Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH LINGUISTIK

"Fonologi, Sistem dan Kajiannya"

Dosen Pengampu: Herlina JP.Harahap, S.Pd,.M.Hum

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5 :


1. Justian Pandiangan (2223132022)
2. Ester Winda Aritonang (2222432008)
3. Yoni Lamtiur Silalahi (2223132003)

PENDIDIKAN BAHASA JERMAN B 2022

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
Rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Tugas ini
disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademik dalam mata kuliah
Linguistik. Kami juga berterima kasih kepada Ibu Herlina JP.Harahap, S.Pd,.M.Hum
selaku dosen pengampu mata kuliah Linguistik yang telah memberikan tugas ini,
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami pada mata kuliah Linguistik
ini.

Dalam tugas ini, kami akan membahas mengenai materi Fonologi, Sistem dan
Kajiannya. Kami menyadari bahwa tugas ini tidak lepas dari keterbatasan pengetahuan
dan wawasan kami. Oleh karena itu, segala masukan dan saran yang membangun sangat
kami harapkan guna perbaikan dan pengembangan isi tugas ini. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih.

Medan, 17 Maret 2024

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................1
1.3 Tujuan ...............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAAN .....................................................................................................

2.1 Definisi Fenologi ..............................................................................................................3


2.2 Fonetik ..............................................................................................................................5
2.3 Fonemik ............................................................................................................................8
2.4 Beberapa Pengetian Mengenai Tata Bunyi.......................................................................9
2.5 Klasifikasi Bunyi ..............................................................................................................9

BAB III PENUTUP ............................................................................................................15

KESIMPULAN ...................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari dan menganalisis


bunyi-bunyi bahasa. Mereka mengkaji bagaimana suara yang digunakan dalam
bahasa berubah menjadi bunyi yang dapat dipahami. Fonologi adalah ilmu bunyi
yang berasal dari bahasa Yunani, dengan phone berarti "bunyi" dan logos berarti
"ilmu"[3]. Fonologi membantu memahami bagaimana suara yang digunakan dalam
bahasa berubah menjadi bunyi yang dapat dipahami, sehingga orang dapat
berkomunikasi dengan baik.

Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji tata bunyi,
yang terdiri dari fonem dan alofon. Fonem adalah suara yang memiliki arti,
sedangkan alofon adalah suara yang sama tetapi berbeda dalam konteks lain.
Fonologi juga membantu dalam memahami gejala fonologi, yang terdiri atas
penyebaran dan penggunaan bunyi dalam bahasa.

Fonologi adalah penting karena ia membantu dalam memahami bagaimana


bunyi yang digunakan dalam bahasa berubah menjadi bunyi yang dapat dipahami.
Dengan pengetahuan mengenai tata bunyi dan gejala fonologi, orang dapat lebih
baik berkomunikasi dan menggunakan bahasa dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah, sebagai berikut :


1. Apa defenisi fonologi ?
2. Apa yang dimaksud dengan kajian fonetik?
3. Apa yang dimaksud dengan kajian fonemik?
4. Apa pengertian mengenai tata bunyi (fonem dan alofon)?

1
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui defenisi fonologi


2. Untuk mengetahui beberapa pengetian mengenai tata bunyi (fonem dan alofon)
3. Untuk mengetahui kajian fonetik
4. Untuk mengetahui kajian fonemik

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Fonologi

Chaer (2009:1) mengatakan bahwa secara etimologi kata fonologi berasal dan
gabungan kata fon yang berarti ‘bunyi’, dan logi yang berarti ‘ilmu’. Sebagai sebuah ilmu,
fonologi lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas,
membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap
manusia. Dari pendapat Chaer ini dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang bunyi-bunyi bahasa.

Chaer (2012:102) mengatakan bahwa bidang linguistik yang mempelajari,


menganalisis, dan membicarakan tentang bunyi-bunyi bahasa disebut fonologi. Menurut
hakikat satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan
fonemik. Secara umum fonemik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang
mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai
fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang ilmu fonologi
yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai
pembeda makna. Untuk jelasnya, kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi [i] yang
terdapat pada kata-kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama. Begitu juga bunyi [p]
pada kata Inggris , , dan , juga tidak sama. Ketidaksamaan bunyi [i] dan bunyi [P] pada deretan
kata di atas itulah sebagai salah satu contoh objek atau sasaran studi fonetik. Dalam kajiannya,
fonetik akan berusaha mendeskripsikan perbedaan bunyi-bunyi itu serta menjelaskan sebab-
sebabnya. Sebaliknya, perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat, misalnya, pada kata [paru]
dan [baru] adalah menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b]
itu menyebabkan berbedanya makna kata [paru] dan [baru] itu.

Muslich (2008:2-3) mengatakan bahwa fonologi memiliki dua cabang kajian, yaitu
fonetik dan fonemik. Dalam bagian selanjutnya, Muslich mengatakan bahwa sebagai bidang
yang berkonsentrasi pada analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi sering dimanfaatkan
oleh cabang-cabang ilmu linguistik yang lain, baik secara teoretis maupun praktis. Misalnya,

3
pada bidang morfologi yang konsentrasi analisisnya pada struktur internal kata, mulai dari
perilaku kata, proses pembentukan kata, dan notasi yang timbul akibat pembentukan kata
sering memanfaatkan hasil studi fonologi. Ketika ingin menjelaskan, mengapa morfem
[pukul] diucapkan bervariasi antara [pukul] dan [pukul], serta diucapkan [pukulan] setelah
mendapat proses morfologis.

Dalam praktiknya, semua cabang-cabang linguistik memiliki keterkaitan dengan


cabang ilmu linguistik yang lainnya. Chaer (2009: 6) mengatakan bahwa di luar kajian struktur
internal bahasa, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis, ada bidang kajian linguistik yang
lain, yaitu semantik, leksikografi, sosiolinguistik, psikolinguistik, dan dialektologi.

Berikut ini keterkaitan antara ilmu fonologi dengan cabang ilmu lainnya:

1. Kajian semantik yang mengkaji makna juga banyak melibatkan kajian fonologi. Perbedaan
bunyi dapat membedakan makna kedua kata itu. Sebagai contoh, pada kata “tahu” yang
bermakna sejenis makanan yang terbuat dari kedelai, dan “tahu” yang artinya paham.
Perhatikan kalimat berikut:
1) Andi makan tahu di ruang makan.
2) Andi tahu bahwa dia harus datang ke rumah Ali.

Dari contoh di atas, secara tertulis bahwa kata “tahu” di tulis dengan cara yang sama,
tetapi dibunyikan dengan cara yang berbeda dan maknanya juga berbeda.

2. Kajian leksikografi memanfaatkan kajian fonologi dalam memanfaatkan penulisan entri


dengan tulisan fonetik agar entri itu dapat diucapkan dengan tepat dan benar. Hal ini sangat
penting bagi bahasa yang sistem ejaannya sangat tidak konsisten seperti bahasa lnggris. Kita
lihat huruf dalam bahasa lnggris digunakan untuk melambangkan berbagai bunyi. Pada kata
put huruf melambangkan bunyi [u], pada kata but huruf melambangkan bunyi [a]. sedangkan
dalam bahasa Jerman pada kata Polizei huruf melambangkan bunyi [ai] dan pada kata die
Universität huruf melambangkan [ae].
3. Kajian sosiolinguistik juga memanfaatkan hasil kajian fonologi, dalam hal variasi-variasi
bunyi dapat menunjukkan status sosial dari seseorang atau sekelompok orang di dalam
masyarakat. Penggunaan bunyi [e] dan [ah] pada kata apa di Jakarta dapat menunjukkan dari
jenis mana penutur bahasa itu.

4
4. Kajian psikolinguistik juga banyak meminta bantuan kajian fonologi. Sewaktu membicarakan
perkembangan pemerolehan bunyi-bunyi bahasa oleh kanak-kanak tentu memerlukan bantuan
fonologi. Misalnya, mengapa bunyi-bunyi bilabial lebih dahulu diperoleh oleh seorang kanak-
kanak daripada bunyi dental atau palatal. Begitu juga mengapa bunyi lateral dan bunyi tril
pada kanak-kanak usia tertentu sering dipertukarkan dan sebagainya.
5. Kajian dialektologi yang berusaha memetakan dialek-dialek dari suatu bahasa juga sangat
membutuhkan hasil kajian fonologi. Mengapa? Karena penentuan dialek-dialek dan satu
bahasa didasarkan pada perbedaan-perbedaan bunyi dan bentuk-bentuk kata yang sama.
Misalnya, dalam dialek Jakarta (Betawi) ada subdialek yang mengucapkan kata menjadi [ape],
[apã], dan [apah].

2.2 Fonetik

Chaer (2012: 103) mengatakan bahwa fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari
bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai
pembeda makna atau tidak.

Menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa, fonetik dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Fonetik artikulatoris, disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja
dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
b. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Bunyi-
bunyi itu diselidiki frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitasnya, dan timbrenya.
c. Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh
telinga kita.

Dari ketiga jenis fonetik ini, yang paling berurusan dengan dunia linguistik adalah fonetik
artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi
bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan
dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran, yailu
neurologi.

5
(O’Connor,1982: 10-11, Ladefoged, 1982: 1) dalam Muslich (2008:8) mengatakan bahwa
fonetik merupakan kajian ilmu pengetahuan yang menelaah bagaimana manusia
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi
bahasa yang dikeluarkan dan bagaimana alat pendengaran manusia menerima bunyi-bunyi
bahasa untuk dianalisis oleh otak manusia. Clark dan Yallop (1990) dalam Muslich
mengatakan bahwa bidang yang berkaitan erat dengan kajian bagaimana cara manusia
berbahasa serta mendengar dan memproses ujaran yang diterima.

a. Alat Ucap Manusia

Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang harus dibicarakan adalah alat ucap
manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa.

Nama alat-alat ucap, atau alat-alat yang terlibat dalam produksi bunyi bahasa adalah
sebagai berikut:

1) paru-paru (lung)

2) batang tenggorok (trachea)

3) pangkal tenggorok (larynx)

4) pita suara (vocal cord)

5) krikoid (cricoid)

6) tiroid (thyroid) atau lekum

7) aritenoid (arythenoid)

8) dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)

9) epiglotis (epiglottis)

10) akar lidah (root of the tongue)

11) pangkal lidah(back of the tongue, dorsum)

12) tengah Lidah (middle of the tongue, medium)

6
13) daun Iidah (blade of the tongue, larninum)

14) ujung Lidah (tip of the tongue, apex)

15) anak tekak (uvula)

16) langit-langit lunak (soft palate, velum)

17) Iangit-Iangit keras (hard palate, palatum)

18) gusi, lengkung kaki gigi (alveolum)

19) gigi atas (upper teeth, dentum)

20) gigi bawah (lower teeth, denum)

21) bibir atas (upper lip, labium)

22) bibir bawah (lower lip, labium)

23) mulut (mouth)

24) rongga mulut (oral cavity)

25) rongga hidung (nasal cavity)

Bunyi-bunyi yang terjadi pada alat-alat ucap itu biasanya diberi nama sesuai dengan
nama alat ucap itu. Namun, tidak biasa disebut “bunyi gigi” atau “bunyi bibir”, melainkan
bunyi dental dan bunyi labial, yakni istilah berupa bentuk ajektif dari bahasa Latinnya. Oleh
karena itu, untuk memudahkan, baiklah didaftarkan bentuk-bentuk ajektif untuk nama-nama
yang sering muncul dalam studi fonetik itu.

Nama-nama tersebut adalah:

1) pangkal tenggorok (larynx) - laringal

2) rongga kerongkongan (pharynx) – faringal

3) pangkal lidah (dorsum) - dorsal

7
4) tengah lidah (medium) - medial

5) daun lidah (laminum) - laminal

6) ujung lidah (apex) - apikal

7) anak tekak (uvula) - uvular

8) langit-langit lunak (velum) - velar

9) langit-langit keras (palarwn) - palatal

10) gusi (alveolum) - alveolar

11) gigi (dentum) - dental

12) bibir (labium) – labial

2.3 Fonemik

Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem juga
dapat dibatasi sebagai unit bunyi yang bersifat distingtif atau unit bunyi yang signifikan.

Dalam hal ini perlu adanya fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan bunyi-bunyi
yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut. Dengan demikian fonemisasi itu
bertujuan untuk (1) menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan (2) membuat ortografi
yang praktis atau ejaan sebuah bahasa.

Untuk mengenal dan menentukan bunyi-bunyi bahasa yang bersifat fungsional atau
fonem, biasanya dilakukan melalui “ kontras pasangan minimal”. Dalam hal ini pasangan
minimal ialah pasangan bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah
bahasa (biasanya berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi berbeda.
Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali sebuah fonem, yakni (1) bunyi
bahasa dipengaruhi lingkungannya, (2) bunyi bahasa itu simetris, (3) bunyi bahasa yang secara
fonetis mirip, harus digolongkan ke dalam kelas fonem yang berbeda, dan (4) bunyi bahasa
yang bersifat komplementer harus dimasukkan ke dalam kelas fonem yang sama.

8
a. Realisasi Fonem

Realisasi fonem adalah pengungkapan yang sebenarnya dari ciri atau satuan fonologis, yakni
fonem menjadi bunyi bahasa. Realisasi fonem erat kaitannya dengan variasi fonem. Variasi
fonem merupakan salah satu wujud pengungkapan dari realisasi fonem. Secara segmental
fonem bahasa Indonesia dibedakan atas vokal dan konsonan.

b. Variasi Fonem

Variasi fonem adalah wujud pelbagai manifestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari fonem.
Ujud variasi suatu fonem yang ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi yang
komplementer disebut varian alofonis atau alofon.

2.4 Beberapa Pengetian Mengenai Tata Bunyi

a) Fonem Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna. Fonem dalam
bahasa mempunyai beberapa macaam lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau
suku kata. Contoh fonem /t/ jika berada di awal kata atau suku kata, dilafalkan secara lepas.
Pada kata /topi/, fonem /t/ dilafalkan lepas. Namun jika berada di akhir kata, fonem /t/ tidak
diucapkan lepas. Bibir kita masih tetap rapat tertutup saat mengucapkan bunyi, misal pada
kata /buat/.
b) Alofon Varian fonem berdasarkan posisi dalam kata, misal fonem pertama pada kata makan
dan makna secara fonetis berbeda. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti
dinamakan alofon. Alofon dituliskan diantara dua kurung siku […]. Kalau [p] yang lepas kita
tandai dengan [p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p>]. Maka kita dapat
berkata bahwa dalam Bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua alofon, yakni [p] dan [p>].

2.5 Klasifikasi Bunyi

Pada umumnya bunyi bahasa pertama-tama dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi
vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit. Pita suara yang terbuka sedikit ini menjadi
bergetar ketika dilalui arus udara yang dipompakan dan paru-paru. Selanjutnya arus udara itu
keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan apa-apa kecuali bentuk rongga mulut
yang berbentuk tertentu sesuai dengan jenis vokal yang dihasilkan.

9
Bunyi konsonan terjadi setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit
atau agak lebar diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan
di tempat-tempat artikulasi tertentu. Jadi, beda terjadinya bunyi vokal dan konsonan adalah;
arus udara dalam pembentukan bunyi vokal, setelah melewati pita suara, tidak mendapat
hambatan apa-apa; sedangkan dalam pembentukan bunyi konsonan arus udara itu masih
mendapat hambatan atau gangguan. Bunyi konsonan ada yang bersuara ada yang tidak; yang
bersuara terjadi apabila pita suara terbuka sedikit, dan yang tidak bersuara apabila pita suara
terbukaagak lebar. Bunyi vokal, semuanya adalah bersuara, sebab dihasilkan dengan pita suara
terbuka sedikit.

1) Klasifikasi Vokal

Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah dan
bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal dan bisa bersifat horizontal. Secara vertikal
dibedakan adanya vokal tinggi, misalnya bunyi [i] dan[u]; vokal tengah, misalnya, bunyi [e]
dan [o]; dan vokal rendah, misalnya, bunyi [a].

Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan. misalnya, bunyi [i] dan [e],
vokalpusat (misalnya bunyi [߲] dan vokal belakang, misalnya bunyi [u] dan [o]. Kemudian
menurut bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tak bundar. Disebut vokal
bundar karena bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu, misalnya vokal [o]
dan vokal [u]. Disebut vokal tak bundar karena bentuk mulut tidak membundar, melainkan
melebar pada waktu mengucapkan vokal tersebut, misalnya, vokal [i] dan vokal [e].

2) Diftong Atau Vokal Rangkap

Disebut diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini
pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi
rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strukturnya. Namun, yang dihasilkan bukan
dua buah bunyi, melainkan hanya sebuah bunyi karena berada dalam satu silabel. Contoh
diftong dalam bahasa Indonesia adalah [au] seperti terdapat pada kata kerbau dan harimau.

3) Klasifikasi Konsonan

10
Bunyi-bunyi konsonan biasanya dibedakan berdasarkan tiga patokan atau kriteria,
yaitu posisi pita suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi. Dengan ketiga kriteria itu juga
orang memberi nama akan konsonan itu. Bunyi bersuara terjadi apabila pita suara hanya
terbuka sedikit, sehingga terjadilah getaran pada pita suara itu. Yang termasuk bunyi bersuara,
antara lain, bunyi [b], [d], [g], dan [c]. Bunyi tidak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka
agak lebar, sehingga tidak ada getaran padapita suara itu. Yang termasuk bunyi tidak bersuara,
antara lain, bunyi [s], [k], [p], dan [t].

Tempat artikulasi tidak lain daripada alat ucap yang digunakan dalam pembentukan
bunyi itu. Berdasarkan tempat artikulasinya kita mengenal, antara lain, konsonan:

a) Bilabial, yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir, bibir bawah merapat pada bibir
atas. Yang termasuk konsonan bilabial adalah bunyi [b], [p], dan [m].
b) Labiodental, yakni konsonan yang terjadi pada gigi bawah dan bibir atas; gigi bawah merapat
pada bibir atas. Yang termasuk konsonan labiodental adalah bunyi [f] dan [v].
c) Laminoalveolar, yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi; dalam hal ini daun
lidah menempel pada gusi. Yang termasuk konsonan laminoalveolar adalah bunyi [t] dan [d].
d) Dorsovelar, yakni konsonan yang terjadi pada pangkal lidah dan velum atau langit-langit
lunak. Yang termasuk konsonan dorsovelar adalah bunyi [k] dan [g]. Di samping keempat
tempat artikulasi yang disebutkan di atas masih ada tempat artikulasl lain, dan mungkin
dengan pembagian yang lain.

Berdasarkan cara artikulasinya, artinya bagaimana gangguan atau hambatan yang


dilakukan terhadap arus udara itu, dapatlah kita bedakan adanya konsonan:

a) Hambat (letupan, plosif, stop), di sini artikulator menutup sepenuhnya aliran udara, sehingga
udara mampat di belakang tempat penutupan itu. Kemudian penutupan itu dibuka secara tiba-
tiba, sehingga menyebabkan teradinya letupan. Yang termasuk konsonan letupan ini, antara
lain, bunyi [p], [bJ, [t], [d], [k], dan [g].
b) Geseran atau frikatif, di sini artikulator aktif mendekati artikulator pasif, membentuk celah
sempit, sehingga udara yang lewat mendapat gangguan di celah itu. Contoh yang termasuk
konsonan geseran adalah bunyi [f], [s], dan [z].

11
c) Paduan atau frikatif, di sini artikulator aktif menghambat sepenuhnya aliran udara, lalu
membentuk celah sempit dengan artikulator pasif. Cara ini merupakan gabungan antara
hambatan dan frikatif. Yang termasuk konsonan paduan, antara lain, bunyi [cJ, dan [j].
d) Sengauan atau nasal, di sini artikulator menghambat sepenuhnya aliran udara melalui mulut,
tetapi membiarkamya keluar melalui rongga hidung dengan bebas. Contoh konsonan nasal
adalah bunyi [m], [n], dan [η),
e) Getaran atau trill, di sini artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan artikulator pasif,
sehingga getaran bunyi itu terjadi berulang-ulang. Contohnya adalah konsonan [r].
f) Sampingan atau lateral, di sini artikulator aktif menghambat aliran udara pada bagian tengah
mulut lalu membiarkan udara keluar melalui sarnping lidah. Contohnya adalah konsonan [l].
g) hampiran atau aproksiman, di sini artikulator aktif dan pasif membentuk ruang yang
mendekati posisi terbuka seperti dalam pembentukan vokal, tetapi tidak cukup sempit untuk
menghasilkan konsonan geseran. Oleh karena itu, bunyi yang dihasilkan seringjuga disebut
semi vokal, [w] dan [y].

Kemudian, berdasarkan posisi pita suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi:

a) Unsur Suprasegmental
Arus ujaran merupakan suatu runtunan bunyi yang sambung menyambung terus-
menerus diselang-seling dengan jeda singkat atau jeda agak singkat, disertai dengan keras
lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya. Dalam arus ujaran
itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan, sehingga disebut bunyi segmental; tetapi yang
berkena dengan keras lembut, panjang pendek,dan jeda bunyi tidak dapat disegmentasik.
Bagian dari bunyi tersebut disebut bunyi suprasegmental atau prosodi.
b) Tekanan Atau Stres
Tekanan terkait dengan keras lunaknya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan
dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi
dengan tekanan keras. Sebaliknya sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara
yang tidak kuat sehingga amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan tekanan lunak.
Tekanan ini mungkin terjadi secara sporadis, mungkin juga telah berpola mungkin juga
bersifat distingtif, dapat membedakan makna, mungkin juga tidak distingtif. Dalam bahasa
lnggris tekanan ini bisa distingtif, tetapi dalam bahasa Indonesia tidak. Umpamanya, kata

12
blackboard diberikan tekanan pada unsur black maka maknanya adalah papan tulis; kalau
tekanan diberikan pada unsur board berarti papan hitam. Dalam bahasa indonesia, kata orang
tua bila tekanan dijatuhkan baik pada unsur orang maupun tua maknanya tetap sama saja.
c) Nada Atau Pitch
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental
diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi.
Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai juga
dengan nada rendah. Nada ini dalam bahasabahasa tertentu bisa bersifat fonemis maupun
morfemis, tetapi dalam bahasa-bahasa lain, mungkin tidak.
d) Jeda atau Persendian
Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar. Disebut jeda
karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat perhentian itulah
terjadinya persambungan antara segmen yang satu dengan segmen yang lain. Jeda ini dapat
bersifat penuh dan dapat juga bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam
atau internal juncture dan sendi luar atau open juncture.Sendi dalam menunjukkan batas antara
satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi dalam ini yang menjadi batas silabel, biasanya
diberi tanda tambah (+). Misalnya:
/am+bil/
/lam+pu/
/pe+lak+sa+na/
Sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari segmen silabel. Dalam hal ini,
biasanya dibedakan:
1) Jeda antarkata dalam frase diberi tanda berupa garis miring tunggal ( / ). 2) Jeda antarfrase
dalam klausa diberi tanda berupa garis miring ganda (//). 3) Jeda antarkalimat dalam wacana
diberi tanda berupa garis silang ganda (#).
Contoh:
a. # buku // sejarah / baru #
b. # buku / sejarah // baru #
Pada contoh a) di atas dapat dilihat bahwa yang baru adalah sejarahnya, sedangkan pada
contoh b), yang baru adalah buku sejarah.

13
e) Silabel
Silabel atau suku kata itu adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran atau
runtutan bunyi ujaran. Satu silabel biasanya meliputi satu vokal atau satu vokal dan satu
konsonan atau lebih. Silabel sebagai satuan ritmis mempunyai puncak kenyaringan atau
sonoritas yang biasanya jatuh pada sebuah vokal. Kenyaringan atau sonoritas, yang menjadi
puncak silabel, terjadi karena adanya ruang resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung
atau rongga-rongga lain, di dalam kepala dan dada.
Bunyi yang paling banyak menggunakan ruang resonansi itu adalah bunyi vokal.
Karena itulah, yang dapat disebut bunyi silabis atau puncak silabis adalah bunyi vokal.
Perhatikan kata indonesia [dan]. Kata ini terdiri dari bunyi [d], [a], dan [n]. Bunyi [d] dan
bunyi [n] adalah bunyi konsonan, sedangkan bunyi [a] adalah bunyi vokal. Bunyi [a] pada
kata itu menjadi puncak silabis dan puncak kenyaringan.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa,
proses terbentuknya dan perubahannya. Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan
fungsional.

Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat
fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna. Varian fonem
berdasarkan posisi dalam kata, misal fonem pertama pada kata makan dan makna secara
fonetis berbeda.

Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Kajian fonetik
terbagi atas klasifikasi bunyi yang kebanyakan bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi
egresif. Dan yang kedua pembentukan vokal, konsonan, diftong, dan kluster.

Dalam hal kajian fonetik, perlu adanya fonemisasi yang ditujukan untuk menemukan
bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut. Dengan demikian
fonemisasi itu bertujuan untuk (1) menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan (2)
membuat ortografi yang praktis atau ejaan sebuah bahasa

15
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2011. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.

Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

_____________. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Marsono. 2008. Fonologi, Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Muslich, Masnur. 2010. Fonologi Bahasa Indonesia, Tinjauan Deskriptif Bunyi Bahasa
Indonesia. Malang: Bumi Aksara

Pateda, Mansoer. 2011. Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung:Angkasa.

Todd, Loreto. An Introduction to Linguistics. New York: Longman York Press, 1987.

Verhaar, J.W.M.. 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Widjono, H. S.. 2007. Bahasa Indonesia (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di


Perguruan Tinggi), Edisi Revisi. Jakarta: Grasindo.

16

Anda mungkin juga menyukai