Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIK

Disusun Oleh :
Suka Bambang T. (23409021014)
M. Yayang Varesa (23409021015)

Pembimbing :
dr.Nila Santia Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK THT


PERIODE 12 MARET – 6 APRIL 2024
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WAHID HASYIM
RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG
2024

1
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syarat
menempuh Program Studi Profesi Dokter di bagian THT Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T
Wongsonegoro periode 12 Maret – 6 April 2024.

Nama : - Suka Bambang T. (23409021014)


- M. Yayang Varesa (23409021015)
Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Wahid Hasyim
Judul : Tonsilitis Kronik
Bagian : THT RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Pembimbing : dr.Nila Santia Sp. THT-KL

Semarang, 28 Maret 2024

dr.Nila Santia Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tonsilitis Kronik”.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas laporan kasus yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteriaan klinik, khususnya pada Departemen Ilmu Penyakit THT
RSUD K.R.M.T Wongsonegoro.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Nila Santia Sp. THT-KL selaku
pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penulisan dan penyusunan laporan kasus ini,
serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki kekurangan dan kesalahan
akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan laporan kasus di masa
mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 28 Maret 2024

Suka Bambang T & M. Yayang Varesa

3
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cicin waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu:
tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah),
tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Tonsil merupakan
terdapatnya peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan tonsil dengan lekosit, sel-sel
epitel mati dan bakteri pathogen dalam kripta. Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh
bakteri atau virus, termasuk strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus
Epstein-Barr, enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada
tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak
dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang tenggorokan. Penyebaran infeksi
melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama
pada anak Insidensi terjadinya tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan
komplikasi tersering adalah abses peritonsilar. Tonsilitis baik akut maupun kronik dapat terjadi
pada semua umur, namun lebih sering terjadi pada anak. Faktor yang menjadi penyebab utama
hal tersebut adalah ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Dari hasil anamnesa diketahui bahwa:

1. Nama : An. A
2. Usia : 5 Tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Status Pernikahan : Belum Menikah
5. Pekerjaan : Pelajar
6. Alamat : Semarang
7. Tanggal Masuk Poli : 20 Maret 2024
8. No. CM : 08****

B. ANAMNESA PASIEN
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 20 Maret 2024 di ruang
Poli THT RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang serta didukung dengan data
rekam medik pasien.
 Keluhan Utama:
Nyeri menelan, tenggorokan terasa megganjal sejak seminggu yang lalu.

 Keluhan Tambahan :
Makan tersedak, sering ngorok saat tidur, batuk berdahak, pilek

a. Riwayat Penyakit Sekarang


Anak laki-laki usia 5 tahun datang ke poli THT RSUD
K.R.M.T.Wongsonegoro dengan keluhan makan tersedak dan
tenggorokan terasa megganjal sejak seminggu yang lalu. Pada pasien
juga didapatkan suara mendengkur saat tidur, batuk, dan pilek.
Pasien sebelumnya sering mengkonsumsi ciki-cikian dan es.
Sebelumnya keluhan pasien sudah diobati dengan obat yang dibeli di
apotek.
b. Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien tidak memiliki riwayat alergi


5
c. Riwayat Penyakit keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang sedang sakit dan mempunyai


keluhan yang dialami pasien saat ini
d. Riwayat Pengobatan

Pasien diobati dengan obat yang dibeli di apotek.

e. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien sebelumnya sering mengkonsumsi ciki-cikian dan es


C. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
 Keadaan Umum: Tampak sakit sedang

 Kesadaran: Compos Mentis

 GCS: 15 (E4V5M6)
Tanda Vital
 Tekanan darah: 120/80 mmHg

 Nadi :80x/menit

 Suhu :36.7 dc

 Pernafasan: 22x/menit
Antropometri
 Berat badan: 15 kg

 Tinggi Badan: 110 cm


a. Status Generalis Pasien

Kepala Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, dan tidak tampak ada
kelainan

Mata Pupil bulat, isokor, sklera ikterik (-/-) konjungtiva anemis (-/-), refleks
cahaya direct dan indirect (+/+)

Leher Pembesaran KGB (-), trakea terdapat di tengah, pembesaran tiroid (-)

6
Pulmo 1) Inspeksi: bentuk dada simetris
2) Palpasi: nyeri tekan (-)

3) Perkusi: sonor di seluruh lapang paru

4) Auskultasi: suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung 1) Inspeksi: pulsasi ictus cordis tidak tampak

2) Palpasi : ictus cordis tidak teraba

3) Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal

4) Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)


Abdomen 1) Inspeksi: perut tampak datar, striae (-), siaktriks (-)

2) Palpasi : tidak teraba massa, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
tampak membesar
3) Perkusi : timpani

4) Auskultasi : bising usus normal


Anus Dan tidak dilakukan pemeriksaan

Genitalia
Ekstremitas edema (-/-), akral hangat sianosis (-/-), CRT < 2 detik

b. Status Lokalis Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra


1. Bentuk Normotia Normotia
Inspeksi (Preauricula, 2. Peradangan (-) (-)
Auricula, 3. Sikatriks (-) (-)
Retroauricula) 4. Abses (-) (-)

Retroauricular
5. Fistel (-) (-)

Pro/Retroauricula
1. Nyeri Tarik (-) (-)
2. Nyeri tekan Tragus (-) (-)
3. Nyeri tekan Mastoid (-) (-)
7
4. Nyeri ketok Mastoid (-) (-)

Palpasi 1. Lapang/Sempit Lapang Lapang


2. Hiperemis (-) (-)
3. Sekret (-) (-)
4. Furunkel (-) (-)
Dinding Liang Telinga
5. Jaringan Granulasi (-) (-)
(CAE)
6. Serumen (-) (-)
7. benda asing (-) (-)
8. Massa Tumor (-) (-)
9. Eksostose (-) (-)
1. Bentuk Normal Normal
2. Perforasi (-) (-)
3. Refleks Cahaya (+) (+)
Membran Timpani
4. Warna Putih mutiara Putih mutiara
5. Atrofi (-) (-)
6. Retraksi (-) (-)
7. Bulging (-) (-)

c. Status Lokalis Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra


Inspeksi 1. Bentuk hidung Simetris Normal Simetris Normal

luar
2. Frog nose (-) (-)
3. Depresi tulang (-) (-)

hidung
4. Udara pernafasan (+) (+)
Palpasi 1. Nyeri tekan (-) (-)
hidung dan sinus
paranasal
2. Nyeri ketok sinus (-) (-)

paranasal
8
Vestibulum Nasi 1. Furunkel (-) (-)
2. Secret (+) (+)
3. Benda asing (-) (-)
4. Laserasi (-) (-)
5. Massa Tumor (-) (-)
6. Bekuan darah (-) (+)
Cavum Nasi Lapang atau Sempit Lapang Lapang
Konka Inferior 1. Ukuran Eutrofi
2. Warna Merah Muda Merah Muda
3. Permukaan Licin Licin
4. Edema (-) (-)
Konka Media 1. Ukuran Eutrofi Eutrofi
2. Warna Merah Muda Merah Muda
3. Permukaan Licin Licin
4. Edema (-) (-)
Septum Nasi 1. Cukup lurus/ Lurus Lurus

Deviasi
2. Permukaan Licin Licin
3. Warna Merah Muda Merah Muda
4. Spina (-) (-)
5. Krusta (-) (-)
6. Abses (-) (-)
7. Perforasi (-) (-)
Massa Massa (-) (-)

d. Status Lokalis Tenggorokan

Pemeriksaan Kelainan
1. Gigi geligi Normal
2. Warna mukosa Merah muda
3. Lidah Normal, Selaput (-)
4. Arcus faring anterior dan posterior Normal, Edema (-)
5. Kripta Tonsil Melebar

9
6. Detritus pada tonsil (-)
7. Tonsil Palatina ( Ukuran, warna) T3-T3, hipertrofi (+/+),
kripte melebar
8. Dinding Posterior faring Normal, Post nasal drip (-)
9. Warna mukosa dinding posterior Merah muda
10. Pallatum mole Edema (-), Hiperemis (-)

D.PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Nasoendoskopi

i. Kavum nasi: Lapang +/+

ii. Konka edema :+/-

iii. Septum deviasi -/-

iv. Secret : purulen +/+

v. Adenoid hipertrofi +

E. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad Bonam

Ad Fungtionam : ad Bonam

Ad Sanatioam : ad Bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
10
Tonsil adalah kumpulan jaringan limfoid yang terletak di dekat pintu masuk saluran
pencernaan dan pernafasan serta memainkan peran penting dalam sistem kekebalan tubuh
dan bertindak sebagai pertahanan garis depan dengan membentuk respon imunologis
terhadap patogen yang terhirup atau tertelan. Jaringan limfatik yang terletak di orofaring
terdiri dari cincin tonsil melingkar, dikenal sebagai cincin Waldeyer yang terdiri dari tonsil
palatina (tonsil faucial), adenoid (tonsil nasofaring), tonsil lingual dan tonsil tuba.

Tonsil terletak di sepanjang dinding lateral orofaring, di dalam fossa tonsil yang terletak
di antara pilar anterior dan posterior. Terdapat lima arteri yang memberikan suplai darah ke
tonsil yaitu cabang dari arteri facial (suplai utama), arteri palatina asendens, arteri lingual
dorsal, arteri faring asendens dan arteri palatina minor. Drainase vena tonsil terutama terjadi
melalui pleksus peritonsillar dari vena faring dan lingual yang mengalir ke vena jugularis
interna.

11
Meskipun tidak memberikan suplai darah secara langsung ke tonsil, penting untuk
dicatat bahwa arteri karotis interna kira kira 2,5 cm posterolateral tonsil dan memerlukan
tindakan pencegahan selama operasi untuk menghindari pemotongan secara tidak sengaja.

Tonsil menerima suplai aferen dari pleksus tonsillar dengan kontribusi dari saraf
trigeminal (CN 5) melalui saraf palatina minor, serta saraf glossopharyngeal (CN IX), CN
IX berlanjut ke distal tonsil untuk mensuplai sensasi sensorik dan pengecapan ke sepertiga
posterior lidah CN IX adalah saraf yang paling mungkin rusak selama tonsilektomi.

3.2 Fisiologi

Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di kedua
sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina
lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul
tipis dan di permukaan media terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap
protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus,bakteri
dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik.
Apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama
akan mengenal dan mengeliminasi antigen.

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang mengandung sel
limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B
dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75% : 15-30%. Pada tonsil
terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrit
dan antigen preesenting cells yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit
sehingga terjadi sintesis Imunoglobin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel
plasma dan sel pembawa bawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk differensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
12
mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan
efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.

Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfe yang berbentuk oval yang terletak pada kedua
sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya
infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus masuk ke
tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi
antibodi untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm,
masing masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil.
Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal
sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orangfaring. Secara mikroskopik tonsil
terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat,folikel germinativum (merupakan sel limfoid)
dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan
terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun.

3.3 Tonsilitis

3.3.1 Definisi

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cicin
waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. Tonsilitis akut merupakan
peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus yang terjadi
dalam waktu kurang dari 3 minggu. Tonsilitis membranosa termasuk dalam salah satu
jenis radang amandel akut yang disertai dengan pembentukan membran/ selaput pada
permukaan tonsil yang bisa meluas ke sekitarnya. Tonsilitis kronis merupakan kondisi
di mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan serangan infeksi yang berulang-
ulang.

3.3.2 Epidemiologi

Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak. Pada balita,
tonsilitis umumnya disebabkan oleh infeksi virus sedangkan infeksi bakterial lebih
sering terjadi pada anak berusia 5-15 tahun. Group A beta- hemolytic streptococcus
merupakan penyebab utama tonsilitis bacterial.

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, tetapi jarang terjadi pada anak usia
< 2 tahun. Tonsilitis juga sangat jarang terjadi pada orang tua usia >40 tahun. Insidensi
terjadinya tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan komplikasi
tersering adalah abses peritonsilar. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada anak-anak
dengan puncaknya pada masa remaja kemudian risikonya menurun hingga usia tua.
Abses peritonsilar lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki.

13
World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai jumlah
kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak dibawah 15 tahun
mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi, 248.000 (86,4 %)
mengalami tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6 %) lainnya menjalani tonsilektomi.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi Indonesia, prevalensi
tonsilitis kronik 3,8 % tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6 %.

Tonsilitis baik akut maupun kronik dapat terjadi pada semua umur, namun lebih
sering terjadi pada anak. Faktor yang menjadi penyebab utama hal tersebut adalah
ISPA dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat.4,5 Tonsilitis lebih
umum pada anak- anak usia 5-15 tahun dengan prevalensi tonsillitis bakterial 15-30%
pada anak dengan gangguan tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan gangguan
tenggorokan.

3.3.3 Etiologi

Penyebab tonsilitis adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil
berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan
pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri maupun virus,
sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsilitis. Hal-hal yang dapat
memicu peradangan pada tonsil adalah seringnya kuman masuk kedalam mulut
bersama makanan atau minuman. Tonsillitis berhubungan juga dengan infeksi
mononukleosis, virus yang paling umum adalah EBV, yang terjadi pada 50% anak-
anak.

3.3.4 Patofisiologi

Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berperan sebagai filter, menyelimuti organism yang berbahaya tersebut sel-sel darah
putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini akan memicu
tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi
kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.Infeksi bakteri
dari virus inilah yang menyebabkan tonsillitis.
Bakteri atau virus menginfeksi lapisan epitel tonsil-tonsil epitel menjadikan terkikis
dan terjadi peradangan serta infeksi pada tonsil.Infeksi tonsil jarang menampilkan
gejala tetapi dalam kasus yang ekstrim pembesaran ini dapat menimbulkan gejala
menelan.Infeksi tonsil yang ini adalah peradangan di tenggorokan terutama dengan
tonsil yang abses (absesperitonsiler). Abses besar yang terbentuk dibelakang tonsil
menimbulkan rasa sakit yang intens dan demam tinggi (39C-40C). Abses secara
perlahan-lahan mendorong tonsil menyeberang ke tengah tenggorokan. Dimulai

14
dengan sakit tenggorokan ringan sehingga menjadi parah, pasien hanya mengeluh
merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti makan.

Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan,panas,bengkak,dan kelenjar getah


bening melemah didalam daerah submandibuler, sakit pada sendi dan otot,kedinginan,
seluruh tubuh sakit,sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga.Sekresi yang berlebih
membuat pasien mengeluh sukar menelan,belakang tenggorokan akan terasa
mengental.Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72
jam.

3.3.5 Manifestasi Klinis

Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut
yang berulang-ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan
(odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan
bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.Pada pemeriksaan, terdapat dua
macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronik yang mungkin tampak, yakni Tampak
pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte
yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju. Mungkin juga
dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di dalam
tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutupi eksudat yang
purulen.

3.3.6 Diagnosa

Diagnosis tonsilitis dilakukan oleh dokter dengan menggunakan anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Setiap gejala yang ditemukan diberi skor masing-masing 1,
sehingga apabila ditemukan lebih dari 1 gejala seperti batuk, demam>38 0C,
pembengkakan tonsil, nyeri tekan pada kelenjar getah bening di leher, dan kesulitan

15
menelan, maka skor dijumlahkan sesuai dengan gejala yang ditemukan. Durasi
tonsilitis juga diperhitungkan, apabila tonsilitis berlangsung kurang dari 2 minggu
maka diberi skor 1 dan apabila berlangsung selama lebih dari 4 minggu atau menetap
diberi skor 2. Total skor gejala merupakan penjumlahan dari banyaknya tanda atau
gejala tersebut.

Diagnosis yang dilakukan oleh dokter saat ini masih dilakukan dengan cara
langsung mengecek pada rongga mulut pasiennya, padahal saat menderita tonsilitis
pasien akan merasa sangat kesakitan apabila diminta untuk membuka rongga mulut,
terlebih lagi dengan waktu yang cukup lama. Proses diagnosis dilakukan secara visual
dan hasil yang subjektif tergantung dari keahlian dokter. Untuk itu diperlukan suatu
sistem yang dapat membantu dan mempermudah dokter dalam mendiagnosis dan
menjelaskan pada pasien mengenai penyakit tonsilitis ini. Tonsilitis dapat dideteksi
dengan mengetahui karakteristik yang terlihat pada tonsil, karakteristik yang paling
mudah dapat dilihat adalah terjadinya perubahan warna (kemerahan) pada daerah
tonsil dan sekitarnya serta luas pembengkakan pada tonsil.

3.3.7 Tatalaksana

Tatalaksana tonsilitis dapat berupa tatalaksana non-operatif (medikamentosa dan


non-medikamentosa) dan operatif. Tata laksana umum tonsilitis menganjurkan setiap
pasien untuk istirahat dan minum yang cukup. Tatalaksana medikamentosa meliputi
pemberian analgetik dan antibiotik. Antibiotika golongan penisilin masih merupakan
terapi pilihan untuk kasus tonsilitis. Tatalaksana operatif berupa tonsilektomi dan atau
adenoidektomi.
Medikamentosa

 Analgetika
Dewasa: Ibuprofen atau paracetamol merupakan pilihan utama untuk analgetika
pada dewasa. (level bukti II, derajat rekomendasi B). Ibuprofen mempunyai
hasil yang lebih baik untuk mengurangi nyeri tenggorok daripada paracetamol.
(level bukti II, derajat rekomendasi B) Kombinasi keduanya tidak memberikan
hasil yang signifikan pada pasien dewasa.
Anak: Paracetamol merupakan pilihan utama sebagai analgetika pada anak.
Ibuprofen merupakan terapi alternatif dan tidak diberikan secara rutin pada anak
dengan risiko dehidrasi.

 Obat kumur antiseptik


Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau benzydamine memberikan
hasil yang baik dalam mengurangi keluhan nyeri tenggorok dan memperbaiki
16
gejala. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Berdasarkan review sistematik 7
RCT yang mengevaluasi penggunaan oral rinses, mouthwases dan sprays pada
pasien dewasa setelah menjalani tonsilektomi, tidak terdapat bukti yang cukup
untuk menunjukkan efektivitas oral rinses, mouthwases dan sprays.

 Antibiotik:

 Amoksisilin peroral 50 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum1 g), atau 25


mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg), selama 10 hari.
 Klindamisin peroral 7mg/kgbb, 3 kali sehari (dosis maksimum 300 mg)
selama 10 hari.
 Azitromisin peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 500 mg)
selama 5 hari. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Azitromisin dosis total
60 mg/kgbb lebih efektif dibandingkan antibiotik lain selama 10 hari,
sedangkan azitromsin dosis total 30 mg/kgbb kurang efektif pada anak-
anak.
 Klaritromisin peroral 7,5 mg/kgbb 2 kali sehari (dosis maksimum 250 mg)
selama 10 hari.
 Eritromisin etilsuksinat (EES) 40 mg/kgbb/hari, 2-4 kali (4x400 mg pada
dewasa) selama 10 hari.
 Penisilin V dapat diberikan selama 10 hari. Dosis anak ialah 250 mg per
oral, 2-3 kali sehari. Dosis dewasa ialah 4x250 mg perhari, atau 2x500 mg
perhari.

Istilah tonsilitis kronik pada beberapa literatur sudah tidak digunakan lagi.
Tonsilitis kronik ini lebih mengarah pada tonsilitis akut rekuren. Di Indonesia, istilah
tonsilitis kronik masih digunakan. Terapi tonsilitis kronik terdiri atas terapi konservatif
dan terapi operatif. Terapi konservatif dilakukan dengan pemberian obat-obatan
simptomatik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. Terapi operatif
melibatkan tindakan tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi.

a. Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah yang


mengangkat keseluruhan jaringan tonsil palatina, termasuk kapsulnya dengan
melakukan diseksi ruang peritonsiler di antara kapsula tonsil dan dinding
muskuler tonsil. Tindakan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi.
Adenoidektomi juga dilakukan bersama tonsilektomi terutama apabila terdapat
gangguan bernafas saat tidur. Tindakan tonsilektomi merupakan prosedur bedah
17
tersering pada anak-anak di USA. Insiden tonsilektomi meningkat pada usia 4
tahun dan pada usia 16-17 tahun, baik pada anak laki-laki maupun perempuan.
Insiden tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi juga meningkat di Minnesota dari
tahun 1970 hingga 2005 dimana terdapat pergeseran indikasi dari infeksi ke
obstruksi jalan napas atas.

a) Indikasi absolut

 Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran napas misal


pada OSAS, disfagia berat yang disebabkan obstruksi, gangguan
tidur, komplikasi kardiopulmoner, gangguan pertumbuhan
dentofasial, gangguan bicara (hiponasal).
 Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase.
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentuka patologi
anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

b) Indikasi relative

 Mengalami tonsilitis >3x dalam setahun


 Bau mulut/nafas yang menetap dan tidak membaik dengan
pengobatan
 Tonsilitis kronis yang tidak membaik dengan antibiotik
 Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral)

b. Adenoidektomi

Adenoidektomi dilakukan hanya bila ditemukan pembesaran adenoid. Apabila


terdapat OSAS walaupun tanpa hipertrofi adenotonsiler, tonsilektomi tetap
dianjurkan. Adenoidektomi adalah tindakan pengangkatan adenoid, dapat
dilaksanakan dengan atau tanpa tonsilektomi. Adeniodektomi bersamaan
tosilektomi dilakukan pada usia ≤7 tahun tanpa melihat ukuran adenoid. Namun
ketika usia lebih dari tujuh tahun, adenoidektomi dilakukan atas indikasi
hipertrofi adenoid. Indikasi dilakukan adenoidektomi antara lain hipertrofi
adenoid, adenoiditis yang menyebabkan otitis media rekuren, sinusitis akut
rekuren, dan sinusitis kronik pada anak, dan OSAS.

3.3.8 Kontraindikasi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila


sebelumnya dapat diatasi,operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
dengan imbang antara “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:

18
• Gangguan perdarahan.

• Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.

• Anemia.

• Infeksi akut yang berat.

• Palatoskizis.

3.3.9 Komplikasi

 Abses Peritonsilar (Quinsy)


Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.Sumber infeksi berasal dari
penjalaran tonsillitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi.
 Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh
darah.Infeksi berasal daridaerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe
faringeal, os mastoid dan os petrosus.
 Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring.Biasanya terjadi pada anak usia 3
bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
 Obstructive Sleep Apnea
Biasanya terjadi pada anak-anak, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada
orang dewasa. Hal ini dapat terjadi jika terdapat pembesaran pada tonsil dan adenoid
terutama pada anak-anak

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Gooch JW. Tonsilitis. Encycl Dict Polym. 2011;928–928.


2. Sundariyati IGAH. Tonsilitis Kronis Eksaserbasi Akut. Univ Udayana. 2017;1:1–24.
3. Hidayatulloh HM. Penerapan Terapi Kompres Dingin Terhadap Nyeri Post Operasi
Tonsilektomi di RSUD dr. R. Goenteng Taroenadibrata Purbalingga. 2018;56.
4. Amalia N. No Title. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H Adam Malik
Medan. 2019;
5. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tonsilitis. 2018;
6. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose, Throat, Head and Neck Surgery 7 th Edition. 2018;
7. Probst R. Basic Otorhinolaryngology Second Edition. 2018;
8. Faridah Alatas. PENATALAKSANAAN HOLISTIK DAN KOMPREHENSIF PADA
BATITA DENGAN TONSILITIS KRONIS DAN RIWAYAT KEJANG DEMAM.
Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Lampung,
2019.
9. Dinkes,bulelengkab. Penanganan Kasus Tonsil Faringitis Kronik, 2017.

10. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. PEDOMAN NASIONAL


PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA TONSILITIS. KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
HK.01.07/MENKES/157/2018

20

Anda mungkin juga menyukai