Anda di halaman 1dari 112

• SISTEM PENULISAN NAMA OBAT DENGAN CARA TALLMAN LETTERING/TALLMAN LETTERS

DAPAT DITERAPKAN PADA KEMASAN, ETIKET OBAT, KEMASAN/WADAH OBAT DI IFRS, REKAMAN
DATA OBAT PASIEN, HINGGA MESIN PENDISPENSING OTOMATIS.
• PENULISAN SECARA TALLMAN LETTERING/TALLMAN LETTERS DILAKUKAN DENGAN
MENGGUNAKAN HURUF BESAR YANG BERBEDA SEBAGAI PENEKANAN.
• METODE TALLMAN DIGUNAKAN UNTUK MEMBEDAKAN HURUF YANG TAMPAKNYA SAMA
DENGAN NAMA OBAT LAIN YANG MIRIP. DIHARAPKAN DENGAN MEMBERI HURUF KAPITAL,
PETUGAS AKAN LEBIH BERHATI-HATI DENGAN OBAT YANG TERGOLONG LASA.
TULISAN MIRIP
1. Asam MEFENamat Asam TRANEKSamat
2. CPZ (CHLORPROMAZine) CBZ (CARBAMEZEPine)
3. THP (triHEXIPHENIDIL) TFP (triFLUOPERAZIN)
4. ePHEDrine EPINEPHrine
5. fentaNYL SUfentanil
6. DOCEtaxel PACLItaxel
7. carBAMazepine OXcarbazepine
8. CIMEtidine FAMOtidine
9. LANSOprazole PANTOprazole
10. METHYLdopa LEVOdopa
PENGUCAPAN MIRIP
11. DoXORUBICIN DoCETERE
12. ZOMeta VOMeta
13. InERSON InTERSUN
KEMASAN MIRIP
14. Cendo Lyteers Cendo Catarlent
15. Asam Mefenamat (HJ Farma) Metformin (HJ Farma)
16. Dexametasone ampul (Indofarma) Ranitidine ampul (Hexpharm)
17. Cendo Carpine Cendo Timol
DOSIS BERBEDA
18. ACTOS 15 mg (Pioglitazone) ACTOS 30 mg (Pioglitazone)
19. ALBUMAN 20 % 50 mL ALBUMAN 20 % 50 mL
20. PIROFEL 10 mg (Piroxicam) PIROFEL 20 mg (Piroxicam)
Pendahuluan

PMK 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Rumah Sakit:

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program


evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
Tujuan EPO

• mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola


penggunaan Obat;
• membandingkan pola penggunaan Obat pada periode
waktu tertentu;
• memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan
Obat; dan
• menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
Evaluasi Penggunaan Antibiotik di RS

PMK no. 8 tahun 2015 tentang Program Pengendalian


Resistensi Antibiotik:

Evaluasi penggunaan antibiotik merupakan salah satu


indikator mutu program pengendalian resistensi
antimikroba di rumah sakit, bertujuan memberikan
informasi pola penggunaan antibiotik di rumah sakit baik
kuantitas maupun kualitas.
Peranan Instalasi Farmasi dalam
Penggunaan AB di RS
a. Mengelola serta menjamin mutu dan ketersediaan
antibiotik.
b. Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat
dalam tata laksana pasien infeksi, melalui: pengkajian
peresepan, pengendalian dan monitoring penggunaan
antibiotik, visite ke bangsal pasien bersama tim.
c. Memberikan informasi dan edukasi tentang
penggunaan antibiotik yang tepat dan benar.
d. Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama
tim.
Mengapa Perlu Evaluasi ?

AB baru
Kurangnya Pencegahan & ??
Pengendalian infeksi

Penggunaan
AB tidak
bijak

Meningkatkan resistensi AB
Evaluasi Antibiotik

Kualitatif
(Alur Gyssens)
Evaluasi
Kuantitatif
(DDD)
Evaluasi Kualitatif AB

• Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan


melihat data dari form penggunaan antibiotik dan rekam
medik pasien untuk melihat perjalanan penyakit.
• Penilai (reviewer) sebaiknya > 1 (satu) orang tim PPRA.
• Digunakan alur penilaian menurut Gyssens.
Kategori hasil penilaian (Gyssens flowchart):

Kategori 0 : Penggunaan antibiotik tepat dan rasional


Kategori I : tidak tepat saat (timing) pemberian antibiotik
Kategori II A : tidak tepat dosis pemberian antibiotik
Kategori II B : tidak tepat interval pemberian antibiotik
Kategori II C : tidak tepat rute pemberian antibiotik
Kategori III A : pemberian antibiotik terlalu lama
Kategori III B : pemberian antibiotik terlalu singkat
Kategori IV A : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada
antibiotik lain yang lebih efektif
Kategori IV B : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada
antibiotik lain yang lebih aman
Kategori IV C : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada
antibiotik lain yang lebih murah
Kategori IV D : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada
antibiotik lain dengan spektrum lebih sempit
Kategori V : tidak ada indikasi pemberian antibiotik
Kategori VI : data tidak lengkap sehingga penggunaan
antibiotik tidak dapat dinilai
Analisa Kualitatif Penggunaan Antibiotika

Kategori Jumlah Persentase


Keterangan
Gyssens Kasus (%)
Kategori 0 Penggunaan Antibiotik Tepat / Bijak
Kategori I Penggunaan Antibiotik Tidak Tepat Waktu
Kategori IIA Penggunaan Antibiotik Tidak Tepat Dosis
Kategori IIB Penggunaan Antibiotik Tidak Tepat Interval Pemberian
Kategori IIC Penggunaan Antibiotik Tidak Tepat Cara / Rute Pemberian
Kategori IIIA Penggunaan Antibiotik Terlalu Lama
Kategori IIIB Penggunaan Antibiotik Terlalu Singkat
Kategori IVA Ada Antibiotik Lain yang Lebih Efektif
Kategori IVB Ada Antibiotik Lain yang Kurang Toksik / Lebih Aman
Kategori IVC Ada Antibiotik Lain yang Lebih Murah
Kategori IVD Ada Antibiotik Lain yang Spektrumnya Lebih Sempit
Kategori V Tidak Ada Indikasi Penggunaan Antibiotik
Data Rekam Medik Tidak Lengkap dan Tidak Dapat
Kategori VI
Dievaluasi
Total Kasus
Evaluasi kuantitatif AB

• Untuk memperoleh data yang baku dan dapat


diperbandingkan dengan data di tempat lain, maka
badan kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi
penggunaan antibiotik secara Anatomical Therapeutic
Chemical (ATC) Classification dan pengukuran jumlah
penggunaan antibiotik dengan Defined Daily Dose
(DDD)/100 patient-days
Pola Konsumsi Branded/
Obat generik

Harga

Ukuran
kemasan

Dosis
Metodologi ATC/DDD

• Metodologi ATC / DDD memfasilitasi penyajian dan


perbandingan statistik konsumsi obat dan dapat
dibandingkan dengan data di tempat lain.
Klasifikasi ATC
• Dalam sistem klasifikasi ATC obat dibagi dalam kelompok
menurut sistem organ tubuh, menurut sifat kimiawi, dan
menurut fungsinya dalam farmakoterapi.
• Terdapat 5 tingkat klasifikasi, yaitu:
I : kelompok anatomi
II : kelompok terapi/farmakologi obat
III : subkelompok farmakologi
IV : subkelompok kimiawi obat
V : substansi kimiawi obat
Defined Daily Dose (DDD)

• Defined Daily Dose (DDD) adalah dosis harian rata-rata


antibiotik yang digunakan pada orang dewasa untuk
indikasi utamanya.
• DDD adalah unit baku pengukuran, bukan mencerminkan
dosis harian yang sebenarnya diberikan kepada pasien
(Prescribed Daily doses atau PDD). Dosis untuk masing-
masing individu pasien bergantung pada kondisi pasien
tersebut (berat badan, usia, dll).
Sumber Data Evaluasi Kuantitatif
Penggunaan Antibiotik
• Rekam medik pasien
• Jenis AB
• Jumlah AB
• Dosis harian
• Lama penggunaan AB
• Jumlah hari rawat (LOS)
• Data jumlah pengeluaran/ distribusi AB dari
instalasi farmasi
Rumus

Jumlah DDD =
jml gram konsumsi AB
DDD WHO dalam gram

DDD per 100 hari rawat menggambarkan sekian % pasien


rawat inap menerima 1 DDD obat tersebut setiap harinya.
Rumus
1. Menggunakan data agregat (collective-level data)

DDD per 100 hari rawat inap


= Jumlah DDD x 100
Kapasitas TT x BOR x jml hari

= jml gram konsumsi AB x 100


DDD WHO dalam gram x Kapasitas TT x BOR x jml hari
2. Menggunakan data per pasien (patient-level
data)

DDD per 100 hari rawat inap


= Jumlah DDD x 100
Jumlah hari rawat (LOS)

= Jumlah gram konsumsi AB X 100


DDD WHO dalam gram X jumlah hari rawat (LOS)
Menghitung DDD dengan
menggunakan data agregat
(collective-level data)

• Sumber data: Laporan Distribusi antibiotik dari Instalasi Farmasi


• Tidak menyita banyak waktu, apalagi jika Instalasi Farmasi sudah
menggunakan sistem IT
• Digunakan untuk laporan rutin
• Resep yang harus dieksklusi: resep pasien anak, resep pasien
rawat jalan, resep pulang, sediaan topikal, obat tetes
• Data lain yang diperlukan: BOR, kapasitas Tempat Tidur, jumlah
hari periode perhitungan

Sumber: Trisna, Y., Evaluasi Penggunaan Antibiotik dengan Metode ATC/DDD, WS ARTS FOREVER, 2018
Contoh Perhitungan
1. Menggunakan data agregat (collective-level data)
Penggunaan Cefixime kapsul selama 1 tahun di RS X:
Cefixime kaps 100 mg: 1000 kapsul = 100 g
Cefixime kaps 200 mg: 2000 kapsul = 400 g
Jumlah TT 250 , BOR 75%
Cefixime ATC/DDD = J01DD08/ 0.4g
DDD per 100 hari rawat inap =
500 x 100
0.4 x 0.75 x 250 x 365
= 1.83
Artinya 1.83 % pasien rawat inap menerima 1 DDD Cefixime setiap harinya.
Contoh Perhitungan

2. Menggunakan Patient Level Data


Misalnya pada tanggal 11 Nov 2020 terdapat 5 pasien
yang keluar rumah sakit dengan riwayat pengobatan
antibiotik sebagai berikut:
Pasien Antibiotik Dosis Durasi DDD LOS DDD/ 100 hr rwt
(hari) WHO

A Ceftriaxone inj 2x1 g 5 2 7 2x5x100/ (2x29) =


17.24
Cefixime kaps 2x100 mg 2 0.4 0.2x2x100/ (0.4x29) =
3.45
B Ciprofloxacin inj 2x400 mg 3 0.8 5 0.8x3x100/ (0.8x29) =
10.34
Ciprofloxacin tab 2x500 mg 2 1 1x2x100/ (1x29) =
6.89
C - - - - 3 -
D Ceftriaxone inj 2x2 g 7 2 9 4x7x100/ (2x29) =
48.28
E Levofloxacin inj 1x750 mg 5 0.5 5 0.75x5x100/ (0.5x29)
= 25.86
Jumlah 29 hari Ceftriaxone = 65.52
Levofloxacin = 25.86
Ciprofloxacin P = 10.34
Ciprofloxacin O = 6.89
Cefixime = 3.45
Contoh Laporan Evaluasi
Kuantitatif Antibiotik
Contoh Laporan Evaluasi
Kuantitatif Antibiotik
Penelusuran Riwayat
Penggunaan Obat
• merupakan proses untuk mendapatkan informasi
mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan
• diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/pencatatan penggunaan Obat pasien.
Tahapan penelusuran riwayat
penggunaan Obat
• membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat
untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan Obat;
• verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan
informasi tambahan jika diperlukan;
• mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
• mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat;
• melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan Obat;
• melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan;
• melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap Obat yang digunakan;
• melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat;
• melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat;
• memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan alat bantu kepatuhan minum Obat
(concordance aids);
• mendokumentasikan Obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan dokter; dan
• mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif yang mungkin digunakan
oleh pasien.
Kegiatan

• penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada


pasien/keluarganya; dan
• melakukan penilaian terhadap pengaturan
penggunaan Obat pasien.
Informasi yg harus didapatkan:

• nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis,


bentuk sediaan, frekuensi penggunaan, indikasi dan
lama penggunaan Obat;
• reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk
riwayat alergi; dan
• kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat
(jumlah Obat yang tersisa).
Rekonsiliasi Obat
• merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien
• dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
Obat (medication error) seperti Obat tidak
diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi
Obat.
• Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi
pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke
Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta
pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke
layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Tujuan Rekonsiliasi Obat
• memastikan informasi yang akurat tentang Obat
yang digunakan pasien;
• mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terdokumentasinya instruksi dokter; dan
• mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak
terbacanya instruksi dokter.
Tahap Rekonsiliasi Obat
1. Pengumpulan data
2. Komparasi
3. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika
menemukan ketidaksesuaian dokumentasi.
4. Komunikasi
Pengumpulan Data
• Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan
akan digunakan pasien, meliputi nama Obat, dosis,
frekuensi, rute, Obat mulai diberikan, diganti, dilanjutkan
dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping
Obat yang pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek
samping Obat, dicatat tanggal kejadian, Obat yang
menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping,
efek yang terjadi, dan tingkat keparahan.
• Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien,
keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat yang ada pada
pasien, dan rekam medik/medication chart. Data Obat yang
dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.
• Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep
maupun Obat bebas termasuk herbal harus dilakukan
proses rekonsiliasi.
Komparasi
• Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah,
sedang dan akan digunakan.
• Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana
ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data
tersebut.
• Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada Obat yang hilang,
berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan
yang didokumentasikan pada rekam medik pasien.
• Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional)
oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun tidak
disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya
perbedaan pada saat menuliskan Resep.
Konfirmasi ke dokter
• Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus
dihubungi kurang dari 24 jam.
• Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah:
1) menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut
disengaja atau tidak disengaja;
2) mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan,
atau pengganti; dan
3) memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu
dilakukannya rekonsilliasi Obat.
Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau
keluarga pasien atau perawat mengenai perubahan
terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab
terhadap informasi Obat yang diberikan.
Efek Samping Obat
Efek Samping Obat (ESO)/Adverse Drug
Reaction (ADR) adalah respon terhadap suatu
obat yang merugikan dan tidak diinginkan,
yang terjadi pada dosis yang biasanya
digunakan pada manusia untuk pencegahan,
diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk
modifikasi fungsi fisiologik
Fakta terkait ESO
• Di Amerika Serikat, ESO diperkirakan merupakan
penyebab kematian terbesar ke-4 hingga ke-6.
• Di beberapa negara persentase pasien yang
ditangani di rumah sakit karena ESO lebih dari
10% (Norwegia 11,5%, Perancis 13,0%, Inggris
16,0%).
• Layanan yang tepat untuk menangani ESO
memerlukan biaya yang tinggi
• Beberapa negara membelanjakan 15-20% dari
anggaran rumah sakit untuk menangani
komplikasi karena obat.
Dampak ESO
• Kegagalan pengobatan,
• Timbulnya penyakit baru karena obat (drug-
induced disease atau iatrogenic disease), yang
semula tidak diderita oleh pasien,
• Dampak ekonomi
• Efek psikologik,misalnya menurunnya
kepatuhan berobat.
• dll.
• Efek samping tidak mungkin
dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi
dapat ditekan atau dicegah seminimal
mungkin dengan menghindari faktor-faktor
risiko yang sebagian besar sudah diketahui.
Contoh ESO
– reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik),
– hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek
farmakologik yang berlebihan),
– osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka
lama (efek samping karena penggunaan jangka lama),
– hipertensi karena penghentian pemberian klonidin
(gejala penghentian obat - withdrawal syndrome),
– fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan
talidomid pada masa awal kehamilan (efek
teratogenik
Penggolongan ESO
• Efek samping yang dapat diperkirakan:
– aksi farmakologik yang berlebihan
– respons karena penghentian obat
– efek samping yang tidak berupa efek farmakologik
utama
• Efek samping yang tidak dapat diperkirakan:
– reaksi alergi
– reaksi karena faktor genetik
– reaksi idiosinkratik
Efek farmakologik yang berlebihan
• Bersifat dose related
• karena dosis yang diberikan memang besar, atau adanya perbedaan
respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya
pada pasien gangguan ginjal, hati, jantung, usia, dsb
• Contoh:
– Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima
pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin.
– Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada
pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.
– Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu
tinggi.
– Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.
– Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi.
– Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan
dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin.
Gejala penghentian obat
• = gejala putus obat, withdrawal syndrome = munculnya kembali
gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek
farmakologik obat, karena penghentian pengobatan
• selama pengobatan -> adaptasi pada tingkat reseptor -> toleransi
terhadap efek farmakologik obat
• Dapat dikurangi dengan menghentikan pengobatan secara bertahap
(tappering off), menggantikan dengan obat sejenis yang
mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala
putus obat yang lebih ringan.
• Contoh:
– krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi
kortikosteroid,
– hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena
penghentian terapi klonidin,
– gejala putus obat karena narkotika,
Efek samping yang tidak berupa efek
farmakologik utama
• Telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-
penelitian yang telah dilakukan secara sistematik
pada uji klinik
• Contoh:
– Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih,
mual dan muntah pada obat-obat kortikosteroid oral,
analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin,
rifampisin, dll.
– Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian
antihistaminika
– Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena
pemberian rifampisin.
Reaksi alergi
• terjadi akibat reaksi imunologik.
• tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali tidak tergantung dosis,
dan
• terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu
obat.
• Reaksinya bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema
sampai yang paling berat berupa syok anafilaksi yang bisa fatal.
• Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
– gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya,
– seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat
dengan timbulnya efek,
– reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah
sangat kecil obat,
– reaksi hilang bila obat dihentikan,
– keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya
rash (=ruam) di kulit, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll.
Reaksi karena faktor genetik
Contoh:
• Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi
terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu
yang mampu mengasetilasi secara cepat (asetilator
cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara
lambat (asetilator lambat). Di Indonesia, 65% dari
populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35%
adalah asetilator lambat. Efek samping umumnya lebih
banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada
asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya: neuropati
perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada
asetilator lambat,
Reaksi idiosinkratik
• suatu kejadian efek samping yang tidak lazim,
tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat
diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa
terjadi.
• Contoh:
– Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian
analgetika secara serampangan.
– Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian
estrogen jangka lama tanpa pemberian progestogen
sama sekali.
– Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya
tumor limfoid.
Mengapa Banyak Kejadian ESO?
• Di negara berkembang informasi yang tersedia
tentang ESO masih sangat terbatas.
• Belum tersedianya regulasi tentang
penggunaan obat yang tepat
• Kurangnya informasi yang independen
• Penggunaan obat yang tidak rasional
Mengapa Post Marketing Surveillance (PMS) dan
Pelaporan Efek Samping Obat (ESO) Sangat
Diperlukan ?
Informasi efek samping obat yang dikumpulkan pada fase
pengembangan obat dan pada fase pra pemasaran belum cukup
untuk memberikan gambaran profil keamanan obat pada populasi
yang luas.
• Uji pra klinik pada hewan tidak mencukupi untuk memberikan
gambaran profil keamanan pada manusia.
• Subjek yang dilibatkan dalam uji klinik adalah subjek terpilih dengan
kriteria-kriteria tertentu dan jumlahnya terbatas, kondisi
penggunaannya berbeda dengan yang ada dalam praktek klinik, selain
itu juga durasi uji klinik sangat terbatas.
• Pada umumnya, pada saat pemberian izin edar obat, data penggunaan
pada subjek manusia kurang dari 5000 yang kemungkinan hanya dapat
mendeteksi ESO yang bersifat umum atau frekuensi kejadiannya tinggi.
• Data keamanan obat pada saat pengembangan/penelitian belum
dapat menangkap informasi efek samping yang serius namun jarang,
tokisitas kronik, keamanan pada penggunaan dalam kelompok khusus
(seperti anak-anak, usia lanjut atau wanita hamil/menyusui) atau
interaksi obat.
• pengawasan aspek keamanan obat pasca
pemasaran / MESO/ farmakovigilans sangat
penting -> deteksi ESO yang jarang namun
kadang sangat serius.
• Peran aktif profesional kesehatan di seluruh
dunia dalam melaporkan ESO
Mengapa Farmakovigilans Perlu
Diterapkan di Setiap Negara ?
Terdapat perbedaan reaksi ESO atau masalah penggunaan
obat lainnya antara satu negara/wilayah dengan negara/
wilayah lain.
• Penyakit dan praktik peresepan;
• Genetik, diet, tradisi masyarakat;
• Proses pembuatan obat yang digunakan mempengaruhi
kualitas dan komposisi sediaan farmasi;
• Distribusi obat dan penggunaan termasuk indikasi, dosis
dan bioavailabilitasnya.
• Penggunaan obat tradisional dan suplemen kesehatan
(termasuk produk herbal) yang dapat menimbulkan
interaksi tertentu, bila digunakan tunggal atau kombinasi
dengan produk obat tertentu
Bagaimana Pelaporan ESO Secara Voluntary
dapat Mempengaruhi Perubahan Informasi
Produk Obat?
• Laporan ESO memiliki kontribusi yang sangat besar
dalam deteksi dini keamanan obat, tindakan
pencegahan timbulnya permasalahan risiko pada
penggunaan obat.
• tindak lanjut regulatori dari hasil pengkajian keamanan
obat yang berpengaruh terhadap informasi produk
obat.
• Perubahan informasi produk tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain terkait
adanya risiko efek samping dan kontraindikasi yang
baru diketahui, diperlukannya penyesuaian dosis terapi
dan lain sebagainya.
Contoh perubahan informasi produk:
• Kodein disetujui dipasarkan di Indonesia sebagai analgesik. Sehubungan adanya
informasi keamanan terkait risiko efek samping depresi pernapasan (respiratory
depression) pada penggunaan kodein sebagai pereda nyeri (analgesik) pada anak-
anak maka untuk meningkatkan keamanan pasien telah dilakukan kajian keamanan
pada tahun 2016 dengan tindak lanjut berupa perbaikan informasi produk obat
yang mengandung kodein dengan menambahkan “kontraindikasi pada anak di
bawah 12 tahun; ibu menyusui; ibu hamil aterm; pasien dengan masalah
pernapasan akut atau kronik, tanpa adanya alat resusitasi; dan pasien usia 12–18
tahun untuk indikasi analgesik”.
• Ketoconazole (sediaan oral) disetujui dipasarkan di Indonesia untuk pengobatan
infeksi jamur. Sehubungan adanya isu keamanan terkait peningkatan risiko liver
injury serius pada pasien usia lanjut di atas 60 tahun yang menggunakan
ketoconazole (sediaan oral) untuk pengobatan infeksi jamur dalam jangka waktu
lama (lebih dari 1 bulan), maka untuk meningkatkan keamanan pasien dilakukan
kajian keamanan ketoconazole pada tahun 2015 dengan tindak lanjut berupa
perbaikan informasi produk yang mengandung ketoconazole pada bagian indikasi,
posologi, dan penambahan box warning
• Tenaga profesional kesehatan dapat
mengurangi risiko atau penderitaan yang
diakibatkan ESO dan menyelamatkan ribuan
kehidupan pasien lain dengan melakukan satu
hal: Laporkan setiap kejadian yang dicurigai
sebagai efek samping obat
Bagaimana Mengenali ESO?
• ESO dapat timbul melalui mekanisme fisiologis dan patologis yang sama dengan
mekanisme terjadinya suatu penyakit, terkadang sulit dan hampir tidak mungkin
membedakannya.
• Langkah-langkah di bawah ini dapat membantu dalam mengkaji kemungkinan
suatu ESO:
– Memastikan bahwa obat yang diberikan, diterima dan dikonsumsi oleh pasien sesuai dengan
dosis yang dianjurkan.
– Memverifikasi onset (mulai terjadinya) ESO yang dicurigai terjadi setelah obat dikonsumsi,
bukan sebelumnya dan diskusikan dengan cermat apa saja yang dirasakan oleh pasien setelah
mengkonsumsi obat tersebut.
– Menentukan interval waktu antara awal pengobatan dengan onset kejadian yang dicurigai
sebagai ESO.
– Mengevaluasi ESO yang dicurigai setelah menghentikan pemakaian obat atau menurunkan
dosisnya dan selalu mengawasi keadaan pasien. Jika memungkinkan, mulai kembali
pengobatan dengan obat yang sama dan lakukan pengawasan keberulangan terjadinya ESO
apapun.
– Menganalisa kemungkinan penyebab lainnya (selain obat) yang mungkin dapat menimbulkan
reaksi tersebut.
– Menggunakan literatur terkini dan relevan serta pengalaman sebagai profesional kesehatan
mengenai obat dan ESO dan lakukan verifikasi apakah terdapat laporan sebelumnya yang
menyimpulkan hubungan antara obat dengan ESO tersebut.
Bagaimana Cara Melaporkan ESO?
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai ESO
dilaporkan kepada penanggungjawab pelaporan
ESO di rumah sakit atau dilaporkan secara
langsung ke Pusat Farmakovigilans/MESO
Nasional BPOM melalui :
1. Pelaporan secara online melalui subsite e-meso :
◊ Kunjungi https://e-meso.pom.go.id
◊ Klik ADR online Petunjuk pengisian tersedia
pada halaman website tersebut.
2. Formulir Pelaporan ESO : Formulir dapat
diunduh di https://e-meso.pom.go.id
Tujuan Pengkajian R/
• Dilakukan untuk menganalisa adanya DRP
(masalah terkait obat)
• Bila ditemukan DRP harus dikonsultasikan
kepada dokter penulis Resep
Tahapan Pengkajian R/
Administratif Farmasetik Klinis

• nama, no RM, • nama obat, • ketepatan


umur, jns bentuk, indikasi, dosis,
kelamin, BB-TB kekuatan waktu
pasien sediaan penggunaan
• nama, SIP, • dosis, jumlah obat
alamat, paraf obat • duplikasi
dokter • stabilitas pengobatan
• Tgl R/ • aturan, cara • alergi dan
• Ruangan, unit penggunaan Reaksi Obat
asal R/ yang Tidak
Dikehendaki
(ROTD)
• kontraindikasi
• interaksi Obat
Pelayanan R/

Pemeriksaan Penyiapan/ Penyerahan


Penerimaan Pemeriksaan
ketersediaan peracikan disertai PIO

Pada setiap tahap alur pelayanan Resep


dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian Obat (medication error).
Pelayanan Kefarmasian adalah
suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan
pasien.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR
PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT
PELAYANAN
KEFARMASIAN SDM

PELAYANAN
MANAGERIAL FARMASI SARANA
KLINIS

PENGELOLAAN PERALATAN
BAHAN HABIS
SEDIAAN ALKES
PAKAI
FARMASI

Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2009
Pelayanan Farmasi
di Fasilitas Kesehatan
Pengelolaan
Perbekalan
Farmasi

Patient
Safety
Pelayanan
Farmasi
Klinik
Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Pemilihan

Administrasi Perencanaan

Pengendalian Pengadaan

PF dg khasiat,
keamanan,
mutu terjamin

Pemusnahan &
Penerimaan
Penarikan

Pendistribusian Penyimpanan
Pelayanan
Farmasi Klinik
Merupakan pelayanan
langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien

dalam rangka meningkatkan


outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping
karena Obat

untuk tujuan keselamatan pasien


(patient safety) sehingga kualitas
hidup pasien (quality of life)
terjamin
Pelayanan Farmasi Klinik
P’kajian &
pelayanan
R/
Telusur Riw
PKOD P’gunaan
Obat

Dispensing
sediaan Rekonsiliasi
steril

Pe↑
Outcome
EPO
terapi PIO

MESO Konseling

PTO Visite
Multidisiplin dalam
Pelayanan Kesehatan
Dokter

Apoteker Perawat

Pasien
Dietisien Fisioterapist

Pelayan
Psikolog
spiritual
• Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan
suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi Obat yang aman, efektif
dan rasional bagi pasien.
• Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas
terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
Kegiatan dalam PTO
1. pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara
pemberian Obat, respons terapi, Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
2. pemberian rekomendasi penyelesaian
masalah terkait Obat; dan
3. pemantauan efektivitas dan efek samping
terapi Obat.
Tahapan PTO
1. Seleksi pasien
2. pengumpulan data pasien;
3. identifikasi masalah terkait Obat;
4. rekomendasi penyelesaian masalah terkait
Obat;
5. pemantauan; dan
6. tindak lanjut.
Seleksi Pasien

1. Pasien baru (dalam 24 jam pertama);


2. Pasien dalam perawatan intensif;
3. Pasien yang menerima lebih dari 5 macam obat (polifarmasi);
4. Pasien yang mengalami penurunan fungsi organ terutama hati
dan ginjal;
5. Pasien yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya mencapai nilai
kritis (critical value), misalnya: ketidakseimbangan elektrolit,
penurunan kadar albumin;
6. Pasien yang mendapatkan obat yang mempunyai indeks
terapetik sempit, berpotensi menimbulkan reaksi obat yang
tidak diinginkan (ROTD) yang fatal. Contoh: pasien yang
mendapatkan terapi obat digoksin, karbamazepin, teofilin,
sitostatika;
Pengumpulan Data
• Data pasien : nama, nomor rekam medis, umur, jenis
kelamin, berat badan (BB), tinggi badan (TB), ruang
rawat, nomor tempat tidur, sumber pembiayaan
• Keluhan utama: keluhan/kondisi pasien yang menjadi
alasan untuk dirawat
• Riwayat penyakit saat ini (history of present illness)
merupakan riwayat keluhan / keadaan pasien
berkenaan dengan penyakit yang dideritanya saat ini
• Riwayat sosial: kondisi sosial (gaya hidup) dan ekonomi
pasien yang berhubungan dengan penyakitnya. Contoh:
pola makan, merokok, minuman keras, perilaku seks
bebas, pengguna narkoba, tingkat pendidikan,
penghasilan
• Riwayat penyakit terdahulu: riwayat singkat penyakit
yang pernah diderita pasien, tindakan dan perawatan
yang pernah diterimanya yang berhubungan dengan
penyakit pasien saat ini
• Riwayat penyakit keluarga: adanya keluarga yang
menderita penyakit yang sama atau berhubungan
dengan penyakit yang sedang dialami pasien.
Contoh: hipertensi, diabetes, jantung, kelainan
darah, kanker
• Riwayat penggunaan obat: daftar obat yang pernah
digunakan pasien sebelum dirawat (termasuk obat
bebas, obat tradisional/herbal medicine) dan lama
penggunaan obat
• Riwayat alergi/ ROTD daftar obat yang pernah
menimbulkan reaksi alergi atau ROTD.
• Pemeriksaan fisik: tanda-tanda vital (temperatur,
tekanan darah, nadi, kecepatan pernapasan), kajian
sistem organ (kardiovaskuler, ginjal, hati)
• Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan diagnostik: foto rontgen, USG, CT
Scan.
• Masalah medis meliputi gejala dan tanda klinis,
diagnosis utama dan penyerta.
• Catatan penggunaan obat saat ini, adalah daftar
obat yang sedang digunakan oleh pasien.
• Catatan perkembangan pasien, adalah kondisi
klinis pasien yang diamati dari hari ke hari.
Identifikasi masalah terkait Obat
Pasien yang mendapatkan obat memiliki risiko
mengalami masalah terkait penggunaan obat
baik yang bersifat aktual (yang nyata terjadi)
maupun potensial (yang mungkin terjadi).
Rekomendasi Penyelesaian DRPs
• Komunikasi langsung dengan pihak terkait
(dokter, perawat, tenakes lain, pasien/
keluarga)
• Dokumentasi di CPPT (metode SOAP)
• Dokumentasi di lembar kerja PTO
Faktor yang harus diperhatikan
• kemampuan penelusuran informasi dan
penilaian kritis terhadap bukti terkini dan
terpercaya (Evidence Best Medicine);
• kerahasiaan informasi; dan
• kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter,
perawat, dietisien, dll).
Peran Apoteker dalam PTO
• Penelitian Kjeldby 2009 menunjukkan kontribusi positif apoteker
terhadap jaminan kualitas terapi obat di ruang rawat (7 dari 8
dokter dan seluruh perawat mengakui hal tersebut). Apoteker
mengidentifikasi 137 masalah terkait obat dari 384 lembar
pemberian obat; 73 (53%) masalah terkait obat diantaranya
memerlukan penanganan segera, yaitu: (i) 48 (41%) masalah
terkait dosis, (ii) 35 (30,4%) masalah terkait pemilihan obat, (iii)
32 (27,8%) masalah terkait kebutuhan monitoring penggunaan
obat.
• Penelitian Martínez-López de Castro 2009 menunjukkan bahwa
penyiapan unit dose dispensing (UDD) untuk pasien rawat inap
oleh apoteker ruang rawat dan implementasi prosedur checking
medication menurunkan kejadian medication error di bangsal
gynaecology-urology (3.24% vs. 0.52%), orthopaedic (2% vs.
1.69%) and neurology-pneumology (2.81% vs. 2.02%).
Visite
• Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat
inap
• dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim
tenaga kesehatan.
• untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung,
• mengkaji masalah terkait Obat,
• memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki,
• meningkatkan terapi Obat yang rasional,
• dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya.
• Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang
sudah keluar Rumah Sakit baik atas
permintaan pasien maupun sesuai dengan
program Rumah Sakit yang biasa disebut
dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah
(Home Pharmacy Care).
• Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker
harus mempersiapkan diri dengan
mengumpulkan informasi mengenai kondisi
pasien dan memeriksa terapi Obat dari rekam
medik atau sumber lain.
Definisi
DRPs atau masalah terkait obat adalah kejadian
suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara
nyata atau potensial mengganggu hasil klinis
kesehatan yang diinginkan
Kategori DRP
Menurut Cipolle:
1. Ada obat tanpa indikasi
2. Ada indikasi tanpa obat
3. Pemilihan obat tidak tepat
4. Dosis berlebih
5. Dosis kurang
6. Interaksi obat
7. Efek samping obat
8. Pasien tidak mendapatkan obat
• Untuk mengidentifikasi DRP, harus memantau
terapi pasien secara keseluruhan
• Identifikasi DRP
• Tujuan patient safety
• Berkurangnya lama rawat → menekan biaya perawatan
 Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan
 Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab
pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.
 Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya.
 Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus
tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi
serta meronta-ronta.
 Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar
bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.
 Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih
dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri,
tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan
dengan baik.
 Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap
rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.
 Coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri.
Teori GCS pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh
Teasdale dengan Jennett yang bertujuan untuk mengukur dan
merekam tingkat keadaan seseorang. GCS adalah skala yang
digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien yang
dilakukan dengan menilai respon pasien terhadap rangsang
yang diberikan oleh pemeriksa.
Masing-masing pemeriksaan E,V,M dijumlahkan, dan di
masukan dalam kriteria cedera otak berikut:
 berat, dengan GCS ≤8
 sedang, GCS 9-12
 ringan ≥ 13
 Nilai GCS (15-14) : Composmentis
 Nilai GCS (13-12) : Apatis
 Nilai GCS (11-10) : Delirium
 Nilai GCS (9-7) : Somnolen
 Nilai GCS (6-5) : Sopor
 Nilai GCS (4) : semi-coma
 Nilai GCS (3) : Coma

Anda mungkin juga menyukai