Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PERKEMBANGAN MASA PRANATAL DAN BAYI

“Teori Behavioristik”

Dosen Pengampu :
Dr. Yasmin Faradiba, M.Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 2

Adina Azzahra Putri Salsabila 1105623017


Dayanah Laila Az-Zahra 1105623031
Fenia Dwi Aryanti 1105623063
Mayang Pepriyani 1105623016
Meliyanti 1105623018
Nadya Indah Sari Tazudin 1105623033

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana. Adapun judul dari makalah ini adalah “Teori Behavioristik”.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada dosen mata kuliah
Perkembangan Masa Pranatal dan Bayi yang telah memberikan tugas kepada kami dan kami
juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan dari semua pihak. Semoga makalah ini berguna bagi kami dan pihak lain yang
berkepentingan.

Jakarta, 4 Maret 2024

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii


DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
C. Tujuan............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 3
A. Teori Behavioristik ......................................................................................................... 3
B. Teori Behavioristik: John B. Watson .............................................................................. 5
C. Teori Behavioristik: Ivan P. Pavlov (Classical Conditioning) ....................................... 6
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 13
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 13
B. Saran ............................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori behavioristik merupakan suatu teori psikologi yang berfokus pada perilaku nyata
dan tidak terkait dengan hubungan kesadaran atau konstruksi mental. Teori behavioristik
menganggap manusia itu bersifat pasif dan segala sesuatunya tergantung pada stimulus
yang didapatkan. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang
berupa stimulus, dan keluaran atau output yang berupa respons. Teori ini sangat
menekankan pada hasil, yaitu perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dinilai
secara konkret untuk mempelajari proses pengembangan individu.
Dalam dunia psikologi, teori-teori behavioristik telah menjadi pendekatan yang
dominan dalam memahami perilaku manusia dan hewan. Salah satu tokoh utama dalam
pengembangan teori behavioristik adalah John B. Watson, seorang ahli psikologi Amerika,
yang memperkenalkan konsep behaviorisme yang menekankan pengamatan perilaku
sebagai metode utama dalam studi psikologi. Watson berargumen bahwa perilaku dapat
dipelajari dan diprediksi dengan memahami hubungan antara stimulus eksternal dan
respons yang dihasilkan.
Di sisi lain, Ivan P. Pavlov, seorang ahli fisiologi Rusia, dikenal karena penemuannya
tentang pengkondisian klasik. Pavlov menunjukkan bahwa makhluk hidup dapat belajar
untuk mengasosiasikan stimulus netral dengan stimulus yang menyebabkan respons
tertentu. Penelitiannya terutama dilakukan pada anjing, di mana ia menemukan bahwa
anjing dapat belajar untuk mengaitkan bunyi lonceng dengan pemberian makanan,
sehingga bunyi lonceng itu sendiri kemudian dapat memicu respons yang sama dengan
pemberian makanan.
Melalui penelitian mereka, Watson dan Pavlov telah memberikan wawasan yang
mendalam tentang bagaimana lingkungan dan pengalaman mempengaruhi pembentukan
perilaku. Mereka menegaskan bahwa perilaku manusia dan hewan dapat dipahami melalui
proses belajar yang melibatkan asosiasi antara stimulus dan respons. Dengan memahami
prinsip-prinsip dasar teori behavioristik, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih
baik tentang bagaimana individu belajar, beradaptasi, dan bereaksi terhadap lingkungan
mereka.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari uraian diatas, maka masalah yang akan diidentifikasi
dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian dari teori behavioristik?
2. Bagaimana belajar menurut pandangan teori behavioristik?
3. Apa saja ciri-ciri teori belajar behavioristik?
4. Bagaimana teori behavioristik menurut John B. Watson?
5. Apa yang melatarbelakangi adanya teori classical conditioning?
6. Bagaimana konsep dasar dari teori classical conditioning?
7. Apa saja prinsip-prinsip dasar teori classical conditioning?
8. Bagaimana implikasi dari teori classical conditioning dalam pembelajaran?

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian teori behavioristik
2. Menjelaskan mengenai belajar menurut pandangan teori behavioristik
3. Memaparkan ciri-ciri dari teori belajar behavioristik
4. Menjelaskan teori belajar menurut John B. Watson
5. Menjelaskan latar belakang teori classical conditioning
6. Menjelaskan konsep dasar teori classical conditioning
7. Memaparkan prinsip-prinsip dasar teori classical conditioning
8. Memaparkan implikasi dari teori classical conditioning dalam pembelajaran

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Behavioristik
1. Pengertian Teori Behavioristik
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah laku manusia.
Menurut Desmita (2009:44) teori behavioristik merupakan teori memahami tingkah
laku manusia yang menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik,
sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya
pengkondisian. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya
dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan
dengan mengamati kegiatan bagian-bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan
pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi
atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Teori behavioristik disebut juga stimulus-response theory (S-R), kelompok ini
mencakup tiga teori, yakni S-R bond, conditioning, dan reinforcement. Kelompok ini
lahir dari asumsi bahwa anak atau individu tidak membawa potensi apa-apa dari
kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari
lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Hasil belajar adalah hasil perubahan
tingkah laku yang dapat diamati dan menekankan pada pengaruh faktor eksternal pada
diri anak (Santrock, 2008).
Teori behavioristik memandang bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh
berbagai kejadian yang ada di lingkungannya, karena lingkungan tersebut
memberikan berbagai pengalaman. Behavioristik menekankan perubahan perilaku
yang dapat diamati, diukur, dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui
rangsangan yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif, maka anak atau individu
akan merespons.

2. Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik


Teori belajar behavioristik adalah sebuah aliran dalam teori belajar yang sangat
menekankan pada perlunya tingkah laku (behavior) yang dapat diamati. Menurut
aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara
kesan yang ditangkap panca indra dengan kecenderungan untuk bertindak atau
hubungan antara stimulus dan respons. Oleh karena itu, teori ini juga dinamakan teori
stimulus-respons (S-R).

3
Berdasarkan teori behavioristik, belajar dapat dimaknai sebagai latihan-latihan
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons (Slavin, 2000). Respons
merupakan reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar yang dapat berupa
pikiran, perasaan, dan tindakan. Syarat utamanya adalah stimulus dan respons harus
benar-benar dapat diamati dan diukur. Sehingga, walaupun diakui adanya perubahan
mental dalam diri seseorang dalam proses belajar, tetapi faktor tersebut dianggap tidak
relevan karena tidak dapat diamati.
Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulus) yang menimbulkan perilaku
reaktif (respons berdasarkan hukum-hukum mekanistik). Stimulus tidak lain adalah
lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab
belajar. Sementara respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap
stimulan.

3. Ciri-ciri Teori Belajar Behavioristik


Teori belajar behavioristik menitikberatkan pada pemikiran bahwa semua
tingkah laku manusia dapat dianalisis melalui refleks atau respons terhadap stimulus
dari lingkungan. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa perilaku yang kompleks dapat
dipecah menjadi rangkaian perilaku yang lebih sederhana, yang pada dasarnya
merupakan hasil dari pembelajaran melalui interaksi dengan lingkungan.
Pengkondisian lingkungan, melalui proses seperti pengkondisian klasik dan operan,
menjadi mekanisme utama di balik pembelajaran menurut pandangan behavioristik.
Menurut Ahmadi (2003:46), teori belajar behavioristik mempunyai ciri-ciri,
diantaranya:
a. Aliran ini mempelajari perbuatan manusia bukan dari kesadarannya, melainkan
mengamati perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan kenyataan. Pengalaman-
pengalaman batin di kesampingkan serta gerak-gerak pada badan yang dipelajari.
Oleh sebab itu, behaviorisme adalah ilmu jiwa tanpa jiwa.
b. Segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme mencari unsur-unsur
yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan kesadaran yang dinamakan
refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap suatu pengarang. Manusia
dianggap sesuatu yang kompleks refleks atau suatu mesin.
c. Behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua orang adalah sama.
Menurut behaviorisme pendidikan adalah maha kuasa, manusia hanya makhluk yang

4
berkembang karena kebiasaan-kebiasaan, dan pendidikan dapat mempengaruhi
reflek keinginan hati.

B. Teori Behavioristik: John B. Watson


John Broadus Watson, seorang ahli psikologi dianggap sebagai salah satu tokoh
revolusioner dan sebagai pendiri aliran Behavioristik. Hasil penelitian Watson yang
terkenal (1920) adalah mengenai bayi yang berusia 11 bulan bernama Albert.
Diperlihatkan pada bayi itu seekor tikus putih yang tidak ditakutinya. Di belakangnya
diperdengarkan suara keras dengan cara memukul batang baja dengan palu. Rasa takut
yang ditimbulkan oleh suara keras menyebabkan rasa takut terkondisikan pada tikus.
Albert menggeneralisasikan rasa takut ini dengan rangsangan lain yang mirip, termasuk
dengan kelinci, mantel bulu, dan jenggot sinterklas. Watson berpendapat bahwa rasa takut
dan cemas pada manusia biasa berasal dari pengalaman masa kanak-kanak yang mirip.
Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku
manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting.
Pandangan Watson dalam teori behavioristik berbeda secara fundamental dengan teori
Freud yang mengatakan bahwa Id, ego, dan Superego dapat dilihat. Watson meyakini
bahwa aspek seperti emosi, alam bawah sadar, dan semua proses mental yang tidak
dapat diamati secara langsung tidak dapat dijadikan dasar ilmiah. John Watson
mempresentasikan belajar merupakan proses interaksi (hubungan timbal balik) antara
stimulus dan respon. John Watson beranggapan bahwa stimulus dan respons tersebut harus
dapat diamati (observable) dan diukur (be measured). Stimulus adalah semua objek di
lingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang
dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat
tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar.
Dalam proses belajar John Watson mengakui akan terjadi perubahan mental tapi karena
perubahan mental tersebut tidak dapat diamati/diukur maka hal tersebut tidak perlu
diperhitungkan. John watson merupakan seorang menganut ajaran teori belajar belajar
behavioristik murni, pendapat tersebut dapat diketahui dengan keilmuannya beliau yang
berorientasi pada pengalaman empirik (benar terjadi pada masa lampau) yaitu sejauh hal
tersebut dapat diamati/diukur. Dalam hasil pemikiran John Watson mengenai teori
behavioristik terdapat 3 (tiga) dasar konsep utama yaitu:
a. Cabang eksperimental dari natural science merupakan psikologi, sehingga introspeksi
tidak ditempatkan pada konsep dasar utama aliran John Watson.

5
b. Psikologi sejauh ini telah gagal dalam membuktikan jati diri sebagai natural science.
Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah keputusan untuk menjadikan bidang
kesadaran sebagai objek psikologi. Sehingga diperlukan penghapusan/penghilangan
kesadaran/mind dari ruang lingkup kajian psikologi.
c. Objek studi kajian psikologi yang sebenarnya merupakan perilaku nyata.

C. Teori Behavioristik: Ivan P. Pavlov (Classical Conditioning)


1. Latar Belakang Teori Classical Conditioning
Ivan Petrovich Pavlov lahir pada 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia adalah
seorang ahli fisiologi Rusia yang terkenal karena pengembangan konsep refleks
terkondisi. Sewaktu muda Ivan Pavlov dididik di sekolah gereja kemudian melanjutkan
ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar
fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fisiologi pada Institute of
Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan.
Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine
tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi
behavioristik di Amerika. Pavlov bukan seorang sarjana psikologi dan ia pun tidak mau
disebut sebagai ahli psikologi. Namun, peranan Pavlov dalam psikologi sangat penting,
karena studinya mengenai refleks-refleks merupakan dasar bagi perkembangan aliran
psikologi behaviorisme. Pandangannya yang paling penting adalah bahwa aktivitas
psikis sebenarnya tidak lain daripada rangkaian-rangkaian refleks belaka. Karena itu,
untuk mempelajari aktivitas psikis (psikologi) kita cukup mempelajari refleks-refleks
saja.
Teori classical conditioning muncul dari upaya Ivan Pavlov mempelajari
bagaimana suatu makhluk hidup. Secara umum dalam psikologi, teori belajar makhluk
hidup selalu dikaitkan dengan stimulus dan respon. Selain itu, teori-teori perilaku
menjelaskan respon makhluk hidup dengan menghubungkan pengalaman dan
rangsangan yang dihasilkan dari lingkungan tertentu. Proses hubungan yang
berkesinambungan antara respon yang terjadi dengan stimulus yang diberikan ini
diartikan sebagai proses belajar. Dalam dunia psikologi belajar tersebut, salah satu teori
yang mencoba menjelaskan hubungan antara stimulus dan respon adalah teori
conditioning yang diperkenalkan oleh Ivan Petrovich Pavlov (1849–1936). Ivan
Petrovich Pavlov atau lebih dikenal dengan Ivan Pavlov adalah seorang behavioris

6
(penganut paham behaviorisme) yang terkenal dengan pandangannya bahwa ada
hubungan yang kuat antara suatu stimulus dengan respon seseorang.

2. Konsep Dasar Teori Classical Conditioning


Pada dasarnya, teori ini menjelaskan bahwa proses belajar yang paling
sederhana adalah pengkondisian. Pavlov menemukan hal ini ketika dia sedang
mempelajari fungsi perut dan mengukur jumlah cairan yang dikeluarkan dari perut,
ketika anjing yang dia gunakan sebagai subjek eksperimen sedang makan. ketika
Pavlov mengukur sekresi perut saat anjing merespons bubuk makanan yang ia berikan,
Pavlov menyadari bahwa anjing itu mengeluarkan air liur hanya karena melihat
makanan. Air liur juga dikeluarkan oleh anjing ketika mendengar suara langkah kaki
peneliti. Pavlov pada awalnya menganggap respons ini sebagai refleks "psikis".

(Gambar 1. https://images.app.goo.gl/udpQ8WESTGcQCPgE9)
Gambar 1 menunjukkan sebuah selang yang dimasukkan melalui pipi anjing,
dan air liurnya dikumpulkan pada tabung percobaan dan dicatat di drum yang berputar
ke kiri.
Pada tahap berikutnya, ia berusaha untuk mengembangkan dan mengeksplorasi
temuannya dengan mengembangkan sebuah studi perilaku yang dikondisikan. Studi ini
kemudian dikenal sebagai classical conditioning, yaitu suatu bentuk belajar yang
memungkinkan suatu makhluk untuk menunjukkan reaksi tertentu terhadap rangsangan
yang sebelumnya tidak menimbulkan reaksi tersebut. Dengan kata lain, mekanisme
classical conditioning merupakan suatu proses pembentukan perilaku yang dapat
diterapkan pada makhluk hidup agar mereka memiliki bentuk perilaku tertentu.

7
Komponen Dasar Teori Classical Conditioning
Unsur pokok yang dibutuhkan dalam melahirkan Pengkondisian Pavlovian atau
Pengkondisian Klasik adalah:

1. Unconditioned Stimulus (US)/Stimulus yang tak dikondisikan untuk menimbulkan


respon alamiah atau otomatis dari organisme.
2. Unconditioned Response (UR)/Respon yang tak dikondisikan atau respon alamiah
yang timbul akibat adanya stimulus yang tak dikondisikan (US).
3. Conditioned Stimulus (CS)/Stimulus yang dikondisikan merupakan stimulus netral
yang tidak menimbulkan respon alamiah atau otomatis pada organisme.
4. Conditioned Response (CR)/Respon yang dikondisikan yang timbul akibat adanya
campuran atau kombinasi antara stimulus yang tak dikondisikan dengan stimulus
yang dikondisikan.
Untuk memproduksi CR maka CS dan US harus dipasangkan beberapa kali.
Prosedur ini digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Prosedur training: CS – US – UR
Demonstrasi Pengkondisian: CS (disajikan sendiri) – CR
Eksperimen Pavlov:

(Gambar 2. https://images.app.goo.gl/EUnbsBZ1B7XxqDqY6)
Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas
a. Gambar pertama (before conditioning), menunjukkan anjing mengeluarkan air liur
(UCR) saat diberikan sebuah makanan (UCS).
b. Gambar kedua (before conditioning), menunjukkan bahwa anjing tidak merespon
bunyi bel dan tidak mengeluarkan air liur.

8
c. Gambar ketiga (during conditioning), anjing diberikan sebuah makanan (UCS)
setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan
air liur (UCR) akibat pemberian makanan.
d. Gambar keempat (after conditioning) menunjukkan bahwa setelah dilakukan
perlakuan ini secara berulang-ulang, maka ketika anjing mendengar bunyi bel (CS)
tanpa diberikan makanan, anjing akan memberikan respon secara mandiri berupa
keluarnya air liur dari mulutnya (CR).
Eksperimen ini membahas bagaimana cara untuk membentuk perilaku agar ia
merespons bunyi bel dengan mengeluarkan air liur, meskipun ia tidak diberi makan.
Karena pada awalnya (gambar kedua), anjing tidak memberikan reaksi apapun terhadap
bunyi bel.
Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel, kemudian
mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka
kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan
hilang. Hal ini disebut dengan extinction atau penghapusan.
Kesimpulan dari percobaan ini adalah bahwa perilaku sebenarnya tidak lain
hanyalah kumpulan refleks terkondisi, yaitu refleks yang sebelumnya diasosiasikan
dengan rangsangan tak terkondisi seiring berjalannya waktu, menjadi terkait dengan
rangsangan terkondisi, yaitu refleks yang terjadi setelah proses pengkondisian. Dengan
kata lain, gerakan refleksif dapat dipelajari dan diubah melalui latihan. Sehingga
dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar
(unconditional refleks), keluar air liur ketika melihat makanan yang lezat dan refleks
bersyarat atau refleks yang dipelajari (conditioned refleks), keluar air liur karena
menerima atau bereaksi terhadap suara bunyi tertentu.
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua
macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai
reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks
yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali
tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Menurut teori conditioning, belajar itu adalah suatu proses perubahan yang
terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi

9
(response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar, maka harus diberikan syarat-syarat
tertentu. Yang terpenting dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya
latihan-latihan yang continue (terus-menerus). Yang diutamakan dalam teori ini adalah
hal belajar yang terjadi secara otomatis.

3. Prinsip-prinsip Dasar Teori Classical Conditioning


Ada 4 prinsip utama dalam eksperimen Ivan Pavlov, antara lain:
a. Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi sebagai contoh,
anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi.
Faktor yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi
paling cepat ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama
(makanan) dengan selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu
lebih lama dan respons yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama
antara pemberian stimulus kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi
mengikuti stimulus utama sebagai contoh, jika anjing menerima makanan sebelum
lonceng berbunyi conditioning jarang terjadi.
b. Fase Eliminasi (extinction)
Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara
permanen. Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi
respons kondisi dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama.
Jika seekor anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng,
peneliti dapat secara berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan
mengulang-ulang bunyi lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya. Maka
kemampuan stimulus terkondisi (bunyi lonceng) untuk menimbulkan respons (air
liur) akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction atau penghapusan.
c. Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada
kemungkinan juga ia merespons stimulus yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika
seorang anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut
kepada anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena
ini disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan

10
generalisasi yang kurang intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya
menjadi berkurang terhadap anjing yang lebih kecil.
d. Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu
belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus dan tidak dari stimulus
yang sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak
memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin
memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung
dalam kandang.

4. Implikasi Teori Classical Conditioning dalam Pembelajaran


Teori Classical Conditioning dalam pembelajaran menjelaskan bagaimana
pengalaman yang berulang-ulang dan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi
perilaku serta pemahaman peserta didik. Konsep ini mencakup proses pengkondisian
refleks yang dikenal sebagai pengkondisian klasik, yang pertama kali diungkapkan oleh
Ivan Pavlov. Dalam pengkondisian klasik, stimulus yang semula netral menjadi terkait
dengan stimulus lain yang secara alami menimbulkan respon tertentu, sehingga
stimulus netral tersebut kemudian dapat memicu respon yang sama. Dengan demikian,
teori ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana pembelajaran
dapat terjadi melalui asosiasi antara stimulus dan respon.
Cara menerapkan teori Classical Conditioning dalam pembelajaran dapat
dilakukan melalui berbagai metode, seperti:
1. Pengkondisian kelas menggunakan bel sekolah
Guru memanfaatkan bel sekolah sebagai stimulus yang berkaitan dengan awal dan
akhir sesi pembelajaran. Dengan menggunakan bel sekolah secara konsisten
sebelum dan sesudah pembelajaran, guru dapat mengkondisikan peserta didik untuk
secara otomatis mempersiapkan diri dan fokus pada materi pembelajaran yang akan
disampaikan saat bel tersebut berbunyi. Dengan demikian, bel sekolah tidak hanya
berfungsi sebagai penanda waktu, tetapi juga sebagai pemicu respons yang
mengarah pada kesiapan belajar dan fokus dalam proses pembelajaran.
2. Pengkondisian kelas menggunakan nyanyian atau lagu tertentu
Guru dapat menggunakan nyanyian atau lagu yang spesifik sebagai stimulus yang
berkaitan dengan pembelajaran yang akan diajarkan. Dengan mengaitkan nyanyian
atau lagu tersebut dengan konsep atau informasi yang akan diajarkan, guru

11
menciptakan suatu hubungan asosiatif antara stimulus (nyanyian atau lagu) dan
respons (penerimaan atau pemahaman materi pembelajaran). Seiring waktu, peserta
didik akan mengasosiasikan nyanyian atau lagu tersebut dengan pembelajaran yang
ditetapkan, sehingga ketika nyanyian atau lagu tersebut dimainkan, mereka akan
lebih mudah terkondisikan untuk mengikuti pembelajaran dengan lebih baik.
3. Pengkondisian kelas melalui sapaan dan ucapan salam
Dengan menggunakan sapaan dan ucapan salam secara konsisten sebelum memulai
pembelajaran, guru dapat membantu mengkondisikan peserta didik agar terhubung
dengan suasana pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam konteks ini, sapaan dan
ucapan salam bertindak sebagai stimulus yang memicu respons positif dari peserta
didik, sehingga membantu menciptakan kondisi yang mendukung proses
pembelajaran yang efektif.
4. Menggunakan metode dan media yang variatif
Penggunaan berbagai metode dan media pembelajaran dapat menjadi stimulus yang
efektif untuk mengarahkan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran yang telah
direncanakan. Ini berarti guru dapat menggunakan berbagai cara dan alat yang
berbeda untuk menarik perhatian peserta didik dan membantu mereka memahami
materi pelajaran. Dengan melakukan ini, guru dapat menciptakan pengalaman
pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi peserta didik, sehingga membantu
mereka memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang materi pelajaran yang
diajarkan.
5. Pemberian contoh perilaku dan peringatan yang dilakukan secara berulang-ulang
Pemberian contoh perilaku dan peringatan yang dilakukan secara berulang-ulang
merupakan teknik yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan peserta didik
dalam pembelajaran. Dengan memberikan contoh-contoh yang baik dan mengulang
peringatan secara konsisten, guru dapat membantu peserta didik untuk memahami
dan mengikuti aturan serta prosedur pembelajaran yang telah ditetapkan.
Dalam penerapan implikasi teori Classical Conditioning dalam pembelajaran,
penting bagi guru untuk memilih stimulus yang digunakan dengan hati-hati. Stimulus
yang digunakan sebagai pemicu respons harus dipilih sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan dampak negatif atau merangsang perilaku yang tidak diinginkan pada
peserta didik. Selain itu, stimulus tersebut juga tidak boleh terlalu kuat atau terlalu
lemah, agar peserta didik dapat dengan mudah memahami dan mengikuti proses
pembelajaran yang telah direncanakan.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang mempelajari tingkah laku manusia.
Berdasarkan teori behavioristik, belajar dapat dimaknai sebagai latihan-latihan
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. John Broadus Watson,
seorang ahli psikologi dianggap sebagai salah satu tokoh revolusioner dan sebagai pendiri
aliran Behavioristik. Dalam proses belajar John Watson mengakui akan terjadi perubahan
mental tapi karena perubahan mental tersebut tidak dapat diamati/diukur maka hal tersebut
tidak perlu diperhitungkan. Ahli teori behavioristik lainnya adalah Ivan P. Pavlov yang
terkenal dengan teori Classical Conditioning. Teori classical conditioning muncul dari
upaya Ivan Pavlov mempelajari bagaimana suatu makhluk hidup.

B. Saran
Teori behavioristik penting untuk dipelajari terlebih bagi pendidik. Pemahaman tentang
teori behavioristik sangat penting bagi pendidik karena memberikan wawasan yang
mendalam tentang bagaimana manusia belajar, dapat mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang
mendukung dan merangsang pertumbuhan dan perkembangan siswa. Dalam menerapkan
salah satu teori behavioristik yaitu classical conditioning dalam pembelajaran, guru perlu
memilih stimulus dengan bijak agar tidak menimbulkan dampak negatif atau merangsang
perilaku yang tidak diinginkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Istiadah, F. N. (2020). Teori-teori belajar dalam pendidikan. edu Publisher.


Nahar, N. I. (2016). Penerapan teori belajar behavioristik dalam proses pembelajaran.
NUSANTARA: jurnal ilmu pengetahuan sosial, 1(1).
Nasucha, J. A., Ismail, M., & Khoirotun, U. (2021). Relevansi Teori Behavioristik ‘Classical
Conditioning’ dalam Meningkatkan Kemampuan Motorik Anak Didik Pada Kelompok
Belajar Anggrek, Taman, Sidoarjo. Journal of Early Childhood Education Studies.
1(2).
Nurlina, N., & Bahri, A. (2021). Teori belajar dan pembelajaran. Makassar: CV. Berkah Utami.
Swasti, I. K., Badi’ah, R. Anugrahadi, Y. D., & Odelia, E. M. (2022). Perubahan Perilaku
dengan Operant Conditioning dan Classical Conditioning pada Pendidikan dan
Pelatihan TOEFL Online Mahasiswa UPN “Veteran” Jawa Timur. Journal MEBIS.
7(1).

14

Anda mungkin juga menyukai