Revisi 2 Laporan Praktikum Metalografi Wisnu Herico Aji R.K 1422000088
Revisi 2 Laporan Praktikum Metalografi Wisnu Herico Aji R.K 1422000088
PRAKTIKUM METALOGRAFI
Disusun Oleh :
1422000088
FAKULTAS TEKNIK
2022
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada saya sehingga dapat menyusun laporan
praktikum Metalografi sampai selesai, yang mana merupakan salah satu program akademik yang
harus dipenuhi.
Bahan-bahan dari laporan ini diperoleh dari hasil atau data pengamatan sewaktu
praktikum, serta petunjuk dari asisten dan dosen pembimbing serta dari literatur dan petunjuk
pedoman praktikum Metalografi.
Atas tersusunnya laporan ini saya mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat
Bapak Ir Supardi, M.Sc., sebagai pembimbing praktikum ini yang telah membantu saya baik
secara moral maupun materi, sehingga saya dapat menyelesaikan susunan laporan ini dengan
tepat waktu.
Sebagai akhir kata, Semoga laporan Praktikum Metalografi ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan pembaca dan bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu
pengetahuan. Saya mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya membangun,
karena didalam laporan ini tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan.
2
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan ini, telah diterima dan diperiksa oleh dosen pembimbing. Hasil dari praktikum ini
telah memenuhi syarat sebagai Laporan Praktikum Metalografi pada semester genap tahun
akademik 2021/2022, yang digunakan sebagai syarat kelulusan matakuliah Praktikum
Metalografi.
Disusun Oleh :
1422000088
Telah disetujui
Dosen Pembimbing
( Ir Supardi, M.Sc )
FAKULTAS TEKNIK
2022
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
Pada percobaan Metalugrafi, penggerindaan benda uji haruslah sangat halus supaya tidak
terlihatnya goresan, setelah benda uji di etsa baru akan dilihat mikro struktur daripada logam
tersebut dengan menggunakan mikroskop, Sehingga kita dapat menentukan jenis logam
tersebut dengan mengetahui karakteristiknya.
6
BAB II
DASAR TEORI
7
2.3.1 Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steels)
Baja karbon biasanya mengandung karbon kurang dari 0,25 % berat dan sangat sulit
untuk dilakukan proses perlakuan panas karena martensit tidak akan terbentuk.
Konsekuensinya baja karbon rendah memiliki keuletan (ductility) dan ketangguhan
(toughness) yang tinggi. Struktur mikro terdiri dari ferit dan sedikit perlit seperti pada Gambar
1.2., serta memiliki sifat mampu mesin (machinability) yang baik, dan mampu las
(weldability) yang baik. Baja karbon dapat digunakan dengan baik bila kekuatan dan syarat
teknis lainnya tidak terlalu besar. Keuntungan utama adalah harga yang relatif murah,
meskipun memiliki keterbatasan sebagai berikut:
8
Gambar 2. Baja Karbon Rendah (0,04% C) pada Kondisi di annealed.
Tanda panah menunjukkan fasa sementit berada di antara batas butir ferit (fasa dominan),
yang dilihat menggunakan perbesaran 500x menggunakan cairan etsa Marshall.
Baja karbon sedang mengandung karbon dengan konsentrasi antara 0,2 % - 0,5 %
beratnya. Paduan ini dapat diproses perlakuan panas dengan cara austenizing, celup cepat
(quenching) yang diikuti dengan tempering untuk memperbaiki sifat-sifat mekaniknya. Baja
plain carbon sedang ini memiliki mampu keras yang rendah, sehingga untuk mendapatkan
hasil perlakuan panas yang baik hanya dapat dilakukan untuk benda yang tipis dan laju
pendinginan yang cepat. Penambahan crom (Cr), nikel (Ni) dan molibdenum (Mo) akan
menaikkan kemampuannya untuk dapat diproses perlakuan panas. Baja karbon sedang
banyak dipakai pada roda rel kereta api, roda gigi, dan komponen mesin lainnya serta
komponen struktur yang mensyaratkan kombinasi dari kekuatan, ketahanan terhadap gesekan
dan ketangguhan yang tinggi.
Baja karbon tinggi biasanya mengandung karbon antara 0,6 % - 1,4 % beratnya,
memiliki sifat yang paling keras, paling kuat dan keuletan yang paling rendah di antara baja
plain carbon lainnya. Baja ini biasanya dipakai setelah mengalami proses pengerasan dan
temper, secara khusus pada penggunaan ketahanan gesek yang tinggi, dan pisau potong
(cutting tools). Alat-alat potong dan cetakan baja (dies & mould steel) biasanya terbuat dari
baja karbon tinggi dengan penambahan unsur lain seperti krom, vanadium, tungsten dan
molibdenum sehingga menjadikannya sangat keras dan kuat serta memiliki ketahanan
terhadap gesekan yang tinggi.
9
2.4 Baja Paduan Tinggi (High Alloy steels)
Dari keterbatasan-keterbatasan tersebut perlu dilakukan suatu penggabungan (alloying)
dengan unsur-unsur lainnya sehingga dapat memperbaiki sifat-sifatnya. Proses pemaduan baja
pada umumnya lebih mahal dibandingkan dengan baja plain carbon, tetapi agar sesuai dengan
syarat-syarat teknis yang diinginkan maka proses pemaduan harus dilakukan.
Unsur-unsur paduan utama yang ditambahkan antara lain: Mn, Ni, Cr, Mo, Tungsten
(W). Unsur-unsur lain yang kadang-kadang ditambahkan antara lain: V, Co, B, Cu, Al, Sn, Ti,
Nb. Penambahan unsur-unsur tersebut pada diagram Fe-Fe3C keberadaannya perlu dilakukan
penyesuaian terhadap kandungan karbon, yang sering juga disebut sebagai carbon equivalent.
Baja paduan tinggi (high alloy steels) memiliki sifat sangat keras, kuat tetapi dengan keuletan
yang rendah. Biasanya baja jenis ini digunakan pada kondisi yang telah dikeraskan (hardened)
dan di-temper, sehingga memiliki kekerasan yang masih tinggi dan ketahanan aus yang baik,
sehingga dapat berfungsi sebagai pisau potong yang sangat tajam. Peralatan potong (tools) dan
cetakan (die) terbuat dari baja karbon paduan tinggi, yang biasanya terdiri dari unsur: Cr
(chromium), V (vanadium), W (tungten), dan Mo (molybdenum).
Proses pembuatan alat potong dilakukan dengan cara perlakuan panas, yaitu dipanaskan
sampai temperatur austenit kemudian dicelup cepat (quenching) dan diikuti dengan proses
temper, untuk mendapatkan kekerasan yang dikehendaki dan menghilangkan tegangan sisa
yang terjadi saat proses celup cepat tersebut.
10
• α ferrite, carbon larut padat interstisi di dalam struktur kristal BCC. Kelarutan karbon
pada fasa ini mencapai maksimal 0,02 % pada temperatur 723 OC. Kelarutan karbon di
α ferrite akan turun mencapai 0,005 % pada temperatur 0 OC.
• Austenite (γ), karbon larut padat interstisi di dalam besi γ. Austenite memiliki struktur
Kristal FCC dan memiliki kemampuan larut padat dari karbon lebih tinggi dari α ferrite.
Kelarutan karbon di austenite maksimum 2,08 % pada temperatur 1148 OC dan
menurun menjadi 0,8 % pada temperatur 723 OC.
• Cementite (Fe3C), memiliki kelarutan tak terbatas dan komposisinya adalah karbon
mulai dari 6,67 % - 93,3 % Fe. Cementite keras dan getas.
• δ ferrite, adalah karbon larut padat interstisi di dalam besi δ, yang memiliki struktur
Kristal BCC seperti α ferrite. Larutan padat dari karbon pada δ ferrite maksimum
mencapai 0,09 %, pada temperatur 1465 OC.
2.6.1 Besi Cor/Tuang (Cast Iron).
Kandungan karbon dan silikon pada gray cast iron antara 2,5 % - 4,0 % dan 1,0 % - 3
%. Bentuk grafitnya adalah flakes ditunjukkan Gambar 1.4(a). Karena grafit berbentuk flakes
permukaan patahnya berwarna kelabu. Sifat mekanis dari besi cor kelabu adalah getas
11
(brittle), keras, kekuatan tarik tinggi dan keuletannya lebih besar bila pembebanannya adalah
tekanan (compressive load). Keuntungannya adalah sebagai berikut:
Penambahkan “sedikit” Magnesium dan atau Cerium pada besi cor kelabu sebelum
dicorakan mengubah bentuk grafit dari flakes menjadi nodular. Nodular berasal dari bahasa
latin nodulus yang berarti bintil. Nodular atau bulatan mengilustrasikan struktur mikro besi
cor nodular. Hasilnya dinamakan nodular atau ductile iron yang memiliki sifat–sifat mekanis
12
yang tinggi. Matrik yang terbentuk adalah perlit atau ferit yang tergantung pada laju
pendinginan.
Karena bentuk grafit tersebut, sifat mekanik besi cor nodular hampir sama
(mendekati) sifat mekanik baja. Contohnya adaah besi cor nodular feritik yang mempunyai
rentang kekuatan tarik antara 380 MPa sampai dengan 480 MPa (55.000 psi s/d 70.000 psi),
dan keuletannya dari 10 %sampai 20 %. Adapun penggunaannya pada katup (valves), rumah
pompa (pump bodies), crankshafts, roda gigi dan komponen–komponen otomotif lainnya.
Besi cor putih terbentuk pada laju pendinginan yang sangat cepat dan kandungan silik
on yang rendah kurang dari 1 % beratnya, seperti ditunjukkan Gambar 1.5. Disebut besi cor
putih karena menghasilkan warna putih atau terang pada permukaan patahannya. Besi cor
putih biasanya sangat baik digunakan untuk struktur yang mengalami gesekan dan abrasi.
Sebagai konsekuensi dari banyaknya fasa sementit yang terbentuk, besi cor putih sangat keras
dan getas.
Gambar 4. Struktur Mikro Besi Cor. (a) Besi Cor Kelabu, (b) Besi Cor Nodular; (c) Besi Cor
Putih, (d) Besi Cor Maliabel
13
Tabel 1. Komposisi Kimia dari Besi Cor atau Tuang
Karena sifat yang tidak diinginkan dari besi cor putih tersebut, maka biasanya
dipanaskan kembali pada temperatur antara 800⁰C - 900⁰C, akan membentuk besi cor yang
lain yang disebut dengan besi cor maleabel (malleablecast iron). Matrik yang terbentuk
berupa ferit atau perlit yang sangat tergantung dari laju pendinginannya. Struktur mikronya
mirip dengan besi cor nodular, sehingga sifat-sifatnya juga hampir sama terutama dalam hal
kekuatan dan keuletannya. Besi cor putih biasanya dipakai sebagai batang penghubung
(connecting rods), roda gigi transmisi, dan roda gigi differensial untuk transmisi di industry
otomotif; flange, fitting pipa, dan komponen untuk katup (valves) untuk industri maritim dan
industri alat berat lainnya.
14
2.7 Proses Perlakuan (Heat Treatment) Panas pada Baja
Proses perlakuan panas didefinisikan sebagai suatu proses atau kombinasi dari beberapa
proses yang meliputi pemanasan dengan laju pemanasan yang spesifik, ditahan selama waktu
dan temperatur tertentu dan kemudian didinginkan dengan laju pendinginan yang sangat
spesifik untuk mendapatkan struktur dan sifat-sifat tertentu (sifat mekanik, sifat fisik sifat
magnetik atau elektrik) yang dikehendaki. Definisi lainnya adalah kombinasi pemanasan dan
pendinginan (dengan atau tanpa pengendalian/kontrol laju pendinginan) pada baja karbon dan
paduannya sehingga menghasilkan sifat mekanik dan fisik yang berbeda dari kondisi awalnya.
Proses pemanasan dan pendinginan ini dinamakan perlakuan panas (heat treatment). Selama
proses perlakuan panas berlangsung akan terjadi perubahan struktur mikro dari baja tersebut.
Mengapa perlu dilakukan proses perlakuan panas, dikarenakan ada beberapa alasan proses
perlakuan panas diadakan, akan tetapi yang paling fundamental adalah:
- Mempersiapkan material logam sebagai produk setengah jadi agar layak diproses
lebih lanjut.
- Meningkatkan umur pakai material logam sebagai produk jadi.Beberapa jenis proses
perlakukan panas pada baja dan paduannya yang biasa dilakukan di industri
manufaktur untuk mendapatkan hasil yang diinginkan adalah sebagai berikut:
• Annealing dan Normalizing
• Pendinginan cepat (Quenching)
• Tempering
• Martempering
• Austempering
Annealing adalah proses pemanasan baja dan paduannya sampai pencapai temperatur
austenite (A3 atau ACM) kemudian ditahan pada temperatur tersebut untuk mendapatkan fasa
yang sama di permukaan dan di bagian dalam material tersebut. Setelah itu dilakukan
pendinginan secara perlahanlahan. Pendinginan dilakukan dengan cara mematikan tungku.
Ini disebut full annealing sedangkan didinginkan di udara disebut sebagai normalizing.
Tujuan dari proses ini adalah:
15
- Menaikkan keuletan dan menurunkan kekerasannya.
- Menghilangkan efek proses perlakuan dingin (cold work).
- Menghasilkan struktur mikro yang spesifik.
Proses pendinginan ini biasanya dilakukan di dalam tungku dengan cara mematikan
tungku pemanas sampai mencapai temperatur kamar. Untuk baja hipereutektoid, proses
pemanasan dilakukan pada temperatur 40⁰C di atas temperatur eutektoid. Struktur mikro dari
baja hipoeutektoid setelah mengalami proses full annealing adalah proeutektoid ferit dan
perlit, seperti pada grafik proses pemanasan baja plain karbon terhadap kandungan karbon
yang ditunjukkan pada gambar dibawah ini.
Normalizing adalah proses pemanasan baja sampai mencapai temperatur austenit dan
kemudian didinginkan di udara, ditunjukkan pada Gambar 1.7. Struktur mikro yang terbentuk
adalah dari baja hipoeutektoid plain-carbon adalah proeutektoid ferit dan perlit. Tujuan dari
normalizing adalah sebagai berikut:
16
Untuk proses annealing lainnya adalah:
Gambar 7. Struktur Mikro Baja UNS 10080 (low carbon steel) dengan Laju Pendinginan
Sangat Lambat.
Gambar 7. memperlihatkan matrik ferit dengan fasa perlit yang membentuk pulau di
antara fasa ferit. Gambar tersebut diambil dengan menggunakan perbesaran 500x dan
menggunakan etsa Picral 4%.
17
2.7.2 Pendinginan Cepat (Quenching) dan Tempering
Proses pendinginan cepat dimulai saat material baja karbon dan paduannya
dipanaskan sampai temperatur austenite. Kemudian didinginkan dengan cepat (quenching) ke
temperatur kamar dengan menggunakan media pendingin berupa air, minyak (oil), ataupun
larutan garam. Struktur mikro yang semula adalah austenit akan berubah menjadi martensit.
Martensit memiliki sifat fasa metastabil, dengan struktur kristal BCT (body-centered
tetragonal). Sifat mekanik dari martensit adalah keras dan getas. Kekerasan dari martensit
akan meningkat seiring dengan naiknya kandungan karbon pada baja.
Temperatur saat akan terbentuk martensit disebut Martensite Start (Ms) dan
temperature setelah seluruhnya martensit terbentuk disebut Martensite Finish (Mf) seperti
terlihat pada Gambar 8. Pada baja karbon rendah proses celup cepat sulit untuk mendapatkan
fasa martensit. Karena fasa martensit bersifat keras dan sangat getas, maka perlu dilakukan
penurunan kegetasannya dengan cara dipanaskan di bawah temperatur eutectoid sehingga
tidak terlalu getas meskipun efek sampingnya adalah kekerasannya akan turun. Proses ini
disebut dengan temper (tempering). Struktur mikro dari hasil quenched dan tempered.
Struktur yang terbentuk adalah bainit (warna gelap) dan martensit (warna abu-abu terang).
Etsa yang dilakukan menggunakan picral 4%+Nital 2% dengan perbesaran 500x.
18
Gambar 9. Struktur Mikro Baja Karbon Rendah UNS 43400 yang dicelup Cepat dan
Ditemper
Pada proses celup cepat (quenching) sering terjadi distorsi dan ‘retak halus’ (micro
cracking) akibat adanya perbedaan temperatur yang terjadi pada bagian permukaan dan
bagian dalam dari material yang diproses perlakuan panas saat berlangsungnya proses
pendinginan. Karena itu perlu dilakukan modifikasi pada proses celup cepat dan temper.
Modifikasi yang dilakukan akan mendapatkan hasil yang lebih optimal dan yang lebih
penting mengurangi terjadinya retak halus (micro crack) yang cenderung tidak terlihat saat
proses celup cepat berlangsung berlangsung.
2.7.3 Martempering
Martempering sering juga disebut sebagai marquenching. Proses ini diadakan untuk
menghindari retak ataupun retak halus akibat proses quenching. Prosesnya adalah dengan
melakukan pemanasan sampai dengan temperatur austenite (sekitar 40 OC di atas temperatur
A3). Kemudian di-quench ke dalam larutan garam atau oli pada temperatur sedikit di atas MS
19
(martensit start). Setelah itu ditahan/dibiarkan sampai bagian permukaan dan tengah dari
benda kerja memiliki temperatur yang sama dan sebelum mencapai transformasi austenit ke
bainit dihentikan dengan cara, didinginkan pada laju pendinginan ‘sedang’ sampai ke
temperatur ruang. Kemudian dilakukan proses tempering. Perbedaan antara proses celup
cepat konvensional dengan martempering yaitu pada keseragaman laju pendinginan antara
bagian permukaan dengan bagian dalam dari benda kerja. Struktur akhir dari proses
martempering adalah martensit dengan distribusi martensit yang lebih merata di bagian
permukaan dan bagian dalamnya. Kemudian bila dilakukan proses temper menjadi martensit
temper. Perbedaan lainnya adalah secara kuantitatif pada harga impak (impact value). Dengan
demikian proses martempering akan menghasilkan kegetasan yang lebih rendah
dibandingkan proses celup cepat dan temper.
2.7.4 Austempering
20
HEAT ELONGATION
HRC IMPACT (Ft.Lb)
TREATMENT (%)
Water-quench &
53 12 0
temper
Water-quench &
52,5 14 0
temper
Martemper &
53 28 0
temper
Martemper &
52,8 24 0
temper
Austemper 52,0 45 11
Austemper 52,5 40 8
21
Gambar 12. Diagram Proses Austempering
Gambar 13. Skema Percobaan dan Grafik Hasil Percobaan Jominy Test
Mampu keras pada baja karbon dan paduannya didefinisikan sebagai sifat yang
menentukan kedalaman dan distribusi kekerasan dari baja dengan cara quenching dari
temperatur austenit. Untuk skala industri, mampu keras baja diukur dengan melakukan
percobaan Jominy (Jominy testing). Menurut ASTM 255/SAE J406, ukuran spesimen adalah
diameter 25 mm dan panjang 100 mm. Prosedur percobaan adalah baja dipanaskan sampai
temperatur austenit kemudian specimen diletakkan pada tempat yang telah disediakan, dan
disemprot air. Setelah dingin kekerasannya diukur dan hasilnya diplot ke dalam grafik seperti
terlihat pada Gambar 13. Mampu keras (hardenability) sangat berbeda dengan kekerasan
(hardness). Kekerasan biasanya dihubungkan dengan ketahanan material terhadap deformasi
plastis. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat mampu keras baja adalah:
• Komposisi paduan.
• Ukuran butir austenit.
• Struktur dari baja sebelum quenching.
Baja karbon biasa (plain karbon steel) pada umumnya memiliki keterbatasan dalam hal sifat -
sifat (properties) yang dimilikinya, sehingga diperlukan suatu penggabungan (alloyin g)
dengan unsurunsur lainnya. Penambahan unsur-unsur tersebut akan memperbaiki sifat
sifatnya. Proses pemaduan baja pada umumnya lebih mahal dibandingkan dengan baja plain
karbon. Unsur-unsur paduan utama yang ditambahkan antara lain Mn, Ni, Cr, Mo, dan
Tungsten (W). Unsur-unsur lain yang kadang-kadang ditambahkan antara lain V, Co, B, Cu,
Al, Sn, Ti, Nb. Penambahan unsur-unsur tersebut pada diagram Fe-Fe3C keberadaannya perlu
dilakukan penyesuaian terhadap kandungan karbon, yang sering juga disebut sebagai carbon
22
equivalent. Tabel 3. menunjukkan komposisi paduan dari beberapa jenis baja paduan dan
standar penamaan menurut AISI-SAE.
4Oxx Molybdenum 0.20 atau 0.25; atau molybdenum 0.25 dan sulfur 0.042
41 xx Chromium 0.50. 0.80, atau 0.95, molybdenum 0.12, 0.20. atau 0.30
61xx Chromium 0.60 atau 0.95, vanadium 0.13 atau min. 0.15
23
Kode *B menunjukkan baja Boron.
Baja paduan tinggi (high alloy steels) memiliki sifat sangat keras dan kuat tetapi
memiliki keuletan yang rendah. Biasanya baja jenis ini digunakan pada kondisi yang telah
dikeraskan (hardened) dan di-temper, sehingga memiliki kekerasan yang masih tinggi dan
ketahanan aus yang baik, serta dapat berfungsi sebagai pisau potong yang sangat tajam.
Peralatan potong (tools) dan cetakan (die) terbuat dari baja karbon paduan tinggi, yang
biasanya terdiri dari unsur Cr (chromium), V (vanadium), W (tungten) dan
Mo(molybdenum).
Penambahan unsur paduan menggeser temperatur eutektoid (semula adalah 723 OC)
ke temperatur yang lebih tinggi atau lebih rendah tergantung dari jenis unsurnya. Demikian
juga halnya dengan posisi titik eutektoid (pada awalnya sebesar 0,77% C) juga mengalami
perubahan dengan penambahan unsur paduan lainnya. Gambar 14. (a) dan (b) menunjukkan
pengaruh penambahan unsur paduan terhadap temperatur dan titik eutektoid pada diagram
Fe-Fe3C. Penggabungan antara paduan baja dan peroses perlakuan panas akan mendapatkan
baja dengan sifat-sifat yang dikehendaki meskipun sebagai konsekuensinya harganya akan
lebih mahal. Karena itu, perlu pertimbangan yang matang sebelum memilih material yang
dikehendaki.
A. B.
Gambar 14. (A) Pengaruh Unsur Paduan terhadap Temperatur Eutektoid, (B) Pengaruh Unsur
Paduan terhadap Posisi Eutektoid.
24
logam uji. Untuk mesin yang masih manual bekas penekanan tersebut yang akan diukur,
sedangkan untuk saat ini nilai kekerasan dapat langsung dibaca pada mesin uji keras.
Kekuatan tarik dan kekerasan merupakan tanda ketahanan suatu logam terhadap
deformasi plastis, kecuali material tersebut diproses secara khusus misalnya pada perlakuan
panas atau pemaduan (alloying). Tabel 5. menunjukkan hubungan antara kekerasan Brinell
(BHN) dengan kekuatan tarik (TS). Konsekuensinya kekuatan berbanding lurus dengan
kekerasan suatu material. Untuk kebanyakan baja hubungan antara kekerasan Brinell (HB)
dengan kekuatan tarik adalah:
25
TS (MPa) = 3,45 X HB atau TS (psi) = 500 X HB
Proses identifikasi fasa yang terbentuk saat proses metalografi, dilakukan dengan cara
mengetahui proses apa yang sebelumnya dialami oleh material tersebut atau dengan melakukan
pengujian kekerasan secara mikro. Pengujian kekerasan mikro tersebut digunakan untuk
mengetahui kekerasan di fasa yang terbentuk. Prinsipnya sama dengan metode kekerasan biasa
tetapi dalam hal ini skalanya yang kecil.
Dalam Praktikum Adapun nilai Kandungan Perlit dan Ferrit yang diperlu diketahui
dalam Baja S45C dalam menuntukan kadar perlit dan ferrit perlu menggunakan rumus
sebagai berikut :
Kandungan Ferrit
𝑈
𝐹= ( 𝑇+𝑈)
0,8−𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛
=
0,8−0,02
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛−0,02
𝑃=
0 ,8−0,02
26
BAB III
DATA PRAKTIKUM
27
Mesin Uji Kekerasan Rockwell
Rockwell Hardness Tester ini digunakan untuk mengukur Kekerasan benda
kerja yang di mulai dari ujung benda uji yang kena semprot air sehingga setelah
dilakukan disepanjang benda uji diperoleh suatu Kurva Hardenability
Benda Uji
Benda uji terbuat dari sejenis baja tertentu yang mempunyai bentuk dan
ukuran sesuai Standar
3.1.3 Pelaksanaan Percobaan
1. Gambarkan bentuk & ukuran-ukuran benda uji
2. Dari baja apa benda uji terbuat ?
3. Berdasarkan kadar C, tentukan sifat-sifat suhu pemanasannya dengan
pertolongan diagram Fe3-C
4. Panaskan benda uji sesuai dengan prosedur pemanasan dalam dapur pemanas.
5. Setelah penahanan austenisasi tetap seketika selesai, keluarkan benda uji
dengan penjepit dan cepat letakkan ditempatnya pada alat Jominy sehingga
tepat di atas penyemprot air dengan jarak tertentu.
6. Buka kran air sehingga bagian ujung bawah benda uji didinginkan oleh air
dengan tekanan, kecepatan dan suhu tetap.
7. Setelah suhu pendinginan, benda uji yang telah mengalami proses beat
treatment ini di ambil dan dengan mesin pengasah dan ampelas dihilangkan
oksid-oksid besi yang menempel di permukaan benda uji terutama bagian
benda uji yang akan diperiksa nilai-nilai kekerasannya.
8. Ukuran kekerasan benda kerja mulai dari end-quenched pada jarak tertentu
dengan Hardness Tester Rokwell C sesuai prosedur dan syarat percobaan.
9. Pada jarak-jarak tertentu dan nilai kekerasan tertentu kemudian buatkan “
Jominy Hardenability Curve” dari baja yang bersangkutan.
28
2. Gambar kedudukan benda kerja disaat disemprot air
3. Gambar ukuran-ukuran benda uji
4. Gambar Jominy Hardenability Curve sesuai dengan hasil percobaan
5. Penilaian-penilaian dibandingkan dengan curve baja-baja lain.
6. Hubungan kecepatan pendinginan dengan jarak-jarak dari quenched-end
secara umum
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi hardenability dari baja.
8. Contoh-contoh pemakaian hardenability band suatu baja.
9. Penjelasan pemakaian temperability dengan baja berikut diagram-diagram
temperability dari baja carbon biasa dan carbide-forming steel
10. Diagram tempering baja SAE 3150 dengan suhu tempering 800 ° F.
11. Sebab-sebab terjadinya secondary hardening di saat tempering suatu baja.
PROSES HARDENABILITY
29
Spesimen : AISI 4140
Kekerasan awal : 19.5, 25, 27, 23.5 ; 23.75 HRC
30
3.2 HEAT TREATMENT TEST
PERCOBAAN II
Heat Treatment atau perlakuan panas yaitu suatu pekerjaan memanaskan
sejenis logam sampai suhu pemanasan tertentu, kemudian menahan suhu ini tetap
selama waktu tertentu dan selanjutnya mendinginkan logam tadi dengan suatu
kecepatan pendinginan tertentu sehingga dengan demikian dapat diperoleh sifat-sifat
logam yang lebih baik sesuai dengan persyaratan kebutuhan
3.2.1 Tujuan
Untuk memperoleh sifat-sifat logam yang lebih baik dari semula sehingga
dengan persyaratan kebutuhan tanpa merubah bentuk dan ukuran ukuran logam.
3.2.2 Jenis Pekerjaan
1. Anneling
2. Hardening.
3. Tempering.
3.2.3 Alat-alat / Bahan
1. Dapur Pemanas
2. Penjepit
3. Medium Pendingin
4. ermometer air raksa
5. Hardness Tester
6. Benda Uji
3.2.4 Pelaksanaan Heat Treatment Baja
1. Full Anneling
Terdapat beberapa jenis anneling dan yang harus dilakukan oleh praktikan
yakni full anneling.
Benda uji yang terbuat dari baja dipanaskan dalam dapur pemanas sampai suhu
sekitar (30 - 50)° C di atas suhu kritis Ac3 dan dipertahankan suhu ini tetap
seketika, baru didinginkan secara perlahan di dalam dapur pemanas tadi. Sampai
suhu 500 - 600° C kecepatan pendinginan 50 sampai 100° C per jam bergantung
kepada susunan kimia baja. Tujuan pekerjaan ini untuk memperoleh baja yang
lebih lunak, berkurangnya tegangan-tegangan dalam baja dan struktur baja yang
lebih baik. Sebelum baja dipanaskan, diukur kekerasan-nya dan demikian sesudah
anneling sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat percobaan kekerasan untuk
mengetahui apa betul baja celah menjadi lebih lunak. Struktur baja setelah anneling
31
akan diteliti kemudian disaat melakukan pekerjaan metalographic inspection.
Praktikan diharuskan mencatat semua kejadian dan kegiatan yang dilakukan
selama pelaksanaan full anneling.
2. Spheroidizing Anneling.
Pada Spheroidizing Anneling dipakai benda uji yang terbuat dari baja carbon tinggi
(HCS). Benda uji dipanaskan dalam dapur pemanas dengan kecepatan pemanasan
yang sesuai dalam waktu yang cukup lama pada suhu pemanasan di atas suhu kritis
Ac1, yaitu suhu 770°C dan menyusul pendinginan yang sampai suhu 600 °C dengan
kecepatan pendinginan 25 30°C/jam. Tujuannya untuk mengubah perlit lametar
berbentuk glabuler sehingga diperoleh baja supaya lunak/liat. Sebelum benda uji
dipanaskan ukur dan catat nilai kekerasannya dan demikianpula setelah proses
anealis selesai. Struktur baja akan diteliti kemudian pada pekerjaan metalography.
Praktikan diharuskan mencatat semua kejadian yang dilakukan selama pekerjaan
berlangsung.
3. Hardening
Benda uji terbuat dari hypoeutectoid steel (MCS) atau hypereutectoid steel
(HCS).
Benda uji yang terbuat dari MCS dipanaskan sampai suhu 30 50o C di atas suhu
kritis AC3 dan setelah suhu hardening ini dipertahankan tetap
3.2.5 Laporan Praktikum
Hal-hal yang harus dapat dilakukan praktikan dalam menyusun laporan adalah
sebagai berikut :
1. Gambar Keseimbangan biner Fe-C metastabil yang lengkap disertai tempat baja
dari benda uji terbuat sesuai kadar C dan api daerah pemanasan bagi setiap
perlakuan panas yang dilakukan.
2. Penjelasan tentang austenisasi dan manfaatnya.
3. Bentuk umum penentuan suhu austenisasi baja konstruksi.
4. Penjelasan dari ferit, austenit, perlit, sementit, besi alpha, besi gamma, grafit,
martensit, cresstit, sorbit dan barnit.
5. Penjelasan tentang perbedaan dari sumbu-sumbu A1, A2, A3, Am, Ac1, Ac2,
Ac3, Arl, Ar2, Ar3, dan Arm serta hubungannya dengan diagram Fe-C di atas.
32
3.2.6 DATA HASIL PERCOBAAN PERLAKUAN PANAS
1. Metode Penelitian
Praktikum diawalai dengan melakukan preparasi spesimen yang akan digunakan
dengan ukuran panjangnya 1.5 cm dan diameter 2.5 cm. Spesimen tersebut
kemudiamdipanaskan sampai temperatur 800oC dengan diholding selama 60
menit, dan dilanjutkandengan quenching dengan media air tanpa agitasi. Dari hasil
quenching tersebut laludilakukan uji kekerasan. Setelah didapatkan nilai kekerasan
tertentu, maka dilakukan perhitungan untuk mencari temperatur temper dengan
waktu holding 60 menit agar nilai kekerasannya turun sebesar 10. Penemperan
kemudian dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan yang telah dilakukan
dimana pendinginannya dilakukan dengan media udara. Yang terakhir dilakukan
uji kekerasan sekali lagi untuk mengetahui hasil penemperan dan dilakukan analisa
data serta pembahasan.
2. Material
Baja AISI 1045 1 buah
3. Alat
1. Furnace 1 buah
2. Alat uji kekerasan 1 buah
3. Penjepit 1 buah
4. Sarung tangan 1 pasang
5. Kikir 1 buah
6. Amplas secukupnya
4. Prosedur Percobaan
1. Mempersiapkan alat dan bahan
2. Memanaskan spesimen sampai temperatur 800 C dan melakukan holding
selama 60menit
3. Melakukan quenching dengan media air tanpa agitasi
4. Melakukan uji kekerasan Rockwell C pada specimen
5. Menghitung temperatur temper dari spesimen uji untuk waktu 60 menit untuk
menghasilkan penurunan kekerasan sebesar 10
6. Melakukan tempering sampai temperatur 162 °C dengan diholding selama
60 menit
7. Mendinginkan spesimen dengan media udara
33
8. Melakukan uji kekerasan Rockwell C pada specimen.
5. Hasil Uji Kekerasan Tempering
Nomor Kekerasan (HRC) Rata- rata (HRC)
1 31 31,7
2 38
3 26
6. Perhitungan Temperatur Temper
Rumus Perhitungan Temperatur TemperRumus perhitungan temperatur temper
(berlaku untuk waktu temper 4 jam)
dimana,
Tc = 148,9 °C
T = 421,9°K
Jadi temperatur yang dipakai agar kekerasannya turun sebesar 10 yaitu 148,9 °C.
Rumus Parameter Temper :
P = T(k+Log T)................................................................................................(2)
dimana,
P = parameter temper
34
7. Perhitungan Parameter Temper
Dari nilai temperatur temper yang sudah didapat dilakukan perhitungan nilai
Parameter temper, karena temperatur tersebut berlaku untuk waktu holding 4 jam.
Perhitungannya yaitu sebagai berikut :
P = T (k + log t)
P = 8.692
Ketika nilai parameter tempernya sama maka diasumsikan bahwa kekerasan yang
didapatkan sama. Maka dari itu dilakukan perhitungan temperatur untuk waktu
holding 1 jam. Perhitungannya yaitu sebagai berikut :
P = T (k + log t)
T = 434,6 °K
T = 162 °C
35
3.3 METALLOGRAPHIC EXAMINATION TEST
PERCOBAAN III
Metallography adalah suatu pengetahuan yang khusus mempelajari struktur
logam dan paduan sehubungan dengan sifat-sifat fisik dan mekanis. Dalam
metalography dikenal ada penelitian makroskopic dan mikroskopic.
Penelitian mikroskopis menggunakan mikroskop optik bahkan mikroskop
elektron (SEM, TEM). Pembesaran dengan cara pertama biasanya 10 kali sedangkan
dengan cara ke dua sampai ribuan kali.
Praktikan harus melakukan penelitian mikroskopis dari baja-baja yang telah
mengalami heat treatment memakai mikroskop optik sehingga diperoleh gambar-
gambar struktur baja yang bersangkutan untuk kemudian diteliti lebih lanjut
hubungan gambar mikrostruktur tersebut dengan sifat-sifat baja dan setiap praktikan
wajib memberikan penilaian berikut alasannya.
3.3.1 Alat-alat Praktikan
1. Grinding belt.
2. Kertas ampelas dan pemeganganya
3. Metallographic polishing tabel
4. Metallographic polishing cloths
5. Metallographic polishing abrasives
6. Bejana untuk etching reagents
7. Etching reagents
8. Mikroskop Metallurgi
9. Camera
10. Film
11. Printing paper dan alat-alat afdruk foto
12. Benda kerja
3.3.2 Pelaksanaan Pemeriksaan Metalograpy
1. Untuk memperoleh permukaan benda uji yang memenuhi syarat agar dapat
diteliti dibawah mikroskop maka diperlukan kegiatan-kegiatan persiapan
benda uji.
a. Memotong, mengetam, mengikir.
b. Menggosok kasar dengan kertas rampelas no. 1 dalam satu arah
permukaan baja yang diteliti.
36
c. Menggosok kasa lanjutan dengan kertas rampelas no. 0 dengan arah
lurus penggerakan pertama.
d. Penggosokan halus permukaan tersebut dengan kertas ampelas no 00
dengan arah saran.
e. Penggosokan halus lanjutan dengan kertas ampelas no 000 dengan arah
sama.
f. Memoles permukaan tersebut pada piring pertama dan dilapisi dengan
polishing cloth fuighat kehalusan pertama memakai obat poles yang
samanya dilakukan pada metallogrphy polishing table.
g. Melanjutkan polishing tersebut pada piring kedua yang berputar cepat
tetapi dengan lapisan polishing cloth dengan tingkat kehalusan kedua.
h. Melanjutkan polishing pada piring ketiga & terakhir dan di lapisi dengan
polishing clath fughat kehalusan ketiga (paling halus) .
i. Memeriksa permukaan sampai licin tersebut dibawah mikroskop untuk
memastikan apakah pekerjaan-pekerjaan sebelumnya telah dilakukan
benar sehingga permukaan logam benar-benar telah. memenuhi syarat
untuk di etsa yang harus dinyatakan siap oleh asisten.
2. Mengetsa permukaan yang telah memenuhi syarat dengan bahan etsa
(etching reagents).
3. Meletakan permukaan yang telah dietsa tersebut dibawah mikroskop optik
dengan pembesaran 100 sampai 2000 x.
4. Memotret struktur mikro.
5. Film hasil pemotretan dicuci & dicetak.
6. Foto-foto struktur mikro kemudian di telit'i.
3.3.3 Laporan Mettalography Examination
1. Urutan kerja secara skematis dari awal persiapan sampai didapat foto struktur
mikro logam.
2. Tujuan dan pengertian dari pada mikroskopic examination.
3. Kemungkinan terjadinya kesalahan disaat melakukan kerja tersebut dan cara
mengatasinya.
4. Penjelasan dari bahan-bahan apa yang digunakan.
5. Apa sebenarnya Metallography itu. Jelaskan secara umum.
6. Penjelasan tentang Mikroskop Optic dan Elektron, berikut penggunaannya.
37
7. Foto-foto dari struktur mikro masing-masing benda uji. Jelaskan
hubungannya dengan sifat-sifat baja yang bersangkutan.
8. Penjelasan tentang keadaan struktur yang terdapat pada foto-foto tersebut.
9. Cara-cara untuk mengetahui butir-butir austenit hypoeutectoid steel,
eutectoid steel dan hypereutectoid steel.
3.3.4 DATA HASIL PERCOBAAN METALUGRAFI
38
Tabel 1 Data Hasil Pengamatan Struktur Mikro – Raw Materials
39
Tabel 2. Data Hasil Pengamatan Struktur Mikro S45C – After Heat Treatment Process
40
Tabel 3. Data Hasil Pengamatan Struktur Mikro SKD 61 – After Heat Treatment Process
41
BAB IV
ANALISA DATA
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, diperoleh hasil uji kekerasan dalam
bentuk table untuk baja AISI 4140. Dari hasil tabel hasil uji kekerasan untuk baja AISI 4140,
lalu di konversi ke dalam grafik hubungan kekerasan terhadap jarak dari ujung quench,
hasilnya adalah sebagai berikut :
kurva kekerasan
45
40
35
30
KEKERASAN
25
20
15
10
5
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
JARAK
Setelah dilakukan percobaan sifat mampu keras (hardenability) dapat dilihat bahwa dari
data hasil pengujian didapatkan nilai rata-rata untuk kekerasan Rockwell dengan jarak antara
titik percobaan setiap 5mm, nilai rata-rata kekerasannya sebesar 29,26 HRC. Kekerasan
berdasarkan jarak dan titik percobaan menghasilkan kekerasan yang bervariatif. Nilai
kekerasan Rockwell yang tertinggi didapat pada titik jarak pada 5mm dengan nilai
kekerasannya sebesar 42 HRC. Sedangkan nilai kekerasan Rockwell yang terendah didapat
pada titik jarak 30mm dengan nilai kekerasannya sebesar 24 HRC.
Pada saat percobaan ini, benda kerja benda kerja dipanaskan terlebih dahulu sampai suhu
austenisasi (T=900°C) selama 30 menit dengan panas yang merata ke seluruh bagian spesimen.
Benda kerja saat dipanaskan fasanya menjadi austenite (g). setelah dilakukan pemanasan,
benda kerja dilakukan proses quenching. Kemudian dilakukan proses pengukuran jominy
dengan cara menyemprotkan langsung dengan menggunakan air ke ujung baja dalam keadaan
42
temperatur tinggi. Kemudian ditunggu sekitar 50 menit sampai temperatur pada baja turun
(temperatur kamar yaitu 250C). pendinginan secara cepat bertujuan untuk membentuk
martensit yang bersifat keras Kemudian benda kerja tersebut dilakukan pengujian hardness
menggunakan Rockwell C. Pengujian dilakukan dari ujung baja yang terkena semprotan air
sampai ujung bagian atas. Dari data hasil praktikum terlihat distribusi kekerasan semakin
rendah hal tersebut diakibatkan oleh laju pendinginan yang sangat cepat sehingga banyak
martensit yang terbentuk. namun semakin jauh dari pusat quench laju pendinginan semakin
lambat sehingga martensit yang terbentuk tidak sebanyak sebelumnya maka harga kekerasan
yang dihasilkan menurun.
Dari praktikum yang telah dilakukan, didapatkan strukturmikro dari baja AISI 4140
bagian pertama. Bagian pertama ini adalah bagian yang paling banyak tekena semprotan air,
atau sesuai dari teori yang telah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa bagian ini adalah bagian
yang memiliki struktu rmikro 100% martensit.
Pada bagian keseluruhan bagian specimen memiliki perbedann pada metode quenching,
harga kekerasannya merata, namun akan terjadi vapour blanket disekitar specimen dikarenakan
sepesimen statis. Vapour blanket adalah uap air disekitar specimen yang terbentuk karena air
terjadi penguapan, fenomena ini dapat di hindari dengan cara menggoyangkan specimen. Pada
awalnya baja memiliki fasa ferrite (BCC), kemudian dipanaskan hingga fasanya menjadi
austenite (FCC), namum pada percobaan ini baja dilakukan pendinginan dengan cepat
sehingga terbentuk masretnsit (BCT). Pada pembentukan martensit, yang terjadi bukanlah
difusi melainkan mekanisme geser dan strukturnya menjadi BCT (Body Centered Tetragonal).
Pengaruh laju pendinginan terhadap pembentukan martensit dapat dilihat pada diagram CCT.
Specimen pada percobaan ini adalah baja AISI 4041 yang memiliki kadar karbon medium,
implikasi pada diagram CCTnya adalah bidangnya tidak terlalu dekat dengan sumbu vertical
43
dan garis martensit start yang tidak terlalu rendah, sehingga memungkinkan terjadinya
martensite 100% walaupun pendinginannya tidak terlalu cepat.
Tc = 148,9 ⁰C
T = 421,9 K
Jadi temperatur yang dipakai agar kekerasannya turun sebesar 10 yaitu 148,9 ⁰C.
P = T (k + log t)
P = 8.692
Ketika nilai parameter tempernya sama maka diasumsikan bahwa kekerasan yang
didapatkan sama. Maka dari itu dilakukan perhitungan temperatur untuk waktu holding
1 jam sebagai berikut :
P = T (k + log t)
8692 = T (20 + log 1)
T = 434,6 K
T = 162oC
Jadi untuk menghasilkan penurunan kekerasan sebesar 10, spesimen dipanaskan sampai
temperatur 162oC dengan diholding selama 1 jam.
44
3. Hasil Uji Kekerasan Setelah Tempering
Tabel 6. Hasil uji kekerasan setelah tempering
45
kekerasan sebesar 31,4 HRc. Jika dilihat dari literatur, tempering merupakan salah satu
perlakuan panas yang salah satu tujuannya menurunkan nilai kekerasan. Pada praktikum
ini ingin dilakukan penurunan kekerasan dari spesimen AISI 1045 sebesar 10. Dan
setelah dilakukan perhitungan dengan persamaan (1) didapatkan nilai Tc sebesar
148,9⁰C. Tetapi karena persamaan tersebut hanya berlaku untuk waktu holding selama 4
jam, maka dilakukan perhitungan selanjutnya dengan persamaan (2). Darisitu didapatkan
nilai P atau parameter temper sebesar 8.692. Menurut teori yang ada, jika nilai parameter
sama maka nilai kekerasan yang dihasilkan juga sama, sehingga dilakukan perhitungan
untuk mencari temperatur temper untuk waktu holding selama 1 jam dengan persamaan
(2), dan hasilnya diperoleh besarnya temperatur temper 162⁰C.
Ada beberapa asumsi yang bisa diambil terkait kesalahan hasil praktikum ini.
Pertama, ketika proses pendinginan spesimen setelah ditemper terjadi kesalahan
pendinginan. Dimana seharusnya spesimen didinginkan dengan media udara, tetapi pada
praktikum ini specimen tercampur dengan lem. Sehingga kemungkinan berpengaruh
terhadap nilai kekerasan yang dihasilkan. Kedua, dalam pengujian kekerasan terjadi
kesalahan pada alat yang belum dikalibrasi, sehingga berpengaruh pada hasil
kekerasannya. Selain itu ukuran spesimen juga berpengaruh saat dilakukan indentasi
pada bagian tepi, dimana posisi spesimen ketika diberi pembebanan menjadi sedikit
miring dan kemungkinan mempengaruhi nilai kekerasan yang diperoleh baik sebelum
maupun sesudah ditemper. Ketiga, besarnya temperatur awal pemanasan spesimen tidak
sesuai. Pada praktikum ini, sebelum dimasukan ke dalam furnace untuk ditemper,
temperatur spesimen sudah mencapai temperatur kamar. Sedangkan menurut literaur
yang ada, penemperan biasanya harus dilakukan sebelum baja mencapai temperature
kamar, sekitar 50-75⁰C. Keempat, furnace yang dipakai mengalami kerusakan, karena
ketika mencapai temperatur holding, temperaturnya masih terus naik baru kemudian
turun lagi. Sehingga berpengaruh terhadap spesimennya.
46
Jika dirunut, tempering dilakukan untuk menurunkan nilai kekerasan suatu material
yang telah mengalami proses hardening. Dalam proses hardening akan menghasilkan
spesimen yang keras, tetapi sangat getas. Karena memang struktur dari martensit itu
sendiri memiliki bentuk yang runcing seperti jarum. Tempering ini ditujukan untuk
merubah fasa tunggal martensit dengan struktur BCT yang mengandung supersaturated
carbon bertransformasi menjadi temper martensit, yang terdiri dari fasa ferit yang stabil
dan sementit, seperti yang tampak pada diagram fasa besi-besi karbida. Dan dalam
prosesnya, besar dari temperatur temper dan waktu temper sangat berpengaruh terhadap
nilai kekerasan yang dihasilkan. Dimana besarnya kekerasan ini dapat diprediksi dari
kurva temper dan parameter temper.
Pengujian struktur mikro agar dapat diamati mikrostrukturnya, maka terlebih dahulu
benda uji di potong yang merupakan bagian dari spesimen kekerasan yaitu pada bagian
ujungnya, Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pada pengujian struktur
mikro :
1. Spesimen yang telah dipotong dan dibingkai (mounting) kemudian digrinding dengan
kertas ampelas grade 120 dan 240 selama 15 menit, kemudian dilanjutkan dengan grade
400, 600, 800, 1000, 1500.
2. Setelah digrinding dengan ampelas, spesimen dipolesh dengan magnesium oxide
(MgO) agar tidak terdapat goresan pada permukaan spesimen..
3. Etsa nital 3% dituangkan dalam wadah kemudian spesimen dicelupkan kedalam etsa
selama 5 -30 detik. Proses pengerjaannya adalah dicelupkan selama ± 5 detik pada
larutan nital tersebut kemudian dicuci dengan air bersih lalu dikeringkan.
4. Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan menggunakan alat mikroskop optic
OLYMPUS BX41M yang disambungkan ke program pada komputer. Spesimen
diletakkan diatas bidang uji atau meja mikroskop kemudian didekatkan dengan
mikroskop optik.
5. Digunakan perbesaran 100x sampai 500x dan diambil photo dari masing-masing
spesimen. Fokus pada mikroskop diputar untuk mendapatkan pengamatan yang baik
pada spesimen.
6. Setelah didapatkan fokus dan pencahayaan yang yang pas, diambil photo dari spesimen
dengan mengklik icon Capture frame pada program.
47
Struktur mikro pada sampel uji terdapat struktur perlit dan sementit, dimana bagian
tersebut yang mendominasi adalah sementit. Sifat sementit itu sendiri sangat keras dan getas,
serta sifat perlit ulet dan baik sekali ketahanan ausnya.
Struktur mikro didapatkan bahwa terdapat partikel silikon yang berbentuk jarum dengan
jenis struktur silikon eutektik dan silikon primer (coarse) yang berukuran kecil yang didapatkan
karena paduan pengecoran aluminium, silikon dan Ti-B
48
Dari pengujian Struktur mikro semua material baja SKD 61 kondisi tanpa perlakuan pada
daerah tepi berupa matrik Austenite-Bainit dengan butir Karbida Chrome menyebar merata.
Etsa: marble. Struktur mikro material SKD 61 kondisi tanpa perlakuan pada daerah tengah
berupa matrik Austenite-Bainit dengan butir Karbida Chrome menyebar merata. Etsa: marble.
Dengan nilai rata–rata kekerasan 47,7 HRC.
49
P= 61,5%
1.
F= 38,4%
2.
3.
4.
5.
Pada Baja S45 C adalah Baja Medium dengan kandungan karbon antara 0,3%C – 0,59%C
1. Struktur mikro terlihat bahwa struktur yang terbentuk adalah, perlite (berwarna gelap atau
hitam) dan ferrite (berwarna terang). Perlite merupakan campuran dari ferrite dan
sementite.
Kandungan Ferrit
𝑈
𝐹= ( 𝑇+𝑈)
0,8−𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑘𝑎𝑟𝑏𝑜𝑛
=
0,8−0,02
0,8−0,5
=
0,8−0,02
𝐹 = 0,384 ≈ 38,4%
50
Kandungan Perlit
𝑇
𝑃= (𝑇+𝑈)
𝑃 = 0,615 ≈ 61,5%
2. Struktur mikro yang tidak mengalami perlakuan panas menunjukan bahwa fasa ferrite
perlite pada kondisi anil
3. Struktur mikro menunjukan bahwa pada yang lebih dominan yaitu fasa martensite
4. Struktur mikro menunjukkan fasa martensite terlihat lebih dominan dan merata setelah
material S45C mengalami penambahan suhu pemanas.
5. Fasa bainite yang kekerasannya mendekati kekerasan fasa martensite lebih
mendominasihampir diseluruh bagian specimen
BAB V
KESIMPULAN
Hasil uji struktur mikro untuk material S45C menunjukkan fasa – fasa ferrite, pearlite
dan martensite berkurang penyebarannya dan didominasi oleh fasa bainite sehingga
meningkatkan nilai kekerasannya setelah mengalami proses perlakuan panas.
51
DAFTAR PUSTAKA
52
53