Anda di halaman 1dari 19

Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Budaya Jawa

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Karakter
Pengampu : Dra. Yuyarti, M.Pd.

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Novika Gigih N. (1401416197) Absen 1
2. Nurul Hidayah (1401416215) Absen 11
3. Marisatul Hasanah (1401416226) Absen 15

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
Makalah Pendidikan Karakter
Daftar isi.................................................................................................................i
Kata pengantar.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang..............................................................................................1
B. Permasalahan................................................................................................2
C. Manfaat.........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kearifan Lokal.............................................................................................3
B. Masyarakat Jawa....................................................................................................3
C. Filsafat dan Etika Hidup Orang Jawa.....................................................................4
D. Pendidikan karakter dalam pola asuh keluarga jawa...................................7
E. Kearifan Tradisi Menyambut Bulan Puasa..................................................8
F. Kearifan Tradisi Mudik...............................................................................10
G. Kearifan Tradisi Syawalan..........................................................................12
H. Kearifan Tradisi Suronan............................................................................13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................15
B. Saran...........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................16

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pendidikan Karakter berbasis Kearifan
Lokal Budaya Jawa” dengan baik. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Karakter.
Dengan terselesaikannya makalah ini, kami ingin berterimakasih kepada:
1. Bapak dan Ibu kami yang telah mengajarkan kami tentang arti kehidupan.
2. Bapak Drs. Isa Ansori, M.Pd.selaku Kepala Jurusan PGSD FIP Unnes
3. Ibu Dra. Yuyarti, M.Pd., sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah pendidikan
Karakter yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
4. Tak lupa kepada teman - teman kami Rombel E| yang telah mendukung kami
dalam penyusunan makalah ini.
Tanpa dukungan dari kalian semua, kami tidak akan bisa menyelesaikan
tugas makalah Pendidikan Kepramukaan kami ini. Karenanya, kami mengucapkan
berterima kasih. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan sarannya agar makalah ini
menjadi lebih baik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 24 Maret 2017

Penyusun

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan dan pendidikan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan
laksana dua sisi mata uang saling mendukung dan menguatkan. Kebudayaan
menjadi dasar falsafah pendidikan, sedangkan pendidikan menjadi penjaga utama
kebudayaan karena berperan sebagai pembentuk orang untuk berbudaya. Tepatlah
jika Ki Hajar Dewantara mengibaratkan pendidikan tanpa kebudayaan, seperti
perahu dilautan tanpa panduan arah.
Namun di era globalisasi ini, pendidikan di Indonesia banyak mengadopsi
model pendidikan karakter ala barat. Padahal kearifan lokal bangsa mengandung
nilai luhur yang tepat dan pas untuk membangun karakter anak. Mereka dapat
memperoleh nilai-nilai karakter dari sekitar mereka.
Karena kita hidup di lingkungan jawa, maka budaya yang patut kita
pertahankan dan kita lestarikan adalah budaya Jawa. Melalui budaya Jawa, kita
dapat memperoleh nilai-nilai dan karakter yang baik untuk kita lakukan.
Datangnya era globalisasi dengan diiringi budaya global, hedonisme, dan
kapitalisme yang lambat laun menggeser budaya asli (khususnya budaya Jawa).
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan usaha menangkal pengaruh
budaya globalisasi dengan penggalian nilai- nilai luhur budaya asli yang
selanjutnya disosialisasikan kepada generasi muda.
Pada kesempatan kali ini, kelompok kita akan membahas nilai-nilai
karakter dalam budaya Jawa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Kearifan Lokal ?
2. Bagaimana pengertian Masyarakat Jawa ?
3. Bagaimana Filsafat dan Etika Hidup Orang Jawa ?
4. Apa saja nilai-nilai karakter dalam pola asuh keluarga jawa ?
5. Bagaimana Kearifan Tradisi Menyambut Bulan Puasa ? 1
6. Bagaimana Kearifan Tradisi Mudik ?
7. Bagaimana Kearifan Tradisi Syawalan ?
8. Bagaimana Kearifan Tradisi Suronan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Kearifan Lokal.
2. Untuk mengetahui pengertian Masyarakat Jawa.
3. Untuk mengetahui Filsafat dan Etika Hidup Orang Jawa.
4. Untuk mengetahui nilai-nilai karakter dalam pola asuh keluarga jawa.
5. Untuk mengetahui Kearifan Tradisi Menyambut Bulan Puasa.
6. Untuk mengetahui Kearifan Tradisi Mudik.
7. Untuk mengetahui Kearifan Tradisi Syawalan.
8. Untuk mengetahui Kearifan Tradisi Suronan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal adalah sebuah idetitas atau kepribadian budaya bangsa yang
mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan luar menjadi watak dan
kemampuan sendiri. (Ayatrohaedi, 1986;18-19)
Menurut Nanik Herawati (2012;64) kebudayaan Jawa merupakan cermin
utuh dari kehidupan masyarakat Jawa. Dan kearifan lokal bagian dari budaya
Jawa yang beraneka ragam dan corak. Dalam budaya Jawa kebenaran dan
kebersamaan seantiasa dijunjung tinggi.
Penggalian nilai- nilai kearifan lokal sebagai basis pendidikan karakter
sejalan dengan rekomendasi UNESCO tahun 2009 yang akan mendorong
timbulnya sikap saling menghormati antar etnis, suku, bangsa, dan agama.
Kearifan lokal dapat digali dan dijadikan basis pendidikan karakter karena
memiliki hal-hal berikut :
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur- unsur luar,
3. berkemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4. berkemampuan mengendalika, dan
5. mampu memberi arah perkembangan budaya.
Menurut Rahyono (2009:9) posisi strategis kearifan lokal budaya Jawa
antara lain:1) kearifan lokal Jawa menjadi salah satu pembentuk identitas, 2)
kearifan lokal Jawabukan merupakan sebuah nilai asing bagi pemiliknya
khususnya suku bangsa Jawa, 3) keterlibatan emosional masyarakat Jawa dalam
penghayatan kearifan lokal kuta, 4) kearifan lokalJawa mampu menumbuhkan
harga diri,dan 5) kearifan lokal Jawa mampu meningkatkan martabat bangsa.

B. Masyarakat Jawa
Secara geografis, masyarakat Jawa mendiami Pulau Jawa bagian tengah
dan bagian timur. 3
Selain itu, ada juga daerah-daerah yang disebut “daerah kejawen” yang
meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri.
Sedangkan daerah di luar daerah ini dinamakan daerah pesisir dan ujung timur.
Masyarakat Jawa tidak dilihat dari segi geografis saja, tetapi dilihat dari
segi entis juga. Jadi, masyarakat Jawa adalah masyarakat yang beretnis Jawa yang
masih komitmen terhadap kebudayaan Jawa, baik yang tinggal di Pulau Jawa,
khususnya Yogyakarta, maupun di luar Pulau Jawa.
Banyak pendapat mengenai asal-usul masyarakat Jawa. Pendapat yang
pertama yaitu bahwa suku Jawa merupakan keturunan Aji Saka, seorang kesatria
sekaligus pandita (satria pinandhita) yang tampan dan sakti mandraguna dari
India. Aji Saka dikenal juga sebagai Empu Sangkala.
Pendapat kedua menyebutkan bahwa suku Jawa merupakan penduduk asli
Pulau Jawa. Nenek moyangnya merupakan keturunan dari homo Soloensis.
Pendapat ini merujuk pada penemuan fosil di lembah bengawan Solo, tepatnya di
dekat Desa Ngandong. Berdasarkan penemuan tersebut, dapat diprediksikan
bahwa Jawa Tengahlah yang menjadi pusat pertama keberadaan masyarakat Jawa
dan kebudayaan Jawa.
Pendapat yang ketiga yaitu pendapat Koentjaraningrat, bahwa nenek
moyang orang Jawa masih satu rumpun dengan nenek moyang bangsa Indonesia
lainnya yaitu berasal dari daerah Yunan, sebuah provinsi di kawasan Indo-China.
Masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari sangat dipengaruhi oleh
keyakinan, konsep nilai budaya, dan norma-norma kasat mata yang tertata dalam
alam pikiran. Tata-nilai ini merupakan tradisi dan tindakan yang ditularkan (tutur-
tinular) secara lisan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

C. Falsafah dan Etika Hidup Orang Jawa


a. Falsafah Hidup Orang Jawa
Falsafah atau filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu
philoshopia. Philoshopia merupakan gabungan dari dua kata philein dan
shopia. Kata philein berarti mencintai, sementara shopia berarti kearifan dan
kebijaksanaan (The Liang Gie,1977:5). 4
Karakteristik khas yang membedakan antara berpikir biasa dengan
berfilsafat adalah berpikir bebas, namun memerlukan tanggung jawab, dan
mempergunakan tata pikiran yang tertib serta teratur. Dengan demikian,
berfilsafat adalah berpikir dengan tanggung jawab, bermetode, bersistem,
tertib, teratur, ada tujuan, dan mengungkap misteri atau mencari kesimpulan
yang universal, tetapi hanya dengan akal budi saja atau dengan cara lain,
merupakan kegiatan secara konseptual.
Filsafat dalam konsep masyarakat Jawa disebut ilmu kejawen atau ilmu
kesempurnaan Jawa, yang merupakan serangkuman pemikiran luhur
terbentuk dari perpaduan tradisi Jawa, kepercayaan Hindu, tasawuf atau
mistikisme Islam.Menurut Robert Jay, seorang ahli budaya yang tekun
menyelidiki ilmu kejawen dalam bukunya yang berjudul Religion and Pilitics
In Central Rural Java, (1963:72) menyebutkan : “...bahwa pemikiran Jawa
tradisional merangkum suatu sistem filsafat lengkap dan pengindahan hidup
yang berdiri sendiri.”
Falsafah hidup orang Jawa, menurut Sri Mulyono (1979:21), banyak
mengadopsi pandangan filosofis dunia wayang. Wayang merupakan sejenis
kesenian rakyat yang terbuat dari kulit yang diukir sedemikian rupa
menyerupai sosok manusia, binatang, dan segala hal yang ada di alam
semesta. Kisah wayang diambil dari epos besar Ramayana dan Mahabarata.
b. Etika Hidup Orang Jawa
Dari penelisikan sejarah, orang Jawa dengan budaya Jawanya banyak
memberi kontibusi positif bagi perkembangan bangsa Indonesia melalui
politik Jawanya. Sistem politik yang mengagungkan kehalusan perilaku, tutur
kata, dan etika tinggi ini terkenal dengan sebutan; ngluruk tanpa bala,
menang tanpa ngasorake, dan sugih tanpa banda, yang artinya sistem politik
yang berperang tanpa membawa prajurit, menang tapi tidak dengan
mengalahkan, serta menjadi seorang pemimpin yang kaya tetapi tidak dengan
kekayaan harta. Sebuah simbolisme politik yang sejainya sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia, yang telah dicontohkan oleh tokoh Sultan
Agng, Sultan Hamengku Buwono (HB) I, IX dan X. 5
Istilah “jowo” bagi masyarakat jawa memiliki makna yang
mendalam dan bukan sekedar berarti suku. Akan tetapi, bermakna
seberapa jauh pemahaman seseorang terhadap makna dan perilaku secara
etis dalam etika Jawa. Seorang yang dikatakan “durung Jowo” bukan
bermakana belum menjadi suku Jawa, tetapi bermakna “dia belum
memiliki penghayatan etis yang tinggi/lebih (linuwih) sebagaimana rata-
rata orang Jawa”. Dengan demikian, dalam masyarakat jawa tidak bisa
dipisahkan antara etika sebagai teori dan etika sebagai praktek (etiket).
Dengan kata lain, etika dan etiket bagi masyarakat Jawa, layaknya dua sisi
mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Seperti dalam pepatah Jawa “Kadyo
godhong suruh, dhuwur ngisor yen digeget padha rasane” (layaknya daun
sirih, di mana bagian atas dan bawah jika digigit rasanya sama).
Adanya etika dan etiket tersebut menyebabkan tumbuhnya tatanan
norma yang disebut unggah-ungguh. Sistem norma unggah-ungguh ini
terlihat dari cara berpenampilan, berpakaian, dan berbicara. Khusus dalam
unggah-ungguh wicara, masyarakat menjaga etikanya secara ketat
sehingga muncullah stratifikasi bahasa (unggah-ungguh basa) di mana:
pertama, “boso kromo” adalah tingkatan bahasa yang diperuntukan kaum
muda kepada kaum yang lebih tua. Kedua “boso kromo madya” adalah
bahasa yang dignakan untuk orang yang seusia. Ketiga, “boso ngoko”
yaitu bahasa yang digunakan untuk menunjukkan rasa akrab di antara yang
sedang berbicara.
Orang Jawa apabila tidak menyukai sesuatu, marah, atau jengkel,
tidak diwujudkan melalui kata-kata kasar dan jorok. Wujud ketidak
cocokan hati diwujudkan melalu bahasa simbolis sehingga karakter orang
Jawa terkesan “munafik”. Akan tetapi bukan demikian maksudnya,
masyarakat Jawa selalu berpegang teguh pada keselarasan antara manusia
dengan manusia dan alam sekitar, oleh karena itu mereka berusaha
memelihara ketentraman dalam segala perilaku. 6
Sehingga dalam mengungkapkan kemarahan masyarakat Jawa
menggunakan bahasa simbolis untuk menghidari disharmoni bahkan
perpecahan.
D. Pendidikan Karakter Dalam Pola Asuh Keluarga Jawa
Setiap keluarga Jawa memiliki pola khusus dalam hal pengasuhan
khususnya dalam pembentukan karakter anak. Penelitian Geertz (1983); Mulder
(1986); Koentjaraningrat (1994); Suseno (2001); dan Idrus (2004 & 2012),
berpendapat bahwa dalam pola asuh keluarga Jawa pendidikan karakter dilakukan
sejak anak masih kecil. Beberapa nilai karakter yang diajarkan sejak dalam
pengasuhan orang tua adalah:
1. Sabar
Berarti memiliki napas panjang dalam kesadaran bahwa nasib baik akan
datang pada waktunya(Koentjaaningrat :43 ). Dengan karakter sabar, mereka
mampu menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan hingga nasib baik akan
datang. Orang jawa dengan kesabarannya, bahkan bisa tersenyum dalam
kesusahan atau ngguyu sak jeroning susah.
2. Nrima atau narima
Merupakan sikap seseorang yang menerima semua keadaan hidup.
Karakter nrima memberi daya dorong psikis yang luar biasa, khususnya ketika
menghadapi nasib buruk, malapetaka, dan bencana yang menimpa. Sebaliknya,
orang nrima tidak akan bergembira berlebihan manakala mendapat
keberuntungan, kebahagiaan, dan kesenangan.
3. Ikhlas
Kesanggupan untuk melepaskan hak milik, kemampuan dan hasil
pekerjaan apabila hal tersebut menjadi tuntutan atau tanggung jawab. Karakter
ikhlas memiliki kesesuaian
4. Jujur
Bermakna ketika orang berbicara dan bertindak sesuai apa adanya tanpa
menutupi dengan kebohongan. Orang jujur akan senantiasa menepati janjinya
dan akan mendorong dirinya untuk bersikap adil.
7
5. Hormat
Orang tua mengajarkan agar setiap anak dalam berbicara dan bersikap
dapat menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain tanpa harus memandang
latar belakang.

E. Kearifan Tradisi Menyambut Bulan Puasa


Tradisi menyambut bulan Puasa/Ramadhan merupakan tradisi yang
dilakukan oleh masyarakat jawa menjelang bulan puasa. Bagi masyarakat Jawa
bulan puasa merupakan bulan penuh berkah dan memiliki keistimewaan
tersendiri. Dalam filosofi Jawa, bulan puasa sering dinamakan prihatin , yaitu
sebuah sarana agar manusia bisa lebih dekat dengan Tuhan.
Oleh karena itu, masyarakat Jawa mempersiapkan diri baik secara lahir
maupun batin melalui serangkaian tradisi ritual berupa nyadran, padusan, dan
megengan.
1. Nyadran
Nyadran merupakan tradisi manusia yang berkaitan dengan leluhur
yang sudah meninggal. Saat ini, prosesi Nyadran dilaksanakan dengan cara
ziarah sambil membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan
ampun, dan tabur bunga.
Makna dari prosesi tersebut yaitu sebagai simbol bakti dan ungkapan
terima kasih seseorang terhadap para leluhurnya. Kita akan merasakan nuansa
magis dan unik dalam ritual nyadran. Nyadran dilakukan di tempat-tempat
keramat yang dipercaya mendekatkan manusia dengan Yang Kuasa. Biasanya
berupa makam leluhur atau tokoh besar yang berjasa bagi syiar agama.
Sebagai contoh, di Kabupaten Banyumas, masyarakat melaksanakan
nyadran di makam Syekh Muchorodin atau Mbah Agung Mulyo pada tanggal
15, 20, dan 23 bulan Ruwah atau Sya’ban. Nyadran dilaksanakan bulan
Ruwah dikarenakan kesepakatan bersama dan berdasarkan paham yang
meyakini bulan Ruwah sebagai saat turunnya arwah para leluhur untuk
mengunjungi anak di dunia. 8
2. Padusan
Padusan merupakan tradisi penyucian diri setelah melaksanakan
nyadran. Prosesi padusan dimulai dengan mengambil air kembang dari
gentongan (wadah yang terbuat dari tanah liat) menggunakan gayung.
Seusai itu, wadah tersebut dibanting di depan kolam tempat padusan sebagai
penutup ritual.
Makna prosesi Padusan yaitu sebagai persiapan fisik dan batin supaya
hati menjadi bening, bersih, dan suci sehingga tidak digoda nafsu jahat dan
hina.
Keunikan tradisi Padusan yaitu pemilihan tempatnya yang tidak boleh
sembarang. Misalnya sumber-sumber air alam yang dianggap sakral seperti
Umbul Pengging di Boyolali, Umbul Kayangan di Wonogiri, Umbul Berjo di
Karanganyar, dan lain-lain.
3. Megengan
Kata Megengan berasal dari bahasa jawa “megeng” yang artinya
menahan. Megengan merupakan doa bersama untuk melantunkan
permohonan keselamatan dan kebahagiaan lahir batin bagi seluruh keluarga
dan masyarakat sekitarnya. Tradisi ini dilaksanakan menjelang tenggelamnya
matahari di ufuk barat sehari sebelum tanggal 1 Ramadhan.
Makna Tradisi Megengan yaitu orang jawa terlebih dahulu harus
berbuat baik terhadap sesama dan lingkungan sosialnya sebelum memasuki
bulan puasa.
Serangkaian tradisi Jawa menjelang puasa tersebut memiliki nilai-nilai dan
kearifan yang mendalam, diantaranya :
1. Sebagai sarana menciptakan hubungan sosial yang harmonis dalam
masyarakat.
Nyadran misalnya tidak hanya sekedar gotong royong membersihkan
makam leluhur, tetapi juga terdapat doa bersama yang mempererat tali
persaudaraan antar warga. Dalam prosesi Nyadran semua keluarga berbaur
jadi satu tidak membedakan kelas, agama, maupun golongan. Mereka saling
mengasihi dan menyayangi satu sama lain. 9
Bahkan seusai Nyadran ada warga yang mengajak saudara di desa
untuk merantau bekerja di kota-kota besar. Disinilah ada hubungan
kekerabatan, kebersamaan, dan kasih sayang diantara warga. Kekuatan
Nyadran tersebut jika dibawa dalam konteks negara, akan menjadikan
Indonesia yang rukun, damai, dan tenteram,
2. Sebagai wujud penghargaan kepada leluhur atau pendahulu.
Dalam Nyadran juga terdapat sedekah, beramal kepada fakir miskin,
membangun tempat ibadah, memperbaiki pagar makam, dan melakukan
bersih makam. Kegiatan tersebut sebagai wujud balas jasa atas penghormatan
leluhur yang sudah mendidik anak-anaknya sehingga sekarang menjadi
seorang yang sukses. Singkatnya masyarakat jawa ingin “ Njaga prajane sing
wis sumare” yaitu usaha menjaga citra, wibawa, dan nama baik leluhurnya.
3. Budaya membersihkan jasmani dan rohani ketika hendak beribadah atau
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ritual padusan akan menyucikan hati dari segenap perasaan iri,
dengki, hasut, penipu, dan takabur. Kesucian padusan jika dibawa dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjauhkan anggota politik
dan anggota dewan dari perbuatan menjilat, korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN)
Sehingga serangkaian tradisi jawa menjelang pelaksanaan bulan puasa perlu
terus dipertahankan. Bukan hanya sebagai kearifan lokal yang terkandung
didalamnya, tetapi juga sebagai wujud pelestarian budaya peninggalan nenek
moyang. Jika dikaitkan dengan pendidikan karakter, tradisi nyadran mengandung
nilai-nilai luhur pendidikan karakter sebagaimana telah diuraikan, dan sesuai
dengan gerakan “revolusi mental” mengembalikan karakter bangsa.

F. Kearifan Tradisi Mudik


Menurut kamus yang disusun Badudu-Zain (1994) dan Abdul Chaer (1976),
dan Kamus Dewan (1991) terbitan Malaysia, mudik berarti “pulang ke udik”, atau
pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari lebaran. 10
Mudik merupakan tradisi pulang ke kampung kelahiran oleh para
perantau Jawa menjelang berakhirnya bulan Puasa. Tradisi mudik sudah
menjadi kebutuhan masyarakat jawa. Tradisi tersebut merupakan perilaku khas
sekaligus salah satu kearifan lokal warisan nenek moyang yang patut
dilestarikan bangsa ini.
Pada awalnya mudik merupakan tradisi masyarakat petani Jawa yang
sudah ada sebelum Kerajaan Majapahit. Tradisi tersebut dahulu kegiatannya
membersihkan perkuburan atau makam leluhur disertai upacara doa bersama
kepada dewa-dewa di kahyangan. Tujuannya agar para perantau diberi
keselamatan dalam mencari rizki dan keluarga yang ditinggalkan di kampung
halaman tidak terjadi musibah.
Tetapi setelah masuknya pengaruh Islam, kegiatan tersebut berangsur-
berangsur terkikis karena dianggap musyrik. Sekarang kegiatan mudik yaitu
pulang kembali ke rumah kelahiran menjelang lebaran.
Keunikan dari tradisi ini yaitu meskipun mudik memerlukan biaya yang
besar, tetapi para perantau tidak mempersoalkannya. Menurut Jacob Sumarhan
(2007), para pemudik berkeyakinan bahwa dunia bisa dicari, tetapi berkah
rohani untuk berkumpul dengan keluarga di kampung halaman itu tidak bisa
diberi dengan materi apapun.
Nilai-nilai dan manfaat yang bisa dipetik dari tradisi mudik yaitu :
1. Sebagai terapi jiwa untuk menghilangkan segala persoalan dan kepenatan
pikiran hidup di perkotaan.
Masyarakat perkotaan dihadapkan pada persoalan ruang yang
semakin sempit dan dunia politik sehingga mengalami tekanan psikologis.
Sehingga banyak dijumpai orang yang stres, gejalanya seperti susah tidur,
tekanan darah tinggi, jantung, dan sebagainya.
Orang perlu melepaskan kepenatan tersebut dengan santai yaitu
mengunjungi keluarga terdekat. Ketika sampai di kampung halaman,
pemudik dapat melepaskan segala beban karena menatap wajah-wajah
lugu penduduk desa yang penuh kasih sayang dan tanpa pamrih. Sehingga
begitu kembali ke tempat kerja, semangat telah pulih kembali. 11
Harapan untuk bertemu kembali dengan kampung halaman di tahun
berikutnya, menjadi motivasi bekerja guna mudik kembali.
2. Sebagai sarana orang untuk mengingat asal-muasalnya.
Melalui mudik, setiap orang yang telah lama meninggalkan kampung
halaman dapat mengingat tempat kelahirannya. Setiap orang bersyukur
dan berterimakasih kepada Tuhan telah dibesarkan oleh orang tua mereka
di tempat nyaman dan sejuk. Sehingga sebisa mungkin para pemudik
berada di tengah-tengah keluarga sebelum Idul Fitri tiba. Tujuannya selain
untuk bersilaturahmi dan saling bermaafan, juga untuk menunaikan
kewajiban membayar zakat di kampung halamannya.
3. Mengajarkan setiap orang untuk bersyukur kepada Tuhan
Para pemudik melihat keadaan kampung halaman yang tandus,
kesederhanaan warga desa hidup dalam kemiskinan mengingatkan setiap
orang termasuk dewan politik sehingga tidak berlaku curang dan membuat
hidup rakyat semakin menderita.

G. Kearifan Tradisi Syawalan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, syawalan memiliki arti “acara
maaf-memaafkan” pada hari lebaran. Menurut Ibnu Djarir (2007), tradisi
syawalan mulanya dirintis pada zaman Pangeran Samber Nyawa. Dalam
menghemat waktu, tenaga, biaya dan pikiran, maka setelah shalat Idul Fitri
diadakan pertemuan antara Raja, keluarga, dan prajuritnya untuk berkumpul di
balai istana. Semua prajurit sungkem atau memohon ampun kepada raja dan
permaisuri.
Berikut merupakan kegiatan-kegiatan dalam Tradisi Syawalan :
1. Sungkem
Sungkem merupakan lambeng penghormatan kepada yang lebih tua
sebagai permohonan maaf atau “nyuwun ngapura”. Dahulu, sungkeman
dilakukan kepada raja dan permaisuri. Sekarang, sungkem dilakukan kepada
semua orang tua.
12
2. Jamuan Ketupat
Ketupat merupakan keretoboso (singkatan dalam bahasa Jawa) dari kata
Ngaku Lepat yang berarti mengakui kesalahan. Maknanya dengan tradisi
ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahannya dengan orang
lain, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahaan orang lain.
Singkatnya, semua dosa akan terlebur bersamaan dengan hari raya Idul Fitri.
Bagi masyarakat Jawa, ketupat memiliki makna filosofi mendalam.
Ketupat dibuat dari 3 bahan utama yaitu:
a. Janur kuning (pelepah daun kelapa muda) simbol penolak bahaya.
b. Beras simbol kemakmuran.
c. Santan (sari buah kelapa) dalam bahasa Jawa disebut santen, berirama
dengan kata ngapunten, berarti memohon maaf.
Tradisi syawalan kaya dengan kearifan dan nila-nilai karakter yang patuh
dianut oleh masyarakat Indonesia, diantaranya :
1. Sebagai sarana untuk saling berinteraksi yang baik dan menyenangkan.
Melalui halal-bihalal seseorang akan saling berinteraksi satu sama
laing untuk saling maaf dan memaafkan. Kegiatan tersebut merupakan
perbuatan baik yang dilakukan saat Idul Fitri dan menyenangkan.
2. Sebagai perekat persatuan dan kesatuan dan mendorong orang untuk jujur.
Adanya kerelaan untuk saling memaafkan membuktikan bahwa
semua orang berdasarkan masing-masing strata sosialnya melebur untuk
mengakui kesalahannya dengan jujur, lalu memohon maaf atas kesalahan
yang diperbuat.
Idul Fitri dengan tradisi syawalan diharapkan mampu menghadirkan
kesejukan, keharmonisan, dan obat-obat kemanusiaan lainnya.

H. Kearifan Tradisi Suronan


“Suro” adalah nama bulan pertama dalam kalender Jawa. Menurut Ahmad
Izzudin (2008), syuro berasal dari bahasa arab, syuro. Tepatnya berasal dari
penggalan sabda Nabi Muhammad saw “Asyuro yaumul asyir.” Asyuro adalah
hari kemenangan para nabi sebelum kamu semua. 13
Istilah syuro kemudian digunakan untuk menyebut hari 10 Muharam, yang
konon penuh dengan kejadian religius. Misalnya :
a. Peristiwa pertama kali Allah menciptakan manusia yakni Nabi Adam sekaligus
memerintahkan Nabi Adam untuk menetap di surga.
b. Peristiwa mendaratnya kapal Nabi Nuh di gunung Al-Judy setelah peristiwa
banjir bandang yang menenggelamkan dunia.
c. Penyelamatan Nabi Ibrahim oleh Allah dari kobaran api.
d. Peristiwa penyelamatan Nabi Yunus keluar dari perut ikan besar setelah
beberapa hari ada didalamnya.
Serangkaian tradisi Suronan itu diantaranya doa bersama, sedekah, dan
labuhan. Labuhan yaitu kegiatan keliling dengan membawa makanan yang tertata
rapi dalam sebuah nampan melingkar lebar, dilakukan di puncak gunung atau
pantai.
Tradisi Suronan kaya dengan kearifan dan nila-nilai karakter yang patuh
dianut oleh masyarakat Indonesia, diantaranya :
1. Sebagai wujud rasa syukur masyarakat Jawa kepada Tuhan karena telah
memberi rizki yang melimpah selama setahun.
2. Sarana untuk merenung, instropeksi diri agar lebih dekat dengan sang pencipta.

14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kearifan lokal merupakan suatu kekhasan budaya yang dimiliki oleh suatu
daerah tertentu. Setiap daerah memiliki ciri khas yang membedakannya dengan
daerah lain. Budaya yang dimiliki oleh suatu daerah mengandung nilai-nilai
karakter yang baik untuk dilakukan individu.
Masyarakat Jawa memiliki filsafat hidup orang jawa yang disebut
“kejawen” yaitu masyarakat dengan segala budayanya memiliki nilai-nilai luhur.
Masyarakat Jawa juga memiliki etika hidup orang jawa. Dalam hal ini, tingkah
laku masyarakat Jawa diatur dalam aturan yang disebut “unggah-ungguh”
Ada banyak tradisi-tradisi yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jawa
dan kebiasaan tersebut mengandung karakter-karakter positif. Contoh dari tradisi
tersebut adalah Tradisi menyambut bulan puasa, tradisi mudik, tradisi suronan,
dan tradisi syawalan.

B. KESIMPULAN
Berdasarkan makalah yang kami buat, kami memberikan saran bahwa :
1. Kita harus melestarikan budaya Jawa yang kita miliki karena selain itu
sebagai warisan bangsa, itu mengandung nilai-nilai yang positif.
2. Kita harus mempertahankannya dengan cara tetap melaksanakan tradisi-
tradisi Jawa.
3. Kita harus menerapkan etika hidup Orang Jawa agar terarah dalam
berperilaku.
4. Dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya kita melaksanakan pola hidup asuh
keluarga Jawa.

15
DAFTAR PUSTAKA

Geertz, H. 1983. Keluarga jawa. Jakarta : Grafiti Pers


Herusatoto, Budiono. 2005. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta :
Hanindita
Kodiran. 1976. Kebudayaan Jawa dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta : Jambatan
Kuntowiijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana
Wahono, Francis. 2005. Pangan, Kearifan Lokal, dan Keanekaragaman Hayati.
Yogyakarta : Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas
Wibowo, Agus, Gunawan. 2015. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal di
Sekolah. Yogyakarta : Pustaka Belajar
Wibowo, Agus. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa
Berperadaban. Yogyakarta : Pustaka Belajar

16

Anda mungkin juga menyukai