Disusun oleh:
Disusun Oleh :
Pembimbing PKPA
RS TNI-AL Dr.Mintohardjo
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah serta nikmat-Nya yang tak terhingga, shalawat
beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Salallahu
Alaihi Wasallam beserta keluarga dan sahabatnya, serta umatnya hingga akhir
zaman. Alhamdulillah, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tugas Khusus
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bidang Rumah Sakit TNI AL Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Arief Fatkhur. R,
S.Si. M. Farklin., Apt sebagai pembimbing di RSAL Dr. Mintohardjo dan Ibu
apt. Sylvi Hartuti, M.Farm sebagai pembimbing di Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta yang terlah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan
dukungan moril serta saran selama pelaksanaan PKPA di Rumah Sakit TNI AL
Dr. Mintohardjo periode 22 Februari – 31 Maret 2021.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Nina Jusnita, S.TP., M. Si, selaku Dekan Farmasi Universitas 17 Agustus
1945.
2. Apt. Diah Ramadhani, M.Si selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Universitas 17 Agustus 1945.
3. Kolonel Laut Bapak Barkah Siswoyo, S.Si., Apt., selaku kepala Departemen
Farmasi Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo
yang telah membantu PKPA kami selama di Rumah Sakit.
5. Seluruh pegawai Apotek Rawat Jalan, Rawat Inap dan Yanmasum Rumah
Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo yang telah membantu kami selama PKPA di
Rumah Sakit.
6. Seluruh staf pengajar Program Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus
1945.
ii
7. Orang tua dan keluarga besar yang senantiasa memberikan bantuan,
dukungan dan doa selama pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini.
8. Teman-teman mahasiswa Program Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus
1945 Jakarta angkatan 43 kelompok PKPA RS AL Dr. Mintohardjo, atas
segala bantuan yang telah diberikan.
Penyusun sangat menyadari bahwa tugas khusus ini belum sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penyusun
berharap ilmu dan pengalaman yang didapatkan selama Praktek Kerja Profesi
Apoteker ini dapat berguna pada saat menjalankan profesi sebagai Apoteker
dalam lingkungan masyarakat dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..............................................................................................1
B. Tujuan ...........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
A. Pemantauan Terapi Obat (PTO) ....................................................................3
B. Skizofrenia ....................................................................................................5
BAB III TINJAUAN KASUS ............................................................................. 18
A. Identitas Pasien............................................................................................18
B. Data Klinis Pasien .......................................................................................18
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 29
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 32
A. Kesimpulan .................................................................................................32
B. Saran ............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai oleh dua atau
lebih tanda, seperti waham, halusinasi, pembicaraan kacau, emosi negatif
seperti kehilangan ekspresi emosi. Gejala karakteristik dari skizofrenia
menjangkau area disfungsi emosional, kognitif, dan perilaku, akan tetapi
tidak ada gejala tunggal yang menjadi gejala utama dari skizofrenia1.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013,
prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia, seperti skizofrenia dan
gangguan psikosis lainnya mencapai 1,7 per 1.000 penduduk Persebaran
prevalensi skizofrenia tertinggi salah satunya berada di Daerah Istimewa
Yogyakarta sebanyak 2,7 per 1000 penduduk (RISKESDAS, 2013).
Tingginya angka prevalensi skizofrenia, maka dibutuhkan manajemen
terapi yang sesuai untuk pasien skizofrenia. Terapi farmakologi menggunakan
antipsikotik yang terdiri dari 2 jenis yaitu antipsikotik golongan pertama
(antipsikotik tipikal) dan antipsikotik golongan kedua (antipsikotik atipikal)
(Morrison A. P. et al, 2014). Pada pengobatan skizofrenia terdapat dua pola
pengobatan yaitu pengobatan tunggal dan kombinasi. Pedoman menyarankan
kombinasi antipsikotik digunakan dalam keadaan tertentu saja, namun dalam
praktek klinis menggabungkan dua atau lebih antipsikotik adalah hal yang
sangat umum yaitu berkisar 10-30% (Gallego J. A et al, 2012). Studi lain
mengatakan bahwa kombinasi antipsikotik direkomendasikan kepada pasien
yang gagal dengan pemberian antipsikotik monoterapi, termasuk clozapine
(Fleischhacker W. W. & Uchida H, 2014). Penggunaan kombinasi
antipsikotik juga tidak disarankan karena dapat meningkatkan risiko beban
efek samping, meningkatan interaksi obat, serta meningkatkan kesulitan bagi
pasien agar tetap patuh pada rejimen pengobatan (Lally J. & Maccabe J. H,
2015). Efek samping yang sering terjadi pada pengobatan skizofrenia yaitu
1
2
B. Tujuan
Untuk melakukan pemantauan terapi obat yang digunakan pasien di ruang
Pulau Bengkalis, di Rumah Sakit TNI-AL Dr. Mintohardjo.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Skizofrenia
1. Definisi
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling mudah dikenali
sehingga diharapkan dapat dilakukan tatalaksana sedini mungkin untuk
menghindari risiko tersebut. Skizofrenia membutuhkan tata laksana jangka
panjang karena merupakan gangguan yang bersifat menahun (kronis) dan
bisa kambuh. Semakin sering kambuh, makin berat penurunan fungsi yang
terjadi pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Skizofrenia termasuk dalam
gangguan psikotik (Permenkes RI, 2017).
2. Penggolongan
Penggolongan skizofrenia berdasarkan International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems Revisi kesepuluh
(ICD-10) (WHO, 2016):
a. Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid didominasi oleh delusi yang relatif stabil,
sering paranoid, biasanya disertai dengan halusinasi, terutama dari
variasi pendengaran, dan gangguan persepsi. Gangguan pengaruh,
kemauan dan bicara, dan gejala katatonik, tidak ada atau relatif tidak
mencolok.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Suatu bentuk skizofrenia berupa perubahan afektif menonjol, delusi
dan halusinasi cepat dan terpisah-pisah, perilaku yang tidak
bertanggung jawab dan tidak dapat diprediksi, dan perilaku umum.
Moodnya dangkal dan tidak pantas, pikiran tidak teratur, dan ucapan
tidak jelas. Ada kecenderungan isolasi sosial. Biasanya prognosisnya
buruk karena perkembangan cepat dari gejala "negatif", terutama
perataan efek dan hilangnya kemauan. Hebefrenia biasanya didiagnosis
hanya pada remaja atau dewasa muda.
c. Skizofrenia Katatonik
Skizofrenia katatonik didominasi oleh gangguan psikomotorik
terkemuka yang dapat bergantian antara ekstrem seperti hiperkinesis
dan pingsan, atau kepatuhan otomatis dan negativisme. Sikap dan postur
yang terbatas dapat dipertahankan untuk waktu yang lama. Episode
kegembiraan yang hebat mungkin merupakan fitur yang mencolok dari
kondisi tersebut. Fenomena katatonik dapat dikombinasikan dengan
keadaan seperti mimpi (oneiroid) dengan halusinasi pemandangan
indah.
7
d. Skizofrenia Undiferentiated
Kondisi psikotik memenuhi kriteria diagnostik umum untuk
skizofrenia tetapi tidak sesuai dengan salah satu subtype sebelumnya,
atau menunjukkan fitur lebih dari satu dari mereka tanpa dominasi yang
jelas dari serangkaian karakteristik diagnostik tertentu.
e. Depresi pasca-skizofrenia
Episode depresi, yang mungkin berkepanjangan, timbul setelah
penyakit skizofrenia. Beberapa gejala skizofrenia, baik "positif" atau
"negatif", harus tetap ada tetapi mereka tidak lagi mendominasi
gambaran klinis. Keadaan depresi ini dikaitkan dengan peningkatan
risiko bunuh diri. Jika pasien tidak lagi memiliki gejala skizofrenik,
episode depresi harus didiagnosis sesuai episode depres. Jika gejala
skizofrenik masih kemerahan dan menonjol, diagnosis harus tetap
berupa subtipe skizofrenik yang sesuai seperti tipe sebelumnya.
f. Skizofrenia Residual
Tahap kronis dalam pengembangan penyakit skizofrenia telah ada
perkembangan yang jelas dari tahap awal ke tahap selanjutnya yang
ditandai dengan gejala "negatif" jangka panjang, meskipun tidak selalu
ireversibel, mis. psikomotor melambat; kurang aktif; menumpulkan
efek; kepasifan dan kurangnya inisiatif; kemiskinan kuantitas atau isi
pembicaraan; komunikasi nonverbal yang buruk dengan ekspresi wajah,
kontak mata, modulasi suara dan postur; perawatan diri dan kinerja
sosial yang buruk.
g. Skizofrenia Simpel
Gangguan berupa terdapat perkembangan yang aneh tapi progresif
dari keanehan perilaku, ketidakmampuan untuk memenuhi tuntutan
masyarakat, dan penurunan kinerja total. Ciri-ciri negatif khas dari
skizofrenia residual (mis. Menumpulkan efek dan kehilangan kemauan)
berkembang tanpa didahului oleh gejala psikotik yang jelas.
8
3. Manifestasi Klinik
a) Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat,
klang asosiasi, ekolalia, alogia, neologisme.
b) Gangguan Isi Pikir: waham, adalah suatu kepercayaan yang salah yang
menetap, tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis
waham antara lain:
1) Waham kejar
2) Waham kebesaran
3) Waham rujukan
4) Waham penyiaran pikiran
5) Waham penyisipan pikiran
6) Waham aneh
c) Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi,
dan derealisasi.
d) Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan oleh
penderita skizofrenia (tetapi tidak patognomonik):
1) Afek tumpul atau datar
2) Afek tak serasi
3) Afek labil
e) Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat
seperti gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat
ketolol-tololan, dan agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.
f) Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun atau
hilang pada orang dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan kehendak
dan tidak ada aktivitas.
g) Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi, menurunnya
kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya,
memori kerja, spasial dan verbal) serta fungsi eksekutif (PNPK
Jiwa/Psikiatri, 2012).
9
4. Patogenesis Skizofrenia
Beberapa teori dikemukakan tentang patogenesis terjadinya skizofrenia.
Teori tersebut dikenal dengan hipotesis dopamin, hipotesis
neurodevelopmental, hipotesis glutamatergik, hipotesis serotonin, dan
genetik (Tyaswuri, A, 2016).
a. Hipotesis dopamine
Hipotesis dopamin merupakan hipotesis yang paling awal dan
paling banyak diteliti. Dopamin merupakan neurotransmitter di otak.
Saat ini telah ditemukan lima macam reseptor dopamine, yaitu reseptor
D1, D2, D3, D4, da D5. Kelima reseptor dopamin ini dikelompokkan
menjadi dua famili, yakni famili D1 yang terdiri dari reseptor D1 dan
D5 serta famili D2 yang meliputi reseptor D2, D3, dan D4. Famili D1
pada transduksi sinyalnya berkaitan dengan protein Gs sedangkan famili
D2 bekaitan dengan protein Gi. Reseptor dopamin yang lebih berperan
pada penyakit skizofrenia adalah reseptor D2.
Gejala skizofrenia diduga muncul karena neurotransmitter
dopaminergik yang berlebihan di mesolimbik otak. Pada hipotesis ini
diduga bahwa gejala skizofrenia muncul karena neurotransmiter
dopaminergik yang berlebihan di mesolimbic otak. Up-regulation dari
reseptor dopamin D2 di caudatus berkaitan dengan risiko terjadinya
skizofrenia. Tingginya densitas reseptor dopamine D2 di caudatus
dihubungkan dengan kemunduran kognitif pada skizofrenia. Hal ini
didukung dengan penelitian bahwa ketika seseorang dengan skizofrenia
diterapi dengan obat antipsikotik, terdapat penurunan neurotransmisi
dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan fungsionalitas yang
lebih baik pada level perseptual dan gejala positif yang lebih sedikit.
b. Hipotesis neurodevelopmental
Pada hipotesis ini dinyatakan bahwa terdapat kerusakan pada otak
di masa-masa dalam kandungan yang mempengaruhi perkembangan
otak dan menyebabkan abnormalitas pada saat dewasa. Infeksi ibu
hamil selama kehamilannya terutama pada trimester dua atau
10
5. Etiologi Skizofrenia
Faktor predisposisi meliputi factor genetika, prenatal, perinatal, dan
kepribadian. Faktor prespitasisi meliputi stres psikososial. Faktor penyebab
berkelanjutan (perpetuasi) meliputi factor social dan keluarga pasien. Faktor
perantara dapat meliputi faktor-faktor neurotransmitter dan neurodegenerasi
serta psikoneuroimunologis dan psikoneuroendokrinologis (Puri, Paul, Ian,
2013:153).
6. Epidemiologi
Insidensi skizofrenia adalah antara 15 sampai 30 kasus baru per 100.000
populasi per tahun. Prevalensi titik kurang dari 1%. Terdapat risiko seumur
hidup terjadinya skizofrenia sekitar 1% pada populasi umum. Usia awitan
biasanya antara 15 dan 45 tahun, dengan usia awitan rerata lebih dini pada
laki-laki daripada perempuan. Rasio jenis kelamin sama, yaitu, skizofrenia
terjadi sama seringnya pada laki-laki dan perempuan. Insidensi skizofrenia
lebih tinggi pada mereka yang tidak menikah. Skizofrenia juga diketahui
paling sering terjadi pada golongan sosial IV dan V. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh social drift (penyimpangan sosial): orang tua pasien dengan
skizofrenia mempunyai distribusi kelas social yang lebih normal tetapi paien
sendiri dapat terjun ke golongan sosial lebih rendah (misalnya, yang
berhubungan dengan pekerjaan mereka) akibat penyakitnya (Puri B K et al,
2013).
7. Pedoman Diagnosis
Pedoman diagnosis berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III adalah sebagai
berikut:
a) Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran atau penyisipan
(thought withdrawal atau thought insertion), dan penyiaran pikiran
(thought broadcasting).
b) Waham dikendalikan (delusion of being control), waham dipengaruhi
(delusion of being influenced), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan
12
8. Penatalaksanaan Skizofrenia
a) Fase Akut
1) Farmakoterapi
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau
orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi
beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi,
agresi dan gaduh gelisah.
Langkah Pertama
Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan.
Langkah Kedua
Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau isolasi
hanya dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan
orang lain serta usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan
dilakukan hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan
digunakan untuk memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih
baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih
cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan.
Obat injeksi
• Olanzapine, dosis 10mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap
2 jam, dosis maksimum 30mg/hari.
• Aripriprazol, dosis 9,75mg/injeksi(dosis maksimal
29,25mg/hari), intramuskulus.
• Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap
setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari.
• Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis
maksimum 30mg/hari.
14
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan,
stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan
ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui
komunikasi yang baik, memberikan dukungan atau harapan,
menyediakan lingkungan yang nyaman, toleran perlu dilakukan.
15
3) Terapi lainnya
ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada:
• Skizofrenia katatonik
• Skizofrenia refrakter
b) Fase Stabilisasi
1) Farmakoterapi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala
atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi
kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan
(recovery).
Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan
selama lebih kurang 8-10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan.
Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika jangka panjang
(long acting injectable), setiap 2-4 minggu.
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang
dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak
pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala,
merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan.
Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.
c) Fase Rumatan
1) Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis
minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi
akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah
berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan
sampai lima tahun bahkan seumur hidup.
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada
kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya
remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional,
16
cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga
diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka
mampu mencegah kekambuhan berikutnya.
9. Penatalaksanaan Efek Samping
Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia
akut atau parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis
antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-obat
antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau
difenhidramin injeksi IM atau IV.
Tabel 2. Daftar Obat yang dipakai mengatasi Efek Samping Anti Psikotik
Nama Generik Dosis Waktu paruh Target efek samping
(mg/hari) eliminasi ekstrapiramidal
(jam)
Triheksilfenidil 1-15 4 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia, parkinsonisme
Propranolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
Difenhidramin 25-50 4-8 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Sulfas Atropin 0.5-0.75 12-24 Distonia akut
A. Identitas Pasien
No. RM : 2368XX
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Purworjo, 21 Februari 1979
Alamat : Punggangan RT 001/001 Kel. Jangkrikan, Kec.
Kepil, Kab. Wonosobo, Jawa Tengah
No. Telepon : 08129082xxxx
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status Marital : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan :-
Tgl. Masuk RS : 28 Februari 2021
Tgl. Keluar RS : 06 Maret 2021
Penerimaan : Unit Gawat Darurat (UGD)
Ruang Rawat : Pulang Bengkalis
DPJP : dr. Fransiska Drie N. SpKJ
B. Data Klinis Pasien
a. Anamnesa
Data Subjective
Anamnesa : Autoanamnesa, Alloanamnesa
Keluahan utama : Pasien gelisah, tidak bisa tidur,
bicara kacau
Riwayat Penyakit Sekarang : Pusing, gelisah, mondar-mandir,
bicara kacau dan tidak bisa tidur
Riwayat Penyakit Dahulu : Psikiatri
18
19
Plan - Observasi prilaku pasien - Risperidon 2 x 2 mg; Clozapin 1 x 25 mg; Hexymer 2 x 2 mg; - Risperidon 2 x 2 mg; Clozapin 1 x 25 mg; Hexymer 2 x 2
- Ulangi SP 1 halusinasi Optimalkan SP 1 halusinasi; Optimalkan SP 2 halusinasi mg; Optimalkan SP 1 halusinasi; Observasi prilaku pasien
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada tanggal 28 Februari 2021 jam 20:19 pasien dengan nama Ny. N usia
41 tahun datange ke UGD dengan keadaan gaduh dan gelisah sejak ± 2 jam
sebelum masuk rumah sakit, pasien sempat menodong pisau ke warga sekitar,
tetangga mengatakan obat pasien habis, pasien rutin berobat ke poli jiwa dr. Siska.
SpKJ, pasien merasa ada banyak yang menyuruh untuk mengakhiri hidupnya dan
pasien merasa agak sedikit mual. Pasien memiliki riwayat penyakit terdahulu
psikiatri dan riwayat penyakit keluarga psikiatri.
Hasil pemeriksaan tanda vital pada tanggal 28 februari tekanan darah
sedikit diatas batas normal yaitu 135/87 mmHg, denyut nadi normal 73x/menit,
nafas normal dengan nilai 18x/menit, suhu tubuh normal 36,70c. Pada hasil
pemerikasaan hematologi pada tanggal 28 Februari 2021 menunjukan nilai hasil
yang normal pada semua jenis pemeriksaan, hanya nilai monosit yang diatas batas
normal yaitu 14% dengan nilai rujukan 2-8%. Tingginya kadar monosit atau
jumlah sel darah putih secara keseluruhan dapat menyebabkan darah menjadi
kental. Kondisi ini bisa menimbulkan beragam gejala berikut: demam, nyeri pada
area infeksi, bila monositosis disebabkan oleh infeksi. Dari hasil anamnesa
dengan metode alloanamnesa dan autoanamnesa pasien didiagnosis skizofrenia.
Pada kasus ini terdapat 1 kategori tipe dari DRP (drugs related problem)
yaitu interaksi obat. Penggunaan kombinasi antipsikotik akan menghasilkan
target reseptor yang bervariasi dan lebih besar sehingga dapat
meningkatkan khasiat antipsikotik dengan meningkatnya antagonis reseptor D2
dopaminergik secara aditif dan diharapkan dapat mengurangi efek samping
yang terkait dengan dosis masing - masing obat (Roh et al 2010), namun
pada kasus ini ada interaksi antara clozapine + risperidone; clozapine +
trihexyphenidyl; risperidone + trihexyphenidyl.
Clozapine dan risperidone keduanya meningkatkan sedasi dan efek
antidopaminergik, termasuk gejala ekstrapiramidal dan sindrom ganas
neuroleptik. Kombinasi antipsikotik yang paling banyak memicu resiko efek
29
30
A. Kesimpulan
Pasien dengan nama Ny. N usia 41 tahun terdiagnosis skizofrenia dengan
riwayat penyakit terdahulu psikiatri dan riwayat penyakit keluarga psikiatri.
Pasien datange ke UGD dengan keadaan gaduh dan gelisah sejak ± 2 jam
sebelum masuk rumah sakit, pasien rutin berobat ke poli jiwa dr. Siska. SpKJ.
Pasien kemudian dirawat di ruang perawatan pulau bengkalis dari tanggal 28
Februari 2021 – 6 Maret 2021.
Pada kasus ini terdapat 1 kategori tipe dari DRP (drugs related problem)
yaitu interaksi obat, yaitu interaksi antara clozapine + risperidone; clozapine +
trihexyphenidyl; risperidone + trihexyphenidyl. Clozapine dan risperidone
keduanya meningkatkan sedasi dan efek antidopaminergik, termasuk gejala
ekstrapiramidal dan sindrom ganas neuroleptik Interaksi selanjutnya yaitu
interaksi obat antara clozapine + trihexyphenidyl dan risperidone +
trihexyphenidyl. Clozapine dan risperidon meningkatkan efek trihexyphenidyl
dengan sinergisme farmakodinamik. Berpotensi menimbulkan efek
antikolinergik aditif.
B. Saran
Untuk menghindari terjadinya interaksi antar obat sebaiknya obat
diberikan dengan jeda waktu pemberian 1-2 jam dengan pemantauan yang
cermat atau dengan pemilihan kombinasi obat antipsikotopik dengan nilai
presentasi resiko efek sampingnya lebih kecil, seperti clozapin + haloperidol
atau risperidon + haloperidol.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
34