Anda di halaman 1dari 9

PEMBEDA MUKMIN DAN KAFIR

Disusun guna memenuhi tugas


Mata Kuliah : Hadits Akidah
Dosen Pengampu : .

Disusun oleh :

Muhammad Habibulloh Ichsan (1904016052)


Fitriani Roikhatul Jannah (1904016060)
Mir’atus Sholekha (1904016062)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020

i
BAB I
PENDAHULUAN
Mukmin yang merupakan bentuk fa’il dari kata amana, secara semantis,
merupakan inti dari sikap moral positif yang bersumber dari keyakinan penuh
kepada Allah SWT. Iman memiliki aspek relegius dan aspek sosial. Pada aspek
religiusitas, keimanan termanifestasi pada kesungguhan dalam berkhidmad
kepada Allah SWT sampai-sampai ketika disebutkan nama Allah SWT maka
bergetarlah hatinya, sedangkan apabila dibacakan ayat-ayat Allah, maka
bertambah imannya. Sedangkan pada aspek sosial tercermin dalam kemauan
untuk mengeluarkan sebagian rizki yang diberikan untuk keperluan sosial.1
Kafir merupakan kata yang menunjukkan subyek dari kata kafara dengan
bentuk kata benda kufr. Sebenarnya, kata kafara sendiri memiliki dua kata infinitif
yakni kufr dan kufron. Kufron dipahami secara semantik sebagai ungkapan
ketidakberterimakasihnya seorang manusia atas ni‟mat. Sedangkan kufr dipahami
sebagai lawan dari iman (percaya). Dalam bentuk infinitif kufr, ketidakpercayaan
atas kebenaran yang disampaikan oleh Allah dalam ayatnya menjadi salah satu
varian yang kuat tentang kufr yang menjadi lawan dari iman seperti ahli kitab
yang mengingkari kebenaran akan ayat-ayat Allah (Qs. Ali Imran, 70). Memang
bidang semantik kufr dalam al-Qur‟an mengarah kepada semua performa negatif
seperti fasiq, sikap sombong, dhulmun, fazir dan israf.2

1
Irfan Afandi, Jurnal Darussalam; Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam. Vol.
IX, No 1: 66-85. September 2017, hlm. 68.
2
Irfan Afandi, Jurnal Darussalam; Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam. Vol.
IX, No 1: 66-85. September 2017, hlm. 69-70.

1
BAB II
PEMBAHASAN
Mukmin adalah orang yang memercayai keesaan Allah, meyakini
kebenaran ajaran-Nya, dan menjamin adanya rasa aman sekaligus memiliki
amanah dalam hidupnya sehingga ia menjadi orang yang tepercaya dan memiliki
integritas tinggi. Sesungguhnya, beriman merupakan fitrah manusia.
Kecenderungan bertauhid itu melekat dalam diri manusia sejak dalam kandungan.
Sejak ruh ditiupkan, manusia memiliki sifat lahut (ketuhanan), mendekatkan diri
kepada Allah.
Manusia juga memiliki ketergantungan dan kebutuhan spiritual untuk
memohon petunjuk dan jalan kehidupan yang benar, baik, indah, dan
membahagiakan. Mukmin harus beriman kepada Allah SWT karena ia merupakan
bagian dari ciptaan Allah. Jalan terbaik yang harus dilalui manusia adalah
mengikuti syariat-Nya dan meneladani sifat-sifat-Nya yang tecermin dalam al-
Asma’ al-Husna. Menjadi Mukmin teladan merupakan sebuah perjuangan hidup
yang harus ditempuh dengan keikhlasan, kesungguhan, dan konsistensi. Beriman
perlu diawali dengan penyerahan diri dengan mengucapkan dua kalimat syahadat
bahwa Allah itu Esa dan Muhammad adalah Rasul-Nya.3
Aspek keimanan ideal juga termanifestasikan dalam bentuk-bentuk lain
seperti bertasbih kepada Allah, menunaikan sholat secara konstan, selalu
menebarkan kabaikan dan juga berpegang teguh kepada hukum-hukum yang
berlaku. Pada aspek lain disebutkan keimanan kepada Allah juga termanifestasi-
kan dalam keengganan untuk melakukan pembunuhan baik pada hewan kecuali
memiliki alasan yang kuat; menjauhi zina, menghindari sumpah palsu dan juga
menjauhi perkataan-perkataan yang tidak berguna dan lebih senang
menyampaikan perkataan yang mengarahkan kepada keselamatan.4
Di samping orang mu’min dilihat dari dua aspek di atas, medan semantik
iman disusun dengan dua konsep kunci yakni takwa (takut kepada Allah) dan
3
Irfan Afandi, Jurnal Darussalam; Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam. Vol.
IX, No 1: 66-85. September 2017, hlm. 68.
4
Irfan Afandi, Jurnal Darussalam; Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam. Vol.
IX, No 1: 66-85. September 2017, hlm. 68.

2
syukur (berterima kasih atas ni‟mat Allah). Takut kepada Allah merupakan
bentuk pengenalan ekatologis Islam yang mana al-Qur’an mengabarkan tentang
kabar-kabar buruk (nadhiron) dan kabar-kabar baik (bashiron). Ayat-ayat yang
diturunkan di Makkah dan juga ayat-ayat yang diturnkan di Madinah seringkali
membawa kabar-kabar ini yang –diharapkan memunculkan ketakutan kepada
Allah seperti kabar tentang kegonjangan hari kiamat, keadaan hari kiamat,
timbangan baik-buruk dan lain sebagainya. Juga kabar-kabar tentang hal-hal yang
baik seperti orang yang bertakwa akan berada di surga firdaus, gambaran tentang
keindahan surga dan juga cantinya paras bidadari-bidadari. Unsur taqwa yang
merupakan bagian dari kata semantik iman takut untuk mendapatkan keburukan
dan takut untuk tidak mendapatkan kenikmatan di hari kiamat. Sedangkan unsur
syukur merupakan bagian dari ungkapan berterima kasih kepada Allah SWT atas
segala ni‟mat-ni‟mat yang telah diberikan.5
Terminologi kafir merupakan isu sensitif dalam wacana kehidupan bukan
saja dalam Islam. Kafir atau kufur sering kali menjadi “senjata ampuh” jika
dibenturkan atau digunakan pada keadaan sosial kemasyarakatan. Orang
menyandang predikat kafir bukanlah gelar yang sederhana. Kafir dianggap orang
yang beragama selain Islam, yang berimplikasi bahwa orang tersebut adalah sesat,
masuk neraka, halal darahnya, tidak bisa dijadikan pemimpin dan lain sebagainya.
Pemahaman kafir yang cenderung tertutup, tidak luas akan menghantarkan pada
pemahaman yang intoleran dan jatuh pada klaim kebenaran. Kafir dari segi bahasa
adalah menutupi. Term kafir yang terulang sebanyak 525 kali itu, meskipun tidak
seluruhnya merujuk kepada arti kafir secara istilah (terminologi), namun
semuanya dapat dirujukan kepada makna kafir secara bahasa.6
Dalam QS.Ar-Ra‟d ayat 30, secara khusus ditegaskan bahwa orang-orang
yang ingkar terhadap nikmat-nikmat Tuhan, sama artinya dengan ingkar terhadap
sumber nikmat itu sendiri, yakni Ar-Rahman ( Tuhan Yang Maha Memberi

5
Irfan Afandi. Jurnal Darussalam; Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam. Vol.
IX, No 1: 66-85. September 2017, hlm. 69.
6
Nur Lailis Sa’adah, Skripsi. KAFIR DALAM AL-QUR’AN: Studi Analisis Penafsiran M. Quraish
Shihab dalam Tafsir AlMishbah dan Relevansinya dengan Toleransi di Indonesia. (Semarang: UIN
Walisongo, 2005), hlm. 02.

3
Rahmat). Dalam ayat lain, dijelaskan bahwa kekafiran manusia terhadap nikmat
Allah sama sekali tidak mengurangi kekayaan-Nya. Sebaliknya, kesyukuran
manusia terhadap nikmat-nikmat Allah tidak akan memberi sedikitpun manfaat
kepada-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan syukur maupun kafir yang
dilakukan oleh manusia adalah dari diri sendiri dan untuk mereka sendiri.7

Dalil Tentang Orang Mukmin dan Kafir

‫ِإَّن اْلَك اِفَر ِإَذ ا َع ِمَل َحَس َنًة ُأْط ِع َم ِبَها ُطْع َم ًة ِم ْن الُّد ْنَيا َو َأَّم ا اْلُم ْؤ ِم ُن‬

‫َفِإَّن َهَّللا َيَّد ِخ ُر َلُه َحَس َناِتِه ِفي اآْل ِخَر ِة َو ُيْع ِقُبُه ِرْز ًقا ِفي الُّد ْنَيا َع َلى َطاَع ِتِه‬
”Seorang kafir jika berbuat kebaikan di dunia, maka segera diberi balasannya di
dunia.Adapun orang mu’min jika berbuat kebajikan, maka tersimpan pahalanya
diakhirat di samping rizqi yang diterimanya di dunia atas keta’atannya.” (HR.
Muslim: 5023)8

‫ِإَّن َهَّللا اَل َيْظ ِلُم ُم ْؤ ِم ًنا َحَس َنًة ُيْع َطى ِبَها ِفي الُّد ْنَيا َو ُيْج َز ى ِبَها‬
‫ِفي اآْل ِخَر ِة َو َأَّم ا اْلَك اِفُر َفُيْط َعُم ِبَحَس َناِت َم ا َع ِمَل ِبَها ِهَّلِل ِفي الُّد ْنَيا‬
‫َح َّتى ِإَذ ا َأْفَض ى ِإَلى اآْل ِخَر ِة َلْم َتُك ْن َلُه َح َس َنٌة ُيْج َز ى ِبَها‬
”Sesungguhnya Allah tidak menganiaya (mengurangi) seorang mu’min
hasanatnya, diberinya di dunia dan dibalas di akhirat. Adapun orang kafir, maka
diberi itu sebagai ganti dari kebaikan yang dilakukannya di dunia, sehingga jika
kembali kepada Allah, tidak ada baginya suatu hasanat untuk mendapatkan
balasannya.” (HR. Muslim: 5022)9

‫َم ْن َك اَن ُيِر يُد اْلَح َياَة الُّد ْنَيا َو ِز يَنَتَها ُنَو ِّف ِإَلْيِهْم َأْع َم اَلُهْم‬
‫ِفيَها َو ُهْم ِفيَها اَل ُيْبَخ ُسوَن ُأوَلِئَك اَّلِذ يَن َلْيَس َلُهْم‬
‫ِفي اَآْلِخَر ِة ِإاَّل الَّناُر َو َح ِبَط َم ا َص َنُعوا ِفيَها َو َباِط ٌل َم ا َك اُنوا َيْع َم ُلوَن‬
7
Ibid, h.34.
8
HR. Muslim, No. 5023.
9
HR. Muslim, No. 5022

4
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang
telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”
(QS. Hud 15-16)10

10
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan.

5
BAB III
KESIMPULAN

6
DAFTAR PUSTAKA

Irfan Afandi. Jurnal Darussalam; Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran


Hukum Islam. Vol. IX, No 1: 66-85. September 2017.

Nur Lailis Sa’adah, Skripsi. KAFIR DALAM AL-QUR’AN: Studi Analisis


Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir AlMishbah dan Relevansinya dengan
Toleransi di Indonesia. (Semarang: UIN Walisongo, 2005).

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan.

Anda mungkin juga menyukai