Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ISLAM DAN BUDAYA MINANGKABAU


TENTANG

SEJARAH SOSIAL MASYARAKAT MINANGKABAU

DISUSUN OLEH:

Dhea Ananda Saputri (2214080052)

Fajar Eka Mahendra (2214080053)

Putri Madinah Aulia NST (2214080064)

Temi Setiawan (2214080051)

DOSEN PENGAMPU:

Drs. Zulfahmi HB, M. Hum.

PRODI TADRIS FISIKA B

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, berkat hidayah dan rahmat-
NYA kami dapat menyusun makalah yang berjudul Sejarah Sosial Masyarakat
Minagkabau . Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW.

Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang turut ikut membantu dalam menyelesaikan makalah ini terutama kepada dosen
pengampu mata kuliah Islam dan Budaya Minangkabau yaitu Drs. Zulfahmi HB, M .
Hum. yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyusun makalah tentang
Ketahanan Nasioanal Dan Bela Negara.

Dalam makalah ini terdapat pembahasan Kerajaan Kerajaan di Minangkabau,


Masukkan Islam di Minangkabau, Persingguangan Islam dengan Adat Minangkabau,
Integrasi Islam dengan Adat Minangkabau.

Kami sebagai pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak
kekurangan dari berbagai aspek. Sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran agar
penyusunan makalah kami menjadi lebih baik kedepannya. Kami juga berharap
makalah ini dapat member manfaat bagi banyak pihak.

Padang, 14 Maret 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DARTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Masalah..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Kerajaan-kerajaan di Minangkabau ............................................................3


B. Masuknya Islam di Minangkabau................................................................11
C. Persinggungan Islam dengan Adat Minangkabau ......................................12
D. Integrasi Islam dengan Adat Minangkabau ................................................14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................................16
B. Saran............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Minangkabau adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi seluruh hukum
adat istiadatnya, sesuai dengan pepatah Minangkabau adat basandi syarak. syarak basandi
kitabullah. Yang artinya di mana adat Minangkabau di dasarkan oleh syariat agama islam
dan syariat tersebut berdasarkan atas Al-Quran dan Hadist. Berbicara mengenai
Minangkabau sama artinya berbicara mengenai ajaran - ajaran Islam. Bagi masyarakat
Minangkabau, adat merupakan jalan kehidupan, cara berpikir, cara berlaku, dan cara
bertindak. Dari cara-cara tersebut maka terlahirlah sebuah kebudayaan.
Setiap nagari atau wilayah dihuni oleh beberapa kaum atau suku yang dimana
dalam setiap kaum atau suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang di sebut Datuak.
Kepla suku yang menjabat dipilih secara demokratis oleh kaum atau sukunya masing-
masing, laki-laki dan perempuan, untuk masa seumur hidup. Sistem sosialnya ialah
fraterniti, yang artinya semua orang bersaudara yang diikat oleh hubungan darah dan
perkawinan.
Di dalam masyarakat Minangkabau terdapat empat peristiwa penting di
kehidupan, yakni pada saat perkawinan, pengangkatan penghulu atau kepala kaum,
mendirikan rumah gadang, dan kematian, Empat peristiwa ini dinilai penting karena
merupakan tonggak penentuan status sosial bagi seseorang ataupun kaum di
Minangkabau.
Prosesi atau rangkaian perkawinan di dalam masyarakat Minangkabau di sebut
dengan istilah Baralek. Minangkabau mengartikan perkawinan merupakan penentuan
status seorang kemenakan menjadi dewasa, dimana setelah menikah laki -laki minang
akan menjadi sumando sekaligus mamak (paman) bagi keluarga pihak istri. Sumando
merupakan sebutan untuk laki-laki Minang yang telah menjadi menantu dari pihak
keluarga istrinya. Sedangkan perempuan minang akan menjadi mande bagi keluarganya
sendiri. Mande merupakan istilah panggilan untuk seorang ibu.
Puti Reno Raudha Thaib dalam bukunya yang berjudul Palaminan Minangkabau
menuliskan bahwa perkawinan bagi individu Minangkabau merupakan peresmian
seorang laki laki atau perempuan dari suatu kaum memasuki dunia dewasa. Perkawinan
menjadi sebuah peresmian atau terjadinya hubungan timbal balik yang seimbang antara
dua kaum yang dihubungkan dalam tali atau ikatan perkawinan tersebut. Karena begitu
pentingnya makna sebuah perkawinan pada suku Minangkabau, maka baralek menjadi

1
upacara penggabungan antara dua kaum yang berbeda dengan masing-masing kebesaran,
kehormatan, harga diri, dan kekayaan.
Ada tiga jenis perkawinan dalam adat Minangkabau, yang pertama ialah
perkawinan ideal yaitu perkawinan sakampuang, sanagari dan antar keluarga dekat seperti
perkawinan anak dengan keponakan yang di sebut pulang ka bako, perkawinan ini akan
mempererat hubungan kekeluargaan yang merupakan wujud dari ungkapan anak
dipangku kemenakan dibimbiang. Kedua, perkawinan pantang yang apabila dilaksanakan
akan mendapatkan sanksi sesuai hukum adat, sebab perkawinan ini dapat merusak tatanan
adat, seperti perkawinan yang setali darah menurut sistem matrilineal, sekaum dan sesuku
meskipun tidak meiliki hubungan kekerabatan. Ketiga, perkawinan sumbang yakni
perkawinan yang dapat merusak kerukunan sosial dan harga diri seperti perkawinan
dengan mantan kaum kerabat, sahabat dan tetangga dekat, mempermadu perempuan yang
sekerabat, sepergaulan. perkawinan dengan orang yang sudah tunangan dan perkawinan
dengan anak tiri saudara kandung. Perkawinan ini tidak dilarang oleh adat Minangkabau,
namun pada umumnya dipandang sebag yang tidak bermoral dan tidak beradat.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan kerajaan kerajaan yang ada di minangkabau ?
2. Jelaskan bagaimna masuknya islam ke minangkabau ?
3. Jelaskan persinggungan islam dengan adat minangkabau?
4. Bagaimana integrasi islam dengan adat minangkabau ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja kerajaan yang ada di minangkabau
2. Untuk mengetahui bagaimana masuknya islam ke minangkabau
3. Untuk mengetahui persinggunagan islam dengan adat minangkabau
4. Untuk mengetahui integrasi islam dengan adat minangkaba

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerajaan Kerajaan Di Minangkabau


Kito di alam minangkabau la patuik tasintak pulo
Katiko balun talampau elok dirunuik sitambo lamo

Periode abad ke-1 M hingga abad ke-16 M di Minangkabau, banya berdiri


kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan itu antara lai Kesultanan Kuntu, Kerajaan
Kandis, Kerajaan Siguntur, Kerajaa Pasumayan Koto Batu, Kerajaan Bukit Batu Patah,
Kerajaan Sungai Pag Kerajaan Inderapura, Kerajaan Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang
Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Bungo Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaa Kinali,
Kerajaan Parit Batu. Kerajaan Pulau Punjung dan Kerajaa Pagaruyung. Kerajaan-kerajaan
ini tidak pernah berumur panjang, da biasanya berada di bawah pengaruh kerajaan-
kerajaan besar yait Kerajaan Melayu dan Kerajaan Pagaruyuang Dari sekian banyal
kerajaan yang ada di Minangkabau, baik kerajaan kecil maupun kerajaan besar, yang
paling tersohor dan banyak diceritakan dalam tambo Minangkabau adalah Kerajaan
Melayu, Kerajaan Inderapura das Kerajaan Pagaruyuang

1. Kerajaan Melayu
Kerajaan Malayu merupakan kerajaan terbesar yang ada d Minangkabau.
Kerajaan ini terletak di hulu sungai Batang Hari yan diperkirakan muncul pada abad ke-7
M (645 M). Berdasarkan Prasast Kedukan Bukit, kerajaan ini ditaklukan oleh Sriwijaya
pada tahun 682 N. Dan kemudian tahun 1183 muncul lagi berdasarkan Prasast Grahi di
Kamboja, dan kemudian
Negara Kertagama dan Pararaton mencatat adanya Kerajaan Malayu yang
beribukota di Dharmasraya. Sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275-
1293 M di bawah pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari. Dan setelah
penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di Prasasti Padang Roco, tim Expedisi
Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta dua putri Raja Dharmasraya yaitu
Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya (raja
Majapahit pewarts kerajaan Singasari), sedangkan Dara Jingga dengan Adwaya Brahman.
Dari kedua putri ini lahirlah Jayanagara, yang menjadi raja kedua Majapahit dan
Adityawarman kemudian hari menjadi raja Pagaruyung.
Pada kawasan Dharmasraya dahulunya pernah berdiri sebuah Kerajaan Melayu

3
dengan nama ibu kotanya Pulau Punjung, Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-
undang No. 38 Tahun 2003 dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Sijunjung
Kabupaten Dharmasraya dikenal juga dengan sebutan Ranah Cati Nan Tigo. Kabupaten
ini diambil dari manuskrip yang terdapat pada prasasti Padang Roco, di mana pada
prasasti itu disebutkan Dharmasraya sebagai ibukota dari kerajaan Melayu waktu itu.
Kerajaan ini muncul setelah kejatuhan kerajaan Sriwijaya di abad 13-14, di mana
daerah kekuasaan kerajaan ini merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya
sebelumnya, yaitu mulai dari Semenanjung Malaya hingga Sumatera. Reichle, N. (2007)
menyatakan, selain itu nama Dharmasraya juga disebutkan dalam catatan sejarah kerajaan
Majapahit, Nagara Kertagama, sebagai salah satu daerah asal.

a. Daerah kekuasaan Dharmasraya


Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadira dengan gelar
Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendr Mauli Warmadewa dan
menamakan kerajaannya dengan nam Malayapura. Setelah membantu Majapahit dalam
melakukan beberap penaklukan, pada tahun 1347 Masehi (Kern, J.aH.C:1907). Kerajaan
in merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, da memindahkan ibu
kotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalama (Pagaruyung atau Suruaso) (Casparis, J.
G. de:1992). Walaupun ibu ko kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman,
Dharmasray tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya. Tetapi statusny berubah
menjadi raja bawahan.

a. Daftar Raja Dhamasraya


Berikut ini daftar nama raja Dhamasraya:
Tahun Nama raja atau Ibu kota / pusat Prasasti, catatan pengiriman
(masehi) gelar pemerintah utusan ke Tiongkok serta
peristiwa
1183 Srimat dharmasraya Prasasti grahi tahun 1183 di
Trailokyaraja selatan thailand, perintah
Maulibhusana kepada bupati grahi yang
Warmadewa bernama maha senapati galanai
supaya membuat arca buddha
seberat 1 bara 2 tula dengan
nilai emas 10 tamlin.
1286 Srimat dharmasraya Prasasti padang roco tahun

4
Tribhuwanar 1286 di siguntur
Raja meuli (kabupaten dharmasraya
Warmadewa sekarang di sumatra barat),
pengiriman arca Amoghapasa
sebagai hadiah raja singhasari
kepada raja dharmasraya.
1316 Akarendrawarman Dharmasraya atau Prasasti saruaso dikabupaten
pagaruyung atau tanah datar sekarang, dimana
suruaso aditiyawarman menyelesaikan
pembangunan selokan yang
dibuat oleh raja sebelumnya
yaitu Akarendrawarman.
1347 Srimat Sri Pagaruyung atau Memindahkan pemerintah ke
udayadtiawarman suruaso pagaruyung atau suruaso,
Pratapaparak menuskrip pada arca
rama Rajendra amogapasa bertarikh 1347 di
Maulimali kabupaten dhamasraya
Warmadewa sekarang, prasasti suruaso dan
prasasti kubu rajo di kabupaten
tanah datar sekarang

b.Runtunya Kerajaan Melayu


Kerajan Melayu mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
raja Adityawarman. Isteri Adityawarman adalah Put Jamilan dalam sejarah nasional
sering disebut permaisuri (isteri yang sah menurut hukum), dan dalam sejarah adat
Minangkabau beliau disebut sebagai Bundo Kanduang. Adityawarman wafat pada tahun
1376 Masehi dengan meninggalkan kelanjutan kerajaan kepada putra mahkota bernama
Ananggawarman. Adityawarman meninggal dunia dengan meninggalkan pasukan
kerajaan yang sangat kuat sehingga beliau mampu membawa Kerajaan Melayupura
mencapai puncak kejayaannya. Pasukan-pasukan inilah yang berperang bersama
Ananggawarman menggempur tentara kerajaan Majapahit dan mengalahkannya.
Semenjak itu Majapahit tak pernah lagi menyerang kerajaan di Sumatera itu.
Perperangan yang banyak memakan korban itu membawa ak S yang amat fatal
bagi kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu tidak man tw mempertahankan daerah-daerah
kekuasaannya yang begitu b Daerah-daerah taklukan sebelumnya yang begitu banyak m

5
memisahkan diri dan berotonomi penuh, di samping itu pengaruh Is F pun mulai
menyebar di wilayah Kerajaan Melayu.

2. Kerajaan Inderapura
Inderapura berasal dari bahasa Sanskerta, yang bermakna K Raja. Inderapura
pada awalnya adalah kawasan rantau Minangkabau. Sebagai kawasan rantau, Inderapura
dipimpin oleh wa yang ditunjuk dari Pagaruyung dan bergelar Raja (Richa Farmer:
1822), dan kemudian juga bergelar Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai
putra Raja Alam atau yang Dipertuan Pagaruyung (Netscher, E.:1850).
Kerajaan Inderapura merupakan sebuah kerajaan yang berada diwilayah
kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat, berbatasan dengan Provinsi
Bengkulu dan Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan Kerajaan
Pagaruyung, walau pada praktiknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur
urusan dalam dan luar negerinya.
Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai Barat Sumatera, mulai
dari Padang di Utara sampai Sungai Hurai di Selatan. Produk terpenting Inderapura
adalah lada dan emas. Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat
Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511 M. Arus perdagangan yang tadinya melalui
Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai Barat Sumatera dan Selat Sunda.
Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada (Kathirithamby-
Wells, J. :1976).
Saat Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai ke wilayah Pariaman,
Inderapura menghentikan ekspansi tersebut dengan menjalin persahabatan dengan Aceh
melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Inderapura
(Iskandar, T., :1966), dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu, Sultan Ali
Ri'ayat Syah (1568-1575 M). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya,
Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (Banda Aceh).
Berdasarkan laporan Belanda, pada tahun 1616 M Inderapura digambarkan
sebagai sebuah kerajaan yang makmur di bawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar
30.000 rakyatnya terlibat dal pertanian dan perkebunan yang mengandalkan komoditi
beras dan la (Kathirithamby-Wells, 1-1976). Setelah ekspedisi penghukuman tahu 1633
M oleh Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 M Inderapura te tidak mampu
mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil telah diperoleh pada masa-masa
sebelumnya. Di saat penurun pengaruh Aceh, Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan
konsolid kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhamm Syah yang

6
naik tahta sekitar tahun 1660 M. dan mulai kembali menja hubungan diplomatik dengan
Belanda dan Inggris.
a. Wilayah kekuasaan Kerajaan Inderapura
Pada akhir abad ke-17 M. pusat wilayah Inderapura y mencakup lembah sungai
Airhaji dan Batang Inderapura, terdina cha puluh kita. Maxing musing koto diperintah
oleh seorang meme yang berfungsi seperti penghulu di wilayah Minangkabau lai
Sementica pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Ma stan Airlikt (disebut
sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muks tha (Lama Koto), sistem pemerintahannya
tidak jauh berbeda.
Untuk kawasan utara, disebut dengan Bando Sapuluah (Bandar Sepuluh) yang
dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar Raja airhaji, Raja Bungo Pasang,
Raja Kambang, dan Raja Palangai) kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10
daerah atau nagari (negeri) yang juga masing-masingnya dipimpin oleh 10 orang
penghulu (Kathirthanby Wells :1976). Pada kawasan bagian Selatan sistem pemerataan
yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang peroatin (kepala yang bertanggung
jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59
orang. Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.
Pada penghujung abad ke-17 M. para peroatin masih berfungsi sebagai kepala
wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya
Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung Menteri Dua Puluh Koto di
Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Kotn bertugas
mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas
pertahanan (Kathirithamby-Wells. 1.:1976).

a. Daftar Raja Inderapura

Tahun Nama atau gelar Catatan dan


peristiwa
penting
1550 Sultan Munawar Syah
Raja Mamulia
1580 Raja Dewi Nama lainnya
Putri Rekna
Candra Dewi
1616 Raja itam

7
1624 Raja Besar
1625 Raja puti Nama lainnya
Putri Rekna
Alun
1633 Sultan Muzzafar Syah
Raja Malfarsyah
1660 Sultan muhammad Syah Raja adil
menuntut hak
yang sama.
1691 Sultan Mansur Syah Sultan
Gulemat
putra Raja
Adil
berkedudukan
di Manjuto
melepaskan
diri dari
Inderapura.
1696 Raja pesisir
1760 Raja pesisir II
1790 Raja pesisir III

b. Runtuhnya Kerajaan Inderapura


Kerajaan Inderapura merupakan daerah yang kaya akan lada rempah-rempah
dan emas. Tiga jenis produksi ini merupakan hasi terbesar dan sumber kekayaan
Inderapura. Tetapi oleh produksi lada dan emas itu pulalah Indrapura jatuh dan tak
sanggup berdiri lagi Pasalnya, Inderapura diincar dengan mata gelap oleh pemburu-
pemburu emas Nusantara yang datang dari berbagai negeri. Bangsa Portugis dan Spanyol,
misalnya, menjelajahi dunia untuk mencari emas, sampai mereka menelusuri pantai Barat
Sumatera mencari Pulau Emar itu di seldtar Pulau Nias.
Bangsa Portugis mendengar cerita tentang Ilha De Ouro (pulau) emas) pada
awal abad ke-16 M di India, lalu mereka berangkat pula menuju Sumatera. Tercatat
Diogo Pacheo sebagai orang Eropa pertama yang memasuki Sumatera, dengan ekspedisi
yang telah diperlengkapi untuk pencarian Ophir, negeri Emas Nabi Sulaiman yang
diperkirakan adalah salah satu dari gunung-gunung emas di Sumatera. Namun penduduk

8
Sumatera tidak ada yang mau mengatakan di mana emas itu ada.
Saat itu, para pemburu emas dan rempah-rempah banyak berpetualang ke
Sumatera Barat. Namun, dari sekian banyak pelabuhan emas dan rempah-rempah di
Sumatera yang dikunjungi para petualang tersebut, khususnya ke pantal pesisir Barat
Sumatera seperti Pancur. Tikai Pariaman, Sungai Nyalo, Tarusan, Bayang Salido, Kota
Sepuluh, dan Bengkulu, ternyata tidak banyak yang mengenal Inderapura.
Kesultanan Inderapura merupakan kunci yang memegang rahasia urat-tunggang
perjalanan sejarah Raja-raja Melayu Nusantara seperti: Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, Bugis Malcanar, Jogyakarta, Surakarta, Banten, Betawi, Siak Sri
Indrapura, Sriwijaya, Dharmasraya, Pariangan, Minangkabau, Pagaruyung dan Aceh,
yang kemudian menyebar ke daerah lain di kawasan nusantara ini. Raja terakhir
Kerajaan Kesultanan Inderapura adalah Sultan Muhammad Bakhi gelar Sultan
Firmansyah, yang memerintah pada tahun 1860-1891 M. Kerajaan Inderapura berdiri
pada abad IX sampai akhir abad XIX. Hal ini memperlihatkan keberhasilan
pemerintahannya yang mampu bertahan selama 10 Abad, sebagai sebuah pemerintahan
Kesultanan Islam di Nusantara ini.

3. Kerajaan Pagaruyung
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri,
dengan wilayahnya meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di
sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat
Minangkabau, yakni diambil dari nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung.
a. Berdirinya kerajaan Pagaruyung
Kapan munculnya Kerajaan Paganiyung sebagai sebuah
Kerajaan Melayu di Minangkabau, tidak dapat diketahui dengan pasti. Dari Tamboyang
diterima oleh masyarakat Minangkabau, tak ada yang memberika penanggalan pasti dari
setiap peristiwa yang diceritakan. Bahkan jik menganggap Adityawarman sebagai pendiri
dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa
prasasta yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukkan bahwa Adityawarman
memang pernah menjadi raja di kerajaan tersebut Begitu juga, dari manuskrip yang
dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa, disebutkan
bahwa pada tahun 1347 M Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di
Malayapura.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau
sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga

9
musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak Dilihat dari kontinuitas sejarah. Kerajaan
Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat
setempat.
b. Wilayah Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung
Tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumater tempat di
mana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai Timur Arcat (antara Aru dan Rokan)
ke Jambi, dan kota-kota pelabuhan pantai Barat Panchur (Hanus), Tiku dan Pariaman.
Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri. Siak dan Arcat merupakan bagian
dari tanah Minangkabau, dengan Telok sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau
tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri
kemudian lepas dan ditaklukkan olehKesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh. Wilayah
ini dapat dilacak dari pernyataan tambo berbahasa Minang ini:

Dari sikilang ala bangih


Hingga taratak ala hitam
Dari durian ditakuak rajo
Hingga sialang balantak basi

Sikilang Aia Bangih ialah batas Utara, di daerah Pasaman Barat sekarang yang
berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Ala Hitam ialah di daerah Bengkulu.
Durian Ditakuak Rojo ialah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang
Balantak Basi ialah wilayah di Rantau Barangin. Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Sekaran
c.Runtuhnya Kerajaan Pagaruyung
oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekah sekitar tahun 1603 M. yaitu
Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang
belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau (Azra, Aryumardi: 2004).
Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung
keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang
tergabung dalam Harimau Nan Salapan (Ampera Salim, Zulkifli 2005).
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak yang
dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta kaum adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa kali
perundingan tidak ada kata sepakat antara kaum Padri dengan kaum adat. Seiring itu
beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Puncaknya pada tahun 1815 M.

10
Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan
pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan. (Nain, Sjafnir
Aboe:2004).
Karena terdesak oleh kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta
bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka juga telah melakukan diplomasi dengan
Inggris. Pada tanggal 10 Februari 1821 M Sultan Tangkal Alam Bagagar, yaitu
kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang, beserta 19 orang
pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama
melawan kaum Padri.
Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda Kemudian setelah Belanda berhasil
merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 M atas permintaan Letnan
Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke
Pagaruyung namun pada tahun 1825 M Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir
Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

B. Masuknya Islam di Minangkabau


Masuknya Islam di Minangkabau menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat,
karena sejarawan pun berbeda pendapat menentukan kapan masuknya Islam di
Minangkabau. Ada yang mengatakan Islam masuk di Minangkabau pada abad ke 12 M,
pada abad ke-14 M dan bahkan ada yang menyimpulkan bahwa suatu almanak Tiongkok
menyebutkan bahwa sudah didapatinya satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera
bahagian Barat pada tahun 674 M. Dengan demikian. Islam telah masuk ke daerah ini
sejak tahun 674 Masehi atau abad pertama hijriah. (Taufik, Abdullah, 1987:111-2).
Berbagai versi sejarah tentang Islam di Minangkabau, namun yang lebih bisa
diterima oleh banyak pihak bahwa Islam baru dikenal oleh masyarakat Minangkabau
dalam arti sebagai sebuah agama diperkirakan sekitar tahun 1600 Masehi. William
Marseden, dalam bukunya. The History of Sumatera, mengakui betapa cepatnya proses
peng-Islaman itu. la heran melihat masyarakat Minangkabau telah sepenuhnya memeluk
agama Islam, ketika ia mengunjugi daerah tersebut pada tahun 1778 M. Padahal dalam
sebuah manuskrip tahun: 1761 M digambarkan bahwa masyarakat di sana kebanyakan
masih menyembah berhala. (Koto 1997:16-7).
Khusus fase awal Islam masuk ke Minangkabau menurut suatu pendapat
mengungkapkan bahwa penduduk asli telah di-Islamkan oleh pedagang-pedagang Islam

11
yang berlayar dari Malaka menyusuri sungai Kampar dan Indragiri, pada abad 15 dan 16
M (Slamet Mulyana, 1963:261). Pada sisi lain, kerajaan Pasai di Aceh yang telah
bercorak Islam menanjak naik di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda pada tahun
1607-1638 M. membawa akibat dikuasainya kerajaan kecil Minangkabau oleh kekuasaan
Aceh. (Uka Tjandrasasmita, 1976:80) Dalam kondisi seperti ini, menurut pendapat lain,
Islam mulai masuk dari kota-kota di pantai Barat Sumatera menuju ke pedalaman
Minangkabau. Pada saat kebesaran Kerajaan Pasai, saudagar-saudagar Islam Ace telah
sampai ke pesisir Barat pulau Sumatera yang lebih dikenal denga Minangkabau. Di
samping berdagang mereka juga memperkenalka agama baru yang mereka anut, yaitu
Islam. Kejayaan kerajaan Ace selanjutnya membawa pengaruh yang berarti bagi
perluasan Islam d Minangkabau pada masa-masa berikutnya.
Pengembangan Islam lebih diterima masyarakat di Minangkabau karena Islam
disebarkan melalui surau (masjid). Di surau banyak aktifitas keagaman yang dilakukan,
sehingga melalui metode ini banyak masyarakat Minangkabau yang antusias dengan
Islam. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya masyarakat Minangkabau yang memeluk
agama Islam. Di samping itu, Islam juga menjadi panutan oleh Raja Pangaruyung.
Pengembangan agama Islam yang demikian pesat, masuk jauh ked pedalaman
Minangkabau melalui lembaga surau. Surau dapat memainkan perannya sebagai unsur
kebudayaan asli suku Melayu, dan berkaitan dengan keyakinan yang dianutnya. Setelah
Islam masuk ke Nusantara, surau menjadi bangunan Islam. (Sidi Gazalba, 1989:314- 15).
Surau menurut pola adat Minangkabau adalah kepunyaan kaum atau Indu. Indu ialah
bagian dari suku, dapat juga disamakan dengan Clan.
Surau adalah pelengkap rumah gadang (rumah adat). Namun tidak setiap rumah
gadang memilikinya, karena surau yang telah ada masih dapat menampung para pemuda
untuk bermalam, para musafir dan pedagang bila melewati suatu desa dan kemalaman
dalam perjalanannya. Dengan demikian, para pemuda yang tinggal dan bermalam di
surau dapat mengetahui informasi yang terjadi di luar desa mereka, serta situasi
kehidupan di rantau. Jadi surau mempunyai multi fungsi, karena ia juga pusat informasi
dan tempat terjadinya sosialisasi pemuda (Mulyani, 1999:7).

C. Persinggungan Islam dengan Adat Minangkabau


Sebelum masuknya Islam, masyarakat Minangkabau banyak menganut
kepercayaan Hindu-Budha. Namun setelah Islam menyebar di Minangkabau, orang
Minangkabau baru sadar bahwa apa yang mereka sembah adalah bertentangan dengan
syariat yang qath. Sebelumnya adat Minangkabau tidak mengenal ajaran "spiritisme-

12
animisme" apa pun. Ajaran spiritisme animisme adalah ajaran yang berhubungan dengan
pemujaan terhadap roh nenek-moyang dan kepercayaan bahwa benda-benda alam seperti
pohon-pohon, gua, gunung, dan lain-lain benda mempunyai roh. Oleh karena itu, orang
Minang hampir tidak mengenal tempat-tempat sakti atau kuburan yang dikeramatkan.
(Amir, 2003: 119).
Islam masuk ke Minangkabau secara bergelombang sejak abad ke- 7 hingga
akhir abad ke-17. Penyebaran Islam di Minangkabau ini dilakukan melalui proses
integrasi damai yang disebut juga dengan istilah Islamisasi kultural (Amir, 2003: 121).
Hal itu berarti adanya. percampuran antara ajaran Islam dan aturan adat. Adat yang telah
ada hanya menyesuaikan aturannya dengan aturan Islam. Salah satunya dapat dilihat pada
susunan pemerintahan istana yang mulai diatur berdasarkan pada Hukum Islam dan
Hukum Adat. Raja dijadikan "tigo selo" (tiga sela), yaitu Raja Alam, Raja Adat, dan Raja
Ibadat. Pembesar-pembesar kerajaan dijadikan "ampek balai” (empat balai)," dua
menjaga adat-istiadat lama, dan dua lagi menyebarkan dan menunjukkan bahwa negeri
Minang sudah Islam (Hamka, 1984: 10)
Islam secara cepat tersebar luas di Minangkabau, yang pada dasarnya merupakan
daerah yang kaya dan (masyarakatnya) taat kepada adat. Ditambah lagi dengan kehadiran
Islam di daerah Minangkabau, maka daerah Minangkabau menjadi daerah yang komplit
karena adat yang dipakai selama ini memiliki tuntunan dan patokan yaitu agama Islam.
Berlandaskan hal di ataslah, maka Islam pun kemudian menjadi "identitas etnis" orang
Minangkabau. Artinya, jika seseorang mengaku sebagai orang Minang, pastilah ia
beragama Islam, sebaliknya jika tidak Islam jangan mengaku sebagai orang Minang. Hal
ini tertuang dalam pepatah adat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak
mangato, adat mamakai (Amir, 1998: 24
Minangkabau dikenal sebagai daerah yang kaya akan ragam budaya dan tradisi.
Setiap perayaan yang diadakan di Minangkabau, baik perayaan yang berkaitan dengan
adat maupun agama, selalu mendapat tempat yang spesial di tengah masyarakatnya. Hari-
hari besar agama Islam dirayakan dengan meriah, seperti saat Maulid Nabi, Isra Mi'raj.
Idul Fitri, Idul Adha, dan Nuzul Alquran. Dalam perayaan tersebut masyarakat memasak
makanan tradisional Minang, seperti lamang tapai, rendang dan gulai. Masakan favorit
orang Minangkabau adalah rendang, karena rendang merupakan masakan yang tahan
lama tanpa bahan pengawet. Selain itu juga ditampilkan berbagai kesenian yang
bernuansa Islam, antara lain: Badikia, Baikayaik, dan Salawat Dulang. Dalam perayaan
hari-hari besar agama islam tersebut, kesenian yang lebih sering ditampilkan adalah
salawat Dulang.

13
D. Integrasi Islam dengan Adat Minangkabau
Sesudah Islam masuk di Kerajaan Minangkabau dan setelah orang Belanda
menetap di Sumatera pada abad ke-17 M, maka Minangkabau kembali bergejolak. Akibat
adanya perselisihan raja-raja Minangkabau waktu itu, maka kerajaan Minangkabau
terbagi tiga yakni: Sungai Tarab, Saruaso dan Pagaruyuang. Pada saat itu terjadi
perpecahan dalam negeri perihal penetapan raja, karena hak untuk menduduki tahta tidak
diakui oleh beberapa pembesar.
Sesaat setelah pecahnya perang saudara, keluarga raja pindah ke Marapalam dan
lambat-laun memantapkan kedudukannya sebagai mitra dagang Malaka. Anggota
keluarga raja menetap di berbagai tempat: di lembah-lembah Sinamar, Sumpurkudus, dan
di daerah Pagaruyung. Pada waktu tinggal di sinilah keluarga raja berhubungan dengan
pedagang muslim dan pada akhir abad ke-16 M secara bertahap mereka menjadi Islam.
Kedatangan pengaruh Hindu tidak mengubah keadaan yang demikian itu. Secara umum
pengaruh Hindu terasa di Minangkabau hanya pada waktu raja yang berkuasa adalah
seorang raja yang kuat seperti Adityawarman. Sesudah raja itu meninggal, maka
pengaruhnya makin lama makin hilang, karena adat Minangkabau muncul kembali.
Aditiyawarman merupakan seorang raja yang besar dan berkuasa penuh atas kerajaannya,
banyak prasasti yang ditinggalkan menunjukkan kebesaran kekuasaannya. Tetapi Putera
Mahkota yang bernama Ananggawarman tidak sempat memerintah, karena telah
digantikan oleh orang Minangkabau sendiri yang dibantu oleh "Basa Ampat Balai".
Sebaliknya pengaruh agama Islam membawa perubahan secar fundamental
terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam memasuki tubuh adat
Minangkabau secara pasti, masih suka dibuktikan. Dengan masuknya agama Islam, maka
aturan ada Minangkabau yang bertentangan dengan ajaran Islam dihilangkan, dan hal-hal
yang pokok dalam adat Minangkabau gigantic dengan aturan agama Islam. Hal itu dapat
terjadi, karena sebetulnya antara adat Minangkabau dengan ajaran agama Islam tidak
terdapat pertentangan.
Hal pokok yang berubah dari adat Minangkabau sesudah masuknya agama
Islam, antara lain seperti yang disebutkan oleh papatah adat "Adat basandi syarak, syarak
basandi Kitabullah", artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam,
sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-quran. Pengaruh agama Islam sangat besar
terhadap adat Minangkabau, karena sendi-sendinya yang diubah. Agama Islam
melengkapi yang kurang, membetulkan yang salah, mengulas yang singkat, mengurangi
yang berlebih, sehingga adat Minangkabau tidak menyimpang dari kebenaran sejati, dan

14
adat yang seperti itulah yang dijalankan di Sumatera Barat sampai saat ini.
Perkenalan pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih
diasumsikan, adalah melalui dua jalur. Pertama, melalui pesisir Timur Minangkabau atau
Minangkabau Timur antara abad ke-7 dan ke 8 Masehi. Kedua, melalui pesisir Barat
Minangkabau yaitu pada abad ke- 16 Masehi. Teori jalur Timur didasarkan oleh
intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit
barisan ke Selat Malaka yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi
lada dan emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-pedagang Arab muslim yang
mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke-7 dan 8 Masehi (Mansoer,dick, 1970: 44-
45).
Selain itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18
M dan ke-19 M, juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan
Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837 M, perdebatan internal seputar
paham tarikat in ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat
itu teralihkan pada saat menghadapi musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali
meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat
untuk berangkat ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama Islam yang benar
sambil menunaikan ibadah Haji.

Kontak kedua kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah
membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-
perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutn

BAB III

15
PENUTUP
A. Kesimpulan
Minangkabau adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi seluruh hukum
adat istiadatnya, sesuai dengan pepatah Minangkabau adat basandi syarak. syarak
basandi kitabullah. Yang artinya di mana adat Minangkabau di dasarkan oleh syariat
agama islam dan syariat tersebut berdasarkan atas Al-Quran dan Hadist. Berbicara
mengenai Minangkabau sama artinya berbicara mengenai ajaran - ajaran Islam. Bagi
masyarakat Minangkabau, adat merupakan jalan kehidupan, cara berpikir, cara berlaku,
dan cara bertindak. Dari cara-cara tersebut maka terlahirlah sebuah kebudayaan

B. Saran
Setelah menerima dan memahami materi yang telah disajikan dalam makalah ini,
pemakalah berharap agar pembaca dapat mengkaji lebih dalam lagi dan mencari sumber
dan referensi yang lebih banyak lagi agar mendapat kebenaran yang valid

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik 1987. Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII. Bandung:

17

Anda mungkin juga menyukai