Anda di halaman 1dari 30

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO)

PADA PASIEN DIABETES MELITUS

Disusun Oleh :
Veisy Dianty Lengkey, S.Farm
2243700389

FAKULTAS FARMASI
PORGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2023
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................................. 3
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................................ 4
1.3. Tujuan .......................................................................................................................................... 5
1.4. Manfaat ........................................................................................................................................ 5
1.4.1. Bagi Pasien............................................................................................................................ 5
1.4.2. Bagi Mahasiswa .................................................................................................................... 5
1.4.3. Bagi Puskesmas .................................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................... 6
2.1. Definisi Diabetes Melitus ............................................................................................................ 6
2.2. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 ........................................................................................... 6
2.3. Klasifikasi Diabetes Melitus ........................................................................................................ 7
2.4. Diagnosis Diabetes Melitus ......................................................................................................... 8
2.5. Penatalaksanaan Diabetes Melitus ............................................................................................... 8
2.5.1. Terapi Non Farmakologi ....................................................................................................... 9
2.5.2. Terapi Farmakologi ............................................................................................................. 10
2.6. Penatalaksanaan DM Tipe 2 ...................................................................................................... 12
2.7. Pengelolaan DM Tipe 2 dengan komorbid ................................................................................ 13
2.7.1. Dislipidemia ........................................................................................................................ 14
2.7.2. Hipertensi ............................................................................................................................ 15
2.7. Pemantan Terapi Obat (PTO) .................................................................................................... 15
2.7. DRP ............................................................................................................................................ 16
BAB III DESKRIPSI KASUS ............................................................................................................ 18
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................................... 22
4.1. Pelayanan Farmasi Klinik .......................................................................................................... 23
4.2. Pembahasan Hasil PTO.............................................................................................................. 24
4.3. Drug Related Problem................................................................................................................ 26
BAB V PENUTUP............................................................................................................................... 28
5.1. Kesimpulan ................................................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi akibat adanya kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Perkeni,
2015). DM adalah penyakit kronis yang kompleks dan membutuhkan perawatan medis
berkelanjutan dengan berbagai strategi pengurangan risiko di luar kontrol glukosa dalam
darah. DM dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan baik
sehingga butuhnya edukasi manajemen diri pasien dan dukungan untuk mencegah
komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang (ADA, 2019).

Menurut International Diabetes Federation 2017 jumlah penderita DM didunia


sebanyak 425 juta jiwa yang terdiri dari: 98 juta jiwa yang berumur 65-79 tahun 327 juta
jiwa yang berumur 20-64 tahun Diperkirakan pada tahun 2045 : Penderita DM akan
meningkat sebanyak 629 juta jiwa yang terdiri dari : 191 juta yang berumur 65-79 tahun
438 juta jiwa yang berumur 20-64 tahun.

Menurut Kementerian Kesehatan RI, upaya efektif untuk mencegah dan mengendalikan
diabetes harus difokuskan pada faktor-faktor risiko disertai dengan pemantauan yang
teratur dan berkelanjutan dari perkembangannya karena faktor resiko umum penyakit tidak
menular di Indonesia relatif masih tinggi, yaitu 33,5% tidak melakukan aktivitas fisik, 95%
tidak mengkonsumsi buah dan sayuran dan 33,8% populasi usia di atas 15 tahun
merupakan perokok berat (DepKes RI, 2018).

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker


kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Apoteker memberikan pelayanan
kefarmasian berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74
tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Standar farmasi
bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum
bagi tenaga kefarmasian dan melindungi pasien serta masyarakat dari penggunaan obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (DepKes RI, 2016).

Peningkatan insidensi DM menyebabkan peningkatan insiden komplikasi dan penyakit


penyerta (Waspadji,2010). Di Indonesia menurut IDF terdapat 1785 penderita DM yang
mengalami komplikasi neuropati (63,5%), retinopati (42%), nefropati (7,3%),
makrovaskuler (16%), mikrovaskuler (6%), luka kaki diabetic (15%) (Purwanti, 2013).

Berdasarkan survey medical expenditure panel, kebanyakan pasien DM dewasa


mempunyai setidaknya satu penyakit penyerta (komorbid) kronis dan 40% nya memiliki
setidaknya 3 penyakit kronis (Piette & Kerr, 2006). Dari hasil studi yang dilakukan pada
22.694 pasien DM, didapatkan hasil bahwa pasien DM memiliki rata-rata 6 kondisi medis
yang berlainan, dengan 49% pasien dari sampel memiliki ≥ 5 komorbid, dan 19% pasien
memiliki ≥ 10 komorbid (Cipolle dkk, 2013). Dengan banyaknya penyakit komplikasi dan
komorbid terhadap pasien DM, hal ini dapat menimbulkan Drug Related Problem (DRP).

Drug Related Problem (DRP) adalah setiap peristiwa atau keadaan yang melibatkan
terapi obat yang menghalangi atau berpotensi menghalangi pasien mencapai hasil yang
optimal dari perawatan medis. Salah satu bentuk dari DRP adalah interaksi obat
(Parthasarathi dkk, 2005).

Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencakup pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat
yang tidak dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. PTO
harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode
tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. Seleksi pasien yang
mendapatkan terapi obat adalah yang memiliki resep polifarmasi, kompleksitas penyakit
dan penggunaan obat serta respons pasien yang sangat individual meningkatkan
munculnya masalah terkait obat.

Oleh karena itu berdasarkan data yang diatas maka penulis ingin melakukan
Pemantauan Terapi Obat (PTO) pada salah satu pasien DM tipe II di Puskesmas
Penjaringan.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana Pemantauan Terapi Obat pada salah satu pasien DM Tipe 2 di


Puskesmas Penjaringan?
2. Bagaimana drug related problem (DRP) yang terjadi pada pasien DM Tipe 2?
1.3. Tujuan
Untuk melakukan pemantauan terapi obat (PTO) pada pasien DM Tipe 2 di Puskesmas
Penjaringan.

1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan edukasi dan informasi mengenai
pengobatan DM Tipe 2 yang baik dan benar.

1.4.2. Bagi Mahasiswa


Untuk menambah pengetahuan Mahasiswa khususnya dalam penatalaksanaan pengobatan
DM tipe 2

1.4.3. Bagi Puskesmas


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya (Perkeni, 2021). DM adalah penyakit kronis yang kompleks dan membutuhkan
perawatan medis berkelanjutan dengan berbagai strategi pengurangan risiko di luar kontrol
glukosa dalam darah. DM dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani
dengan baik sehingga butuhnya edukasi manajemen diri pasien dan dukungan untuk
mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang (ADA,
2019). DM adalah salah satu permasalahan kesehatan masyarakat yang penting dan
menjadi salah satu dari empat penyakit tidak menular yang menjadi prioritas pemerintah.
Menurut WHO, jumlah kasus dan prevalensi DM terus meningkat selama beberapa dekade
terakhir khususnya DM tipe 2. WHO memperkirakan bahwa sekitar 422 juta orang dewasa
berusia di atas 18 tahun hidup dengan diabetes pada tahun 2014. Jumlah terbesar
diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat yaitu sebanyak 96 juta dan 131
juta orang (WHO, 2016).

2.2. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2


Resistensi insulin pada sel otot dan hati, serta kegagalan sel beta pancreas telah dikenal
sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Hasil penelitian terbaru telah
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari yang diperkirakan
sebelumnya. Organ lain yang juga terlibat pada DM tipe 2 adalah jaringan lemak
(meningkatnya lipolysis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alfa pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin),
yang ikut berperan menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Saat ini sudah ditemukan
tiga jalur pathogenesis baru dari ominous octet yang memperantarai terjadinya
hiperglikemia pada DM tipe 2. Sebelas organ penting dalam gangguan toleransi glukosa
ini (egregious eleven) perlu dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep :

1. Pengobatan harus ditujukan untuk memperbaiki gangguan pathogenesis, bukan


hanya untuk menurunkan HbA1c saja.
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasarkan pada kinerja obat sesuai
dengann patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat
progresivitas kerusakan sel beta yang sudah terjadi pada pasien gangguan toleransi
glukosa.

Gambar 1. The Egregious Eleven

2.3. Klasifikasi Diabetes Melitus


Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus

Klasifikasi Deskripsi
Tipe 1 Destruksi sel beta pancreas, umumnya berhubungan dengan
defisiensi insulin absolut
- Autoimun
- Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relative sampai yang dominan efek sekresi
insulin disertai resistensi insulin
Diabetes melitus Diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga
gestasional kehamilan, dimana sebelum kehamilan tidak didapatkan
diabetes.
Tipe spesifik yang - Sindroma diabetes monogenic (diabetes neonatal,
berkaitan dengan maturity onset diabetes of the young (MODY)
penyebab lain - Penyakit eksokrin pancreas (fibrosis kistik,
pankreatitis)
- Disebabkan oleh obat atau zat kimia (misalnya
penggunaan glukokortikoid pada terapi HIV/AIDS atau
setelah transplantasi organ)
2.4. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dan HbA1c.
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
glucometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adan glucosuria. Berbagai
keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila
terdapat keluhan seperti :

- Keluhan klasik DM : polyuria, polydipsia, polifagia dan penurunan berat badan


yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2-jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO)
dengan beban glukosa 75 gram
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan keluhan fisik klasik atau krisis
hiperglikemia
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
national glycohaemoglobin standardization program (NGSP) dan diabetes control and
complications trial assay (DCCT)

2.5. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis
dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan
sebagai terapi tunggal tau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan
cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder atau
tersier.

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tada dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri
tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.

2.5.1. Terapi Non Farmakologi


Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) merekomendasikan beberapa
terapi non farmakologi yang dapat dilakukan dalam manajemen diabetes melitus tipe 2.
Berikut adalah beberapa poin penting terkait terapi non farmakologi menurut panduan
PERKENI :

1. Perencanaan Makan yang Sehat


- Pasien diabetes melitus tipe 2 disarankan untuk mengadopsi pola makan yang sehat,
seperti diet rendah gula, rendah lemak jenuh, dan kaya serat.
- Makanan yang dikonsumsi harus seimbang, dengan porsi yang terkontrol dan
mengandung karbohidrat kompleks, protein, serat, serta lemak sehat.
- Menghindari konsumsi makanan olahan, minuman manis, dan makanan yang
mengandung lemak jenuh tinggi sangat dianjurkan.
2. Peningkatan Aktivitas Fisik
- Aktivitas fisik rutin sangat penting dalam manajemen diabetes melitus tipe 2.
- Pasien disarankan untuk melakukan aktivitas aerobik seperti berjalan kaki, bersepeda,
berenang, atau berlari secara teratur.
- Olahraga kekuatan juga dapat dilakukan untuk memperkuat otot dan meningkatkan
sensitivitas insulin.
3. Manajemen Berat Badan
- Menjaga berat badan yang sehat atau mencapai penurunan berat badan yang diperlukan
adalah komponen penting dalam pengelolaan diabetes melitus tipe 2.
- Pasien disarankan untuk mencapai penurunan berat badan yang gradual dan sehat
dengan kombinasi perencanaan makan yang tepat dan peningkatan aktivitas fisik.
4. Pengelolaan Stres
- Stres dapat mempengaruhi kontrol glukosa darah pada pasien diabetes melitus tipe 2.
- Strategi pengelolaan stres, seperti relaksasi, meditasi, yoga, atau terapi kognitif
perilaku, dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan pasien.
5. Edukasi dan Dukungan
- Edukasi pasien tentang diabetes melitus, perubahan gaya hidup, dan manajemen sendiri
sangat penting.
- Dukungan dari tenaga medis, keluarga, atau kelompok dukungan dapat membantu
pasien dalam menghadapi tantangan diabetes melitus dan meningkatkan kepatuhan
terhadap perubahan gaya hidup.

Terapi non farmakologi merupakan komponen penting dalam manajemen diabetes


melitus tipe 2 dan dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap kontrol gula darah
dan kesejahteraan pasien. Pendekatan holistik yang melibatkan perubahan gaya hidup, pola
makan sehat, aktivitas fisik, manajemen stres, serta dukungan edukasi dapat membantu
pasien mencapai dan mempertahankan kontrol yang baik atas kondisi mereka.

2.5.2. Terapi Farmakologi


1. Obat Antihiperglikemia Oral
a. Pemacu Sekresi Insulin
- Sulfonilurea
Mempunyai efek utama meningkatkan sekresi isnulin oleh sel beta pancreas. Efek
samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Contoh obat :
Glibenclamide, glipizide, glimepiride, gliquidone dan gliclazide.
- Glinid
Merupakan obat yang cara kerjanya mirip dengan sulfonylurea, namun berbeda
lokasi reseptor , dengan hasil akhir berupa penekanan pada peningkatan sekresi
insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinide (derivate asam benzoate)
dan nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan dieksresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Obat golongan ini sudah tidak tersedia di
Indonesia.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
- Metformin
Mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (gluconeogenesis), dan
memperbaiki ambilan glukosia di jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2. Dosis metformin diturunkan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (LFG 30 – 6- ml/menit/1,73 m2 ). Metformin
tidak boleh diberikan pada beberapa keadaan sepert LFG < 30 mL/menit/1,73 m2,
adanya gangguan hati berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK (penyakit paru
obstruktif kronik), gagal jantung NYHA fungsional kelas III-IV. Efek samping
adalah gangguan saluran pencernaan seperti dyspepsia, diare, dll.
- Tiazolidinedion (TZD)
Merupakan agonis dari peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR-
gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
jaringan perifer. TZD menyebabkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gaga; jantung karena dapat memperberta
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu
pemantauan faal hati secara berkala obat yang masuk dalam golongan ini adalah
pioglitazone.
- Inhibitor DPP-4 (Dipeptidyl Peptidase-4)
Inhibitor DPP-4, seperti sitagliptin atau linagliptin, bekerja dengan meningkatkan
kadar hormon incretin yang merangsang pelepasan insulin dan menghambat
produksi glukagon yang berlebihan.
- Agonis GLP-1 (Glucagon-Like Peptide-1)
Agonis GLP-1, seperti liraglutide atau exenatide, bekerja dengan meningkatkan
pelepasan insulin dan menghambat produksi glukagon yang berlebihan. Mereka
juga membantu mengurangi nafsu makan dan meningkatkan rasa kenyang.
- Inhibitor SGLT2 (Sodium-Glucose Cotransporter-2)
Inhibitor SGLT2, seperti dapagliflozin atau empagliflozin, bekerja dengan
mengurangi penyerapan glukosa oleh ginjal, sehingga mengurangi kadar gula
darah. Mereka juga dapat membantu menurunkan berat badan dan tekanan darah.
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
a. Insulin
Insulin digunakan pada keadaan :
- HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5 % dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
- HbA1c saat diperiksa > 9%
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperative sesuai dengan indikasi

Pilihan terapi farmakologis untuk diabetes melitus tipe 2 harus disesuaikan dengan
karakteristik dan kebutuhan pasien, termasuk faktor risiko tambahan, komorbiditas,
preferensi, dan tingkat kontrol gula darah yang diinginkan. Penggunaan terapi
kombinasi dan penyesuaian dosis obat juga dapat dilakukan untuk mencapai kontrol
gula darah yang optimal. Penting untuk berkonsultasi dengan tenaga medis yang
berkompeten untuk menentukan rencana pengobatan yang tepat sesuai dengan
kondisi pasien.
3. Terapi Kombinasi
Terapi kombinasi harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alas an klinis dan
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, maka dapat diberikan kombinasi tiga obat
oral. Terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat anti-hiperglikemia oral.

2.6. Penatalaksanaan DM Tipe 2


Gambar 2.
Algoritma Pengobatan DM tipe 2
1. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksai < 7,5% maka pengobatan
dimulai dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi oral
2. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5% atau pasien yang sudah
mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak bias mencapai target
HbA1c < 7%, maka dimulai terapi kombinasi 2 macam obat yang terdiri dari metformin
ditambah dengan obat lain yang memiliki mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat
intolerasni terhadap metformin, maka diberikan obat lain yang mempunyai mekanisme
kerja yang berbeda.
3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sesudah terapi 2 macam obat selama 3 bulan
tidak mencapai target HbA1c < 7%.
4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa >9% namun tanpa disertai dengan gejala
dekompensasi metabolic atau penurunan berat badan yang cepat, maka dapat diberikan
terapi kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri dari metformin (atau obat lain pada lini
pertama bila ada intoleransi terhadap metformin) ditambah obat dari lini ke 2.
5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai gejala dekompensasi
metabolic maka diberikan terapi kombinasi insulin dan obat hipoglikemik lainnya.
6. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau tanpa insulin, namun
tidak mencapai target HbA1C < 7% selama minimal 3 bulan pengobatan, maka harus
segera dilanjutkan dengan terapi intensifikasi insulin.
7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan pemberian terapi
dapat menggunakan pemeriksaan glukosa darah.

2.7. Pengelolaan DM Tipe 2 dengan komorbid


Pengelolaan DM tipe 2 dengan komorbid tertentu seperti penyakit kardiovaskular
aterosklerotik (penyakit janutng coroner, stroke, dan penyakit arteri perifer), gagal janutng,
penyakit ginjal kronis, dan risiko kardiovaskuler.

Risiko kardiovaskular pasien DM Tipe 2 di klasifikasikan sebagai berikut :


Tabel 3.
Klasifikasi kategori resiko kardiovaskular pada pasien DM

Kategori Resiko Risiko kematian Indicator resiko


kardiovaskular
dalam 10 tahun
terakhir
Resiko sangat tinggi > 10% ➢ Pasien dengan DM dan
terbukti memiliki penyakit
kardiovaskular
➢ Kerusakan organ target
➢ Minimal memiliki 3 faktor
resiko mayor
➢ Menderita DM selama >20
tahun
Resiko Tinggi 5 – 10% Pasien dengan durasi DM ≥ 10 tahun
tanpa kerusakan target organ dan
disertai 1 faktor risiko mayor lain
Resiko sedang <5% Pasien usia muda (DM tipe 1 < 35
tahun; DM tipe 2 < 50 tahun) dengan
durasi DM < 10 tahun, tanpa factor
risiko lain.

2.7.1. Dislipidemia
Gambar 3.
Rekomendasi pemberian statin pada pasien diabetes

Sasaran terapi :

- Pada pasien DM, target utamanya adalah penurunan LDL


- Target LDL < 100 mg/dL pada pasien diabetes tanpa disertai penyakit kardiovaskular
(kelompok resiko tinggi)
- Target LDL < 70 mg/dL pada diabetes resiko kardiovaskular multiple (kelompok resiko
sangat tinggi)
- Target LDL < 55 mg/dL pada diabetes yang disertai dengan penyakit kardiovaskular
(kelompok resiko ekstrim)
- Bila LDL tetap ≥ 70 mg/dL meskipun sudah mendapat terapi statin dosis optimal yang
dapat ditoleransi, pertimbangkan pemberian terapi tambahan dengan ezetimbe.
- Bila kadar trigliserid mencapai ≥ 500 mg/dL perlu segera diturunkan dengan terapi
fibrat untuk mencegah timbulnya pankreatitis.
- Pada wanilta hamil penggunaan statin merupakan kontraindikasi.

2.7.2. Hipertensi
- Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan setiap kali kunjungan pasien. Diagnosis
hipertensi bila dalam beberapa kali pemeriksaan dan pada hari berbeda terdapat
peningkatan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg.
- Farmakologi :
a. Pemberian terapi obat antihipertensi harus mempertimbangkan proteksi terhadap
kardiorenal, efek samping obat dan kebutuhan pasien
b. Pasien dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dapat diberikan terapi farmakologis
secara langsung, umumnya cukup dengan pemberian monoterapi, namun bila
target terapi tidak tercapai dapat diberikan terapi kombinasi.
c. Pada pasien dengan tekanan darah ≥ 160/100 mmHg maka langsung diberikan
terapi antihipertensi kombinasi.
d. Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai. Tekanan
darah yang terkendali setelah satu tahun pengobatan, dapat dicoba menurunkan
dosis secara bertahap. Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.

Obat antihipertensi yang dapat digunakan :

1) Penghambat angiotensin converting enzyme (ACEI)


2) Penyekat reseptor angiotensin II (ARB)
3) Antagonis kalsium
4) Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
5) Diuretic dosis rendah

2.7. Pemantan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencakup pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat
yang tidak dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. PTO
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang
efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.

Tujuan PTO :

1) Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.


2) Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan Obat.

Kriteria pasien :

1) Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.


2) Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3) Adanya multidiagnosis.
4) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5) Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6) Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang merugikan.

Kegiatan :

1) Memilih pasien yang memenuhi kriteria.


2) Membuat catatan awal.
3) Memperkenalkan diri pada pasien.
4) Memberikan penjelasan pada pasien.
5) Mengambil data yang dibutuhkan.
6) Melakukan evaluasi.
7) Memberikan rekomendasi (Permenkes 74 tahun 2016)

2.7. DRP
DRP adalah singkatan dari Drug-Related Problems atau masalah terkait obat dalam
konteks penggunaan obat dalam praktek klinis. DRP adalah konsep yang sering ditemukan
dalam penelitian dan jurnal farmasi dan kedokteran untuk mengidentifikasi dan
menggambarkan masalah yang terkait dengan penggunaan obat. Beberapa contoh DRP
yang umum meliputi :

1) Ketidaksesuaian terapi : Ketika pasien tidak mengikuti rencana pengobatan yang


ditetapkan oleh tenaga medis, misalnya tidak mengambil dosis obat yang
diresepkan atau tidak mengikuti jadwal penggunaan obat.
2) Efek samping obat : Terjadi ketika pasien mengalami efek samping yang tidak
diinginkan akibat penggunaan obat. Efek samping ini dapat berkisar dari yang
ringan hingga yang serius.
3) Interaksi obat : Terjadi ketika dua atau lebih obat yang digunakan bersama-sama
dapat saling mempengaruhi efek atau efek sampingnya. Interaksi obat dapat
meningkatkan risiko efek samping atau mengurangi efektivitas pengobatan.
4) Kontraindikasi : Terjadi ketika obat dikontraindikasikan atau tidak dianjurkan
untuk digunakan pada pasien dengan kondisi kesehatan tertentu atau riwayat alergi
terhadap obat tersebut.
5) Dosis yang tidak sesuai : Terjadi ketika dosis obat yang diresepkan tidak sesuai
dengan kebutuhan pasien, baik terlalu rendah atau terlalu tinggi, sehingga dapat
mempengaruhi efektivitas pengobatan.
BAB III
DESKRIPSI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama Pasien Ny. K
Tanggal Lahir 25 Agustus 1959
Nomor RM 7000xxxxxx
Pengobatan Pertama 09 Juni 2022
Riwayar Penyakit Hipertensi, DM
Riwayat Pengobatan Sedang mengonsumsi metformin, amlodipine,
simvastatin, Glyceryl Guaiacolate, Vitamin B12,
Kalsium Laktat, CTM
Diagnosis Utama DM, HT, Kolesterol

B. Data Subjektif Pasien


Tanggal Data Subjektif
06/07/2022 Pinggang sakit,
04/08/2022 Nyeri tangan kanan, lutut sakit
05/01/2023 Batuk, merah diselangkangan

C. Data Objektif Pasien


1) Tanda-tanda Vital Pasien
Parameter Hasil
Tek. Darah 05/01 07/02 09/03 16/4 10/5 07/06 16/6
133/67 133/64 132/70 129/71 130/67 123/67 137/71

2) Data Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Nilai Normal Tanggal

10/06/2022 12/09/2022 16/6/2023


Darah Lengkap
Leukosit 4000-10.000 8.200 8.800 10.200
uL
Eritrosit 3,5 – 5,0 jt/uL 4,6 4,9 4,9
Haemoglobin 11-15 mg/dL 13,9 14,1 14,1
Hematokrit 35-50 36 41 43
Trombosit 150.000- 296.000 248.000 303.000
400.000/uL
Test glukosa 70-115 mg/dL 103 188 128
puasa
Glukosa 2 jam 100-125 149 359 286
pp mg/dL
kolesterol < 200 mg/dL 260 232 273
D. Profil Pengobatan Pasien
1) Rawat Jalan 18 Juni 2023
No Nama Obat Jumlah Aturan Waktu pemberian
obat pakai Pagi Siang Malam
1. Amlodipin 10 30 1x1 √
mg
2. Simvastatin 30 1x1 √
10 mg
3. Metformin 60 2x1 √ √
500 mg
4. GG 100 mg 15 3x1 √ √ √
5. Vitamin B12 30 1x1 √
50 Mcg
6. Kalsium 30 1x1 √ √ √
Laktat 500 mg
7. Klorfeniramin 15 3x1 √ √ √
4 mg

E. Riwayat pengobatan pasien selama 6 bulan


Obat Aturan 05/01/23 7/2/23 9/3/23 16/4/23 10/5/23 16/06/23
Pakai

p s s m p s s m p s s m p s s m p s s m p s s m
Oral
Amlodipine 1x1 √ √ √ √ √ √
10 mg
Vitamin 1x1 √ √ √ √ √ √
b12
Kalsium 1x1 √ √ √ √ √ √
laktat
Simvastatin 1x1 √ √ √ √ √ √
Metformin 2x1 √ √ √ √ √ √ √
GG 100 mg √ √ √
CTM √ √ √
Topikal
Miconazole Prn √ √ - √ √ - - -
cream
Salep 2-4 prn - √ √ - - - -
F. Kesesuaian Terapi
No. Nama Tanggal BB Diagnosa Terapi Aturan Data
Pasien/No. Lahir Obat Pakai Subjektif
RM/tgl dan
masuk Objektif
1. Ny K/ 25 50 Hipertensi Amlodipine 1x1 TD :
7000xxxxxx/ Agustus kg 10 mg 137/71
06/07/2022 1959
DM Metformin 2x1 286
Kolesterol Simvastatin 1x1 273

G. Kesesuaian Dosis

No Nama Obat Dosis Literatur Dosis yang Kesesuaian


diberikan dosis
1. Amlodipine Dosis awal : 1 x 5 mg / 1 x 10 mg/ hari Sesuai
hari
Dosis Maks : 1 x 10
mg /hari
2. Metformin Dosis Awal : 3 x 500 2 x 500 Sesuai
mg/hari mg/hari
Dosis Maks : 2000
mg/hari
3. Simvastatin Dosis awal : 10-20 1 x 20 mg/hari Sesuai
mg/hari
Dosis maks : 80 mg
hari
H. Interaksi Obat (Drug related problem)

No Interaksi Literatur Level Akibat Manajemen


Interaksi Interaksi
1. Simvastatin Drugs.com Major Pemberian Tinjauan ulang
dan (Q Yang bersama dengan dosis
Amlodipine amlodipine dapat simvastatin dan
dkk, 2010)
secara signifikan amlodipine
meningkatkan serta
konsentrasi pemantauan
plasma rutin untuk
simvastatin dan meminimalkan
metabolit risiko interaksi
aktifnya, asam obat yang
simvastatin, dan serius.
mempotensiasi
risiko miopati
yang diinduksi
statin
2. Metformin Drugs.com Moderate Metformin dapat Evaluasi status
dan Vitamin (Prentice mengganggu vitamin B12
B12 dkk, 2013) absorbsi vitamin pasien melalui
B12 di saluran pemeriksaan
pencernaan laboratorium
dan
pertimbangkan
suplementasi
tambahan jika
terjadi
defisiensi.
I. Assesment Dan Plan (Identifikasi,dan plan DRP)
Nama Obat Assesment Plan/Rekomendasi Evidence
Base
Problem Causes Intervensi Outcome
Simvastatin P.2. Keamanan Pengobatan P.2.1 Kejadian obat yang 13.2. Dosis O2.1 Masalah Drugs.com
Pasien dapat mengalami mungkin terjadi simvastatin tidak boleh diselesaikan sebagian (Q Yang
efek obat yang merugikan Pemberian bersama melebihi 20 mg setiap dkk, 2010
dengan amlodipine dapat hari bila digunakan
secara signifikan dalam kombinasi
meningkatkan konsentrasi dengan amlodipine.
plasma simvastatin dan
metabolit aktifnya, asam
simvastatin, dan
mempotensiasi risiko
miopati yang diinduksi
statin.

PEMANTAUAN TERAPI OBAT


No. Nama Pasien/No. RM/tgl Tanggal BB Diagnosa Terapi Obat Aturan Pakai Data Subjektif
masuk Lahir dan Objektif
1. Ny K/ 7000xxxxxx/ 25 Agustus 1959 50 kg Hipertensi Amlodipine 10 1x1 TD : 137/71
06/07/2022 mg
DM Metformin 2x1 286
Kolesterol Simvastatin 1x1 273
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada
pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya
efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga
kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Standar pelayanan farmasi klinik
berdasarkan hasil wawancara dan telaah dokumen mengacu pada buku pedoman kebijakan
dan pembuatan perencanaan serta buku pedoman palayanan farmasi klinik yang mengikuti
pedoman dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2016
meliputi kegiatan salah satunya Pemantauan Terapi Obat (PTO) (Depkes RI, 2016).

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung
dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien. Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk :

1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di


Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas, keamanan
dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien yang
terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional.

Pelayanan farmasi klinik meliputi :

1. Pengkajian dan pelayanan Resep


2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
3. Konseling
4. Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap)
5. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
7. Evaluasi Penggunaan Obat
4.2. Pembahasan Hasil PTO
Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar glukosa dalam
darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu tanda khas penyakit
diabetes mellitus (DM), meskipun juga mungkin didapatkan pada beberapa keadaan yang
lain (PB PERKENI. 2015). Penderita diabetes mellitus yang tidak melakukan kontrol gula
dengan rutin dan baik akan menyebabkan timbulnya komplikasi vaskular. Komplikasi
vaskular ini dibedakan menjadi makrovaskular (seperti penyakit jantung koroner, stroke)
dan mikrovaskular (seperti retinopati, nefropati, dan neuropati) (Black, 2009).

Faktor usia mempengaruhi penurunan pada semua tubuh tidak terkecuali dengan endokrin.
Penambahan usia menyebabkan kondisi resistensi pada insulin yang berakibat tidak
stabilnya level gula darah (Isnaini, 2018). Maka usia seseorang sangat erat kaitannya
dengan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat usia maka
prevalensi DM dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Hal tersebut terjadi karena
penurunan fungsi tubuh yang berdampak pada gangguan intoleransi glukosa karena sel
beta mengalami penurunan dalam memproduksi insulin atau bahkan resistensi insulin
(Bigelow & Freeland, 2019).

Berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan sampel pada salah satu pasien lansia di
puskesmas penjaringan dengan diagnose utama yaitu DM, Hipertensi serta kolesterol.
Pasien tersebut mendapatkan terapi kronis secara rutin tiap bulannya dengan mendapatkan
obat diagnose utama yaitu metformin, amlodipine, dan simvastatin.

Berdasarkan PERKENI tahun 2021, untuk penatalaksanaan pasien DM dengan penyakit


komorbid seperti hipertensi, Pasien dengan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg dapat diberikan
terapi farmakologis secara langsung, umumnya cukup dengan pemberian monoterapi,
namun bila target terapi tidak tercapai dapat diberikan terapi kombinasi. Pada pasien kali
ini pun telah menggunakan monoterapi dan dilihat bahwa capaian hasil nya optimal
dengan hasil pengukuran TD dari pasien tiap bulannya.

Pasien juga mengalami penyakit komorbid kolesterol, terapi obat yang didapatkan pasien
ialah gol. Statin yaitu simvastatin. Target LDL < 55 mg/dL pada diabetes yang disertai
dengan penyakit kardiovaskular (kelompok resiko ekstrim), dan bias dilihat bahwa pasien
merupakan pasien lansia, yang memiliki resiko tinggi. Berdasarkan hasil laboratorium pun
didapati kada koleseterol dari pasien masih sering tinggi, sehingga untuk pengobatan
kolesterolnya harus lebih dipantau.

Pemantauan terapi obat pada pasien ini yang mendapatkan kombinasi obat simvastatin,
amlodipine, metformin, kalsium laktat, dan vitamin B12 dapat melibatkan beberapa aspek
yang perlu diperhatikan.

1. Simvastatin:
- Pemantauan kadar lipid : Pemeriksaan kadar lipid secara berkala dilakukan
untuk memantau respons pengobatan dan menentukan kebutuhan penyesuaian
dosis.
2. Amlodipine:
- Pemantauan tekanan darah: Pengukuran tekanan darah rutin dilakukan untuk
memantau efektivitas amlodipine dalam mengendalikan tekanan darah.
- Pemantauan denyut jantung: Jika pasien mengalami gejala yang berkaitan
dengan gangguan irama jantung, pemantauan denyut jantung dan
elektrokardiogram (EKG) mungkin diperlukan.
3. Metformin:
- Pemantauan fungsi ginjal: Sebelum memulai terapi, evaluasi fungsi ginjal perlu
dilakukan dan pemantauan fungsi ginjal secara berkala dianjurkan karena
metformin diekskresikan melalui ginjal.
- Pemantauan kadar glukosa darah: Pengukuran kadar glukosa darah rutin
membantu memantau kontrol gula darah pasien dan mengevaluasi respons
terhadap metformin.
4. Kalsium laktat:
- Pemantauan kadar kalsium: Jika pasien memiliki riwayat gangguan
metabolisme kalsium, pemantauan kadar kalsium darah dapat diperlukan
untuk memastikan keseimbangan kalsium yang tepat.
5. Vitamin B12:
- Pemantauan status vitamin B12: Jika pasien memiliki faktor risiko defisiensi
vitamin B12 atau gejala yang berkaitan, pemantauan status vitamin B12
melalui tes darah dapat diperlukan.
Selain itu, pemantauan ,mutu obat lain yang digunakan pasien juga dapat dilakukan
sesuai dengan kebutuhan, seperti pemantauan efek samping yang mungkin timbul dari
penggunaan obat-obatan tersebut.

4.3. Drug Related Problem


Drug related problem adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan terapi obat
penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. DRP merupakan suatu kejadian yang
tidak diharapkan dari pengalaman pasien atau diduga akibat terapi obat sehingga potensial
menganggu keberhasilan penyembuhan yang dikehendaki. DRP datap diatasi atau dicegah
ketika penyebab dari masalah tersebut dipahami dengan jelas.

Pada pasien yang mendapatkan obat simvastatin, amlodipine, metformin, vitamin B12,
dan kalsium laktat untuk pengobatan diabetes melitus, terdapat beberapa potensi Drug-
Related Problems (DRP) yang mungkin terjadi. Berikut adalah beberapa contoh DRP yang
dapat muncul pada penggunaan obat-obatan tersebut :

- Interaksi obat :
Simvastatin memiliki potensi interaksi dengan amlodipine. Kombinasi kedua obat ini
dapat meningkatkan risiko efek samping seperti miopati atau rabdomiolisis.
Pemantauan terhadap efek samping ini perlu dilakukan.
Metformin dapat berinteraksi dengan amlodipine dan simvastatin, namun risiko
interaksi obat pada kombinasi ini umumnya rendah. Tetap perlu memantau respons
pasien terhadap pengobatan dan adanya efek samping yang mungkin muncul. (Q Yang
dkk, 2010)
- Efek samping :
Simvastatin dapat menyebabkan efek samping seperti mialgia (nyeri otot), gangguan
hati, dan gangguan otot lainnya. Pasien perlu dipantau secara rutin untuk
mengidentifikasi adanya efek samping ini.
Amlodipine dapat menyebabkan efek samping seperti edema perifer, palpitasi, dan
flushing. Jika pasien mengalami efek samping ini, perlu dievaluasi dan mungkin perlu
penyesuaian dosis atau penggantian obat.
Metformin dapat menyebabkan efek samping gastrointestinal seperti mual, muntah,
dan diare. Jika efek samping ini signifikan, penyesuaian dosis atau pemilihan obat
alternatif mungkin diperlukan. (Renda dkk, 2008)
Vitamin B12 dan kalsium laktat jarang menyebabkan efek samping yang signifikan.
Namun, jika pasien mengalami gejala yang mencurigakan setelah mengonsumsi obat
ini, perlu dievaluasi lebih lanjut.
- Keberlanjutan pengobatan :
DRP juga dapat terkait dengan keberlanjutan pengobatan, terutama dalam hal
kepatuhan pasien dalam mengambil obat sesuai dengan jadwal dan dosis yang
ditentukan. Pemantauan kepatuhan pasien secara rutin dan edukasi yang tepat dapat
membantu mengatasi masalah ini. (Prentice dkk, 2013)

4.4. Rekomendasi

Untuk meningkatkan efektifitas terapi, maka dilakukan pemantauan terapi obat (PTO).
Selain itu dalam upaya pencapaian terapi yang optimal, dilakukan konseling terkait
pengobatan pasien seperti memberikan informasi pada pasien tentang penggunaan dari
masing-masing obat tersebut. Seperti obat simvastatin harus diminum sekali sehari pada
malam hari sebelum tidur, untuk amlodipine diminum sekali sehari pada pagi hari sesudah
makan, dan metformin diminum pagi dan sore setelah makan. Kemudian memberikan
pengetahuan kepada pasien pola hidup yang sehat, mengatur pola makan yang baik agar
gula darah pasien terkontrol, tidak merokok, olahraga dan memantau kadar gula darah
secara teratur, serta saat meminum obat yang diresepkan oleh doker, pasien tidak
dianjurkan meminum obat, herbal, atau supplemen lain yang dapat menyebabkan
terjadinya interaksi obat di dalam tubuh pasien.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dengan adanya pemantauan terapi obat (PTO), diharapkan dapat menjadi acuan
Apoteker dalam melakukan praktik profesi terutama dalam pelayanan farmasi klinik di
puskesmas dalam upaya memperoleh terapi yang maksimal dan efek samping obat yang
minimal.

Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa PTO dapat ditarik kesimpulan bahwa Ny.S
didiagnosa diabetes melitus dengan hipertensi dan kolesterol dan menggunakan banyak
obat yang harus terus dipantau agar tidak terjadi reaksi yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. (2019). Classification and diagnosis of diabetes. Standards
of medical care in diabetes care, 42(1),13-28.
Bigelow, A., & Freeland, B., (2019). Type 2 diabetes care in the elderly. The Journal for
Nurse Practitioners, 13 (3), 181–186.
Black J.M & Hawks J. 2009. Medical-Surgical Nursing: Clinical Management for Positive
Outcomes. 8th Ed. Singapore: Saunders Elsevier
De Jager J, Kooy A, Lehert P, et al. Long term treatment with metformin in patients with type
2 diabetes and risk of vitamin B-12 deficiency: randomised placebo controlled trial.
BMJ. 2010;340:c2181.
Departemen Kesehatan RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
74 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2009. Pedoman Pemantauan Terapi Obat.
Feinstein, J., Dai, D., Zhong, W., Freedman, J., & Feudtner, C. (2015). Potential drug – drug
interactions in infant, child and adolescent patients in childrens’s hospitals. Pediatrics.
2(9), 135-100.
Ignatavicius D.D & Workman M.L. 2006. Medical Surgical Nursing: Critical Thinking for
Collaborative Care. 5th Ed. St.Louis: Saunders Elsevier
Irwan, D. (2010). Prevalensi dan faktor resiko kejadian diabetes mellitus tipe 2 di daerah
urban indonesia. Depok : FKM UI.
Isnaini, N. (2018). Faktor risiko mempengaruhi kejadian diabetes melitus tipe dua. Jurnal
Keperawatan dan Kebidanan Aisyiyah. 4(1), 59-68.
Katulanda P, Priyanga R, Ranil J, Gidwin RC, Rezvi S, David RM. 2012. The Prevalence,
Patterns and Predictors of Diabetic Peripheral Neuropathy in a Developing Country,
Diabetology & Metabolic Syndrome
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Diabetes melitus penyebab kematian nomor 6 di dunia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Riset kesehatan dasar risekdas 2018. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kurniawan. (2010). Diabetes melitus tipe 2 pada usia lanjut. Kedokteran Indonesia. 60(12),
582.
PB PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia, 2021.
Prentice RL, Pettinger MB, Jackson RD, et al. Health risks and benefits from calcium and
vitamin D supplementation: Women's Health Initiative clinical trial and cohort study.
Osteoporos Int. 2013;24(2):567-580.
Renda F, Mura P, Finco G, Ferrazin F, Pani L. Gastrointestinal tolerability of extended-
release metformin tablets compared to immediate-release metformin tablets: results of
a retrospective cohort study. Clin Ther. 2008;30(2):386-396.
Ropper A.H, Samuels M.A, Klein J.P. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology.
New York: McGraw-Hill
Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. 2003. Kedokteran Klinis [online] (6th Ed). Jakarta: EGC.
Saddique, A. A. (2021). Development of clinical pharmacy services at King Khalid Univesity
Hospital and its impact on the quality of healthcare provided. Saudi Pharmaceutical
Journal, 20(3), 273-7.
Utami, M. G. (2013). Analisis Potensi Interaksi Obat Antidiabetik Oral pada Pasien di Instalasi
Rawat Jalan Askes Rumah Sakit Dokter Soedarso Pontianak Periode Januari – Maret
2013. Skripsi, tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran, Pontianak.
World Health Organization. (2016). Diabetes fakta dan angka.WHO.
Yang Q, Zhang Z, Gregg EW, et al. Simvastatin use and the risk of rhabdomyolysis in patients
with diabetes. Diabetes Care. 2010;33(1):e57.

Anda mungkin juga menyukai