Anda di halaman 1dari 50

A.

A. ISLAM
Islam (bahasa Arab: ‫ٱِإْل ْس اَل م‬, translit. al-’Islām dengarkanⓘ) adalah
sebuah agama (Dīn, bahasa Arab: ‫ )ٖد ين‬monoteisme Abrahamik yang berpusat
terutama di sekitar Al-Qur'an, sebuah teks agama yang diimani oleh
umat Muslim sebagai kitab suci (kitābullāh) dan firman langsung
dari Tuhan (muslim menyebutnya sebagai Allāh) seperti yang diwahyukan
kepada Muhammad, nabi Islam yang utama dan terakhir.[5] Pada 2020, Islam
diperkirakan dianut oleh 1,9 miliar orang di seluruh dunia sehingga menjadi
agama terbesar kedua berdasarkan jumlah populasi setelah Kekristenan.[6]
Muslim percaya bahwa Islam adalah versi lengkap dan universal dari
iman primordial yang diturunkan berkali-kali melalui nabi-nabi sebelumnya
seperti Adam, Ibrahim, Musa, dan Isa (Yesus).[7] Wahyu sebelumnya ini
dikaitkan dengan Yudaisme dan Kristen, yang dianggap dalam Islam sebagai
agama pendahulu spiritual.[8] Mereka juga menganggap Al-Qur'an, ketika
disimpan dalam bahasa Arab Klasik, sebagai wahyu Tuhan yang tidak berubah
dan terakhir bagi umat manusia. Seperti agama Abrahamik lainnya, Islam juga
mengajarkan tentang Penghakiman Terakhir, di mana orang yang saleh akan
dimasukkan ke surga (Jannah) dan orang yang jahat akan dihukum
di neraka (Jahannam).[9] Konsep dan praktik keagamaan termasuk Rukun
Islam —dianggap sebagai ibadah wajib— dan mengikuti hukum Islam
(syarīʿah), yang menyentuh hampir setiap aspek kehidupan, dari perbankan
dan keuangan dan kesejahteraan hingga peran perempuan dan lingkungan.
Kota Makkah, Madinah, dan Yerusalem adalah rumah bagi tiga situs paling
suci dalam Islam, dalam urutan menurun: Masjidil Haram, Masjid Nabawi,
dan Masjid Al-Aqsa, masing-masing.[10][11]

1. Terminologi
1) Islam
"Islam" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata benda infinitif
kuadri-literal (maṣdar rubā‘ī). Bentuk kata kerja sempurna aktif
triliteralnya (fi‘l māḍi ṡulaṡī mabnī ma‘lūm) adalah salima (‫سلم‬,
"selamat"). Arti semantik dari bentuk kuadri-literalnya ini adalah
tunduk dan patuh (khadha‘a wa istaslama), berserah diri,
menyerahkan, memasrahkan (sallama), mengikuti (atba‘a),
menunaikan, menyampaikan (addā), atau masuk dalam kedamaian,
keselamatan, atau kemurnian (dakhala fi al-salm au al-silm au al-
salām).[12] Semua istilah yang seakar kata dengan “islām” berhubungan
erat dengan makna keselamatan, kedamaian, dan kemurnian.[13]
Secara istilah, Islam bermakna penyerahan diri; ketundukan dan
kepatuhan terhadap perintah Allah serta pasrah dan menerima dengan
puas terhadap ketentuan dan hukum-hukum-Nya.[14] Pengertian
“berserah diri” dalam Islam kepada Tuhan bukanlah sebutan untuk
paham fatalisme, melainkan sebagai kebalikan dari rasa berat hati
dalam mengikuti ajaran agama dan lebih suka memilih jalan mudah
dalam hidup.[13] Seorang muslim mengikuti perintah Allah tanpa
menentang atau mempertanyakannya, tetapi disertai usaha untuk
memahami hikmahnya.[13]
Istilah "Islam" juga dapat diartikan sebagai agama yang diberikan
oleh Allah kepada Muhammad sebagai jalan keselamatan di dunia dan
akhirat yang ajarannya dilandasi oleh tauhid dan diterapkan dalam
seluruh aspek kehidupan manusia.[15]

2) Iman, Islam, Ihsan


Istilah islam juga merujuk kepada aspek hukum dan yurisprudensi
di dalam ajaran agama Islam, bersama iman untuk aspek teologi
dan ihsan untuk aspek moral.[18] Istilah rukun islam (‫" أرك ان اإلسالم‬pilar-
pilar islam") dan rukun iman mengambil dari pengertian ini.
Selanjutnya mengenai klasifikasi ini lihat bagian § Konsep ketakwaan.

3) Muslim
Muslim adalah orang yang memeluk ajaran Islam dengan cara
menyatakan kesaksiannya tentang keesaan Allah dan kenabian
Muhammad. Bentuk jamaknya adalah muslimin, muslimun, atau umat
Islam.

2. Konsep Ketuhanan
Konsep dasar mengenai ketuhanan di dalam Islam dijelaskan dalam
satu surah bernama Surah Al-Ikhlas yang hanya terdiri dari empat ayat.
Ayat pertama dari surah ini menyebutkan bahwa Tuhan yang Maha Esa
bernama Allah. Ayat kedua menjelaskan tentang kemampuan yang
dimiliki-Nya sebagai Tuhan, yaitu sebagai tempat meminta segala sesuatu.
Kemudian, pada ayat ketiga disebutkan sifat-Nya ialah tidak beranak dan
tidak diperanakkan. Ayat keempat juga menyebutkan sifat-Nya yaitu tidak
ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya.
Dalam ajaran Islam. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak
disembah, memiliki nama-nama terbaik, dan memiliki sifat dan karakter
tertinggi. Ajaran monoteisme Islam disebut tauhid, yang didefinisikan
sebagai pengesaan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan Tuhan
dan yang Dia wajibkan. Pengesaan Allah dalam hal-hal kekhususan Tuhan
dibagi menjadi dua bahasan: tauhid rububiyah dan tauhid asma' wash-
shifat, sedangkan pengesaan Allah dalam hal-hal yang Dia wajibkan
dibahas dalam tauhid uluhiyah.

1) Tauhid Monoteisme
Dalam tauhid rububiyah, Allah diakui sebagai satu-
satunya Rabb (Yang Menguasai), sehingga semua selain Allah
adalah ‘abd (hamba/budak/yang dikuasai).[24] Allah adalah Rabb Yang
Berkuasa dalam penciptaan, pengurusan, dan kerajaan alam semesta.
[25]
Allah sebagai satu-satunya Pencipta adalah juga Yang Memberi
rezeki, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan, serta Yang Memberi
manfaat dan bahaya.[26] Allah yang mengurus segala sesuatu; semua
urusan yang Dia tangani adalah kebaikan; dan Allah Mahakuasa
terhadap apa yang Dia kehendaki.[26] Dalilnya adalah ayat dalam Al-
Qur'an, “Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya.
Allah juga diakui memiliki kesempurnaan nama dan atribut (atribut
esensial dan atribut aksidental) selain mencipta, mengurus, dan merajai
alam semesta; hal ini dibahas dalam tauhid asma wa sifat (keesaan
nama dan sifat).[23] Nama dan sifat Allah diketahui melalui dan
ditetapkan dengan Al-Qur'an dan Sunnah pada makna tersuratnya dan
tidak bisa ditetapkan oleh akal semata.[27] Namun, nama dan sifat Allah
tidak terbatas; selain dari yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan
Sunnah dirahasiakan dalam ilmu gaib-Nya.[28]
Dalam tauhid uluhiyah, Allah diakui sebagai Tuhan Yang Maha
Esa dalam segala bentuk peribadahan dari seluruh makhluk-Nya.
[23]
Pengakuan Allah sebagai satu-satunya Rabb berkonsekuensi
penyembahan makhluk kepada Rabb-nya semata.[29] Ibadah atau
penghambaan diri kepada Allah merupakan perbuatan makhluk untuk
merendahkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan perintah-perintah-
Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya seumur hidup.[30] Ibadah
tidak boleh ditujukan sedikit pun kepada selain Allah.[31] Beribadah
kepada selain Allah, meskipun juga menyembah Allah, adalah dosa
yang paling besar dalam Islam yang disebut dengan syirik
(mempersekutukan Allah).

2) Dzikir dan Doa


Zikir dan doa adalah dua macam ibadah kepada Allah yang secara
umum tidak memiliki batasan waktu dan tempat.[33] Zikir secara bahasa
artinya mengingat atau menyebut. Secara istilah, zikir mencakup
ibadah memuji Allah, mengingat nama-nama-Nya, nikmat-Nya,
keputusan dan takdir-Nya, ajaran agama-Nya, serta janji
balasan pahala dan ancaman siksa-Nya.[34] Ibadah zikir mencakup zikir
hati dan zikir lisan.[35] Zikir bertujuan untuk mewujudkan
kesempurnaan peribadahan kepada Allah.[36] Membaca Al-Qur'an juga
termasuk zikir.[37]
Doa secara bahasa artinya memanggil atau meminta. Secara istilah,
doa mencakup panggilan pujian dan permintaan kepada Allah.
[38]
Setiap muslim diperbolehkan untuk berdoa meminta kebaikan atau
berlindung dari keburukan.[39] Allah memerintahkan untuk berdoa
kepada-Nya dengan doa-doa yang terdapat di Al-Qur'an dan Sunnah.
[40]
Doa yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an dan Sunnah
diperbolehkan selain doa yang melampaui batas, seperti meminta agar
mengetahui segala sesuatu atau mengetahui hal gaib karena itu
merupakan kekhususan Allah.[40]

3. Konsep Ketakwaan
Inti dari ajaran Islam sekaligus sebab berbagai kebaikan
adalah takwa kepada Allah. Takwa adalah perbuatan menjalankan perintah
Allah dan meninggalkan larangan-Nya yang dilandasi oleh rasa takut,
harap, dan cinta kepada Allah. Seorang muslim menyembah Allah juga
dalam rangka berharap masuk surga dan terhindar dari neraka.

1) Aqidah : Kepercayaan
Ajaran pokok dalam Islam adalah hal-hal yang menyangkut
kepercayaan atau keyakinan hati terhadap Allah, para malaikat-Nya,
kitab suci yang diturunkan-Nya, para utusan-Nya, dan peristiwa di
kehidupan setelah kematian.
Muslim juga mempercayai Rukun Iman yang terdiri atas 6 perkara,
yaitu:
1. iman kepada Allah,
2. iman kepada malaikat Allah,
3. imankepada kitab Allah (Al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur dan suhuf),
4. iman kepada nabi dan rasul Allah,
5. iman kepada hari kiamat,
6. sertiman kepada qada' dan qadar.

2) Fiqih : Ibadah dan Muamalah


Aspek hukum dalam Islam meliputi berbagai amal perbuatan yang
diperintahkan, dilarang, dan dibolehkan.[46] Amal-amal perbuatan
tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori dasar menurut arah
hubungannya.
a) Ibadah
Ibadah adalah amal perbuatan manusia berhubungan dengan
Allah. Ibadah ada yang murni ibadah,[a] seperti Salat dan puasa; ada
yang ibadah sosial,[b] seperti Zakat dan Haji. Keempat amal ini
disebut sebagai "Rukun Islam" setelah syahadat.
b) Muamalah
Muamalah adalah perbuatan manusia berhubungan dengan
manusia lain. Hukum yang mengatur masalah muamalah dibagi
lagi menjadi empat sub-bagian:
 hukum-hukum dakwah Islam dan mempertahankannya.
Hukum-hukum ini adalah yang dimaksud dengan Jihad. Jihad
dapat berupa upaya bersenjata dan upaya tidak bersenjata.
 hukum-hukum keluarga untuk melindungi dan membina
keluarga. Di dalamnya termasuk hukum pernikahan,
perceraian, dan warisan.
 hukum-hukum perdagangan yang mengatur transaksi bisnis,
kontrak sewa-pinjam, dan lain-lain.
 hukum-hukum pidana yang mengatur tindakan kriminal dalam
masyarakat.[48]

3) Adab dan Akhlak


Bukan hanya ajaran kepercayaan dan hukum, ajaran Islam juga ada
yang berkaitan dengan perbuatan hati dan jiwa, nilai-nilai moral, dan
aturan perilaku. Islam mengajari agar semua muslim menghiasi diri
lahir dan batin dengan mengembangkan sifat-sifat mulia yang tercakup
dalam bidang ilmu tasawuf, adab, dan akhlak mulia .
a) Adab-adab dalam Islam
 adab kepada Allah, termasuk adab dalam niat
 adab kepada Al-Qur'an
 adab kepada Muhammad sebagai utusan Allah
 adab kepada diri sendiri: taubat, muroqobah, muhasabah, dan
mujahadah
 adab kepada semua makhluk
 berbakti kepada orang tua
 menyambung hubungan kekerabatan (silaturahim)
 berbuat baik kepada tetangga
 berbuat baik kepada anak yatim, fakir miskin, dan anak jalanan
 tidak mencela, berburuk sangka, memata-matai, maupun
menyebarkan keburukan orang lain (gosip)
 adab persaudaraan, cinta, dan benci karena Allah
 adab majelis
 adab makan dan minum
 adab bertamu
 adab bepergian
 adab berpakaian
 adab tidur

b) Akhlak terpuji dalam Islam


 sabar menghadapi cobaan
 bertawakal kepada Allah dan tidak hanya mengandalkan diri sendiri
 mendahulukan orang lain dan mencintai kebaikan
 adil dan berimbang
 kasih sayang
 malu
 melakukan yang terbaik
 jujur
 dermawan
 rendah diri, tidak sombong

c) Akhlak tercela dalam Islam


 lalim
 dengki
 menipu
 riya'
 bangga diri dan tertipu oleh dunia
 lemah dan malas

Namun demikian, meskipun telah menjadi ilmu tersendiri, dalam


tataran pengalaman kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan
secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan. Tidak terlalu
mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam,
atau sebaliknya.[52] Misalnya orang yang sedang shalat, dia harus
megesakan Allah disertai keyakinan bahwa hanya Dia yang wajib
disembah (Iman), harus memenuhi syarat dan rukun shalat (Islam),
dan shalat harus dilakukan dengan khusyuk dan penuh penghayatan
(Ihsan).[52]

4. Nabi Islam Muhammad


Sejarah dan keyakinan muslim menggambarkan Muhammad sebagai
seorang manusia dan nabi yang memiliki jasa yang besar.[53] Biografi
mengenai kehidupan awalnya tidak banyak diketahui; yang lebih banyak
adalah catatan riwayat tentang kehidupannya setelah menjadi nabi dan
rasul pada usia empat puluh tahun pada tahun 610.[53] Al-Qur'an menjadi
sumber informasi utama mengenai kehidupan Muhammad.[54] Di samping
itu, hadis dan sirah nabawi (sejarah kehidupan kenabian) lebih jauh
menggambarkan kedudukan dan perannya pada masa awal Islam.
[55]
Muhammad berperan sebagai penerima wahyu dari Allah dan sekaligus
sebagai panutan agar semua muslim berusaha menirunya
1) Sebelum Mendakwah Islam
Muhammad bin Abdullah (putra Abdullah) lahir pada tahun 570 M
di Makkah (sekarang masuk Arab Saudi).[56][c] Ayahnya yang
merupakan seorang pedagang meninggal sebelum kelahirannya.
Ibunya, Aminah, meninggal saat Muhammad masih berusia enam
tahun.[58] Di permulaan masa mudanya, Muhammad tidak memiliki
pekerjaan tetap di Makkah yang merupakan kota perdagangan yang
sedang berkembang; banyak yang menyebutkannya bekerja sebagai
penggembala kambing.[59] Pada usia 25 tahun Muhammad
dipekerjakan oleh seorang janda kaya, Khadijah binti Khuwailid, untuk
mengawasi angkutan dagangnya ke wilayah Syam (sekarang
mencakup Yordania, Lebanon, Suriah, dan Palestina).
Muhammad membuat Khadijah terkesan atas hasil pekerjaannya yang
mendatangkan keuntungan yang belum pernah ia dapatkan sebanyak
itu–selain juga keterangan pembantu Khadijah yang menyertai
perjalanan dagang itu tentang perilaku Muhammad–sampai Khadijah
menawarkan diri kepada Muhammad untuk menikah.[61] Saat
menikah, Khadijah disebutkan telah berusia empat puluh tahun, tetapi
pernikahan itu membuahkan dua anak laki-laki (Al-Qasim dan
Abdullah, meninggal saat kanak-kanak) dan empat anak perempuan
(Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah).[62] Fatimah, putri
bungsu Muhammad, adalah yang paling dikenal, yang menikahi
sepupu Muhammad, Ali bin Abi Thalib, khalifah (“penerus”; penerus
Muhammad sebagai pemimpin) keempat menurut Islam sunni dan
imam sah pertama menurut Syiah.
Makkah merupakan pusat kemakmuran perdagangan.[55] Namun,
masyarakatnya merupakan masyarakat kesukuan yang mudah bertikai.
[63]
Beberapa peristiwa yang menunjukkan hal tersebut, yang juga
melibatkan Muhammad, adalah Pertempuran Fujjar, Hilful Fudul, serta
renovasi Ka'bah dan pemindahan Hajar Aswad.[64] Peristiwa-peristiwa
tersebut dan kondisi sosiologis lainnya ikut mempengaruhi
Muhammad, yang menjadi seorang pribadi yang sukses di tengah
masyarakat Makkah.[55]
Dia dihormati atas sifatnya yang bisa dipercaya dan keputusan-
keputusannya terhadap persengketaan; dia dikenal dengan gelarnya al-
Amīn, “yang dapat dipercaya”.[65] Kejujuran itu lengkap dengan
kesukaannya merenung yang akhirnya membuat dia terbiasa
menyendiri di Gua Hira'–yang berjarak hampir dua mil di utara
Makkah–saat usianya mendekati empat puluh tahun.
Di sini, dalam waktu yang lama mengasingkan diri, dia
merenungkan kehidupannya dan penyakit yang menimpa
masyarakatnya.[55] Di sini, di usianya yang keempat puluh pada
bulan Ramadan, pada malam yang disebut Lailatul Qadar, “malam
kemuliaan”, Muhammad menerima wahyu pertama dari Allah melalui
perantara Malaikat Jibril.[67] Wahyu yang turun adalah lima ayat
permulaan Surat al-'Alaq.

Hadis dari Aisyah, istri kedua Muhammad di kemudian hari,


menceritakan betapa Muhammad ketakutan saat ditemui malaikat Jibril,
yang sosoknya tidak pernah dia lihat sebelumnya.[71] Dia juga tidak begitu
yakin dengan apa yang baru saja terjadi; apakah dia tidak waras atau
kerasukan jin.[69] Khadijah menenangkannya dan meyakinkannya bahwa
dia tidaklah gila maupun kerasukan jin.[72] Khadijah segera mengajak
suaminya itu menemui salah seorang sepupunya yang
menganut Kristen, Waraqah bin Naufal,[e] dan Muhammad menceritakan
kejadian yang baru saja menimpanya.[72] Mendengar itu, Waraqah
mengatakan, Itu adalah makhluk kepercayaan Allah[f] (Jibril) yang telah
Allah utus kepada Nabi Musa! Andai saja aku masih bugar dan muda
ketika itu! Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu!
... tidak seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa ini
melainkan akan dimusuhi, dan jika aku masih hidup pada saat itu niscaya
aku akan membelamu dengan segenap jiwa ragaku.[73]

2) Dakwah di Makkah
Bukanlah hal yang mudah mendakwahkan pesan mengenai Tuhan
Yang Maha Esa di Kota Makkah karena kota ini adalah pusat agama.
[74]
Muhammad mengawali dakwahnya secara sembunyi-sembunyi
selama tiga tahun untuk menghindari hal yang akan memancing
kemarahan penduduk Kota Makkah.[75] Di antara yang pertama
menerima ajakannya adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu dan
menantunya yang saat itu masih kanak-kanak, dan Abu Bakar,
mertuanya di kemudian hari dan khalifah pertama.[76] Setelah itu, dia
secara bertahap berdakwah secara terang-terangan mulai dari keluarga
terdekat dari Bani Hasyim sampai akhirnya kepada penduduk Makkah
secara umum.[77]
Meskipun ada sejumlah orang yang masuk Islam menerima
dakwahnya, perlawanan yang dia terima selama dakwahnya sangat
hebat.[78] Bagi masyarakat oligarki Makkah yang makmur dan kuat,
pesan mengenai keesaan Tuhan, beserta penentangan terhadap gaya
hidup Makkah yang tidak merata secara sosioekonomis, telah
memunculkan penolakan langsung tidak hanya terhadap
agama tradisi yang politeistik, tetapi juga terhadap kekuasaan dan hak
istimewa yang telah mereka nikmati, serta mengancam kepentingan
politik, sosial, dan ekonomi mereka.[78] Muhammad mencela transaksi-
transaksi tidak benar, riba, serta pengabaian dan eksploitasi
terhadap janda dan anak yatim.[78] Dia membela hak-hak orang-orang
miskin dan orang-orang tertindas, menekankan bahwa orang-orang
kaya memiliki kewajiban atas orang-orang miskin.[78] Sebagai bentuk
komitmen atas kewajiban itu, ditetapkanlah zakat atas harta dan
produk pertanian dan perkebunan.[78] Persis
seperti Amos dan Yeremia sebelum dia, Muhammad merupakan
seorang “pemberi peringatan” dari Tuhan untuk menegur para
pendengarnya untuk bertobat dan bertakwa kepada-Nya, karena hari
penghakiman sudah dekat:
Awalnya, penduduk Makkah hanya berusaha agar orang-orang dari
luar Makkah tidak mendengar dakwah itu dan melakukan perlawanan
verbal dengan argumentasi dan celaan.[79] Kematian paman dan
pelindungnya, Abu Thalib, dan Khadijah pada tahun 619 menambah
kesedihannya.[80] Perlawanan meningkat menjadi tindakan-
[81]
tindakan persekusi sampai pemboikotan massal. Karena kondisi di
Makkah memburuk, Muhammad mengizinkan para pengikutnya
untuk hijrah ke luar Makkah, seperti Habasyah (Etiopia) yang
merupakan wilayah Kristen, untuk mendapat keamanan.[80]

3) Dakwah di Madinah
Di Madinah, Muhammad memiliki kesempatan sangat luas untuk
mewujudkan pemerintahan dan menyebarluaskan dakwah atas perintah
Allah, berkat posisinya sekarang sebagai nabi dan pemimpin
masyarakat dari Negara-kota Madinah.[80]

5. Sumber Hukum dan Ajaran Islam


Fikih (hukum) adalah kajian keilmuan primer dalam Islam.[82] Jika
dalam kekristenan teologi adalah kajian primernya, dalam Islam, seperti
halnya dalam Yudaisme, hukum lebih menjadi titik berat
karena islam berarti tunduk kepada hukum Allah.[83] Meskipun demikian,
penekanan pada ajaran hukum yang bersifat praktis tidaklah
mengesampingkan ajaran kepercayaan.[83] Kepercayaan (iman) dan praktek
yang benar (amal shalih) saling berkaitan.[83]
Dalam masa pembentukannya, yaitu selama masa kenabian, ajaran-ajaran
dan hukum-hukum Islam diambil dari dua wahyu sebagai sumber primer:
Al-Qur'an dan sunnah.
Al-Qur'an berlaku sebagai sumber pokok dan cetak biru untuk
kehidupan Islami, sedangkan kehidupan sehari-hari Nabi (sunnah) berlaku
untuk menerangkan prinsip-prinsip dalam cetak biru tersebut serta untuk
menunjukkan cara mengaplikasikannya.[85] Pada masa sahabat ketika
mereka bersentuhan dengan sistem pemerintahan, budaya, dan pola
perilaku masyarakat yang baru yang belum pernah disinggung semasa
kenabian, para khalifah dan sahabat lain harus menggunakan proses
pengambilan keputusan berdasarkan ijmak (“konsensus”) dan ijtihad.
Dalam tahap perkembangannya pada masa Kekhalifahan Abbasiyah,
madzhab fikih bermunculan.

1) Al-Qur’an
Al-Qur'an adalah pokok dari semua argumentasi dan dalil.[45] Al-
Qur'an adalah dalil yang membuktikan kebenaran risalah Muhammad,
dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu ajaran. Al-Qur'an
juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan pesan-pesan
kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan dalam Al-
Qur'an agar kaum Muslim senantiasa mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya
Mengembalikan persoalan kepada Allah, berarti
[45]
mengembalikannya kepada Al-Qur'an. Sedangkan mengembalikan
persoalan kepada Rasul berarti mengembalikannya kepada
hadits/sunnah Rasul.
Meskipun Al-Qur'an menyatakan diri, “Inilah (Al-Qur'an) suatu
keterangan yang jelas untuk semua manusia, dan menjadi petunjuk
serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa,”[Ali Imran:138] yang
disebutkan di dalamnya bukanlah aturan hukum yang komprehensif.
[89]
Bagian demi bagian Al-Qur'an diturunkan secara berkelanjutan
selama rentang waktu 22 tahun lebih untuk memecahkan persoalan
yang dihadapi oleh Muhammad dan para sahabatnya.
2) Hadis/Sunah
Prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam Al-Qur'an dibakukan dan
diejawantahkan oleh sunnah Muhammad, perilaku normatif
Muhammad yang berfungsi sebagai contoh dan teladan.[91] Karena
sama-sama merupakan wahyu meskipun dalam wujud yang berbeda
dari Al-Qur'an, sunnah juga menjadi sumber hukum; yang
kebanyakannya merupakan jawaban dari pertanyaan para sahabat atau
penjelasan atas peristiwa yang tengah terjadi.[92]
Kedudukan penting sunnah ini telah Al-Qur'an nyatakan dengan
bentuk kalimat perintah, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), ... jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya),”[An-
Nisa’:59]
maupun dengan bentuk kalimat berita, “Sungguh, telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan
yang banyak mengingat Allah.”
3) Ijmak
Ijmak (‫[)إجم اع‬95] adalah kesepakatan para ulama muslim dalam
menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Al-
Qur'an dan Hadis dalam suatu perkara yang terjadi.[96][97]

4) Kias
Kias atau Qiyas (‫ )قياس‬adalah penetapan suatu hukum dan perkara baru
yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan
dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara
terdahulu sehingga dihukumi sama. Kias termasuk bagian dalam fiqh.

6. Sejarah
1) Masa Pra Islam
Jazirah Arab sebelum kedatangan agama Islam merupakan sebuah
kawasan perlintasan perdagangan dalam Jalur Sutra yang
menghubungkan antara Indo Eropa dengan kawasan Asia di timur.
Kebanyakan orang Arab adalah penyembah berhala dan ada sebagian
yang merupakan pengikut agamaagama Kristen dan Yahudi.
Makkah adalah tempat yang suci bagi bangsa Arab ketika
itu, karena di sana terdapat berhala-berhala agama mereka,
telaga Zamzam, dan yang terpenting adalah Ka'bah. Masyarakat ini
disebut pula jahiliyah, artinya bodoh, bukan dalam hal intelegensia
namun dalam pemikiran moral.[106] Warga Quraisy adalah
masyarakat yang suka berpuisi, dan menjadikan puisi sebagai salah
satu hiburan di saat berkumpul di tempat-tempat ramai.
2) 609-632 Masa Kenabian
Islam bermula pada tahun 609 ketika wahyu pertama diturunkan
kepada Muhammad di Gua Hira', 2 mil dari Makkah.
Muhammad dilahirkan di Makkah pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun
Gajah (571). Ketika Muhammad berusia 40 tahun, ia mulai
mendapatkan wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril, dan
sesudahnya selama beberapa waktu mulai mengajarkan ajaran Islam
secara tertutup kepada para sahabatnya. Setelah tiga tahun
menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi, ia akhirnya
menyampaikan ajaran Islam secara terbuka kepada seluruh penduduk
Makkah, yang mana sebagian menerima dan sebagian lainnya
menentangnya.
Pada tahun 622, Muhammad dan pengikutnya berpindah
ke Madinah. Peristiwa ini disebut hijrah dan menjadi dasar acuan
permulaan perhitungan kalender Islam, yaitu Kalender Hijriah. Di
Madinah, Muhammad dapat menyatukan orang-orang anshar (kaum
muslimin dari Madinah) dan muhajirin (kaum muslimin dari Makkah),
sehingga umat Islam semakin menguat. Dalam setiap peperangan yang
dilakukan melawan orang-orang kafir, umat Islam selalu mendapatkan
kemenangan. Dalam fase awal ini, tak terhindarkan terjadinya perang
antara Makkah dan Madinah.
Keunggulan diplomasi Muhammad pada saat perjanjian
Hudaibiyah, menyebabkan umat Islam memasuki fase yang sangat
menentukan. Banyak penduduk Makkah yang sebelumnya menjadi
musuh kemudian berbalik memeluk Islam, sehingga ketika penaklukan
kota Makkah oleh umat Islam tidak terjadi pertumpahan darah. Ketika
Muhammad wafat di usia yang ke-61, hampir seluruh Jazirah
Arab telah memeluk Islam.
3) 632-661 : Khalifa Rasyidin
Khalifah Rasyidin atau Khulafaur Rasyidin memilki arti
pemimpin yang diberi petunjuk, diawali dengan kepemimpinan Abu
Bakar, dan dilanjutkan oleh kepemimpinan Umar bin Khattab, Utsman
bin Affan dan Ali bin Abu Thalib.
Pada masa ini umat Islam mencapai kestabilan politik dan
ekonomi.
Abu Bakar memperkuat dasar-dasar kenegaraan umat Islam dan
mengatasi pemberontakan beberapa suku-suku Arab yang terjadi
setelah meninggalnya Muhammad. Umar bin Khattab, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abu Thalib berhasil memimpin militer Arab pada
umumnya untuk memperluas wilayah negara Islam, terutama
ke Syam, Mesir, dan Irak. Dengan takluknya negeri-negeri tersebut,
banyak harta rampasan perang dan wilayah kekuasaan yang dapat
diraih oleh Muslim.
4) 632-Abad ke 20 : Masa kekhalifahan selanjutnya
a) Masa keemasan Islam
Setelah periode Khalifah Rasyidin, kepemimpinan umat
Islam berganti dari tangan ke tangan dengan pemimpinnya yang
juga disebut "khalifah", atau kadang-kadang disebut "amirul
mukminin", "sultan", dan sebagainya.
Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan
orang yang terbaik di kalangan umat Islam, melainkan secara
turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga
banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya
kekhalifahan Bani Umayyah , Bani Abbasiyyah hingga Bani
Utsmaniyyah yang kesemuanya diwariskan berdasarkan keturunan.
Besarnya kekuasaan kekhalifahan Islam telah menjadikannya salah
satu kekuatan politik yang terkuat dan terbesar di dunia pada saat
itu.
Timbulnya tempat-tempat pembelajaran ilmu-ilmu agama,
filsafat, sains, dan tata bahasa Arab di berbagai wilayah dunia
Islam telah mewujudkan satu kontinuitas kebudayaan Islam yang
agung.
Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan bermunculan dari
berbagai negeri-negeri Islam, terutamanya pada zaman keemasan
Islam sekitar abad ke-7 sampai abad ke-13 masehi.
b) Islam Era Modern
Luasnya wilayah penyebaran agama Islam dan terpecahnya
kekuasaan kekhalifahan yang sudah dimulai sejak abad ke-8,
menyebabkan munculnya berbagai otoritas-otoritas kekuasaan
terpisah yang berbentuk "kesultanan"; misalnya Kesultanan
Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan
Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi
kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan
terkenal di dunia.
Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-
kesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan
menganggap diri mereka bagian dari kekhalifahan Islam. Pada
kurun ke-18 dan ke-19 masehi, banyak kawasan-kawasan Islam
jatuh ke tangan penjajah Eropa.
Kesultanan Utsmaniyyah (Kerajaan Ottoman) yang secara
nominal dianggap sebagai kekhalifahan Islam terakhir, akhirnya
tumbang selepas Perang Dunia I. Kerajaan ottoman pada saat itu
dipimpin oleh Sultan Muhammad V. Karena dianggap kurang
tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh Mustafa
Kemal Pasya atau Kemal Atatürk, sistem kerajaan dirombak dan
diganti menjadi republik.

7. Masyarakat dan Budaya Islam


a) Demografi dan Denominasi
Sebuah data penelitian tahun 2015 memperkirakan 1.752.620.000 jiwa
(24,1%) dari populasi dunia adalah muslim dengan angka
pertumbuhan sejak 2010 adalah 31%. Mayoritas muslim (61%) tinggal
di negara-negara Asia-Pasifik; di Timur Tengah dan Afrika Utara
adalah 20%; di Sub-Sahara adalah 16%, dan 3% di Eropa. Jumlah
muslim diperkirakan akan meningkat 70% pada tahun 2060 menjadi
2.987.390.000 jiwa; adapun Kristen diperkirakan mencapai
3.054.460.000 jiwa pada tahun yang sama.
b) Sunni
Aliran Sunni atau Ahlu Sunnah wal Jamaah, merupakan aliran
yang dianut mayoritas (75-90 %) Muslim di dunia. stilah "Sunni" dapat
diartikan sebagai golongan yang mengikuti Sunnah (tradisi) dari
Muhammad.
Sejumlah mazhab fiqih (hukum Islam) utama dalam aliran Sunni
adalah Syafi'i, Maliki, Hambali dan Hanafi. Akan tetapi, terdapat
pemikiran Salafisme dalam aliran Sunni yang menolak mengikuti
(taqlid) kepada mazhab-mazhab tersebut.
Sufisme Tasawuf dalam aliran Sunni didefinisikan sebagai ajaran
pendalaman batin (asketisme) kepada Allah, semisal dalam
bentuk dzikir.
Terdapat pula pemikiran Wahhabisme yang dicetuskan
oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab sebagai paham ultra-konservatif
yang dengan penekanan kepada "ajaran monoteisme murni" yang
bersih dari segala "ketidakmurnian" seperti praktik-praktik yang
mereka anggap bid'ah, syirik dan khurafat. Wahhabisme menjadi
paham Sunni yang berkembang di Arab Saudi dan Qatar.
Jihadisme Salafi, atau umumnya sering diungkapkan
sebagai "Jihadis" adalah sebuah paham Salafisme yang dikembangkan
menjadi bentuk-bentuk perlawanan yang mereka anggap
sebagai jihad untuk mencapai apa yang mereka sebut sebagai "Sunni
sejati". Mereka kadang-kadang disebut sebagai ragam dari Salafi dan
terkadang dibedakan dari "Salafi yang baik". Beberapa gerakan
pemberontak Muslim kebanyakan berasal dari paham ini.
c) Syiah
Syiah dianut sebagai agama mayoritas di Iran dan Azerbaijan. erbeda
dengan aliran Sunni, aliran ini meyakini bahwa penerus Muhammad
adalah khalifah rasyidin keempat Ali bin Abi Thalib sebagai menantu,
sepupu, dan keturunan langsung Bani Hasyim, keluarga Muhammad;
sementara Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak diakui sebagai khalifah
umat Islam oleh pengikut Syiah, kecuali oleh sebagian kecil golongan.
d) Hari Raya dan Hari Besar
Hari perayaan dalam Islam secara umum dapat dibagi menjadi hari
raya keagamaan dan hari besar lainnya. Hari raya keagamaan Islam
ada dua, yaitu :
 Idul Fitri
 Idul Adha
Sedangkan hari besar Islam lainnya, antara lain yaitu:
 Isra Mikraj
 Maulid Muhammad
 Tahun Baru Hijriyah
e) Tempat Ibadah
Masjid (bentuk tidak baku: mesjid) adalah rumah tempat ibadah
umat Islam. Masjid artinya tempat sujud, sebutan lain yang berkaitan
dengan masjid di Indonesia adalah musala, langgar, atau surau; istilah
tersebut diperuntukkan bagi bangunan menyerupai masjid yang tidak
digunakan untuk salat Jumat, iktikaf, dan umumnya berukuran kecil.
Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat
kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar,
diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al-Qur'an sering
dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut
memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga
kemiliteran.

B. KRISTEN
Kekristenan[note 1]
adalah agama
Abrahamik monoteistik berasaskan riwayat hidup dan ajaran Yesus Kristus,
yang merupakan inti sari agama ini. Agama Kristen adalah agama terbesar di
dunia berdasarkan jumlah populasi,[1][2] dengan lebih dari 2,5 miliar pemeluk,
atau sekitar 2,6 miliar jiwa[3][4][5] atau hampir sepertiga dari populasi dunia,
yang disebut "umat Kristen".[note 2] Umat Kristen percaya bahwa Yesus
adalah Anak Allah dan Juru Selamat umat manusia yang datang
sebagai Mesias sebagaimana yang dinubuatkan dalam Alkitab Perjanjian
Lama.[6]
Teologi Kristen terangkum dalam pengakuan-pengakuan
seperti Pengakuan Para Rasul dan Pengakuan Nikea. Pengakuan-pengakuan
iman ini berisi pernyataan bahwa Yesus telah menderita, kematian
Yesus, dimakamkan, turun ke alam maut, dan bangkit dari maut, untuk
mengaruniakan kehidupan kekal kepada siapa saja yang percaya kepadanya
dan mengandalkannya demi beroleh pengampunan atas dosa-dosa yang telah
mereka perbuat. Pengakuan-pengakuan ini juga menyatakan bahwa Yesus
secara jasmani naik ke surga, tempat ia memerintah bersama Allah
Bapa dalam persekutuan Roh Kudus, dan bahwa ia kelak datang
kembali untuk menghakimi orang-orang hidup dan orang-orang mati, serta
mengaruniakan kehidupan kekal bagi para pengikutnya. Inkarnasi, karya
pelayanan, penyaliban, dan kebangkitannya sering kali disebut "Injil", yang
berarti "kabar baik".[note 3] Injil juga berarti catatan-catatan riwayat hidup dan
ajaran Yesus, empat di antaranya—Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas,
dan Injil Yohanes—dianggap kanonik (sahih) dan dijadikan bagian
dari Alkitab Kristen.

Agama Kristen adalah agama Abrahamik yang bermula sebagai sebuah


sekte dari agama Yahudi era Kenisah kedua pada pertengahan abad pertama
tarikh Masehi.[7][8] Sekte ini berasal dari Yudea, kemudian menyebar dengan
pesat ke Eropa, Syam, Mesopotamia, Anatolia, Transkaukasia, Mesir, Etiopia,
serta India, dan pada akhir abad ke-4 telah menjadi agama resmi Kekaisaran
Romawi.[9][10][11] Sesudah Abad Penjelajahan, agama Kristen menyebar pula
ke Benua Amerika, Australasia, Afrika Sub-Sahara, dan ke segenap penjuru
dunia melalui karya misi dan kolonialisme.[12][13][14] Agama Kristen
telah berperan besar dalam pembentukan Peradaban Dunia Barat.
Sepanjang sejarahnya, agama Kristen telah mengalami skisma dan
sengketa teologi yang memunculkan bermacam-macam gereja
dan denominasi. Tiga cabang agama Kristen yang terbesar di dunia
adalah Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, dan rumpun besar
denominasi Kristen Protestan. Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur
saling memutuskan hubungan persekutuan dalam peristiwa Skisma Timur–
Barat pada 1054, sementara rumpun Kristen Protestan muncul pada
zaman reformasi abad ke-16 sebagai pecahan dari Gereja Katolik.[20]
Etimologi

Umat Kristen perdana yang berkebangsaan Yahudi menyebut diri pengikut-


pengikut jalan (bahasa Yunani: τῆς ὁδοῦ, tês hodoû), mungkin mengacu kepada
nas Yesaya 40:3, "persiapkanlah di padang gurun jalan untuk TUHAN."[21][note
4]
Berdasarkan nas Kisah Para Rasul 11:26, istilah "orang Kristen" (bahasa
Yunani: Χρῑστῐᾱνός, Krīstiānós) berarti "pengikut Kristus", mengacu kepada
murid-murid Yesus, dan pertama kali dipakai di kota Antiokhia oleh warga non-
Yahudi.[27] Istilah "Kekristenan" (bahasa Yunani: Χρῑστῐᾱνισμός, Krīstiānismós)
pertama kali dipakai Ignasius dari Antiokhia di dalam surat-suratnya yang ditulis
sekitar tahun 100 Masehi.[28]
Keyakinan

Ada banyak perbedaan tafsir dan pandangan mengenai Alkitab dan Tradisi
Suci yang merupakan landasan agama Kristen.[29] Perbedaan-perbedaan teologi
yang tak terukunkan, serta kurangnya kata sepakat mengenai pokok-pokok iman
Kristen, menyebabkan umat Kristen Katolik, Ortodoks dan Protestan sering kali
tidak mengakui umat dari denominasi-denominasi Kristen tertentu sebagai sesama
orang Kristen.[30]
Syahadat
Ikhtisar dari maklumat doktrin atau ungkapan keyakinan agama Kristen disebut
syahadat (dari bahasa bahasa Arab: ‫الش هادة‬, asy-syahadah, yang berarti
"kesaksian") atau kredo (dari bahasa Latin credo, yang berarti "aku percaya");
umat Kristen Protestan di Indonesia lazimnya menggunakan istilah "pengakuan
iman" (terjemahan dari istilah khas Protestan dalam bahasa Latin, confessio fidei).
Syahadat-syahadat agama Kristen mula-mula disusun sebagai rumusan ayat-ayat
upacara pembaptisan, yang di kemudian hari dijabarkan lebih luas lagi sewaktu
terjadi sengketa Kristologi pada abad ke-4 dan ke-5, sehingga akhirnya menjadi
rumusan-rumusan ungkapan iman.
Banyak denominasi Protestan Injili menolak syahadat sebagai ungkapan iman
yang definitif, bahkan meskipun mereka setuju dengan sebagian atau seluruh isi
syahadat itu. Denominasi-denominasi Protestan Baptis bersikukuh menjadi kaum
tak bersyahadat, "yakni tidak berusaha menetapkan pengakuan-pengakuan iman
yang bersifat otoritatif dan mengikat sebagai pegangan
bersama."[31]:hlm.111 Golongan lain yang juga menolak syahadat adalah denominasi-
denominasi Protestan yang lahir dari Gerakan Restorasi di Amerika Serikat pada
awal abad ke-19.[32][33]:14–15[34]:123
Syahadat Para Rasul adalah butir-butir ungkapan iman Kristen yang paling
berterima. Syahadat ini digunakan oleh sejumlah denominasi Kristen, baik untuk
keperluan liturgi (peribadatan) maupun untuk keperluan katekese (pengajaran),
sebagaimana yang jelas terlihat di Gereja-Gereja berliturgi dalam tradisi Kristen
Barat, antara lain Gereja Katolik Ritus Latin, gereja-gereja Lutheran, gereja-gereja
Anglikan, dan Gereja Ortodoks Ritus Barat. Syahadat ini juga digunakan
oleh gereja-gereja Presbiterian, gereja-gereja Metodis, dan gereja-gereja
Kongregasional. Inti sari dari Syahadat Para Rasul, yang disusun antara abad ke-2
dan ke-9 ini, adalah ajaran-ajaran mengenai Tritunggal dan Allah Sang
Mahapencipta. Tiap-tiap ajaran dalam syahadat ini dapat ditelusuri asal-usulnya
sampai ke pernyataan-pernyataan yang muncul pada Zaman Apostolik (masa
hidup rasul-rasul Kristus). Syahadat ini tampaknya digunakan sebagai semacam
ringkasan ajaran agama Kristen bagi para calon penerima baptisan di gereja-gereja
Kota Roma.[35]
Pokok-pokok keyakinan dalam Syahadat Para Rasul adalah:
 Percaya akan Allah Bapa, Yesus Kristus sebagai Putra Allah, dan Roh Kudus
 Percaya bahwa Kristus telah meninggal dunia, turun ke alam barzah, bangkit,
dan naik ke surga
 Percaya akan kekudusan Gereja dan persekutuan orang-orang kudus
 Percaya akan kedatangan Kristus kali kedua, hari penghakiman,
dan keselamatan umat beriman.
Syahadat Nikea disusun dengan tujuan utama melawan
paham Arianisme dalam penyelenggaraan Konsili Nikea pada 325 M dan Konsili
Konstantinopel pada 381 M,[36][37] kemudian disahkan menjadi syahadat
Kristen sejagat oleh Konsili Efesus I pada 431 M.[38]
Rumusan Kalsedon atau Syahadat Kalsedon
disusun dalam penyelenggaraan Konsili
Kalsedon pada 451. Syahadat yang ditolak
oleh Gereja Ortodoks Oriental ini[40] mengajarkan
bahwa Kristus "dikenal dalam dua kodrat yang tak
tercampur, tak terubahkan, tak terbagi, dan tak
terpisahkan," satu kodrat ilahi dan satu kodrat
insani, yang masing-masing sempurna adanya,
namun juga sempurna manunggal dalam satu
pribadi.
Syahadat Atanasius, yang diterima di Gereja
Barat sebagai syahadat yang setaraf dengan
Syahadat Nikea dan Syahadat Kalsedon, berisi
kalimat "bahwasanya kami menyembah satu Allah
dalam ketritunggalan, dan ketritunggalan dalam
keesaan; tanpa menyama-nyamakan pribadi
maupun membeda-bedakan hakikat."[42]
Sebagian besar umat Kristen
(Katolik, Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental,
maupun Protestan) menerima pemakaian syahadat,
dan menggunakan sekurang-kurangnya salah satu
dari syahadat-syahadat di atas.[43]
Yesus
Asas utama agama Kristen adalah kepercayaan pada Yesus sebagai Putra
Allah dan Mesias (Kristus). Umat Kristen percaya bahwa Yesus, selaku
Mesias, diurapi oleh Allah menjadi juru selamat umat manusia, dan yakin bahwa
Yesus datang ke dunia sebagai penggenapan nubuat tentang Mesias yang
termaktub dalam Alkitab Perjanjian Lama. Konsep Mesias dalam agama Kristen
pada dasarnya berbeda dari konsep Mesias dalam agama Yahudi. Inti dari
keyakinan Kristen adalah bahwasanya dengan percaya dan menerima kematian
dan kebangkitan Yesus, umat manusia yang berdosa dapat dirukunkan kembali
dengan Allah, dan dengan demikian beroleh tawaran keselamatan dan janji hidup
kekal.[44]
Meskipun ada berbagai macam perbedaan
pandangan teologi mengenai kodrat Yesus pada
abad-abad permulaan sejarah agama Kristen, pada
umumnya umat Kristen percaya bahwa Yesus
adalah penjelmaan Allah dan adalah "Allah sejati
sekaligus manusia sejati" (atau seutuhnya ilahi dan
seutuhnya insani). Karena menjelma menjadi
manusia yang seutuhnya, maka Yesus juga
mengalami sakit derita dan godaan hidup
selayaknya seorang manusia fana, namun
tidak berbuat dosa. Sebagai Allah yang seutuhnya,
Yesus hidup kembali sesudah kematiannya.
Menurut Alkitab Perjanjian Baru,
[45]
Yesus bangkit dari antara orang mati, naik ke
surga, duduk di sebelah kanan Sang Bapa,[46] dan
pada akhirnya akan datang kembali (Kisah Para
Rasul 1:9–11) untuk menggenapi nubuat-nubuat
selebihnya yang berkaitan dengan Mesias,
yakni kebangkitan orang mati, penghakiman
terakhir, dan pendirian Kerajaan Allah.
Menurut Injil Matius dan Injil Lukas, Yesus dikandung berkat kuasa Roh
Kudus, dan dilahirkan oleh Perawan Maria. Hanya sedikit saja kisah masa kanak-
kanak Yesus yang diriwayatkan dalam injil-injil sahih, namun ada pula injil-injil
tentang masa kanak-kanak Yesus yang populer pada Abad Kuno. Sebaliknya
masa dewasa Yesus, teristimewa sepekan menjelang kematiannya, justru
diriwayatkan secara terperinci oleh injil-injil yang terdapat dalam kumpulan kitab
suci Perjanjian Baru, karena masa-masa inilah yang diyakini paling penting.
Riwayat-riwayat Alkitab tentang karya pelayanan Yesus meliputi peristiwa
pembaptisannya, mukjizat-mukjizatnya, khotbah-khotbahnya, ajaran-ajarannya,
serta sikap dan perbuatannya.
Kematian Dan Kebangkitan
Bagi umat Kristen, kebangkitan Yesus adalah batu penjuru iman mereka (1
Korintus 15) dan peristiwa terpenting dalam sejarah.[47] Di antara sekian banyak
keyakinan Kristen, kematian dan kebangkitan Yesus adalah dua peristiwa utama
yang melandasi sebagian besar doktrin dan teologi Kristen.[48] Menurut Alkitab
Perjanjian Baru, Yesus disalibkan, meninggal secara jasmaniah, dimakamkan, dan
bangkit dari antara orang mati tiga hari kemudian (Yohanes 19:30–31, Markus
16:1, Markus 16:6).
Alkitab Perjanjian Baru meriwayatkan beberapa peristiwa penampakan diri Yesus
pascabangkit kepada kedua belas rasul dan murid-muridnya, termasuk peristiwa
penampakan yang disaksikan oleh "lebih dari lima ratus orang saudara sekaligus"
(1 Korintus 15:6), sebelum kenaikan Yesus ke surga. Kematian dan kebangkitan
Yesus diperingati oleh umat Kristen dalam semua ibadat, dan diperingati secara
lebih khusus selama Pekan Suci (sudah termasuk Hari Jumat Agung dan Hari
Minggu Paskah).
Kematian dan kebangkitan Yesus lazimnya dianggap sebagai peristiwa-peristiwa
terpenting dalam teologi Kristen, salah satu sebabnya adalah karena peristiwa-
peristiwa ini menunjukkan bahwa Yesus berkuasa atas hidup dan mati, dan oleh
karena itu berwenang dan berkuasa untuk menganugerahkan hidup kekal kepada
umat manusia.
Gereja-Gereja Kristen mengakui dan mengajarkan
riwayat Perjanjian Baru mengenai kebangkitan Yesus
dengan segelintir pengecualian.[50] Beberapa pengkaji
modern menjadikan kepercayaan para pengikut Yesus
akan kebangkitannya sebagai titik tolak dalam
menetapkan kesinambungan antara sosok Yesus
selaku tokoh sejarah dan sosok Yesus dalam
pewartaan Gereja perdana.[51]
Segolongan umat Kristen liberal tidak mengakui
kebangkitan jasmaniah secara harfiah,[52][53] dan
menganggap riwayat kebangkitan Yesus sekadar
sebagai mitos yang kaya akan perlambang dan
bermanfaat bagi pertumbuhan rohani. Argumen-
argumen terkait keyakinan akan kematian dan
kebangkitan Yesus muncul dalam
banyak debat keagamaan dan dialog-dialog lintas
agama.[54] Rasul Paulus, salah seorang pemeluk
perdana sekaligus misionaris agama Kristen, pernah
menulis bahwa "andaikata Kristus tidak dibangkitkan,
maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga
kepercayaan kamu" (1 Korintus 15:14).[55]
Keselamatan
Sebagaimana orang Yahudi dan orang Romawi penyembah berhala pada
zamannya, Rasul Paulus percaya bahwa korban persembahan berkhasiat
menciptakan ikatan kekerabatan baru, menyucikan, dan mendatangkan kehidupan
kekal.[56] Bagi Paulus, korban persembahan yang diperlukan adalah kematian
Yesus. Bangsa-bangsa lain, yang berkat pengorbanan nyawa Yesus telah menjadi
"milik kepunyaan Kristus", juga adalah keturunan Abraham dan "berhak
menerima janji Allah", sama seperti bangsa Israel (Galatia 3:29).[57] Allah yang
membangkitkan Yesus dari antara orang mati juga mengaruniakan kehidupan baru
bagi "tubuh fana" umat Kristen dari bangsa-bangsa lain, yang bersama-sama
dengan bangsa Israel telah menjadi "anak-anak Allah", dan oleh karena itu tidak
lagi "hidup menurut daging" (Roma 8:9,11,16).[56]
Gereja-gereja modern cenderung lebih memusatkan perhatiannya pada
permasalahan tentang bagaimana umat manusia dapat diselamatkan dari keadaan
berdosa dan maut yang universal sifatnya itu, daripada permasalahan tentang
bagaimana orang Yahudi dan bangsa-bangsa lain dapat menjadi anggota keluarga
Allah. Menurut doktrin Katolik maupun Protestan, keselamatan datang berkat
pengorbanan nyawa Yesus menggantikan umat manusia dan berkat
kebangkitannya. Gereja Katolik mengajarkan bahwa keselamatan tidak terwujud
tanpa adanya kesetiaan di pihak umat Kristen; orang-orang yang telah bertobat
dan hendak menjadi pengikut Kristus harus hidup menurut prinsip-prinsip cinta
kasih, dan sepatutnya harus dibaptis.[58][59] Martin Luther mengajarkan bahwa
baptisan diperlukan demi beroleh keselamatan, akan tetapi gereja Lutheran dan
gereja-gereja Protestan lainnya pada zaman modern cenderung mengajarkan
bahwa keselamatan adalah anugerah yang diperoleh seseorang berkat kasih
karunia Allah, yang kadang-kadang didefinisikan sebagai "kerahiman tanpa
pandang kelayakan", bahkan di luar dari baptisan.
Umat Kristen berbeda pandangan mengenai sejauh mana keselamatan
seseorang telah ditakdirkan sejak semula oleh Allah. Teologi Kalvinis memberi
penekanan khusus pada kasih karunia dengan mengajarkan bahwa tiap-tiap
orang sama sekali tidak mampu membebaskan diri sendiri dari dosa, akan
tetapi kasih karunia yang menguduskan itu tak terelakkan.[60] Sebaliknya umat
Kristen Katolik, Ortodoks, dan Protestan Arminian percaya bahwa
pelaksanaan kehendak bebas diperlukan untuk beriman pada Yesus.[61]
Tritunggal
Istilah "Tritunggal" mengacu pada ajaran bahwa Allah yang esa[63] terdiri atas tiga
pribadi berlainan yang serentak ada secara kekal, yakni Bapa, Putra (menjelma
menjadi Yesus Kristus), dan Roh Kudus. Adakalanya ketiga pribadi ini bersama-
sama disebut sebagai Keilahian (bahasa Yunani: θειότης, Teiotēs; bahasa
Latin: Divinitas),[64][65][66] walau tak ada satu pun istilah yang digunakan dalam
Alkitab untuk membahasakan gagasan Keilahian yang manunggal.[67] Syahadat
Atanasius, salah satu ungkapan perdana dari keyakinan Kristen, menjelaskannya
dengan kalimat "Sang Bapa adalah Allah, Sang Putra adalah Allah, Roh Kudus
adalah Allah, akan tetapi bukan ada tiga Allah melainkan satu Allah.
Tiga pribadi ini berbeda satu sama lain: Sang Bapa tidak bersumber, Sang Putra
diperanakkan oleh Sang Bapa, dan Roh Kudus keluar dari Sang Bapa. Sekalipun
berbeda, ketiga-tiganya tak terpisahkan satu sama lain, baik dalam keberadaan
maupun dalam berkarya.
Sebagian umat Kristen juga percaya bahwa Allah tampil sebagai Sang Bapa pada
masa Perjanjian Lama, tampil sebagai Sang Putra pada masa Perjanjian Baru, dan
tampil sebagai Roh Kudus pada masa kini, namun tetap saja Allah hadir pada
ketiga masa ini sebagai tiga pribadi.[69] Meskipun demikian, ada keyakinan Kristen
tradisional bahwa Sang Putralah yang tampil dalam Perjanjian Lama, karena
bilamana Tritunggal digambarkan dalam seni rupa, Sang Putra lazimnya
digambarkan dengan ciri khusus, yakni dengan praba bertanda salib yang
melambangkan Kristus, dan sosok dengan ciri seperti inilah yang ditampilkan
sebagai rupa Allah dalam penggambaran Taman Eden, yakni sosok penjelmaan
Allah yang baru mengejawantah di kemudian hari. Pada
sejumlah sarkofagus umat Kristen perdana, gambar sosok Sang Logos dicirikan
dengan janggut, "yang membuatnya terlihat sudah lanjut usia, bahkan terkesan
prawujud (ada mendahului zamannya)."[70]
Tritunggal adalah doktrin hakiki dari agama Kristen arus utama. Jauh
sebelum Syahadat Nikea dirumuskan pada 325 M, agama Kristen sudah
mengajarkan[71] misteri hakikat ketritunggalan Allah sebagai suatu ungkapan iman
normatif. Menurut Roger E. Olson dan Christopher Hall, melalui doa, tafakur,
kajian dan praktik, komunitas Kristen menyimpulkan "bahwa Allah mestilah
wujud sebagai suatu kemanunggalan maupun ketritunggalan", dan
mengundangkan kesimpulan ini dalam konsili oikumene pada penghujung abad
ke-4.[72][73]
Menurut doktrin ini, Allah tidak terbagi-bagi dalam arti tiap-tiap pribadi
merupakan sepertiga dari keseluruhan diri Allah; sebaliknya, tiap-tiap pribadi
dianggap sebagai Allah yang seutuhnya (baca perikoresis). Perbedaannya terletak
dalam hubungan antarpribadi, Sang Bapa tidak bersumber; Sang Putra
diperanakkan oleh Sang Bapa; Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan (dalam
teologi Gereja Barat) dari Sang Putra. Sekalipun hubungannya berbeda, tiap-tiap
"pribadi" ini kekal dan mahakuasa. Sekte-sekte Kristen seperti Universalisme
Unitarian, Saksi Yehuwa, Gereja Mormon, dan sekte-sekte lainnya tidak
menganut paham-paham Tritunggal semacam ini.
Kata Latin "trias", cikal bakal dari kata "trinitas", yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi "tritunggal", pertama kali muncul dalam karya-karya
tulis Teofilus dari Antiokhia. Teofilus menulis tentang "Ketritunggalan Allah
(Sang Bapa), Firman-Nya (Sang Putra), dan Hikmat-Nya (Roh Kudus)".[74] Istilah
ini mungkin saja telah digunakan sebelum zaman Teofilus. Sesudah Teofilus, kata
ini muncul kembali dalam karya-karya tulis Tertulianus.[75][76] Pada abad
berikutnya, kata ini menjadi umum dipergunakan, dan sering muncul dalam karya
tulis Origenes.[77]

Paham Tritunggal
Penganut paham tritunggal atau kaum trinitarianisme adalah sebutan bagi umat
Kristen yang percaya pada konsep tritunggal. Hampir semua denominasi Kristen
menganut paham tritunggal. Sekalipun kata "tritunggal" tidak termaktub dalam
Alkitab, para teolog telah mengembangkan istilah dan konsep ini semenjak abad
ke-3 untuk memudahkan orang memahami ajaran-ajaran Perjanjian Baru
mengenai Allah sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Semenjak saat itu pula, para
teolog Kristen dengan cermat menegaskan bahwa tritunggal bukan berarti ada tiga
Allah (bidah antitritunggal Triteisme), juga bukan berarti tiap-tiap hipostasis dari
Tritunggal adalah sepertiga dari satu Allah yang tak terhingga (bidah parsialisme),
dan bukan pula berarti Sang Putra dan Roh Kudus adalah makhluk ciptaan yang
derajatnya di bawah Sang Bapa (bidah Arianisme). Sebaliknya, Trinitas justru
didefinisikan sebagai Allah Yang Maha Esa Dalam Tiga Pribadi.[78]

Paham Antitritunggal
Antitritunggal atau antitrinitarianisme (atau nontrinitarianisme) mengacu pada
teologi yang menolak doktrin Tritunggal. Berbagai pandangan antitritunggal,
semisal adopsionisme atau modalisme, sudah muncul semenjak permulaan sejarah
agama Kristen, dan telah menjadi pemicu sengketa Kristologi.[79] Paham
antitritunggal kembali muncul pada abad ke-11 sampai abad ke-13 dalam ajaran
gnostik kaum Katari, pada abad ke-16 di kalangan jemaat-jemaat
berpaham unitarian yang terbentuk semasa Reformasi Protestan,[80] pada Zaman
Pencerahan abad ke-18, dan pada abad ke-19 di kalangan jemaat-jemaat Protestan
yang terbentuk semasa Kebangunan Rohani II.
Sama seperti agama-agama lain, agama
Kristen juga memiliki beragam pemeluk
dengan beragam keyakinan dan penafsiran
Kitab Suci. Dalam agama Kristen, kumpulan
kitab-kitab kanonik, yakni Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru, diyakini sebagai
Firman Allah yang terilhamkan. Menurut
pandangan tradisional mengenai ilham ini,
Allah berkarya sedemikian rupa melalui para
pujangga insani sehingga para pujangga ini
dapat menuliskan hal-hal yang hendak
diwahyukan Allah. Perkataan Yunani dalam 2
Timotius 3:16 yang mengacu pada ilham ilahi
ini adalah teopneustos, yang secara harfiah
berarti "diembuskan Allah".[81]
Sebagian kalangan percaya bahwa ilham ilahi membuat Alkitab yang ada
sekarang ini bebas dari kesalahan. Kalangan lain percaya bahwa Alkitab bebas
dari kesalahan dalam naskah-naskah aslinya saja, walau tak satu pun naskah asli
Alkitab yang masih ada sampai sekarang. Ada pula kalangan yang percaya bahwa
hanya Alkitab dalam terjemahan tertentu saja yang bebas dari kesalahan,
misalnya Alkitab Versi Raja James.[82][83][84] Pandangan lain yang erat kaitannya
dengan keyakinan ini adalah infalibilitas Alkitab atau sifat bebas-salah-terbatas
dari Alkitab, yakni pandangan yang mengatakan bahwa Alkitab bebas dari
kesalahan selaku tuntunan menuju keselamatan, namun mungkin saja
mengandung kesalahan sehubungan dengan hal-hal tertentu seperti sejarah,
geografi, atau ilmu pengetahuan.
Kitab-kitab yang diakui sebagai bagian dari Alkitab oleh Gereja Ortodoks,
Gereja Katolik, dan gereja-gereja Protestan agak bervariasi, sementara umat
Yahudi hanya mengakui kesahihan Alkitab Ibrani (kumpulan pustaka dalam
Alkitab yang ditulis dalam bahasa Ibrani); meskipun demikian, ada banyak kitab
yang diakui kesahihannya oleh semua pihak. Variasi-variasi dalam daftar kitab
yang dianggap sahih ini merupakan cerminan dari rentang tradisi dan konsili-
konsili yang pernah diselenggarakan sehubungan dengan hal ini. Tiap-tiap versi
daftar Kitab Suci Perjanjian Lama selalu memuat kumpulan Tanak (Taurat-Nabi-
Kitab), yakni Alkitab Ibrani atau kumpulan pustaka yang dianggap sahih oleh
umat Yahudi. Selain kumpulan Tanak, Gereja Katolik dan Ortodoks menganggap
kumpulan pustaka Deuterokanonika (kumpulan sahih kedua) sebagai kitab-kitab
yang sahih dan layak dijadikan bagian dari Kitab Suci Perjanjian Lama. Kitab-
kitab Deuterokanonika termuat dalam Alkitab Septuaginta (terjemahan perdana
Alkitab Yahudi dalam bahasa Yunani), namun dianggap apokrif (daif) oleh
kalangan Protestan. Meskipun demikian, kitab-kitab ini dianggap sebagai
dokumen-dokumen sejarah penting, yang dapat membantu orang memahami
kosakata, tata bahasa, dan tata kalimat yang lazim digunakan pada zaman
penulisannya. Beberapa versi terbitan Alkitab memuat kitab-kitab
Deuterokanonika dan bagian-bagian dari kitab sahih yang dianggap apokrif di
kalangan Protestan pada bagian tersendiri di antara Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru.[85] Kumpulan Kitab Suci Perjanjian Baru, yang ditulis
dalam bahasa Yunani Koine (bahasa Yunani pasaran), terdiri atas 27 kitab yang
diakui kesahihannya oleh semua denominasi Kristen.
Kajian modern telah memunculkan berbagai isu terkait Alkitab. Meskipun
diagung-agungkan oleh banyak kalangan penutur bahasa Inggris karena keindahan
prosanya yang memukau, Alkitab Versi Raja James sesungguhnya diterjemahkan
dari Alkitab Yunani Erasmus yang disusun "atas dasar satu saja naskah salinan
abad ke-12, yakni salah satu dari naskah-naskah terburuk yang masih ada sampai
sekarang".[86] Banyak kajian yang dilakukan selama beberapa ratus tahun terakhir
telah membanding-bandingkan berbagai naskah yang berlainan guna mereka-
ulang naskah asli. Isu lain yang juga dimunculkan adalah anggapan bahwa
sejumlah kitab mengandung ayat-ayat palsu. Anjuran kepada kaum perempuan
untuk "berdiam diri dan bersikap patuh" dalam 1 Timotius 2[87] diduga oleh
banyak kalangan sebagai ayat palsu yang disusupkan salah seorang pengikut
Paulus ke dalam Alkitab. Ayat serupa dalam 1 Korintus 14,[88] yang diduga
sebagai buah pikiran Paulus, muncul di tempat-tempat yang berlainan dalam
naskah-naskah yang berlainan pula, dan diduga mula-mula adalah catatan pinggir
yang dibuat oleh seorang penyalin.[86] Ayat-ayat lain dalam 1 Korintus, misalnya 1
Korintus 11:2–16 yang berisi anjuran bagi kaum perempuan untuk menudungi
rambut "bilamana berdoa atau bernubuat",[89] justru bertentangan dengan anjuran
bagi mereka untuk berdiam diri selama ibadat berlangsung.
Isu terakhir terkait Alkitab adalah cara menyeleksi kitab-kitab untuk
dimasukkan ke dalam kumpulan Kitab Suci Perjanjian Baru. Injil-injil lain telah
ditemukan, semisal injil-injil yang ditemukan di dekat Nag Hammâdi pada 1945,
dan meskipun sebagian dari nas-nas ini berbeda dari nas-nas yang lumrah
digunakan umat Kristen, perlu dipahami bahwa beberapa di antara materi injil
temuan baru ini mungkin sekali berasal dari masa yang sama, atau bahkan
mendahului masa penulisan injil-injil Perjanjian Baru. Nas-nas inti dari Injil
Tomas, pada khususnya, diperkirakan ditulis seawal-awalnya pada tahun 50 M
(meskipun beberapa pengkaji menyanggah penetapan batas awal perkiraan tarikh
penulisan Injil Tomas ini),[90] dan jika benar demikian maka injil ini dapat
menawarkan suatu cara pandang baru dalam mencermati nas-nas injil yang
mendasari injil-injil kanonik, yakni nas-nas yang terdapat dalam Injil Lukas 1:1–
2. Injil Tomas memuat banyak nas yang mirip dengan nas injil-injil kanonik,
misalnya saja ayat 113 ("Kerajaan Bapa tersebar di muka bumi, akan tetapi orang-
orang tidak melihatnya"),[91] yang mengingatkan orang pada ayat-ayat Injil
Lukas (Lukas 17:20–21)[92][93] dan Injil Yohanes, dengan peristilahan dan
pendekatan yang mengesankan pada apa yang di kemudian hari disebut
sebagai ajaran Gnostik, yang belakangan ini telah dianggap mungkin saja
merupakan tanggapan terhadap Injil Tomas, yakni injil yang umumnya
dilabeli proto-Gnostik. Para pengkaji kini sedang menjajaki hubungan
dalam Gereja perdana antara spekulasi dan pengalaman mistik di satu pihak, dan
upaya pencarian tata tertib Gereja di lain pihak, dengan menelaah nas-nas temuan
baru, dengan meneliti nas-nas kanonik secara lebih seksama. dan dengan menguji
tahapan yang dilalui nas-nas Kitab Suci Perjanjian Baru sehingga berstatus
kanonik.

Tafsir Katolik
Ada dua mazhab eksegesis (tafsir ayat-ayat suci) yang muncul dan berkembang
pada Abad Kuno, satu di Aleksandria, dan satu lagi di Antiokhia. Tafsir mazhab
Aleksandria, sebagaimana yang dicontohkan oleh Origenes, cenderung menelaah
makna kiasan (makna yang tersirat) dari ayat-ayat Alkitab, sementara tafsir
mazhab Antiokhia menelaah makna harfiahnya (makna yang tersurat), dengan
keyakinan bahwa makna-makna lain (disebut teoria) hanya boleh diterima jika
didasarkan atas makna harfiah.[94]
Teologi Katolik membedakan makna yang dikandung ayat-ayat Alkitab menjadi
dua macam, yakni makna harfiah dan makna rohaniah.[95]
Makna harfiah adalah arti dari kata-kata yang digunakan dalam susunan ayat-ayat
suci, sementara makna rohaniah masih dibedakan lagi menjadi:
 Makna alegori (kiasan), yang mencakup tipologi. Sebagai contoh,
kisah terbelahnya Laut Merah dipahami sebagai "tipe" (lambang) atau kiasan
dari pembaptisan (1 Korintus 10:2).
 Makna moral (kesusilaan), yakni hikmah atau pelajaran budi pekerti yang
terkandung dalam Kitab Suci.
 Makna anagogi (kebatinan), yang berkaitan dengan eskatologi (akhir zaman),
kekekalan, dan hari kiamat.
Sehubungan dengan eksegesis, menurut pedoman tafsir yang benar, teologi
Katolik menegaskan bahwa:
 Semua makna lain dari ayat-ayat Kitab Suci wajib didasarkan atas makna
harfiahnya.[96][97]
 Kesejarahan injil-injil harus diyakini secara mutlak dan tunak.[98]
 Kitab Suci semestinya dibaca dalam lingkup "tradisi hidup segenap Gereja".
[99]

 "Tugas menafsirkan Kitab Suci telah dipercayakan kepada para uskup dalam
persekutuan dengan pengganti Petrus, Uskup Roma".[100]
Tafsir Protestan
Umat Protestan berpegang pada keyakinan-keyakinan asasi yang digagas
oleh Martin Luther untuk melawan Gereja Katolik, yakni sola scriptura (dengan
Kitab Suci belaka), sola fide (oleh iman belaka), sola gratia (berkat kasih karunia
belaka), solus Christus (melalui Kristus belaka), dan soli Deo gloria (demi
kemuliaan Allah belaka).

Kejelasan Kitab Suci


Umat Kristen Protestan yakin bahwa Alkitab adalah wahyu yang swadaya,
kewenangan tertinggi di atas seluruh doktrin Kristen, dan menyingkap seluruh
kebenaran yang diperlukan demi keselamatan. Keyakinan ini terkenal dengan
sebutan sola scriptura.[101] Sudah menjadi ciri khas bagi umat Protestan untuk
meyakini bahwa umat awam mampu memahami Kitab Suci secara memadai, baik
karena Kitab Suci itu sendiri sudah jelas (atau "lugas"), berkat pertolongan Roh
Kudus, maupun karena kedua-duanya. Martin Luther percaya bahwa tanpa
pertolongan Allah, Kitab Suci akan "terselubungi kegelapan".[102] Ia menghendaki
adanya "satu pemahaman Kitab Suci yang bersifat definitif dan sederhana".
[102]
Yohanes Kalvin pernah menulis bahwa "barang siapa tidak menolak
bimbingan Roh Kudus, ia akan menemukan cahaya terang dalam Kitab Suci".
[103]
Pengakuan Iman Helvetika kedua, yang disusun oleh gembala jemaat Kalvinis
di Zürich (pengganti Hulderikus Zwingli), diadopsi sebagai maklumat doktrin
oleh sebagian besar jemaat Kalvinis di Eropa.[104]

Makna asali yang sejati dari Kitab Suci


Umat Protestan menitikberatkan makna dari kata-kata yang termaktub dalam
Kitab Suci. Cara tafsir yang mementingkan arti kata dalam ayat-ayat suci ini
disebut metode historis-gramatikal (metode kesejarahan-ketatabahasaan).
[105]
Metode historis-gramatikal merupakan suatu upaya di bidang Hermeneutika
Alkitab (ilmu tafsir Alkitab) untuk menemukan makna mula-mula dan maksud
yang sesungguhnya dari nas-nas Kitab Suci.[106] Makna asali dan maksud sejati
dari nas Kitab Suci diperoleh melalui penelaahan ayat dari segi tata bahasa dan
tata kalimat, latar belakang sejarah, ragam sastra, serta pertimbangan-
pertimbangan teologi (kanon Alkitab).[107] Metode historis-gramatikal
membedakan antara satu makna asali dan arti penting dari nas Alkitab. Arti
penting dari suatu nas Alkitab mencakup penggunaan atau penerapan nas tersebut.
Ayat Alkitab dianggap hanya memiliki satu arti atau makna tunggal. Sebagaimana
yang diutarakan oleh Milton S. Terry, "salah satu prinsip dasar dari eksposisi
historis-gramatikal adalah bahwasanya kata-kata dan kalimat-kalimat hanya
memiliki satu signifikansi dalam satu koneksi yang sama. Bilamana kita
mengabaikan prinsip ini, di saat itu pula kita hanyut di lautan ketidakpastian dan
penerkaan."[108] Jelasnya, metode tafsir historis-gramatikal berlainan dengan
penentuan arti penting dari suatu ayat yang ditafsirkan. Jika disatukan, kedua-
duanya membentuk pengertian dari istilah hermeneutika Alkitab.[106]
Sejumlah mufasir Protestan menggunakan pendekatan tipologi.[109]

Eskatologi
Biara Khor Virap yang dibangun pada abad ke-7 di bawah bayang-
bayang Gunung Ararat. Armenia adalah negara pertama yang menjadikan agama
Kristen sebagai agama negara, yakni pada 301 M.[110]

Pembahasan mengenai akhir dari segala sesuatu, baik akhir hayat setiap insan,
akhir zaman, maupun akhir dunia, pada dasarnya adalah eskatologi Kristen, yakni
kajian mengenai takdir umat manusia sebagaimana yang diwahyukan dalam
Alkitab. Pokok-pokok bahasan utama dalam eskatologi Kristen adalah zaman
kesusahan besar, maut dan akhirat, pengangkatan, kedatangan Yesus untuk kedua
kalinya, kebangkitan orang mati, surga dan neraka, milenialisme (keyakinan
tentang kerajaan seribu tahun), pengadilan terakhir, hari kiamat, serta langit yang
baru dan bumi yang baru.
Umat Kristen percaya bahwa kedatangan Kristus untuk kedua kalinya akan terjadi
pada akhir zaman, sesudah kurun waktu penganiayaan dahsyat (zaman kesusahan
besar). Semua orang yang telah meninggal dunia akan dibangkitkan secara
jasmaniah dari kematian untuk menjalani pengadilan terakhir. Yesus akan
mendirikan Kerajaan Allah yang paripurna untuk menggenapi nubuat-nubuat
dalam Kitab Suci.[111][112]
Maut dan akhirat[sunting | sunting sumber]
Sebagian besar umat Kristen percaya bahwa umat manusia akan menghadap
mahkamah ilahi dan diganjari hidup kekal atau laknat kekal. Kepercayaan tentang
mahkamah ilahi ini meliputi keyakinan akan penghakiman umum atas segenap
umat manusia manakala orang-orang mati dibangkitkan, serta keyakinan (dianut
oleh umat Kristen Katolik,[113][114] Ortodoks,[115][116] dan sebagian besar denominasi
Protestan) akan penghakiman khusus atas tiap-tiap jiwa manakala yang
bersangkutan mengalami kematian jasmani.
Dalam ajaran Katolik, orang-orang yang meninggal dalam keadaan berahmat,
yakni tanpa dosa berat yang memisahkannya dari Allah namun belum sepenuhnya
bersih dari akibat-akibat dosa, akan dimurnikan di purgatorium (alam pemurnian)
sehingga mencapai kekudusan dan layak masuk ke hadirat Allah.[117] Orang-orang
yang telah mencapai kekudusan disebut orang-orang kudus.[118]
Beberapa denominasi Kristen, misalnya Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh,
menganut paham mortalisme, yakni keyakinan bahwa jiwa manusia tidak
diciptakan baka, dan berada dalam keadaan tidak sadar sejak meninggal dunia
sampai dengan dibangkitkan. Umat Kristen penganut paham mortalisme ini juga
menganut paham anihilasionisme, yakni keyakinan bahwa selepas pengadilan
terakhir, orang-orang jahat akan lenyap, bukannya menanggung siksaan kekal.
Umat Saksi Yehuwa juga menganut paham serupa.[119]

C. HINDU
Agama Hindu merupakan kepercayaan dominan di Asia Selatan, terutama
di India dan Nepal, yang mengandung beraneka ragam tradisi. Kepercayaan ini
meliputi berbagai aliran, di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu
pandangan luas akan Dharmasastra tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar
pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Hinduisme cenderung seperti
himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat
keyakinan yang baku dan seragam seperti pada agama Abrahamik.[1]
Hinduisme diklaim sebagian orang sebagai "agama tertua" di dunia yang masih
bertahan hingga kini,[a] dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri
sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म),[b] artinya "darma abadi"
atau "jalan abadi"[11] yang melampaui asal mula manusia.[12] Agama ini
menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya—tanpa
memandang strata, kasta, atau sekte—seperti kejujuran, kesucian, dan
pengendalian diri.
Para ahli dari barat memandang Hinduisme sebagai peleburan
atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang
beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya
meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban
lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul
sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga
abad ke-8. Dari India Utara, "Sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga
sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di
bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme"
mulai dipakai secara luas[13]), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat
berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer
tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang
menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu.
Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan
politis dan jati diri bangsa India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari
(contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari
tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadu (orang suci) memilih
untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada
umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa
brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang
"terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut
memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan
kaidah arsitektur Hindu.[14] Kitab-kitab utama di antaranya
adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong
Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti,
dan Agama (semuanya tergolong Smerti).[14]

Etimologi
Kata Hindu (melalui bahasa Persia) berasal dari kata Sindhu dalam bahasa
Sanskerta, yaitu nama sebuah sungai di sebelah barat daya Subbenua India—
sebagian besar alirannya terletak di wilayah negara Pakistan—yang dalam bahasa
Inggris disebut Indus.[16][c] Menurut Gavin Flood, pada mulanya istilah 'hindu'
muncul sebagai istilah geografis bangsa Persia untuk menyebut suku bangsa yang
tinggal di seberang sungai Sindhu.[16] Para sejarawan pun menyebut peradaban
suku tersebut sebagai Peradaban Lembah Indus. Maka dari itu, awalnya istilah
'Hindu' merupakan istilah geografis dan tidak mengacu pada suatu agama.
Kata Hindu diserap oleh bahasa-bahasa Eropa dari istilah Arab al-Hind, dan
mengacu kepada negeri bagi bangsa yang mendiami daerah sekitar Sungai Sindhu.
[19]
Istilah Arab tersebut berasal istilah Persia Hindū, yang mengacu kepada
seluruh suku di India. Pada abad ke-13, Hindustan muncul sebagai nama
alternatif India yang acap disebutkan, yang memiliki arti "Negeri para Hindu".[20]
Istilah agama Hindu kemudian sering digunakan dalam beberapa teks
berbahasa Sanskerta seperti Rajatarangini dari Kashmir (Hinduka, ca. 1450) dan
beberapa teks mazhab Gaudiya Waisnawa dari abad ke-16 hingga ke-18 yang
berbahasa Bengali, seperti Caitanyacaritamerta dan Caitanyabhagawata. Istilah
itu digunakan untuk membedakan Hindu dengan Yawana atau Mleccha.[21] Sejak
abad ke-18 dan seterusnya, istilah Hindu digunakan oleh para kolonis dan
pedagang dari Eropa untuk menyebut para penganut agama tradisional India
secara umum. Istilah Hinduism diserap ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-
19 untuk menyebut tradisi keagamaan, filasat, dan kebudayaan asli India.

Definisi
Studi tentang India beserta kebudayaan dan agamanya—demikian pula definisi
"Hinduisme"—telah dibentuk oleh minat kolonialisme, serta gagasan orang
Barat tentang agama tersebut.[22][23] Sejak 1990-an, pengaruh-pengaruh beserta
dampaknya telah menjadi topik perdebatan di kalangan ahli Hindu,[22] dan turut
dicampuri oleh kritik-kritik terhadap India menurut pandangan Barat.[24] Karena
istilah tersebut melingkupi berbagai tradisi dan gagasan yang luas, maka sulit
untuk memperoleh definisi yang komprehensif.[16] Tanpa keseragaman, Hinduisme
didefinisikan sebagai agama, tradisi keagamaan, dan seperangkat kepercayaan
religius.[25]
Pengaruh kolonial
Gagasan untuk sebuah sebutan umum bagi beberapa aliran kepercayaan dan
tradisi di India sudah mendapat perhatian sejak abad ke-12.[26][27] Gagasan
"Hinduisme" sebagai "tradisi keagamaan dunia yang tunggal" dipopulerkan
pada abad ke-19 oleh Indolog Eropa yang mengacu kepada "kasta-kasta
brahmana" sebagai informasi mereka tentang agama-agama di India.[28] Hal ini
mengacu pada suatu kecenderungan untuk menegaskan sastra dan keyakinan
terhadap Weda sebagai "esensi" bagi praktik keagamaan Hindu pada umumnya,
serta bagi hubungan 'doktrin Hindu' masa kini dengan berbagai
perguruan Wedanta (khususnya Adwaita Wedanta).[23]
Kolonialisme telah menjadi faktor signifikan dalam pengaruh kasta brahmana dan
"brahmanisasi" dalam masyarakat Hindu. Adat kaum brahmana juga
memengaruhi pengertian Hinduisme di mata orang Eropa. Kaum brahmana
melestarikan kitab-kitab Hindu yang kemudian diteliti oleh orang-orang Eropa.
Kewenangan kitab-kitab tersebut telah menjadi sasaran penelitian orang Eropa.
Penetapan basis-basis tekstual agama Hindu oleh kaum orientalis Eropa didasari
oleh kecenderungan untuk mengacu kepada otoritas tertulis daripada otoritas
lisan. Kaum Brahmana dan ilmuwan Eropa memiliki persepsi yang sama tentang
"suatu deklinasi umum dari sebuah agama yang mulanya murni".[22]
Pendapat orang Hindu
Bagi orang Hindu, Hinduisme adalah jalan
hidup tradisional.[30] Banyak penganutnya yang
menyebut Hinduisme sebagai Sanātana-dharma,
artinya "darma yang abadi" atau "jalan yang abadi".
[11]
Istilah ini mengacu kepada kewajiban "abadi"
yang harus dijalankan oleh seluruh umat Hindu—
tanpa memandang derajat, kasta, atau sekte/aliran—
seperti kejujuran, tidak menyakiti makhluk hidup,
menjaga kesucian, berniat baik, pemaaf, bersabar,
mengendalikan nafsu, mengendalikan diri sendiri,
murah hati, dan bertafakur. Ini berbeda
dengan swadarma, artinya "darma seseorang", yaitu
kewajiban yang harus dijalankan sesuai aliran yang
diikuti dan tingkatan kehidupan.[31] Menurut Kim
Knott, perihal darma ini mengacu pada gagasan
bahwa sumbernya melampaui sejarah umat manusia,
dan kebenarannya disampaikan oleh Tuhan (Sruti)
serta diwariskan dari zaman ke zaman, hingga masa
kini, dalam suatu kumpulan kitab tertua di dunia,
yaitu Weda.[12]
Keyakinan
Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu
kitab suci.[47] Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam
berbagai tradisi Hindu. Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan
masyarakat Hindu—namun tidak untuk terbatas pada beberapa hal tersebut—
meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa (dapat disebut
sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan lain-
lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian,
dan kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan
akibat), moksa (kebebasan dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik
spiritual).[153]

Konsep ketuhanan
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya,
mencakup keyakinan yang
bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monis
me, dan ateisme.[154][155][156][157] Konsep ketuhanannya
bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya
atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadang kala agama
Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan
terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui keberadaan
para dewa), tapi istilah-istilah demikian hanyalah suatu
generalisasi berlebihan.[158]
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu
sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan.[159] Nyaya
merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik
kesimpulan "logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah
suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik
semuanya.[160]
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang
disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan
sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta
sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.[161] Tetapi, umat Hindu tidak menyembah
Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang
disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu
kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga
mereka disebut brahmana.[162] Kadang kala, Brahman dipandang sebagai Yang
Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi
segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam
semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat
dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut
(Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan
aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—
menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan",
yaitu supremasi dari sifat-sifat baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-
pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya), sehingga mereka memujanya dengan
nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain, tergantung aliran
masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang dipandang
sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada
dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut Iswara, Bhagawan,
atau Parameswara.[163] Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara,
mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana
ajaran Mimamsa—sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya
tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita.[164] Dalam banyak
tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya
sebagai Kresna, dan kadang kala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara
itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam
aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa
seluruh nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya,
dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.

Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan


bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut.
[165] Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut
tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada
hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan
seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya.[166] Menurut
mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman
terbayangkan sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut
sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya.[166] Mazhab ini
menegaskan bahwa tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat
tertentu, tapi tujuan hidup sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang
nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya tiada berbeda dengan Brahman.
[167] Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena
meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, tapi pada
"hakikatnya" sama dengan Brahman.[168]

Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa.


[169] Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan
bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan
Tuhan) tidak dapat diakui.[170] Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang abadi
tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan
bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan.
[171] Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual
dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan
keberadaan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat
postulat tentang suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan
siapa penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara.[127] Mimamsa
menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya
tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk
keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang
sebenarnya merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah
kekuatan mantra belaka.[172]

Para Dewa Dan Awatara


Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang
disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkan dewata bersinonim
dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau dapat diterjemahkan sebagai
"makhluk surgawi".[182][183] Para dewa merupakan bagian integral dalam
kebudayaan Hindu dan ditampilkan
dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsite
ktur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai
keberadaan mereka terkandung dalam
sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita
Hindu dan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini
sebagai manifestasi dari Brahman.
[i] Pustaka Weda dan Upanishad tidak
mengajarkan panteisme ataupun politeisme,
melainkan monoteisme dan monisme.
[185] Ada banyak dewa, tapi mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari
suatu "kenyataan sejati".[185] Keberadaan konsep monisme dan monoteisme
berjalin-jalin. Dalam banyak sloka, kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan
dalam sloka lainnya dikatakan transenden.[186] Secara monisme, kenyataan sejati
tersebut adalah Brahman, sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada
wujud-wujud beratribut (Saguna) dari Brahman.[186]
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa),
meskipun banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan
tertentu (seolah-olah ada Tuhan yang berbeda) sebagai istadewata (iṣṭa devatā),
yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu) dari Tuhan yang cenderung dipuja.[187]
[188] Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang atau menurut tradisi
regional dan keluarga.[189]
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata,
dan Purana menjelaskan bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra
Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan merupakan murid dari Wrehaspati.
Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum memperoleh keabadian melalui
tirta amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan makhluk yang
berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran.
Kekuatan dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi—
Brahma, Wisnu, Siwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka
dalam kitab suci dan pemujaan.[190] Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang
sebagai Trimurti—tiga aspek dari Yang Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut
melambangkan seluruh siklus samsara menurut agama Hindu: Brahma sebagai
pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur.
Dua di antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut dengan
jumlah banyak sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa)
dalam tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William
Jones menyatakan bahwa umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga
wujud: Wisnu, Siwa, Brahma … Gagasan fundamental agama Hindu, bahwa
metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui [konsep] awatara."[191]
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting sebagaimana
Trimurti dan berfungsi sebagai pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang
Pencipta, sehingga ia membutuhkan pengetahuan atau Dewi Saraswati. Wisnu
adalah Sang Pelindung, sehingga ia membutuhkan kemakmuran, yang
dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan Siwa adalah Sang
Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi Parwati, Durga, atau Kali sebagai
kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya
Tuhan ke dunia (inkarnasi) dalam wujud fana demi menegakkan di masyarakat
dan menuntun manusia mencapai moksa. Inkarnasi itu disebut pula awatara.
Beberapa awatara terkenal merupakan perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh
utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting dalam Mahabharata).

D. BUDHA
Buddhisme (Pali: Buddhadhamma, Buddhasāsana; Sanskerta: Buddhadhar
ma) dikenal juga sebagai Agama Buddha, Buddha Dhamma,
atau Dhammavinaya, adalah sebuah
pandangan filosofis berpaham nonteisme yang berasal dari bagian timur anak
benua India, dengan berlandaskan kepada ajaran Siddhartha Gautama.
Penyebaran Buddhisme di Asia dimulai sejak abad ke-4 SM hingga abad ke-6
SM. Buddhisme adalah kelompok kepercayaan terbesar keempat di
duniadengan lebih dari 520 juta pengikut, atau lebih 7% populasi dunia, yang
dikenal sebagai Buddhis Buddhisme juga meliputi beragam ilmu,
nilai tradisi, filosofi, kepercayaan, meditasi, dan praktik spiritual yang
sebagian besar berdasarkan pada ajaran-ajaran awal yang dikaitkan dengan
Siddhartha Gautama dan menghasilkan filsafat yang ditafsirkan. Buddhisme
lahir di India kuno sebagai suatu tradisi Sramana sekitar antara abad ke-6 dan
4 SM, menyebar ke sebagian besar Asia. Sang Buddha dikenal oleh para
Buddhis sebagai Sang Maha Guru Agung yang telah sadar atau tercerahkan
yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk
hidup mengakhiri penderitaan mereka dengan melenyapkan
ketidaktahuan/kebodohan/kegelapan batin (moha), keserakahan (lobha), dan
kebencian/kemarahan (dosa). Berakhirnya atau padamnya moha, lobha,
dan dosa disebut dengan Nibbāna.[7] Untuk mencapai Nibbana seseorang
melakukan perbuatan benar, tidak melakukan perbuatan salah,
mempraktikkan meditasi untuk menjaga pikiran agar selalu pada kondisi yang
baik atau murni dan mampu memahami fenomena batin dan jasmani.
Dua aliran utama Buddhisme yang masih ada yang diakui secara umum oleh
para ahli: Theravāda ("Aliran Para Sesepuh") dan Mahāyāna ("Kendaraan
Agung"). Vajrāyāna, suatu bentuk ajaran yang dihubungkan dengan siddha
India, dapat dianggap juga sebagai aliran ketiga atau hanya merupakan bagian
dari Mahāyāna. Theravāda mempunyai pengikut yang tersebar luas di Sri
Lanka, dan Asia Tenggara. Mahāyāna, yang mencakup tradisi Tanah
Murni, Zen, Nichiren, Shingon, dan Tiantai (Tiendai) dapat ditemukan di
seluruh Asia Timur. Buddhisme Tibet, yang melestarikan ajaran Vajrāyāna
dari India abad ke-8,[8] dipraktikkan di wilayah sekitar Himalaya, Mongolia,
[9] dan Kalmykia.[10] Jumlah umat Buddha di seluruh dunia diperkirakan
antara 488 juta[web 1] dan 535 juta[11], menjadikannya sebagai salah satu
agama utama dunia.
Dalam Buddhisme Theravāda, tujuan utamanya adalah pencapaian
kebahagiaan tertinggi Nibbāna, yang dicapai dengan mempraktikkan Jalan
Mulia Berunsur Delapan (juga dikenal sebagai Jalan Tengah), sehingga
melepaskan diri dari apa yang dinamakan sebagai siklus penderitaan
dan kelahiran kembali.[12] Buddhisme Mahāyāna, sebaliknya beraspirasi
untuk mencapai kebuddhaan melalui jalan bodhisattva, suatu keadaan di mana
seseorang tetap berada dalam siklus untuk membantu makhluk lainnya
mencapai pencerahan.
Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tipitaka sebagai referensi utama
karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama. Pengikut-
pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam tiga
buku yaitu Sutta Piṭaka (khotbah-khotbah Sang Buddha), Vinaya
Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma
Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).
Seluruh naskah aliran Theravāda menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang
dipakai di sebagian India (khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha.
Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam
bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravāda, yang disebut kitab
suci Tipitaka, oleh karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali"
sinonim dengan agama Buddha Theravāda. Agama Buddha Theravāda dan
beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua
ajaran-Nya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun
terakhir hidup-Nya, sebelum Dia mencapai Parinibbana.[13]
Seluruh naskah aliran Mahāyāna pada awalnya berbahasa Sanskerta dan
dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu istilah agama Buddha berbahasa
Sanskerta sinonim dengan agama Buddha Mahāyāna. Bahasa Sanskerta adalah
bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh kaum terpelajar di
India. Selain naskah agama Buddha Mahāyāna, kita menjumpai banyak
catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi setempat lainnya
ditulis dalam bahasa Sanskerta.[13]
SEJARAH
Akar Filosofis
Secara historis, akar Buddhisme terletak pada pemikiran religius dari India
kuno selama paruh kedua dari milenium pertama SM.[14] Pada masa tersebut
merupakan sebuah periode pergolakan sosial dan keagamaan, dikarenakan
ketidakpuasaan yang signifikan terhadap pengorbanan dan rital-ritual
dari Brahmanisme Weda[note 1] Tantangan muncul dari berbagai kelompok
keagamaan asketis dan filosofis baru yang memungkiri tradisi Brahamanis dan
menolak otoritas Weda dan para Brahmana.[note 2][15] Kelompok-kelompok ini,
yang anggotanya dikenal sebagai sramana, merupakan kelanjutan dari sebuah
untaian pemikiraan India yang bersifat non-Weda, yang terpisah dari
Brahmanisme Indo-Arya.[note 3] Para ahli memiliki alasan untuk percaya bahwa
ide-ide seperti saṃsāra, karma (dalam hal pengaruh moralitas terhadap kelahiran
kembali), dan moksha, berasal dari sramana, dan kemudian diadopsi oleh agama
ortodoks Brahmin.
Pandangan ini didukung oleh penelitian di wilayah di mana gagasan ini berasal.
Buddhisme tumbuh di Magadha Raya, yang
terletak di sebelah barat laut dari Sravasti,
ibu kota Kosala, ke Rajagaha di sebelah
tenggara. Negeri ini, di sebelah
timur aryavarta, negeri bangsa Arya, yang
dikenal sebagai non-Weda.[23] Naskah
Weda lainnya mengungkap ketidaksukaan
penduduk Magadha, kemungkinannya karena
Magadha pada masa tersebut belum
mendapat pengaruh Brahmanisme.
[24] Sebelum abad ke-2 atau ke-3 SM,
penyebaran Brahmanisme ke arah timur memasuki Magadha Raya tidaklah
signifikan. Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Magadha Raya sebelum
abad tersebut tidak tunduk pada pengaruh Weda. Ini termasuk tumimbal lahir dan
hukum karma yang muncul dalam sejumlah gerakan di Magadha Raya, termasuk
Buddhisme. Gerakan-gerakan ini mewarisi pemikiran tumimbal lahir dan hukum
karma dari kebudayaan yang lebih awal.[25]
Pada saat yang sama, gerakan-gerakan ini dipengaruhi dan dalam beberapa hal
melanjutkan pemikiran filosofis dalam tradisi Weda, sebagaimana terefleksi
misalnya di dalam Upanishad.[26] Gerakan-gerakan ini termasuk, selain
Buddhisme, berbagai skeptis (seperti Sanjaya
Belatthiputta), atomis (seperti Pakudha Kaccayana), materialis (seperti Ajita
Kesakambali), antinomian (seperti Purana Kassapa); aliran-aliran terpenting pada
abad ke-5 SM adalah Ajivikas, yang menekankan aturan
nasib, Lokayata (materialis), Ajnanas (agnostik) dan Jaina, yang menekankan
bahwa jiwa harus dibebaskan dari materi.[27] Banyak gerakan-gerakan baru ini
berbagi kosakata konseptual yang sama seperti atman ("diri"), buddha ("yang
sadar"), dhamma ("aturan" atau
"hukum"), karma ("aksi/perbuatan"), nirvana ("padamnya
nafsu"), saṃsāra ("lingkaran penderitaan"), dan yoga ("praktik spiritual").[note
10] Para sramana menolak Weda, dan otoritas brahmana, yang mengklaim mereka
memiliki kebenaran terungkap yang tidak bisa diketahui dengan cara manusia
biasa mana pun. Selain itu, mereka menyatakan bahwa seluruh sistem
Brahmanikal adalah penipuan: sebuah konspirasi para brahmana untuk
memperkaya diri mereka sendiri dengan membebankan biaya terlalu tinggi untuk
melakukan ritual palsu dan memberikan nasihat tak berguna.[28]
Kritik terutama dari Buddha adalah pengorbanan hewan secara Weda.[web 2] Dia
juga menyindir "gita manusia kosmis" dari Weda.[29] Namun, Sang Buddha
tidaklah anti-Weda, dan menyatakan bahwa Weda dalam bentuk sejatinya
dinyatakan oleh "Kashyapa" kepada resi tertentu, yang melalui pertapaan berat
telah memperoleh kekuatan untuk melihat dengan mata ilahi.[30] Dia menamakan
para resi Weda, dan menyatakan bahwa Weda orisinil dari para resi[31][note
11] telah diubah oleh beberapa Brahmin yang memperkenalkan pengorbanan
hewan. Sang Buddha mengatakan bahwa hal
tersebut termasuk dalam pengubahan dari Weda
sejati sehingga dia menolak untuk menghormati
Weda pada masanya.[32] Namun, dia tidak
meninggalkan ikatan dengan Brahman,[note
12] atau gagasan diri menyatu dengan Tuhan.
[34] Pada saat yang sama, Hindu tradisional
sendiri secara bertahap mengalami perubahan
mendalam, bertransformasi menjadi apa yang
dikenal sebagai Hindu awal.

Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme


Perlu ditekankan bahwa Buddha
bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama
Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Abrahamik di mana alam semesta
diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke
Nibbana surga ciptaan Tuhan yang kekal. Dalam Tatiyanibbānapaṭisaṁyutta
Sutta, Udāna 8.3:
Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang merupakan konsep
Nibbāna yang kemudian diinterpretasikan sebagai Ketuhanan Yang Mahaesa.
Nibbāna sebagai Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah "ajātaṁ
abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ" yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak
Menjelma, Tidak Tercipta, dan Tidak Terkondisi (Mutlak)". Dalam hal ini,
Nibbāna sebagai Ketuhanan Yang Mahaesa adalah sesuatu yang tidak
terpersonifikasi atau tanpa-Aku (anatta). Dengan adanya Yang Mutlak atau Yang
Tidak Terkondisi (asaṅkhataṁ) maka manusia yang berkondisi (saṅkhataṁ) dapat
mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (saṃsāra).[41]
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat
bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep
Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang
Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang
mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep
Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang
menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan
konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.
Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci
Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep
Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula.
Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama
lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya
Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan
atau Kebebasan.
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai
kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati di mana satu
makhluk tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu
pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa-dewi
yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai.
Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu
melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat realitas
sebagaimana adanya.

Moralitas dalam ajaran Buddha


Sebagaimana agama Kristen, Islam, dan Hindu, ajaran Buddha juga
menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan.
Moralitas dalam ajaran Buddha bertujuan praktis menuntun orang menjuju
tujuan akhir kebahagiaan tertinggi. Dalam jalan umat Buddha menuju
pembebasan, setiap individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan
dan kemalangannya sendiri. Setiap individu diharapkan mengupayakan
pembebasannya sendiri melalui pemahaman dan usaha. Keselamatan umat
Buddha adalah hasil pemgembangan moral orang itu sendiri dan tidak dapat
diadakan atau diberikan kepada seseorang oleh suatu perantara eksternal. Misi
Sang Budda adalah untuk mencerahkan manusia akan sifat keberadaan dan untuk
menasihatkan bagaimana cara terbaik untuk kebahagiaan mereka dan keuntungan
orang lain. Secara konsekuen, etika umat Buddha bukan merupakan perintah apa
pun yang memaksa manusia untuk mengikutinya.[42]
Moralitas bagi umat Buddha dapat dirangkum dalam tiga prinsip
sederhana: "Hindarkan kejahatan; lakukan kebaikan; sucikan pikiran. Inilah
nasihat yang diberikan oleh semua Buddha." (Dhammapada:183)[43]

Lima Sila (Pañcasīla)


Nilai-nilai kemoralan yang diharuskan untuk umat awam umat Buddha biasanya
dikenal dengan Pañcasīla. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah:
[44]

 Pāṇātipātā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi


 Adinnādānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi
 Kāmesu micchācārā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi
 Musāvāda veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi
 Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā veramaṇī sikkhāpadaṁ samādiyāmi
Yang artinya:
 Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
 Aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang
yang tidak diberikan.
 Aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila.
 Aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perkataan dusta.
 Aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang
dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.

Hari raya
Terdapat empat hari raya utama dalam agama Buddha. Namun satu-satunya yang
dikenal luas masyarakat adalah Hari Raya Trisuci Waisak, sekaligus satu-satunya
hari raya umat Buddha yang dijadikan hari libur nasional Indonesia setiap
tahunnya.

1. Vesākha Pūjā (Waisak)


Penganut Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3
peristiwa. Tiga peristiwa tersebut meliputi hari kelahiran Pangeran Siddharta
(nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna
Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai
Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau
Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha
di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali
"Vesākha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa
Sanskerta

2. Kathina
Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha
setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha
memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut,
selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana
kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk
perkembangan dan kemajuan agama Buddha.
3. Āsādha Pūjā
Kebaktian untuk memperingati Hari besar Āsādha disebut Āsādha Pūjā /
Āsāḷha Pūjā. Hari raya Āsādha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya
Waisak, guna memperingati peristiwa di mana Buddha membabarkan Dharma
untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa
Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah
Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah
mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang
pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan
Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka
mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya.
Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha
membentuk Arya Sangha Bhikkhu(Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang
pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka
Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan
Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan
Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha
berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana (Sanskerta:
Trisarana). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha
memilih Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung
kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung
kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat
Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha
merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.
Khotbah pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini
dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah
Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan
mengenai Empat Kebenaran Mulia (Cattāri Ariya Saccāni) yang menjadi
landasan pokok Buddha Dhamma.
4. Māgha Pūjā
Hari Besar Māgha Pūjā memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti
Agama Buddha dan Etika Pokok para bhikkhu. Sabda Sang Buddha di
hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditabiskan sendiri
oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu: Bhikkhu yang ditasbihkan sendiri oleh Sang
Buddha), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu
dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara
Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha disebut Vihara.

E. KONGHUCHU
Konfusianisme (Konghuchu) adalah sebuah kepercayaan yang resmi dan
diakui di Indonesia bersama dengan 5 kepercayaan lain. Konfusianisme
dianggap sebagai agama yang muncul sebagai akibat dari keadaan politik
di Indonesia pada era Orde Baru. Konfusianisme lazim dikaburkan makna dan
hakikatnya sebagai filsafat atau pandangan hidup.
Konfusius menganggap dirinya sebagai pemancar nilai-nilai budaya yang
diwarisi dari Xia (c. 2070–1600 SM), Shang (c. 1600–1046 SM) dan dinasti
Zhou Barat (c. 1046–771 SM).[2] Konfusianisme ditekan selama Dinasti
Qin yang Legalis dan otokratis (221–206 SM), tetapi bertahan. Selama dinasti
Han (206 SM–220 M), pendekatan Konfusianisme mengesampingkan "proto-
Taois" Huang–Lao sebagai ideologi resmi, sementara para kaisar
mencampurkan keduanya dengan teknik Legalisme realis.[3]

Sejarah
Konfusianisme sebagai agama dan filsafat
Konfusianisme umumnya memang tidak muncul dalam bentuk agama di dunia,
bahkan di berbagai negara asia seperti Korea, Jepang, Taiwan, Hongkong
dan Tiongkok sekalipun. Namun di Indonesia Konghucu diakui sebagai salah satu
dari 6 agama yang dianut masyarakat. Konghucu sebagai agama digagas Kang
Youwei menjelang keruntuhan Dinasti Qing tahun 1900. Namun gagasan Kang
Youwei tampaknya tidak diterima oleh komunitas Tionghoa perantauan di
berbagai negara, apalagi di Tiongkok sendiri
pemerintah merekognisi 5 agama yaitu
Buddha, Tao, Kristen, Katolik, dan Islam.
[4]
Dalam bahasa Tionghoa, ajaran Konghucu
dikenal dengan istilah Kongjiao ( 孔 教 )
atau Rujiao ( 儒 教 ). Alih-alih merekognisi
sebagai agama, Tiongkok mendirikan
Confusius Institutes di 146 negara untuk
memperkenalkan bahasa mandarin dan kultur
Tiongkok serta memfasilitasi pertukaran
budaya. Hal yang dicurigai barat sebagai kuda
troya pemerintah Cina dalam memperluas
pengaruhnya secara global.
Konghucu sebagai institusi agama di Indonesia menerapkan hal-hal berikut.
 Mengangkat Konfusius sebagai salah satu nabi (先知)
 Menetapkan Litang (Gerbang Kebajikan) dan klenteng sebagai tempat
ibadah resmi bagi umat Khonghucu. Penggunaan istilah kelenteng ini
melahirkan kerancuan, karena klenteng sesungguhnya adalah istilah umum
yang digunakan masyarakat awam untuk menyebut semua tempat ibadah
berarsitektur Tiongkok. Di Indonesia, kelenteng-kelenteng tertua justru adalah
tempat ibadah umat Buddha, dan Tao. Sedangkan untuk Konghucu baru hadir
pada 1906 di Surabaya dan satu-satunya di Asia Tenggara. Sebelum 1906
tidak ada tempat ibadah Agama Konghucu di Indonesia.
 Menetapkan Sishu Wujing (四書五經) sebagai kitab suci resmi
 Menetapkan tahun baru Imlek, sebagai hari raya keagamaan resmi, meskipun
menyebabkan kontroversi karena di berbagai belahan dunia Imlek bukanlah
hari raya agama tertentu.
 Hari-hari raya keagamaan lainnya; Imlek, Hari lahir Khonghucu (27-8 Imlek),
Hari Wafat Khonghucu (18-2-Imlek), Hari Genta Rohani (Tangce) 22
Desember, Chingming (5 April), Qing Di Gong (8/9-1 Imlek) dsb.[5]
 Rohaniwan; Jiao Sheng (Penyebar Agama), Wenshi (Guru Agama), Xueshi
(Pendeta), Zhang Lao (Tokoh/Sesepuh).
 Kalender Imlek terbukti dibuat oleh Nabi Kongzi (Konfusius). Nabi Kongzi
mengambil sumbernya dari penangalan dinasti Xia (2200 SM) yang sudah
ditata kembali oleh Nabi Khongcu.[butuh rujukan]
Tahun Zaman Nabi Khongcu Tahun Baru jatuh 22 Desember. 4 Februari
pergantian musim dingin ke musim semi. Jadi Imlek bukan perayaan musim semi.
Perkiraan tanggal 1 imlek, rentang waktunya 15 hari kedepan dan 15 hari
kebelakang dari 4 Februari tersebut.Tiap 4 atau 5 tahun sekali ada bulan ke 13,
untuk menggenapi agar perhitungan tersebut tidak berubah.[perlu dijelaskan]

Agama Konghucu pada zaman


Di zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas
berbau kebudayaan dan tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak
pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai
pemeluk salah satu dari 5 agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan
politis (dituduh sebagai ateis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian
diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi
pemeluk agama Buddha, Islam, Katolik, atau Protestan. Klenteng yang
merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa juga terpaksa
mengubah nama dan menaungkan diri menjadi wihara yang merupakan tempat
ibadah agama Buddha.
Sejak berdirinya Boen Bio di Surabaya pada 1906, lalu diikuti berdirinya
organisasi Kong Kau Hwe di Surakarta 1923, Kong Tju Bio di Cirebon 1932, dan
lain-lain, jumlah penganut Konghucu memang tidak berkembang sebagaimana
diharapkan. Hal ini diakibatkan sejak semula, gagasan dari Kang Youwei ini di
Hindia Belanda ditentang mayoritas masyarakat Tionghoa. Perdebatan di media
massa pada jaman tersebut menunjukkan bahwa gagasan ini tidak menjadi
arusutama. Apalagi setelah masa orde baru, kondisi sosial politik sangat tidak
kondusif bagi perkembangan Agama Konghucu.
Agama Konghucu pada zaman
Seusai Orde Baru, pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan
kembali pengakuan atas identitas mereka sejak masa kepemimpinan presiden KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan
bahwa agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Ajaran Konfusianisme
Ajaran Konfusianisme dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao ( 儒
教 ), yang berarti kepercayaan dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan
berbudi luhur. Konfusius memang bukanlah pencipta kepercayaan ini melainkan
dia hanya menyempurnakan kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum
kelahirannya seperti apa yang dia sabdakan: "Aku bukanlah pencipta melainkan
Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut." Meskipun orang-orang kadang
mengira bahwa Konfusianisme adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk
meningkatkan moral dan menjaga etika manusia, sebenarnya jika seseorang ingin
memahami secara benar dan utuh tentang Konfusianisme, maka ia akan
mengetahui bahwa dalam Konfusianisme juga terdapat ritual yang harus
dilakukan oleh para penganutnya. Konfusianisme juga mengajarkan tentang
bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut "Ren Dao" dan
bagaimana kita melakukan hubungan dengan pencipta alam semesta (Tian Dao)
yang disebut dengan istilah "Tian" atau "Shang Di".
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Konfusius yang lahir pada tahun 551 SM
dengan nama Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Ia dikenal dengan
penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Konfusius banyak menulis
buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh
penganut ajaran ini. Ia wafat pada tahun 479 SM.
Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan penunggu
tetapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang keramat atau
penunggu yang tidak patut disembah, yang dipentingkan dalam ajarannya adalah
bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.
Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya Mengzi ke seluruh Tiongkok dengan
beberapa penyempurnaan.

Intisari ajaran Konghucu


Falsafah Dasar
1. TIAN
Tian adalah Maha Pencipta alam semesta. Manusia tidak dapat memahami
hakikat sejati Tian sehingga Ia dilambangkan dengan ciri-ciri berikut:[6]
Yuan: yang selalu hadir.
Heng: yang selalu berhasil.
Li: yang selalu membawa berkah.
Zhen: yang selalu adil, tidak membeda-bedakan.
2. XING
Xing adalah jati diri manusia, kodrat, yaitu perwujudan firman Tian (Tian
Ming) dalam diri manusia. Xing menghubungkan Tian dengan segala
ciptaannya. Manusia sulit mengenali xingnya karena tertutup oleh emosi,
napsu; maka manusia harus dibimbing dengan pedoman etika.
Meskipun xing setiap manusia berbeda-beda, tetapi memiliki satu persamaan
yaitu Ren (perikemanusiaan).[6]
3. REN
Ren atau perikemanusiaan dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu Zhong (setia) dan Shu (solidaritas).[6]
Zhong merupakan kependekan dari istilah zhong yi Tian (lit. setia kepada
Tuhan), yaitu berserah diri,lahir dan batin kepada Tuhan.
Shu merupakan kependekan dari istilah shu yi ren (lit. solider kepada sesama
manusia atau "cinta kasih sejati".
Terdapat dua istilah yang menerangkan arti Shu lebih lanjut.[6]
Ji suo bu yu, wu shi yu ren, yaitu "apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan
dilakukan terhadap orang lain". (Lunyu)
Ji yu li er li ren, ji yu da er da ren, yaitu "kalau ingin tegak, buatlah orang lain
juga tegak; jika ingin maju, buatlah orang lain juga maju".
Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui)
Delapan Pengakuan Iman (Ba Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu:

1. Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
2. Sepenuh Iman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
3. Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
4. Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
5. Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)
6. Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu
Duo)
7. Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing
Shu)
8. Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao)
Lima Sifat Mulia (Wu Chang)
1. Ren – Cinta Kasih
yaitu sifat mulia pribadi seseorang terhadap moralitas, cinta kasih,
kebajikan, kebenaran, tahu-diri, halus budi pekerti, tanggang rasa,
perikemanusiaan. Ini merupakan sifat manusia yang paling mulia dan
luhur.
2. Yi – Kebenaran/Keadilan/Kewajiban
yaitu sifat mulia pribadi seseorang dalam solidaritas serta senantiasa
membela kebenaran. Bila Ren sudah ditegakkan, maka Yi harus menyertai.
3. Li – Kesusilaan/Kepantasan
yaitu sifat mulia pribadi seseorang yang bersusila, sopan santun, tata
krama, dan budi pekerti. Semula Li hanya dikaitkan dengan perilaku yang
benar dalam upacara keagamaan, tetapi selanjutnya diperluas hingga ke
adat-istiadat dan tradisi dalam masyarakat.
4. Zhi – Bijaksana
yaitu sifat mulia pribadi seseorang yang arif bijaksana dan penuh
pengertian. Kong Hu Cu merangkaikan munculnya kebijaksanaan
seseorang dengan selalu sabar dalam mengambil tindakan, penuh
persiapan, melihat jauh ke depan, serta memperhitungkan segala
kemungkinan yang akan terjadi.
5. Xin – Dapat dipercaya
yaitu sifat pribadi seseorang yang selalu percaya diri, dapat dipercaya
orang lain, dan senantiasa menepati janji.
Lima Etika (Wu Lun)
Lima hubungan norma etika dalam bermasyarakat merupakan bentuk dasar
interaksi manusia. Dengan menjalani kehidupan yang sesuai dengan asas Wu Lun,
seseorang akan menikmati keselarasan dalam kepribadiannya maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat.[6]
 Hubungan antara Pimpinan dan Bawahan
 Hubungan antara Suami dan Isteri
 Hubungan antara Orang tua dan anak
 Hubungan antara Kakak dan Adik
 Hubungan antara Kawan dan Sahabat

Delapan Kebajikan (Ba De)


Delapan Kebajikan (Ba De):
1. Xiao - Laku Bakti; yaitu berbakti kepada orang tua, leluhur, dan guru.
2. Ti - Rendah Hati; yaitu sikap kasih sayang antar saudara, yang lebih muda
menghormati yang tua dan yang tua membimbing yang muda.
3. Zhong - Setia; yaitu kesetiaan terhadap atasan, teman, kerabat, dan negara.
4. Xin - Dapat Dipercaya
5. Li - Susila; yaitu sopan santun dan bersusila.
6. Yi - Bijaksana; yaitu berpegang teguh pada kebenaran.
7. Lian - Suci Hati; yaitu sifat hidup yang sederhana, selalu menjaga kesucian,
dan tidak menyeleweng/ menyimpang.
8. Chi - Tahu Malu; yaitu sikap mawas diri dan malu jika melanggar etika dan
budi pekerti.

Kitab Suci
Kitab suci agama Konghucu dibagi menjadi dua kelompok:
 Wu Jing (五 經) (Kitab Suci yang Lima) yang terdiri atas:
1. Kitab Sanjak Suci 詩經 Shi Jing

2. Kitab Dokumen Sejarah 書經 Shu Jing


3. Kitab Wahyu Perubahan 易經 Yi Jing
4. Kitab Suci Kesusilaan 禮經 Li Jing
5. Kitab Chun-qiu 春秋經 Chunqiu Jing
 Si Shu (Kitab Yang Empat) yang terdiri atas:
1. Kitab Ajaran Besar - 大學 Da Xue
2. Kitab Tengah Sempurna - 中庸 Zhong Yong
3. Kitab Sabda Suci - 論語 Lun Yu Diarsipkan 2018-05-17 di Wayback
Machine.
4. Kitab Mengzi - 孟子 Meng Zi
Selain itu masih ada satu kitab lagi: Xiao Jing (Kitab Bakti).

Definisi agama menurut agama Konghucu


Berdasarkan kitab Zhong Yong agama adalah bimbingan hidup karunia
Tian/Tuhan Yang Maha Esa (Tian Shi) agar manusia mampu membina diri hidup
di dalam Dao atau Jalan Suci, yakni "hidup menegakkan Firman Tian yang
mewujud sebagai Watak Sejati, hakikat kemanusiaan". Hidup beragama berarti
hidup beriman kepada Tian dan lurus satya menegakkan firmanNya.
Nabi
Para nabi (儒教聖人) dalam Ru Jiao terbagi dalam beberapa zaman seperti yang
tercantum di bawah ini.
Masa prasejarah (sebelum 2205 SM)
 Nabi Purba Fu Xi (Hanzi: 伏羲), hidup sekitar 2952 – 2836 SM.
Dia menerima wahyu He tu (peta sungai) yang tergambar di punggung seekor
hewan gaib Long ma, yang keluar dari dalam Sungai Huang Ho. Lambang
wahyu tersebut kini dikenal sebagai lambang Bagua. Nabi Nu
Wa (Hokkien:Lie Kwa), istri Fuxi, menciptakan Hukum Pernikahan.[6]
 Nabi Purba Shen Nong (Hanzi:神農), hidup sekitar 2838 – 2698 SM.
 Nabi Purba Huang Di (Hanzi:黃帝), hidup sekitar 2698 – 2596 SM.
Istrinya, Nabi Lei Zu adalah penemu sutra yang ditenunnya dari kepompong
ulat sutra, dan bersama Huang Di menciptakan alat tenun, pakaian Hian Ik
(pakaian harian) dan Hong Siang (pakaian upacara).
 Nabi Purba (堯) Yao 2357 – 2255 SM.
Pada zamannya dilakukan penyempurnaan perhitungan kalender dengan
menambah bulan kabisat Imlek, sehingga setiap tanggal 15 selalu jatuh tepat
ketika bulan sedang bulat penuh.
 Nabi Purba (舜) Shun 2255 – 2205 SM.
Zaman Dinasti Xia
Nabi Purba (大 禹) Da Yu 2205 – 2197 SM.
Sewaktu berada di tepian Sungai Luohe, dalam rangka tugasnya sebagai pengawas
penanggulangan banjir, Yu melihat seekor kura-kura gaib muncul dari dalam air.
Guratan-guratan di punggung kura-kura itu menyadarkan dirinya akan wahyu
ilahi yang kemudian dinamakan Luo Shu (Kitab Sungai Luohe) yang menjadi
cikal bakal houtian bagua. Pada masa pemerintahannya, versi pertama
dari falsafah perubahan yang disebut Lian Shan Yi (Rangkaian Gunung) dan Hong
Fan ditulis.[6]

Anda mungkin juga menyukai