Anda di halaman 1dari 40

TUGAS KHUSUS

LAPORAN PEMANTAUAN TERAPI OBAT


PADA PASIEN SKIZOFRENIA
DI RUANGAN RAWAT INAP PULAU BENGKALIS
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
PERIODE 28 FEBRUARI 2021 – 06 MARET 2021

Disusun oleh:

Dhea Peby Ananda Diaudin, S. Farm 2043700177

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat


Memperoleh Gelar Apoteker (Apt)
Program Studi Profesi Apoteker

Disusun Oleh :

Dhea Peby Ananda Diaudin, S. Farm


2043700177

Telah disetujui oleh :

Pembimbing PKPA
RS TNI-AL Dr.Mintohardjo

Arief Fatkhur. R, S.S.Si. M. Farklin., Apt


Mayor Laut (K) NRP 18350/P

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah serta nikmat-Nya yang tak terhingga, shalawat
beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Salallahu
Alaihi Wasallam beserta keluarga dan sahabatnya, serta umatnya hingga akhir
zaman. Alhamdulillah, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Khusus
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bidang Rumah Sakit TNI AL Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Arief Fatkhur. R,
S.Si. M. Farklin., Apt sebagai pembimbing di RSAL Dr. Mintohardjo dan Ibu
apt. Sylvi Hartuti, M.Farm sebagai pembimbing di Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta yang terlah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan
dukungan moril serta saran selama pelaksanaan PKPA di Rumah Sakit TNI AL
Dr. Mintohardjo periode 22 Februari – 31 Maret 2021.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Nina Jusnita, S.TP., M. Si, selaku Dekan Farmasi Universitas 17 Agustus
1945.
2. Apt. Diah Ramadhani, M.Si selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Universitas 17 Agustus 1945.
3. Kolonel Laut Bapak Barkah Siswoyo, S.Si., Apt., selaku kepala Departemen
Farmasi Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo
yang telah membantu PKPA kami selama di Rumah Sakit.
5. Seluruh pegawai Apotek Rawat Jalan, Rawat Inap dan Yanmasum Rumah
Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo yang telah membantu kami selama PKPA di
Rumah Sakit.
6. Seluruh staf pengajar Program Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus
1945.

ii
7. Orang tua dan keluarga besar yang senantiasa memberikan bantuan,
dukungan dan doa selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini.
8. Teman-teman mahasiswa Program Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta angkatan 43 kelompok PKPA RS AL Dr. Mintohardjo, atas
segala bantuan yang telah diberikan.
Penyusun sangat menyadari bahwa tugas khusus ini belum sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penyusun
berharap ilmu dan pengalaman yang didapatkan selama Praktek Kerja Profesi
Apoteker ini dapat berguna pada saat menjalankan profesi sebagai Apoteker
dalam lingkungan masyarakat dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.

Jakarta, 31 Maret 2021

Dhea Peby Ananda Diaudin, S. Farm

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Tujuan ...........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
A. Pemantauan Terapi Obat (PTO) ....................................................................3
B. Skizofrenia ....................................................................................................5
BAB III TINJAUAN KASUS ............................................................................. 18
A. Identitas Pasien............................................................................................18
B. Data Klinis Pasien .......................................................................................18
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 29
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 32
A. Kesimpulan .................................................................................................32
B. Saran ............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33

iv
DAFTAR TABEL

1. Tabel Daftar Obat Antipsikotika, Dosis dan Sediaannya ………………….....14


2. Tabel Daftar Obat yang Dipakai Mengatasi Efek Samping Anti Psikotik……16
3. Tabel Data Pemeriksaan Laboratorium…………………………………..…...21
4. Tabel Hasil Pemeriksaan Tanda – Tanda Vital Pasien…………...………...…21
5. Tabel SOAP Catatan Medis Rawat Inap……………………………..……….22
6. Tabel Ketepatan Diagnosis Berdasarkan Data Klinis …………..…………....25
7. Tabel Ketepatan Pemilihan Obat...……………….……………...…..............25
8. Tabel Ketepatan Dosis Obat..........……………….……………...…..............26
9. Tabel Drug Related Problem Terapi Pasien...…………………….…..............27

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai oleh dua atau
lebih tanda, seperti waham, halusinasi, pembicaraan kacau, emosi negatif
seperti kehilangan ekspresi emosi. Gejala karakteristik dari skizofrenia
menjangkau area disfungsi emosional, kognitif, dan perilaku, akan tetapi
tidak ada gejala tunggal yang menjadi gejala utama dari skizofrenia1.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia, seperti skizofrenia dan
gangguan psikosis lainnya mencapai 1,7 per 1.000 penduduk Persebaran
prevalensi skizofrenia tertinggi salah satunya berada di Daerah Istimewa
Yogyakarta sebanyak 2,7 per 1000 penduduk (RISKESDAS, 2013).
Tingginya angka prevalensi skizofrenia, maka dibutuhkan manajemen
terapi yang sesuai untuk pasien skizofrenia. Terapi farmakologi menggunakan
antipsikotik yang terdiri dari 2 jenis yaitu antipsikotik golongan pertama
(antipsikotik tipikal) dan antipsikotik golongan kedua (antipsikotik atipikal)
(Morrison A. P. et al, 2014). Pada pengobatan skizofrenia terdapat dua pola
pengobatan yaitu pengobatan tunggal dan kombinasi. Pedoman menyarankan
kombinasi antipsikotik digunakan dalam keadaan tertentu saja, namun dalam
praktek klinis menggabungkan dua atau lebih antipsikotik adalah hal yang
sangat umum yaitu berkisar 10-30% (Gallego J. A et al, 2012). Studi lain
mengatakan bahwa kombinasi antipsikotik direkomendasikan kepada pasien
yang gagal dengan pemberian antipsikotik monoterapi, termasuk clozapine
(Fleischhacker W. W. & Uchida H, 2014). Penggunaan kombinasi
antipsikotik juga tidak disarankan karena dapat meningkatkan risiko beban
efek samping, meningkatan interaksi obat, serta meningkatkan kesulitan bagi
pasien agar tetap patuh pada rejimen pengobatan (Lally J. & Maccabe J. H,
2015). Efek samping yang sering terjadi pada pengobatan skizofrenia yaitu

1
2

efek ekstrapiramidal. Extrapyramidal symptoms (EPS) termasuk gejala


parkinsonism (yaitu kekakuan, tremor, dan bradikinesia), serta dystonia dan
akathisia (Gardner D. M. . & Teehan M. D, 2011).
Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai resiko untuk
mengalami masalah terkait obat. Kompleksibilitas penyakit dan penggunaan
obat, serta respon pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya
masalah terkait obat, penggunaan obat yang tidak perlu, penggunaan obat
yang berlebihan dengan indikasi yang tidak sesuai dengan gejala pasien atau
disebut juga dengan polifarmasi dan adanya interaksi obat. Oleh karena itu
perlu dilakukan Pemantauan Terapi Obat (PTO).

B. Tujuan
Untuk melakukan pemantauan terapi obat yang digunakan pasien di ruang
Pulau Bengkalis, di Rumah Sakit TNI-AL Dr. Mintohardjo.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat adalah suatu kegiatan untuk memastikan terapi
obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien (Dirjen Binfar dan Alkes,
2006). Pemantauan terapi obat dilakukan berdasarkan prinsip bahwa untuk
beberapa obat, terdapat hubungan yang erat antara tingkat plasma dengan efek
klinisnya.
Dalam pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan
dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun
kegagalan terapi dapat diketahui. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan
kesehatan memiliki peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang dalam
melakukan PTO adalah patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi
hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan
keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal,
dan menganalisis masalah (Dirjen Binfar dan Alkes, 2006).
Proses Pemantauan terapi merupakan proses yang komprehensif mulai dari
seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat,
rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut. Proses
tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi
tercapai (Dirjen Binfar dan Alkes, 2006).
1. Seleksi Pasien
Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh
pasien. Mengingat terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan
jumlah pasien, maka perlu ditentukan prioritas pasien yang akan dipantau .
Seleksi dapat dilakukan berdasarkan kondisi pasien dan obat yang diterima
pasein.
2. Pengumpulan Data Pasien
Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO.
Data tersebut dapat diperoleh dari rekam medik, profil pengobatan
4

pasien/pencatatan penggunaan obat, wawancara dengan pasien, anggota


keluarga, dan tenaga kesehatan lain.
3. Indentifikasi Masalah Terkait Obat
Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi
adanya masalah terkait obat. Masalah terkait obat menurut Hepler dan
Strand dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Ada Indikasi Tetapi Tidak di Terapi
b. Peberian Obat Tanpa Indikasi
c. Pemilihan Obat Yang Tidak Tepat
d. Dosis terlalu tinggi
e. Dosis terlalu rendah
f. Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
g. Interaksi obat
h. Pasien tidak menggunakan obat dengan suatu sebab
4. Rekomendasi Terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup
pasien, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)
b. Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)
c. Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)
d. Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi
antara lain: derajat keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis).
Pilihan terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan erdasarkan:
efikasi, keamanan, biaya, regimen yang mudah dipatuhi.
5. Rencana Pemantauan Sampai Dengan Tindak Lanjut
Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan
perencanaan pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi
dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat
rencana pemantauan perlu menetapkan langkah-langkah:
5

a. Menetapkan Parameter Farmakoterapi


b. Menetapkam sasaran terapi
c. Menetapkan frekuensi pemantauan
Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah
Subjective Objective Assessment Planning (SOAP). Proses selanjutnya
adalah menilai keberhasilan atau kegagalan mencapai sasaran terapi.
Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter klinis sesuai
dengansasaran terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak
tercapai, maka dapat dikatakan mengalami kegagalan mencapai sasaran
terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara lain: kegagalan menerima terapi,
perubahan fisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi pasien, dan gagal
terapi.

B. Skizofrenia
1. Definisi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling mudah dikenali
sehingga diharapkan dapat dilakukan tatalaksana sedini mungkin untuk
menghindari risiko tersebut. Skizofrenia membutuhkan tata laksana jangka
panjang karena merupakan gangguan yang bersifat menahun (kronis) dan
bisa kambuh. Semakin sering kambuh, makin berat penurunan fungsi yang
terjadi pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Skizofrenia termasuk dalam
gangguan psikotik (Permenkes RI, 2017).

Skizofrenia adalah penyakit otak kronis, parah, dan melumpuhkan.


Sekitar 1 persen dari populasi mengalami skizofrenia selama masa hidup
mereka, lebih dari 2 juta orang Amerika menderita penyakit ini pada tahun
tertentu. Meskipun skizofrenia dialami pria dan wanita dengan frekuensi
yang sama, gangguan ini sering muncul lebih awal pada pria, biasanya pada
akhir remaja atau awal dua puluhan, daripada pada wanita, yang umumnya
terpengaruh pada usia dua puluhan hingga awal tiga puluhan (Spearing,
2002).
6

2. Penggolongan
Penggolongan skizofrenia berdasarkan International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems Revisi kesepuluh
(ICD-10) (WHO, 2016):
a. Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid didominasi oleh delusi yang relatif stabil,
sering paranoid, biasanya disertai dengan halusinasi, terutama dari
variasi pendengaran, dan gangguan persepsi. Gangguan pengaruh,
kemauan dan bicara, dan gejala katatonik, tidak ada atau relatif tidak
mencolok.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Suatu bentuk skizofrenia berupa perubahan afektif menonjol, delusi
dan halusinasi cepat dan terpisah-pisah, perilaku yang tidak
bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi, dan perilaku umum.
Moodnya dangkal dan tidak pantas, pikiran tidak teratur, dan ucapan
tidak jelas. Ada kecenderungan isolasi sosial. Biasanya prognosisnya
buruk karena perkembangan cepat dari gejala "negatif", terutama
perataan efek dan hilangnya kemauan. Hebefrenia biasanya didiagnosis
hanya pada remaja atau dewasa muda.
c. Skizofrenia Katatonik
Skizofrenia katatonik didominasi oleh gangguan psikomotorik
terkemuka yang dapat bergantian antara ekstrem seperti hiperkinesis
dan pingsan, atau kepatuhan otomatis dan negativisme. Sikap dan postur
yang terbatas dapat dipertahankan untuk waktu yang lama. Episode
kegembiraan yang hebat mungkin merupakan fitur yang mencolok dari
kondisi tersebut. Fenomena katatonik dapat dikombinasikan dengan
keadaan seperti mimpi (oneiroid) dengan halusinasi pemandangan
indah.
7

d. Skizofrenia Undiferentiated
Kondisi psikotik memenuhi kriteria diagnostik umum untuk
skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan salah satu subtype sebelumnya,
atau menunjukkan fitur lebih dari satu dari mereka tanpa dominasi yang
jelas dari serangkaian karakteristik diagnostik tertentu.
e. Depresi pasca-skizofrenia
Episode depresi, yang mungkin berkepanjangan, timbul setelah
penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenia, baik "positif" atau
"negatif", harus tetap ada tetapi mereka tidak lagi mendominasi
gambaran klinis. Keadaan depresi ini dikaitkan dengan peningkatan
risiko bunuh diri. Jika pasien tidak lagi memiliki gejala skizofrenik,
episode depresi harus didiagnosis sesuai episode depres. Jika gejala
skizofrenik masih kemerahan dan menonjol, diagnosis harus tetap
berupa subtipe skizofrenik yang sesuai seperti tipe sebelumnya.
f. Skizofrenia Residual
Tahap kronis dalam pengembangan penyakit skizofrenia telah ada
perkembangan yang jelas dari tahap awal ke tahap selanjutnya yang
ditandai dengan gejala "negatif" jangka panjang, meskipun tidak selalu
ireversibel, mis. psikomotor melambat; kurang aktif; menumpulkan
efek; kepasifan dan kurangnya inisiatif; kemiskinan kuantitas atau isi
pembicaraan; komunikasi nonverbal yang buruk dengan ekspresi wajah,
kontak mata, modulasi suara dan postur; perawatan diri dan kinerja
sosial yang buruk.
g. Skizofrenia Simpel
Gangguan berupa terdapat perkembangan yang aneh tapi progresif
dari keanehan perilaku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan
masyarakat, dan penurunan kinerja total. Ciri-ciri negatif khas dari
skizofrenia residual (mis. Menumpulkan efek dan kehilangan kemauan)
berkembang tanpa didahului oleh gejala psikotik yang jelas.
8

3. Manifestasi Klinik
a) Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat,
klang asosiasi, ekolalia, alogia, neologisme.
b) Gangguan Isi Pikir: waham, adalah suatu kepercayaan yang salah yang
menetap, tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis
waham antara lain:
1) Waham kejar
2) Waham kebesaran
3) Waham rujukan
4) Waham penyiaran pikiran
5) Waham penyisipan pikiran
6) Waham aneh
c) Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi,
dan derealisasi.
d) Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan oleh
penderita skizofrenia (tetapi tidak patognomonik):
1) Afek tumpul atau datar
2) Afek tak serasi
3) Afek labil
e) Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat
seperti gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat
ketolol-tololan, dan agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.
f) Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun atau
hilang pada orang dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan kehendak
dan tidak ada aktivitas.
g) Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi, menurunnya
kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya,
memori kerja, spasial dan verbal) serta fungsi eksekutif (PNPK
Jiwa/Psikiatri, 2012).
9

4. Patogenesis Skizofrenia
Beberapa teori dikemukakan tentang patogenesis terjadinya skizofrenia.
Teori tersebut dikenal dengan hipotesis dopamin, hipotesis
neurodevelopmental, hipotesis glutamatergik, hipotesis serotonin, dan
genetik (Tyaswuri, A, 2016).
a. Hipotesis dopamine
Hipotesis dopamin merupakan hipotesis yang paling awal dan
paling banyak diteliti. Dopamin merupakan neurotransmitter di otak.
Saat ini telah ditemukan lima macam reseptor dopamine, yaitu reseptor
D1, D2, D3, D4, da D5. Kelima reseptor dopamin ini dikelompokkan
menjadi dua famili, yakni famili D1 yang terdiri dari reseptor D1 dan
D5 serta famili D2 yang meliputi reseptor D2, D3, dan D4. Famili D1
pada transduksi sinyalnya berkaitan dengan protein Gs sedangkan famili
D2 bekaitan dengan protein Gi. Reseptor dopamin yang lebih berperan
pada penyakit skizofrenia adalah reseptor D2.
Gejala skizofrenia diduga muncul karena neurotransmitter
dopaminergik yang berlebihan di mesolimbik otak. Pada hipotesis ini
diduga bahwa gejala skizofrenia muncul karena neurotransmiter
dopaminergik yang berlebihan di mesolimbic otak. Up-regulation dari
reseptor dopamin D2 di caudatus berkaitan dengan risiko terjadinya
skizofrenia. Tingginya densitas reseptor dopamine D2 di caudatus
dihubungkan dengan kemunduran kognitif pada skizofrenia. Hal ini
didukung dengan penelitian bahwa ketika seseorang dengan skizofrenia
diterapi dengan obat antipsikotik, terdapat penurunan neurotransmisi
dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan fungsionalitas yang
lebih baik pada level perseptual dan gejala positif yang lebih sedikit.
b. Hipotesis neurodevelopmental
Pada hipotesis ini dinyatakan bahwa terdapat kerusakan pada otak
di masa-masa dalam kandungan yang mempengaruhi perkembangan
otak dan menyebabkan abnormalitas pada saat dewasa. Infeksi ibu
hamil selama kehamilannya terutama pada trimester dua atau
10

komplikasi pada perinatal/postnatal juga mempunyai korelasi positif


dengan kejadian skizofrenia. Seorang anak yang mengalami infeksi
sistem saraf pusat atau kondisi hipoksia selama kelahirannya
mempunyai resiko lima kali lebih besar terserang gangguan psikosis
termasuk skizofrenia.
c. Hipotesis Glutamatergik
Sistem glutamatergik merupakan salah satu sistem neurotransmitter
yang paling banyak tersebar di otak. Perubahan pada fungsinya, baik
hipoaktivitas maupun hiperaktivitas, dapat mengakibatkan toksisitas di
otak. Defisiensi glutamatergik menghasilkan gejala yang sama seperti
pada hiperaktivitas dopaminergik dan kemungkinan sama seperti
skizofrenia.
d. Hipotesis Serotonin
Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan
aktivitas serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamin.
Bukti yang mendukung peran potensial serotonin dalam memperantarai
efek antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan fungsional
dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan elektrofisiologi menunjukkan
bahwa saraf serotonergik dari dorsal dan median raphe nuclei
terproyeksikan ke badan- badan sel dopaminergik dalam Ventral
Tegmental Area (VTA) dan Substansia Nigra (SN) dari otak tengah.
Saraf serotonergik dilaporkan berujung langsung pada sel-sel
dopaminergik dan memberikan pengaruh penghambatan pada aktivitas
dopamin di jalur mesolimbik dan nigrostriatal melalui reseptor 5-HT2A.
e. Genetik
Faktor genetik diduga berpengaruh pada penyakit ini. Risiko
skizofrenia pada populasi berkisar antara 0,6 - 1,9%, tetapi risiko
menjadi lebih tinggi sebesar pada pasien yang mempunyai riwayat
skizofrenia dalam keluarganya. Jika kedua orang tua mempunyai
skizofrenia, risiko anaknya akan terkena skizofrenia adalah sebesar 40%
.
11

5. Etiologi Skizofrenia
Faktor predisposisi meliputi factor genetika, prenatal, perinatal, dan
kepribadian. Faktor prespitasisi meliputi stres psikososial. Faktor penyebab
berkelanjutan (perpetuasi) meliputi factor social dan keluarga pasien. Faktor
perantara dapat meliputi faktor-faktor neurotransmitter dan neurodegenerasi
serta psikoneuroimunologis dan psikoneuroendokrinologis (Puri, Paul, Ian,
2013:153).
6. Epidemiologi
Insidensi skizofrenia adalah antara 15 sampai 30 kasus baru per 100.000
populasi per tahun. Prevalensi titik kurang dari 1%. Terdapat risiko seumur
hidup terjadinya skizofrenia sekitar 1% pada populasi umum. Usia awitan
biasanya antara 15 dan 45 tahun, dengan usia awitan rerata lebih dini pada
laki-laki daripada perempuan. Rasio jenis kelamin sama, yaitu, skizofrenia
terjadi sama seringnya pada laki-laki dan perempuan. Insidensi skizofrenia
lebih tinggi pada mereka yang tidak menikah. Skizofrenia juga diketahui
paling sering terjadi pada golongan sosial IV dan V. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh social drift (penyimpangan sosial): orang tua pasien dengan
skizofrenia mempunyai distribusi kelas social yang lebih normal tetapi paien
sendiri dapat terjun ke golongan sosial lebih rendah (misalnya, yang
berhubungan dengan pekerjaan mereka) akibat penyakitnya (Puri B K et al,
2013).
7. Pedoman Diagnosis
Pedoman diagnosis berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III adalah sebagai
berikut:
a) Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran atau penyisipan
(thought withdrawal atau thought insertion), dan penyiaran pikiran
(thought broadcasting).
b) Waham dikendalikan (delusion of being control), waham dipengaruhi
(delusion of being influenced), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan
12

atau perasaan (sensations) khusus; waham persepsi.


c) Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang perilaku pasien atau
sekelompok orang yang sedang mendiskusikan pasien, atau bentuk
halusinasi suara lainnya yang datang dari beberapa bagian tubuh.
d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap
tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai
identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan
“manusia super” (tidak sesuai dengan budaya dan sangat tidak mungkin
atau tidak masuk akal, misalnya mampu berkomunikasi dengan makhluk
asing yang datang dari planit lain).
e) Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide
berlebihan (overvalued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap
hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi)
yang berakibat inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau
neologisme.
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme,
dan stupor.
h) Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan
yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut
tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
i) Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed
attitude) dan penarikan diri secara sosial.
13

8. Penatalaksanaan Skizofrenia
a) Fase Akut
1) Farmakoterapi
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau
orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi
beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi,
agresi dan gaduh gelisah.
Langkah Pertama
Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.
Langkah Kedua
Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau isolasi
hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan
orang lain serta usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan
dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan
digunakan untuk memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih
baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih
cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan.
Obat injeksi
• Olanzapine, dosis 10mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap
2 jam, dosis maksimum 30mg/hari.
• Aripriprazol, dosis 9,75mg/injeksi(dosis maksimal
29,25mg/hari), intramuskulus.
• Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap
setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari.
• Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis
maksimum 30mg/hari.
14

Tabel 1. Daftar Obat Antipsikotika, Dosis dan Sediaannya


Dosis
Obat Antipsikotika Anjuran Bentuk Sediaan
(mg/hari)
Antipsikotika Generasi I (APG-I)
Klorpromazin 300-1000 tablet (25 mg,100 mg)
Perfenazin 16-64 tablet (4 mg)
Trifluoperazin 15-50 tablet (1 mg, 5 mg)
Haloperidol 5-20 tablet (0.5, 1 mg, 1.5 mg, 2 mg, 5
mg) injeksi short acting (5 mg/mL),
tetes (2 mg/5 mL), long
acting (50 mg/mL)
Fluphenazine 12.5-25 long acting (25
decanoate mg/mL)
Anti Psikotik Generasi II (APG-II)
Aripriprazol 10-30 tablet (5 mg, 10 mg, 15 mg), tetes
(1 mg/mL), discmelt (10 mg, 15
mg), injeksi (9.75 mg/mL)
Klozapin 150-600 tablet (25 mg, 100 mg)
Olanzapin 10-30 tablet (5 mg, 10 mg), zydis (5 mg,
10 mg), injeksi (10 mg/mL)
Quetiapin 300-800 tablet IR (25 mg, 100 mg, 200 mg,
300 mg), tablet XR (50 mg,
300 mg, 400 mg)
Risperidon 2-8 tablet ( 1 mg, 2 mg, 3 mg), tetes ( 1
mg/mL), injeksi Long Acting
(25 mg, 37.5 mg, 50 mg)
Paliperidon 3-9 tablet (3 mg, 6 mg, 9 mg)
Zotepin 75-150 tablet (25 mg, 50 mg)

2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan,
stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan
ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui
komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan,
menyediakan lingkungan yang nyaman, toleran perlu dilakukan.
15

3) Terapi lainnya
ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada:
• Skizofrenia katatonik
• Skizofrenia refrakter
b) Fase Stabilisasi
1) Farmakoterapi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala
atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi
kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan
(recovery).
Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan
selama lebih kurang 8-10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan.
Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika jangka panjang
(long acting injectable), setiap 2-4 minggu.
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang
dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak
pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala,
merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan.
Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.
c) Fase Rumatan
1) Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis
minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi
akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah
berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan
sampai lima tahun bahkan seumur hidup.
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada
kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya
remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional,
16

cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga
diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka
mampu mencegah kekambuhan berikutnya.
9. Penatalaksanaan Efek Samping
Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia
akut atau parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis
antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-obat
antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau
difenhidramin injeksi IM atau IV.
Tabel 2. Daftar Obat yang dipakai mengatasi Efek Samping Anti Psikotik
Nama Generik Dosis Waktu paruh Target efek samping
(mg/hari) eliminasi ekstrapiramidal
(jam)
Triheksilfenidil 1-15 4 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia, parkinsonisme
Propranolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
Difenhidramin 25-50 4-8 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Sulfas Atropin 0.5-0.75 12-24 Distonia akut

Untuk efek samping tardif diskinesia, turunkan dosis antipsikotika.


Bila gejala psikotik tidak bisa diatasi dengan penurunan dosis antipsikotika
atau bahkan memburuk, hentikan obat dan ganti dengan golongan
antispikotika generasi kedua terutama klozapin.

Kondisi Sindroma Neuroleptik Malignansi (SNM) memerlukan


penatalaksanaan segera atau gawat darurat medik karena SNM merupakan
kondisi akut yang mengancam kehidupan. Dalam kondisi ini semua
penggunaan antipsikotika harus dihentikan. Lakukan terapi simtomatik,
perhatikan keseimbangan cairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi,
17

temperatur, pernafasan dan kesadaran). Obat yang perlu diberikan dalam


kondisi kritis adalah dantrolen 0.8-2.5 mg/kgBB/hari atau bromokriptin 20-
30 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Jika terjadi penurunan kesadaran, segera
dirujuk untuk perawatan intensif (ICU) (PNPK Jiwa/Psikiatri, 2012).
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Identitas Pasien
No. RM : 2368XX
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Purworjo, 21 Februari 1979
Alamat : Punggangan RT 001/001 Kel. Jangkrikan, Kec.
Kepil, Kab. Wonosobo, Jawa Tengah
No. Telepon : 08129082xxxx
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status Marital : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan :-
Tgl. Masuk RS : 28 Februari 2021
Tgl. Keluar RS : 06 Maret 2021
Penerimaan : Unit Gawat Darurat (UGD)
Ruang Rawat : Pulang Bengkalis
DPJP : dr. Fransiska Drie N. SpKJ
B. Data Klinis Pasien
a. Anamnesa
Data Subjective
Anamnesa : Autoanamnesa, Alloanamnesa
Keluahan utama : Pasien gelisah, tidak bisa tidur,
bicara kacau
Riwayat Penyakit Sekarang : Pusing, gelisah, mondar-mandir,
bicara kacau dan tidak bisa tidur
Riwayat Penyakit Dahulu : Psikiatri

18
19

Riwayat pengobatan : Risperidon 2x2 mg; Hexymer 2x2


mg; clozapin 1x25 mg; Lodomer inj
Riwayat penyakit Keluarga : Psikiatri
Riwayat Pekerjaan : Wiraswasta
Status Sosial : Tidak baik (sudah berpisah dari
suaminya)
Status Kejiwaan & Kebiasaan : Cemas, sedih, takut, marah
b. Pemeriksaan
Data Objective (Tanggal 28 Februari 2021)
1) Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis / CM (Sadar Penuh)
Keadaan umum : Sedang
Tekanan darah (TD) : 110/80
mmHg Heart Reate (HR) : 78x
/menit Respirator Rate (RR) :
18x /menit
Suhu : 36,6ºC
Berat Badan (BB) : 55 kg
Tinggi Badan (TB) :-
2) Status Generalis
Kepala : Normal
Mata : Normal
Mulut : Normal
Leher : Normal
Dada : Normal
Perut : Normal
Alat gerak : Normal
Anus – Genetalia Anogenital : Tidak dapat diperiksa
20

3) Pemeriksaan Penunjang (Tanggal 28 Februari 2021)


Leukosit : 6800 / µL
Eritrosit : 4,86 juta / µL
Hemoglobin : 12,4 g/dL
Hematokrit : 38 %
Trombosit : 164.000 ribu / µL
c. Assessment
1) Diagnosa Awal (Diagnosis masuk Rumah Sakit -
UGD) Diagnosa kerja : Skizofrenia paranoid
2) Diagnosa Akhir (Diagnosa keluar
Rumah Sakit) Diagosa utama :
Skizofrenia
Diagnosa tambahan :-
d. Plan
1) Penatalaksanaan di UGD
Konsultasi dengan dr. Siska, SpKJ
- Observasi keadaan umum
- Jika gelisah berikan Inj. Lodomer 1 ampul (im)
- Risperidon 2 x 2 mg
- Hexymer 2 x 2 mg
- Clorilex 1 x 50 mg
2) Penatalaksanaan Awal Rawat Inap:
- Risperidon 2 x 2 mg
- Hexymer 2 x 2 mg
- Clorilex 1 x 50 mg
21

e. Data Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 3. Data Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Flag Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Darah lengkap
Leukosit 6800 µL 5000-10000
Eritrosit 4.86 Juta/µL 4.20-5.40
Hemoglobin 12.4 g/dL 12.0-14.0
Hematokrit 38 % 37-42
Trombosit 164000 µL 150000-450000
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 1 % 0-3
Neutrofil 58 % 50-70
Limfosit 27 % 20-40
Monosit 14 % H 2-8

f. Data Pemeriksaan Keadaan Pasien


Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Tanda – Tanda Vital Pasien
Parameter Satuan Tanggal (Februari – Maret 2021)
28 1 2 3 4 5 6
Tekanan Sistol mmHg 135 133 120 120 110 120 120
Darah Diastol mmHg 87 82 80 80 70 80 70
(TD)
Suhu ºC 36,7 36,0 36,0 36,0 36,4 36,0 36,6
Heart Rate (HR) x/menit 73 78 80 84 84 84 76
Respiration Rate (RR) x/menit 18 20 - - - - 18
22

g. Analisis Terapi Pasien (SOAP)


Tabel 5. SOAP Catatan Medis Rawat Inap
SOAP 28 Februari 2021 1 Maret 2021 2 Maret 2021
Subyektif Pasien tampak gelisah, merasa banyak Pasien mengeluhkan masih mendengar suara bisik-bisik dan masih Masih mendengar suara-suara dan masih melihat orang
orang yang melihat melihat orang yang ramai disekitarnya. Pasien mengatakan bahwa ramai disekitarnya, masih merasa sulit tidur, tidak nafsu
keadaan lebih membaik. Pasien mengeluhkan masih sulit untuk makan karena lidah terasa pahit, pasien minta pulang,
tidur, makan sedikit karena pasien mengeluhkan mulut terasa pahit merasa sudah baik
Obyektif - Tampak gelisah, seperti banyak yang Pemeriksaan Umum: Pemeriksaan Umum:
melihat dia Kesadaran: CM; Kesadaran: CM;
- Prilaku bisa diarahkan KU: tampak bingung, banyak diam, bicara ngelantur; Penampilan : rapi, belum mandi;
Penampilan : rapi tapi nampak belum mandi; Psikomotor : tenang;
- Pemeriksaan Umum: Psikomotor : tenang, tidak agresif; Pembicaraan : koheren, cukup
TD: 135/87 mmHg; HR: 76x /m; RR:
Pembicaraan : koheren, cukup; Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif;
18x/m; Suhu: 36ºC; SpO2: 99
Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif Afek : terbatas;
Afek : terbatas; Mood : euthym;
Mood : distim; Gangguan persepsi : halusinasi visual dan audiotorik;
Gangguan persepsi : halusinasi visual dan audiotorik; Arus pikir : baik;
Arus pikir : baik; Isi pikir : tidak ada;
Isi pikir : tidak ada; Pengendalian impuls : terkendali;
Pengendalian impuls : terkendali; Daya nilai : terganggu;
Daya nilai : terganggu; TD: mmHg; HR: x /m; RR: x/m; Suhu: ºC
TD: 133/82 mmHg; HR: 78x /m; RR: 20x/m; Suhu: 36ºC
Assessment - SP 1 halusinasi - Skizofrenia - Skizofrenia
- SP 1 halusinasi - SP 1 halusinasi
- SP 2 halusinasi

Plan - Observasi prilaku pasien - Risperidon 2 x 2 mg; Clozapin 1 x 25 mg; Hexymer 2 x 2 mg; - Risperidon 2 x 2 mg; Clozapin 1 x 25 mg; Hexymer 2 x 2
- Ulangi SP 1 halusinasi Optimalkan SP 1 halusinasi; Optimalkan SP 2 halusinasi mg; Optimalkan SP 1 halusinasi; Observasi prilaku pasien
23

SOAP 3 Maret 2021 4 Maret 2021


Subyektif Pasien sulit tidur karena ada musik dari luar, pasien masih mendengar suara tapi Pasien minta pulang, pasien mengeluh sulit tidur karena banyak nyamuk, mendengar
samar-samar, pasien masih melihat orang-orang tapi sudah jarang, pasien makan suara (-), melihat orang-orang (-)
habis, pasien sudah tidak mengeluhkan tegang leher dan tremor, pasien minta
pulang
Obyektif Pemeriksaan Umum: Pemeriksaan Umum:
Kesadaran : CM Kesadaran : CM
KU : tenang KU : tenang
Penampilan : rapi Penampilan : rapi
Psikomotor : tenang Psikomotor : tenang
Pembicaraan : koheren, cukup Pembicaraan : koheren, cukup
Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
Afek : terbatas Afek : terbatas
Mood : hipotim Mood : hipotim
Gangguan persepsi : halusinasi visual dan audiotorik Gangguan persepsi : halusinasi visual dan audiotorik
Arus pikir : baik Arus pikir : baik
Isi pikir : tidak ada Isi pikir : tidak ada
Pengendalian impuls : terkendali Pengendalian impuls : terkendali
Daya nilai : terganggu Daya nilai : terganggu
Dengar suara bisikan (-) Dengar suara bisikan (-); pasien minta pulang
TD: 133/82 mmHg; HR: 78x /m; RR: 20x/m; Suhu: 36ºC TD: 120/70 mmHg; HR: 80x /m; Suhu: 36,5ºC

Assessment - Skizofrenia - Skizofrenia


- SP 1 halusinasi - SP 2 halusinasi
- SP 2 halusinasi

Plan - Risperidon 2 x 2 mg - Risperidon 2 x 2 mg


- Clozapin 1 x 25 mg - Clozapin 1 x 25 mg
- Hexymer 2 x 2 mg - Hexymer 2 x 2 mg
- Optimalkan SP 1 halusinasi - Optimalkan SP 2 halusinasi
- Optimalkan SP 2 halusinasi - Observasi prilaku
- Observasi prilaku
24

SOAP 5 Februari 2021 6 Februari


Subyektif Pasien minta pulang, pasien mengeluh sulit tidur karena banyak nyamuk, mendengar Mendengar suara (-), sudah bisa tidur, makan baik.
suara (-), melihat orang-orang (-)

Obyektif Pemeriksaan Umum: Pemeriksaan Umum:


Kesadaran : CM Kesadaran : CM
Penampilan : rapi, sudah mandi Penampilan : rapi, sudah mandi
Psikomotor : tenang Psikomotor : tenang
Pembicaraan : koheren, cukup Pembicaraan : koheren, cukup
Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
Afek : datar Afek : datar
Mood : eutim Mood : eutim
Gangguan persepsi : halusinasi visual dan audiotorik Gangguan persepsi : halusinasi visual dan audiotorik
Arus pikir : baik Arus pikir : baik
Isi pikir : tidak ada Isi pikir : tidak ada
Pengendalian impuls : terkendali Pengendalian impuls : terkendali
Daya nilai : terganggu Daya nilai : terganggu
Tilikan : 6 Tilikan : 6
TD: 120/80 mmHg; HR: 82x /m; RR: 18x/m; Suhu: 36,5ºC TD: 120/70 mmHg; HR: 76x /m; RR: 18x/m; Suhu: 36,6ºC
Assessment - Skizofrenia - Skizofrenia
- SP 2 halusinasi
Plan - Risperidon 2 x 2 mg - Risperidon 2 x 2 mg
- Clozapin 1 x 25 mg - Clozapin 1 x 25 mg
- Hexymer 2 x 2 mg - Hexymer 2 x 2 mg
- Optimalkan SP 2 halusinasi
- Observasi prilaku
25

C. Evaluasi Terapi Pasien


a. Evaluasi ketepatan diagnosis berdasarkan data klinis penderita
Hasil evaluasi ketepatan diagnosis berdasarkan data klinis penderita
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 6. Ketepatan Diagnosis Berdasarkan Data Klinis
No Diagnosis Data Klinis
1. Skizofrenia Riwayat penyakit terdahulu psikiatri, riwayat penyakit keluarga psikiatri,
pasien gaduh gelisah sejak ± 2 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien
menodong pisau ke warga sekitar, tetangga mengatakan obat pasien habis,
pasien rutin berobat ke poli jiwa dr. Siska. SpKJ, pasien merasa ada banyak
yang menyuruh untuk mengakhiri hidupnya.

b. Evaluasi ketepatan penggunaan obat


Hasil evaluasi ketepatan penggunaan obat berdasarkan pemilihan obat
sesuai indikasi dan ketepatan dosis yang digunakan. Beikut adalah hasil
evaluasi ketepatan penggunaan obat.
c. Evaluasi ketepatan pemilihan obat
Tabel 7. Ketepatan Pemilihan Obat
No Obat Indikasi (Literatur) Indikasi (Kasus) Keterangan
1. Risperidon Antipsikotopik untuk Pasien menodong Tepat
mengobati gangguan mental / pisau ke warga
mood tertentu (seperti sekitar
skizofrenia, gangguan
bipolar, lekas marah yang
terkait dengan gangguan
autistik).

2. Hexymer Trihexyphenidyl digunakan Pasien gaduh Tepat


untuk mengobati gejala gelisah sejak ± 2
penyakit Parkinson atau jam sebelum
gerakan tak sadar karena efek masuk rumah sakit
samping obat psikiatri
tertentu (antipsikotik seperti
klorpromazin / haloperidol).
26

3. Clorilex Clozapin digunakan untuk Pasien merasa ada Tepat


mengurangi halusinasi dan banyak yang
membantu menyuruh untuk
mengurangi risiko perilaku mengakhiri
bunuh diri berulang pada hidupnya
pasien dengan skizofrenia
atau gangguan skizoafektif
pada pasien yang dinilai
berisiko kronis untuk
mengalami kembali perilaku
bunuh diri

d. Evaluasi ketepatan dosis obat


Hasil evaluasi ketepatan dosis obat dapat dilihat pada tabel.
Tabel 8. Ketepatan Dosis Obat
No Obat Dosis (Literatur) Dosis (Kasus) Keterangan

1. Risperidon 2 mg / hari awalnya; dapat 2 x 2 mg Tepat


meningkat dengan
peningkatan 1-2 mg / hair
dengan interval ≥ 24 jam
Dosis target yang
dianjurkan: 2-8 mg / hari
sekali sehari atau dibagi
setiap 12 jam
2. Hexymer 1 mg / hari pada awalnya; 2 x 2 mg Tepat
Tingkatkan seperlunya
sampai kisaran
pemeliharaan 5-15 mg /
hari dibagi setiap 6-8 jam
3. Clorilex 12,5 mg sekali sehari atau 1 x 50 mg Tepat
setiap 12 jam pada
awalnya; peningkatan 25-
50 mg / hari, jika
ditoleransi dengan baik,
untuk mencapai dosis target
300-450 mg / hari
27

(diberikan dalam dosis


terbagi) pada akhir 2
minggu.
Selanjutnya, dapat
meningkatkan dosis sekali
atau dua kali seminggu
dengan peningkatan hingga
100 mg; tidak melebihi 900
mg / hari

e. Drug Related Problem Pada Terapi Pasien


Tabel 9. Drug Related Problem Terapi Pasien
No Klasifikasi Drug Related Keterangan Planing
Problem (DRP)
Ada Tidak
1. Indikasi yang tidak di √
tangani
2. Pilihan obat kurang tepat √
3. Penggunaan obat tanpa √
indikasi
4. Dosis sub-terapi √
5. Overdosis √
6. Reaksi obat yang tidak di √
tangani
7. Interaksi obat √ Clozapine + risperidone Beri jeda pemberian
clozapine dan risperidone selama 1-2 jam dan
keduanya meningkatkan perlu pemantauan yang
sedasi dan efek cermat atau mengganti
antidopaminergik, termasuk kombinasi
gejala ekstrapiramidal dan antipsikotopik
sindrom ganas neuroleptik.
Clozapine + trihexyphenidyl Beri jeda pemberian
clozapine meningkatkan efek selama 1-2 jam dan
trihexyphenidyl dengan perlu pemantauan yang
sinergisme farmakodinamik. cermat
Berpotensi menimbulkan
28

efek antikolinergik aditif.


Risperidone + Beri jeda pemberian
trihexyphenidyl selama 1-2 jam dan
risperidone meningkatkan perlu pemantauan yang
efek trihexyphenidyl dengan cermat
sinergisme farmakodinamik.
Berpotensi menimbulkan
efek antikolinergik aditif
8. Gagal menerima obat √
29

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada tanggal 28 Februari 2021 jam 20:19 pasien dengan nama Ny. N usia
41 tahun datange ke UGD dengan keadaan gaduh dan gelisah sejak ± 2 jam
sebelum masuk rumah sakit, pasien sempat menodong pisau ke warga sekitar,
tetangga mengatakan obat pasien habis, pasien rutin berobat ke poli jiwa dr. Siska.
SpKJ, pasien merasa ada banyak yang menyuruh untuk mengakhiri hidupnya dan
pasien merasa agak sedikit mual. Pasien memiliki riwayat penyakit terdahulu
psikiatri dan riwayat penyakit keluarga psikiatri.
Hasil pemeriksaan tanda vital pada tanggal 28 februari tekanan darah
sedikit diatas batas normal yaitu 135/87 mmHg, denyut nadi normal 73x/menit,
nafas normal dengan nilai 18x/menit, suhu tubuh normal 36,70c. Pada hasil
pemerikasaan hematologi pada tanggal 28 Februari 2021 menunjukan nilai hasil
yang normal pada semua jenis pemeriksaan, hanya nilai monosit yang diatas batas
normal yaitu 14% dengan nilai rujukan 2-8%. Tingginya kadar monosit atau
jumlah sel darah putih secara keseluruhan dapat menyebabkan darah menjadi
kental. Kondisi ini bisa menimbulkan beragam gejala berikut: demam, nyeri pada
area infeksi, bila monositosis disebabkan oleh infeksi. Dari hasil anamnesa
dengan metode alloanamnesa dan autoanamnesa pasien didiagnosis skizofrenia.
Pada kasus ini terdapat 1 kategori tipe dari DRP (drugs related problem)
yaitu interaksi obat. Penggunaan kombinasi antipsikotik akan menghasilkan
target reseptor yang bervariasi dan lebih besar sehingga dapat
meningkatkan khasiat antipsikotik dengan meningkatnya antagonis reseptor D2
dopaminergik secara aditif dan diharapkan dapat mengurangi efek samping
yang terkait dengan dosis masing - masing obat (Roh et al 2010), namun
pada kasus ini ada interaksi antara clozapine + risperidone; clozapine +
trihexyphenidyl; risperidone + trihexyphenidyl.
Clozapine dan risperidone keduanya meningkatkan sedasi dan efek
antidopaminergik, termasuk gejala ekstrapiramidal dan sindrom ganas
neuroleptik. Kombinasi antipsikotik yang paling banyak memicu resiko efek

29
30

samping adalah kombinasi antara risperidone – clozapine. risperidone memiliki


risiko EPS yang sedang (moderate). Frekuensi EPS dan kebutuhan antikolinergik
berkurang hingga 40% dibandingkan dengan antipsikotik generasi pertama. Ada
delapan laporan kasus rabbit syndrome yang diinduksi risperidone. Sedangkan
risiko pasien yang menggunakan clozapine menunjukkan adanya gangguan
gerakan dan hipersalivasi (mempengaruhi ≥50% pasien) (Gardner D. M & Teehan
M. D, 2011).
Kombinasi antipsikotik yang paling banyak memicu resiko efek samping
antara risperidone - clozapine sebanyak 15 pasien (15,2%); clozapine -
haloperidol sebanyak 4 pasien (4%); dan risperidone - haloperidol sebanyak 3
pasien (3%). Keseluruhan efek samping yang terjadi pada setiap penggunaan obat
antipsikotik kombinasi ini, yang paling sering muncul adalah sindrom
ekstrapiramidal (tremor, hipersalivasi, dan rigiditas) (Indriani A et al, 2019).
Dari data pengamatan dan terapi pemberian clozapine dan risperidone
diberikan pada waktu bersamaan yaitu jam 7 malam. Interaksi tersebut dapat
dihindari dengan memberikan waktu jeda minum obat 1-2 jam dengan
pemantauan yang cermat. Risperidone dianjurkan untuk psikosis skizofrenia
kronis untuk menangani gejala negatif (Tan & Rahardja 2015), sedangkan
clozapine bekerja pada beberapa reseptor neurotransmitter seperti reseptor
5 - HT1A dan 5 - HT2, D1 dan D2, histamin 1 dan adrenergik (a1 dan a2)
sehingga memiliki efek terapeutik dalam mengatasi gejala kognitif dan
negatif seperti kemampuan dalam bersosialisasi pada pasien skizofenia (Ren et
al 2013).
Interaksi selanjutnya yaitu interaksi obat antara clozapine +
trihexyphenidyl dan risperidone + trihexyphenidyl. Clozapine dan risperidon
meningkatkan efek trihexyphenidyl dengan sinergisme farmakodinamik.
Berpotensi menimbulkan efek antikolinergik aditif. Triheksifenidil sebagai
terapi efek samping esktrapiramidal yang diinduksi oleh antipsikotik
dan obat - obatan sistem saraf sentral, seperti akathisia, distonia, dan
pseudoparkinsonisme (tremor, rigiditas, akinesia) dan sindroma
ekstrapiramidal (EPS) (Swayami 2014). Penggunaan triheksifenidil merupakan
31

terapi adjuvan yang paling sering diresepkan bersamaan dengan penggunaan


antipsikotik sebanyak sebanyak 88 pasien (88,9%) (Wells B. G et al, 2009). Dari
data pengamatan dan terapi pemberian clozapine, risperidon dan trihexyphenidyl
diberikan pada waktu bersamaan yaitu jam 6 pagi untuk obat risperidon dan
trihexyphenidyl dan jam 7 malam untuk clozapine, risperidon dan
trihexyphenidyl. Interaksi tersebut dapat dihindari dengan memberikan waktu jeda
minum obat 1-2 jam dengan pemantauan yang cermat.
Efek samping yang terjadi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain perbedaan individu dalam mentoleransi efek samping dari setiap obat,
semakin banyak kombinasi yang digunakan maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya resiko efek samping, efek samping yang terjadi
berdasarkan kekuatan afinitas pada setiap reseptor yang diduduki dari masing-
masing obat yang dikombinasikan. Golongan obat lain juga ditambahkan
bersamaan dengan antipsikotik pada terapi pengobatan skizofrenia, sehingga ada
kemungkinan efek samping yang terjadi disebabkan oleh penggunaan obat lain
dan lebih meningkatkan potensi terjadinya efek samping (Yulianty M. D. et al,
2017).
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasien dengan nama Ny. N usia 41 tahun terdiagnosis skizofrenia dengan
riwayat penyakit terdahulu psikiatri dan riwayat penyakit keluarga psikiatri.
Pasien datange ke UGD dengan keadaan gaduh dan gelisah sejak ± 2 jam
sebelum masuk rumah sakit, pasien rutin berobat ke poli jiwa dr. Siska. SpKJ.
Pasien kemudian dirawat di ruang perawatan pulau bengkalis dari tanggal 28
Februari 2021 – 6 Maret 2021.
Pada kasus ini terdapat 1 kategori tipe dari DRP (drugs related problem)
yaitu interaksi obat, yaitu interaksi antara clozapine + risperidone; clozapine +
trihexyphenidyl; risperidone + trihexyphenidyl. Clozapine dan risperidone
keduanya meningkatkan sedasi dan efek antidopaminergik, termasuk gejala
ekstrapiramidal dan sindrom ganas neuroleptik Interaksi selanjutnya yaitu
interaksi obat antara clozapine + trihexyphenidyl dan risperidone +
trihexyphenidyl. Clozapine dan risperidon meningkatkan efek trihexyphenidyl
dengan sinergisme farmakodinamik. Berpotensi menimbulkan efek
antikolinergik aditif.

B. Saran
Untuk menghindari terjadinya interaksi antar obat sebaiknya obat
diberikan dengan jeda waktu pemberian 1-2 jam dengan pemantauan yang
cermat atau dengan pemilihan kombinasi obat antipsikotopik dengan nilai
presentasi resiko efek sampingnya lebih kecil, seperti clozapin + haloperidol
atau risperidon + haloperidol.

32
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013.Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS). Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1993. PPDGJ III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Ditjen Binfar dan Alkes. 2006. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA). Jakarta : Depkes RI
Fleischhacker, W. W. & Uchida, H. 2014. Critical Review Of Antipsychotic
Polypharmacy In The Treatment Of Schizophrenia. Int. J.
Neuropsychopharmacol. 17, 1083– 1093.
Gallego J. A., Nielsen J., De Hert M., Kane J. M. & Correll C. U. 2012. Safety
And Tolerability Of Antipsychotic Polypharmacy. Expert Opin. Drug Saf.
11, 527–542
Gardner, D. M. . & Teehan, M. D. 2011. Antipsychotics and their Side Effects.
United States of America : Cambridge University Press.
Gardner, D. M. . & Teehan, M. D. 2011. Antipsychotics and their Side Effects.
United States of America : Cambridge University Press
Indriani A, Ardiningrum W, Febriati Y. 2019. Studi Penggunaan Obat Kombinasi
Antipsikotopik pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Yogyakarta.
Majalah Farmasetika. 4 (1), 201-2011.
Lally, J. & Maccabe, J. H. 2015. Antipsychotic Medication In Schizophrenia: A
Review. 169–179.
Morrison, A. P. et al. 2014. Cognitive Therapy For People With Schizophrenia
Spectrum Disorders Not Taking Antipsychotic Drugs: A Single-Blind
Randomised Controlled Trial. Lancet 383, 1395–1403.
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa. 2012. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri. Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Penanggulangan
Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa. Jakarta : Menteri
Kesehatan RI

33
34

Puri, B. K., P. J. Laking, I. H. Treasaden. 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi 2.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ren YH, Wang, Xiao L. 2013. Improving Myelin Oligodendrocyte Related
Dysfunction: A New Mechanism of Antipsychotics in The Treatment of
Schizophrenia. International Journal of Neuropsychopharmacology. 16 :
691–700.
Swayami. 2014. Aspek Biologi Triheksifenidil di Bidang Psikiatri. Program
Pendidikan Dokter Spesialis-1 Psikiatri. Udayana. Fakultas Kedokteran
Universitas
Tan HT dan Rahardja K. 2015. Obat–Obat Penting Edisi 7. Jakarta : Elex Media
Komputindo.
Tyaswuri, Anggita. 2016. Pola Penggunaan Triheksifenidil Pada Pasien
Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta
Tahun 2014, Skripsi. Yogyakarta. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada.
Wells, B. G., DiPiro, J. T., Matzke, G. R. & Posey, L. M. 2009. Pharmacotherapy
Handbook (7th Edition). McGraw-Hill Professional Publishing.
Wells, B. G., DiPiro, J. T., Matzke, G. R. & Posey, L. M. 2009. Pharmacotherapy
Handbook (7th Edition). McGraw-Hill Professional.
WHO, 2016. International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems 10th Revision (ICD-10).
Yulianty, M. D., Cahaya, N. & Srikartika, V. M. 2017. Studi Penggunaan
Antipsikotik dan Efek Samping pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit
Jiwa Sambang Lihum Kalimantan Selatan. 3, 153–164

Anda mungkin juga menyukai