Anda di halaman 1dari 24

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AMBON

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA DINASTI GHAZNAWI (GHASAWI),


BUWAIHI (BUWAEHI ), DAN SALJUK (SALAJIKAH)

( PEMBENTUKAN, KEMAJUAN DAN KEMUNDURAN)

disusun oleh :

Khairil Afdal Tuanaya ( 220203012 )

SEMESTER III ( GANJIL )


KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah sejarah peradaban islam pada dinasti ghaznawi (ghasawi),
buwaihi (buwaehi ), dan saljuk (salajikah)( pembentukan, kemajuan dan
kemunduran).

Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembautan makalah ini. Untuk itu saya
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah sejarah peradaban islam pada dinasti
ghaznawi (ghasawi), buwaihi (buwaehi ), dan saljuk (salajikah)( pembentukan,
kemajuan dan kemunduran). ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Ambon 17 Desember 2023

Tertanda Pemakalah

1
2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................................................1
Daftar Isi................................................................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................................................3
Pendahuluan........................................................................................................................................3

BAB II.....................................................................................................................................................4
Dinasti Ghaznawi...............................................................................................................................4
Pembentukan ( Awal Berdiri )
Kemajuan ( Perkembangan )
Kemunduran ( Perkembangan )
Dinasti Buwahi....................................................................................................................................8
Pembentukan ( Awal Berdiri )
Kemajuan ( Perkembangan )
Kemunduran ( Keruntuhan )
Dinasti Saljuk...........................................................................................................................................13
Pembentukan ( Awal Berdiri )
Kemajuan ( Perkembangan )
Kemunduran ( Keruntuhan )

BAB III.................................................................................................................................................18
Kesimpulan.........................................................................................................................................18
Saran.....................................................................................................................................................18
Daftar Pustaka..................................................................................................................................19

PENDAHULUAN

3
Kita sama-sama mengetahui bahwa sejarah peradaban Islam pada masa
Daulah Bani Abbasiyah adalah puncak keemasan, baik itu politik, keamanan,
ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lain-lain. Kemajuan Dinasti
Abbasiyah ditandai dengan adanya kontak peradaban Islam dengan peradaban Yunani
yang berada di Mesir dan Persia.

Akan tetapi Dinasti Abbasiyah tidak bisa bertahan lama, karena mengalami
kemunduran, sehingga menyebabkan beberapa provinsi memproklamirkan lahirnya
daulah yang baru, dan Dinasti Abbasiyah hanya pada periode pertama dari tiga
periode yang dapat menjalankan tugasnya karena untuk untuk periode kedua dan
ketiga Dinasti Abbasiyah digerakkan oleh Dinasti Ghaznawi, Dinasti Buwaihi dan
Dinasti Saljuk, meskipun secara simbolis khalifah Abbasiyah masih menjabat sebagai
kepala pemerintahan.

Melalui makalah ini, penulis mencoba untuk membahas sejarah


kepemimpinan Dinasti Ghaznawi, Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk serta hal-hal
yang berkaitan erat dengan esensi keadaan peradabaan Islam pada masa pemerintahan
waktu itu.

A. Dinasti Ghaznawi
1. Awal berdirinya Dinasti Ghaznawi

4
Bangsa Turki yang mendapat perhatian penuh oleh Dinasti Samaniyah
untuk berada pada barisan pemerintahan adalah Alptakin. Pada awalnya ia
dikokohkan sebagai anggota pegawai dinasti. Lantas pada puncak karirnya
dinobatkan menjadi gubernur Khurasan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 961
M dan terlukis dalam sejarah bahwa Alptakin telah berhasil merebut Ghana di
Afghanistan tahun 962 M.
Sebagian cuplikan sejarah menyebutkan bahwa diawali oleh rasa dengki
dari pihak penguasa, maka Alptakin bersama pengikutnya harus meninggalkan
negeri Khurasan untuk membuat daerah baru yang bisa memberikan nilai-nilai
positif bagi perkembangan kekuasaannya. Suatu daerah yang sangat strategis
yang dikenal dengan Ghazna. Maka diperkuatnyalah kota itu, termasuk
diantaranya pembuatan parit dan benteng pada Tahun 962 M.[1]
Setelah Alptakin wafat digantikan oleh salah satu keturunannya yaitu
Sabaktakin. Ia menjadi penguasa Dinasti Ghaznawiyah pada tahun 977 M.
Pada awalnya ia memiliki Khurasan sebagai hadiah dari raja Samani Nuh bin
Mansur atas jasanya berhasil memadamkan pemberontakan di Transoxiana.
Setelah menguasai Persia Sabaktakin menguasai Pesyawar, kemudian Kabul
dan wilayah India. Setelah berjuang selama 20 tahun Sabaktakin meninggal
pada tahun 997 M. Walaupun berasal dari bangsa Turki namun ia dapat
menyatukan kedua bangsa Turki dan Afghanistan karena sama-sama satu
mazhab yaitu ahlu sunnah wal jamaah.[2]
Sabaktakin digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Ismail,
sayangnya Ismail tidak bijak dalam mengatur pemerintahan dan dalam
menguasai Ghaznah Ismail dikerjai oleh pasukannya sampai harta ayahnya
habis. Maka bangkitlah Amir Mahmud untuk mengulingkan saudaranya, dan
setelah berhasil merebut Ghaznah, ia mengangkat dirinya sebagai sultan
Ghaznawiyah.
Wilayah Dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian Timur, Afghanistan,
Pakistan dan beberapa wilayah bagian India. Pusat pemerintahannya di kota
Ghazna, Afghanistan. Dinasti inilah yang mampu menembus sampai ke India
menyebarkan agama Islam, menghancurkan berhala menggantikan kuil dengan

5
mesjid[3] Dinasti ini berusia lebih dari 200 tahun (336 H/ 977 M – 582 H/
1186 M) di Iran Timur dan wilayah yang sekarang menjadi Afghanistan.[4]

2. Kemajuan Dinasti Ghaznawi


a. Aspek Politik
Pada masa Sabaktikin, wilayah Dinasti Ghaznawi diperluas dengan
ditaklukannya beberapa wilayah di Sijistan dan Kusdar. Disamping itu ia
mampu mempertahankan Transoxania dan Iran bagian barat dari serbuan Bani
Saljuk.[5] Dalam pemerintahan Sultan Mahmûd al-Ghaznawi, kemajuan
bidang politik mencapai puncaknya. Ghazna yang semula adalah kerajaan
kecil, yang di sana-sini terdapat reruntuhan bangunan akibat perang. Kerajaan
tersebut menjadi luas, dari pinggir laut Kaspia di utara hingga sungai Gangga
di India, dari sungai Ozus di Amudarya (Asia Tengah) sampai sungai Indus
(pesisir selatan India).
Sultan Mahmûd al-Ghaznawi adalah panglima perang perkasa, dia
lebih banyak berada di medan perang daripada “duduk” di istana
kebesarannya. Sejarah mencatat, lewat peperangan yang dilakukan, dia
mampu menaklukan wilayah Khurasan (1012 M), dataran tinggi Pamir (1000
M), Peshawar, Khasmir dan Bathinda (1004 M), Punjab (1006 M), Kangra
(1009), Delhi (1015), Mathura, Kanauj (1019), dan Gujarat (1026).[6]

b. Bidang Pendidikan dan IPTEK


1) Mahmud Ghazna mengerahkan kesungguhannya untuk menjadikan
kota Ghazna sebagai pusat ilmu pengetahuan dan sebagai tempat
berkumpulnya para ilmuwan, ahli hukum, ulama fuqaha, para ahli
bahasa, ahli fisika astronomi, geografi tasawuf dan falsafah.
2) Mahmud membangun sekolah-sekolah yang di lengkapi dengan
perpustakaan.
3) Dalam pengembangan ilmu, Mahmud Ghaznawi menghimpun para
sarjana dan punjangga, diberi tempat tinggal, dibiayai dan diberi
dukungan.

6
c. Bidang Ekonomi dan Perdagangan

Kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi dan perdagangan pada


masa Sultan Mahmud adalah kesejahteraan dan perekonomian masyarakat
yang semakin meningkat serta memajukan ekonomi masyarakat melalui
perdagangan, Pertanian dan retribusi pajak.

Penaklukan terhadap daerah-daerah yang kaya dan subur memberikan


dampak yang sangat besar terhadap kemajuan dinasti Ghaznawi di bidang
ekonomi. Setiap berhasil dari penaklukan, Sultan Mahmud selalu membawa
harta rampasan ke Kota Ghazna dan membagi-bagikanya kepada rakyat serta
digunakan untuk berbagai pembangunan madrasah dan sarana sosial lainnya .
[7]

Harta rampasan yang melimpah dan restribusi pajak yang


dikumpulkan dari seluruh daerah taklukan, mampu menghidupkan berbagai
aktivitas perekonomian, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan dinasti ini
menjadi kerajaan yang makmur.

d. Bidang Kesenian dan Arsitektur

Masa kejayaan dinasti Ghaznawi didukung oleh berbagai faktor


diantaranya adalah karena adanya perhatian dari Sultan terhadap
perkembangan bidang seni dan arsitektur. Hal ini ditandai dengan didirikannya
sebuah masjid yang bernama Arus al-Falaq, membangun Istana di Afgan dan
Shal, serta membangun taman Sad Hasan dan istana Fazuri. Begitu megah di
kota Ghazna pada masa pemerintahan sultan Mahmud.[8]

Masjid Arus al- Falaq adalah masjid termegah pada masa itu
dimana lantainya dilapisi dengan marmer, mihrabnya terdiri dari batu pualam,
yang dihiasi emas. Dan bahan bangunannya sebahagian besar didatangkan dari
India.

7
3. Kemunduran Dinasti Ghaznawi

Pada saat sultan Mahmud masih hidup, ia mengambil kebijakan


dengan menunjuk puteranya Muhammad sebagai penggantinya, tetapi
kebijakan itu tidak disetujui pihak militer. Menurut mereka yang lebih berhak
untuk menjadi sultan adalah Mas`ud karena selalu berhasil memimpin
peperangan. Konflik kedua kakak beradik ini menimbulkan perselisihan yang
berujung dengan perang yang dimenangkan oleh Mas`ud.[9] Secara langsung
konflik internal tersebut tentunya mempengaruhi pemerintaahan, sehingga ada
di antara daerah – daerah yang tidak mau lagi tunduk kepada Sultan
Ghaznawi.

Kesempatan ini dimanfaatkan oleh orang – orang Saljuk, mereka mulai


berupaya untuk merebut kekuasaan dinasti Ghaznawi. Kekuatan Sultan
Mas`ud pun dapat dikalahkan pada akhirnya banyak daerah yang melepaskan
diri di wilayah Iran bagian Barat serta seluruh Khurasan. Pertempuran
melawan orang-orang Saljuk berlangsung terus hingga tahun 1049 M sampai
pada masa pemerintahan Mas`ud.

Untuk sementara dapat ditata kembali tetapi tidak bertahan lama.


Selain ancaman dari orang Saljuk juga muncul ancaman dari suku Ghur dan
Zhur turut melemahkan wibawa dinasti. Mereka menyerang Ghazna pada
tahun 1151 M dan berhasil menguasainya. Pada saat itu pusat pemerintahan
pindah ke Lahore pada Tahun 1186 M namun tidak bertahan lama.

Dinasti Ghaznawi dijarah oleh orang – orang Gharriyah yang dipimpin


oleh `Alauddin Jihan –suz yang dikenal dengan ” Penghasut dunia” pada tahun
545/1151M. Tampilnya Ghuriyyah di Afganistan Tengah mengurangi
kekuasaan Ghaznawi terakhir,[10] dengan cara menjadikan anak Khusraw
sebagai tawanan setelah jatunya daerah Pesyawar ke tangan Syihabuddin.
Akhirnya Khusraw membayar upeti dan menyerah pada tahun 1187 M. Ia

8
akhirnya ditawan dan di bunuh bersama anaknya. Dengan demikian Dinasti
Ghaznawi berakhir.

B. Dinansti Buwaihi

1. Awal Berdirinya Dinasti Buwaihi

Nenek moyang Buwaihi berasal dari negeri Dailam sebelah timur


Khurasan. Keluarga Bani Buwaihi berasal dari keturunan Raja-raj Persia
melanjutkan seorang tokohnya yang bernama Buyyah (Buwaihi). Keturunan
dari Buwaihi inilah yang kelak akan menjadi penguasa Irak yang gigih.
Mereka Itu adalah Ali, Al Hasan, dan Ahmad. Dari mereka inilah dimulai
nama Dinasti Buwaihi, pemegang kekuasaan dan penguasa tertinggi di Bagdad
dari 945-1055 M.[11]

Dinasti Buwaihi adalah salah satu Dinansti yang ada pada masa
Abbasiyah. Latar belakang berdirinya Dinasti Buwahi ini diawali dari tiga
orang bersaudara yang berasal dari Dailam (Tabaristan) yang terletak di pantai
Khazar yaitu daerah pegunungan yang di huni oleh orang-orang yang disebut
Dayalimah. Mereka adalah campuran dari orang Iran danTurki yang keras,
kuat, giat, pandai berperang dan sangat perkasa.[12]

Pada abad ke 10 Dailam dapat memerangi bangsa Turki sebagai


pemasok tentara bayaran bagi dunia Islam. Mereka mengabdi kepada
Mardawij. Mardawij menunjuk mereka menjadi gubernur di daaerah-daerah
yang menjadi bawahannya. Setelah Mardawij meninggal (943), maka
kekuasaan berada dibawah tangan Ali dan saudara-saudaranya.

Tahun 945 mereka (Ahmad bin Buwaihi ) memasuki kota Bagdad yang
pada saat itu pemegang kekuasaan oleh Khalifah al-Mustakfi. Di mana pada
masa ini banyak terjadi pemberontakan dan pertikaian di kalangan istana.

9
Tahun 946 Ahmad bin Buwaihi menurunkan al-Mustakfi dan
menggantikannya dengan muqtadir yang memakai gelar tahta al-Muti. Pada
pertemuan pertama ketika masih kekhalifahan al-Muktafi kekuasaan keuangan
di Irak diberikan kepada Ahmad bin Buwaihi dan namanya di cetak dalam
uang logam dengan menamakan diri sebagai khalifah. Mereka membuat
pemasukan khusus untuk khalifah yang berjumlah 5000 dirham sehari.

2. Kemajuan Dinasti Buwaihi

a. Pemerintahan dan Politik

Sistem pemerintahan Dinasti Buwaihi tidak independen seperti


Dinasti Samaniyah. Ali masih mengakui otoritas Baghdad sebagai pusat
kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, sekalipun pada waktu itu sudah amat
lemah. Jabatan para penguasa Dinasti Buwaihi tidak lain sebatas gubernur,
bukan khalifah. Ini jelas berbeda dengan status jabatan penguasa beberapa
dinasti sebelumnya menjelaskan bahwa, para penguasa Dinasti Buwaihi
banyak menyandang gelar Seperti gelar “Syahansyah” (Rajadiraja). Dengan
demikian, Dinasti Buwaihi termasuk generasi penerus peradaban seperti
halnya Dinasti Samaniyah, yang bermaksud mengembalikan kejayaannya.

Konsep politik Dinasti Buwaihi bentuknya adalah kekeluargaan. Oleh


sebab itu pola kepemimpin tiga pemimpin Buwaihi yang pertama dipererat
oleh ikatan persaudaraan dari para pendirinya.[13] Prinsip kekeluargaan ini
dapat dilihat dari kebiasaan mendahulukan yang lebih tinggi dan
menghormati yang lebih tua.

Dinasti Buwaihi yang bertahan selama 123 tahun dan dapat dibagi ke
dalam tiga periode, yaitu:

1. Periode pertama sebagai periode konsolidasi kekuasaan yang


dilakukan oleh ‘Ali Ibnu Buwayh (‘Imad al-Daulah), Hasan Ibnu
Buwayhi (Rukn al-Daulah), Ahmad Ibnu Buwayhi (Mu’iz al-Daulah)

10
dan kemudian diteruskan oleh keturunan mereka, Bakhtiyar (putra
Mu’izz al Daulah) dan ‘Adhud Al-Daulah (putra Rukn Al-Daulah).
Karena ‘Imad Al-Daulah tidak mempunyai anak, di fars ia digantikan
oleh kemenakan lelakinya, ‘Adud Al-Daulah.

2. Periode kerajaan dimulai dengan keberhasilan ‘Adud Al-Daulah


meraih kekuasaan di Bagdad, dan terus berlangsung selama masa
pemerintahan putra-putranya, sham-sham Al-Daulah (983-87), Syaraf
Al-Daulah (987-89), dan Baha ‘Al-Daulah (989-1012).

3. ‘Adhud Al-Daulah adalah Raja Buwaihi yang paling terkemuka, yang


pada masa pemerintahannya kerajaan mencapai kekuasaannya yang
paling besar dan luas meskipun kesatuan yang telah dia bangun menjadi
terpecah-pecah setelah kematiannya, percekcokan di antara putra-
putranya merupakan gejala kemunduran yang baru di mulai.[14]

Secara fisik adminitratif dapat dinyatakan bahwa pergeseran


kekuasaan dari khalifah kepada amir adalah pemusatan kontrol politik dan
adminitrasi dari istana kekhalifahan (Dar Al-Khalifah) ke istana kerajaan
(Dar Al-Mamlakah) yang baru saja didirikan di Baghdad.

Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dan kesulitan kontak dengan


wilayah propinsi menyebabkan disintegrasi pemerintahan tersebut. Di
samping itu, sistem pemerintahan Buwaihi yang disandarkan pada
kekuasaan militer, memudahkan untuk menguasai Baghdad, bersamaan
dengan menurunnya kekuatan militer di pemerintahan pusat.

Selama periode Buwaihi, tercatat beberapa Amirul Umara yang


pemerintah di Baghdad yaitu:

1. Mu’iz ad-Daulah tahun 945 M

2. ‘Izz ad-Daulah Bakhtiyar tahun 967 M

11
3. Adud ad-Daulah tahun 978 M

4. Samsan ad-Daulah tahun 973 M

5. Sharaf ad-Daulah tahun 983 M

6. Baha ad-Daulah tahun 989 M

7. Sulthan ad-Daulah tahun 1012 M

8. Musharif ad-Daulah tahun 1020 M

9. Jalal ad-Daulah tahun 1025 M

10. Imadudin Abu Kalijar tahun 1044 M

11. Al Malik ar-Rahim tahun 1045-1055 M[15]

b. Pemahaman keagamaan

Dalam hal keagamaan pada dinasti Buawaihi mereka adalah penganut


syiah yang dikenal kuat dan keras serta memiliki kebebasan yang tinggi.
Perkenalan mereka dengan syiah diawali dengan pengungsian golongan
‘Aliyyah yang ditindas oleh Bani ‘Abbasiyah. Seorang kalangan ‘Aliyyah
menyebarkan Syi’ah di wilayah Dailam dan mendirikan sebuah kerajaan
‘Aliyah yang independen di Dailam dan Jilan.

c. Pendidikan dan IPTEK

Pada masa pemerintahan Buwaihi lahir lah para ilmuwan besar seperti
Al-Farabi, Ibnu Sina dan kelompok studi ikhwan as-shafa.[16] Pada
periode pemerintahan Adud Daulah diliputi oleh kedamaian dan keamanan
sehingga perkembangan kebudayaan serta perkembangan ilmu ekonomi,
matematika, kedokteran dan kesusastraan telah mencapai puncaknya.

12
3. Keruntuhan Dinasti Buwaihi

Dinasti Buwaihi dalam menjalankan roda pemerintahan semula didasarkan


kepada kekuatan militer orang-orang pengunungan Dailam. Namun setelah berapa
lama, mereka tidak bisa lagi mempertahankan keunggulan militernya, dan para
Buwaihi makin bersandar pada tentara bayaran dari Turki. Maka menjelang abad ke
10, mengurus sebuah provinsi dan penyelenggaraan sebuah negara kecil yang
independen merupakan masalah tetapi pada akhir periode Buwaihi para prajurit tidak
berminat lagi pada pertemuan tetapi pada akhir periode Buwaihi para prajurit tidak
berminat pada uang dan memaksa para amir untuk memberi anggaran pada tentara
yang lebih besar yang bisa ditanggung oleh perekonomian.

Ikatan kekeluargaan yang pada mulanya merupakan sumber kekuatan bagi


bani Buwaihi. Ketiga bersaudara yang mendirikan Dinasti Buwaihi berkuasa,
kompeten dan saling mempercayai satu sama lain, tetapi selanjutnya ketika
pemerintahan berada ditangan keturunan mereka, terjadilah perebutan kekuasaan yang
mengakibatkan perselisihan dan saling bunuh-membunuh.

Dan dilihat dari segi bala tentara, tentara yang menjadi sandaran kekuatan
tidak berasal dari suku yaitu bangsa Dailam dan bangsa Turki sehingga menyebabkan
terjadinya persaingan diantara para tentara. Kedua kelompok tentara tersebut juga
berada dalam hal mazhab. Orang-orang Dailam adalah Zaidiyah, sedangkan bangsa
Turki adalah orang Sunni.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi adalah


:
1. Sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer,
belakangan diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap
pimpinan mereka atas kekayaan dan kekuasaan daripada setia terhadap
negara.

13
2. Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada
masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik
antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.
3. Pertentangan antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui
bahwa Dinasti Buwaihi adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh
bersemangat, di balik kebanyakan rakyat Baghdad yang bermadzhab sunni.
Pertentangan tersebut pada periode awal Dinasti tidak begitu nampak,
terutama pada masa Adud ad-Daulah, kemudian mulai menajam kembali
dan mengalami puncak pada akhir Dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal ini tidak
terlepas dari peran dan kebijakan Khalifah al-Qadir yang mengepalai
pertempuran sunni melawan Syi’ah dan berusaha mengorganisir sebuah misi
Sunni untuk menjadi praktek keagamaan. Melalui sebuah pengumuman yang
resmi, ia menjadikan Hambali sebagai madzhab muslim yang resmi.[17]

C. Dinasti Saljuq

1. Awal berdirinya Dinasti Saljuq

Sejalan dengan semakin melemahnya kekuatan politik Bani Buwaihi,


makin banyak pula gangguan dari luar yang membawa kepada kemunduran
dan kehancuran dinasti ini. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah
semakin gencarnya serangan Bizantium ke tanah Islam dan semakin
banyaknya dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di
Baghdad.[18]

Saljuq adalah nama keluarga keturunan Saljuq bin Tufaq dari Suku
Bangsa Gazz dari Turki yang menguasai Asia Barat Daya pada abad ke-11 dan
akhirnya mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia,
Suriah, Palestina dan sebahagian Iran. Wilayah kekuasaan yang demikian luas

14
hingga abad ke-13.[19] Penamaan Dinasti Saljuq dinisbahkan kepada Saljuq
bin Tufaq, yang merupakan nenek moyangnya, ia adalah salah satu anggota
suku Oghuz Kaum Saljuq bermukim berdekatan dengan kaum Samaniyah dan
Ghaznah, dan mereka telah menganut agama Islam serta sangat fanatik dengan
mazhab Ahlu Sunnah yang tersebar luas di kawasan itu.[20]

Ketika peperangan antara dinasti Samaniyah dan Ghaznawi meletus,


kaum Saljuq berpihak kepada kaum Samaniyah hingga akhirnya Dinasti
Samaniyah lumpuh, sementara Dinasti Ghaznawi semakin jaya. Ini memberi
kesempatan kepada kaum Saljuq untuk memerdekakan diri bersama-sama
dengan sisa-sisa milik kerajaan yang runtuh.

2. Kemajuan Dinasti Saljuq

a. Bidang Politik dan Pemerintahan

Pada masa pemerintahan Dinasti Saljuk, mereka mengembalikan


jabatan wazir yang sebelumnya ditukar dengan khatib oleh Dinasti
Buwaihi. Di samping itu, mereka melakukan ekspansi ke daerah-daerah
yang berada di sekitar wilayah kekuasaannya seperti Jurjan, Tabaristan,
Rayy, Qazwain, Zanjan, bahkan hampir mengusai seluruh wilayah Iran,
Wilayah Irak Barat, Kirman, Kurzistan dan Oman.

Puncaknya pada masa pemerintahan Alp-Arselan, kekuasaan dinasti


Saljuk sampai ke Asia Barat, yaitu daerah Bizantium sebagai pusat
kebudayaan Romawi, Perancis, Armenia, Guzz dan al-Akhraj. Dalam
ekspansi ini terjadi peristiwa yang dinamakan dengan manzikart (1071 M),
di mana Raja Romawi Romanus Drogenes memerintahakan tentaranya
untuk menentang tentara Alp-Arselan dan mendengar pernyataan tersebut

15
membakar semangat perang kaum Saljuk sebagai wujud mempertahankan
harga diri dan kaumnya.[21]

b. Bidang Ilmu Pengetahuan

Pada masa pemerintahan Al-Arselan, ilmu pengetahuan mulai


berkembang dan mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Malik
Syah bersama perdana mentrinya Nizham al-Mulk. Nizam al-Mulk inilah
yang memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan
madrasah Hanafiyah di Baghdad. Nizham al-Mulk ini adalah seorang yang
ahli dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu agama, pemerintahan dan
ilmu pasti.

Pada masa Malik Syah inilah lahir ilmuan-ilmuan muslim seperti al-
Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa dan theology, al-Qusyairi dalam
bidang tafsir, Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang theology, Farid al-Din
al-Aththar dan Umar Kayam dalam bidang sastra dan matematika.[22]

c. Bidang Keagamaan

Pada periode Dinasti Saljuq masa pemerintahan Tughril Beq.


Munculnya semangat dan persatuan di atas Manhaj Islam yang benar, hal
ini dimulai oleh Tughril Beq yang mengajak kaum muslimin untuk
berpihak kepada khalifah yang resmi, dan menentang aliran Syi’ah yang
menimbulkan perpecahan di antara umat.

Kemudian yang lebih penting lagi diingat Sultan alih arselan telah
kembali menyatakan umat di bawah, panji Islam, bersatu untuk berjihad fi
sabilillah, seorang pemimpin umat sekaligus panglima perang yang berhasil
membangkitkan semangat persatuan dan keasatuan kaum muslimin dalam
mempertahankan dan membela agamanya. Khalifah Abbasiyah dan sultan
Saljuq sama berpegang kepada mazhab Ahlu sunnah. Ini telah
memudahkan kerja sama di antara kedua belah pihak dan telah mendorong

16
kaum Saljuq itu menyangjung dan menghormati dengan setingginya
khalifah-khalifah Abbasiyah.[23]

3. Kehancuran Dinasti Saljuq

Faktor Internal

Faktor internal adalah dari kemunduran Dinasti Saljuq


pemberontakan golongan Islamiyah dari kelompok Hasy syasyin, yang
diketuai oleh Hasan bin sabah. Hasysyasyin yang terkenal dengan
perbuatan kejam, menipu dan pembunuh yang dengan perkataan As-
Sasins, dalam bahasa Inggris yang berarti penumpah darah atau
pembunuh. Faktor lain diantaranya ialah:

- Perselisihan yang terjadi di dalam keluarga, antara saudara, paman,


anak-anak dan cucu.

- Dimunculkan api fitnah oleh para pejabat dan menteri.

- Lemahkannya para khalifah Bani Abbasiyah dalam menghadapi


kekuatan militer Saljuq. Sehingga pemerintahan Bani Abbas tidak
mampu menolak siapa pun yang duduk di kursi kesultanan Saljuq

- Ketidakmampuan pemerintahan Saljuq dalam menyatukan wilayah


Syam, Mesir dan Iraq di bawah panji kekuasaan Bani Abbas.

- Konspirasi orang-orang pemberontak terhadap kesultanan Saljuq


yang mereka lakukan dengan cara membunuh dan menghabisi para
sultan dan pemimpin – pemimpin serta komandan perangnya.

Faktor Eksternal

Berupa perperangan yang kita kenal dengan perang Salib yang


datang secara beruntun dan setengah pasukan Barbar ke pusat – pusat kota

17
Dinasti Saljuq. Jadi kedua faktor tersebutlah yang membuat Dinasti Saljuq
runtuh yang bermula kepada kekuatan hubungan di antara pemegang
wasiat untuk Mahmud dan saudara – saudara Mahmud, terutama dari
pihak ayah Barkiya Ruk. Hal itu segera memicu pertengkaran besar di
dalam keluarga Saljuq.

PENUTUP

A. Kesimpulan

18
1. Wilayah dinasti Ghaznawiyah meliputi Iran bagian timur, Afganistan,
Pakistan, dan beberapa wilayah bagian India. Pusat pemerintahannya di
kota Ghazna Afganistan. Dinasti inilah yang mampu menembus sampai ke
India menyebarkan agama Islam, menghancurkan berhala mengantikan
kuil dengan mesjid. [24] Dinasti ini didirikan oleh Sabaktakin dan berjaya
pada masa pemerintahan Mahmud Ghaznawi. Pemerintahan Dinasti ini
berakhir pada masa pemerintahan Khusraw Malik karena diserang oleh
Dinasti Ghuri dan Khusraw Malik bersama anaknya Malik Syah mati di
bunuh.
2. Dinasti Buwaihi adalah salah satu Dinansti yang ada pada masa
Abbasiyah. Wilayah. Dinasti Buwaihi meliputi Asfahan, Syiraz dan
kirman di Persia. Dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syi'ah.
Salah satu yang menyebabkan kemunduran Dinasti Buwaihi karena adanya
konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada
masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya.
Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di
pusat.
3. Dinasti Saljuq didirikan oleh Saljuq bin Tufak dari suku bangsa Gazz.
Pada masa Saljuq inilah ilmu pengetahuan berkembang. Sedangkan dinasti
Saljuq mengalami kemunduran dan keruntuhan di antaranya akibat
perseteruan dalam perebutan jabatan, baik di kalangan keluarga maupun
pejabat pemerintah.

B. Saran
Sebagai insan biasa penulis tidak akan pernah sempurna dalam segala
hal termasuk dalam makalah ini, untuk itu semua kritikan dan saran yang
membangun sangat penulis butuhkan, karena penulis yakin makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian adanya mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat untuk menambah dan mampu membuka cakrawala
kita tentang sejarah peradaban Islam.

19
DAFTAR PUSTAKA

20
C.E. Bosworth, Dinasti- Dinasti Islam, Judul Asli The Islamic Dinasties, Terj.
Hasan Ilyas, Bandung: Mizan, 1993

Chair, Abd.dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta : PT.


Ikhtiar Baru Van Hoeve, tt

http://gun2-ab.blogspot.com/2009/02/dinasti-buwaihi.html. Kamis, 27 Oktober


2011

http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April 2009

http://kliksosok.blogspot.com/2007/08/dinasti buwaihi

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981

al-Isy, Yusuf. Dinasti Abbasiyah. Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2007

L. Kraemer, Joel. Renaisance Islam. terj. Asep Saefullah. Bandung:


Mizan, 2003

Munir, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009

Syou’ib, Yosoef. Sejarah Daulah Abbasiyah II. Jakarta: Bulan Bintang, 1997

Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2007

Su’ud, Abu. Islamologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2003

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna


Baru, 2008

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta:


Raja Grafindo Persada,2004

Yatim. Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010

Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh


Orientalis, Terj. Hartono. Yokyakarta: Tiara Wacana, 1990

21
[1] Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h.120

[2] Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April 2009

[3] Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April 2009

[4] Abd. Chair,dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta : PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve, tt), h. 12

[5] Yosoef Syou’ib, Sejarah Daulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h.
218

[6] Ibid., h.243

[7]W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh


Orientalis, Terj. Hartono, (Yokyakarta: Tiara Wacana, 1990),h.213

[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu


Pengetahuan Islam,( Jakarta: Kencana Prenada Media group, 2007), Cet ke 3, h. 172

[9] W. Montgomery, Opcit., hal 213

[10] C.E. Bosworth, Dinasti- Dinasti Islam, Judul Asli The Islamic
Dinasties, Terj. Hasan Ilyas, (Bandung: Mizan, 1993),h. 207

[11] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta:


Raja Grafindo Persada,2004), h.159-160

[12] Yusuf al-Isy, Dinasti Abbasiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2007),.h.198

[13] Namun pada generasi kedua dan ketiga solidaritas kekeluargaan (fanatisme)
semakin berkurang.

[14] Joel L. Kraemer, Renaisance Islam, terj. Asep Saefullah, (Bandung: Mizan
2003),h.63-64

[15] http://kliksosok,blogspot.com/2007/08/dinasti-buwaihi tanggal 27 Oktober 2011

[16] Abu Su’ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.80

[17] http://gun2-ab.blogspot.com/2009/02/dinasti-buwaihi.html tanggal 27 Oktober


2011

[18] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010)
Cet.ke-22,. H. 72

[19] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2009), Cet. Ke-1,
h.278

22
[20] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam,(Jakarta:PT. pustaka al-husna
baru, 2008), cet ke-3, h.277

[21] Ahmad Syalabi, loc.cit.

[22] Badri Yatim, op.cit., h. 76

[23] A. Syalabi, Op.Cit, h,280

[24] Dikutip dari situs http://shofiulloh.blogspot.com/. Selasa, 21 April 2009

23

Anda mungkin juga menyukai