Anda di halaman 1dari 22

TUNA RUNGU

MATA KULIAH BIMBINGAN di SD dan ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Dosen Pengampu:

Dr. Halida M.Pd

Disusun Oleh :

Dinda Puspitasari F1081221069


Safa Atika Suri F1081221039
Putri Amalia F10812210053

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah singkat tepat pada waktunya.
Adapun judul dari makalah singkat ini adalah “Anak Tuna Rungu”.
Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada dosen mata kuliah Bimbingan Di SD Dan Anak Berkebutuhan Khusus
yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan makalah singkat ini. Selain itu,
penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan makalah singkat ini. Penulis menyadari bahwa dalam
menulis makalah singkat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun diharapkan dapat membuat makalah singkat ini menjadi lebih
baik serta bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Pontianak, 21 Agustus 2023

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Anak tunarungu memiliki hambatan dalam pendengaran akibatnya individu


tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut
tunawicara. Cara berkomunikasi seseorang yang menyandang tuna rungu dengan
individu lain yaitu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan
secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara.
Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi, rata-rata
dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal dan rata-
rata. Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak
normal karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti
pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak
tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal.
Prestasi anak tunarungu yang rendah bukan disebabkan karena intelegensinya rendah
namun karena anak tunarungu tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki.
Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah, namun aspek
intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang dengan
cepat.
Anak Tunarungu menunjukkan kesulitan mendengar dari kategori ringan
sampai berat, digolongkan ke dalam kurang dengar dan tuli. Tunarungu adalah orang
yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi
bahasa melalui pendengarannya, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu
dengar dimana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan
keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran. Tulisan ini dalam bentuk
kualitatif tentang anak tunarungu dan solusi yang dimungkinkan untuk mengatasi
kebutuhan khusus. diantaranya : melalui media pembelajaran dengan menunjukkan
foto-foto, video, kartu huruf, kartu kalimat, anatomi telinga, miniatur benda, finger
elphabet, model telinga, torso setengah badan, puzzle buah-buahan, puzzle binatang,
puzzle konstruksi, silinder, model geometri, menara segitiga, menara gelang, menara
segi empat, atlas, globe, peta dinding, miniatur rumah adat. Anak tunarungu
memerlukan media belajar berupa alat peraga untuk memperkaya perbendaharaan
bahasa. Alat-alat peraga itu antara lain miniatur binatang-binatang, miniatur manusia,
gambar-gambar yang relevan, buku perpustakaan yang bergambar, dan alat-alat
permainan anak.

2. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang dibahas pada materi ini adalah:

1. Apa pengertian anak tunarungu?


2. Apa saja klasifikasi anak tunarungu?
3. Bagaimana karakteristik anak tunarungu?
4. Apa penyebab terjadinya anak tunarungu?
5. Apa saja dampak tunarungu terhadap anak?
6. Bagaimana intervensi atau Pendidikan anak tunarungu?
7. Bagaimana model layanan Pendidikan anak tunarungu?

3. TUJUAN PEMBAHASAN

Adapun Tujuan Dari Pembahasan Pada Materi Ini Adalah:

1. Untuk mengetahui pengertian anak tunarungu


2. Untuk mengetahui klasifikasi anak tunarungu
3. Untuk menjelaskan karakteristik anak tunarungu
4. Untuk mengetahui penyebab terjadinya anak tunarungu
5. Untuk mengetahui dampak tunarungu terhadap anak
6. Untuk menjelaskan intervensi atau Pendidikan anak tunarungu
7. Untuk menjelaskan model layanan Pendidikan anak tunarungu
BAB 2

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN ANAK TUNARUNGU


Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada
pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau
bahkan tidak dapat mendengar sama sekali, tetapi dipercayai bahwa tidak ada
satupun manusia yang tidak bisa mendengar sama sekali. Walaupun sangat
sedikit, masih ada sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada
anak tunarungu tersebut. Berkenaan dengan tunarungu, terutama tentang
pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian sesuai dengan pandangan
masing-masing. Menurut Andreas Dwidjosumarto mengemukakan bahwa
seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu.
Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang
dengar (hard of hearing) (Laila, 2013: 10).
Menurut Soewito dalam buku Ortho paedagogik Tunarungu adalah :
“Seseorang yang mengalami ketulian berat sampai total, yang tidak dapat
menangkap tuturkata tanpa membaca bibir lawan bicaranya”. Anak tunarungu
adalah anak yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar baik itu
sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan kerusakan fungsi pendengaran baik
sebagian atau seluruhnya sehingga membawa dampak kompleks terhadap
kehidupannya

2. KLASIFIKASI ANAK TUNARUNGU


Klasifikasi menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris.
Untuk kepentingan pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut :
Dwidjosumarto (1990) mengemukakan :

a. Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), Penderita hanya


memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.
b.Gangguan pendengaran ringan (41-55dB), penderita kadang-kadang
memerlukan penempatan sekolah secara khusus, dalam kebiasaan sehari-hari
memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

c. Gangguan pendengaran sedang, kehilangan kemampuan mendengar antara 56


sampai 70dB

d. Gangguan pendengaran berat, kehilangan kemampuan mendengar sampai 90


dB keatas
Penderita dari tingkat sangat ringan dan ringan dikatakan mengalami
ketulian.Dalam kebiasaan sehari-hari mereka sesekali latihan bericara,
mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan pendidikan secara
khusus.Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat sedang dan
berat pada hakekatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi dalam dunia
pendidikan diperlukan untuk menentukan bagaimana intervensi yang akan
dilakukan lembaga terkait. Ada banyak jenis klasifikasi termasuk yang sudah
dipaparkan di atas. Klasifikasi di atas merupakan jenis klasifikasi yang membagi
tunarungu menjadi beberapa kelompok sesuai dengan tingkat kehilangan
kemampuan pendengarannya, sifat terjadi kerusakan, tempat terjadi kerusakan,
dan taraf penguasaan bahasa.

3. KARAKTERISTIK ANAK TUNARUNGU


Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ
pendengaran atau telinga seseorang anak. Kondisi ini menyebabkan mereka
memiliki karakteristik yang khas, berbeda dari anak normal pada umumnya.
Beberapa karakteristik anak tunarungu diantaranya adalah:
a. Segi Fisik
1. Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk akibat terjadinya
permasalahan pada organ keseimbangan di telinga. Itulah sebabnya anak-
anak tunarungu mengalami kekurangan keseimbangan dalam aktivitas
fisiknya.
2. Pernapasannya pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah
mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana
bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang baik, sehingga
mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya
dalam berbicara.
3. Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indra
yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu karena
sebagian besar pengalamannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena
itu anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual sehingga cara
melihatnya selalu menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat
beringas
b. Segi Bahasa
1. Kosa kata yang dimiliki tidak banyak.
2. Sulit mengartikan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatik.
3. Tata bahasanya kurang teratur
c. Intelektual
1. Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu
tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual. Namun akibat
keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan
intelektualnya menjadi lamban
2. Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Sering
terjadinya keterlambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya
hambatan dalam berkomunikasi, dalam segi akademik anak tunarungu juga
mengalami keterlambatan
d. Sosial-Emosional
1. Sering merasa curiga dan berprasangka. Sikap seperti ini terjadi akibat
adanya kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat memahami apa
yang dibicarakan orang lain sehingga anak-anak tunarungu menjadi mudah
merasa curiga.
2. Sering bersikap agresif. Anak-anak tunarungu bersikap agresif karena
mereka merasa tidak bisa mengartikan apa yang dikatakan orang lain. Anak
tunarungu juga mengalami kelainan dalam fungsi pendengarannya sehingga
menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dengan orang yang bisa
mendengar. Hal ini tentu saja bisa menghambat pengembangan potensi yang
dimilikinya.
Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan sehari-hari, anak
tunarungu memiliki hak sebagai berikut (Laili, 2013:10) :
a) Hak mendapatkan perlindungan sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945
alinea ke-4
b) Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
c) Anak tunarungu sebagai warga negara Republik Indonesia mempunyai
kedudukan yang sama baik dalam hukum maupun dalam pemerintahan, jadi
walaupun mereka itu mempunyai kelainan dalam indera pendengarannya,
tetapi mereka berhak mendapat kedudukan yang sama seperti halnya anak
yang lain dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
d) Anak tunarungu berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak
seperti halnya anak-anak yang normal
Adapun kewajiban anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang ada
padanya adalah sebagai berikut:
1) Kewajiban anak tunarungu akan dirinya sendiri, yang meliputi:
a) Mencintai dirinya
b) Menerima keadaan dirinya
c) Menyadari akan nasibnya
d) Memelihara kesehatan dan kebersihan dirinya
e) Berusaha mengembangkan kemampuannya
2) Kewajiban bersekolah/belajar
a) Taat dan patuh pada peraturan sekolah
b) Mengikuti seluruh kegiatan yang diselenggarakan sekolah
c) Menghormati kepala sekolah, guru, dan mereka yang dianggap lebih tua
dari padanya dan sepatutnya untuk dihormati
d) Berbuat baik terhadap teman-teman sekelas dan teman-teman satu sekolah
e) Menjaga citra sekolah
3) Kewajiban dalam lingkungan keluarga dan masyarakat
a) Patuh dan taat pada orang tua
b) Berlaku baik pada saudara
c) Mengikuti jejak anggota keluarga
d) Ikut ambil bagian dalam tugas sebagai anggota keluarga
e) Menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, sesuai dengan
kemampuan yang ada padanya
f) Menghormati anggota masyarakat
g) Turut ambil bagian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan
yang ada padanya

4. PENYEBAB TERJADINYA ANAK TUNARUNGU


Kehilangan pendengaran bisa disebabkan oleh faktor genetik, infeksi pada ibu
seperti cacar air selama kehamilan, komplikasi ketika melahirkan, atau penyakit
awal
masa kanak-kanak seperti gondok atau cacar air. Banyak anak sekarang ini
dilindungi
dari kehilangan pendengaran dengan vaksinasi seperti untuk mencegah infeksi.
Tanda-tanda masalah pendengaran adalah mengarahkan salah satu telinga ke
pembicara, menggunakan salah satu telinga dalam percakapan, atau tidak
memahami
percakapan ketika wajah pembicara tidak dapat dilihat indikasi lain adalah tidak
mengikuti arahan, sering kali meminta orang untuk mengulang apa yang mereka
katakan, salah mengucapkan kata atau nama baru, atau tidak mau berpartisipasi
dalam diskusi kelas (Anita, 2004 : 608).
Sebab-sebab kelainan pendengaran atau tunarungu juga dapat terjadi sebelum
anak dilahirkan, atau sesudah anak dilahirkan. Menurut Sardjono mengemukakan
bahwa faktor penyebab ketunarunguan dapat dibagi dalam:
A. Faktor-faktor sebelum anak dilahirkan (pre natal)
1) Faktor keturunan Cacar air,
2) Campak (Rubella, Gueman measles)
3) Terjadi toxaemia (keracunan darah)
4) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
5) Kekurangan oksigen (anoxia)
6) Kelainan organ pendengaran sejak lahir
B. Faktor-faktor saat anak dilahirkan (natal)
1) Anak lahir pre mature
2) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)
3) Proses kelahiran yang terlalu lama
C. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan (post natal)
1) Infeksi
2) Meningitis (peradangan selaput otak)
3) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
4) Otitismedia yang kronis
5) Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan.

5. DAMPAK TUNARUNGU TERHADAP ANAK

Menurut Busono (1984) ada beberapa dampak ketunarunguan yaitu :


1. Bagi anak tuna rungu sendiri
Sehubungan dengan karakteristik tunarungu yaitu miskin dalam kosakata, sulit
memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang megandung kiasan,
adanya gangguan bicara, maka hal-hal itu merupakan sumber masalah pokok bagi
anak tersebut.
2. Bagi keluarga
Lingkungan keluarga merupakan faktor yang mempunyai pengaruh penting dan
kuat terhadap perkembangan anak terutama anak luar biasa. Anak ini mengalami
hambatan sehingga mereka akan sulit menerima norma lingkungannya. Berhasil
tidaknya anak tunarungu melaksanakan tugasnya sangat tergantung pada bimbingan
dan pengaruh keluarga.Tidaklah mudah bagi orang tua untuk menerima kenyataan
bahwa anaknya menderita kelainan/cacat.Reaksi pertama saat orang tua mengetahui
bahwa anaknya menderita tunarungu adalah merasa terpukul dan bingung. Reaksi ini
kemudian diikuti dengan reaksi lain. Reaksi-reaksi yang tampak biasanya dapat
dibedakan atas bermacam-macam pola yaitu :
a. Timbulnya rasa bersalah atau berdosa
b. Orang tua menghadapi cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak
memenuhi harapannya
c. Orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anakanak lain
d. Orang tua menerima anaknya beserta keadaannya sebagaimana mestinya.
Sikap orang tua sangat tergantung pada reaksinya terhadap kelainan anaknya
itu. Sebagai reaksi dari orang tua atas sikap-sikapnya itu maka :
a. Orang tua ingin menebus dosa dengan jalan mencurahkan kasih sayangnya secara
berlebihan kepada anaknya.
b. Orang tua biasanya menolak kehadiran anaknya.
c. Orang tua cenderung menyembunyikan anaknya atau menahannya dirumah.
d. Orang tua bersikap realistis terhadap anaknya.
Sikap-sikap orang tua ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan kepribadian anaknya. Sikap-sikap yang kurang mendukung keadaan
anaknya tentu saja akan menghambat perkembangan anak, misalnya dengan
melindunginya atau dengan mengabaikannya.
3. Bagi masyarakat
Pada umumnya orang masih berpendapat bahwa anak tunarungu tidak dapat
berbuat apapun.Pandangan yang semacam ini sangat merugikan anak tunarungu.
Karena adanya pandangan ini biasanya dapat kita lihat sulitnya anak tunarungu untuk
memperoleh lapangan pekerjaan.
Disamping pandangan karena ketidakmampuannya tadi, ia sulit untuk bersaing
dengan orang normal. Kemudian memperoleh pekerjaan di masyarakat
mengakibatkan timbulnya kecemasan, baik dari anak itu sendiri maupun dari
keluarganya, sehingga lembaga pendidikan dianggap tidak dapat berbuat sesuatu
karena anak tidak dapat bekerja sebagaimana biasanya.Oleh karena itu, masyarakat
hendaknya dapat memperhatikan kemampuan yang dimiliki anak tunarungu
walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari pekerjaan yang telah lazim dilakukan
oleh orang normal.
4. Bagi penyelenggara pendidikan
Perhatian akan kebutuhan pendidikan bagi anak tunarungu tidaklah dapat
dikatakan kurang karena terbukti bahwa anak tunarungu telah banyak mengikuti
pendidikan sepanjang lembaga pendidikan itu dapat dijangkaunya. Persoalan baru
yang perlu mendapat perhatian jika anak tunarungu tetap saja harus sekolah pada
sekolah khusus (SLB) adalah jika anak-anak tunarungu itu tempat tinggalnya jauh
dari SLB, maka tentu saja mereka tidak akan dapat bersekolah.
Rupanya usaha itu tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya cara untuk
menyekolahkan mereka. Usaha lainnya yang mungkin akan dapat mendorong anak
tunarungu dapat bersekolah dengan cepat adalah mereka mengikuti pendidikan pada
sekolah normal/biasa dan disediakan program-program khusus bila mereka tidak
mampu mempelajari bahan pelajaran seperti anak normal.
Dapat disimpulkan dampak ketunarunguan tidak hanya mempengaruhi di
kehidupan anak tunarungu sendiri, dampak tersebut juga berepengaruh terhadap
keluarganya maupun masyarakat disekitar lingkungan tempat ia tinggal. Sehingga
perhatian kebutuhan akan pendidikan bagi anak tunarungu sangat diperlukan.

6. INTERVENSI ATAU PENDIDIKAN ANAK TUNARUNGU

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi siswa yang memiliki tingkat


kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Dalam
melakukan assesmen sekolah bekerja sama dengan instansi terkait dan psikolog.
Proses pembelajaran integrasi di sekolah inklusi membaurkan siswa ABK dengan
siswa normal. Proses pembelajaran dapat dikaitkan dengan pengalaman belajar
siswa. Karena hambatan yang ada dalam diri siswa ABK, maka siswa ABK pada
umumnya tidak bisa mengikuti proses pembelajaran yang dirancang untuk siswa-
siswa pada umumnya/reguler (Direktorat PLB, 2010: 93).
Ketentutan umum dijelaskan pada pasal 1 tentang keluarbiasaan bahwa
pendidikan luar biasa adalah pendidikan khusus diselenggarakan bagi peserta didik
yang menyandang kelainan fisik & mental. Tujuan pendidikan luar biasa seperti
disampaikan pada pasal 2 BAB II, yaitu membantu peserta didik yang menyandang
kelainan fisik & mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar.

7. MODEL LAYANAN PENDIDIKAN ANAK TUNARUNGU

1) Bentuk Layanan Pendidikan Segregasi


Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah
dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus
melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang
dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk
anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan kusus diberikan layanan
pendidikan pada pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan
khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Bias, Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.
Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua.
Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya kekhawatiran
atau keragaman terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada
anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan
metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, untuk anak tuna
netra, mereka memerlukan layanan khusus berupa braille, orientasi mobilitas.
Anak tuna rungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi: anak tuna
daksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesilbilitas, dan layanan terapi untuk
mendukung fungsi fisiknya.
Ada empat bentuk pelayanan pendidikan dengan sistem segregasi yaitu:
a) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk
SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai
dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu
unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah
dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan
saja) sehingga ada SLB untuk tuna netra (SLB-A), SLB untuk tuna rungu (SLB-
B), SLB untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB
untuk tuna laras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat
dasar dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem
individualisasi.
Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula yang
mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk
Anak tuna rungu dan tuna grahita. SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tuna netra,
tuna rungu, tuna grahita, dan tuna daksa. Hal ini terjadi karena jjumlah anak yang
ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.

b) Sekolah Luar Biasa Berasrama


Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang
dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB bersrama tinggal di asrama.
Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga
di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit
asrama. Bentuk satuan pendidikannya pun juga sama dengan bentuk SLB di atas,
sehingga ada SLB-A untuk tuna netra, SLB untuk tuna rungu (SLB-B), SLB
untuk tuna grahita (SLB-C), SLB untuk tuna daksa (SLB-D), dan SLB untuk tuna
laras (SLB-E), serta SLB AB untuk anak tuna netra dan tuna rungu.
Pada SLB berasrama terdapat kesinambungan program pembelajaran yang ada
di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan empat pembinaan
setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah
yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka
terbatas fasilitas antar jemput.

c) Kelas Jauh / Kelas Kunjung


Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk
memeeberi layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh
dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh /kelas kunjung merupakan
kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta
pemerataan kesempatan belajar.
Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan
sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di
kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung menjadi
tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut
berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung
(itenerant teacher). Kegiatan admistrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.

d) Sekolah Dasar Luar Biasa


Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan
khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan
yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tuna netra, tuna rungu,
tuna grahita, dan tuna daksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk tuna
netra, guru untuk tuna rungu, guru untuk tuna grahita, guru untuk tuna daksa, guru
agama, dan guru olah raga. Selain tenga kependidikan, di SDLB dilengkapi
dengan tenaga ahli.yang berkaitan dengan kelainan mereka, antara lain dokter
umum, dokter spesialis, fisioterapis, psikolog, speech therapish, audiolog. Selian
itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikululum yang digunakan di
SLB untuk tingkat dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya. Kegiatan
belajat dilakukan secara individual, kelompok dan klasikal sesuai dengan
ketunaan masing-masing.pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan
individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB
juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tuna
netra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi moobilitas;
anak tuna rungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total bina
persepsi bunyi dan irama; tuna grahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri;
anak tuna daksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik.
Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB
konvensional uuntuk tingkat dasar, yaitu anak tuna netra, tuna grahita, dan tuna
daksa selama 6 tahun, dan anak tuna rungu 8 tahun.
Sejalan dengan perbaikan istem perundangan di RI yaitu UU RI no.2 tahun
1989 dan PPNo.72 Tahun 1991, dalam pasal 4 PP No.72 Tahun 1991 satuan
pendidikan luar biasa terdiri dari:
a) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6
tahun.
b) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3
tahun.
c) Sekolah Menengah Luar Biasa (SMALB) minimal 3 tahun.
Selain itu, pasal 6 PP No.72 Tahun 1991 juga dimungkinkan
penyelenggaraaan Taman Kanak-Kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama
pendidikan satu sampai tiga tahun.
2) Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu / Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu
yakni sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada
suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat
menyeluruh, sebagian, keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak
berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10% dari jumlah siswa
keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya satu jenis kelainan. Hal ini untuk
menjaga beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melyani
berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkenutuhan khusus,
di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat
berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah atau anak
berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu GPK juga berfungsi sebagai
pembimbing di ruang bimbingan khusus tau guru kelas pada kelas khusus.
Ada 3 bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986), ketiga bentuk tersebut adalah:
a) Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di
kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu,
sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang
studi semaksimal mungkin dengan memeperhatikan petunjuk-petunjuk khusus
dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk
keterpaduan ini sering juga disebut dengan keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini, guru pembimbing khusus hanya berfungsi
sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orang
tua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus
berfungsi sebagai penasehat kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar
anakcberkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi
untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa
ini tidak berbeda dengan yang digunakan dalam seolah umum. Tetapi, untuk
beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya,
untuk anak tuna netra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis,
membaca, perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tuna rungu mata
pelajaran kesenian, bhasa asing/bahasa Indonesia ( lisan) perlu disesuaikan
dengan kemampuan wicara anak.

b) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus


Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus, belajar di kelas biasa
dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk
mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus
bersama dengan anak noormal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang
bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK) dengan menggunakan
pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan
teersebut di ruang bimbingan khusus dilengkai dengan peralatan khusus untuk
memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tuna netra, di
ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi
mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan
sebagian.

c) Bentuk Kelas Khusus


Dalam keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan
sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah
umum yang melaksanakan program pendidikan tepadu. Keterpaduan ini disebut
juga dengan keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat
sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai
pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang
digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan di
SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, yang artinya
anak berkebutuhan khusus yang dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non
akademik, seperti olah raga, ketrampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam
istirahatatau acara lain yang diadakan oleh sekolah.

3) Sekolah Inklusi

Pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang tidak membeda-


bedakan latar belakang kehidupan anak karena keterbatasan fisik maupun mental
(Muhammad Takdir Ilahi, 2013: 23). Filosofi pendidikan inklusi sebenarnya
hampir sama dengan falsafah bangsa ini yaitu bhineka tunggal ika, yaitu
menanamkan falsafah keberagaman dalam kehidupan bernegara tetapi memiliki
tekad yang sama. Hal ini menunjukan bahwa bangsa ini telah memahami benar
keberagaman di masyarakat. Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini
dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi secara
formal ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada konferensi dunia tentang
pendidikan khusus tahun 1994 yang menyatakan bahwa “prinsip dasar dari
pendidikan inklusi adalah selama memungkinkan semua anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada
pada mereka (Dadang Garnida, 2015: 41-42).
Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang
memberikan apresiasi kepada anak berkebutuhan khusus. Model yang dilakukan
di sekolah inklusi ini menghilangkan keterbatasan dengan menggunakan prinsip
pendidikan untuk semua. Program inklusi menyediakan sistem layanan
pendidikan bagi siswa normal atau reguler dan anak berkebutuhan khusus.
Metode Pembelajaran Sesuai dengan Keterbatasan Kemampuan Anak (Febri
Yatmiko, 2015: 78). Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif perlu adanya
penyesuaian terhadap kebutuhn karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus,
untuk itu sekolah perlu melakukan berbagai modifikasi dan penyesuaian, mulai
dari kurikulum, tenaga pendidik, sistem pembelajaran, sistem penilaian, sarana
dan prasarana untuk meningkatkan mutu pendidikan yang efektif dan efisien
sesuai dengn harapan masyarakat. Pelaksanaan Layanan
Pembelajaran di kelas inklusi Pelaksanaan layanan pembelajaran di kelas inklusi
bisa diterapkan melalui beberapa model kelas yaitu: a. Kelas Reguler Model
kelas reguler anak berkebutuhan khusus belajar dengan anak lain sehari penuh
di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. b. Kelas Reguler
dengan Klaster Model kelas reguler dengan klaster adalah anak berkebutuhan
khusus belajar bersama anak lain di kelas reguler dengan kelompok khusus.
c. Kelas
Reguler dengan Pull Out Model kelas reguler dengan pull out adalah anak
berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain namun dalam waktu-waktu
tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber belajar untuk belajar dengan
guru pembimbing khusus. Model kelas ini menekan saling kerjasama, saling
membantu, saling menghargai, dan memberikan kesempatan yang sama bagi
semua anggota dalam kelas untuk mencapai kemampuan yang telah ditetapkan,
maka akan ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk mendapatkan layanan
pendidikan khusus. Menurut Vaughn Bos dan Schuman (Pedoman
penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, dalam buku Muhammad Takdir Ilahi) empat
unsur yang harus di penuhi sehingga bisa dikatakan pembelajaran model kelas
reguler dengan pull out yaitu komunikasi kelas yang hangat, menerima
keanekaragaman dan menghargai perbedaan, komunikasi antar anggota, dan
kesempatan yang sama untuk berhasil (Muhammad Takdir Ilahi, 2013: 97).
d. Kelas Reguler dengan Klaster dan Pull Out
Model kelas reguler dengan klaster dan pull out adalah anak berkebutuhan khusus
belajar dengan anak lain di kelas reguler dengan kelompok khusus, dan dalam
waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber belajar dengan
guru pembimbing khusus. e. Kelas Khusus dengan berbagai
Pengintegrasian Model kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian adalah anak
berkebutuhan khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu
dapat belajar bersama anak lain di kelas reguler.
f. Kelas Khusus Penuh Model kelas
khusus penuh adalah anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas pada
sekolah reguler (Geniofom, 2010: 64).

BAB 3

PENUTUP

1. KESIMPULAN
2. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai