Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM

Di susun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam


Dosen pengampu : DR. H. Fadhil, M.Ag

Di susun oleh:
Kelompok 10
1. M. Ekyas Rasikh Zubair (220201110126)
2. Syahda Nabila (220201110129)
3. Naufal Miqdad (220201110127)
4. Ahmad Faiq I. (220201110128)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
SEPTEMBER/2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas segala
limpahan karunia-Nya kita dapat menyelesaikan sebuah karya tulis ilmiah ini yang berjudul
Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam. Sholawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad Saw yang telah membimbing kita dari zaman jahiliyah hingga zaman terang
benderang, yakni Addinul Islam Wal Iman.
Kami ucapkan terimakasih kepada bapak Dr. Fadil, M. Ag selaku dosen pengampu
Sejarah Peradaban Islam yang telah mengarahkan dan membimbing sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan baik sistematika penulisannya maupun isi pembahasannya. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan bantuan kritikan dan saran dari semua pihak untuk penyempurnaan
makalah ini.

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemajuan peradaban barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini,
menimbulkan kegelisahaan para pemikir Islam kontemporer, diantaranya Ahmad Khan dan
Muhammad Iqbal. Permasalahan tersebut terkait mengapa ilmu-ilmu keislaman, khususnya
ilmu Kalam. Menurut mereka ilmu
Kalam “masih berjalan ditempat”, baik dari basis epistemologi, metodologi maupun
isinya. Padahal kehidupan manusia telah berubah dan berbeda dengan era klasik Islam.

Wacana pemikiran Islam kontemporer yang saat ini sedang berkembang, perlu dan harus
direspon secara positif-kritis untuk menghadapi dan menjawab berbagai permasalahan yang
sedang melanda umat Islam dewasa ini. Dengan demikian, ilmu Kalam pada abad pertama
yang lebih disibukkan dengan masalah-masalah ghaib (metafisika) dan hal-hal yang bersifat
intlektual-spekulatif sudah saatnya ditelaah ulang1. Hal tersebut, bukan bermakna bahwa teori
ilmu kalam klasik sudah tidak diperlukan lagi, tetapi lebih dikembangkan dengan visi dan
wawasan baru yang sesuai dengan peradaban kontemporer saat ini.

1
M. Kursani Ahmad, “Pemikiran Kalam Dalam Konteks Kekinian,” ilmu ushuluddin, Vol. 2 No. 1 Tahun 2012, 106.
Dengan demikian, pemikiran ilmu Kalam harus mengikuti perkembangan pemikiran
fisafat Barat kontemporer, masalah-masalah sosial-politik, teknologi, dan lain sebagainya.
Hal tersebut agar ilmu kalam tidak hanya terbatas pada konsep ilmu ketuhanan saja, tetapi
memiliki kajian yang lebih luas dan lebih relavan dengan perkembangan zaman saat ini,
seperti tentang isu-isu kemanusiaan, pluralisme keagamaan, kerusakan lingkungan, dan lain
sebagainya.

Oleh karena itu, dengan adanya pembentukan pemikiran kalam dalam konteks masa kini,
akan mempunyai ruang gerak yang luas dan menjadi sebuah ilmu kalam aktual, ilmu kalam
yang relavan dengan berbagai persoalan kontemporer, serta mampu merespon dan
memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan masa kini. Sehubungan dengan itu,
dalam makalah ini penulis akan menampilkan sebuah deskripsi pemikiran kalam modern,
dengan terlebih dahulu menguraikan biografi para pemikir kalam modern, yakni Ahmad
Khan dan Muhammad Iqbal, kemudian baru menguraikan paradigma pemikiran kalam
modern mereka.

PEMBAHASAN
1. Pemikiran islam modern menurut Jamaluddin Al-Afghani

Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M) adalah salah seorang tokoh pembaru yang


paling brilian dan pionir dalam menjawab tantangan Islam terhadap modernitas.
Konsep-konsep pembaruan Afghani adalah Konsep-konsep pembaruan al-
Afghani ialah; Pertama, musuh utama adalah penjajahan Barat yang merupakan
kelanjutan dari perang salib; Kedua, umat Islam harus menentang penjajahan di
mana dan kapan saja; Ketiga, untuk mencapai tujuan itu, umat Islam harus bersatu
atau Pan-Islamisme. Pan-Islamisme merupakan ide pembaruan al-Afghani dalam
bidang politik. Ide ini mengajarkan agar semua umat Islam seluruh dunia bersatu,
untuk membebaskan mereka dari perbudakan asing. Bersatu bukan berarti
leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tapi mereka harus mempunyai
satu pandangan hidup. Dalam pengertian yang luas, Pan-Islamisme berarti
solidaritas antara seluruh muslim di dunia internasional. Tema perjuangan yang
terus dikobarkan oleh al-Afghani dalam kesempatan apa saja adalah semangat
melawan kolonialiasme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam sebagai
stimulannya. Selain itu, beliau juga mengobarkan semangat untuk kembali ke
teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah guna
mengejar ketertinggalan dari Barat.

2. Pemikiran islam modern menurut Muhammad Abduh


Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di Mesir Hilir, kemudian
menetap di Desa Marhalat, Meir. Muhammad Abduh lahir dan tumbuh menjadi
dewasa dibawah asuhan ibu dan bapaknya yang taat beragama. Pendidikannya
dimulai dengan belajar menulis serta menghafal al Qur’an. Kemudian pada tahun
1863 dia dikirim orangtuanya ke Thanta untuk mempelajari nahwu dan fiqh di
masjid al Ahmadi. Ketika menuntut ilmu di Thanta, Muhammad Abduh merasa
tidak puas dengan metode pengajarannya yang dinilai monoton, misalnya guru
ketika mengajar hanya menyuruh menghafal yang arti-artinya tidak difahami oleh
murid-murid. Hal tersebut membuat Muhammad Abduh kecewa dan memutuskan
untuk berhenti dalam menuntut ilmu.
Setelah lama vakum dalam menuntut ilmu, berkat dorongan semangat
yang diberikan pamannya yang bernama Syekh Darwisy, maka Muhammad
Abduh pun kembali ke Thanta untuk meneruskan pendidikannya. Setelah selesai
menuntut ilmu di Thanta, kemudian Muhammad Abduh meneruskan studinya di
al Azhar pada tahun 1866. Di al Azhar ia bertemu dengan Jamaluddin al Afgani,
dan belajar ilmu filsafat kepadannya. Selain berguru, ia pun sering berdiskusi
perihal pembaruan yang kelak membawanya ke dalam dunia politik. Antara
tahun 1882 dan 1888.
Muhammad Abduh diusir dari Mesir karena dianggap ikut serta dalam
upaya menentang kekuasaan Khedewi Tawfik. Selama pengasingannya, ia
tinggal di Paris dan Beirut. Selama pengasingan ia masih bersemangat
melancarkan kegiatan politik dan dakwah yang bukan hanya ditunjukan kepada
rakyat Mesir saja, akan tetapi kepada penganut Islam diseluruh dunia. Bersama
Jamaluddin al Afgani, ia menerbitkan majalah
 Al Urwah al Wutsqa
yang berisi tentang semangat pembaruan dalam dunia Islam dan
membangkitkan umat Islam untuk melawan kekuasaan Barat. Disamping itu ia
menulis sebuah buku yang sangat monumental yakni
 Risalah at Tauhid
. Pada tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah masa pengasingannya
berakhir. Akan tetapi keinginannya untuk mengajar kembali ditolak oleh sang
penguasa kala itu. Sebaliknya penguasa kala itu menawarkan kepada Muhammad
Abduh untuk menjadi hakim di luar Kota Kairo. Akhirnya jabatan tersebut
diterimanya dan dimanfaatkan untuk merealisasikan cita-cita pembaruannya
Lahirnya pembaruan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang
pendidikan dilatarbelakangi dengan adanya dualisme pendidikan. Pertama,
sekolah-sekolah yang berorintasi pada pendidikan barat yang kurikulumnya
hanya memuat ilmu pengetahuan dari Barat dan siswa tidak diajarkan sama sekali
pendidikan agama. Kedua, sekolah-sekolah agama yang berorientasi hanya pada
ilmu-ilmu agama tanpa ilmu pengetahuan yang lain. Munculnya dualisme tersebut
berimplikasi kepada terbentuknya kepribadian yang tidak seimbang. Lulusan
sekolah-sekolah yang berbasis pendidikan Barat melahirkan lulusan yang
berwawaskan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi rendah dalam ilmu agama.
Sedangkan lulusan sekolah-sekolah agama melahirkan para ulama yang miskin
dalam wawasan intelektual serta enggan menerima perubahan atau
perkembangan dan cenderung mempertahankan tradisi. Muhamamad Abduh
melihat terdapat segi-segi negatif dari kedua model pendidikan tersebut. Oleh
karena itu ia memandang bahwa jika pola pendidikan yang pertama masih tetap
dipertahankan, maka akan mengancam sendi-sendi ajaran Islam, karena
pendidikan produk Barat yang
Mahasri Shobahiya,Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis,
Ideologis, dan Organisatoris (Surakarta: LPID UMS), hal. 15 diterapkan tanpa
nilai-nilai religius akan berakibat degradasi moral. Dan jika pola pendidikan
yang kedua masih tetap dipertahankan, maka akan mengakibatkan umat Islam
tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan dan pola hidup modern.
Untuk mengatasi permasalah diatas, maka Muhammad Abduh melakukan
pembaruan sistem pendidikan Islam dengan menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut:
I. Reformasi tujuan pendidikan Islam
Mundurnya pendidikan umat Islam kala itu dilatarbelakangi dengan tujuan
pendidikan yang menurut Muhammad Abduh harus diperbarui. Lembaga-lembaga
pendidikan yang berbasis pendidikan Barat yang didirikan pemerintah hanya
bertujuan mengedepankan aspek kognitif yang mengejar duniawi saja. Sedangkan
sekolah-sekolah agama yang didirikan kala itu hanya mengedepankan aspek
spiritual yang terfokus pada masalah akhirat. Untuk itu Muhammad Abduh
berusaha mereformasi kedua tujuan pendidikan tersebut ke arah yang dinamis.
Menurut Muhammad Abduh tujuan pendidikan Islam adalah mendidik akal
dan jiwa serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan
seseorang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dari
rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai
oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek akal (kognitif) dan
aspek spiritual (afektif). Ia menginginkan terbentuknya pribadi yang memiliki
struktur jiwa yang seimbang antara aspek akal dan spiritual. Sehingga lahirlah
manusia yang mampu berfikir serta memiliki akhlak yang mulia dan jiwa yang
bersih. Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan
berfikir dan tidak taklid
Dengan menanamkan kebiasan berfikir, Muhammad Abduh berharap
kebekuan intelektual yang melanda kaum muslim kala itu dapat dicairkan. Dan
dengan pendidikan spiritual, diharapkan akan dapat melahirkan generasi baru
yang tidak hanya mampu berfikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak mulia serta
jiwa yang bersih. Dalam kitabnya
 Risalah at Tauhid,
Muhammad Abduh menyelaraskan antara akal dan agama.Ia
berpandangan bahwa al Qur’an yang diturunkan dengan perantaraan lisan Nabi
yang diutus Allah, telah mempertemukan akal dan agama. Oleh karena itu sudah
merupakan ketetapan dikalangan kaum muslimin bahwa sebahagiaan dari
ketentuan-ketentuan agama itu tidak dapat untuk meyakininya kecuali melalui
akal. Dengan adanya ketentuan melalui hukum akal, dan terdapatnya ayat-ayat
mutasyabihat di dalam al Qur’an, maka hal tersebut merupakan peluang besar
bagi mereka yang suka berfikir terutama karena panggllan agama untuk
senantiasa memikirkan semua makhluk Tuhan, dan tidak terbatas oleh suatu
pembatasan, dengan berkeyakinan bahwa segala pemikiran yang benar tentang
ciptaan Tuhan akan membawa bertambahnya keimanan kepada Allah SWT

Dengan demikian jika kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan,


dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat
Islam akan dapat terus maju serta mengimbangi bangsa-bangsa yang telah maju
peradabannya.

II. Reformasi Kurikulum Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam yang telah dirumuskan Muhammad Abduh


kemudian diaplikasikan dalam kurikulum dengan tingkatan pendidikan yang
berbeda. Diantaranya kurikulum di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan
Kejuruan, serta Universitas al Azhar

a) Pengembangan kurikulum Sekolah Dasar Menurut Muhammad Abduh


bahwa dalam kurikulum sekolah dasar hendaknya dimasukan pelajaran
agama disetiap kelas. Karena untuk membentuk jiwa agama hendaknya
dilakukan pada masa kanak-kanak. Dengan demikian maka lahirlah
pribadi muslim yang memilki jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang
selanjutnya dapat menjadi dasar bagi pengembangan sikap hidup yang
lebih baik, dan sekaligus dapat meraih kemajuan

b) Pengembangan kurikulum Sekolah Menengah dan Kejuruan


Pengembangan kurikulum Sekolah Menengah dan Kejuruan dilakukan
dengan memasukan mata pelajaran mantiq dan filsafat yang sebelumnya
tidak boleh diajarkan. Selain itu dimasukan pula pelajaran sejarah
peradaban Islam dengan tujuan agar umat Islam mengetahui berbagai
kemajuan dan keunggulan yang pernah diraih umat Islam Jugat diberikan
pelajaran syari’at,kemiliteran, ilmu pemerintahan tergantung dengan
tujuan dan profesi yang pelajar inginkan
c) Pengembangan kurikulum di Universitas al Azhar Universitas al Azhar
sebelum diadakannya pembaruan kurikulum, mata kuliahnya hanya
sebatas ilmu-ilmu agama saja Kemudian secara perlahan Muhammad
Abduh melakukan pembaruan kurikulum, dengan cara memasukan ilmu
filsafat, sosiologi, sejarah, dan lain-lain. Kemudian dibentuk Dewan
Admistrasi al Azhar (Idarah al Azhar) yang mengurusi masalah
administrasi pendidikan dan Rauq al Azhar yang berfungsi sebagai asrama
bagi dosen dan mahasiswa.
3. Pemikiran islam modern menurut Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan dilahirkan di Delhi pada tanggal 17 Oktober 1817


dan menurut keterangan berasal dari keturunan Husein, cucu nabi Muhammad
melalui Fatimah dan Ali ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya
Mir Muttaqi adalah seorang pemimpin agama dan karena keturunan Sayyid maka
ia juga memperoleh pengaruh besar dan sangat dihormati oleh raja Mongol pada
waktu itu, Akbar Syah II. Adapun kakeknya Sayyid Hadi, adalah seorang
panglima perang yang dikemudian hari diberi kedudukan agamis Semi Hakim
oleh kaisar Mongol yaitu zaman Alamgir II (1754-1759).2 Kedudukan ayah dan
kakeknya menjadikan masa kecil Sayyid Ahmad Khan dilalui dalam kesenangan
dan kecukupan, tetapi dengan wafatnya kakeknya, kekayaan keluarga mulai
menurun. Pada 1838 ayahnya meninggal dan keuntungan hasil tanah yang
diperuntukkan baginya oleh pemerintah mulai hilang atau mulai dikurangi. Ia
mendapat pendidikan tradisional dalam pengetahuan agama dan di samping
belajar bahasa Arab ia juga belajar bahasa Persia. Ia adalah orang yang rajin
membaca dan banyak memperluas pengetahuan dengan membaca buku dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan Kemudian, ia.mendapat pendidikan lanjutan
yang kelak menjadikannya Figur cendekiawan India dengan kemampuan
intelektual diatas rata-rata. Diketahui bahwa di samping mendalami studi
keislaman yang lazim dipelajari oleh pelajar India muslim, ia juga mendalami
ilmu-ilmu sains, sejarah, matematika, dan fisika. Dengan latar belakang keluarga
terpandang dan tingkat pendidikan yang luar biasa ini, tentu saja membantu
Ahmad Khan sukses di jenjang karir.

Usianya yang panjang sekitar 80 tahun, dapat dibagi dalam empat periode.
Dua puluh tahun yang pertama adalah masa pendidikannya. Dua puluh tahun
berikutnya, 1837–1857, ditandai dengan kesuksesan-kesuksesannya sebagai
pegawai peradilan di gabungan provinsi. Dua puluh tahun berikutnya, 1857–1877,
merupakan masa minatnya kepada aktivitas kesejahteraan umum, khususnya
pendidikan masyarakat Islam. Periode keempat 1877–1898, merupakan masa
paling penting dalam hidupnya. Dalam periode inilah ia mendapatkan reputasi
sebagai pemimpin politik dan pendidikan Islam India terbesar selama abad ke-19.
Ia menciptakan sarana pendidikan masa panjang bagi negerinya dengan
mendirikan The Anglo Muhammadan Oriental College di Aligarh dan
perhimpunan ilmuwan, serta mengadakan konferensi pendidikan Islam seluruh
India.

Ahmad Khan melihat bahwa kemunduran umat Islam India karena mereka
tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam Klasik telah hilang dan
telah timbul peradaban baru di Barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia.
Oleh karena itu, akal mendapat penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan.
Tetapi sebagai orang Islam yang percaya kepada wahyu, ia berpendapat bahwa
kekuatan akal bukan tidak terbatas. Bahkan, C.W. Troll menggambarkan Sayyid
Ahmad Khan sebagai neo-Mu'tazilah, namun Troll menyimpulkan bahwa ketika
Sayyid Ahmad Khan membangkitkan kembali ajaran filsafat dalam
tulisantulisannya, dia melakukannya dalam konteks pandangan dunianya sendiri.
Apa yang membuatnya perlu mengadopsi pandangan dunia baru tepatnya adalah
karena perkembangan sains modern.
Sayyid Ahmad Khan juga melihat bahwa kemunduran umat Islam
disebabkan oleh kesalahan dalam memahami agama yang mencampurbaurkan
mana yang dinamakan agama dan mana yang dinamakan budaya dan kebiasaan
sosial. Dalam Risalahnya yang berjudul Rah i Sunnat (Jalan Sunnah) seperti yang
dikutip dari jurnal yang berjudul Religious Thought of Sir Sayyid dijelaskan
bahwa selama ini umat Islam sering mencampurbaurkan hal-hal pokok dan
cabang dalam Islam. Sayyid Ahmad Khan sendiri mengaku juga demikian, ketika
ia masih kecil hingga ia menulis risalahnya tersebut, ia masih dalam pandangan
yang sama. Walau akhirnya ia tersadar bahwa mencampuradukkan antara ajaran
Islam dan cara ibadah (agama) dengan urusan keduniaan budaya dan kebiasaan
sosial adalah kesalahan yang besar, apalagi sampai menyetarakan antara
keduanya. Pemahaman seperti ini tentu akan melahirkan kekakuan dalam agama
yang membuat tidak berkembanganya studi kajian keislaman.
Adapun pandangannya mengenai hukum alam (kausalitas / sebab akibat)
atau yang ia sebut dengan istilah nature sejalan dengan paham qadariyah yang
dianutnya, ia percaya bahwa bagi setiap makhluk, Tuhan telah menentukan tabiat
atau naturnya. Natur yang ditentukan Tuhan ini dan yang didalam al-Qur’an yang
disebut Sunnatullah, Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam
karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan al-Qur’an adalah firman-Nya,
sudah tentu keduanya sejalan dan tidak ada pertentangan. Dalam hal ini, Sayyid
Ahmad Khan memiliki standar sendiri untuk menguji kebenaran atau validitas
suatu agama. Jika agama sesuai dengan kodrat manusia atau hukum kodrat pada
umumnya, maka itulah agama yang benar. dapat dipahami bahwa agama yang
benar-benar berasal dari Tuhan adalah agama yang sesuai dengan fitrah dan akal
manusia. Artinya agama tersebut dapat pernah lepas dari kodrati manusia atau
bertentangan dengan hukum alam dan ia selalu mampu relevan sepanjang zaman.
selalu ada interpretasi baru yang mampu membuatnya dipertahankan dan selalu
diamalkan oleh penganutnya.
Pandangan Sayyid Ahmad Khan mengenai hukum alam atau sunnatullah
tidaklah sama dengan paham keislaman di Barat atau naturalisme Barat,
Naturalisme Barat menghilangkan Tuhan dalam hukum sebab akibat. Tuhan tidak
ada campur tangan dalam segala hal yang terjadi. Sedangkan, dalam pandangan
Sayyid Ahmad Khan Tuhan memang menciptakan hukum alam sesuai tabiatnya
dan berjalan sesuai hukum tersebut. Namun, tidak menghilangkan keyakinan
bahwa 6 Tuhan yang mengatur semuanya, walau Tuhan telah menciptakan hukum
sunnatullah sejak azali.
Mengenai kesesuaian antara ilmu-ilmu modern dengan al-Qur’an, Sayyid
Ahmad Khan mendefinisikan lima belas prinsip tafsir al-Qur’an. Prinsip-
prinsipnya ini ditunjukkan secara garis besar dalam rangkaian surat menyuratnya
dengan Nawab Muhsin al-Mulk pada tahun 1892, dan dihimpun di bawah judul
Tahrir fi Ushul al-Tafsir. Derek Hopwood menjelaskan dua poin utama tentang isi
buku Sayyid Ahmad Khan tersebut. Pertama, bahwa Sayyid Ahmad Khan
berpandangan bahwa karya Tuhan dalam kenyataannya sama dengan hukum alam
dalam sains modern. Kedua, kriteria yang ditetapkan untuk memutuskan apakah
ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an akan ditafsirkan secara metaforis ataupun
tidak, hal ini dilakukan untuk menyesuaikan ayat-ayat tersebut dengan kebenaran
ilmiah dalam ilmu pengetahuan alam.
Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, Sayyid
Ahmad Khan tidak ingin pemikirannya terganggu otoritas hadits dan fiqh. Segala
sesuatu diukurnya dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang
bertentangan dengan logika dan hukum alam. Ia hanya ingin mengambil al-
Qur’an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat
membantu dan kurang begitu penting. Sebab menurutnya, hadits itu berisi
moralitas sosial dari masyarakat Islam abad pertama atau kedua sewaktu hadits
tersebut dihimpun, dan hukum fiqh yang berisi perkembangan moralitas pada
masyarakat waktu itu hingga munculnya mazhab-mazhab. Makanya, ia menolak
taklid dan membawa al-Qur’an untuk direlevansikan dengan perkembangan
zaman baru. Taklid inilah menurut Sayyid Ahmad Khan salah satu penyebab umat
Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung
peradaban Islam Klasik masih melenakan mereka, sehingga tidak menyadari
bahwa peradaban baru telah muncul di Barat. Peradaban baru timbul dengan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah penyebab utama bagi
kemajuan dan kekuatan orang Barat. Ia juga mengkritik ulama pada masanya
terkhususnya di India, yang tidak mau bangkit dari kehancuran, sehingga ia
mengkampanyekan terbukanya pintu ijtihad.

4. Pemikiran islam modern menurut Muhammad Iqbal


Muhammad Iqbal lahir pada tahun 1873 di Sialkot, suatu kota tua
bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Khamir. Iqbal berasal dari keluarga
kalangan bawah dengan kasta Brahmana Khasmir, tetapi mendapat beasiswa pada
jenjang pendidikan menengah pertama dan perguruan tinggi. Setelah
menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sialkot ia melanjutkan ke Government
Collage University (sekolah tinggi pemerintah) di Lahore, India.5 Disana ia
bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar
dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.
Ketika belajar di India, Ia mengajukan beberapa konsep pemikiran seperti,
perlunya pengembagan ijtihad dan dinamisme islam. Pemikiran tersebut muncul
sebagai bentuk tidak sepakatnya terhadap perkembangan peradaban Islam pada
enam abad terakhir. Kedudukan umat Islam pada saat itu mengalami
keterbelakangan setelah kehancuran kota Bahdad sebagai simbol keemasan ilmu
pengetahuan dan agama pada pertengahan abad ke-13.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di kota India, Ia melanjutkan ke
universita Munich di Jerman. Di universitas tersebut Ia berhasil mendapatkan
gelar Ph.D dalam bidang Tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The
Development of Metaphysics in Persia (perkembangan metafisika di Persia).
Setelah lulus dari universitas Munich, ia bekerja sebagai advokat dan
dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam
adalah kumpulan ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karya
terbesarnya dalam bidang Filsafat.
Pada tahun 1930, Ia mamasuki dunia politik dan menjadi ketua konferensi
liga muslim di Allahabad India, kemudian pada tahun 1931 dan 1992 Ia ikut
konferensi meja bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India.
Pada tahun 1993 Ia diundang ke Afganistan membahas tentang pembentukan
universitas Kabul. Pada tahun 1935 Ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah
istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula. Muhammad Iqbal meninggal pada
tanggal 20 April 1935. D.
Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal Dibandingkan dengan teolog,
Muhammad Iqbal lebih dikenal sebagai seorang filsuf eksitensialis. Oleh karena
itu, agak sulit untuk menemukan pandangannya mengenai kalam klasik, seperti
perbuatan manusia, perbuatan Tuhan, fungsi akal, dan wahyu. Hal tersebut, bukan
berarti Ia sama sekali tidak menyinggung ilmu kalam. Ia sering menyinggung
beberapa aliran dalam ilmu kalam, hanya saja tidak terlalu spesifik, khususnya
dalam permasalahan kalam klasik.
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat Islam untuk
melakukan perubahan agar keluar dari kemunduran. Menurutnya, kemunduran
umat Islam disebabkan oleh kebekuan dalam berpikir dan ditutupnya pintu ijtihad.
Mereka menolak kebiasaan berpikir rasional kaum Mu’tazilah karena dianggap
dapat membawa disintegrasi umat Islam dan mengganggu stabilitas politik
mereka.6 Ia menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak statis, tetapi dapat
disesuaikan dengan perkembangan zaman karena Islam selalu mendorong
terwujudnya perkembangan.
Besarnya penghargaan Iqbal terhadap perubahan tersebut membawa
pemahaman yang dinamis tentang al-Qur’an dan syariat Islam. Menurutnya,
tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia
sehingga mampu menerjemahkan dan menafsiri nas-nas al-Qur’an yang masih
global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika
masyarakat yang selalu berubah. Hal tersebutlah yang Bernama ijtihad atau
prinsip gerak dalam struktur islam menurut Iqbal.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika islam dan
membuang kekakuan dalam hukum islam, diperlukannya ijtihad yang kolektif.
Peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada
lembaga legislatif islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk
menggerakkan semangat dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang dari
umat Islam dan menyerukan kepada umat Islam agar menerima dan
mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
 Hakikat teologi Secara umum Ia memandang teologi sebagai
pengetahuan yang berdimensi keimanan dan mendasarkannya pada
esensi tauhid. Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa
kesetiaan dan kebebasmerdekaan. Pandangannya tentang ontologi
dalam teologi membuatnya berhasil menciptapkan anomaly
(penyimpangan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.
Teologi asy’ariyah misalnya, menggunakan cara dan pola pikir
ortodoksi Islam. Mu’tazilah sebaliknya, teralu menyandarkan pada
akal, akibatnya mereka todak menyadari bahwa dalam ranah
pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran agama dan
pengalaman merupakan kesalahan besar.7
 Pembuktian Tuhan Dalam membuktikan eksitensi Tuhan, Iqbal
menolak argumen kosmologis, ontologis, dan teleoligis yang
berusaha membuktikan eksitensi tuhan yang mengatur
penciptaanya dari sebelah luar. Walaupun demikian, Ia menerima
landasan teologis yang imanen (tetap ada). Untuk menopang hal
tersebut, Iqbal menolak pandangan yang statis tentang Matter dan
menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur
kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata
konsep tersebut ditemukan oleh Iqbal dalam “jangka waktu murni”
-nya Bregson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam
jangka waktu murni, ada peubahan, tetapi tidak ada pergantian.
Kesatuannya terdapat seperti kesatuan kuman yang di dalamnya
terdapat pengalaman-pengalaman nenek moyang para individu,
bukan sebagai suatu kumpulan, tapi suatu kesatuan yang di
dalamnya mendorong setiap pengalaman untuk menyerap
keseluruhannya. Dari individu, “jangka waktu murni” ini
kemudian di transfer kea lam semesta dan membenarkan ego
mutlak. Gagasan inilah yang dibahas Iqbal ke alam al-Qur’an. Jadi
Ia telah menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.
 Jati diri manusia Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar
terhadap jari diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya
tentang persoalan ini dapat dilihat dari konspenya tentang ego, ide
sentral, dan pemikiran filosofisnya. Kata “itu” dimaknai sebagi
kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya,
menguatkan, dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan
sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan
oleh para Sufi yang menundukkan jiwanya sehingga fana terhadap
Allah. Pada hakikatnya menafikan diri sendiri bukanlah ajaran
islam karena ajaran hidup adalah bergerak, dan bergerak adalah
perubahan. Filsafat khudinya (kesatuan yang nyata) tampaknya
merupakan reaksi terhadap kondisi umat islam yang Ketika itu
telah dibawa oleh kaum Sufi semakin jauh dari tujuan dan maksud
Islam yang sebenarnya. Dengan ajaran khudinya Ia
mengemukakan pandangan yang dinamis tentang kehidupan
manusia.
 Surga dan neraka Menurut Iqbal, surga dan neraka bukan sebuah
tempat, melainkan keadaan. Gambaran-gambaran tentang
keduanya di dalam al-Qur’an adalah penampilan-penampilan batin
secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut alQur’an adalah “api
yang menyala-nyala” pernyataan menyakitkan terhadap kegagalan
manusia di bumi. Surga adalah kegembiraan atas kemenangan
dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada
perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam islam. Neraka
bukanlah tempat penyiksaan abadi yang disediakan Tuhan. Ia
adalah pengalaman korektif yang dapat meluluhkan ego agar lebih
sensitif terhadap tiupan angin sejuk dari rahmat Tuhan.

 Dosa Iqbal secara tegas mengatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa al-
Qur’an menunjukan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang
bersifat kreatif. Dalam hal ini, Ia mengembangkan cerita tentang
turunnya nabi Adam ke bumi (karena memakan buah terlarang) sebagai
kisah yang berisi pelajaran tentang kebangkitan manusia dari kondisi
primitif yang dikuasasi nafsu naluriah kepada pemilikan pribadi yang
bebas secara sadar, sehingga dapat mengatasi kebimbangan dan
kecenderungan untuk membangkang dan timbulnya ego terbatas yang
memiliki kemampuan untuk memilih.
KESIMPULAN
Gerakan Tajdid atau pembaruan dalam Islam muncul pada periode modern, yakni
sekitar abad ke-17 hingga abad ke-18, yang terinspirasi dari Ibnu Taimiyah. Ibnu
Taimiyah adalah ulama dan filsuf dari Turki yang dikenal sebagai sosok yang sangat
teguh pendiriannya, terutama pada syariat Islam.Pemikiran modern dalam Islam
merupakan suatu wacana yang mengawali perubahan mendasar bagi Islam sebagai suatu
nilai ajaran dari umatnya sebagai pembuat arus perubahan tersebut. pemikiran modern,
yaitu berpikir sesuai dengan program/terprogram. Setiap orang harus paham akan adanya
perbedaan di dunia ini yangsebenarnya membuat hidup menjadi indah. Juga pada
kenyataan bahwa jaman terus berjalan dan berkembang, manusia harus menyesuaikan
keadaan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Islam pada abad
modern, yaitu : Adanya kesenjangan antara dunia Islam dengan Eropa. Lahirnya berbagai
gerakan pemurnian ajaran Islam. Lahirnya gagasan nasionalisme di dunia Islam dengan
berdirinya partai-partai politik Islam. da 3 sikap yang diambil oleh masyarakat Islam
dalam menyikapi modernisasi, yakni; menerima tanpa ada sikap dan pikiran kritis,
mengutuk bangsa barat atas seluruh budayanya, mengambil budaya barat yang positif dan
membuang serta menghindari budaya yang menurut mereka negatif. Dampak Positif
Modernisasi. Terjadi perubahan pada tata nilai serta sikap. Perubahan ini terjadi karena
masyarakat terbukti memiliki pola berpikir yang berubah dari pola pikir irasional berubah
menjadi rasional. ...
Dampak Negatif Modernisasi. Mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta. 1979


.Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1996.
Ali Syariati, Humanisme antara Islam & Madzhab Barat, Pustaka Hidayah, 1992
Ali Syariati, Idiologi Kaum Intelektual, Mizan, Bandung, 1989.
Ali Syariati, Islam Madzhab Pemikiran & Aksi, Mizan, Bandung, 1992
Charles Wendell, Fives Tracts of Hasan al-Banna, Univ California Press, Berkeley, 1975.
Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jkt
Harun Nasution, M. Abduh & Teologi Rasional Muktazilah, UI Pres, Jakarta, 1987.
Ishaq M. Husaini, Ikhwan al-Muslimin, Grafiti, Jakarta, 1983.
Muktafi Fahal, Teologi Islam Modern, Gitamedia, Surabaya, 1999.
Ali Khumanei, “Iqbal Filsuf Penyair Kebangkitan Dunia Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur`an,
No. 3, 1989, Jakarta.
Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1996.
Aziz Ahmad, Islamic Modernism in India and Pakitan 1857-1865, Oxfod Univ Press, Oxford,
1967.
Dar Basyir, Religius Thought of Sayid Ahmad Khan, IIC, Lahore, 1957.
Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jkt
Hadi Husein, Sayid A. Khan Pioneer of Muslim Resurgence, IICCR, Lahore, 1970.
Iqbal, The Reconstructions of Religious Thought in Islam, Kitab Bhavan New Delhi, 1981.
Luce Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, Mizan, Bandung, 1989.
Maududi, Khilafah & Kerajaan, Mizan, Bandung, 1990.
Muktafi Fahal, Teologi Islam Modern, Gitamedia, Surabaya, 1999.
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Mizan, Bandung, 1998.
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, Mizan, Bandung, 2000

Anda mungkin juga menyukai