan untuk mengobati indikasi
tertentu. Oleh karena itu, kekayaan informasi yang dihasilkan pada populasi pasien
selama proses pengembangan obat dapat diterapkan langsung dalam pelayanan
kefarmasian untuk individu pasien.
Tahapan pengidentifikasian DRPs adalah :
a. Indikasi
Dalam pelayanan kefarmasian, keputusan pertama yang dibuat ialah
indikasi, yakni perlunya membuat hubungan antara indikasi (kondisi medis),
produk obat, regimen dosis, dan luaran klinis. Pemberian setiap obat kepada pasien
perlu mempertimbangkan indikasi klinis. Jika tidak ada indikasi klinis yang
membutuhkan terapi obat, terapi obat tidak diperlukan. Jika terdapat indikasi lain
yang membutuhkan terapi obat, tetapi pasien belum memperoleh terapi,
diperlukan terapi tambahan obat.
b. Produk Obat dan Regimen Dosis
Efektivitas ditentukan dengan mengevaluasi respons pasien dibandingkan

7
dengan tujuan terapi untuk setiap indikasi. Terapi obat bernilai efektif apabila
pasien memperoleh produk obat yang tepat dengan dosis yang efektif. Dengan
demikian, Ketika terapi obat tidak efektif, dapat dipertimbangkan dua alasan yaitu
kesalahan pemilihan produk obat atau regimen dosis terlalu rendah untuk
menghasilkan efek yang diinginkan. Produk obat dan regimen dosis dapat
menyebabkan reaksi obat yang merugikan atau toksisitas pada pasien. Reaksi obat
yang merugikan berupa respons yang tidak diinginkan dari produk obat atau efek
idiopatik yang dialami pasien. Toksisitas adalah hasil mengonsumsi obat yang
berdosis terlalu tinggi. Terkait hal ini, perlu mempertimbangkan keamanan
mengenai apakah reaksi obat yang tidak diinginkan disebabkan oleh produk obat
atau dosis,. Jika masalah terapi obat berkaitan dengan dosis, resolusinya ialah tetap
menggunakan produk yang sama, tetapi mengurangi regimen dosis.
Penyesuaian (adjustment) dosis merupakan upaya intervensi untuk
mencapai pengobatan yang efekktif. Penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan
dasar fungsi organ vital, seperti ginjal atau hati karena ginjal dan hati merupakan
organ utama yang bertanggung jawab terhadap eliminasi metabolisme obat-obatan
dari dalam tubuh. Adanya gangguan terhadap fungsi ginjal akan memerlukan
penyesuaian dosis maupun interval pemberian dosis untuk obat-obat yang
diekskresikan melalui ginjal.
c. Luaran
Ketidakpatuhan memengaruhi luaran klinis pasien dari segi efektivitas maupun
keamanan penggunaan obat. Dalam praktik pelayanan kefarmasian, ketidakpatuhan
dianggap sebagai masalah hanya setelah terapi obat yang sesuai indikasi klinis
dinilai efektif dalam mencapai terapi aman tanpa menyebabkan efek yang
merugikan bagi pasien. Ketidakpatuhan merupakan kategori yang berbeda yang
menggambarkan perilaku pasien, bukan terapi obat. Farmakoterapi yang efektif
memerlukan obat yang dikonsumsi dalam dosis tertentu, pada waktu tertentu, dan
dalam jangka waktu tertentu. Ketidakpatuhan menunjukkan pasien tidak mampu
atau tidak bersedia mengonsumsi obat secara tepat, efektif dan aman sesuai yang
dianjurkan.
Ada delapan jenis DRPs yang dapat terjadi pada pasien, yaitu :
1) Ada indikasi, tetapi belum diberikan obat
2) Pilihan obat tidak tepat
3) Dosis tidak adekuat (underdose)

8
4) Dosis berlebih (overdose)
5) Terjadi adverse drug reacions
6) Terjadi interaksi obat (baik interaksi antara obat dengan obat, obat dengan
makanan, maupun obat dengan tes laboratorium)
7) Tidak ada pemantauan , dan
8) Pemberian obat tanpa ada indikasi
2. Klasifikasi Drug-Related Problems
a. Kategori DRPs
Terkait Kebutuhan Obat Kategori DRPs
Indikasi 1. Indikasi tanpa terapi (membutuhkan
terapi obat tambahan)
2. Terapi tanpa indikasi (terapi obat
yang tidak diperlukan)
Efektivitas 1. Obat tidak tepat
2. Dosis terlalu rendah
Keamanan 1. Adverse drug reactions (reaksi obat
yang tidak dikehendaki)
2. Dosis terlalu tinggi
Kepatuhan Ketidakpatuhan

b. Kategori DRPs
DRPs Deskripsi DRPs
Membutuhkan terapi obat tambahan Pasien memerlukan terapi obat
tambahan untuk mengobati atau
mencegah kondisi medis tertentu
Terapi obat yang tidak diperlukan Terapi obat tidak diperlukan karena
pasien tiak memiliki indikasi klinis saat
ini
Obat tidak tepat Obat tidak efektif untuk menghasilkan
respons yang diinginkan pada pasien
Dosis terlalu rendah Dosis obat terlalu rendah untuk
menghasilkan respons yang diinginkan
pasien
Dosis terlalu tinggi Dosis obat terlalu tinggi sehingga

9
menimbulkan efek yang tidak
diinginkan
Adverse Drug Reaction Obat menyebabkan reaksi obat yang
tidak dikehendaki
Kepatuhan Pasien tidak dapat atau tidak mau
mengikuti regimen obat sesuai dengan
yang diinstruksikan

c. Klasifikasi DRPs berdasarkan penyebab (lanjutan)


DRPs Penyebab DRPs
Membutuhkan terapi obat tambahan 1. Pasien dengan kondisi Kesehatan yang
baru sehingga membutuhkan terapi
obat baru
2. Pasien dengan penyakit kronis yang
memerlukan terapi obat lanjutan
3. Pasien dengan risiko yang berkembang
menjadi suatu kondisi medis tertentu
dicegah dengan menggunakan terapi
obat profilaksis dan/atau premedikasi
Terapi obat yang tidak diperlukan 1. Pasien mengambil suatu pengobatan
yang tidak cocok dengan indikasi
medis pada saat itu
2. Pasien secara sengaja atau tidak
sengaja mengonsumsi obat atau
senyawa kimia yang toksik sehingga
menghasilkan suatu penyakit
3. Masalah kesehatan pasien
berhubungan dengan penyalahgunaan
obat, penggunaan alkohol, atau
merokok
4. Kondisi kesehatan pasien lebih baik
diterapi dengan terapi non obat
5. Pasien menggunakan berbagai obat
untuk suatu kondisi, tetapi hanya satu

10
obat yang diindikasikan
6. Pasien menggunakan terapi obat untuk
mengobati adverse reaction yang
berhubungan dengan pengobatan lain
Obat tidak tepat 1. Pasien mempunyai masalah medis
dengan obat yang digunakan tidak
efektif
2. Pasien mempunyai riwayat alergi
terhadap pengobatan tersebut
3. Pasien menerima obat yang tidak
efektif untuk pengobatan
4. Pasien mempunyai faktor risiko yang
kontraindikasi dengan penggunaan
obat tersebut
5. Pasien menerima obat yang efektif,
tetapi tidak aman
6. Pasien mengalami infeksi terhadap
suatu organisme yang resistan dengan
obat tersebut
7. Pasien tidak mau menggunakan terapi
obat tersebut
8. Pasien menerima kombinasi yang tidak
diperlukan karena dengan dosis
tunggal lebih sesuai
Dosis terlalu rendah 1. Dosis yang digunakan terlalu rendah
untuk mrenghasilkan efek yang tidak
diinginkan
2. Konsentrasi obat dalam darah berada
di bawah rentang terapi
3. Waktu profilaksis antibiotic
(presurgical) diberikan terlalu awal
4. Perubahan obat, dosis, rute, atau
formulasi tidak tepat

11
5. Terapi obat berubah sebelum mencapai
target terapi pada pasien
Dosis terlalu tinggi 1. Dosis terlalu tinggi untuk pasien
tersebut
2. Konsentrasi obat dalam darah berada
di atas rentang terapi
3. Dosis obat pasien meningkat terlalu
cepat
4. Pasien mengalami akumulasi obat
karena penggunaan secara kronis
5. Perubahan obat, dosis, rute, atau
formulasi tidak tepat
6. Dosis dan frekuensi tidak tepat
Adverse Drug Reaction 1. Obat diberikan secara cepat oleh
pasien
2. Pasien mempunyai reaksi alergi pada
pengobatat tersebut
3. Pasien diidentifikasi mempunyai faktor
risiko yang membuat obat tersebut
sangat berbahaya jika digunakan
4. Pasien mempunyai Riwayat reaksi
idiosinkronasi terhadap obat tersebut
5. Biovailabilitas obat berubah karena
interaksi dengan obat lain atau
makanan yang dikonsumsi pasien
6. Efek obat berubah karena
inhibitor/induktor enzim dari obat lain
yang dikonsumsi pasien
7. Efek obat berubah karena substansi
dalam makanan yang dikonsumsi
pasien
8. Efek obat berubah karena pergantian di
sisi ikatan oleh obat lain

12
9. Uji laboratorium pasien menunjukkan
perubahan karena intervensi dari obat
lain
Kepatuhan 1. Pasien tidak menerima aturan
pemakaian obat karena medication
error (peresepan, pembuatan,
pemakaian, pemantauan) yang dibuat
2. Pasien tidak patuh dengan
rekomendasi yang diberikan untuk
penggunaan obat
3. Pasien tidak mengambil obat yang
diresepkan karena harganya mahal
4. Pasien tidak mengambil obat yang
diresepkan karena kurang mengerti
instruksi yang diberikan
5. Pasien tidak mengambil obat yang
diresepkan secara konsisten karena
merasa sudah sehat

3. Faktor Resiko Terjadinya Drug-Related Problem


Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya DRPs, yaitu :
a. Faktor Pasien
Faktor pasien meliputi perilaku pasien seperti ketidakpatuhan atau terapi
pengobatan sendiri.
b. Faktor Dokter
Hal yang sering meliputi penyebab DRPs adalah masalah peresepan seperti
indikasi yang seharusnya sudah tidak ada (pasien sudah tidak merasakan gejala,
tetapi mash diberikan terapi; duplikasi terapi; dosis yang tidak sesuai; penggunaan
off label; terapi yang kurang/undertreatment; penggunaan obat yang tiak nyaman).
c. Faktor Farmasi
Penyebab DRPs ialah masalah dispensing seperti tulisan dokter yang tidak terbaca
sehingga ada kemungkinan terjadi kesalahan pengambilan obat.
d. Faktor Obat itu sendiri
Faktor ini meliputi kontraindikasi, interaksi obat, atau pengobatan yang dilakukan

13
karena terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD).
4. Analisis dan Penyelesaian Drug Related Problem & Kasus Farmakoterapi
Kasus-kasus farmakoterapi yang diambil baik dari rekam medik maupun
observasi langsung ke pasien, perlu dianalisa untuk dapat diselesaikan secara
terintegrasi. Beberapa metode yang umumnya dapat digunakan untuk menyelesaikan
kasus farmakoterapi adalah:
a. Metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan)
Untuk dapat menyelesaikan kasus yang dialami oleh seorang pasien dapat
digunakan metode SOAP, yaitu :
S = Subjective merupakan data-data pasien yang diambil dari riwayat penyakit
penderita seperti riwayat keluarga,, alergi, penyakitpenderita, pengobatan
0 = Objective merupakan kumpulan data pasien dari pemeriksaan fisik penderita
maupun pemeriksaan penunjang seperti X ray, ECG, CT scan
A = Assesment merupakan penentuan masalah atau problem apa yang dialami oleh
pasien atas dasar informasi pada subjective dan objective penderita
P =Plan, yaitu:
 Penetapan tujuan terapi
 Menentukan terapi farmakologi dan non farmakologi
 Pemilihan terapi farmakologi berdasar farmakoterapi rasional yaitu tepat
indikasi, tepat obat, tepat dosis dan cara pemberian, waspada terhadap efek
samping
 Pemberian konseling, informasi, edukasi kepada penderita
 Menetapkan dan memonitor efek pengobatan yang terjadi
b. Metode PAM (Problems, Assessment/ Actions, Monitoring)
Pada dasarnya metode PAM mempunyai tahapan yang sama dengan metode
SOAP, namun ada penitikberatan di monitoring hasil pengobatan dan efek samping
pengobatan.
P = Problems, yaitu kumpulan subyektif dan obyektif pada metode SOAP
A = Assessment/ actions, yaitu penilaian problem hingga penentuan tindakan yang
diambil baik terapi farmakologis, non farmakologis, maupun konseling atau
edukasi yang perlu dilaksanakan pada pasien (A dan P pada metode SOAP)
M = Monitoring, yaitu penentuan parameter yang dipantau dari actions yang
dijalankan, lalu ditentukan periode pemantauan dan hasil yang didapat dari

14
pemantauan tersebut
c. Metode FARM (Finding, Assessment, Resolution, Monitoring)
Metode FARM tidak jauh berbeda dari metode SOAP dan PAM sebelumnya.
Metode ini merupakan gabungan dari titik berat yang diperhatikan pada metode
SOAP dan PAM.
F = Finding, yaitu semua data hingga keluhan dan riwayat pasien yang membantu
untuk menentukan problem (S dan O pada metode SOAP)
A= Assessment, yaitu penilaian dan penentuan masalah berdasar finding
R = Resolution, yaitu penyelesaian problem yang ditentukan pada tahap A,
meliputi terapi farmakologis, non-farmakologis, dan KIE
M = Monitoring, yaitu monitoring keberhasilan dan efek samping pengobatan/
terapi (seperti monitoring pada metode PAM)
Menyelesaikan Kasus Farmakoterapi dengan Metode SOAP
Penyusunan database pasien merupakan komponen penting untuk menyusun
penyelesaian kasus atau pemberian pelayanan kefarmasian kepada pasien. Komponen
S & O dalam metode SOAP adalah cara untuk menyusun database pasien. Jenis
informasi yang dikumpulkan meliputi: data demografi pasien, riwayat penyakit,
riwayat obat, riwayat alergi, terapi obat saat ini, riwayat sosial dan situasi ekonomi,
riwayat keluarga, dan physical finding yang relevan dengan terapi obat.
Kesalahan yang sering terjadi adalah memasukkan seluruh data demografi ke
dalam bagian Subjective (S). Data demografi seperti nama, umur, alamat, tempat
lahir, status sosial dan ekonomi, bukan merupakan data subjektif yang menjadi bahan
penyelesaian kasus farmakoterapi, namun bisa menjadi pertimbangan dalam
pemilihan terapi. Sehingga data-data ini perlu dicatat dan diperhatikan, namun bukan
merupakan bagian data Subjective.
SUBJECTIVE (S)
Data subjektif adalah data yang bersumber dari pasien/ keluarganya/ orang lain yang
tidak dapat dikonfirmasi secara independen. Contoh data-data subjektif tertera pada
tabel berikut ini :
Klasifikasi Penyakit Data Subjektif yang Mungkin
Ditemukan
Penyakit Kardiovaskuler Nyeri menjalar di dada kiri hingga
lengan, pusing, merasa seperti menahan

15
beban di dada kiri, sesak saat beraktifitas
Penyakit Ginjal Nyeri saat buang air kecil, mual, muntah,
lemas, sakit pinggang
Stroke Pelo, bicara cadel, lemah di salah satu
bagian ekstremitas

OBJECTIVE (O)
Data objektif bersumber dari hasil observasi atau pengukuran yang dilakukan oleh
profesi kesehatan lain, yang mendukung proble medik. Contoh data objektif tertera
pada tabel berikut ini :
Jenis Pemeriksaan Contoh Data Objektif yang Dihasilkan
Pemeriksaan Kondisi/Keadaan Umum Tekanan Darah (TD) (mmHg); Denyut
(KU) danTanda-Tanda Vital (TTV) Nadi (HR) (x/menit); Laju Respirasi
(RR) (x/menit); Suhu (T) (0C); Glasgow
Coma Scale (GCS) (maksimal 4,
maksimal 5, maksimal 6)
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin Sel Darah Putih (Leu/ WBC) (x 10 3 /µL);
Sel Darah Merah (Eri/ RBC) (x 106
/mm3 ); Hemoglobin (Hb) (g/dL)
Pemeriksaan EKG Normal sinus rhytm

ASSESSMENT (A)
Proses assesment bisa menggunakan 2 cara, yaitu menggunakan evaluasi database
farmakoterapi atau menggunakan pendekatan problem-list.
a. Evaluasi Database Farmakoterapi
Farmasis melakukan assessment terhadap informasi S dan O yang telah
dikumpulkan dan disusun, lalu hal-hal tersebut dikaitkan dengan prinsip- prinsip
farmakoterapi, guideline terapi, dan evidence based medicine (EBM) terkait. Dari
evaluasi ini akan muncul Drug Related Problems/ Drug Therapy Problems
(DRP/DTP) baik aktual maupun potensial. Perlu dipikirkan peluang untuk
meningkatkan dan atau menjamin keamanan, efektivitas terapi obat, serta peluang
untuk meminimalkan atau menghindari DTP/DRP)
b. Pendekatan Problem-List
Pendekatan ini dapat memudahkan proses assesment karena mengelompokkan data

16
S dan O sebagai kelompok problem medik (PM) (meliputi diagnosa, gejala,
disfungsi organ, cacat fisik dan penyakit penyerta serta morbiditas). Setiap PM
dipasangkan dengan terapi yang sudah ada, selanjutnya dianalisis sesuai dengan
kaidah farmakoterapi. Pengorganisasian informasi seperti ini dapat membantu
memecahkan situasi yang komplek khususnya pasien yang memiliki PM lebih dari
dua. PM disusun berdasar urutan terpenting yang didukung dengan S dan O yang
ada Tabel berikut ini:
Problem Medik Terapi Assessment Rekomendasi
Pusing, TD Captopril 3 x 12,5 Diagnosa: Penambahan
150/90 mmHg mg Hipetensi Stage III amlodipin 5mg
DTP: need 1x1
additional drug Monitoring TD
therapy setiap hari selama
3 hari untuk
penyesuaian dosis

PLAN (P)
Plan yang dimaksudkan dalam penyelesaian kasus farmakoterapi meliputi
formulasi rencana pelayanan kefarmasian yang dilanjutkan dengan monitoring.
Formulasi rencana pelayanan kefarmasian meliputi:
a. Penetapan tujuan
b. Terapi farmakologi, meliputi rekomendasi terapi obat untuk setiap DTP/DRP
lengkap dengan dosis dan alasan pemilihan terapi
c. Terapi non-farmakologis
d. Rencana Konseling Informasi dan Edukasi kepada pasien
Hal-hal yang perlu disampaikan kepada pasien saat memberikan informasi adalah
sebagai berikut :
a. Obat yang diberikan, mengapa harus minum, gejala yang mungkin dapat
menghilangkan, kapan efek obat akan mulai terlihat dan apa yang akan terjadi
bila penggunaan obat tidak benar.
b. Efek samping obat, apa yang mungkin muncul. bagaimana mengenalinya,
bagaimana keseriusan efek samping obat dan harus ke mana bila terjadi efek
samping obat (ESO)

17
c. Instruksi, kapan harus minum ohat, bagaimana harus menyimpan obat, berapa
lama minum obat
d. Peringatan, kapan penggunaan obat harus dihentikan, berapa dosis maksimum
yang diperbolehkan, mengapa penggunaan obat harus dihabisikan, tidak boleh
ditelan
e. Konsultasi selanjutnya, kapan dan kondisi seperti apa harus kembali ke dokter
f. Apakah semua butir informasi di atas sudah jelas? Pasien perlu mengulangi
informasi, instruksi, peringatan penting
Formulasi rencana dilanjutkan dengan monitoring yang meliputi monitoring terapi
obat dan outcome yang ingin dicapai. Jenis-jenis monitoring yang dapat dilakukan
oleh seorang farmasis adalah:
a. Monitoring efektivitas terapi
Efektivitas terapi dinilai berdasarkan tercapai-tidaknya tujuan terapi.
b. Monitoring farmakokinetika klinik
Monitoring farmakokinetika klinik lazim disebut TDM (Therapeutic Drug
Monitoring) yaitu pemantauan kadar obat dalam plasma terkait penilaian
efektivitas terapi maupun ESO serta toksisitas. Pemantauan ini disarankan pada
obat dengan indeks terapi sempit, seperti digoksin, fenitoin, karbamazepin,
asam valproat, antibiotika golongan aminoglikosida, amfoterisin B, takrolimus,
siklosporin, dan sebagainya. TDM cukup jarang dilaksanakan karena biaya
yang cukup mahal. Untuk itu biasanya dilakukan bagi pasien dengan keadaan
yang mengarah ke ESO/ toksisitas obat, atau bagi pasien yang tidak
memunculkan respon pada dosis yang maksimal.
c. Monitoring adverse drug reaction
Adverse Drug Reaction yang paling sering dimonitor adalah munculnya efek
samping dan interaksi obat. Efek samping obat seringkali terjadi namun tidak
dikenali. Farmasis seharusnya dapat mengidentifikasi ESO potensial yang
mungkin terjadi dan memonitor tanda-tanda terkait ESO tersebut. Sedangkan
interaksi obat yang perlu dimonitoring adalah yang mengakibatkan perubahan
klinis secara signifikan.
d. Monitoring toksisitas
Monitoring toksisitas terjadi akibat dosis yang berlebihan atau interaksi
potensial dengan obat lain. Beberapa monitoring pengobatan yang lazim
dilakukan tertera pada tabel berikut ini:

18
Nama Obat Kondisi Klinik Tanda Vital Parameter Lab
Monitoring Efektivitas Terapi
Antibiotik Nafsu makan, Temperatur, nadi Leukosit
demam, keadaan
umum
Monitoring ESO
Diuretik Pandangan kabur, Tekanan darah Kadar asam urat,
telinga GDS
berdenging
Monitoring Toksisitas
Digoksin Mual, muntah, nadi Depresi
pandangan kabur, gelombang ST
confusion pada EKG,
hiperkalemia

5. Penelusuran Pustaka
Pustaka merupakan hal paling penting dalam penyelesaian kasus
farmakoterapi. Pustaka sebagai sumber informasi dari pilihan terapi yang digunakan
dan diterapkan pada pasien harus merupakan pustaka yang valid. Untuk mendapatkan
pustaka yang valid, diperlukan keahlian menilai, memilih dan menelaah pustaka yang
beredar luas. Penggunaan pustaka yang didasari bukti penelitian sebagai dasar
pemilihan terapi, diintegrasikan dengan clinical expertise dan memperhatikan nilai-
nilai pasien disebut dengan Evidence Based Medicine (EBM). Clinical expertise
sendiri dijabarkan sebagai kombinasi dari pengalaman, pengetahuan dan skill klinis
praktisi medik. Sedangkan nilai-nilai pasien bermakna bahwa pasien mempunyai
pilihan, harapan dan hal-hal khusus yang unik dalam dirinya yang berbeda satu sama
lain.
Tahapan-tahapan dalam melaksanakan EBM adalah:
a. Membuat pertanyaan yang terfokus pada kasus
b. Menemukan evidence yang sesuai
c. Menilai Evidence
d. Membuat keputusan
e. Mengevaluasi hasil
 Sumber Informasi Obat

19
Informasi mengenai obat-obatan dan penyelesaian kasus farmakoterapi
dapat ditemukan dari berbagai sumber. Sumber informasi ini dapat dikelompokkan
menjadi 3 golongan yaitu :
1) Sumber informasi primer, berisi informasi terbaru hasil penelitian yang
dipublikasikan di dalam jurnal ilmiah, contoh:
- Annals of Pharmacotheraphy
- British Medical Journal
- Journal of American medical Association
- 'The Lancet
- Medscape
2) Sumber informasi sekunder, berisi kumpulan abstrak dari berbagai jurnal, atau
hasil review dan meta analisa dari berbagai jurnal, contoh:
- Medline
- Pharmacline
- Iowa Drug lnformation.in Service (IDIS)
3) Sumber Informasi tersier, berupa referensi yang berisi materi-materi yang
sudah merupakan kumpulan informasi primer dan tersier, bahkan sekunder
lainnya, dirangkum dan diedit dalam bentuk yang lebih padat dan terstruktur,
biasanya berupa buku atau e-book, contoh:
- Drug Information Handbook (DIH)
- Drug Interaction Facts (DIF)
- Buku-buku Farmakoterapi

Informasi juga bisa diperoleh lewat internet. Beberapa website yang memberikan
informasi yang dapat dipercaya yaitu :
- htlp://.vww.acponline.org/iournals (Annals internal medicine)
- http://www.australianprescriber.com/ (Australian prescriber)
- http://www.bmi.com/ ( British Medical journal)
- http://xvw iama.ama.assn.orly (Jama)
- htti2://www.mia.com.au (Medical Journal of Australia)

6. Studi Kasus DRP (Drug Related Problem)


Dalam ranah farmasi klinik-komunitas, apoteker pada hakikatnya memiliki tugas
primer yaitu mengidentifikasi dan menangani DRPs ini agar tercapai pengobatan yang

20
rasional dan optimal. Secara ringkas langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan menangani
DRPs adalah sebagai berikut :
1. Menentukan klasifikasi permasalahan terapi obat yang terjadi
2. Menentukan penyebab terjadinya DRPs
3. Menentukan tindakan intervensi yang paling tepat terhadap DRPs
4. Melakukan assesmen (penilaian) terhadap intervensi yang telah dilakukan untuk
evaluasi

21
PRAKTIKUM III
ANALISA DRP PADA KASUS TBC

A. Tujuan Praktikum
1. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi, manifestasi
klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
2. Menjelaskan algoritma terapi penyakit TBC
3. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien TBC
4. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang
harus dilakukan untuk pasien TBC
5. Memberikan konseling kepada pasien tuberkulosis
B. Dasar Teori
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan
pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).
Prinsip pengobatan Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu :
Kategori 1 :
 2HRZE/4H3R3
 2HRZE/4HR
 2HRZE/6HE
Kategori 2 :

22
 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
 2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3 :
 2HRZ/4H3R3
 2HRZ/4HR
 2HRZ/6HE
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia:
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3
Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT Sisipan : HRZE dan OAT Anak :
2HRZ/4HR.
C. Pelaksanaan Praktikum
1. Kasus

Tn. BA, usia 36 tahun, tinggi badan 171 cm, berat badan turun dari 66 kg menjadi 51
kg. Datang ke dokter dengan keluhan sudah seminggu ini merasa lemas, sesak, keringat
berlebihan di malam hari, nyeri di dada sebelah kiri dan mengalami diare. Sedangkan untuk
batuk dengan sputum bercak darah dan demam sudah dialami lebih dari 2 minggu. Data
klinik menunjukkan TD 141/80 mmHg, suhu 38ºC, nadi 105x/menit, RR 30x/menit, cairan
pleura positif Diagnosa: TB Paru, efusi pleura sinistra
R/ Isoniazid 300 mg R/ Codein 10 mg
s. 1 d d 1 tab s. 1 d d 1 tab
R/ Rifampisin 450 mg R/ Levofloxacin 750 mg
s.1 d d 1 tab s. 1 d d 1 tab
R/ Pirazinamid 1250 mg R/ Ceftazidim 1 g
s. 1 d d 1 tab s. 1 d d 1 tab
R/ Etambutol 500 mg R/ Attapulgit 2 g
s.1 d d 1 tab s. 1 d d 1 tab
R/ Parasetamol 3x500 mg
s. 1 d d 1 tab

23
2. Formulir Pelayanan Kefarmasian
I. Data Base
Nama Umur, BB, TB
Alamat Alergi
Riwayat Riwayat obat
penyakit

II. Lembar Cppt (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi)


1. Data Subjektif Data Objektif

2. Assessment

3. Planning

24
3. Lembar Evaluasi

a. Lakukan pemantauan obat dengan metode SOAP !


b. Sebutkan efek samping dari masing-masing obat !
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………

25
PRAKTIKUM IV
ANALISA DRP PADA KASUS ASMA

A. Tujuan Praktikum
1. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi,
manifestasi klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
2. Menjelaskan algoritma terapi penyakit Asma
3. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien Asma
4. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang
harus dilakukan untuk pasien Asma
5. Memberikan konseling kepada pasien Asma
B. Dasar Teori
1. Definisi Penyakit Asma
Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik jalan udara yang melibatkan peran
banyak sel dan komponennya (The National Asthma Education and Prevention Program,
NAEPP). Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan episode berulang dari mengi,
sesaknapas, sempit dada, dan batuk. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi jalan udara
yangsering dan reversible baik secara spontan maupun setelah pemberian penanganan.
Inflamasi jugamenyebabkan peningkatan hiperresponsifitas bronkus (Bronchus
hyperresponsiveness, BHR) terhadap berbagai stimulus (ISO Farmakoterapi, 2013)
2. Patofisiologi
Karakteristik utama asma termasuk obstruksi jalan udara dalam berbagai tingkatan
(terkaitdengan bronkospasmus, edema dan hipersekresi),BHR, dan inflamasi jalan udara.
Serangan asma mendadak disebabkan oleh factor yang tidak diketahui maupun yangdiketahui
seperti seperti paparan terhadap allergen, virus, atau polutan dalam maupun luarrumah dan
masing-masing factor ini dapat menginduksi respon inflamasi. Alergen yang terhirup
menyebabkan reaksi alergi fase awal ditandai dengan aktivasi sel yangmenghasilkan antibody
IgE yang spesifik allergen. Terdapat aktivasi yang cepat dari sel mastdan makrofag pada jalan
udara, yang membebaskan mediator pro-inflamasi seperti histaminedan eicosanoid yang
menginduksi kontraksi otot polos jalan udara, sekresi mucus,vasodilatasi, dan eksudasi
plasma pada jalan udara. Kebocoran plasma protein menginduksi penebalan dan
pembengkakan dinding jalan udara, sertapenyempitan lumennya disertaidengan sulitnya
pengeluaran mucus. Reaksi inflamasi fase akhir terjadi sampai 9 jam setelah serangan

26
allergen dan melibatkanaktivasi eosinophil, limfosit T, basophil, neutrophil dan
makrofag.Eosinofil

bermigrasi ke dalam jalan udara dan membebaskan mediator inflamasi (leukotrienedan


protein granul), mediator sitotoksik dan sitokin. Aktivasi limfosit T mmenyebabkan
pembebasan sitokin dari sel T helper tipe 2(TH) yang memperantarai inflamasi alergik
(Interleukin[IL]-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13). Sebaliknya sel T helper tipe 1 (TH 1 )
menghasilkan IL-2dan interferon gamma yang penting untukmekanisme pertahanan seluler.
Inflamasi asmatik alergik dapat ditimbulkan olehketidakseimbangan antara sel TH 1 dan TH
2. Degranulasi sel mast sebagai respon terhadap allergen mengakibatkan pembebasan
mediatorseperti histamin; factor kemotaksis eosinofil dan neutrophil; leukotriene C4, D4 dan
E4; prostaglandin; dan factor pengaktivasi platelet (PAF). Histamin mampu
menginduksikonstriksi otot polos dan bronkospasme dan berperan dalam edema mukosa serta
keskresimucus. Makrofag alveolar membebaskan sejumlah mediator inflamasi, termasuk
PAF danleukotriene B4,C4, dan D4. Produksi factor kemotaksis neutrophil dan
eosinofilmemperkuat proses inflamasi. Neutrofil juga merupakan sumber mediator (PAF,
prostaglandin, tromboksan, danleukotriene) yang berkontribusi pada BHR dan inflamasi jalan
udara. Jalur 5-Lipooksigenase dari asam pemecahan asam arakhidonat bertanggung jawab
pada produksi leukotriene. Leukotrien C4,D4, dan E4(sistenil leukotriene)menyusun zat
reaksilambat anafilaksis ( Slow Reacting Substance of Anaphylaxis, SRS A). Leukotrien
inidibebaskan selama proses inflamasi di paru-paru dan meyebabkan bronkokonstriksi
sekresimucus, permeabilitas mikrovaskular, dan edema jalan udara. Sel epitel bronkial juga
berpartisipasi dalam inflamasi dengan membebaskan eicosanoid, peptidase, protein matriks,
sitokin dan nitrit oksida. Pengikisan epitel mengakibatkan peningkatan responsifitas dan
perubahan permeabilitas jalan udara, pengurangan factorre;aksan yang berasal dari mukosa,
dan kehilangan enim yang bertanggung jawab untuk penguraian neuropeptide inflamasi.
Proses inflamasi eksudatif dan pengikisan sel epitel ke dalam lumen jalur udara
merusaktransport mukosiliar. Kelenjar bronkus menjadi berukuran besar, dan sel goblet
meningkat baik ukuran maupun jumlahnya, yang menunjukkan suatu peningkatan produksi
mucus.Mukus yang dikeluarkan oleh penderita asma cenderung memiliki viskositas yang
tinggi. Jalan udara yang dipersyarafi oleh syaraf parasimpatik, simpatik dan syaraf inhibisi
non-adrenergik. Tonus istirahat normal otot polos jalan udara dipelihara oleh aktifitas
eferenvagal, bronkokonstriksi dapat diperantarai oleh stimulasi vagal pada bronki berukuran
kecil.Semua otot polos jalan udara mengandung reseptor beta adrenergijk yang tidak

27
dipersyarafi yang menyebabkan bronkodilatasi. Pentingnya reseptor alfa adrenergic dalam
asma tidakdiketahui. Stem syaraf nonadrenergik, nonkolinergik pada trachea dan bronki
dapatmemperkuat inflamasi pada asma dengan melepaskan nitrit oksida.

3. Tanda dan Gejala


a. Asma kronik
Asma klasik ditandai dengan episode dyspnea yang disertai dengan mengi, tetapi
gambaranklinis asma beragam. Pasien dapat mengeluhkan sempit dada, batuk (terutamapada
malamhari), atau bunyi saat bernapasHal ini sering terjadi saat latihan fisik tapi dapat terjadi
secaraspontan atau berhubungan dengan allergen tertentu. Tanda-tandanya termasuk bunyi
saatekspirasi dengan pemeriksaan auskultasi, batuk kering yang berulang atau tanda atopi.
Asmadapat bervariasi dari gejala harian kronik sampai gejala yang berselang. Terdapat
keparahandan remisi yang berulang dan interval antar gejala dapat mingguan, bulanan atau
tahunan.Keparahan ditentukan oleh fungsi paru-paru dan gejala sebelum terapi disamping
jumlahobat yang diperlukan untuk mengontrol gejala. Pasien dapat menunjukkan gejala
berselangringan yang tidak memerlukan pengobatan atau hanya penggunaan sewaktu-waktu
agonis beta inhalasi kerja cepat, pasien juga menunjukkan gejala asma kronik walau
sedangmenjalani pengobatan berganda.
b. Asma parah akut
Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi akut di mana inflamasi edema jalanudara,
akumulasi mucus berlebihan, dan bronkospasmus parah menyebabkan penyempitan jalan
udara yang serius yang tidak responsive terhadap terapi bronkodilator biasa. Pasien mungkin
mengalami kecemasan dan mengeluhkan dyspnea parah, napas pendek, sempitdada, atau rasa
terbakar. Mereka mungkin hanya dapat mengatakan beberapa kata dalam satunapas. Gejala
tidak responsive terhadap penanganan yang biasa. Tanda termasuk bunyi yangterdengar
dengan auskultasi saat inspirasi dan ekspirasi, batuk kering yang berulang,trakhipnea, kulit
pucat atau kebiruan dan dada yang mengembang disertai dengan retraksiinterkostaldan
supraklavilar. Bunyi napas dapat hilang bila obstruksi sangat parah yang menyebabkan
bronkodilatasi. Pentingnya reseptor alfa adrenergic dalam asma tidakdiketahui. Stem syaraf
nonadrenergik, nonkolinergik pada trachea dan bronki dapatmemperkuat inflamasi pada asma
dengan melepaskan nitrit oksida.
c. Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang
Asma Kronik

28
Diagnosis terutama oleh adanya riwayat berulang episode batuk, mengi, sesak dada,
atausesak napas, dan konfirmasi tes spirometri.
Spirometri menunjukkan obstruksi (Volumeekspirasi paksa dalam 1 detik[FEV1]/kapasitas
vital paksa kurang dari 80%) dengan reversibilitas setelah dihirupadministrasi β2—agonis
(setidaknya peningkatan 12% pada FEV1]
Jika spirometri normal, uji tantangan dengan olahraga, histamine, atau metakolin
dapatdigunakan untuk memperoleh BHR.
Asma Parah Akut
• Peak Expiratory Flow (PEF) dan FEV1 kurang dari 50%
• Oksimetri nadi mengungkapkan penurunan oksigen arteri dan saturasi O2
• Prediksi terbaik adalah respons dini terhadap pengobatan yang diukur dengan peningkatan
FEV1 pada 30 menit setelah inhalasi β2—agonis
• Anamnesa dan pemeriksaan fisik harus diperoleh saat awal terapi
• Hitung darah lengkap mungkin sesuai untuk pesien dengan demam atau dahak purulen
C. Pelaksanaan Praktikum
I. Kasus
Dari hasil assessment yang dilakukan di UGD diketahui SA mengalami sesak nafas dimana ia
hanya dapat berbicara 4-5 dalam kalimat. SA dilaporkan mengalami takipnea dengan RR
54X/menit. Tanda vital lainnya menunjukkan HR 160x/menit, tekanann darah 115/59, suhu
38.8˚C, berat badan 22,7 kg. Hasil x-Ray menunjukkan adanya konsolidasi pada lobus kanan
bawah. Setelah mendapatkan 3x albuterol/ipratropium nebulasi, suara nafasnya berbunyi dan
oksigennya tidak membaik sehingga SA mulai diberikan albuterol via nebulasi kontinu 10mg/jam
dan oksigen dititrasi 3L/menit. SA juga diberikan metal prednisolone 25 mg IV dan magnesium
sulfat 600 mg IV. SA kemudian dipindahkan ke PICU untuk penanganan dan monitoring lebih
lanjut.
Riwayat Penyakit Sebelumnya: asma; terakhir dirawat RS 4 tahun yang lalu dan
menjalani 2x pengobatan dengan kortikosteroid sebelumnya
Riwayat Keluarga: ayahnya mempunyai asma
Riwayat Sosial : tinggal bersama orang tua dengan 2 saudara, di rumag memounyai
kucing dan ayah perokok
Pengobatan yang terakhir diberikan
Albuterol 2,5 mg nebul setiap 4-6 jam PRN saat
serangan Fluticasone propionate 44 mcg MDI 2 puff
BID Paracetamol 160 mg/5 ml-10 ml setiap 4 jam

29
PRN demam Ibuprofen 100 mg/5 ml-10 ml setiap 6
jam PRN demam Pemeriksaan fisik: kesulitan
bernafas
Tanda vital: TD 125/69, T37.9Oc, RR 40, O2 sat 94% pada 3L/menit melalui nasal
candula
Laboratorium
Na 141 mEq/L Glu 154 mg/Dl
K 3.1 mEq/L WBC 34,2x103/mm3
CI 104 mEq/L RBC 5,07x106/ mm3
CO2 29 mEq/L HCT 41%
BUN 16 mg/Dl Scr 0,52 mg/Dl

Pemeriksaan X-Ray: RLL (right lower lobe) consolidation


Assessment : asma exacerbasi dengan virus pneumonia

2. Formulir Pelayanan Kefarmasian


I. Data Base
Nama Umur, BB, TB
Alamat Alergi
Riwayat Riwayat obat
penyakit

II. Lembar Cppt (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi)


1. Data Subjektif Data Objektif

30
2. Assessment

3. Planning

31
3. Lembar Evaluasi

a. Tentukan data subjektif dan objektif pada lembar CPPT !


b. Tuliskan DRP dari hasil data yang tersedia dan tuliskan pada lembar CPPT !
c. Tuliskan rekomendasi planning untuk pasien pada bagian planning pada CPPT !
d. Informasi apa (tanda, gejala, data laboratorium) yang menunjukkan keparahan
pasien penyakit asma akut yang dialami pada bagian pembahasan ?
e. Tuliskan tujuan terapi dari kasus tersebut pada bagian pembahasan !
f. Tuliskan rekomendasi non farmakologi yang dapat diberikan untuk pasien pada
bagian pembahasan !
g. Tuliskan rencana monitoring yang perlu dilakukan untuk pasien tersebut pada
bagian pembahasan !
h. Sebutkan jenis-jenis asma !

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

32

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………………

PRAKTIKUM V
ANALISA DRP PADA KASUS GANGGUAN SISTEM SARAF

A. Tujuan Praktikum
1. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi, manifestasi
klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
2. Menjelaskan algoritma terapi penyakit gangguan sistem saraf
3. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien gangguan sistem saraf
4. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang
harus dilakukan untuk pasien gangguan sistem saraf
B. Dasar Teori
Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu bagian yang paling kecil dari
sistem orgam dalam tubuh, namun sistem saraf merupakan bagian yang paling kompleks.
Stroke merupakan gangguan fungsi sistem saraf yang terjadi secara mendadak
yang disebabkan karena adanya gangguan pembuluh darah pada otak. Gangguan tersebut
dapat berupa tersumbatnya atau pecahnya pembuluh darah pada otak yang diakibatkan
karena pasokan oksigen dan zat makanan ke otak terganggu. Kurangnya pasokan oksigen
ke otak juga dapat mengakibatkan kematian sel saraf sehingga dapat menimbulkan gejala-
gejala stroke.

33
Klasifikasi stroke dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Stroke Iskemik
Stroke iskemik biasanya disebabkan karena adanya sumbatan pembuluh darah (arteri)
pada otak. Sumbatan tersebut akan menyebabkan sel-sel pada otak tidak mendapat
suplai oksigen dan nutrisi yang cukup sehingga kerja sel-sel pada otak akan berhenti
dan bahkan akan menyebabkan otak mati apabila dibiarkan selama beberapa menit.
Stroke iskemik dibagi menjadi dua, sebagai berikut:
a. Trombosis pada Pembuluh Darah Otak
Stroke trombosis terjadi ketika adanya penyumbatan pada arteri yang disebabkan
adanya gumpalan darah didalamnya. Penyumbatan tersebut bisa juga disebabkan
karena adanya aterosklerosis serta adanya penumpukan trombus sehingga
menyebabkan arteri menjadi rusak.
b. Emboli pada Pembuluh Darah Otak
Stroke emboli merupakan stroke yang disebabkan karena adanya gumpalan atau
bekuan darah dalam arteri yang disebabkan oleh proses emboli yang terbentuk
selain di otak misal dari jantung sehingga dapat masuk ke otak melalui sirkulasi
darah ke otak.
2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah pada otak yang disebabkan
karena adanya peningkatan tekanan sehingga terjadi perdarahan pada jaringan otak
atau disekitar otak.
a. Perdarahan Intraserebra
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi karena tekanan darah yang tinggi.
Peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba pada otak dapat menyebabkan
kerusakan sel-sel pada otak. Perdarahan intraserebral dapat juga disebabkan karena
faktor anatomik pada pembuluh darah.
b. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi ketika adanya perdarahan pada ruang
subarakhnoid. Perdarahan ini paling sering disebabkan oleh kelainan arteri atau
bisa disebut dengan aneurisma. Aneurisma adalah pembengkakan pada pembuluh
darah arteri dan menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lemah atau rentan
untuk pecah.
C. Pelaksanaan Praktikum
1. Kasus

34
Tn. A (57 tahun) dibawa oleh putranya ke IGD pada pukul 10 pagi, dari keterangan
anaknya diketahui ayahnya mengalami kesulitan bicara, mati rasa lengan kiri, dan pusing.
Ketika sedang main tenis pagi ini pukul 9.30, ayahnya tiba-tiba berlutut dan menjatuhkan
raket tenisnya. Sebelumnya, pukul 8 pagi ayahnya mengeluh sedikit pusing dan kesemutan
di tangan kirinya yang hilang dengan sendirinya. Pasien tidak memiliki riwayat stroke atau
TIA sebelumnya. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang, dokter
mendiagnosa pasien menderita stroke iskemik.
Riwayat penyakit pasien: Hipertensi dan hyperlipidemia sejak 10 tahun yang lalu
Riwayat keluarga: saudara perempuan 62 tahun juga mengalami hipertensi, anak laki-
laki 31 tahun menderita DM tipe 2
Riwayat: mempunyai istri dan 3 orang anak, tidak merokok
Terapi pasien saat ini sebelum masuk rumah sakit: Amlodipin 5 mg per oral di pagi
hari setiap hari, Simvastatin 10 mg per oral setiap hari pada malam hari sebelum tidur
Pemeriksaan fisik: TD 192/100 mmHg, Nadi : 70, Pernapasan : 19, Suhu : 36ºC
Hasil pemeriksaan EKG: Normal
Hasil pemeriksaan CT Scan: infrak di bagian otak tengan bagian kanan, tidak ada
tanda- tanda hemoregik
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Natrium 140 mEq/L WBC 5,9 x 103/mm3 Kol. Total 200 mg/Dl
K 4,2 mEq/L Hgb 16,4 d/Dl LDL 118 mg/Dl
Cl 103 mEq/L Hct 49,6% TG 160 mg/Dl
CO2 28 mEq/L Plt 310 x 103/mm3 HDL 50 mg/Dl
BUN 10 mg/Dl
Scr 0,6 mg/Dl
GDP 98 mg/Dl

35
Gambar 1. Hasil Pemeriksaan CT Scan Pasien

Pasien diresepkan terapi sebagai berikut


R/ Citicolin 500 mg injeksi
s. 2 d d 1
amp R/
Neurosanbe injeksi
s.1 d d 1
amp R/ Ranitidin
injeksi
s.2 d d 1 amp

2. Formulir Pelayanan Kefarmasian


I. Data Base
Nama Umur, BB, TB
Alamat Alergi
Riwayat Riwayat obat

penyakit

36
II. Lembar Cppt (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi)
1. Data Subjektif Data Objektif

2. Assessment

3. Planning

37
3. Lembar Evaluasi

a. Apakah tujuan terapi jangka pendek dan jangka panjang pada pasien ?
b. Apakah terapi non farmakologi yang bermanfaat untuk pasien ?
c. Apakah terapi anti hipertensi akut yang anda rekomendasikan untuk pasien ?
d. Apakah penggunaan Citicolin dan Vitamin B kompleks pada pasien stroke
direkomendasikan ? Jelaskan alasannya berdasarkan jurnal terbaru EMB yang
kuat!
e. Untuk pencegahan stroke berulang, apakah regimen anti platelet yang direkomendasikan!
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………

38
PRAKTIKUM VI
ANALISA DRP PADA KASUS INFEKSI SALURAN KEMIH

A. Tujuan Praktikum
1. Melakukan Pemantauan Terapi Obat pada pasien infeksi bakteri
2. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi, manifestasi
klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
3. Menjelaskan algoritma terapi penyakit infeksi bakteri
4. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien infeksi bakteri
5. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang
harus dilakukan untuk pasien infeksi bakteri
B. Dasar Teori
Infeksi adalah sebuah proses transmisi hingga multiplikasi agen penyebab infeksi
kedalam tubuh host. Infeksi merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh
mikroorganisme patogen, dengan/tanpa disertai gejala klinik.
Gejala klinik yang muncul dari infeksi disebabkan oleh zat toksik yang dihasilkan
mikroba maupun gangguan secara langsung yang dilakukan oleh. Mikroorganisme
penyebab Infeksi adalah bakteri, virus, jamur, dan juga protozoa. Apabila merujuk dari
penyebab infeksi maka untuk menangani infeksi tersebut dapat diberikan terapi obat
antimikroba seperti antibiotik, antivirus, antijamur, serta antiprotozoa.
Antibiotik adalah suatu zat yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme,
zat ini diperoleh dari berbagai macam spesies mikroorganisme seperti bakteri, jamur dan
protozoa. Antibiotik merupakan senyawa sintetik yang diperoleh dari organisme hidup
yang mana dapat menekan kehidupan mikroorganisme.
Antibiotik yang dapat memberikan efek bakteriostatik ataupun bakterisidal harus memiliki
sifat sebagai berikut:
1. Memiliki aktivitas mikrobiologi mampu untuk berikatan pada tempat ikatan yang
spesifik seperti pada ribosom atau ikatan penisilin pada protein.
2. Berada pada kadar yang cukup tinggi pada tempat infeksi.
3. Berikatan pada tempat ikatan yang spesifik pada waktu yang cukup untuk memberikan
efek yang adekuat.

39
4. Memiliki kadar hambat minimal yang menggambarkan seberapa besar kadar minimal
antibiotik yang harus diberikan agar dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Berikut macam mekanisme kerja antibiotik:
1. Menghambat sintesis dinding sel bakteri: Contoh antibiotik yang bekerja dengan
mekanisme kerja ini adalah golongan β-laktam (penisilin, sefalosporin, dan
karbapenem), basitrasin, sikloserin dan vankomisin.
2. Meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga mengakibatkan kebocoran
materi intraselular. Contoh antibiotik yang bekerja dengan mekanisme kerja ini adalah
polimiksin.
3. Menghambat sintesis protein pada bakteri secara ireversibel dengan cara menurunkan
aktivitas subunit ribosom 30S atau 50S. Contoh antibiotik yang bekerja dengan
mekanisme kerja ini adalah kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, klindamisin,
streptogramin, dan linezolid.
4. Menghambat sintesis protein dengan mengikat subunit ribosom 30S mekanisme ini
bersifat bakterisidal seperti antibiotik golongan aminoglikosida.
5. Menghambat proses metabolisme pada bakteri seperti menghambat kerja enzim RNA
polymerase oleh antibiotik golongan rifampisin, selain itu proses metabolisme lain
yang dapat dihambat adalah hambatan terhadap enzim topoisomerase oleh antibiotik
golongan kuinolon.
6. Menghambat kerja enzim peting dalam proses metabolisme folat. Contoh antibiotik
yang bekerja dengan mekanisme kerja ini adalah antibiotik golongan trimetopim dan
sulfonamide
Terapi antibiotik
1. Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan saat belum terdapat tanda
adanya infeksi pada pasien dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi pada
pasien yang beresiko tinggi mengalami infeksi.
2. Antibiotik Empiris
Antibiotik empiris adalah antibiotik yang diberikan pada pasien yang telah positif
mengalami infeksi, namun bakteri penyebab infeksi belum diketahui. Kerena bakteri
penyebab infeksi belum diketahui maka pemberian antibiotik empiris didasarkan pada
data epidemiologi, pola resistensi, kondisi pasien, ketersediaan, dan spektrum
antibiotik. Dengan mengetahui data data tersebut maka dapat memperkirakan
antibiotik yang sesuai untuk diberikan sebelum didapatkan hasil uji mikrobiologi

40
untuk memastikan bakteri penyebab infeksi pada pasien
3. Antibiotik Definitif
Antibiotik definitif adalah antibiotik yang diberikan apabila sudah diperoleh hasil uji
mikrobiologi dan sudah diketahui bakteri penyebab infeksi. Sehingga diberikan
antibiotik lini pertama dengan spektrum sempit untuk mencegah terjadinya toksisitas,
kegagalan terapi, kemungkinan terjadinya perkembangan resistensi dan pengeluaran
biaya yang sia sia. Tujuan pemberian terapi antibiotik definitif adalah untuk
mengeradikasi bakteri penyebab infeksi.
C. Pelaksanaan Praktikum
1. Kasus
Pasien perempuan Y.A usia 45 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan rasa terbakar
saat berkemih, sering berkemih dengan jumlah urin sedikit dan nyeri pada perut bagian
bawah. Dari hasil pemeriksaan pasien didiagnosa mengalami ISK.
Riwayat penyakit : pernah mengalami UTI beberapa tahun yang lalu.
Riwayat alergi: Trimetoprim-sulfametoksazol, Penisilin
Pemeriksaan tanda vital: TD 100/80 mmHg, Suhu 37oC, RR 20x/menit, HR
95x/menit
Hasil Urinalisis:
Warna : jernih kekuningan
Berat jenis : 1,028
pH : 6,3
Glukosa, keton, billirubin : negatif
Darah dan protein : positif
Leukosit : 10-15 sel/LBP
Eritrosit : 5-10 sel/LBP
Bakteri : banyak
Sel epitel : 3-5 sel/ lBP
Leukosit esterase & tes nitrit : positif
Terapi
R/ Levofloxacin 250 mg No. VII
s. 1 dd 1 tab
R/ Phenazopyridine HCl 200 mg No. X
s. 3 d.d 1 tab

41
2. Formulir Pelayanan Kefarmasian
I. Data Base
Nama Umur, BB, TB
Alamat Alergi
Riwayat Riwayat obat
penyakit

II. Lembar Cppt (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi)


1. Data Subjektif Data Objektif

2. Assessment

3. Planning

42
3.Lembar Evaluasi
a. Apa gejala klinis dari hasil laboratorium yang mendukung infeksi saluran kemih
pada
pasien tersebut ?
b. Apakah uji kultur dan sensitivitas antibiotik diperlukan pada kasus infeksi saluran
kemih ?
c. Apa tujuan terapi pada kasus tersebut ?
d. Apa saja karakteristik antibiotik yang ideal untuk terapi pasien infeksi saluran
kemih bawah tanpa komplikasi ? Sertakan data parameter farmakokinetik
antibiotik yang diberikan pada kasus tersebut ?
e. Apa saja parameter klinis dan laboratorium yang harus dipantau untuk
mengevaluasi efektifitas terapi pasien tersebut ?
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………

43
PRAKTIKUM VII
ANALISA DRP PADA KASUS GANGGUAN GOUT DAN RHEMATOID

A. Tujuan Praktikum
1. Melakukan Pemantauan Terapi Obat pada pasien Gout dan Rhematoid
2. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi, manifestasi
klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
3. Menjelaskan algoritma terapi penyakit Gout dan Rhematoid
4. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien Gout dan Rhematoid
5. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang
harus dilakukan untuk pasien Gout dan Rhematoid
B. Dasar Teori
1. Gout
Gout merupakan penyakit progresif akibat deposisi Kristal monosodiumurat
(MSU) di persendian, ginjal, dan jaringan ikat lain sebagai akibat hiperurisemia yang telah
berlangsung kronik.Tanpapenanganan yang efektif kondisiini dapat berkembang menjadi
gout kronik, terbentuknya tofus, dan bahkan dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal
berat, serta penurunan kualitas hidup. Gangguan metabolisme yang mendasari asam urata
dalah hiperurisemia. Untuk penentuan risiko gout, hiperurisemia didefinisikan secara
statistic sebagai konsentrasiurat serum lebih dari dua standar deviasi di atas rata-rata
populasi biasanya 7 mg/dL (416 umol/L untuk pria dan 6 mg/dL (357 umol / L) untuk
wanita asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin yang bersumber dari dalam
tubuh atau diet dan dianggap sebagai sampah yang harus dibuang. Kadar asam urat yang
berlebiha nmerupakan akibat dari kelebihan produksi purin atau karena penurunan
eliminasi oleh ginjal.
Secara umum gout diawali dengan inflamasi akut monoartritis. Seringkali sendi
yang pertama kali mengalami inflamasi adalah sendi metatarsophalangeal, tetapi dapat
terjadi pada sendi lain di ekstremitas bawah juga dan kadang-kadang juga pada
pergelangan tangan atau jari. Spektrum gout juga termasuk nefrolitiasis, nefropati gout,
dan tophi dalam tulang rawan, tendon, membran sinovial, dan di tempat lain. Gejala klinis
gout adalah demam, nyer ihebat, eritema, rasa hangat, bengkak, dan radang pada sendi
yang terlibat. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan asam urat serum
dan leukositosis.

44
Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan modifikasi
gaya hidup, termasuk pola diet seperti pada prinsip umum pengelolaan hiperurisemia dan
gout. Tujuan pengobatan gout adalah menghentikan serangan akut, mencegah
kekambuhan, dan mencegah komplikasi karena adanya Kristal asam urat di jaringan.
2. Rhematoid
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun
sistemik. RA merupakan salah satu kelainan multisistem yang etiologinya belum
diketahui secara pasti dan dikarateristikkan dengan destruksi sinovitis. Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi
yang simetris.
Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin
perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan salisilat
dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir
sehari, khusunya kopi decaffeinated. Obesitas juga merupakan faktor resiko.
Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan
penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk
mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease Modifying Anti-
Rheumatic Drugs). Terapi RA bertujuan untuk:
a. Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
b. Mempertahakan status fungsionalnya
c. Mengurangi inflamasi
d. Mengendalikan keterlibatan sistemik
e. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular
f. Mengendalikan progresivitas penyakit
g. Menghindari komplikasi yangberhubungan dengan terapi
C. Pelaksanaan Percobaan
1. Kasus
Nyonya RA 57 tahun datang ke dokter mengeluh nyeri kaki di bagian lutut kiri dan kanan, tidak
ada bengkak, saat bangun dari duduknya terasa sangat nyeri sehingga membutuhkan waktu
beberapa menit baru bisa jalan setelah bangun dari duduknya, saat berjalan tidak terasa nyeri.
Nyeri yang dirasakan dimulai 2 tahun lalu ketika jatuh dari motor.
Hasil pemeriksaan laboratorium
No. Parameter Hasil

45
1 Rematoid Faktor (RF) Positif
2 Anti-MCV (Mutated Citrunilated Vimentin) Negatif
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium pasien didiagnosa
menderita rheumatoid arthritis dan dokter meresepkan obat sebagai berikut :

46
R/ Flamar gel No. 1
s. 2 d d 1
R/ Tramadol 50 mg
Paracetamol 500 mg
Metilprednisolon 8 mg
Glukosamin 500 mg

s. 3 d d 1 caps No. XXX

R/ Lansoprazole 30 mg No. X
s. 2 d d 1 tab

2. Formulir Pelayanan Kefarmasian


I. Data Base
Nama Umur, BB, TB
Alamat Alergi
Riwayat Riwayat obat

penyakit

II. Lembar Cppt (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi)


1. Data Subjektif Data Objektif

2. Assessment

47
3. Planning

3. Lembar Evaluasi
a. Tentukan data subjektif dan objektif pada lembar CPPT !
b. Tuliskan DRP dari hasil data yang tersedia dan tuliskan pada lembar CPPT !
c. Tuliskan rekomendasi planning untuk pasien pada bagian planning pada CPPT !
d. Tuliskan tujuan terapi dari kasus tersebut pada bagian pembahasan !
e. Tuliskan rekomendasi non farmakologi yang dapat diberikan untuk pasien pada
bagian pembahasan !
f. Tuliskan rencana monitoring yang perlu dilakukan untuk pasien tersebut pada
bagian pembahasan !
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………

48
PRAKTIKUM VIII
ANALISA DRP PADA KASUS HIV/AIDS

A. Tujuan Praktikum
1. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi, manifestasi
klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
2. Menjelaskan algoritma terapi penyakit HIV/AIDS
3. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien HIV/AIDS
4. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang
harus dilakukan untuk pasien HIV/AIDS
5. Praktek Pemberian informasi obat ke pasien
B. Dasar Teori
HIV merupakan singkatan dari (Human Immunodeficieny virus) adalah virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh pada manusia. Dengan masuknya virus HIV kedalam
sel darah putih yang dapat merusaknya. Sehingga sel darah putih yang masuk kedalam
tubuh manusia akan menurun jumlahnya karena fungsi dari sel darah putih yaitu sebagai
pertahanan. Sedangkan AIDS merupakan singkatan dari (Acquired Immuno Deficiency
Syndrom) merupakan syimtoms yang disebabkan oleh HIV akibat turunnya sistem
kekebalan tubuh pada manusia yaitu terdapat kumpulan berbagai gejala penyakit
(sindrom). Ketika seseorang mengalami turunnya sisitem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh HIV, maka penyakit dengan mudah masuk kedalam tubuh (infeksi
opportunistik) yang biasanya penyakitnya tidak berbahaya maka akan jadi sangat
berbahaya.
Ketika seseorang telah terinfeksi HIV dalam waktu 2 sampai 4 minggu, maka
seseorang yang terinfeksi HIV akan menimbulkan gejala seperti demam, menggigil, flu
dan infeksi oportunistik yang dimana infeksi oportunistik merupakan infeksi yang terjadi
pada seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah dibandingkan dengan
seseorang yang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang sehat. HIV akan berkembang
secara terus menerus tetapi dengan tingkat yang rendah, dimana jika HIV tidak diobati
maka akan menjadi AIDS. Biasanya terjadi pada kurung waktu 10 atau lebih lama pada
penderita HIV. Berikut adalah tanda-tanda infeksi oportunistik dan gejala dari AIDS,
diantaranya:
1. Sakit ketika menelan.
2. Merasakan sakit kepala.

49
3. Batuk yang disebabkan oleh infeksi tenggorokan.
4. Munculnya keringat yang berlebihan ketika malam hari.
5. Demam atau menggigil 38 ºC dalam beberapa minggu.
6. Munculnya bintik-bintik putih di mulut atau di lidah.
7. Mengalami diare kronis secara terus menerus.
8. Mengalami sesak napas disebabkan oleh mikroorganisme pneumocystic carini.
Pencegahan HIV/AIDS, di antaranya:
1. Pencegahan penularan melaui hubungan seksual
a. Menggunakan kondom dalam melakukan hubungan seksual untuk mencegah
infeksi HIV/AIDS. Penggunan kondom sangat disarankan mengingat virus HIV
bisa terinfeksi melalu cairan yang dapat berpotensi dalam penularan cairan seksual
virus HIV/AIDS. Sehingga dapat terjadi semakin parah jiga tidak segera
ditangani.
b. Mengetahui kondisi kesehatan pasangan sebelum melakukan hubungan seksual.
c. Menghindari berhubungan seksual dengan sesama laki-laki (homoseksual atau
biseksual), pemakaian obat IV secara bersamaan atau orang yang terinfeksi
HIV/AIDS.
2. Pencegahan penularan melalui non seksual
a. Tidak memakai alat suntik secara bersamaan dalam melakukan pengobatan pada
pasien, tato dan tindik. Selain itu tetap menjaga steril dari jarum suntik.
b. Bagi orang yang memiliki resiko tinggi terhadap HIV/AIDS sebaiknya tidak
melakukan donor darah maupun donor organ.
c. Petugas kesehatan yang terlibat dalam pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi
terinfeksi HIV/AIDS seperti transfusi darah dan isemninasi artifisial yaitu
memasukan sel sperma kedalam rahim dalam memperoleh kehamilan.
d. Sperma donor harus melakukan screening antibody dalam kurung waktu 3 bulan
dimana air mani harus dibekukan dan ditunggu sampai hasil tes yang ke-2 keluar.
e. Menghindari narkoba, zat aditif dan psikotropika.
3. Pencegahan penularan melalui perinatal
a. Ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDS dapat ditularkan pada janin atau bayinya.
b. Ibu yang telah terinfeksi HIV/AIDS sebaiknya tidak hamil dikarenakan akan
tertular pada janin atau bayinya.
C. Pelaksanaan Praktikum
1. Kasus

50
Ny. MN (28) seorang pelayan diskotik dibawa ke rumah sakit oleh temantemannya dengan
keluhan utama batuk berdahak lebih dari 3 bulan disertai darah. Dalam seminggu terakhir
demam dan berkeringat dingin terutama malam hari, malaise, dada terasa nyeri saat batuk.
Berat badan pasien menurun drastis dalam setahun terakhir. Sudah pernah dibawa periksa ke
dokter terdekat dengan diagnosa bronkitis kronik dan mendapatkan terapi antibiotika tetap
tidak ada perbaikan kondisi. Pasien juga seorang pengguna narkotika jenis morfin suntik dan
pernah MRS dengan diagnosa hepatitis B. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran
compose mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 110x/menit; suhu tubuh 39.6OC.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan imunokromatografi (+); ELISA I (+) dan ELISA II
(+), CD4 250; Hb 9,5 g/dL; leukosit 350,000; trombosit 550,000; GDS 75 mg/dL; SGOT
55g/dL ; SGPT 75 g/dL; BUN 35 mg/dL; kreatinin serum 1,97 mg/dL; uji BTA (+);
pemeriksaan foto thorax menunjukkan nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
alveoli dan segmen superior lobus bawah bayangan bercak millier dan efusi pleura unilateral

2. Formulir Pelayanan Kefarmasian


I. Data Base
Nama Umur, BB, TB
Alamat Alergi
Riwayat Riwayat obat
penyakit

II. Lembar Cppt (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi)


1. Data Subjektif Data Objektif

2. Assessment

51
3. Planning

52
3.Lembar Evaluasi
a. Identifikasi permasalahan medis yang dialami pasien.
b. Identifikasi permasalahan terapi yang dialami pasien.
c. Tentukan tujuan terapi yang anda berikan pada pasien.
d. Tentukan terapi farmakologi dan non-farmakologi untuk pasien.
e. Tentukan monitoring dan evaluasi untuk pasien.
………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………… …
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………… …
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………… …
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………… …
…………………………………………………………………………………………… …
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………… …
…………………………………………………………………………………………… …
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………… …
…………………………………………………………………………………………… …
………………………………………………………………………………………………

53
PRAKTIKUM IX
ANALISA DRP PADA KASUS GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN

A. Tujuan Praktikum
1. Menjelaskan tentang Patofisiologi dan Patologi klinik penyakit (Etiologi, manifestasi
klinis, interpretasi data laboratorium, dan patogenesisnya)
2. Menjelaskan algoritma terapi penyakit gangguan sistem endokrin
3. Melakukan tahap-tahap identifikasi DRP pada pasien gangguan sistem endokrin
4. Mampu memberikan rekomendasi dari DRP yang ditemukan dan monitoring yang
harus dilakukan untuk pasien gangguan sistem endokrin
B. Dasar Teori
Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless) yang
menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalu aliran darah untuk mempengaruhi
organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai “pembawa pesan” dan dibawa oleh aliran
darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan menerjemahkan “pesan”
tersebut menjadi suatu Tindakan. Sistem endokrin tidak memasukkan kelenjar eksokrin
seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-kelenjar lain dalam saluran
gastroinstetin.
Kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran yang
menyalurkan sekresi hormonnya langsung ke dalam darah. Hormon tersebut memberikan
efeknya ke organ atau jaringan target. Beberapa hormon seperti insulin dan tiroksin
mempunyai banyak organ target. Hormon lain seperti kalsitonin dan beberapa hormon
kelenjar hipofisis, hanya memiliki satu atau beberapa organ target.
Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol dan
memadukan fungsi tubuh. Kedua sistem ini bersama-sama bekerja untuk mempertahankan
homeostatis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling berhubungan, namun dapat
dibedakan dengan dengan karakteristik tertentu.
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit berbahaya yang dikenal
oleh masyarakat Indonesia dengan nama penyakit kencing manis. DM adalah penyakit
gangguan metabolik yang terjadi secara kronis atau menahun karena tubuh tidak
mempunyai hormon insulin yang cukup akibat gangguan pada sekresi insulin, hormon
insulin yang tidak bekerja sebagaimana mestinya atau keduanya .
Penyakit ini ditandai dengan munculnya gejala khas yaitu poliphagia, polidipsia
dan poliuria serta sebagian mengalami kehilangan berat badan. DM merupakan penyakit

54
kronis yang sangat perlu diperhatikan dengan serius. DM yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan beberapa komplikasi seperti kerusakan mata, ginjal pembuluh darah, saraf
dan jantung.
Diabetes Melitus (DM) diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Diabetes melitus (DM) tipe 1
DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas. kerusakan ini
berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab dari
kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
2. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin dalam
jumlah yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan
kadar gula darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara
relatif pada penderita DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin
absolut.
3. Diabetes melitus (DM ) tipe lain
Penyebab DM tipe lain sangat bervariasi. DM tipe ini dapat disebabkan oleh defek
genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas,
endokrinopati pankreas, obat, zat kimia, infeksi, kelainan imunologi dan sindrom
genetik lain yang berkaitan dengan DM.
4. Diabetes melitus Gestasional
C. Pelaksanaan Praktikum
1. Kasus

Tn US usia 45 tahun, 160 cm, 80 kg dengan riwayat DM sejak 5 tahun yang lalu ke dokter dengan
keluhan badan lemah, pegal-pegal, kaki sering kesemutan dan terdapat gangrene di kaki. Data klinik
menunjukkan TD 140/90 mmHg, suhu 38˚C. Hasil pemeriksaan laboratorium: GDP 220 mg/dl, GD 2
jam PP 490 mg/dl, TGA 278 mg/dl, HbA1c 11%, HDL 35 mg/dl, LDL 210 mg/dl, Kolesterol total
285 mg/dl. Riwayat pengobatan sebelumnya: Gibenklamid, Metformin, Simvastatin Diagnosa: DM
tipe 2- neuropati dan ulkus di kaki. Obat yang pasien gunakan saat ini:
R/ Captopril 12,5 mg s. 2 d.d 1 tab
R/ Lipitor s. 1 d.d 1 tab
R/ Furosemide tab s.1 d.d 1 tab
R/ Metformin 500 mg s.3 d.d 1 tab
R/ Novorapid flex pen s. 2 d.d 16 unit
R/ Lantus flex pen s. 1 d.d 5 unit

55
3. Formulir Pelayanan Kefarmasian
I. DATA BASE
Nama Umur, BB, TB
Alamat Alergi
Riwayat Riwayat obat
penyakit

II.LEMBAR CPPT (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi)


1. Data Subjektif Data Objektif

2. Assessment

3. Planning

56
3. Lembar Evaluasi
a. Apa makna HbA1c 11% dan berapa targetnya pada orang DM?
b. Mengapa pengobatan pasien diganti dengan insulin?
c. Mengapa pasien diberikan 2 jenis insulin. Jelaskan perbedaannya!
d. ADR apa yang perlu diperhatikan?
e. Jelaskan DRP masing-masing obat diatas!
f. Jelaskan rute pemberian insulin (menggunakan video)!
g. Jelaskan jenis-jenis insulin berdasarkan lama kerjanya!
h. Bagaimana cara mengatasi hiperglikemik karena penggunaan insulin?
i. Konseling apa yang diberikan kepada pasien?
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………

57
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L.,et al.2008. The seventh edition of the benchmark
evidence-based pharmacotherapy. McGraw-Hill Companies Inc. USA.

Suarjana I.N., 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.

Sjamsuhidajat and Wim de jong.Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed.; 2004:95-98.

58

Anda mungkin juga menyukai