NPM : 21.011.111.020 Prodi : Ilmu Pemerintahan Kelas : Pagi Mata Kuliah : Politik & Hukum Agraria Hari/Tanggal : Rabu, 15 November 2023
Jawaban Soal UTS Ganjil 2023
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) lahir dengan tujuan untuk mengatur dan mengatur ulang sistem agraria di Indonesia setelah kemerdekaan. Lahirnya UUPA ini merupakan langkah penting dalam mereformasi hukum agraria yang sebelumnya diatur oleh Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) yang diberlakukan pada tahun 1870 pada masa kolonial Belanda. Pada saat Indonesia merdeka, Agrarische Wet 1870 masih berlaku, yang memberikan kekuasaan besar kepada perusahaan-perusahaan Belanda dalam kepemilikan tanah di Indonesia. Hal ini tidak sesuai dengan semangat dan kebijakan reformasi agraria yang ingin diterapkan oleh pemerintah Indonesia yang baru merdeka. Dengan menghapus Agrarische Wet 1870, UUPA bertujuan untuk menghapuskan sistem agraria yang didasarkan pada kepentingan asing dan menggantinya dengan prinsip-prinsip keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia. UUPA juga menegaskan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah secara berkelanjutan, serta melindungi hak-hak rakyat kecil dalam akses dan penguasaan tanah. Dengan demikian, lahirnya UUPA adalah bagian dari upaya Indonesia untuk membangun sistem agraria yang lebih adil, berkeadilan, dan sesuai dengan kepentingan nasional setelah memperoleh kemerdekaan. 2. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), hukum adat memiliki kedudukan yang penting sebagai salah satu dasar hukum utama dalam pembentukan hukum agraria nasional di Indonesia. Hal ini tercermin dalam beberapa pasal UUPA yang secara eksplisit mengakui dan memberikan pengakuan hukum terhadap hukum adat. Berikut adalah beberapa dasar hukum dalam UUPA yang berhubungan dengan hukum adat: Pasal 1 angka 1 UUPA: Pasal ini mengakui bahwa hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat serta menjadi dasar pengaturan hubungan masyarakat dengan tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Pasal 3 ayat (1) UUPA: Pasal ini menyebutkan bahwa hukum adat diakui dan dihormati dalam pengaturan hubungan masyarakat dengan tanah, air, dan sumber daya alam lainnya selama tidak bertentangan dengan Undang- Undang dan prinsip-prinsip agraria. Pasal 3 ayat (2) UUPA: Pasal ini menegaskan bahwa pengakuan terhadap hukum adat tidak boleh merugikan hak-hak rakyat kecil dan masyarakat adat atas tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. Pasal 4 UUPA: Pasal ini mengatur tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah, air, dan sumber daya alam lainnya, serta menjamin partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam di wilayah mereka. Pasal 5 UUPA: Pasal ini mengatur tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang terkait dengan tanah, air, dan sumber daya alam lainnya, termasuk hak kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan. Dengan dasar hukum-hukum tersebut, UUPA memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang kuat terhadap hukum adat sebagai sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat. Hal ini penting dalam menjaga keberlanjutan budaya dan tradisi masyarakat adat serta memberikan kepastian hukum bagi mereka dalam hubungan dengan tanah, air, dan sumber daya alam lainnya. 3. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), terdapat beberapa hak-hak agraria yang berkaitan dengan penguasaan bumi, air, tanah, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berikut adalah beberapa hak-hak agraria khususnya terkait dengan tanah yang berlaku dalam UUPA: Hak Kepemilikan Tanah: UUPA mengakui hak kepemilikan tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pengelolaan. Hak kepemilikan tanah memberikan pemilik hak yang eksklusif atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak Guna Usaha: Hak guna usaha memberikan seseorang atau badan hukum kekuasaan untuk memanfaatkan tanah negara atau tanah hak ulayat dengan cara mengusahakannya sesuai dengan peruntukan dan perjanjian yang ditetapkan. Hak Guna Bangunan: Hak guna bangunan memberikan seseorang atau badan hukum kekuasaan untuk memanfaatkan tanah dengan cara mendirikan bangunan atau menempatkan bangunan yang dimiliki atau dikuasainya. Hak Pengelolaan: Hak pengelolaan memberikan seseorang atau badan hukum kekuasaan untuk mengelola tanah negara atau tanah hak ulayat sesuai dengan peruntukan dan perjanjian yang ditetapkan. Hak Membuka Tanah: UUPA memberikan hak kepada pemilik tanah untuk membuka tanahnya dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan. Hak Waris: UUPA mengatur tentang hak waris terkait dengan kepemilikan tanah. Hak waris memungkinkan penurunan hak kepemilikan tanah kepada ahli waris secara turun temurun. Hak Ganti Rugi: UUPA juga mengatur tentang hak ganti rugi terkait dengan pengambilalihan tanah oleh pemerintah dalam kepentingan umum. Hak ini memberikan pengaturan mengenai kompensasi yang harus diberikan kepada pemilik tanah yang terdampak. Hak-hak agraria dalam UUPA tersebut memberikan kepastian hukum dalam penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta melindungi hak-hak individu atau badan hukum yang terkait dengan tanah. Namun, penting untuk dicatat bahwa hak-hak agraria ini juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia.
4. Peralihan hak atas tanah di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan turunannya. Berikut adalah prinsip-prinsip hukum dan tahapan peralihan kepemilikan tanah di Indonesia: Prinsip-prinsip Hukum: a. Asas Kepastian Hukum: Peralihan hak atas tanah harus didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. b. Asas Keadilan: Proses peralihan hak atas tanah harus adil bagi semua pihak yang terlibat. c. Asas Kepentingan Umum: Peralihan hak atas tanah harus mempertimbangkan kepentingan publik. Tahapan Peralihan Kepemilikan Tanah: a. Identifikasi Tanah: Identifikasi dan penelitian dilakukan untuk menentukan status dan batas-batas tanah yang akan dialihkan haknya. b. Penyusunan dan Penandatanganan Perjanjian: Pihak yang akan mengalihkan hak (pemberi hak) dan pihak yang akan menerima hak (penerima hak) menyusun perjanjian yang memuat syarat-syarat peralihan hak atas tanah. Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak. c. Pendaftaran Hak: Setelah perjanjian ditandatangani, pendaftaran hak atas tanah dilakukan di Kantor Pertanahan setempat. Proses ini melibatkan pengajuan berkas dan pembayaran biaya pendaftaran. d. Verifikasi dan Persetujuan: Kantor Pertanahan melakukan verifikasi terhadap berkas yang diajukan. Jika berkas dinyatakan lengkap dan memenuhi persyaratan, maka hak atas tanah dapat disetujui dan dicatat dalam buku tanah. e. Pemberitahuan dan Pembayaran Pajak: Setelah proses pendaftaran selesai, pihak yang menerima hak harus memberitahukan peralihan hak tersebut kepada pihak yang berwenang, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan membayar pajak yang terkait. f. Sertifikat Tanah: Setelah semua tahapan selesai, pemilik baru akan diberikan sertifikat tanah yang menjadi bukti sah atas kepemilikan tanah tersebut. Harap dicatat bahwa prosedur peralihan hak atas tanah dapat bervariasi tergantung pada jenis peralihan (misalnya, jual beli, waris, hibah) dan regulasi daerah yang berlaku. 5. Pembebasan tanah untuk kepentingan umum merupakan proses di mana pemerintah atau lembaga yang berwenang mengambil tanah milik individu atau kelompok untuk kepentingan masyarakat secara luas. Berikut adalah beberapa jenis kepentingan umum yang sering dilakukan melalui proses pembebasan tanah di berbagai negara: a. Infrastruktur Publik: Pembebasan tanah dapat dilakukan untuk membangun jalan, jembatan, rel kereta api, bandara, pelabuhan, proyek irigasi, dan proyek-proyek infrastruktur lainnya yang memenuhi kebutuhan umum. b. Pembangunan Perumahan dan Kawasan Permukiman: Pemerintah dapat membebasan tanah untuk membangun perumahan, kompleks perumahan, atau kawasan permukiman bagi masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal. c. Pembangunan Instalasi Publik: Pembebasan tanah dapat dilakukan untuk pembangunan fasilitas kesehatan, sekolah, universitas, stadion, taman, fasilitas olahraga, dan tempat-tempat umum lainnya yang diperlukan untuk pelayanan publik. d. Proyek Pengembangan Ekonomi: Pembebasan tanah dapat dilakukan untuk proyek-proyek pengembangan ekonomi, seperti pembangunan industri, pusat perbelanjaan, kawasan perdagangan, atau kawasan pariwisata yang diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. e. Pelestarian Lingkungan: Pembebasan tanah dapat dilakukan untuk melestarikan dan melindungi lingkungan alam, termasuk penataan taman nasional, kawasan konservasi, dan perlindungan sumber daya alam. Perlu diperhatikan bahwa proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum harus dilakukan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk memberikan kompensasi yang adil kepada pemilik tanah yang terdampak.