Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN TUTORIAL

MODUL INTEGRATIF
SKENARIO 3

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7

Dosen Pembimbing :

dr. Fariska Zata Amani, Sp.OG., M.Ked.Klin

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
SURABAYA 2023
KELOMPOK
PENYUSUN

Ketua : M. Kevin Bintang Saputra 5130021019

Sekertaris I : Sarah Alya Sabira 5130021037

Sekertaris II : Hikmatul Lailiyah 5130021033

Anggota : 1. Fiqi Fajrul Falah 5130021011

2. Rully Genadi 5130021015

3. Garini Nabilah Anindya 5130021027

4. Nadila Farafishah 5130021029


5. Nahwa Shofiyul ‘Aqilah 5130021031
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Ketua : M. Kevin Bintang Saputra

NIM : 5130021019

Kelompok :7

No Materi yang dinilai Presentase Nilai

1. Ketepatan pemilihan kata kunci 25%


dalam peta konsep

2. Kesesuaian hubungan kata kunci 25%


dalam peta konsep

3. Kesesuaian jawaban learning 25%


objective dengan kasus skenario

4. Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%

Dosen Pembimbing

(dr. Fariska Zata Amani, Sp.OG., M.Ked.Klin)


SKENARIO III

Seorang bayi perempuan berusia 5 bulan dibawa ibunya ke igd karena sesak nafas sejak 1
hari yang lalu.

STEP 1
● Kata Kunci
1. Seorang bayi perempuan
2. berusia 5 bulan
3. sesak nafas sdfejak 1 hari yang lalu.

● Diagnosis Banding
1.ISPA
2.Pneumonia
3. Asma
4. Pertusis
5.Difteri
6.Corpus alineum

STEP 2
A.ANAMNESIS
1. Riwayat penyakit sekarang
- Apakah disertai demam ? sejak 1 minggu lalu
- apakah disertai batuk pilek ? sejak 1 minggu lalu
- Bagaimana kontitusi cairan pilek ? tidak ada keterangan
- apakah disertai sesak nafas ? tidak ada keterangan
2. Riwayat Penyakit Dahulu
tidak ada keterangan
3. Riwayat Penyakit Keluarga
tidak ada keterangan
4. Riwayat Sosial dan Ekonomi
tidak ada keterangan

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : bayi merintih
2. vital sign : nadi 100 kali / menit, rr 60 , suhu aksila 38,5, saturasi oksigen 92
3. inspeksi, palpasi kepala leher : ada pernafasan cuping hidung
inspeksi thorax : retraksi intercostal dan substernal
auskultasi thorax : wheezing (+), ronki (+),

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto thorax : tampak infiltrat di seluruh lampang paru
2. Darah lengkap : hb(13), leukosit(9300) , trombosit (605.000), LED 25 ml/ jam), GDA
(94)
TPL PPL

1. Anamnesis 1. dyspneu
- Bayi 5 bulan 2. pneumonia
- Sesak nafas 1 hari yang lalu
- Demam + batuk pilek sejak 1
minggu lalu
2. Pemeriksaan fisik
a. keadaan umum : bayi merintih
b. Vital sign : nadi (100 kali/ menit) :
normal
- rr ( 60 ) : normal
- suhu aksila ( 38,5) : febris
- saturasi o2 ( 92) : hipoksia
c. inspeksi wajah kepala
- Pada pernafasan cuping hidung
d. inspeksi palpasi thorax
- retraksi intercostal dan substernal
- auskultasi thorax : wheezing (+),
ronki (+)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto thorax : tampak infiltrat di
seluruh lampang paru
b. Darah lengkap :
- hb(13) ( normal )
- leukosit(9300) ( turun)
- trombosit (605.000), (naik)
- LED 25 ml/ jam) ( naik)
- GDA (94) (normal
STEP 5
POMR (Problem Oriented Medical Record)
Nama : nona
Umur : 5 bulan
Alamat : -
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal MRS : -

Data Dasar Assesment Planning

Diagnosis Terapi Monitoring Edukasi

1. Bayi 5 bulan Pneumoni 1.Pemeriksaan 1. Kotrimoksas 1. check 1. asi eklusif


2. Sesak nafas 1 hari a foto thoraks ol up 2.imunisasi
yang lalu 2.Pemeriksaan 2. Amoksilin lengkap
3. Demam + batuk fisik 3.menjaga
pilek sejak 1 3.Pemeriksaan hygienitas
minggu lalu) darah lengkap sanitasi
4. keadaan umum :
bayi merintih
5. Vital sign : nadi
(100 kali/ menit) :
normal
- rr ( 60 ) : normal
- suhu aksila ( 38,5) :
febris
- saturasi o2 ( 92) :
hipoksia
6. inspeksi wajah
kepala
- Pada pernafasan
cuping hidung
7. inspeksi palpasi
thorax
- retraksi intercostal
dan substernal
- auskultasi thorax :
wheezing (+), ronki
(+)
8. Foto thorax :
tampak infiltrat di
seluruh lampang
paru
9. Darah lengkap :
- hb(13) ( normal )
- leukosit(9300) (
turun)
- trombosit
(605.000), (naik)
- LED 25 ml/ jam) (
naik)
- GDA (94) (normal
10.

STEP 6
Learning Objective
1. Mahasiswa mampu memahami diagnosis banding pada kasus diatas.
2. Mahasiswa mampu memahami definisi dan klasifikasi dan epidemiologi
broncopneumonia
3. Mahasiswa mampu memahami anatomi sistem respirasi
4. Mahasiswa mampu memahami etiologi broncopneumonia
5. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi broncopneumonia .
6. Mahasiswa mampu memahami patogenesis broncopneumonia.
7. Mahasiswa mampu memahami interpretasi pemeriksaan penunjang diatas
8. Mahasiswa mampu memahami tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi
9. Mahasiswa mampu memahami edukasi pencegahan broncopneumonia
10. Mahasiswa mampu memahami aspek keislaman broncopneumonia
Jawaban Learning Objektive

1. Mahasiswa mampu memahami diagnosis banding pada kasus diatas.

A. Pneumonia

Pneumonia dalam arti umum merupakan peradangan parenkim yang dikarenakan oleh
mikroorganisme bakteri, virus, jamur, parasit, namun pneumonia dapat juga disebabkan
karena bahan kimia atau karena paparan fisik seperti suhu ataupun radiasi (Djojodibroto et
al., 2017). Pneumonia adalah penyebab kematian infeksi tunggal terbesar pada anak-anak di
seluruh dunia. Pneumonia membunuh 740.180 anak di bawah usia 5 tahun pada 2019,
menyumbang 14% dari semua kematian anak di bawah lima tahun, tetapi 22% dari semua
kematian pada anak berusia 1 hingga 5 tahun. Pneumonia memengaruhi anak-anak dan
keluarga di mana pun, tetapi kematian tertinggi di Asia Selatan dan Afrika subSahara.
Anak-anak dapat dilindungi dari pneumonia, dapat dicegah dengan intervensi sederhana, dan
diobati dengan pengobatan dan perawatan berbiaya rendah dan berteknologi rendah (Wibowo
& Ginanjar, 2020).

Di Indonesia, pneumonia meningkat sebesar 1,6% dan meningkat di tahun 2018


menjadi 2,0%. Provinsi Bali memiliki pravelensi pneumonia di tahun 2013 sebesar 0,8% dan
meningkat pada tahun 2018 menjadi 1,0% (Kemenkes RI, 2019 dalam Akbar et al., 2021).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, data dari rekam medis tercatat
sebanyak 262 kasus pneumonia yang masuk melalui Instalasi Gawat Darurat, RSUD
Ajibarang pada tahun 2021 dengan rincian sebanyak 182 kasus pneumonia dewasa dan 80
kasus pneumonia pada anak.

Pada penderita pneumonia, biasanya ditemui gejala khas seperti demam, menggigil,
berkeringat, batuk (baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri
dada (Sartiwi et al., 2021).

Menurut Tim pokja SDKI DPP PPNI (2017), tanda dan gejala pasien pneumonia
dengan bersihan jalan napas tidak efektif sesuai dengan standar diagnosa keperawatan
Indonesia terdapat tanda dan gejala mayor dan tanda gejala minor yang diuraikan sebagai
berikut:

a. Data mayor

1) Subjektif: tidak tersedia.

2) Objektif: Batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, mengi,
wheezing dan atau ronkhi kering.

b. Data minor
1) Subjektif : Dyspnea, sulit bicara, ortopnea.

2) Objektif : Gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah, pola
napas berubah. Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan
membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan nafas
tetap paten. Adapun tanda dan gejala yang ditimbulkan seperti, batuk tidak efektif,
sputum berlebih, suara napas mengi, wheezing dan ronkhi (Tim pokja SDKI DPP
PPNI, 2017)

B. Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi terus menerus menyebabkan hiperresponsif yang meningkat pada
jalan napas sehingga timbul gejala episodik berulang berupa sesak napas, dada terasa berat,
mengi, dan terutama malam dan atau siang hari (PDPI, 2004). Prevalensi asma banyak
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis kelamin, umur, status atopi, keturunan, dan
lingkungan. Pada masa kanakkanak ditemukan prevalensi anak lakilaki dibanding anak
perempuan sebesar 1,5;1 tetapi pada dewasa perbandingan laki-laki dan perempuan sama
besar, dan ketika perempuan menopause perbandingannya lebih besar dari lakilaki. Di
indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7% (Sundaru, Heru, dan Sukamto, 2006).

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor seperti alergen, virus,
bahan iritan yang menyebabkan munculnya respon inflamasi. Respon ini dibagi menjadi
reaksi asma dini dan reaksi asma lambat. Setelah kedua reaksi ini, proses berlanjut menjadi
reaksi inflamasi kronik. Perpu Asma disebabkan oleh inflamasi dinding saluran nafas.
Terdapat peningkatan berbagai sel inflamasi pada umumnya eosinofil, basofil, sel mast,
makrofag, dan tipe limfosit tertentu dapat ditemukan pada biopsi dinding saluran napas dan
cairan bilas bronkoalveolar pada pasien asma. (Goodman dan Gilman, 2012).

Faktor resiko asma dibagi menjadi genetik yaitu berupa hiperreaktivitas, atopi, jenis
kelamin, ras/etnik, faktor yang memodifikasi penyakit genetik. Lalu faktor lingkungan yaitu
perubahan cuaca, alergen di dalam maupun di luar ruangan, makanan, obat, emosi berlebih,
polusi udara, asap rokok, dan lainnya (PDPI, 2004).

C. Bronkopneumonia

Bronkopneumonia adalah infeksi yang mempengaruhi saluran udara masuk ke


paru-paru, juga dikenal sebagai bronkus. Kondisi ini terutama disebabkan oleh infeksi
bakteri, tetapi juga dapat disebabkan oleh infeksi virus dan jamur. Penyakit ini sangat
mengancam kehidupan pada anak-anak, orang dewasa yang lebih tua, dan pasien dengan
kekebalan kronis lainnya yang menurunkan kondisi kesehatan (Schemes,2019).

Bronkopneumonia merupakan salah satu jenis pneumonia yang mengenai bronkus


dan alveolus. Patchy konsolidasi yang mengenai satu atau lebih lobus paru sebagai gambaran
khas bronkopneumonia. Eksudat neutrophil berpusat di bronkus dan bronkiolus, dengan
penyebaran ke alveoli yang berdekatan (Muhammad,2016).
Pneumonia dapat disebabkan oleh segudang mikroorganisme. Kecurigaan klinis dari
agen penyebab tertentu berasal dari petunjuk yang diperoleh selama sejarah dan pemeriksaan
fisik. Meskipun hampir semua mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, infeksi
bakteri, virus, jamur, dan mikobakteri tertentu paling sering terjadi pada anak-anak yang
sebelumnya sehat. Usia infeksi, riwayat pajanan, faktor risiko patogen yang tidak biasa, dan
riwayat imunisasi semuanya memberikan petunjuk tentang agen infeksi (Muhammad,2016).
Gejala bronkopneumonia bervariasi, tergantung pada keparahan kondisi, gejala tersebut
sebagai berikut (Schemes,2019):

• Demam tinggi

• Kesulitan bernapas mis. sesak nafas/sesak nafas, pernapasan cepat

• Detak jantung cepat

• Mengi

• Nyeri dada yang mungkin bertambah parah dengan batuk atau bernapas dalam

• Batuk berlendir kuning atau hijau

• Menggigil atau menggigil

• Sakit kepala

• Energi rendah dan kelelahan

• Kehilangan selera makan

• Mual dan muntah

• Anak yang tampak sakit yang mudah lelah

• Dehidrasi

• Iritabilitas

• Kresek

Menurut buku pedoman Respirologi Anak IDAI, gambaran klinis pneumonia pada
bayi dan anak bergantung pada berat-ringanna infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai
berikut (IDAI,2010):

Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, kadang-kadang ditemukan
gejala infeksi ekstrapulmonar
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada, takipneu, nafas
cuping hidng, air hunger, merintih dan sianosi

D.Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bawah akut akibat virus yang paling umum
terjadi selama 2 tahun pertama kehidupan. Banyak perhatian dan upaya telah ditujukan untuk
menentukan patogenesis dan penatalaksanaan penyakit ini pada anak-anak yang dirawat di
rumah sakit dan rawat jalan. Meskipun demikian, kekhawatiran dan kontroversi terus
berlanjut.

Bronkiolitis telah memperoleh sejumlah julukan, termasuk “bronkitis catarrhal akut,”


“bronkopneumonia interstisial,” “bronkopneumonia spastik,” “bronkitis kapiler atau
obstruktif,” dan, yang lebih umum, “bronkitis mengi” dan “bronkiolitis asma.” .”
Keberagaman istilah-istilah ini menunjukkan kebingungan dan kesulitan di masa lalu dan saat
ini dalam membedakan bronkiolitis dari asma dan asma menular. Entitas ini biasanya
mengacu pada episode mengi berulang yang mungkin dipicu oleh agen infeksi dan cenderung
terjadi pada anak-anak setelah masa bayi.

Definisi bronkiolitis bervariasi tetapi biasanya berlaku pada anak-anak di bawah usia 2 tahun
dengan episode mengi pertama yang umumnya disertai demam, batuk, rinorea, dan takipnea.
Namun terdapat konsensus bahwa bronkiolitis terus memberikan beban layanan kesehatan
yang besar dan semakin meningkat.

Bronkiolitis tidak dikenali sebagai penyakit yang berbeda sampai tahun 1940an dan pada
awalnya dianggap disebabkan oleh bakteri. Virus kini diketahui sebagai penyebab utama
sindrom ini dan karakteristik patologi saluran pernafasan bagian bawah. Virus pernapasan
syncytial (RSV) adalah patogen utama yang diidentifikasi. Peran agen virus lainnya masih
kontroversial dan sebagian bergantung pada populasi yang diteliti dan metode laboratorium
yang digunakan untuk mendeteksinya. Korelasinya dengan penyakit sangat bermasalah
karena virus yang umumnya menginfeksi kelompok usia muda ini dapat menyebabkan
tingginya tingkat infeksi tanpa gejala atau penularan yang berkepanjangan, termasuk
adenovirus dan human bocavirus (hBoV). Selain itu, beberapa agen, seperti rhinovirus, dapat
memicu peradangan saluran napas asma dan bronkospasme tanpa menyebabkan patologi
saluran napas kecil yang merupakan karakteristik infeksi saluran pernapasan bagian bawah
dengan bronkiolitis.

RSV telah diidentifikasi sebagai penyebab utama pada dua pertiga kasus bronkiolitis, dan
pada pasien rawat inap, proporsinya kemungkinan lebih tinggi.Virus lain yang umumnya
telah diidentifikasi sebagai agen tunggal atau koinfeksi pada anak-anak dengan bronkiolitis
termasuk human metapneumovirus (hMPV), virus parainfluenza, virus influenza, rhinovirus,
human corona virus (hCoV), dan hBoV
Bronkiolitis umumnya mempunyai masa prodromal selama beberapa hari yang ditandai
dengan gejala saluran pernapasan atas, terutama coryza, batuk, dan demam yang biasanya
ringan. Keterlibatan saluran pernafasan bagian bawah dapat ditandai dengan timbulnya batuk
yang menonjol, diikuti dengan peningkatan frekuensi pernafasan, dan gejala sistemik
nonspesifik seperti lesu dan pola makan yang buruk. Retraksi dinding dada, hidung melebar,
dan mendengus merupakan bukti peningkatan kerja pernapasan. Ciri khas bronkiolitis adalah
cepatnya variabilitas gejala pernapasan anak. Temuan auskultasi dapat bervariasi, mulai dari
hanya mengi atau ronki, hingga keduanya, atau tidak keduanya. Penurunan bunyi paru pada
auskultasi yang berhubungan dengan peningkatan dispnea dan berkurangnya pergerakan
udara dapat mengindikasikan obstruksi progresif dan kegagalan pernapasan yang akan
terjadi.

Dehidrasi biasanya menyertai bronkiolitis, akibat batuk yang tiba-tiba, yang dapat memicu
muntah, dan akibat asupan oral yang buruk yang berhubungan dengan gangguan pernapasan
dan kelesuan pada anak. Takipnea semakin meningkatkan kebutuhan cairan. Dari anak-anak
yang dirawat di rumah sakit karena bronkiolitis di Inggris, 82% saat masuk rumah sakit
mengalami kesulitan makan yang berlangsung rata-rata selama 27 jam. 36 Oksigen tambahan
diberikan pada saat masuk rumah sakit kepada 22% anak-anak yang rata-rata saturasi oksigen
nadinya adalah 94%. Dalam waktu 6 jam setelah masuk rumah sakit, 70% diberi oksigen
tambahan, meskipun rata-rata tingkat saturasi oksigen nadi menurun rata-rata 2%. Tidak ada
korelasi yang diamati antara tingkat saturasi oksigen nadi yang diperoleh pada 6 jam dan
pemberian oksigen tambahan atau lama rawat inap di rumah sakit. Bayi yang kesulitan
makannya telah teratasi dan yang terus dirawat di rumah sakit untuk pemberian oksigen
tambahan tidak menunjukkan bukti kerusakan klinis.

Mengingat bronkiolitis adalah salah satu penyebab paling sering kunjungan rawat jalan dan
rawat inap pada anak, anak-anak yang berisiko rendah terkena penyakit rumit telah dievaluasi
untuk menentukan anak mana yang dapat dipulangkan dengan aman ke rumah. Di antara
anak-anak berusia kurang dari 2 tahun yang menderita bronkiolitis di 30 unit gawat darurat
AS selama tahun 2004 hingga 2006, 57% dipulangkan ke rumah. 37 Karakteristik anak-anak
yang pulang dari rumah aman termasuk usia 2 bulan atau lebih, riwayat eksim, frekuensi
pernapasan di bawah normal sesuai usia, tingkat saturasi oksigen 94% atau lebih, tidak ada
atau retraksi dinding dada ringan, lebih sedikit pengobatan dengan bronkodilator selama satu
jam pertama, dan asupan oral yang cukup.

Perjalanan akut bronkiolitis biasanya berlangsung 3 sampai 7 hari. Sebagian kecil anak-anak
dengan infeksi saluran pernapasan bawah RSV menunjukkan hipoksemia kritis, apnea, atau
gagal napas dan segera memerlukan perawatan intensif. Sebagian besar anak-anak yang
dirawat di rumah sakit tidak terlalu terkena dampaknya, dan hanya sedikit dari anak-anak
yang kondisinya memburuk secara dramatis setelah masuk rumah sakit. Dalam sebuah
penelitian, kurang dari 2% anak-anak yang sebelumnya sehat dirawat di rumah sakit biasa
karena infeksi RSV kemudian memerlukan perawatan intensif. 38 Kebanyakan bayi membaik
dalam waktu 3 sampai 4 hari, dengan masa pemulihan bertahap selama 1 sampai 2 minggu,
namun batuk bisa bertahan lebih lama. Durasi rata-rata penyakit dalam sebuah penelitian
terhadap anak-anak rawat jalan dengan bronkiolitis adalah 12 hari. Setelah 3 minggu, 18%
masih menunjukkan gejala, dan setelah 4 minggu, 9% masih sakit. 39 Jenis kelamin, berat
badan, atau laju pernapasan tidak memprediksikan penyakit yang akan bertahan lama.

E.Penyakit jantung bawaan (PJB)

Penyakit jantung bawaan (PJB) disebut juga defek jantung bawaan, merupakan istilah umum
untuk kelainan pada struktur jantung dan pembuluh darah besar yang muncul sejak lahir yang
sering ditemukan dan merupakan penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kelainan
bawaan. Secara umum, insiden PJB adalah 8 sampai 10 dari 1000 kelahiran hidup. Namun,
frekuensi ini hanya estimasi dan kurang akurat. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
terdapat variasi secara geografik pada insiden PJB.1,2 Sebagian besar PJB ini terjadi akibat
kesalahan embriogenesis antara minggu ke-3 sampai minggu ke8 gestasi, ketika struktur
utama jantung sudah terbentuk dan mulai untuk berfungsi. Etiologinya masih belum diketahui
secara pasti, namun studi awal epidemiologik melaporkan pengaruh multifaktorial merupakan
penyebab pada 90% kasus anomali jantung, dengan kadar rekurensi 2%-6%. PJB dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu penyakit jantung bawaan sianotik dan asianotik

PJB pada bayi baru lahir di beberapa rumah sakit di Indonesia telah meneliti sebanyak 3069
orang bayi baru lahir, didapatkan sebanyak 55,7% adalah laki - laki dan 44,3% adalah
perempuan, dan 28 dari jumlah tersebut (9,1/1000) mempunyai PJB. Duktus arteriosus
persisten (DAP) ditemukan pada 12 orang bayi (42,9%), 6 diantaranya bayi prematur. DSV
ditemukan pada 8 bayi (28,6%), DSA pada 3 bayi (19,7%), dan Complete AtrioVentricular
Septal Defect (CAVSD) pada 3,6% bayi. Bayi yang mempunyai PJB sianotik adalah 10,7%,
yaitu 1 bayi dengan Transposisi Arteri Besar (TAB), dan dua lagi dengan kelainan jantung
kompleks sindrom sianotik. Dari 28 bayi tersebut, 4 bayi meninggal dunia (14,3%) selama 5
hari pengamatan.

2. Mahasiswa mampu memahami definisi dan klasifikasi dan epidemiologi


bronkopneumonia
a. Definisi
Bronkopenumonia merupakan radang saluran pernapasan yang terjadi pada bagian
bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia merupakan salah satu bagian dari
penyakit Pneumonia. Bronkopneumonia (penumonia lobaris) adalah suatu infeksi saluran
pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus/ bronkiolus yang
berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) yang disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, dan benda asing (Samuel, 2014).
b. Klasifikasi
Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia lobularis yang terjadi pada ujung
akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak
konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya. Berikut merupakan klasifikasi
bronkopneumonia (Samuel, 2014).
1) Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak
sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
2) Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
3) Bronkopneumonia: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik. Adanya
pernafasan yang cepat yakni >60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan;
>50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1 tahun; >40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun.
4) Bukan Bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti
diatas, tidak perlu dirawat dan diberi antibiotik.
c. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia di Indonesia di balita diperkirakan
antara 10-20% per tahun. Insiden penyakit ini di negara-negara berkembang meliputi
Indonesia hampir 30% pada anak-anak di bawah 5 tahun dengan risiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan 13% dari semua penyakit pada anak di
bawah 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak-anak ≤5 tahun di negara-negara maju adalah
2-4 kasus / 100 anak / tahun, sementara negara ini mengembangkan 10-20 kasus/100
anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di
negara berkembang.
Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia menyatakan bahwa penemuan balita menderita
pneumonia dari 568.146 balita. Provinsi ini menduduki 3 penemuan top kasus balita
pneumonia yaitu Jawa Barat (174.612 balita), Jawa Timur (93.279 balita), dan Jawa Tengah
(59.650)Angka kematian dari pneumonia pada balita 2016 adalah 0,11% sedangkan pada
tahun 2015 adalah 0,16%. Provinsi dengan mortalitas balita karena pneumonia tertinggi
adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung Kabupaten / Kota di Jawa Timur dengan
penderita pneumonia tertinggi adalah Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Jember, dan Kabupaten
Gresik. Kematian karena pneumonia pada anak-anak sangat terkait dengan faktor
kemiskinan, seperti kekurangan gizi, kurangnya air bersih dan sanitasi, polusi udara dalam
ruangan dan akses yang tidak memadai ke perawatan kesehatan (Kemenkes RI 2017).

3. Mahasiswa mampu memahami anatomi sistem respirasi pada anak beserta


fisiologinya
Bagian-bagian sistem pernapasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea, karina,
bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus terminalis,
bronchiolus respiratorius, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli. Terdapat Lobus,
dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan lobus inferior. Sinistra ada 2 lobus
yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo dextra terdapat fissura horizontal yang
membagi lobus superior dan lobus media, sedangkan fisura oblique membagi lobus media
dengan lobus inferior. Pulmo sinistra terdapat fisura oblique yang membagi lobus superior
dan lobus inferior. Pembungkus paru (pleura) terbagi menjadi 2 yaitu parietalis (luar) dan
Visceralis (dalam), diantara 2 lapisan tersebut terdapat rongga pleura (cavum pleura) (Patwa
& Shah, 2015)
a) Hidung
Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali nares anterior yang dindingnya
tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulit dengan
kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel berlapis silindris bersilia
bersel goblet dan mengandung sel basal. Di Dalamnya ada konka nasalis superior, medius
dan inferior. Lamina propria pada mukosa hidung umumnya mengandung banyak pleksus
pembuluh darah. (Patwa & Shah, 2015)
b) Alat penghidu
Mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris tanpa sel goblet, dengan lamina
basal yang tidak jelas. Epitelnya disusun atas 3 jenis sel: sel penyokong, sel basal dan sel
olfaktorius. (Patwa & Shah, 2015)
c) Sinus paranasal
Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak yang
berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis, ethmoidalis dan
sphenoidalis. (Patwa & Shah, 2015)
d) Faring
Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu dan
menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke oesophagus. Pada saat bernapas udara
dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga : nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Mukosa pada
nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan laringofaring sama dengan
saluran cerna. Mukosa faring tidak memiliki muskularis mukosa. Lamina propria tebal,
mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatu dengan jaringan ikat interstisial.
Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel berlapis gepeng, mengandung kelenjar mukosa
murni. (Patwa & Shah, 2015)
e) Laring
Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara faring
dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsik
mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada tulang tiroid dan
krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan epitel bertingkat silia.
Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar. Fungsi laring untuk membentuk
suara, dan menutup trakea pada saat menelan (epiglottis). Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita
suara palsu (lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara). Celah antara pita suara disebut rima
glotis. Pita suara palsu terdapat mukosa dan lamina propria. Pita suara terdapat jaringan
elastis padat, otot suara ( otot rangka). Vaskularisasi: A.V Laryngeal media dan Inferior.
Inervasi: N Laryngeus superior. (Patwa & Shah, 2015)
f) Trakea
Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh jaringan
ikat fibroelastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan
limfoid dan kelenjar.
g) Bronchus
Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer
bercabang menjadi bronki lobar bronki segmental bronki subsegmental. Struktur bronkus
primer mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak teratur. Makin
ke distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang sama sekali. Otot polos
tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas lipatan memanjang. Epitel bronkus :
kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan kelenjar submukosa. Lamina propria : serat
retikular, elastin, limfosit, sel mast, eosinofil. (Kennedy, 2012)
h) Bronchiolus
Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak
mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat longgar. Epitel
kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina propria tidak mengandung
sel goblet. (Kennedy, 2012)
i) Bronchiolus respiratorius
Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan : epitel
kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis (alveoli).
j) Ductus alveolaris
Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat alveoli bermuara.
k) Alveolus
Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya 200 -
500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat kolagen, dan
elastis halus. (Kennedy, 2012)
Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel alveolar besar ( sel
alveolar type II). Sel alveolar gepeng ( tipe I) jumlahnya hanya 10% , menempati 95 %
alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar. Sel
alveolar gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi
mikrovili pendek, permukaan licin, memiliki badan berlamel. Sel alveolar besar
menghasilkan surfaktan pulmonar. Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli
pada akhir ekspirasi. Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial. Mengandung serat,
sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis di antara alveoli disebut pori Kohn.
Sel fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma sel ini
terisi badan besar bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah sel lainnya. (Kennedy,
2012)
l) Pleura
Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat elastin,
fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang melekat pada dinding
toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan pembuluh limfe.
Saraf adalah cabang n. frenikus dan n. interkostal. (Patwa & Shah, 2015)

4. Mahasiswa mampu memahami etiologi broncopneumonia


Bronkopneumonia sebagian besar disebabkan oleh infeksi bakteri, namun bisa juga
disebabkan oleh infeksi virus atau infeksi jamur. Beberapa patogen yang dapat menyebabkan
bronkopneumonia antara lain: Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, dan Escherichia coli.
Organisme penyebab pneumonia lain yang kurang umum mungkin termasuk virus seperti
SARS-Cov-2, atau jamur seperti Aspergillus fumigatus.

5. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi broncopneumonia .


Agent penyebab pneumonia masuk ke paru - paru melalui inhalasi atau pun aliran
darah. Diawali dari saluran pernafasan dan akhirnya masuk ke saluran pernapasan bawah.
Reaksi peradangan timbul pada dinding bronkhus menyebabkan sel berisi eksudat dan sel
epitel menjadi rusak. Kondisi tersebut berlansung lama sehingga dapat menyebabkan
etelektasis (Suratun & Santa, 2013). Reaksi inflamasi dapat terjadi di alveoli, yang
menghasilkan eksudat yang mengganggu jalan napas, bronkospasme dapat terjadi apabila
pasien menderita penyakit jalan napas reaktif (Smeltzer & Bare, 2013). Gejala umum yang
biasanya terjadi pada pneumonia yaitu demam, batuk, dan sesak napas (Djojodibroto, 2014).
6. Mahasiswa mampu memahami patogenesis broncopneumonia.
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru
dilindungi dari infeksi bakteri dengan melewati mekanisme pertahanan anatomis, mekanis,
dan faktor imun lokal. Pada mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks
batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, imunitas yang
diperantarai sel dan makrofag alveolar (Bradley et al. 2011).
Terjadinya infeksi paru bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu dan virulensi
organisme bertambah. Agen infeksius anak masuk kedalam saluran nafas bagian bawah
melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas pada bagian atas. Faktor
meningkatnya virus dikarenakan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersih dan respon imun tubuh. Secara patogenesis
bronkopneumonia terdapat 4 stadium, yaitu :
3.1. Saluran I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti).
Merupakan hiperemia yang mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terkena infeksi, dapat ditandai dengan peningkatan aliran
darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia akan terjadi akibat pelesan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan (Bradley et al. 2011).
3.2. Saluran II (48 jam berikutnya).
Merupakan hepatitis merah yang dapat terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah,eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh host adalah bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena akan menjadi padat disebabkan karena adanya penumpukan leukosit,
eritrosit dan cairan sehingga warna paru akan berubah menjadi merah. Udara alveoli pada
stadium ini tidak ada dan sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak dan pada
stadium ini berlangsung singkat yaitu selama 48 jam (Bradley et al.2011).
3.3. Saluran III (3-8 hari berikutnya).
Merupakan hepatitis kelabu yang dapat terjadi sewaktu sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru-paru yang terinfeksi. Pada keadaan ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa sel. Pada stadium III eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah akan
berubah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti (Bradley et al.
2011).
3.4. Saluran IV (7-11 hari berikutnya).
Merupakan stadium resolusi yang akan terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
dan sisa fibrin, eksudat lisis diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada
strukturnya semula (Bradley et al. 2011).

7. Mahasiswa mampu memahami interpretasi pemeriksaan penunjang


broncopneumonia
A. Foto thorax : tampak infiltrat di seluruh lapang paru
Normal thorax pulmo adalah berwarna hitam yang artinya berisi dengan udara sedangkan
pada foto thorax yang terdapat infiltrat disebabkan oleh suatu kondisi dimana unit fungsional
paru terisi dengan cairan radang, sehingga terbentuk gambaran seperti bayangan putih atau
bercak.
B. Darah lengkap :
● Hb (13g/dl) : normal (13,4–20 g/dL)
● Leukosit (9. 300) : normal (9.400 - 34.000)
● trombosit (605.000) : normal (300.000-700.000)
● LED 25 ml/ jam: tinggi (LED 0-20 mm/jam) LED yang tinggi menunjukan adanya
radang. Namun LED tidak menunjukan apakah radang jangka lama atau disebabkan
oleh tubuh yang terserang infeksi. LED merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk
darah. Tinggi rendahnya nilai pada LED sangat dipengaruhi oleh tubuh, terutama pada
saat terjadi radang. LED termasuk pemeriksaan penunjang, yang mendukung
pemeriksaan fisik untuk mengecek perkembangan dari suatu penyakit.
● GDA (94mg/dl)) : rendah ( 100-200 mg/dl)

8. Mahasiswa mampu memahami tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi


a. Tatalaksana
1. Pneumonia ringan
- Rawat jalan,
- Kotrimoksasol (4 mg TMP/KgBB/kali-20 mg sulfametoksazol/ KgBB/kali). 2 kali
sehari selama 3 hari. atau amoksisilin 25 mg/KgBB/kali, 2 kali sehari selama 3 hari
(Arifputera A, dkk, 2014)

2. Pneumonia berat
- Oksigen untuk mempertahankan saturasi >92%, dipantau setiap 4 jam. Pada anak
yang stabil dapat dilakukan uji coba tanpa menggunakan oksigen setiap hari. Bila
saturasi tetap stabil, pemberian oksigen dapat dihentikan;
- Bila asupan per oral kurang. dapat diberikan cairan intravena dan dilakukan balans
cairan ketat agar tidak terjadi hidrasi berlebihan (pada pneumonia berat terjadi
peningkatan sekresi hormon antidiuretik
- Pada distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari, dapat
diganti dengan NGT/intravena dengan perhitungan balans cairan yang ketat
- Bila suhu >39°C dapat diberikan parasetamol
- Nebulisasi agonis β-2 dan/atau NaCl 0,9% dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance, namun bukan merupakan terapi yang rutin dilakukan
- Pemberian antibiotik: Amoksisilin 50-100 mg/ KgBB IV atau IM setiap 8 jam,
dipantau ketat dalam 72 jam pertama. Bila respon baik, terapi diteruskan hingga 5
hari, kemudian dilanjutkan dengan amoksisilin oral 15 mg/KgBB/ kali, 3 hari sekali
selama 5 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu, makan, atau minum, kejang, letargis,
sianosis, distres pernapasan berat), tambahkan kloramfenikol 25 mg/KgBB/ kali IM
atau IV setiap 8 jam.
- Antibiotik lini kedua: seftriakson 80-100 mg/KgBB IM atau IV satu kali sehari.
- Bila dicurigai pneumonia Staphylococcus (terdapat perburukan klinis walaupun sudah
diterapi yang ditandai dengan adanya pneumatokel, pneumotoraks dengan efusi
pleura, ditemukan bakteri kokus Gram positif pada tes sputum, didukung oleh infeksi
`kulit yang disertai pus) berikan Kloksasilin 50 mg/ KgBB IM atau IV setiap 6 jam
dan gentamisin 7,5 mg/ KgBB IM atau IV sekali sehari. Bila respon membaik,
lanjutkan dengan kloksasilin oral 50 mg/ KgBB/ hari, 4 kali sehari selama 3 minggu
(Arifputera A, dkk, 2014).

b. Tatalaksana Non Farmakologi


- Fisioterapi adalah salah satu tindakan non farmakologi pada bronchopneumonia
pada anak Menurut Wong (2009), Fisioterapi dada dalam hal ini merupakan teknik untuk
mengeluarkan sekret yang berlebihan atau material yang terinspirasi dari dalam saluran
respiratori. Sehingga dalam hal ini, fisioterapi dada tidak hanya mencegah obstruksi, tetapi
juga mencegah rusaknya saluran respiratori Serangkaian tindakan postural drainase
membantu menghilangkan kelebihan mukus kental dari paru ke dalam trakea yang dapat
dibatukkan keluar (Lubis, 2011).
- Batuk efektif, adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihakan secret, dan
juga untuk melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan untuk batuk secara efektif.
Menurut Potter & Perry, (2010). Pemberian batuk efektif merupakan suatu upaya untuk
mengeluarkan sputum yang menumpuk dijalan napas agar jalan napas tetap paten. Batuk
efektif adalah suatu metode batuk dengan benar, dimana Pasien dapat menghemat energinya
sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal.

9. Mahasiswa mampu memahami edukasi pencegahan broncopneumonia


ASI eksklusif dan pemberian makanan pendamping (MP-ASI) yang adekuat,
memberikan air susu ibu saja selama 6 bulan dan memberikan makanan tambahan
pendamping ASI dengan adekuat terbukti dapat melindungi dari penyakit pneumonia pada
anak bahkan dikemudian hari.
Imunisasi lengkap. Imunisasi lengkap dapat mencegah anak untuk terjangkit
pneumonia, dan dapat juga mencegah penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan
pneumonia seperti Campak, Batuk rejan, Difteri, dan penyakit berat lainnya.
Cuci tangan dengan sabun. Hal sederhana yang mudah dilakukan dan memiliki
dampak yang besar terhadap kesehatan anak adalah kebiasaan mencuci tangan dengan rutin.
Seolah-olah sederhana, hanya dengan mencuci tangan secara rutin maka anak dapat terhindar
dari penyakit-penyakit seperti pneumonia, diare, bahkan COVID-19. Kenapa cuci tangan
penting? Karena jutaan bakteri dan virus menempel di tangan kita akibat bersentuhan dengan
segala macam benda-benda yang kotor akan mati dengan mencuci tangan. Ayo budayakan
cuci tangan dengan rutin tidak hanya sebelum dan sesudah makan saja ya.
Kurangi polusi dalam rumah. Polusi udara baik yang terjadi dalam rumah maupun
diluar rumah harus dihindari. Anak jangan sampai terpapar asap rokok, karena sangat
berbahaya dapat merusak saluran pernapasan anak. Jangan ada lagi ayah yang menggendong
balitanya sambil merokok. Anak yang hidup dengan perokok meskipun tidak merokok
langsung di depannya tetap memiliki angka kesakitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
yang tidak ada perokok di dalam rumahnya.

10. Mahasiswa mampu memahami aspek keislaman broncopneumonia


Prinsip Islam yang relevan dalam konteks penyakit seperti pneumonia, yaitu Sikap
Sabar dan Tawakal (Bertawakal kepada Allah): Ketika seseorang sakit, Islam mendorong
untuk bersabar dan percaya kepada Allah. Ini tidak berarti tidak mencari perawatan medis,
tetapi sekaligus mengingat bahwa kesembuhan akhirnya dalam kehendak Allah. Allah SWT
berfirman dalam (Q. S Asy-Syu'ara’ : 78-81) yang artinya :

“Yaitu yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberi petunjuk kepadaku, dan yang
Memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan
Aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali).”

KESIMPULAN

Seorang bayi perempuan berusia 5 bulan dibawa ibunya ke igd karena sesak nafas sejak 1
hari yang lalu. dari hasil diagnosis didapatkan pasien terkena bronkopneumonia
Mind Mapping
Daftar Pustaka

Samuel, A. 2014. Bronkopneumonia on pediatric patient. Journal Agromed Unila, 1(2),


185–189.
Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014; jilid 1; 175-177.
Ekowati, 2022 CASE STUDY OF IN EFFECTIVE AIRWAY CLEANING ON
PNEUMONIA PATIENTS IN AJIBARANG HOSPITAL Jurnal Keperawatan Notokusumo
(JKN) E-ISSN: 2808-1781 Volume 10, Nomor 1, Juni 2022
Sakila E,2023 .BRONKOPNEUMONIA Vol. 1, No. 3 Agustus 2023 e-ISSN: 2986-7061;
p-ISSN: 2986-7878, Hal 134-145 DOI : https://doi.org/10.59680/medika.v1i3.403

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016. Pusat
Data dan Informasi Kementerian RI.

Anda mungkin juga menyukai