Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara berkembang ikut merasakan kemajuan teknologi

baik di bidang transportasi maupun di bidang perindustrian. Namun kemajuan

tersebut selain berdampak positif, juga menimbulkan dampak negatif, salah

satunya yaitu semakin tingginya angka kecelakaan transportasi lalu lintas yang

menyebabkan timbulnya masalah kesehatan salah satunya adalah fraktur / patah

tulang.

Keperawatan adalah pelayanan essensial yang diberikan oleh perawat

terhadap individu, keluarga dan masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan.

Pelayanan asuhan keperawatan yang dilaksanakan oleh tenaga keperawatan untuk

kerjasama dengan petugas kesehatan lainnya dalam rangka mencapai tingkat

kesehatan yang optimal.

Proses keperawatan merupakan suatu metode yang sistematis dalam

mengkaji respon manusia terhadap masalah-masalah kesehatan dan membuat

rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut. Langkah-

langkah dalam proses keperawatan yaitu terdiri dari pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, implementasi dan pelaksanaan serta evaluasi. Dalam


2

memberikan asuhan keperawatan, perawat dituntut untuk dapat selalu teliti dalam

mengungkap serta memahami perubahan yang dialami oleh pasien.

Dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia era millennium ke tiga

ini, sangat memerlukan manusia-manusia yang sehat jasmani dan rohaninya

dalam rangka menunjang pembangunan yang memadai di Indonesia umumnya

dan Kalimantan Barat khususnya, maka perlu manusia Indonesia meningkatkan

derajat kesehatannya guna menjadi individu yang tangguh dan kokoh.

Masalah muskuloskeletal, merupakan masalah yang sering terjadi

didalam kehidupan manusia. Demikian halnya dengan fraktur. Fraktur atau

patah tulang dapat disebabkan oleh trauma atau benturan keras dan juga

keadaan yang patologis.

Dalam beberapa kasus, seseorang yang mengalami fraktur pada

metatarsal dapat dilakukan pemasangan pen oleh karena benturan yang sangat

keras sehingga mengakibatkan tulang tidak hanya patah tapi juga hancur

menjadi fragmen yang tidak bisa disatukan lagi. Untuk itu perawat harus

mengetahui bagaimana memberikan asuhan kepada pasien yang mengalami

fraktur metatarsal yang dilakukan tindakan pemasangan pen. Asuhan yang

diberikan bukan saja untuk membantu pasien dalam mengatasi masalah fisik

tapi juga psiko, sosial dan spiritual.

Di Kalimantan Barat, berdasarkan data yang diperolah dari Medikal

Record Rumah Sakit Santo Antonius Pontianak, jumlah pasien yang dirawat

dengan fraktur pada anggota gerak bagian bawah (fraktur Metatarsal) menurut
3

golongan umur dari bulan Agustus 2008 dan dari Januari 2009 adalah sebagai

berikut :

Tabel 1

Jumlah Pasien Rawat Inap Dengan Fraktur Terbuka Metatarsal

Bulan Agustus 2008 – Januari 2009

Berdasarkan
Jumlah
Jumlah Berdasarkan Usia Jenis
Keluar
Bulan Kelamin

28 hr
0-12 1-4 5-14 15-24 25-44 45-64 >65
-<1 Lk Pr H M
hr Th Th Th Th th th
Thn

Agustus
- - 2 9 9 5 5 1 20 11 31 -
Septembe
- - - 4 7 14 4 1 24 6 30 -
r
- - - 3 11 13 6 2 27 8 35 -
Oktober

November - - - 1 7 10 2 2 12 10 22 -

Desember - - 1 4 11 11 8 - 26 9 35 -

Januari - - - 3 7 7 6 4 21 6 27 -

Jumlah - - 3 24 52 60 31 10 130 50 145 -

Sumber : Medical Record RS. St. Antonius Pontianak 2009

Berdasarkan data diatas menurut jenis Kelamin yang paling banyak

menderita fraktur adalah laki-laki : 130 orang, sedangkan perempuan 50 orang.

Ini karena laki-laki lebih tinggi tingkat aktivitasnya dan resiko kecelakaan pada
4

pekerjaan laki-laki lebih sering, ditambah juga laki-laki lebih mengendarai

kendaraan dengan kecepatan tinggi. Sedangkan jumlah keluar hidup 145 orang

dan meninggal tidak ada. Ini karena pada kejadian fraktur cepat ditangani dan

mendapat perawatan dan pengobatan segera. Berdasarkan data dan penjelasan

dari tabel diatas penulis ingin mengetahui lebih lanjut tentang perawatan pasien

dengan fraktur sehingga penulis menyusun laporan kasus yang berjudul “Asuhan

Keperawatan Pada Tn. H dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Post

Operasi Open Reduksi Internal Fiksasi Atas Indikasi Fraktur Metatarsal III, IV, V

Pedis Dextra” Di Unit St. Boromeus RSU. St. Antonius Pontianak.

B. Ruang Lingkup

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis membahas Asuhan Keperawatan Pada

Tn. H dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Post Operasi Open Reduksi

Internal Fiksasi Atas Indikasi Fraktur Metatarsal III, IV, V Pedis Dextra di Unit

Medikal Bedah St. Boromeus, RSU. St. Antonius Pontianak. Asuhan

Keperawatan dimulai pada tanggal 30 Maret 2009 sampai dengan 31 Maret 2009.

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mendapat gambaran tentang Asuhan keperawatan pada pasien dengan

Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Post Operasi Open Reduksi Internal

Fiksasi Atas Indikasi Fraktur Metatarsal III, IV, V Pedis Dextra.


5

2. Tujuan Khusus

a. Untuk meningkatan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien

dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Post Operasi Open Reduksi

Internal Fiksasi Atas Indikasi Fraktur Metatarsal III, IV, V Pedis Dextra.

b. Untuk mengetahui perbandingan atau teori dan penerapan atau teori

penerapan Asuhan Keperawatan secara langsung kepada pasien dengan

Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Post Operasi Open Reduksi Internal

Fiksasi Atas Indikasi Fraktur Metatarsal III, IV, V Pedis Dextra.

c. Untuk memberikan gambaran dan pengalaman belajar dan praktek dalam

memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gangguan Sistem

Muskuloskeletal : Post Operasi Open Reduksi Internal Fiksasi Atas

Indikasi Fraktur Metatarsal III, IV, V Pedis Dextra.

d. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor penunjang dalam Asuhan

Keperawatan pada pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal :

Post Operasi Open Reduksi Internal Fiksasi Atas Indikasi Fraktur

Metatarsal III, IV, V Pedis Dextra.

e. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program

Diploma III Keperawatan.


6

D. METODE PENULISAN

Metode deskriptif yaitu suatu metode yang memberikan gambaran tentang

penulisan yang dibuat dengan cara mengumpulkan data dan menganalisa data

menarik kesimpulan dari kasus yang diamati yaitu, Seperti :

1. Studi Kasus

Studi kasus terdiri dari :

a. Observasi : Penulis melakukan observasi dan pengamatan langsung pada

pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Post Operasi Open

Reduksi Internal Fiksasi Atas Indikasi Fraktur Metatarsal III, IV, V Pedis

Dextra.

b. Wawancara : Penulis melakukan wawancara langsung dengan pasien dan

keluarganya untuk mengumpulkan data.

c. Studi Dokumentasi : Penulis mempelajari dokumen status medik

keperawatan dan hasil laboratorium yang berkaitan dengan Gangguan

Sistem Muskuloskeletal : Post Operasi Open Reduksi Internal Fiksasi Atas

Indikasi Fraktur Metatarsal III, IV, V Pedis Dextra.

2. Studi Kepustakaan

Dimana penulis mempelajari teori dan membaca literatur yang berhubungan

dengan sistem muskuloskeletal.


7

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penyusunan laporan ini terbagi dalam beberapa BAB antara lain :

BAB I : Pendahuluan, yang merupakan awal dari penulisan meliputi : Latar

Belakang, ruang lingkup, tujuan penulisan, metode penulisan,

sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan Landasan Teori yang terdiri dari Konsep Dasar Medik

(definsi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala,

pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medis, komplikasi). Konsep

Dasar Keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, dan

intervensi keperawatan.

BAB III : Pengamatan Kasus diawali dengan ringkasan kasus dan dilanjutkan

dengan pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan,

catatan keperawatan dan catatan perkembangan pasien.

BAB IV : Pembahasan Kasus yang membandingkan antara kenyataan dan teori

yang mendasarinya.

BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dengan diakhiri daftar

pustaka, selain itu terdapat pula lampiran dan riwayat hidup penulis.
8

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR MEDIK

1. DEFINISI

Dalam tinjauan teoritis ini terdapat beberapa pengertian atau definisi

mengenai fraktur menurut para ahli :

a. Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik (Sylvia A.P., 2005 : 1365).

b. Fraktur adalah patah tulang dan terputusnya kontinuitas jaringan

tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa

(Arief Mansjoer, 2008 : 346).

c. Fraktur adalah rusak atau terputusnya kontinuitas tulang dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2002 :

2357).

d. Fraktur Metatarsal adalah fraktur yang terjadi pada tulang Metatarsal

akibat jatuh ataupun trauma. (Brunner & Suddarth, 2002 : 2372).


9

2. KLASIFIKASI FRAKTUR

Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis seperti dapat dilihat

pada gambar 2.1

Gambar 2. 1. Jenis-jenis fraktur. Sapto Harnowo,(2002 : 97)

Menurut Arif Mansjoer, (2008 : 346), jenis fraktur dapat diklasifikasikan

menjadi beberapa bagian meliputi :

a. Fraktur tertutup (Closed)

Fraktur tertutup merupakan patah tulang yang tidak disertai dengan robekan

jaringan kulit dan tidak berhubungan dengan udara luar, sering disebut juga

fraktur yang bersih tanpa komplikasi.

b. Fraktur terbuka (Open / Compound)

Robeknya kulit pada tempat fraktur, luka berhubungan dengan kulit ke tulang.

Oleh sebab itu fraktur berhubungan dengan lingkungan luar sehingga


10

berpotensi menjadi infeksi. Fraktur terbuka lebih lanjut dibedakan menjadi

tiga berdasarkan beratnya fraktur :

1) Derajat I : luka tembus dengan diameter 1 cm atau kurang dan keadaan

luka relatif bersih, tidak disertai dengan adanya kontusio otot dan jaringan

lunak disekitarnya.

2) Derajat II : terdapat luka laserasi, luka lebih besar (> 1cm) tanpa disertai

kerusakan jaringan lunak yang luas dan luka epulsi.

3) Derajat III : patah tulang yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak

yang luas, otot, kulit dan sistem neuromuskuler, luas luka biasanya sekitar

6-8cm dengan penyebab energi yang besar dan patah tulangnya

mempunyai fragmen yang besar.

Fraktur Derajat III dibagi menjadi :

a) Derajat III A : bagian tulang yang terbuka masih dapat ditutupi oleh

jaringan lunak.

b) Derajat IIIB : terdapat kehilangan jaringan lunak yang luas dengan

terkupas periosteum, biasanya terdapat kontaminasi yang pasif.

c. Fraktur Komplit

Patah yang melintang keseluruh tulang dan sering berpindah dari posisi

normal.

d. Fraktur Inkomplit
11

Meluasnya garis fraktur yang melewati sebagian tulang dimana yang

mengganggu kontinuitas seluruh tubuh. Type fraktur ini disebut juga

greenstick.

e. Fraktur Comminuted

Fraktur yang memiliki beberapa fragmen tulang.

f. Fraktur Patologik

Fraktur yang terjadi sebagai hasil dari gangguan tulang pokok, seperti

osteoporosis, kista tulang, metastasis tulang dan tumor.

g. Fraktur Longitudinal

Garis fraktur berkembang secara longitudinal.

h. Frakur Transversal

Fraktur sepanjang garis tengah tulang.

i. Fraktur Spiral

Garis fraktur berbentuk spiral mengelilingi tulang.


12

3. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 2.2, Anatomi Ektremitas Bawah. R.Putz dan R. Pabts (2000 : 262)

Tulang merupakan struktur padat yang hidup, karena terdiri atas sel-sel

dan jaringan tulang. Permukaan tulang terbungkus oleh periosteum atau

selaput pembungkus tulang yang merupakan lapisan jaringan ikat dan

banyak mengandung serabut-serabut saraf. Struktur tulang terdiri atas

bagian yang padat atau pars kompakta dan bagian yang berongga- rongga.
13

Bagian yang berongga terdiri atas pars spongiosa (yang berongga kecil) dan

medulla tulang (yang berongga besar). Yang berongga kecil berisi sumsum

tulang merah, tempat pembuatan sel-sel darah dan trombosit. Sedangkan

medulla tulang berisi jaringan lemak dan berwarna kekuningan. Tulang juga

dibagi menurut bagian tengah atau diafisis dan bagian ujung (epififis). Batas

epifisis dan diafisis merupakan zona pertumbuhan tulang.

a. Struktur Tulang

Menurut Brunner dan Suddarth, (2002 : 2265), tulang sangat

bermacam-macam baik dalam bentuk maupun ukuran, tetapi mereka

memiliki struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut periosteum

dimana banyak terdapat pembuluh darah dan saraf, lapisan bawah

periosteum mengikat tulang dengan benang polagen yang disebut korteks.

Korteks bersifat tebal dan keras sehingga tulang kompakta. Korteks tersusun

solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut sistem

haversian. Lapisan melingkar matriks tulang disebut lamellae. Ruang sempit

antara lamellae disebut lacunae (didalam terdapat osteosit) dan kanalikuli.

Tiap system kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal haversian

terdapat sepanjang tulang panjang yang didalamnya terdapat pembuluh

darah dan saraf yang masuk kedalam tulang melalui kanal volkam.

Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan

membuang system metabolisme keluar tulang.


14

Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari system haversian, yang

dalamnya terdapat trabekula (batang) dari tulang trabekula ini terlihat

seperti spon tapi kuat sehingga disebut tulang spon yang didalamnya

terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone marrow

terdiri dari dua macam, yaitu : bone marrow merah yang memproduksi sel

darah merah melalui proses hematopaiesis dan bone marrow kuning yang

terdiri dari sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa

menyebabkan fatembolism syndrome (FES).

Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit dan osteoplast.

Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada dibawah tulang

baru. Osteosit adalah osteoblast yang berada pada matriks, sedangkan

osteoplast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel

tulang yang rusak maupun yang tua. Sel ini diikat oleh elemen-elemen

ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh bagian

kolagen, protein, karbohidrat, mineral dan substansi dasar (gelatin) yang

berfungsi sebagai media dalam difusi nutris, oksigen dan sampah

metabolisme antara tulang dan pembulu darah selain itu didalamnya

terkandung garam kalsium organik ( kalsium dan fosfat) yang menyebabkan

tulang keras. Sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200-400 ml/mnt

melalui proses vaskularisasi tulang.

b. Bentuk Tulang
15

Menurut Sapto Harnowo, (2002 : 1992), dilihat dari bentuknya

tulang terbagi atas berbagai bentuk yaitu : tulang panjang, pendek, ceper dan

tulang bentuk tak beraturan.

1) Tulang Panjang

Bentuk dari tulang ini contohnya adalah humerus, radius, ulna, femur,

tibia, fibula. Tulang-tulang ini tidak benar-benar lurus, tetapi agak

melengkung, tujuannya supaya tulang menjadi kuat menahan beban dan

tekanan.

2) Tulang Pendek (Karpalis)

Tulang ini memiliki bentuk yang tidak tetap didalamnya terdiri dari

tulang spongiosa, bagian luar terdiri dari tulang padat (tulang

kompakta), terdapat pada pergelangan tangan dan kaki.

3) Tulang ceper

Contoh dari tulang ceper ini adalah tulang tengkorak, tulang iga,

panggul dan belikat. Berfungsi untuk perlindungan otak, rongga dada

dan perlekatan yang luas.

4) Tulang bentuk tak beraturan


16

Tulang ini memiliki bentuk yang tak beraturan, bentuk dari tulang ini

yang khas misalnya pada tulang vertebra dan jenis tulang sama dengan

tulang pendek.

c. Fungsi Tulang

Menurut Sapto Harnowo, (2002 : 90), terdapat beberapa fungsi tulang yaitu :

1) Penunjang jaringan tubuh dan memberi bentuk kerangka tubuh.

2) Tempat melekatnya otot, tendon dan ligamen.

3) Membentuk pergerakan, otot melekat pada tulang untuk berkonsentrasi

dan bergerak.

4) Melindungi organ tubuh yang lunak.

5) Tempat penyimpanan garam mineral, kalsium dan fosfat.

6) Tempat pembentukan sel darah merah (dalam sumsum tulang)

d. Pertumbuhan Tulang

Menurut Brunner dan Suddarth, (2002 : 2266), terdapat banyak faktor

yang mempengaruhi pertumbuhan tulang. Secara umum pertumbuhan tulang

dipengaruhi oleh :

1) Berbagai hormon hipofise, tyroid, korteks, adrenal, paratyroid, estrogen

dan androgen.

2) Vitamin

a. Vitamin A, mempengaruhi kegiatan osteoplast (sel penyerap tulang).

b. Vitamin B Kompleks, mempercepat pertumbuhan kalus pada fraktur.


17

c. Vitamin D, mempengaruhi pertumbuhan bahan kolagen antar sel

(merangsang osteoblast) juga mempengaruhi endapan mineral pada

tulang.

3) Vaskularisasi / Nutrisi

Pasokan darah juga mempengaruhi pembentukan tulang. Dengan

menurunnya pasokan darah akan terjadi penurunan osteogenesis dan

tulang mengalami osteoporosis (berkurangnya kepadatan tulang). Nekrosis

tulang akan terjadi bila tulang kehilangan aliran darah.

e. Hubungan Antar Tulang

Menurut Sapto Harnowo, (2002 : 93), tulang didalam tubuh dapat

berhubungan secara erat atau tidak erat. Hubungan antar tulang disebut

artikulasi. Untuk dapat bergerak diperlukan struktur yang khusus yang

terdapat pada artikulasi : struktur khusus tersebut dinamakan sendi.

Terbentuknya sendi dimulai dari kartilago didaerah sendi. Mula-mula

kartilago akan membengkak lalu kedua ujungnya akan diliputi jaringan ikat.

Kemudian kedua ujung kartilago membentuk sel-sel tulang : keduanya

diselaputi oleh selaput sendi (membrane sinopial) yang liat dan menghasilkan

minyak pelumas tulang yang disebut minyak sinovial.

Didalam sistem rangka manusia terdapat tiga jenis hubungan antar

tulang yaitu :

1. Sinartrosis
18

Sinartrosis adalah hubungan antar tulang yang tidak memiliki celah

sendi. Hubungan antar tulang ini dihubungkan dengan erat oleh jaringan

serabut sehingga sama sekali tidak bisa digerakkan. Ada dua type utama

sinartrosis, yaitu : Sutura dan Sinkondrosis. Sutura adalah hubungan antar

tulang yang dihubungkan dengan jaringan ikat serabut padat, contohnya

tengkorak. Sinkondrosis adalah hubungan antar tulang yang dihubungkan

oleh kartilago hialin. Contohnya : hubungan antar epifisis dan diafisis

pada orang dewasa, hubungan antar tulang ini tidak dapat digerakkan.

2. Amfiartrosis

Amfiartrosis adalah sendi yang dihubungkan oleh kartilago sehingga

memungkinkan untuk digerakkan. Amfiartrosis dibagi menjadi 2, yaitu :

Simfisin dan Sindesmosis. Pada sintisis, sendi dihubungkan oleh kartilago

serabut yang pipih, contohnya pada sendi invertebra dan sintisis kubik.

Pada sindesmosis, sendi dihubungkan oleh jaringan ikat serabut dan

ligamen contohnya : sendi antar tulang betis dan tulang kering.

3. Diartrosis

Diartrosis adalah hubungan antar tulang yang kedua ujungnya tidak

dihubungkan oleh jaringan sehingga tulang dapat digerakkan disebut juga

sendi. Diartrosis disebut juga hubungan sinovial yang dicirikan oleh

keleluasaannya dalam bergerak dan fleksibel. Sendi ada yang dapat


19

bergerak satu arah dan ada pula yang bergerak beberapa arah. Contoh :

panggul, lutut, bahu dan siku.

4. Etiologi

Menurut Aston, J.N, (2000 : 153), fraktur dapat ditimbulkan oleh trauma :

a) Trauma Langsung (direk), yaitu bila fraktur terjadi ditempat bagian tersebut

mendapat ruda paksa, misalnya : benturan / pukulan pada tulang yang

menyebabkan fraktur.

b) Trauma tidak langsung (indirek), misalnya : penderita jatuh dengan lengan

dalam keadaan ekstensi, dapat terjadi fraktur dalam pergelangan tangan.

c) Terjadinya karena patologis : fraktur yang terjadi karena bentuk patologis

akibat proses penyakit seperti osteoporosis, penyakit infeksi pada tulang dan

keganasan tulang.

d) Malnutrisi, menurunnya kadar Ca, F, K dan vitamin D.


20

5. Patofisiologi

Menurut Brunner dan Suddarth, (2002 : 2359), trauma yang terjadi pada

tulang dapat menyebabkan fraktur yang mengakibatkan seseorang memiliki

keterbatasan gerak, ketidakseimbangan dan nyeri pergerakan. Jaringan lunak yang

terdapat disekitar fraktur, seperti pembuluh darah, saraf dan otot serta organ

lainnya yang berdekatan dan dapat dirusak pada waktu trauma ataupun karena

mencuatnya tulang yang patah. Apabila kulit sampai robek hal ini akan

menjadikan luka terbuka dan akan menyebabkan potensial infeksi.

Hampir setiap tulang dikaki dapat mengalami patah tulang (fraktur).

Banyak diantara patah tulang ini yang tidak membutuhkan pembedahan,

sedangkan yang lainnya harus diperbaiki melalui pembedahan untuk mencegah

kerusakan yang menetap. Daerah diatas tulang yang patah biasanya membengkak

dan nyeri.

Fraktur tulang metatarsal (tulang pertengahan kaki) sering terjadi.

Penyebab yang paling sering adalah terlalu banyak berjalan atau penggunaan

berlebihan yang menyebabkan tekanan yang tidak langsung. Penyebab lain adalah

benturan yang terjadi secara mendadak. Selain dilakukan pembedahan untuk

meluruskan pecahan-pecahan tulang yang patah, perlu dilakukan imobilisasi

dengan gips. Masa penyembuhan biasanya memerlukan waktu 3 – 12 minggu,

tetapi pada usia lanjut atau status kesehatan yang buruk, mungkin diperlukan

waktu yang lebih lama.

6. Proses Penyembuhan Tulang


21

Menurut Brunner dan Suddarth, (2002 : 2266), kebanyakan patah tulang

sembuh melalui osifikasi endokondial ketika tulang mengalami cedera, fragmen

tulang tidak hanya ditambal dengan jaringan parut, namun tulang mengalami

regenerasi sendiri. Ada beberapa tahapan dalam penyembuhan tulang

a) Inflamasi

Dengan adanya patah tulang, tulang mengalami respon yang sama

dengan bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam

jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah

tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya

pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel

darah putih besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamsi,

pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung selama 24 – 48 jam

dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.

b) Proliferasi sel

Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuk

benang-benang fibrin dalam jendelan darah, membentuk jaringan untuk

revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast.

Fibroblas dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel endotel dan sel

periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks

kolagen pada patahan tulang.

c) Pembentukan Kalus
22

Pertumbuhuan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan menjadi

sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang

digabungkan dengan jaringan vibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur.

Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek

secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran

tulang. Perlu waktu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang bergabung daam

tulang rawan atau jaringan fibrus.

d) Osifikasi

Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu

patah tulang melalui proses penulangan endokondrial.

e) Remodeling

Tahap akhir perbaikan tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan

reorganisasi tulang baru kesusunan tulang struktural sebelumnya. Remodeling

memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung

beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan pada kasus

yang melibatkan tulang kompakta dan kanselus – stress fungsional pada

tulang.
23

7. Tanda dan Gejala

Menurut Brunner dan Suddarth, (2002 : 2358), tanda dan gejala fraktur antara

lain :

a. Sakit (nyeri), karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang

meningkat menyebabkan penekanan sisi fraktur dan pergerakan bagian

fraktur.

b. Inspeksi : bengkak atau penumpukan cairan yang disebabkan oleh

kerusakan pembuluh darah deformitas (perubahan struktur dan bentuk

tulang).

c. Palpasi : nyeri tekan, nyeri sumbu, krepitasi (dapat dirasakan atau

didengarkan bila digerakkan).

d. Gerakan : aktif (tidak bisa : function laesa), pasif (gerakan abnormal).

e. Perubahan warna kulit : pucat, ruam cyanosis.

f. Parastesia (kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan

saraf, dimana saraf ini dapat terjepit dan terputus oleh fragmen tulang).

8. Pemeriksaan Diagnostik

a. Anamese : pemeriksaan umum

b. Foto Rongent pada daerah yang mengalami trauma untuk menentukan

lokasi atau luasnya fraktur atau luasnya trauma.


24

c. Tes laboratorium : darah lengkap menunjukkan tingkat kehilangan darah

(pemeriksaan Hb , HT). Peningkatan sel darah putih sebagai respon norma

terhadap respon stress setelah trauma.

d. CT scan tulang dengan kontras/tanpa kontras, bonescan MRI scan untuk

melihat fraktur dan kemungkinan kerusakan jaringan lunak dan saraf sekitar

fraktur.

e. X-Ray : menentukan lokasi/luas/batas dan tingkat fraktur/trauma.

f. Arteriografi : untuk melihat kerusakan pada sistem pembuluh darah.

9. Penatalaksanaan Medis

Menurut Arif Manjoer, (2009 : 348), pengobatan bisa dilakukan secara

konservatif/operatif.

a. Terapi konservatif

1) Proteksi, immobilisasi tanpa reposisi

2) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, traksi

b. Terapi operatif

1). Reposisi tertutup, fiksasi interna.

2). Reposisi tertutup dengan control radiology diikuti fiksasi interna.


25

3).Reposisi terbuka dan fiksasi

4). Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis.

Ada beberapa prinsip dasar yang harus diertimbangkan pada saat menangani

fraktur :

a. Rekognisi

Pengenanlan riwayat kecelakan, patah atau tidak, menentukan perkiraan

yang patah, kebutuhan pemeriksaan yang spesifik, kelainan bentuk tulang

dan ketidak stabilan, tindakan apa yang cepat dilakukan misalnya

pemasangan bidai.

b. Reduksi

Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat

mungkin kembali seperti letak asalnya.

Cara penanganan secara reduksi :

1) Pemasangan gips

Untuk memepertahankan posisi fragmen tulang yang fraktur.

2) Reduksi tertutup (closed reduction external fixation)

Menggunakan gips sebagai fiksasi ekternal untuk mempertahankan

posisi tulang dengan alat-alat : sekrup, plate, pen, kawat, paku yang

dipasang disisi maupun didalam tulang. Alat ini diangkat kembali

setelah 1 - 12 bulan dengan pembedahan.

3) Reduksi terbuka (open reduction internel fixation)


26

Dengan pembedahan (fiksasi internal) : skrup, plate, pen, kawat, paku

yang dipasang disisi maupun didalam tulang untuk membantu

mempertahankan kesegarisan / keselurusan tulang. Alat ini diangkat

kembali setelah 1 – 2 bulan dengan pembedahan.

c. Retensi

Menyatakan metode yang dilaksanakan untuk menahan fragmen tulang

tersebut selama penyembuhan. Adapun jenis-jenis traksi yaitu : Buck

Extension Tracton yang digunakan untuk fraktur panggul, kontraktur,

spasme otot.

d. Debridemen

Untuk mempertahankan / memperbaiki keadaan jaringan lunak sekitar

fraktur pada keadaan luka sangat parah dan tidak beraturan.

e. Rehabilitasi

Memulihkan kembali fragmen-fragmen tulang yang patah untuk

mengembalikan fungsi normal.

f. Perlu dilakukan mobilisasi

Kemandirian bertahap.

10. Komplikasi

Menurut Brunner dan Suddarth, (2002 : 2365), dapat dilihat dalam dua

tingkatan :
27

a. Komplikasi dini (1 x 24 jam) pasca fraktur

Komplikasi dini yang biasa terjadi pada fraktur adalah pendarahan, emboli

paru, emboli lemak, tetanus, compartement syndrome, vascular nekrosis dan

infeksi, syok.

b. Komplikasi lanjut

Komplikasi lanjut pada faktur yang dapat terjadi adalah kekakuan sendi/

kontraktur, disuse antropi otot, malunion (tulang patah telah sembuh dalam

posisi yang tidak seharusnya), nomunion (tulang yang tidak menyambung

kembali), delayed union (proses penyembuhan yang terus menerus berjalan

tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari kecepatan normal),

gangguan pertumbuhan (fraktur epifisis) osteoporosis post trauma dan

plebotrombosis.

B. Konsep Dasar Keperawatan

1. Pengkajian, menurut 11 pola gordon

a. Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan

1) Bagaimana status kesehatan klien, minum alkohol

2) Apakah klien pernah mengalami kecelakaan sebelumnya ?

3) Apakah yang dilakukan klien ketika ia mendapat kecelakaan tersebut,

apakah ia berusaha untuk mendapatkan pengobatan medis atau tradisional ?

b. Pola Nutrisi Metabolik

1) Apakah klien ada nafsu makan atau tidak ?


28

2) Apa dan bagaimana jenis makanan favorit klien ?

3) Apakah klien ada mengeluh tidak ada nafsu makan ?

c. Pola Eliminasi

1) Apakah klien ada masalah dalam BAK/BAB sehari-hari ?

2) Bagaimana biasanya karateristik jumlah, warna dan konsistensi dari urine

atau feces ?

d. Pola Aktifitas dan Latihan

1) Apakah yang dilakukan klien sehari-hari ?

2) Adakah klien mengalami kesulitan bernapas setelah melakukan kegiatan ?

e. Pola Tidur dan Istirahat

1) Bagaimana kebiasaan tidur dan istirahat klien sebelum sakit dan ketika

sakit ?

2) Apakah klien sering terbangun disaat ia tidur ?

3) Apakah klien ada menggunakan obat-obat tidur dalam merangsang rasa

ngantuk ?

f. Pola Persepsi Kognitif

1) Apakah klien mengalami gangguan/perubahan dalam proses berfikir?

2) Apakah klien ada perasaan tidak nyaman, nyeri, jika ya bagaimana

mengatasinya ?

g. Pola Persepsi dan Konsep Diri

1) Bagaimana menurut klien tentang penyakitnya ?


29

2) Bagaimana cara pandang klien terhadap dirinya sendiri sebelum dan

sesudah ia sehat, apakah ada perubahan ?

h. Pola Peran dan Hubungan Sesama

1) Apakah klien ada perasaan malu, minder untuk bergaul dengan

sesamanya?

2) Apakah peran klien didalam lingkungan keluarga, masyarakat dan tempat

kerjanya ?

i. Pola Reproduksi dan seksualitas

1) Bagaimana hubungan klien dengan lawan jenis ?

2) Apakah klien mengalami penyimpangan seksualitas ?

j. Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stres

1) Apakah klien merasa cemas, takut sehubungan dengan penyakitnya ?

2) Adakah penyebab lain yang menyebabkan klien merasa cemas, stress?

3) Apakah yang dilakukan klien ketika ia mengalami suatu masalah, juga

ketika ia mendapat suatu kecelakaan/fraktur ini ?

4) Apakah ada rasa tidak berdaya ?

k. Pola Nilai dan sistem kepercayaan

1) Apakah klien ada mengalami hambatan dalam ibadah ketika ia sakit ?

2) Apakah klien menyerahkan sepenuhnya penyakitnya kepada Tuhan ?

2. Diagnosa Keperawatan
30

Menurut Doengoes, (1999 : 761), Diagnosa keperawatan yang mungkin

muncul pada pasien dengan fraktur menurut konsep teoritis adalah :

a. Resiko tinggi terhadap trauma yang berhubungan dengan kehilangan

integritas tulang (fraktur).

b. Nyeri yang berhubungan dengan spasme otot, gerakan fargmen tulang,

edema, cedera, cedera pada jaringan lunak, alat traksi/mobilisasi, stress,

ansietas.

c. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer yang berhubungan

dengan penurunan/ interupsi aliran darah, cedera vaskuler langsung, edema

berlebihan, pembentukan thrombus, hipovolemia.

d. Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan

perubahan aliran darah/emboli lemak, perubahan membrane alveola/kapiler,

interstisial, edema paru, kongesti.

e. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan rangka

neuromuskuler; nyeri / ketidaknyamanan; therapy restritif (mobilisasi

tungkai).

f. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit/jaringan yang berhubungan

dengan cedera tusuk, fraktur, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen,

kawat, sekerup, imobilisasi fisik.

g. Resiko tinggi terhadapa infeksi yang berhubungan dengan tidak adekuatnya

pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan lingkungan,

traksi tulang.
31

h. Kebutuhan pembelajaran tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan yang berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah

interpretasi informasi/tidak mengenal sumber informasi.

3. Rencana Keperawatan

a. DP 1. Risiko tinggi terhadap trauma yang berhubungan dengan kehilangan

integritas tulang (fraktur).

Hasil yang diharapkan :

1) Mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur

2) Menunjukan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi

fraktur.

3) Menunjukan pembentukan kalus/mulai penyatuan fraktur dengan

tepat.

Intervensi :

1 Pertahankan tirah baring/ekstremitas sesuai indikasi.

Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan

gangguan posisi/penyembuhan.

2 Pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal

) pasir, pembebat, gulungan trokanter, papan kaki.

Rasional : Posisi yang tepat dari bantal juga dapat mencegah


32

tekanan deformitas pada gips yang kering.

3 Pertahankan posisi/integritas traksi.

Rasional : Traksi memungkinkan tarikan pada aksi panjang fraktur

tulang dan mengatasi tegangan otot untuk mempermudah

penyatuan.

4 Kolaborasi dengan tim medik untuk foto ulang.

Rasional : Memberikan bukti visual mulainya pembentukan proses

penyembuhan untuk menentukan tingkat aktivitas dan kebutuhan

perubahan/tambahan terapy.

b. DP 2. Nyeri yang berhubungan dengan spasme otot, gerakan fargmen

tulang, edema, cedera, cedera pada jaringan lunak, alat traksi/mobilisasi,

stress, ansietas.

Hasil yang diharapkan :

1) Nyeri hilang.

2) Pasien santai, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat

dengan cepat.

3) Pasien tampak rileks


33

Intervensi :

1 Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.

Rasional : Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi

tulang yang cedera.

2 Kaji keluhan nyeri/ketidanyamanan baik verbal maupun non

) verbal.

Rasional : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi/reaksi

terhadap nyeri.

3 Anjurkan pasien menggunakan tehnik manajemen stres, seperti

) latihan napas dalam.

Rasional : Meningkatkan rasa kontrol dan dapat meningkatkan

kemampuan koping dalam manajemen nyeri yang mungkin

menetap untuk periode lebih lama.

4 Kaji adanya keluhan nyeri yang tidak biasa/tiba-tiba.

Rasional : Dapat menandakan terjadinya komplikasi, contoh

infeksi, iskemia jaringan, sindrom compartement.

5 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi analgetik non

) narkotik.

Rasional : Diberikan untuk menghilangkan nyeri dan atau spasme


34

otot.

c. DP 3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer yang

berhubungan dengan penurunan/ interupsi aliran darah, cedera vaskuler

langsung, edema berlebihan, pembentukan thrombus, hipovolemia.

Hasil yang diharapkan :

1) Pasien akan mempertahankan perfusi jaringan dibuktikan oleh

terabanya nadi, kulit hangat/kering, sensasi normal, tanda vital stabil,

saluran urine adekuat untuk situasi individu.

Intervensi :

1 Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distel pada fraktur.

Rasional : Kembalinya warna harus cepat < 2 detik, warna kulit

putih menunjukan gangguan arterial, sianosis diduga ada gangguan

vena.

2 Kaji jaringan sekitar akhir gips untuk titik tekanan.

Rasional : Faktor ini disebabkan atau mengindikasikan tekanan

jaringan/iskemia, menimbulkan kerusakan/nekrosis.

3 Dorong pasien untuk secara rutin latihan jari/sendi distal cedera,

) ambulasi sesegera mungkin.

Rasional : Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan


35

darah khususnya pada ekstremitas.

4 Awasi tanda-tanda vital.

Rasional : Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi

perfusi jaringan.

5 Kolaborasi dengan tim medik dalam mengawasi Hb/Ht,

) pemeriksaan koagulasi, contoh kadar protrombin.

Rasional : Membantu dalam kalkulasi kehilangan darah dan

membutuhkan keefektifan terapi penggantian.

d. DP 4. Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas yang berhubungan

dengan perubahan aliran darah/emboli lemak, perubahan membrane

alveola/kapiler, interstisial, edema paru, kongesti.

Hasil yang diharapkan :

1) Pasien akan mempertahankan fungsi pernapasan, dibuktikan oleh tak

adanya dispnea/sianosis; frekuensi pernapasan dan GDA dalam batas

normal.

Intervensi :

1 Awasi frekuensi pernapasan, penggunaan otot bantu, terjadinya

) sianosis.

Rasional : Takipnea, dispnea dan perubahan dalam status mental

dan tanda dini insufisiensi pernapasan dan mungkin hanya


36

indikator terjadinya emboli paru pada tahap awal.

2 Auskultasi bunyi napas, perhatikan terjadinya ketidaksamaan,

) bunyi ronchi, mengi dan inspirasi mengorok/bunyi sesak napas.

Rasional : Perubahan adanya bunyi menunjukan terjadinya

komplikasi pernapasan, contoh atelektasis, pneumonia, emboli,

inspirasi mengorok menunjukan edema jalan napas atas dan diduga

emboli lemak.

3 Instruksikan dan bantu dalam latihan napas dalam dan batuk.

Rasional : Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

4 Observasi sputum untuk tanda adanya darah.

Rasional : Hemodialisa dapat terjadi dengan emboli paru

5 Kolaborasi pemberian oksigen bila diindikasikan.

Rasional : Meningkatkan sediaan O 2 untuk oksigenisasi optimal

jaringan.

e. DP 5. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan

rangka neuromuskuler; nyeri/ketida nyamanan; therapy restritif (mobilisasi

tungkai).

Hasil yang diharapkan :


37

1) Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi

yang mungkin.

2) Mempertahankan posisi fungsional.

3) Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi

bagian tubuh.

4) Menunjukan tehnik yang memungkinkan untuk melakukan aktifitas.

Intervensi :

1 Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera/ pengobatan dan

) perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.

Rasional : Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/persepsi

diri tentang keterbatasan fisik aktual, memerlukan

informasi/interpensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.

2 Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan (mandi, berpakaian).

Rasional : Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi,

meningkatkan kontrol pasien dalam situasi dan meningkatkan diri

langsung.

3 Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat

) sesegera mungkin. Intruksikan keamanan dalam menggunakan alat

mobilitas.

Rasional : Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring dan


38

meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.

4 Awasi TD dengan melakukan aktivitas, perhatikan keluhan pusing.

Rasional : Hipotensi postural adalah masalah umum menyertai

tirah baring lama.

5 Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk/napas

) dalam.

Rasional : Mencegah/menurunkan insiden komplikasi

kulit/pernapasan.

6 Dorong peningkatan masukan cairan 2000-3000 ml/hari.

Rasional : Mempertahankan hidrasi tubuh, menurunkan resiko

infeksi urinarius, pembentukan batu dan konstipasi.

7 Kolaborasi dengan ahli fisiotherapi untuk terapi mobilisasi fisik.

Rasional : Berguna dalam membuat aktivitas individual/program

latihan, pasien dapat memerlukan bantuan jangka panjang dengan

gerakan.

f. DP 6. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit/jaringan yang

berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur, bedah perbaikan, pemasangan

traksi pen, kawat, sekerup, imobilisasi fisik.

Hasil yang diharapkan :


39

1) Meyatakan ketidaknyamanan hilang

2) Menunjukan prilaku/tehnik untuk mencegah kerusakan

kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.

3) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.

Intervensi :

1 Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan,

) perubahan warna kelabu memutih

Rasional : Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan

masalah yang mungkin disebabkan oleh alat dan atau pemasangan

gips atau traksi,atau pembentukan edema yang membutuhkan

intervensi medik lanjut.

2 Masage kulit dan penonjolan tulang,pertahankan permukaan

) tempat tidur kering dan bebas kerutan.

Rasional : Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko

abrasi/kerusakan kulit.

3 Observasi untuk potensial area yang tertekan, khususnya pada

) akhir dan bawah bebatan gips.

Rasional : Tekanan dapat menyebabkan ulserasi, nekrotik dan atau

kelumpuhan saraf, masalah ini mungkin tidak nyeri bila ada


40

kerusakan kulit.

4 Ubah posisi pasien sesering mungkin untuk melibatkan sisi yang

) tidak sakit dengan kaki pasien diatas kasur.

Rasional : Meminimalkan tekanan pada kaki dan sekitar tepi gips.

5 Kolaborasi dengan tim medis untuk penggunaan tempat tidur busa

) atau kasur udara sesuai indikasi.

Rasional : Karena imobilisai bagian tubuh, tonjolan tulang lebih

dari area yang sakit karena penurunan sirkulasi.

g. DP 7. Resiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan tidak

adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan

lingkungan, traksi tulang.

Hasil yang diharapkan :

1) Penyembuhan luka sesuai waktu.

2) Bebas drainase purulen atau eritema dan demam.

Intervensi :

1 Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas.

Rasional : Pen atau kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit

terinfeksi. Kemerahan atau abrasi (dapat menimbulkan infeksi

tulang).
41

2 Kaji sisi pen/ kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri /rasa

) terbakar atau adanya edema, eritema, drainase/bau tidak enak.

Rasional : Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi lokal/nekrosis

jaringan yang dapat menimbulkan osteomyelitis.

3 Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi,perubahan

) warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tidak enak/asam.

Rasional : Tanda perkiraan infeksi gas gangren.

4 Kaji tonus otot,reflek tendon dalam dan kemampuan untuk bicara.

Rasional : Kekuatan otot, spasme tonik otot rahang dan disfagia

menunjukkan terjadinya tetanus.

5 Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasn gerakan dengan edema

) local/eritema ekstrimitas cedera.

Rasional : Dapat mengidentifikasi terjadinya osteomyelitis.

6 Awasi pemeriksaan laboratorium; hitung darah lengkap.

Rasional : Anemi dapat terjadi pada osteomyelitis, leukositosis

biasanya ada dengan proses infeksi.

7 Kolaborasi dengan dengan dokter dalam pemberian terapi

) antibiotic.

Rasional : Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara


42

profilaktik atau dapat ditunjukan pada mikroorganisme khusus.

h. DP : 8. Kebutuhan pembelajaran tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan yang berhubungan dengan kurang terpajan/menngingat, salah

interpretasi informasi/tidak mengenal sumber informasi.

Tujuan : Pengetahuan klien bertambah setelah diberikan tindakan

keperawatan (penyuluhan kesehatan) selama 3 x 24 jam.

Sasaran : Pemahaman tentang proses penyakit

1. Kaji pemahaman pasien tentang perawatan luka dan penggunaan alat

medik (Gips)

Rasional : Pemahaman Prosedur perawatan luka dan penggunaan alat

medik (Gips) mengurangi kecemasan dan mengurangi resiko infeksi.

2. Ajarkan dan anjurkan pasien untuk melakukan latihan aktif (Latihan

Aktif : Latihan yang dilakukan pasien sendiri) pada ekstremitas yang

tida sakit

Rasional : Dengan latihan aktif dan pasif diharapkan dapat mencegah

terjadinya kontraktur pada tulang.

3. Anjurkan untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori tinggi protein

(TKTP), tinggi kalsium dan vitamin

Rasional : Makanan Tinggi kalori tinggi protein (TKTP), tinggi kalsium

dan vitamin mempercepat proses penyembuhan tulang

4. Anjurkan pasien saat berjalan menggunakan tumpuan lebih banyak pada

kaki yang tidak sakit


43

Rasional : Mengurangi dan pergeseran pada tulang.

5. Libatkan keluarga dalam perawatan dan ajarkan cara perawatan luka

dengan benar dan steril.

Rasional : Supaya mencegah terjadinya infeksi nasokomial.

6. Evaluasi Pemahaman tentang informasi yang diberikan

Rasional : Menunjukkan sejauh mana pemahaman pasien tentang

informasi yang diberikan


44

BAB III

PENGAMATAN KASUS

Nama : Tn. H

Umur : 22 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kesehatan Gang Nirbaya No 5 Kota Baru Pontianak

Diagnosa Medik : Fraktur Terbuka OS Metatarsal Dextra

Dokter yang merawat : Dr. Gede

Tanggal masuk : 26 Maret 2009


45

Pasien mengatakan pada tanggal 25 Maret 2009 jam 16.00 sore pasien sedang

bertugas ke luar kota (Sanggau). Pada saat sedang bekerja tiba-tiba punggung kaki

sebelah kanan tertimpa kipas radiator, sehingga mengalami luka terbuka pada

punggung kaki dan terasa sakit. Kemudian saya dibawa ke RS Sanggau dan setelah

mendapat pertolongan di RS Sanggau saya dirujuk ke RSU St. Antonius untuk

mendapat pengobatan dan perawatan lebih lanjut.

Pada saat pengkajian yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2009 jam 08.00

Wib keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, pasien tampak

terbaring diatas tempat tidur. Hasil observasi tanda-tanda vital : Suhu : 36,5°C, Nadi :

84 x/mnt, TD : 120 / 80 mmHg, pernafasan 12 x/menit. Pada saat pengkajian keluhan

yang dirasakan adalah nyeri pada punggung kaki kanan yang dioperasi, skala nyeri 2-

3, nyeri terasa lebih kuat apabila banyak bergerak, pasien tampak berhati-hati saat

melakukan aktivitas, tampak ada luka operasi dipunggung kaki kanan, tidak ada

tanda-tanda infeksi, disekitar luka tampak kering. Pasien mengatakan belum mengerti

tentang perawatan bila pulang ke rumah nanti dan penggunaan alat medik (gips).

Pada kaki kanan pasien tampak dipasang gips.

Selama penulis melakukan pengkajian pasien tampak kooperatif dan mau

diajak bekerja sama, seperti saat melatih pasien mobilisasi secara bertahap di kursi

roda dan berjalan disekitar tempat tidur, maupun saat dilakukan perawatan luka.

Anda mungkin juga menyukai