Anda di halaman 1dari 4

BAB II

KAJIAN TEORI

Gratifikasi berasal dari kata gratificatie yang merupakan bahasa Belanda, yang sama
sama memiliki arti sebagai “hadiah”. Gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian mengenai
suap. Penjelasan makna gratifkasi dari segi bahasa diatas menegaskan arti dari gratifikasi itu
sendiri, yakni sebagai bentuk “hadiah”. Gratifikasi muncul karena sulitnya pembuktian terhadap
tindak pidana suap (Sunggu, 2011). Ditinjau dari bagamaina hukum positif di Indonesia
mengatur dan memaknai tindak pidana gratifikasi itu sendiri. Yang mana hal ini dapat ditinjau
dari penjelasan pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengartikan
gratifikasi sebagai: “Pemberian dalam arti luas yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat
(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma - cuma dan fasilitas lainnya”. Gratifikasi dapat disebut sebagai akar dari
korupsi karena pemberian gratifikasi berpotensi memiliki tujuan terselubung untuk menarik
perhatian, tanam budi atau simpati yang bisa mendorong seseorang berlaku tidak
objektif/profesional.
Arti secara harafiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran,
dapat di suap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina atau memfitnah,
penyuapan, dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan
uang penerimaan, uang sogok dan sebagainya. Kemudian arti kata korupsi telah diterima dalam
pembendaharaan bahasa Indonesia dalam kamus besar Indonesia yaitu kecurangan dalam
melakukan kewajiban sebagai pejabat (Ahmad & Santoso, 1996). Gratifikasi jelas akan
mempengaruhi integritas, independensi dan objektivitasnya keputusan yang akan diambil
seorang pejabat/penyelenggara negara terhadap sebuah hal. Didalam Pasal 12 B Ayat (1) No. 31
Tahun 1999 jo UU. No. 20 Tahun 2001 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “gratifikasi”
adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya (Wicaksono, 2018). Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur gratifikasi berbeda dengan unsur
penyuapan. Gratifikasi acapkali digambarkan sebagai pemberian terhadap para aparat atau
pejabat, yang dikhawatirkan mempengaruhi keputusan atau kebijakan yang akan diambilnya.
Pemberian sendiri sebenarnya sudah dilakukan oleh manusia sejak lama. Pemberian dilakukan
untuk menghargai dan menghormati manusia satu dengan lainnya. Tidak selamanya pemberian
dapat dilihat semata-mata sebagai kegiatan yang tunggal. Ada tujuan lain yang mengikuti adanya
pemberian, baik pada zaman dahulu maupun sekarang. Pada masa kini, pemberian ini mulai
bergeser dengan tujuan utama untuk mencari keuntungan, seperti keuntungan ekonomi.
Gratifikasi terjadi karena adanya keinginan dan dorongan untuk mencari keuntungan dengan
melibatkan orang lain. Terjadinya gratifikasi ini karena baik pemberi maupun penerima, dengan
alasan tertentu bisa menjalin hubungan. Sebenarnya hubungan sesama anggota masyarakat akan
dianggap wajar dan biasa, namun akan berbeda apabila hubungan tersebut lebih
mengistimewakan satu orang daripada yang lain dalam kaitannya dengan kepentingan umum
atau pemerintahan, di mana setiap orang seharusnya memiliki hak yang sama (Santoso, 2013).
Gratifikasi juga dapat disebut tindakan pelanggaran hukum dan merupakan bagian dari
perbuatan korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tipikor. Terdapat bentuk
Gratifikasi lain yang belum diatur dan diskriminalisasi secara komprehensif, yaitu gratifikasi
seksual. Gratifikasi seksual merupakan gratifikasi dalam bentuk pemberian layanan seks kepada
pihak-pihak teretntu sebagai upaya suap guna memuluskan niat perilaku koruptif, baik bagi
pemberi maupun penerima gratifikasi. Dalam praktiknya, gratifikasi seksual sering digunakan
dalam berbagai transaksi bisnis maupun politik yang melibatkan aparat pemerintah maupun
birokrasi karena masih terperangkap pada perilaku yang lebih memuliakan tahta, harta, dan
wanita. Sebuah mental amtenarisme yang menonjolkan motif-motif kuasa atas kekuasaan,
kekayaan dan martabat untuk minta dilayani, dan tindakannya tidak mencerminkan kesatuan
yang utuh atas visi-misi yang diembannya (Sahrasad, 2011).
Perilaku koruptif berupa tindakan gratifikasi berkaitan dengan fraud triangle, teori tiga
tahapan penyebab kecurangan seseorang. Teori ini diperkenalkan oleh Donald R. Cressey pada
tahun 1953 dan dipublikasikan dalam buku yang berjudul Other Peoples Money (Cressey,1958).
Tahapan-tahapan tersebut adalah tekanan, peluang, dan pembenaran yang sifatnya saling
berkaitan. Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang tidak akan memiliki kesempatan untuk
berbuat curang jika dirinya tidak mendapat dorongan atau tekanan tertentu. Salah satu bentuk
dorongan tersebut adalah desakan perilaku gaya hidup yang bergelimang harta dan wanita. Salah
satu modus gratifikasi seksual yang sering dilakukan antara lain seperti memanfaatkan wanita
sebagai pelobi dalam sebuah perjanjian proyek dengan seseorang yang memiliki jabatan strategis
(Sari, 2013). Terdapat definisi yang lebih luas dari gratifikasi seksual sepanjang masyarakat
umum menganggapny sebagai jasa seksual. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak luput dari
perhatian dalam perumusan delik yang lebih luas sehingga gratifikasi seksual tidak dibatasi
hanya dengan hal yang berarti melakukan persetubuhan (Sari, 2013).
Konsep budaya suap dari sudut pandang Theory of Delinguency dinilai bahwa Korupsi
tidak serta merta terjadi karena keserakahan manusia, melainkan terdapat proses logis yang
mendukungnya. Bila ditinjau dari teori kriminologi, maka korupsi secara genetika adalah hal
yang dipelajari. Menurut teori pelanggaran, sebelum seseorang yang berniat melanggar aturan,
mereka akan belajar teknik eksekusi pelanggaran, maupun motif, dorongan, dan yang
mendukung keputusannya. Dalam konteks korupsi, gratifikasi memang sudah dipandang
lazim oleh masyarakat. Keberadaannya bukan dinilai sebagai tindakan melanggar hukum,
tetapi hanya sebagai hadiah yang diberikan tanpa paksaan, seperti layaknya bingkisan dalam
hubungan pertemanan. Akan tetapi, dugaan ini belum terbukti secara empiris. Oleh sebab itu,
eksporasi akan persepsi masyarakat tentang gratifikasi menjadi sangat penting. Persepsi
masyarakat dapat membentuk budaya yang mendukung ataupun memerangi suap dan
gratifikasi.
Konsep Issue contingent model on gratification and bribery menjelaskan bahwa
Konsensus sosial adalah salah satu dari enam dimensi intensitas moral yang menjelaskan bahwa
keputusan etis mungkin saja dipengaruhi oleh persepsi sosial atas hal tersebut. Apabila perilaku
korup secara sosial dianggap normal dan etis, maka besar risiko perilaku ini akan terus berulang.
Gault, (2017) secara gamblang mengemukakan bahwa korupsi terjadi ketika hal yang buruk
sudah dianggap normal. Konsep ini disebut denormalisasi gratifikasi. Pelaku korup membangun
persetujuan sosial atas tindakannya sehingga logika korupsi akan kabur. Konsensus sosial
membantu rasionalisasi gratifikasi dengan memunculkan ekspektasi staff pengadaan barang dan
memberi stigma budaya gratifikasi pada vendor. Dari sudut pandang staff pengadaan, gratifikasi
dapat menambah kesejahteraannya. Dari sisi vendor, mereka menangkap ekspektasi tersebut,
sehingga tradisi untuk mengalokasikan anggaran khusus untuk ucapan terima kasih seolah
manjadi lazim. Vendor memberikan gratifikasi dengan ekspektasi akan ada manfaat di masa
yang akan datang, seperti keberlanjutan transaksi.
Teori pembelajaran sosial ini juga berlaku ketika seorang pimpinan melakukan korupsi
berupa penerimaan suap maupun gratifikasi, maka bawahan pun akan cenderung untuk meniru.
Bawahan berperilaku sesuai dengan role model yang dia tangkap dari tempat kerja. Dalam hal
ini, role model yang paling berpengaruh adalah atasan. Ketika atasan berbuat taketis, maka
bawahan pun akan merasa bahwa mereka pun juga berhak mendapatkan kesejahteraan lebih.
Mereka mendapatkan dukungan dari contoh buruk tersebut. Akibatnya, ketika kesempatan
berbuat curang datang, mereka pun akan melakukannya.
Daftar Pustaka:

Ahmad, H & Santoso, A. (1996) Kamus Pintar Bahasa Indonesia, Fajar Mulia, Surabaya, Hlm
211.
Cressey, D. R. (1958). Achievement of an Unstated Organizational Goal: An Observation on
Prisons. Pacific Sociological Review, 1(2), 43–49. https://doi.org/10.2307/1388576
Gault, D. A. (2017). Corruption as an organizational process : Understanding the logic of
the denormalization of corruption. Contaduría y Administración, 62(3), 827–842.
http://doi.org/10.1016/j.cya.2016.01.008
Kresna, E. (2021). Aplikasi Penerapan Teori Fraud Triangle terhadap Kasus Gratifikasi Seksual
sebagai Bentuk Kejatahan Korupsi. Deviance Jurnal kriminologi, 5(1), 37-54.
Mapuasari, S. A., & Mahmudah, H. (2018). Korupsi berjamaah: Konsensus sosial atas gratifikasi
dan suap. Integritas: Jurnal Antikorupsi, 4(2), 159-176.
Sahrasad, Herdi (2011). “Mainstream Politisi Terkini: Harta, Tahta & Wanita”. Inilah, 14 April.
https://inilah.com/news/1415822/mainstream-politisiterkini-harta-tahta-wanita (accessed
29 August 2020).
Santoso, T. (2013). Menguak relevansi ketentuan gratifikasi di Indonesia. Jurnal Dinamika
Hukum, 13(3), 402-414.
Sari, Dewi Novita. (2013). Tindak Pidana Korupsi dalam Bentuk Gratifikasi Seksual Jurnal Lex
Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013.
Sunggu, M. A. O. (2011). Peranan Penyidik di dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana
Gratifikasi Yang Dilakukan Oleh Pegawai Negeri: Studi di Kejaksaan Negeri Kota
Samarinda (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Wicaksono, T. (2018). Praktek Gratifikasi Dalam Penerimaan Siswa Baru SMA di kota
Pekanbaru (Studi Kasus SMA X dan SMA Y) (Doctoral dissertation, Universitas Islam
Riau).

Anda mungkin juga menyukai