Anda di halaman 1dari 41

PROPOSAL

Gulacar O., Zowada C. Etc. Integration of a sustainability-oriented socio-


scientific issue into the general chemistry curriculum: Examining the effects
on student motivation and self-efficacy. Journal Sustainable Chemistry and
Pharmacy.2020. https://doi.org/10.1016/j.scp.2020.100232.
Educational Research Review
Volume 32, February 2021, 100377

Thematic Review

Chen L., Xiao Sihan. Perceptions, challenges and coping strategies of science
teachers in teaching socioscientific issues: A systematic review. Journal Educational
Research Review. 2021. https://doi.org/10.1016/j.edurev.2020.100377.
Author links open overlay panelLicui Chen (陈丽
翠) , Sihan Xiao (肖思汉)
a b c

Chen L., Xiao Sihan. Perceptions, challenges and coping strategies of science
teachers in teaching socioscientific issues: A systematic review. Journal Educational
Research Review. 2021. https://doi.org/10.1016/j.edurev.2020.100377.

Ozcan Gulacar a, Christian Zowada b, Sally Burke a, Aryana Nabavizadeh a, Ashley Bernardo
a
, Ingo Eilks b

Hayati Nur, Ayu N.B., Wijayadi W.A., Profil Keterampilan Berpikir Kritis Mahasiswa
Universitas Hasyim Asy’ Ari Jombang Pada Matakuliah Biologi Dasar. Jurnal Pendidikan
Biologi. 2019. http://journal2.um.ac.id/index.php/jpb jpb.journal@um.ac.id

Kusuma V.R, Mustofa A. Meningkatkan Keterampilan Argumentasi Mahasiswa Melalui


Simulasi Phet : Kasus Mekanisme Seleksi Alam Pada Matakuliah Biologi Umum. Jurnal
Biolova. 2023.

Ariyati E, dkk. Pemberdayaan Keterampilan Berpikir Kritis Melalui Pembelajaran Process


Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL). Jurnal FKIP UKSW. 2021.

Eka Ariyati1 , Herawati Susilo2 , Hadi Suwono3 , Fatchur Rohman4

i
MENINGKATKAN KETERAMPILAN ARGUMENTASI MAHASISWA MELALUI
SIMULASI PhET : KASUS MEKANISME SELEKSI ALAM PADA MATAKULIAH
BIOLOGI UMUM Rachmalia Vinda Kusuma1 , Ali Mustofa2*

Rachmalia Vinda Kusuma1 , Ali Mustofa2* 1 Pendidikan Matematika FKIP Universitas


PGRI Ronggol

3
Oktaviana Nirmala Purba1, Kula Ginting2, Johannes

.2022.PENGARUH KESIAPAN BELAJAR MANDIRI DAN SELF-


EFFICACY MAHASISWA TERHADAP HASIL BELAJAR
MAHASISWA PROGRAM STUDI PGSD. Bina Gogik, p-ISSN: 2355-3774 Volume 9
No. 2 September 2022

Hubungan Antara Self Regulated Learning dengan Self Efficacy Mahasiswa melalui
Strategi Blended Learning pada Perkuliahan Biologi Dasar
M Palennari, F Daud
Jurnal Sainsmat 10 (2), 172-177

M Palennari, Daud F. Hubungan antara Self Regulated Learning dengan Self Efficacy
Mahasiswa melalui Strategi Blenden Learning pada Perkuliahan Biologi Dasar. Jurnal
Sainsmat. 2021.

Oktaviana, Kula Ginting dan Johannes. 2022. Pengaruh Kesiapan Belajar


Mandiri dan Self Efficacy Mahasiswa terhadap Hasil Belajar Mahasiswa
Program Studi PGSD. Jurnal Bina Gogik. Volumen 9 No.2 September 2022.
Rifka Almunawarah, Adnan dan Arsad Bahri.2023. Analisis Keterampilan Berpikir Kritis
Peserta Didik SMA Negeri 8 Makassar. Prosiding Seminar Nasional Biologi FMIPA UNM
ISSN:2963-2137 Inovasi Sains dan Pembelajarannya: Tantangan dan Peluang
Pengembangan Model Peer Instruction Flip Based Socio Scientific Issue
Learning (PIF-SSI) Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan
Argumentasi Ilmiah Mahasiswa

Melalui LMS, akses materi pembelajaran menjadi lebih mudah dan fleksibel. Interaksi
dengan dosen dan sesama mahasiswa juga semakin dinamis melalui fitur kolaborasi
online. Evaluasi dan pemantauan kemajuan belajar menjadi lebih efisien, sementara
akses ke sumber belajar tambahan memperkaya pengalaman belajar.
Akses materi pembelajaran agar lebih mudah dan fleksibel,

Iriani T, dan Anisah. PELATIHAN MEDIA PEMBELAJARAN BERBASIS E-


LEARNING, PEMBUATAN VIDEO PEMBELAJARAN DAN SCHOOLOGY
PENUNJANG PEMBELAJARAN DARING UNTUK GURU SMK. Prosiding Seminar
Nasional Pengabdian kepada Masyarakat 2021 (SNPPM-2021). 2021

Sugrah Ugha N. Implementasi teori belajar konstruktivisme dalam pembelajaran sains. Jurnal
Humanika. 2020.
Implementasi teori belajar konstruktivisme
dalam pembelajaran sains
Nurfatimah Ugha Sugrah,
Fuadil M,

Fu
Jurnal Ilmiah Mandala Education (JIME) Vol. 8, No. 4, Oktober 2022 p-ISSN : 2442-9511,
e-2656-5862 DOI: 10.36312/jime.v8i4.4073/http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/
JIME 3013 | Pengaruh Situated Learning terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMP
(Muhammad Fuadi) Pengaruh Model Pembeljaran Situated Learning Terhadap Hasil Belajar
Fisika Siswa SMP Muhammad Fuadi1 , Asriyadin2
Fuadil M, dan Asriyadin. Pengaruh Situated Learning terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa
SMP. Jurnal Mandalanursa. 2022.
10.36312/jime.v8i4.4073/http://ejournal.mandalanursa.org/index.php/JIME

TINJAUAN FILSAFATI (ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN


AKSIOLOGI MANAJEMEN PEMBELAJARAN BERBASIS TEORI
SIBERNETIK
(1)
Tri Suminar ,

DOI: https://doi.org/10.15294/edukasi.v13i2.961

Suminar T. Tinjauan Filsafati (Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Manajemen


Pembelajaran Berbasis Teori Sibernetik). Jurnal Edukasi. 2019.
https://doi.org/10.15294/edukasi.v13i2.961

 Kapan saja
 mencakup kutipan
[PDF]
unm.ac.id
ANALISIS PENERAPAN PENDEKATAN BERBASIS SOCIO-
SCIENTIFIC ISSUES (SSI) dalam PEMBELAJARAN MATERI
BIOLOGI
SM Nur
Prosiding Seminar Nasional Biologi: Inovasi Sains & Pembelajarannya, 2023•journal.unm.ac.id

Analisis Penerapan Pendekatan Berbasis Socio-Scientific Issues (SSI) dalam Pembelajaran Materi
Biologi. Prosiding Seminar Nasional Biologi: Inovasi Sains & Pembelajarannya, 2023.

Konfigurasi: Jurnal Pendidikan Kimia dan Terapan, Vol. 6, No. 1, Januari 2022 Website:
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/konfigurasi/index p-ISSN 2549-1679 e-ISSN 2807-
8241 36
Desrita, Afrianis N. Pengaruh Model Flipped Classroom Learning Tipe Peer Instruction
Flip Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Materi Ikatan Kimia. Jurnal Uin Suska. 2022.
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/konfigurasi/index

M Palennari, Daud F, Pengembangan Strategi Blended-Learning pada Perkuliahan Biologi


Dasar. Indonesian Journal of Educational Studies (IJES)22 (1), 16-22. 2019.

Desrita 1), Neti Afrianis 2) 1Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Kimia, FTK

i
Pengembangan strategi blended-learning pada perkuliahan biologi dasar
M Palennari, F Daud
INDONESIAN JOURNAL OF EDUCATIONAL STUDIES (IJES) 22 (1), 16-22

M Palenna
Pengembangan Strategi Blended Learning pada Perkuliahan Biologi Dasar.
M
PROGRAM STUDI DOKTOR PENDIDIKAN BIOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2024

Hubungan Antara Self Regulated Learning dengan Self Efficacy Mahasiswa melalui Strategi
Blended Learning pada Perkuliahan Biologi Dasar
M Palennari, F Daud
Jurnal Sainsmat 10 (2), 172-177

M
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Pengembangan Hyflex Learning Model terintegrasi Socio Scientific


Issue (SSI) untuk meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Literasi Sains
Mahasiswa

Nama : Sri Mukminati Nur

NIM : 220033101002

Program Studi : Doktor Pendidikan Biologi

Menyetujui,

.......................................................
Promotor

......................................................... .........................................
Kopromotor 1 Kopromotor 2

Mengetahui:

Ketua Direktur
Program Studi Program Pascasarjana
Doktor Pendidikan Biologi, Universitas Negeri Makassar,

.............................................................. .............................................
NIP. NIP .

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I

PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 6

D. Manfaat Penelitian 7

BAB II 8

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 8

A. Teori Belajar yang Mendukung Pengembangan Model 8

B. Keterampilan Berpikir Kritis 13

C. Literasi Sains 21

D. Model Pembelajaran 25

E. Konsep Pengembangan Model Flip Based Argumentation Social Scientific

Issue Learning (FASL) 26

F. Kerangka Pikir 29

BAB III 32

METODE PENELITIAN 32

A. Model Penelitian & Pengembangan 32

B. Prosedur Pengembangan 35

C. Uji Coba Produk 38

D. Teknik Analisis Data 40

ii
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................46

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang pesat terutama di masa pasca pandemi sekarang

ini sangat berperan besar terutama dalam bidang pendidikan. Berbagai terobosan dalam

perkembangan IPTEK terutama dalam lingkup biologi yang semakin mengglobal

seperti bioteknologi, nanoteknologi, penyakit hewan, ketahanan pangan, rekayasa

genetika dan vaksinasi. Terobosan ini memberikan efek samping terkait dengan

kesehatan, keberlanjutan lingkungan, atau masalah ekonomi (Holbrook, 2017). Oleh

karena itu, perguruan tinggi sebagai lembaga penghasil sumber daya manusia perlu

menyiapkan kompetensi lulusan yang berkualitas dan mampu menghadapi masalah

dunia nyata yang kompleks terkait kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun, kecenderungan yang terjadi saat ini menunjukkan kesulitan mahasiswa

untuk mampu menciptakan relevansi antara pengetahuan biologi yang mereka pelajari

dengan persoalan hidup sehari-hari. Lulusan atau mahasiswa harus memiliki

kemampuan dalam mengolah dan mengaitkan antara teori dan praktik di lapangan yang

tidak mudah (Handayani et al., 2020), maka perlu ada upaya lebih terutama dalam

pembelajaran. Pola baru dalam pembelajaran memerlukan konsep belajar baru yang

lebih mengedepankan pada kemampuan untuk memunculkan solusi atau ide dalam

pemecahan yang dihadapi di lingkungan. Pola pendekatan pembelajaran yang tepat

sangat berperan dalam mencapai tujuan pembelajaran (Siska et al., 2020; Winarni &

Nugraheni, 2021) ini salah satunya dengan pembelajaran berbasis masalah yang ada di

masyarakat atau Socio Scientific Issue (SSI). SSI menggunakan isu/permasalahan yang

berkembang di masyarakat secara konsep maupun prosedur yang berhubungan dengan


ii
sains dan dipengaruhi oleh aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik (Khozin, dkk

2020).

Socio-scientific issues (SSI) menjadi hal yang baru bagi Indonesia, sehingga

pendekatan pembelajaran berbasis SSI sulit ditemukan. Hasil wawancara dengan

beberapa dosen biologi di beberapa perguruan tinggi yang ada di Sulawesi Selatan juga

belum menggunakan pendekatan SSI. Peran yang tepat dari seorang pendidik sains

adalah pembelajaran yang fokus pada aplikasi ilmiah untuk solusi masalah sosial,

khususnya masalah yang menjadi kontroversial yaitu masalah sosial ilmiah (Yerrick,

2000; Sadler & Donnelly, 2006).

Pembelajaran biologi adalah salah satu cabang ilmu sains yang meliputi fakta

dan prinsip yang membutuhkan penyelesaian masalah dengan menggunakan

keterampilan berpikir kritis. Mahasiswa perlu memiliki keterampilan berpikir kritis

dalam menjalani perkuliahan. Keterampilan ini memungkinkan mereka menganalisis

informasi dengan kritis, mengevaluasi argumen dan mengambil keputusan yang

rasional. Rendahnya keterampilan berpikir peserta didik disebabkan oleh aktivitas

belajar yang pasif, yaitu minimnya keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran (1).

Keterampilan berpikir kritis yang rendah mempunyai implikasi yang buruk untuk

pendidikan pada tahap selanjutnya. Oleh sebab itu, keterampilan berpikir kritis harus

diujikan secara terus menerus (2) Keterampilan berpikir kritis antar wilayah di

Indonesia menunjukkan hasil yang berbeda-beda, tetapi secara keseluruhan rata-rata

keterampilan berpikir kritis peserta didik masih dalam kategori rendah. Saputri et al.

(2019).

Selain itu, dalam pembelajaran sains jarang sekali menggunakan argumentasi

dalam pemecahan masalah sosial ilmiah, padahal dalam pembelajaran sains ditekankan

penalaran dan argumentasi kritis (Driver, dkk, 2000; Jimenez-Aleixandre, dkk, 2000;

Kim & Song, 2006; Simon, dkk, 2006). Oleh karena itu, perlu pengembangan model
i
yang mampu meningkatkan kemampuan keterampilan berpikir kritis dan argumentasi

ilmiah yaitu salah satunya dengan pendekatan SSI. Namun, dalam penerapan SSI itu

sendiri akan terkendala dengan waktu yang sangat terbatas jika diterapkan di dalam

kelas. Sehingga peneliti, menggunakan blended learning dengan model flipped

classroom tipe Per Instrcuction dimana terdapat pembelajaran dengan tipe asinkrounus

dan sinkronounus. Dari penelitian https://ojs.unm.ac.id/Insani/article/view/9343/5398),

disarankan kepada dosen-dosen agar dapat menggunakan e-learning dalam perkuliahan.

Model pembelajaran flipped classroom tipe peer instruction flipped ini dapat

membantu peserta didik dalam melatih dan meningkatkan kemampuan berpikir krtitis.

Model pembelajaran flipped classroom ini bukan hanya sekedar belajar menggunakan

video pembelajaran tetapi lebih menekankan bagaimana peserta didik memanfaatkan

waktu di kelas agar pembelajaran lebih bermutu dan bisa meningkatkan pengetahuan

serta kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Tipe pembelajaran flipped di mana siswa perlu mempelajari materi dasar sebelum

memulai kelas melalui video. Saat di dalam kelas siswa disuruh menjawab pertanyaan

konseptual secara individu dan juga diberikan kesempatan untuk saling beradu argumen

terhadap soal/pertanyaan yang diberikan. Pada akhir pembelajaran siswa diberikan tes

pemahaman secara individu.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana perancangan model pembelajaran Model Peer Instruction Flip Based


Social Scientific Issue Learning (PIF-SSI) Untuk Meningkatkan Keterampilan
Berpikir Kritis, dan Argumentasi Ilmiah Biologi?
2. Bagaimana tingkat kevalidan, kepraktisan dan keefktifan Pengembangan Model
Peer Instruction Flip Based Social Scientific Issue Learning (PIF-SSI) Untuk
Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis, dan Argumentasi Ilmiah Biologi?

PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH


Pendekatan pemecahan masalah pendekatan penelitian research and development (R &
D) dengan metode pendekatan SSI yang didukung oleh beberapa teknologi dengan uraian
sebagai berikut :
ii
1. Penggunaan LMS (Learning Management System) secara online untuk
mengumpulkan data aktivitas mahasiswa, seperti kehadiran, melihat materi,
mengerjakan kuis dan mengumpulkan tugas.
2.

STATE OF ART DAN KEBAHARUAN


Berbagai penelitian yang telah dilakukan terkait pembelajaran Model Peer Instruction
Flip Blended Learning dan Socio Scientific Issues oleh beberapa peneliti sebelumnya
dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 1. Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian Hasil Penelitian
Pengembangan Strategi Blended-Learning Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada perkuliahan Biologi Dasar blended learning mata kuliah Biologi
( https://ojs.unm.ac.id/Insani/article/view/9343) Dasar memenuhi kriteria validitas
dengan kategori sangat valid dan praktis.
Dari hasil penelitian tersebut, disarankan
kepada dosen-dosen agar dapat
menggunakan e-learning dalam
perkuliahan.
Analisis penggunaan pendekatan socio- Pembelajaran dengan pendekatan socio-
scientific issues (SSI) di perguruan tinggi scientific issue (SSI) belum banyak
diketahui dan diimplementasikan dalam
pembelajaran IPA. Pembelajaran dengan
SSI mampu mengembangkan
kemampuan menggali dan memecahkan
permasalahan sesuai konsep IPA
Penerapan Pendekatan Socio-Scientific Hasil respons siswa memperoleh
Issues berbantuan E-LKPD pada materi zat persentase tinggi, artinya siswa
aditif untuk meningkatkan literasi sains memberikan respons sangat baik pada E-
siswa LKPD. Berdasarkan hasil tersebut, dapat
disimpulkan bahwa penerapan
pendekatan socio-scientific issues
berbantuan E-LKPD dapat meningkatkan
literasi sains siswa.
Analisis Penerapan pendekatan Berbasis Hasil studi literatur menunjukkan bahwa
Socio-Scientific Issues (SSI) dalam artikel literatur mengangkat isu-isu sains
pembelajaran materi biologi nasional, belum ada artikel yang
mengangkat isu lokal daerah dan
penerapan SSI pada pembelajaran materi
biologi ini lebih banyak diterapkan pada
tingkat sekolah menengah pertama dan
beberapa artikel pada jenjang menengah
atas.

i
Adapun kebaruan dari penelitian ini adalah :
Penggembangan model pembelajaran Peer Instruction Flip Based Socio Scientific Issues
Learning (PIF-SSI) ini merupakan pengembangan yang perlu

Pengembangan Model Peer Instruction Flip Based Soci0 Scientific Issue


Learning (PIF-SSI) Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan
Argumentasi Ilmiah

Pernyataan tersebut didukung penelitian Rostikawati dan Anna pada tahun 2016.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kelima buku yang dianalisis belum memenuhi

persentase tahapan pembelajaran berbasis SSI (Rostikawati dan Anna, 2016).

Pembelajaran dengan pendekatan SSI merujuk pada upaya bersama untuk

memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksikan isu dalam mengevaluasi

klaim, menganalisis bukti, dan menilai berbagai sudut pandang tentang isu etika pada

topik ilmiah melalui interaksi sosial dan wacana (Zeidler et al., 2009).

Namun, berdasarkan hasil penelitian Dyah, 2022 menunjukkan bahwa pembelajaran

yang dilakukan dosen Pendidikan IPA belum menggunakan pendekatan socio-scientific

issue (SSI) dalam pembelajaran IPA. Hasil wawancara dengan beberapa dosen biologi

di berbagai perguruan tinggi yang ada di Sulawesi Selatan juga belum menggunakan

pendekatan SSI. Berdasarkan survey pembelajaran di jurusan pendidikan biologi lebih

ii
banyak menggunakan pendekatan lain yang dianggap sebagai pendekatan atau bahkan

metode pembelajaran yang tepat. Metode lain seperti PBL, Discovery, Inquary

dianggap sebagai metode yang mampu mengeksplorasi kemampuan kognitif dan

mampu meningkatkan peran aktif dalam mencari informasi dan pemecahan masalah

(Astuti & Setiawan, 2013; Ulandari et al., 2019). Peran yang tepat dari seorang

pendidik sains adalah pembelajaran yang fokus pada aplikasi ilmiah untuk solusi

masalah sosial, khususnya masalah yang menjadi kontroversial yaitu masalah sosial

ilmiah (Yerrick, 2000; Sadler & Donnelly, 2006). Namun, dalam pembelajaran sains

jarang sekali menggunakan argumentasi dalam pemecahan masalah sosial ilmiah,

padahal dalam pembelajaran sains ditekankan penalaran dan argumentasi kritis (Driver,

dkk, 2000; Jimenez-Aleixandre, dkk, 2000; Kim & Song, 2006; Simon, dkk, 2006).

Oleh karena itu, pengembangan model pembelajaran yang mampu meningkatkan

kemampuan argumentasi ilmiah mahasiswa.

Dengan pendekatan SSI di

Pembelajaran-pembelajaran tersebut adalah pembelajaran yang berpusat pada

peserta didik yang mengadopsi teori belajar konstruktivis. Sejumlah pembelajaran yang

mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut di antaranya adalah

pembelajaran berbasis permainan, pembelajaran berbasis projek, pembelajaran berbasis

masalah, dan pembelajaran berbasis argumen (Redhana, 2015). Dalam beberapa tahun

terakhir pentingnya argumentasi dalam pendidikan disorot secara luas yang diharapkan

i
dapat terjadi konstruktivisme sosial (Zohar & Nemet, 2002; Aufschnaiter, dkk, 2008;

Driver, dkk, 2000; Duschl & Osborne, 2002; Yerrick, 2000). Argumentasi dalam kelas

sangat penting karena dapat membantu guru untuk mengetahui kemampuan peserta

didik dalam bidang sains. Argumentasi dibutuhkan untuk mengetahui pendapat peserta

didik tentang suatu teori yang telah dikemukakan dan akan memunculkan suatu ide baru

dalam bidang pendidikan khususnya sains (Ulpa, dkk, 2014).

Peran yang tepat dari seorang pendidik sains adalah pembelajaran yang fokus pada

aplikasi ilmiah untuk solusi masalah sosial, khususnya masalah yang menjadi

kontroversial yaitu masalah sosial ilmiah (Yerrick, 2000; Sadler & Donnelly, 2006).

Namun, dalam pembelajaran sains jarang sekali menggunakan argumentasi dalam

pemecahan masalah sosial ilmiah, padahal dalam pembelajaran sains ditekankan

penalaran dan argumentasi kritis (Driver, dkk, 2000; Jimenez-Aleixandre, dkk, 2000;

Kim & Song, 2006; Simon, dkk, 2006). Sehubungan dengan hal tersebut permasalahan

dalam tulisan ini diarahkan pada seberapa penting keterampilan argumentasi di era

ledakan informasi digital. Dari permasalahan tersebut penelitian ini dilakukan untuk

mencari informasi mengenai pentingnya keterampilan argumentasi di era ledakan

informasi digital.

Socio-scientific issues (SSI) menjadi hal yang baru bagi Indonesia, sehingga bahan

ajar berbasis SSI sulit ditemukan. Pernyataan tersebut didukung penelitian Rostikawati

dan Anna pada tahun 2016. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari kelima buku yang

dianalisis belum memenuhi persentase tahapan pembelajaran berbasis SSI (Rostikawati

dan Anna, 2016). Menurut Sadler & Zeidler (2004) Socio-Scientific Issues (SSI)

melibatkan produk dan proses sains yang dapat menciptakan debat sosial dan

kontroversial. Socio-scientific issues mengambil masalah/isu/informasi/berita yang

ii
berada di lingkungan masyarakat dan menstimulasi siswa untuk berdebat serta

menyelesaikan suatu permasalahan. Socio-Scientific Issues adalah representasi dari isu-

isu dalam masyarakat yang berhubungan dengan sains dalam aspek sosial. SSI

memberikan peran kepada siswa untuk berpikir seperti ilmuwan dalam menyelesaikan

isu-isu sosial yang berada di masyarakat (Anggun dan Ozden, 2010). Salah satu materi

yang saat ini diperdebatkan persoalan dalam kehidupan sosial yang secara konseptual

berkaitan erat dengan sains (Anagün & Özden, 2010) dengan solusi jawaban yang

relatif atau tidak pasti. Tema yang mendukung SSI dapat luas, tetapi seringkali fokus

pada lingkungan, kesehatan, atau masalah genetik terkait. Namun, yang menjadi kendala

dalam SSI itu sendiri

berpikir kritis, literasi sains dan menghadapi masalah dunia nyata yang kompleks

terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

perlu menyiapkan kompetensi lulusan sesuai dengan dunia kerja

sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Berbagai terobosan dalam perkembangan IPTEK yang semakin mengglobal,

seperti bioteknologi, nanoteknologi, penyakit hewan yang dapat menular ke manusia,

ketahanan pangan, perubahan iklim, tenaga nuklir, pengelolaan air, pemberantasan

penyakit, rekayasa genetika, kloning, teknologi reproduksi dan vaksinasi (Robottom &

Simonneaux, 2012; Saunder & Rennie, 2011). Terobosan ini memberikan efek samping

terkait dengan kesehatan, keberlanjutan lingkungan, atau masalah ekonomi (Holbrook,

2017). Oleh karena itu, masyarakat termasuk siswa perlu dibekali keterampilan

pengambilan keputusan, mengembangkan argumen yang masuk akal dan kepedulian

terhadap masalah dunia nyata yang kompleks terkait dengan kemajuan sains dan
i
teknologi (Lee, Lee, & Zeidler, 2020). Teknologi yang berkembang mendukung segala

aktivitas baik dalam upaya memenuhi kebutuhan pembelajaran (Koe et al., 2018)

hingga kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan.

Berbagai terobosan dalam perkembangan IPTEK yang semakin mengglobal,

seperti bioteknologi, nanoteknologi, penyakit hewan yang dapat menular ke manusia,

ketahanan pangan, perubahan iklim, tenaga nuklir, pengelolaan air, pemberantasan

penyakit, rekayasa genetika, kloning, teknologi reproduksi dan vaksinasi (Robottom &

Simonneaux, 2012; Saunder & Rennie, 2011).

Perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang berkembang dengan

pesat menghadirkan banyak permasalahan kompleks bagi masyarakat. Teknologi yang

berkembang mendukung segala aktivitas baik dalam upaya memenuhi kebutuhan

pembelajaran (Koe et al, 2018) hingga kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan

papan. Berbagai terobosan dalam perkembangan IPTEK yang semakin mendunia antara

lain, contoh : bioteknologi, nanoteknologi, penyakit hewan yang menular ke manusia,

ketahanan pangan, perubahan ilkim, tenaga nuklir, pengelolaan air, pemberantasan

penyakit, rekayasa genetika, kloning, teknologi reproduksi dan lain-lain (Robottom &

Simonneaux, 2012; Saunder & Rennie, 2011). Oleh karena itu, masyarakat atau dalam

hal ini peserta didik, baik dalam lingkungan sekolah atau universitas harus memiliki

keterampilan dalam kemampuan berpikir kritis, literasi sains dan menghadapi masalah

dunia nyata yang kompleks terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemampuan literasi sains menjadi prioritas dalam pembelajaran sains, untuk

memungkinkan mereka menjaga kesehatan, kelestarian lingkungan dan bijak dalam

ii
mengambil keputusan sosial bagi diri mereka sendiri dan masyarakat (HanTosunoglu &

Lederman, 2021; Wiyarsi, Prodjosantoso & Nugraheni, 2021). Di era teknologi

informasi modern, peserta didik yang memiliki dasar pengetahuan ilmiah diharapkan

mampu berpikir kritis, mengenali fenomena ilmiah, dan berpartisipasi dalam debat

publik. Perspektif ini menekankan keterampilan literasi sains sebagai tujuan pendidikan

sains dan berfokus pada pengembangan keterampilan siswa untuk berpartisipasi aktif

dalam pembelajaran (Hofstein, Eliks & Bybee, 2011).

Berbagai terobosan dalam perkembangan IPTEK yang semakin mengglobal,

seperti bioteknologi, nanoteknologi, penyakit hewan yang dapat menular ke manusia,

ketahanan pangan, perubahan iklim, tenaga nuklir, pengelolaan air, pemberantasan

penyakit, rekayasa genetika, kloning, teknologi reproduksi dan vaksinasi (Robottom &

Simonneaux, 2012; Saunder & Rennie, 2011). Terobosan ini memberikan efek samping

terkait dengan kesehatan, keberlanjutan lingkungan, atau masalah ekonomi (Holbrook,

2017).

Perkembangan teknologi yang pesat terutama di masa pasca pandemi sekarang

ini sangat berperan besar terutama dalam bidang pendidikan. Teknologi yang

berkembang mendukung segala aktivitas baik dalam upaya memenuhi kebutuhan

pembelajaran (Koe et al., 2018) hingga kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan

papan. Perkembangan teknologi ini juga menjadikan pelaku usaha lebih kreatif lagi

(Handayani et al., 2020) dalam hal teknologi sebagai upaya untuk mempertahankan

usaha atau bisnis yang dilakukan (Saptaria & Setyawan, 2021). Kebutuhan usaha dalam

mengolah dan mengaitkan antara teori dengan praktik di lapangan tentu tidak mudah

i
(Handayani et al., 2020), perlu ada upaya lebih terutama dalam pembelajaran. Pola baru

dalam pembelajaran memerlukan konsep belajar baru yang lebih mengedepankan pada

kemampuan untuk memunculkan solusi atau ide dalam pemecahan yang dihadapi di

lingkungan. Pola pendekatan pembelajaran yang tepat sangat berperan dalam mencapai

tujuan pembelajaran (Siska et al., 2020; Winarni & Nugraheni, 2021) ini salah satunya

dengan pembelajaran berbasis masalah yang ada di masyarakat atau Socio Scientific

Issue (SSI). Pembelajaran dengan pendekatan SSI merujuk pada adanya konsep yang

dilematis antara sains dan isu atau masalah yang ada di masyarakat (El Arbid & Tairab,

2020; Subiantoro et al., 2013). SSI dapat pula diambil dari sumber yang ada di

masyarakat tentang mitos atau peristiwa yang terjadi yang dapat dijelaskan secara

ilmiah.

Berbagai terobosan dalam perkembangan IPTEK yang semakin mengglobal,

seperti bioteknologi, nanoteknologi, penyakit hewan yang dapat menular ke manusia,

ketahanan pangan, perubahan iklim, tenaga nuklir, pengelolaan air, pemberantasan

penyakit, rekayasa genetika, kloning, teknologi reproduksi dan vaksinasi (Robottom &

Simonneaux, 2012; Saunder & Rennie, 2011). Terobosan ini memberikan efek samping

terkait dengan kesehatan, keberlanjutan lingkungan, atau masalah ekonomi (Holbrook,

2017). Oleh karena itu, masyarakat termasuk siswa perlu dibekali keterampilan

pengambilan keputusan, mengembangkan argumen yang masuk akal dan kepedulian

terhadap masalah dunia nyata yang kompleks terkait dengan kemajuan sains dan

teknologi (Lee, Lee, & Zeidler, 2020). Kemampuan literasi sains dan menjadi warga

negara yang bertanggungjawab menjadi prioritas dalam pembelajaran sains, agar

memungkinkan mereka dapat menjaga kesehatan, kelestarian lingkungan, dan bijak

dalam mengambil berbagai keputusan sosial bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat

(HanTosunoglu & Lederman, 2021; Wiyarsi, Prodjosantoso, & Nugraheni, 2021). Di

era teknologi informasi modern, siswa dengan kemampuan literasi sains diharapkan

ii
mampu berpikir kritis, mengidentifikasi fenomena ilmiah, dan berpartisipasi dalam

diskusi publik. Sudut pandang tersebut menekankan pada penanaman literasi sains

sebagai tujuan pendidikan sains, di mana titik fokus pembelajaran adalah

mengembangkan kemampuan siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dalam

pembelajaran (Hofstein, Eilks, & Bybee, 2011).

Perkembangan zaman menuntut pendidikan yang memberikan kompetensi yang

sesuai kebutuhan masyarakat. Berdasarkan penelitian dalam berbagai bidang seperti

sosial-sains diketahui bahwa peserta didik yang lulus dari berbagai sekolah di berbagai

negara tidak memiliki kemampuan untuk bersaing pada skala global karena tidak

memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis (Frijters et al., 2008) . Pentingnya

berpikir kritis sebenarnya telah dibuktikan semenjak zaman Socrates. Bahkan, pada

kegiatan ilmiah juga mensyaratkan pemikiran yang kritis, sangat mengejutkan melihat

sedikitnya lulusan mahasiswa yang dapat menunjukkan kemampuan ini.

Ketidakmampuan hasil pembelajaran untuk berpikir kritis telah menjadi isu nasional

yang harus segera ditanggulangi (Quitadamo et al., 2008) Seseorang diharapkan dapat

menentukan posisinya di lingkungan dan mempertahankan eksistensinya menggunakan

dasar yang masuk akal.

Pengembangan keterampilan melibatkan kemampuan kognitif yang kompleks

dan menantang baik bagi pendidik maupun peserta didik. Pembelajaran sains tradisional

dianggap sudah tidak sesuai lagi untuk meningkatkan pemahaman. Karena lemahnya

hubungan antara penguasaan fakta sains dan bagaimana sains digunakan, kebanyakan

peserta didik tidak dapat menyatukan keduanya dan memandang fakta serta teori

sebagai konsep yang terpisah (White et al., 2009). Pembelajaran tradisional dipandang

tidak efektif untuk memicu pemikiran yang mendalam dan retensi konsep jangka

panjang. Oleh karena itulah banyak peserta didik, terutama dalam pembelajaran Biologi,

mempunyai miskonsepsi bahwa sains paling tepat diajarkan melalui pengingatan fakta

i
dan melupakan kolaborasi dan pemecahan masalah dari penyelidikan sains. Sekalipun

beberapa negara telah mengintegrasikan keterampilan berpikir kritis dalam kurikulum,

pada kenyataannya peserta didik belum benar-benar mampu menunjukkan keterampilan

tersebut karena pembelajaran sains yang dilakukan tidak sistematis dan terorganisasi

serta minimnya penekanan keterampilan berpikir kritis secara eksplisit (Quitadamo et

al., 2008; Darland & Jeffrey, 2012). Tantangan global menuntut dunia pendidikan untuk

selalu berkembang dan memenuhi kebutuhan masyarakat dan memposisikan diri di

lingkungannya. B

Pengembangan literasi sains dan menjadikan warga negara yang

bertanggungjawab dapat dilakukan dengan menggunakan pembelajaran relevan dengan

kehidupan siswa (Wiyarsi et al, 2021). Penggunakan topik pembelajaran berkaitan

dengan kehidupan sehari-hari memungkinkan siswa untuk mengenali pentingnya sains

dan termotivasi untuk belajar sains dalam memahami fenomena ilmiah dan masalah

perkembangan IPTEK (Bybee, R., & McCrae, 2011; Gilbert, 2006). Namun, siswa pada

umumnya melihat sains tidak relevan bagi mereka (Stuckey et al., 2013; D. L. Zeidler,

2016). Salah satu yang dapat digunakan untuk 2 menjadikan sains relevan bagi siswa

adalah dengan menggunakan isu Socio-Scientific Issues (SSI) dalam pembelajaran

(Owens, Sadler, & Friedrichsen, 2019, Hancock, Friedrichsen, Kinslow, & Sadler,

2019; Sadler, Romine, & Topçu, 2016; Zeidler, 2004). Socio-scientific issues (SSI)

adalah topik ilmiah kontroversial, dengan berbagai elemen tambahan yang

membutuhkan penalaran moral dan evaluasi masalah seperti etika dalam proses

pengambilan keputusan terkait dengan kemungkinan penyelesaian masalah (Sadler,

2004; Zeidler & Sadler, 2007; Zeidler & Nicols, 2009).

SSI digambarkan sebagai isu atau masalah yang memiliki hubungan konseptual

dengan sains tetapi tidak dapat diselesaikan melalui pemahaman sains saja karena isu-

ii
isu ini relevan secara sosial dan sangat spesifik (Owens et al, 2019; Yahaya, Nurulazam,

& Karpudewan, 2016). Kerangka kerja SSI menghadapkan siswa pada Kerangka kerja

SSI menghadapkan siswa pada masalah moral yang melibatkan sejumlah sudut pandang

ilmiah, sosial atau sudut pandang moral yang mungkin bertentangan dengan keyakinan

mereka (Zeidler, Sadler, Applebaum, & Callahan, 2009). Sudut pandang ini akan

dipecahkan melalui aktivitas sains melalui eksplorasi, penyelidikan, pertanyaan, dan

wacana yang merupakan tujuan pedagogis secara umum dari SSI (Zeidler, 2014).

Kerangka SSI melatih siswa dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan isu

sosial sehari-hari dengan implikasi moral atau etika yang terkandung dalam konteks

ilmiah sehingga mendorong diskusi kritis (Wang, Chen, Lin, Huang, & Hong, 2017).

Pengambilan keputusan dapat dari berbagai perspektif termasuk ekonomi, politik,

sosial, moral dan etika (Anagün & Özden, 2010; Sadler, Foulk & Friedrichsen, 2017).

Komponen-komponen dalam SSI ini akan memicu kebutuhan siswa untuk lebih banyak

informasi (konten), pemikiran kritis dan argumentasi (Zeidler & Nicols, 2009). Selain

itu sifat SSI yang terbuka, memungkinkan siswa untuk dapat mengembangkan

keterampilan berpikir kritis terkait dengan isu yang diberikan dengan siswa lainnya

dengan pandangan yang berbeda (Zeidler & Sadler, 2008). Inti dari SSI ini adalah upaya

bersama untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksikan isu dalam

mengevaluasi klaim, menganalisis bukti, dan menilai berbagai sudut pandang tentang

isu etika pada topik ilmiah melalui interaksi sosial dan wacana (Zeidler et al., 2009).

SSI merupakan suatu persoalan dalam kehidupan sosial yang berkaitan erat

dengan sains dengan solusi jawaban yang relatif dan tidak pasti, dimana permasalahan

yang merujuk pada persoalan sosial yang dilematis terkait sains secara konseptual,

procedural maupun teknologi. SSI dapat ditemukan dalam konteks dunia, seperti

rekayasa genetik (terapi gen, cloning atau stem sel) dan masalah lingkungan.

Namun, berdasarkan hasil penelitian Dyah, 2022 menunjukkan bahwa pembelajaran

i
yang dilakukan dosen Pendidikan IPA belum menggunakan pendekatan socio-scientific

issue (SSI) dalam pembelajaran IPA. Hasil wawancara dengan beberapa dosen biologi

di Universitas Patompo juga belum menggunakan pendekatan SSI. Berdasarkan survey

pembelajaran di jurusan pendidikan biologi lebih banyak menggunakan pendekatan lain

yang dianggap sebagai pendekatan atau bahkan metode pembelajaran yang tepat.

Metode lain seperti PBL, Discovery, Inquary dianggap sebagai metode yang mampu

mengeksplorasi kemampuan kognitif dan mampu meningkatkan peran aktif dalam

mencari informasi dan pemecahan masalah (Astuti & Setiawan, 2013; Ulandari et al.,

2019).

Pemerintah di beberapa negara mengajukan salah satu cara untuk menyiapkan

peserta didik yang siap bersaing adalah dengan mengajarkan sains sebagaimana sains

tersebut terjadi di dunia nyata. Dengan kata lain peserta didik harus belajar

menyelesaikan permasalahan nyata di lingkungan dan menerapkan pengetahuan dengan

cara yang kreatif dan inovatif. Selain itu, peserta didik juga harus menyadari bagaimana

mereka berpikir, bukan hanya sekedar mengetahui apa yang mereka pikirkan (Bransford

& Donovan dalam Quitadamo et. al. 2008). Seberapa besar manfaat seseorang,

bagaimana ia memposisikan diri dan menyadari bagaimana cara memikirkan

permasalahan dengan cara yang kreatif membutuhkan keterampilan berpikir kritis.

Keterampilan ini juga dianggap sebagai salah satu keterampilan esensial yang

berpengaruh langsung terhadap kesuksesan akademik dan profesional (Quitadamo et al.,

Abad 21 merupakan abad pengetahuan yang mendorong perkembangan teknologi

yang dicirikan adanya hubungan dunia ilmu pengetahuan secara komprehensif.

(Redhana, 2015; Sudarisman, 2015). Abad 21 memiliki standar satu diantaranya

menghadapkan peserta didik pada masalah dunia nyata dengan menerapkan model

pembelajaran inovatif yang memanfaatkan penggunaan teknologi pendukung,

pendekatan berbasis masalah dan inkuiri, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi
ii
(Redhana, 2015). Redhana (2015) menyatakan bahwa tren pembelajaran sains abad 21

idealnya diarahkan pada empat komponen yaitu: communication, collaboration, critical

thinking & problem solving, creativity & innovation. Sejalan dengan itu National

Education Association (2015) juga menyatakan ada empat kelas keterampilan yang

tergolong keterampilan abad 21, keempat kelas keterampilan tersebut adalah

keterampilan berpikir kritis, keterampilan berkomunikasi, keterampilan berkolaborasi,

dan keterampilan kreativitas. Pada abad ke-21, ilmu akan memiliki dampak yang besar

pada kualitas kehidupan pribadi, lingkungan, dan ekonomi dunia, sehingga diharapkan

peserta didik memiliki literasi sains tinggi (Glynn & Muth, 1994). Sejauh ini diketahui

bahwa literasi sains mahasiswa tingkat sarjana tidak jauh berbeda dengan literasi

masyarakat pada umumnya dan hanya berbeda 10-15% dari mahasiswa pascasarjana

(Impey et al., 2011), sehingga dapat dikatakan bahwa tingginya jenjang pendidikan

belum bisa menentukan tinggi atau rendahnya tingkat literasi sains seseorang.

Pengembangan keterampilan berpikir kritis penting untuk menghadapi tantangan

dan tuntutan abad ke-21 yang telah menjadi tujuan utama dalam 4 pembelajaran sains

(Carvalho et al., 2015 & Sadhu & Laksono, 2018). Penelitian internasional yang

dilakukan oleh Marin dan Halpern (2011) di California Selatan, Adeyemi (2012) di

Nigeria, Taleb dan Chadwick (2016) di Dubai menunjukkan bahwa kemampuan

berpikir peserta didik di beberapa negara di dunia masih rendah.

Keterampilan berpikir kritis antar wilayah di Indonesia menunjukkan hasil yang

berbeda-beda, tetapi secara keseluruhan rata-rata keterampilan berpikir kritis peserta

didik masih dalam kategori rendah. Saputri et al. (2019) menjelaskan bahwa

keterampilan berpikir kritis yang rendah menunjukkan bahwa proses pembelajaran sains

belum memfasilitasi pengembangan keterampilan berpikir kritis secara optimal. Patonah

et al. (2021) mengemukakan bahwa keterampilan berpikir kritis yang masih rendah

disebabkan proses pembelajaran yang berorientasi pada level mengingat dan

i
memahami. Hal ini disebabkan guru kurang pengetahuan dalam merencanakan dan

melaksanakan pembelajaran untuk melatih keterampilan berpikir kritis (Nelson &

Crow, 2014).

Hal ini didukung oleh penelitian Astuti, 2022 dimana hasil penelitian

menunjukkan keterampilan berpikir kritis calon guru biologi IAIN Ternate (mahasiswa

biologi) berada pada kategori sangat kurang, dan juga penelitian Nursyamsi, 2023 pada

mahasiswa pendidikan biologi di Universitas Sulawesi Barat menunjukkan bahwa profil

keterampilan berpikir kritis mahasiswa berada pada kategori rendah.

Hasil penelitian yang dilakukan (Cahyati, 2019) menunjukkan bahwa kemampuan

literasi sains calon guru biologi pada mahasiswa jurusan Tadris Biologi IAIN Syekh

Nurjati Cirebon pada aspek menjelaskan fenomena secara ilmiah (baik), aspek

mengidentifikasi permasalahan ilmiah (cukup), dan aspek menggunakan bukti secara

ilmiah (buruk).

Rendahnya keterampilan berpikir kritis mahasiswa juga disebabkan oleh sumber

materi atau bahan ajar yang sulit dipahami oleh mahasiswa, terbatasnya waktu yang

digunakan di dalam kelas.

Keterampilan abad 21 di sekolah dapat dikembangkan melalui model-model

pembelajaran yang tepat. Selain itu, peserta didik dituntut memiliki keterampilan

scientific literacy. Pembelajaran-pembelajaran tersebut adalah pembelajaran yang

berpusat pada peserta didik yang mengadopsi teori belajar konstruktivis. Sejumlah

pembelajaran yang mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut di

antaranya adalah pembelajaran berbasis permainan, pembelajaran berbasis projek,

pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran berbasis argumen (Redhana, 2015).

Peserta didik yang memiliki literasi sains yang kompeten dalam berkomunikasi

dan berkolaborasi, kompeten dalam menggunakan pengetahuan ilmiah dalam

mengidentifikasi pertanyaan, menarik simpulan berbasis bukti untuk memahami dan

ii
membantu membuat keputusan serta pemecahan masalah (Shaffer et al., 2019). Dengan

kata lain, literasi sains sangat terkait dengan empat kemampuan penting abad ke-21:

berpikir kritis, berkomunikasi, memecahkan masalah, dan bekerja sama (Afandi et al.,

2019; Muyassaroh & Nurpadilah, 2021). Di mana keterampilan ini sangat penting untuk

bertahan hidup di era ini.

Di semua tingkat pendidikan, pendidik, baik guru maupun dosen, bertanggung

jawab atas pencapaian literasi sains. Kemampuan literasi sains guru dan proses

pendidikan literasi sains calon guru tidak dapat dipisahkan dari kualitas literasi sains

peserta didik (Al Sultan et al., 2018; Fernández, 2018; Pahrudin et al., 2019). Calon

guru diharapkan memiliki kemampuan literasi sains yang baik agar mereka dapat

menghasilkan siswa dengan kemampuan literasi sains yang sama (Rachmatullah et al.,

2018). Sangat penting untuk meningkatkan literasi sains siswa yang akan menjadi guru

karena pembelajaran yang bermakna dapat memberdayakan literasi sains dan prestasi

belajar siswa serta mempersiapkan calon guru profesional untuk mata pelajaran sains di

sekolah dasar (Wahyu et al., 2020). ; Rosidah & Sunarti, 2017; Zainab et al., 2017.

Berdasarkan penelitian Fatichatus 2022, hasil penelitian menunjukkan bahwa

mahasiswa Tadris Biologi IAIN Kudus secara keseluruhan masih termasuk dalam

kategori kurang, yaitu 57,36%. Indikator menjelaskan fenomena ilmiah secara tepat

berdasarkan ilmu pengetahuan termasuk dalam kategori kurang, yaitu 43,4%, dan

indikator menafsirkan data dan menarik kesimpulan secara tepat termasuk dalam

kategori tinggi, yaitu 97%. Hasil ini menunjukkan bahwa mahasiswa Tadris Biologi

IAIN Kudus secara keseluruhan masih termasuk dalam kategori kurang. Sejalan dengan

Agung Wibowo 2019, hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan literasi sains

mahasiswa terhadap konsep biologi dasar untuk kedua kompetensi didominasi dalam

i
kategori nominal dengan persentase 62% hingga 80%; kemampuan yang lebih rendah

ditemukan dalam kategori fungsional dengan persentase 13% hingga 34%; dan

kemampuan dalam kategori konseptual dengan persentase 4% hingga 7%. Hasil ini

sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kemampuan

literasi sains sebagian besar rendah.

Sangat disarankan bagi pendidik untuk menerapkan pendekatan dan strategi

pembelajaran berbasis investigasi saintifik yang menggabungkan pemahaman mereka

tentang sains dengan konsep dan prosedur ilmiah. Ini akan membantu siswa belajar

berpikir secara multidimensional, yang berarti memahami hubungan antara disiplin

ilmu, memahami masalah, memahami jawaban dari berbagai informasi, seperti teks,

grafik, atau tabel, dan memahami solusi yang tepat berdasarkan fakta ilmiah.

Menurut Hendri dan Defianti (2015), pendidikan sains harus dapat

menghubungkan konsep sains (ilmiah) dengan masalah sosial yang berkembang di

masyarakat dalam kaitannya dengan peningkatan literasi sains siswa. Istilah "isu sosial-

ilmiah" menggunakan istilah "isu sosial-ilmiah" untuk menggambarkan tiga masalah

ini. Isu-isu sosial-ilmiah (SSI) didefinisikan sebagai masalah atau masalah yang

kompleks yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam dan dapat menimbulkan

perdebatan (Sadler, 2004 dalam Rostikawati & Permanasari, 2016). SSI dipilih sebagai

konteks yang tepat untuk mencapai tujuan pendidikan sains karena digunakan untuk

membuat pembelajaran sains menjadi lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Hasil belajar seperti peningkatan pemahaman siswa tentang fakta sains, peningkatan

kemampuan argumentasi siswa, peningkatan kemampuan mereka untuk mengevaluasi

data, dan meningkatkan pemahaman mereka tentang konsep sains.

Namun, SSI masih digunakan secara terbatas di negara-negara Barat karena guru

terus percaya bahwa tujuan utama pengajaran sains adalah menyampaikan fakta dan

teori sains (Sadler, 2011). Hasil dari survei Nida, Rahayu, dan Eilks (2020) tentang

ii
pengalaman dan persepsi guru sains Indonesia terhadap SSI menunjukkan bahwa 64.6%

guru IPA SMP tidak pernah atau jarang menggunakan SSI dalam pengajaran mereka;

hanya 25.3% melakukannya kadang-kadang, dan 10.1% secara teratur. Tidak ada guru

yang menyatakan bahwa mereka menggunakan pengajaran berbasis SSI untuk seluruh

kurikulum.

Siswa juga merasa bahwa hasil pembelajaran dengan SSI relevan untuk masa

depan mereka, dalam beberapa kasus lebih relevan daripada kasus lainnya . Namun,

salah satu masalah yang menghalangi penggunaan SSI adalah tidak cukup waktu untuk

belajar (Nida et al., 2020). Pembelajaran berbasis konvensional membutuhkan lebih

banyak waktu untuk umpan balik dan latihan. Akibatnya, waktu kelas tidak digunakan

secara efektif (Altas & Mede, 2021). Oleh karena itu, tren pendidikan terbaru fokus

pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang memungkinkan siswa untuk

mengambil alih dan mengendalikan proses pembelajaran mereka sendiri melalui

lingkungan belajar yang mendorong mereka untuk berpartisipasi, berpikir kritis, dan

memecahkan masalah. Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi perubahan besar dalam

bagaimana guru melihat teknologi pembelajaran dan perannya dalam pendidikan.

Perubahan ini memungkinkan guru untuk mengalokasikan lebih banyak waktu untuk

kegiatan di kelas dan menggunakan teknologi untuk memungkinkan siswa belajar

(Alsowat, 2016).

Penggunaan dan pemanfaatan teknologi, terutama digital, sangat mempengaruhi

kehidupan manusia di era society 5.0. Semua aktivitas sehari-hari manusia dipengaruhi

oleh pengaruh yang paling signifikan terjadi pada bagian pendidikan, yaitu aktivitas

pembelajaran. Peserta didik dapat membaca, mendengar, dan mengakses materi

i
pelajaran dan bahkan berinteraksi secara digital dengan aplikasi yang mendukung untuk

belajar dengan efektif dan mudah diakses. Sudah jelas bahwa aplikasi digital ini

digunakan sebagai alat atau media untuk memediasi dan memudahkan manusia untuk

mendapatkan informasi atau pengetahuan yang mereka butuhkan.

Aplikasi digital, terutama yang ditujukan untuk mahasiswa dan dosen di

perguruan tinggi, telah digunakan untuk mendukung pengajaran dan pembelajaran,

terutama yang berkaitan dengan pembelajaran daring. Tentu saja, aplikasi-aplikasi ini

membuat lebih mudah bagi dosen untuk membuat konten pembelajaran dan mengelola

kelas mereka. Begitu pula dengan mahasiswa yang dapat menyimpan pelajaran dengan

aman dan dapat mengaksesnya kapan saja. Dosen dan mahasiswa dapat memilih

berbagai aplikasi digital yang dapat membantu mereka mengembangkan, membuat, dan

menerapkan strategi pengajaran dan pembelajaran mereka, terutama dalam

pembelajaran bahasa Inggris. Materi pembelajaran bahasa Inggris dapat ditemukan di

saluran YouTube, blog, vlog, atau situs web, dan mereka juga dapat menggunakan

aplikasi digital untuk melaksanakan pelajaran. Pembelajaran online sudah menjadi

kewajiban bagi dosen dan mahasiswa.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran kebutuhan Pengembangan Model Flip

Based Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk

Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa

Jurusan Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi ?

2. Bagaimana perancangan model pembelajaran dengan menggunakan Flip Based

Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa Jurusan

Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi ?


ii
3. Bagaimana tingkat kevalidan model pembelajaran dengan menggunakan Flip

Based Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk

Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa

Jurusan Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi ?

4. Bagaimana tingkat kepraktisan model pembelajaran dengan menggunakan Flip

Based Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk

Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa

Jurusan Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi ?

5. Bagaimana keefektifan model pembelajaran dengan menggunakan Flip Based

Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa Jurusan

Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi ?

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari rumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui:

1. Gambaran kebutuhan pengembangan model pembelajaran dengan menggunakan

Flip Based Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk

Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa

Jurusan Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi.

2. Perancangan model pembelajaran dengan menggunakan Flip Based

Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa Jurusan

Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi.

3. Tingkat kevalidan model pembelajaran dengan menggunakan Flip Based

Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa Jurusan

Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi.


i
4. Tingkat kepraktisan model pembelajaran dengan menggunakan Flip Based

Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa Jurusan

Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi.

5. Keefektifan model pembelajaran dengan menggunakan Flip Based


Argumentation Social Scientific Issue Learning (FASL) Untuk Meningkatkan
Keterampilan Berpikir Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Biologi Mata Kuliah Bioteknologi.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya:

1. Dapat mengembangkan kemampuan berargumen dan kemampuan berpikir

tingkat tinggi sehingga belajar lebih bermakna.

2. Dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang

mudah diterapkan.

3. Dapat menambah wawasan yang luas tentang pembelajaran.

ii
Perguruan tinggi

Mahasiswa perlu memiliki keterampilan berpikir kritis dalam menjalani perkuliahan.


Keterampilan ini memungkinkan mereka menganalisis informasi dengan kritis,
mengevaluasi argumen dan mengambil keputusan yang rasional. Rendahnya keterampilan
berpikir peserta didik disebabkan oleh aktivitas belajar yang pasif, yaitu minimnya
keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran (1). Keterampilan berpikir kritis yang rendah
mempunyai implikasi yang buruk untuk pendidikan pada tahap selanjutnya. Oleh sebab itu,
keterampilan berpikir kritis harus diujikan secara terus menerus (2)

1. Khairani Astri, E., Siburian, J., & Hariyadi, B. (2022). Pengaruh Model Project Based

Learning terhadap Keterampilan Berpikir Kritis dan Berkomunikasi Peserta Didik: (The

Effect of Project Based Learning Model on Student’s Critical Thinking and Communication

Skills). BIODIK, 8(1), 51–59. https://doi.org/10.22437/bio.v8i1.16 061.

2. https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/biotek/article/view/28581/16419

Keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan penting yang harus

dimiliki oleh mahasiswa dalam menjalani perkuliahan. Kemampuan

ini memungkinkan mereka untuk menganalisis informasi dengan kritis,

mengevaluasi argumen, dan mengambil keputusan yang rasional.1 Jun 2023

i
Menurut Mohamed Noh et al., (2017) bahwa Peran flipped

classroom dalam mengembangkan literasi sains dapat sangat

signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan flipped

classroom dalam pembelajaran sains dapat meningkatkan pencapaian

akademik siswa dan memperkuat kompetensi literasi sains.

1
Beberapa penelitian yang membahas terkait keterampilan berpikir kritis yang telah

dilakukan. Penelitian Fuad et al. (2017) menunjukkan

Beberapa hasil penelitian yang mengkaji keterampilan berpikir kritis di Indonesia telah

dilakukan. Penelitian Fuad et al. (2017) menunjukkan bahwa 96 peserta didik SMP di Kediri

memiliki nilai rata-rata sebesar 21.89 dengan kategori rendah. Penelitian Fauzi (2019)

menunjukkan bahwa 89 peserta didik di Kota Malang masih rendah pada seluruh jenjang

kelas. Selain itu, Ridho et al. (2019) menunjukkan bahwa 27 peserta didik di Batang, Jawa

Tengah sebesar 35.2 dengan kategori rendah. Keterampilan berpikir kritis dalam setiap

indikatornya menunjukkan bahwa 31% peserta didik mampu membuat penjelasan dasar,

61% peserta didik mampu membangun keterampilan dasar, 17% peserta didik mampu

membuat kesimpulan, 46% peserta didik mampu membuat penjelasan yang

lebih lanjut, serta 20% mampu membuat strategi dan teknik solusi pemecahan masalah.

2
3
Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang menghasilkan sumber daya
manusia yang berpeluang besar untuk mencapai potensi yang tinggi dalam prestasi
akademiknya. Berdasarkan penelitian dalam berbagai bidang seperti sosial-sains diketahui
bahwa peserta didik yang lulus dari berbagai sekolah di berbagai negara tidak memiliki
kemampuan untuk bersaing pada skala global karena tidak memiliki kemampuan untuk berpikir
secara kritis (Frijters et al., 2008)

Perguruan tinggi

Perguruan tinggi perlu menyiapkan kompetensi lulusan sesuai dengan dunia kerja
sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas. Untuk menghasilkan sumber daya
unggul, lulusan tidak hanya memiliki kemampuan hard skill tetapi juga kemampuan
soft skills. Bahkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harvard
University,Carnegie Foundation dan Stanfird Research Center, Mengatakan bahwa
“soft skill bertanggung jawab sebesar 85% bagi kesuksesan karir seseorang,
sementara hanya 15% disematkan kepada hard skill (Yanti, 2021, https://ojs.stit-
syekhburhanuddin.ac.id/index.php/mauizhah/article/view/68/65).

Namun, perguruan tinggi sebagai pencetak mahasiswa belum optimal dalam


mengembangkan soft skills lulusannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Andreas (2018) yang menyimpulkan kompetensi soft skills lulusan
perguruan tinggi belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti di beberapa perguruan tinggi
menunjukkan tidak banyak dosen yang menginternalisasi soft skills dalam capaian
pembelajaran, adanya kesulitan mengidentifikasi model pembelajaran yang
mengintegrasikan soft skills dalam perkuliahan. Selain dari kemampuan soft skills
mahasiswa juga dituntut untuk memiliki kemampuan argumentasi ilmiah

literasi digital. Diperkirakan dalam 20 tahun ke depan, 90% dari seluruh pekerjaan
akan membutuhkan penggunaan teknologi digital sehingga mahasiswa perlu
beradaptasi dengan teknologi baru. Namun, belum banyaknya peneliti yang
mengembangkan penelitian mengenai literasi digital.

Diperkirakan dalam 20 tahun ke depan, 90% dari seluruh pekerjaan akan membutuhkan
penggunaan teknologi digital.

Banyak perusahaan yang kesulitan merekrut orang-orang yang memiliki keterampilan digital.

4
Untuk hidup, belajar dan bekerja dalam masyarakat digital, siswa tidak hanya akan
mengembangkan keterampilan digital yang dibutuhkan oleh perusahaan saat ini, tetapi juga
kepercayaan diri dan keterampilan yang lebih dalam untuk memajukan karir mereka dan
beradaptasi serta beradaptasi dengan teknologi baru.

Diperkirakan, dalam waktu 20 tahun ke depan, 90% dari semua pekerjaan


mengharuskan orang untuk bekerja dengan teknologi digital. Hingga saat inipun telah
banyak perusahaan berjuang untuk merekrut pekerja dengan keterampilan digital.
Untuk hidup, belajar, dan bekerja dalam masyarakat digital, seorang siswa perlu
mengembangkan keterampilan digital yang diinginkan pengusaha sekarang, serta
kepercayaan diri dan kemampuan yang lebih dalam yang akan memungkinkan mereka
untuk maju dalam karir dan beradaptasi dengan teknologi yang muncul. Diketahui
bahwa siswa mengharapkan perguruan tinggi atau universitas mereka dapat
memberikan keterampilan tersebut di samping gelar atau pelatihan kejuruan mereka.

Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Andreas (2018) yang menyimpulkan
kompetensi soft skills lulusan perguruan tinggi belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dunia
kerja.

Menurut Mathew, S. M., & Reddy, J. K. (2018). Soft skills of secondary level teachers.
International Journal of Research, 7, 374-378. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/329154117 ,

Sebagai lembaga pencetak guru da

Bahkan hasil penelitian penelitian yang dilakukan oleh Harvard University, Carnegie Foundation
dan Stanford Research Center, Amerika Serikat mengatakan bahwa “soft skill bertanggung jawab
sebesar 85% bagi kesuksesan karir seseorang, sementara hanya 15% disematkan kepada hard
skill.

Mahasiswa, merupakan sumber


daya manusia yang dihasilkan oleh
Perguruan Tinggi. Mahasiswa dengan
potensi yang tinggi, akan berpeluang lebih
besar dalam mencapai prestasi
akademiknya. Jika mahasiswa
5
mengoptimalkan seluruh potensi yang
dimilikinya, maka kemungkinan besar
mampu berprestasi dibidang akademis.
Sehingga mahasiswa bisa dikatakan
memiliki
hard skill
, yaitu kemampuan
akademis sesuai disiplin ilmu yang
ditekuninya. Namun agar menjadi sumber
daya yang unggul, mahasiswa juga
diharapkan memiliki
softskill
, berupa
intrapersonal skill
dan
interpersonal skill
,
sehingga mahasiswa menjadi individu
yang memiliki kemampuan holistik,

Untuk menyusun narasi latar belakang dari penelitian "Pengembangan Model Peer Instruction
Flip Based Socio Scientific Issue Learning (PIF-SSI) Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir

6
Kritis dan Argumentasi Ilmiah Mahasiswa pada Pembelajaran Biologi", Anda dapat
menggunakan narasi berikut:

Dalam memahami kehidupan dan fenomena alam, biologi memegang peranan penting,
menyediakan landasan bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi dan memecahkan masalah
kehidupan nyata. Dengan meningkatnya kompleksitas isu sosiosaintifik seperti perubahan iklim,
bioetika, dan keamanan pangan, pembelajaran biologi tidak lagi hanya tentang menghafal konsep,
melainkan membutuhkan pengembangan keterampilan berpikir kritis dan argumentasi ilmiah.
Keterampilan ini esensial untuk menganalisis informasi, mengevaluasi bukti, dan membuat
keputusan berdasarkan penalaran ilmiah.

Namun, tantangan muncul dalam pendidikan biologi saat ini, di mana metode pengajaran
tradisional seringkali tidak mencukupi untuk mengaktifkan potensi penuh berpikir kritis dan
argumentasi ilmiah mahasiswa. Kesenjangan ini mengindikasikan perlunya paradigma
pembelajaran yang lebih interaktif dan aplikatif, yang mampu mengintegrasikan konsep biologis
dengan isu sosial dan ilmiah yang relevan.

Model Peer Instruction (PI) dan Flipped Learning menawarkan solusi potensial, dengan PI
memfasilitasi diskusi antar peer yang mendalam dan Flipped Learning memungkinkan eksplorasi
konten di luar kelas, memaksimalkan waktu tatap muka untuk pembelajaran yang berfokus pada
siswa. Penggabungan kedua metode ini dalam model Peer Instruction Flip Based Socio Scientific
Issue Learning (PIF-SSI) dirancang untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan
argumentasi ilmiah mahasiswa. Melalui model ini, mahasiswa diharapkan dapat lebih aktif terlibat
dalam pembelajaran, merenungkan dan mendebatkan isu-isu biologis kontemporer dalam konteks
yang lebih luas dan multidisiplin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji efektivitas model PIF-SSI dalam
konteks pembelajaran biologi, dengan harapan bahwa ini akan memperkaya literatur pendidikan
biologi dan menawarkan wawasan baru dalam metodologi pengajaran. Dengan meningkatkan
keterampilan berpikir kritis dan argumentasi ilmiah, mahasiswa biologi akan lebih siap
menghadapi tantangan global yang kompleks, memberikan kontribusi yang berarti bagi
masyarakat dan ilmu pengetahuan.

7
Dalam era global yang ditandai dengan pertumbuhan pengetahuan yang cepat dan perubahan
sosial yang dinamis. Mahasiswa diharapkan tidak hanya memahami teori dan prinsip sains, tetapi
juga mampu menerapkannya dalam konteks sosial dan etis yang lebih luas. Munculnya isu
sosiosaintifik, seperti perubahan iklim, keamanan pangan, dan etika dalam bioteknologi, menuntut
pendidikan sains yang dapat mengintegrasikan pembelajaran ilmiah dengan pemahaman sosial
yang mendalam.

Namun, tantangan muncul dalam praktik pendidikan sains saat ini, sistem pendidikan yang
dominan sering kali menekankan pada penghapalan fakta dan konsep daripada penerapan

8
keterampilan berpikir kritis dan argumentasi dalam konteks nyata, kurangnya integrasi antara
teori dan praktik, serta minimnya konteks pembelajaran yang berhubungan dengan isu-isu global
nyata. Hal ini menyebabkan kurangnya kesiapan mahasiswa dalam menghadapi masalah
kompleks dan dinamis di luar lingkungan akademis.

Model Peer Instruction Flip Based Socio Scientific Issue Learning (PIF-SSI) diusulkan sebagai
inovasi pendidikan untuk mengatasi kesenjangan ini. Model ini merupakan integrasi dari metode
peer instruction, yang meningkatkan interaksi dan diskusi peer-to-peer; flipped classroom, yang
memaksimalkan pemanfaatan waktu kontak di kelas untuk aktivitas pembelajaran yang
mendalam; serta pendekatan socio-scientific issues (SSI), yang melibatkan siswa dalam
pembelajaran berbasis masalah nyata yang relevan secara sosial dan ilmiah. Model ini
menekankan pengembangan berpikir kritis dan argumentasi ilmiah, membekali mahasiswa untuk
menghadapi tantangan kompleks di era modern.

Penggunaan teknologi digital dalam model PIF-SSI memperkaya proses pembelajaran,


memungkinkan interaksi dan kolaborasi yang mendalam, serta mendukung pengembangan
keterampilan penting tersebut. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembelajaran yang
tidak hanya meningkatkan pengetahuan biologi, tetapi juga memfasilitasi pengembangan
keterampilan kognitif tingkat tinggi, seperti berpikir kritis dan argumentasi ilmiah, sehingga
mahasiswa tidak hanya memahami teori tetapi juga dapat menerapkannya dalam konteks nyata
dan isu-isu yang memerlukan pertimbangan etis dan ilmiah.

Dalam era global yang ditandai dengan pertumbuhan pengetahuan yang cepat dan
perubahan sosial yang dinamis. Mahasiswa diharapkan tidak hanya memahami teori dan prinsip
sains, tetapi juga mampu menerapkannya dalam konteks sosial dan etis yang lebih luas.
Munculnya isu sosio saintifik, seperti perubahan iklim, keamanan pangan, dan etika dalam
bioteknologi, menuntut pendidikan sains yang dapat mengintegrasikan pembelajaran ilmiah
dengan pemahaman sosial yang mendalam.
Namun, tantangan muncul dalam praktik pendidikan sains saat ini, di mana sistem
pendidikan yang sering kali menekankan pada penghapalan fakta dan konsep daripada penerapan
keterampilan berpikir kritis dan argumentasi dalam konteks nyata, kurangnya integrasi antara
teori dan praktik, serta minimnya konteks pembelajaran yang berhubungan dengan isu-isu global

9
nyata. Hal ini menyebabkan kurangnya kesiapan mahasiswa dalam menghadapi masalah
kompleks dan dinamis di luar lingkungan akademis.
Model Peer Instruction Flip Based Socio Scientific Issue Learning (PIF-SSI) diusulkan
sebagai inovasi pendidikan untuk mengatasi kesenjangan ini. Model ini merupakan integrasi dari
metode peer instruction, yang meningkatkan interaksi dan diskusi peer-to-peer, flipped
classroom, yang memaksimalkan pemanfaatan waktu tatap muka di kelas untuk aktivitas
pembelajaran yang mendalam, serta pendekatan socio-scientific issue (SSI), yang melibatkan
mahasiswa dalam pembelajaran berbasis masalah nyata yang relevan secara sosial dan ilmiah.
Dengan memfokuskan pada isu sosiosaintifik, penelitian ini tidak hanya meningkatkan kesadaran
mahasiswa tentang implikasi ilmiah dan sosial dari sains tetapi juga memperkuat keterampilan
kritis dan argumentatif mereka, yang vital dalam menghadapi tantangan global.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan model pembelajaran yang tidak hanya
meningkatkan pengetahuan sains, tetapi juga memfasilitasi pengembangan keterampilan kognitif
tingkat tinggi, serta berpikir kritis dan argumentasi ilmiah, sehingga mahasiswa tidak hanya
memahami teori tetapi juga dapat menerapkannya dalam konteks nyata dan isu-isu yang
memerlukan pertimbangan etis dan ilmiah.

10

Anda mungkin juga menyukai