Filsafat Dan Pemikiran Ekonomiislam - Ibn Hamz
Filsafat Dan Pemikiran Ekonomiislam - Ibn Hamz
Oleh :
Anugrah Juniarti Mh (2320203860102019)
Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Muliati, M.Ag
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan serta kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat
nanti.
Tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat dan Pemikiran Ekonomi Islam ini dengan judul
“Pemikiran Ekonomi Masa Ibnu Hazm (994 H/1064 M)”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen mata kuliah
Filsafat dan Pemikiran Ekonomi Islam yaitu Ibu Dr. Hj. Muliati, M.Ag yang membimbing dalam menulis
makalah ini.Sekian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penyusun
II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...…II
DAFTAR ISI……………………………………………………………………....III
BAB I PENDAHULUAN……………………………………….……………....... 1
A. Latar Belakang………………………………………….…………….......… 1
B. Rumusan Masalah………………………………………..……….………… 3
C. Tujuan…....................……………………………………………..………… 3
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………...………….. 4
A. Kesimpulan …..…………………………………………………………..... 12
B. Saran……..........…………………………………………………………..... 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 14
III
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejalan dengan hal tersebut, syari’at Islam juga mengatur segala aspek kehidupan umat
manusia, baik yang berhubungan langsung dengan aspek kehidupan keagamaan (‘ibadah),
maupun aspek sosial ekonomi umat (mu’amalah). Disamping itu, juga syari’at Islam bersifat
universal, ia dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir zaman.
Artinya bahwa syari’at Islam dapat diterapkan kapan dan dimana-pun serta berlaku sepanjang
masa. Keuniversalan ini akan tampak jelas sekali terutama dalam bidang mu’amalah, ia
bukan saja luas dan fleksibel, bahkan tidak memberikan special treatment bagi muslim dan
membedakannya dari non-muslim. Sifat keuniversalan yang disertai dengan ciri khas
fleksibelitas, menunjukkan prinsip-prinsip bersifat terbuka, cara-cara pelaksanaannya dapat
ditentukan mengikuti kebijaksanaan yang sesuai dengan konteks sosial tertentu, serta konteks
kekinian dan kedisinian.
Syari’at Islam merupakan tulang punggung al- Din al-Islam, dimana para ulama (fuqaha)
telah berusaha secara maksimal sesuai dengan peran kurun masanya untuk mempelajari
sekaligus memahami secara mendalam sejak awal dari masa kehidupan para shahabat. Itulah
sebabnya dalam lintasan kajian Tarikh al-Tasyri’ al-Islam (Sejarah hukum Islam) senantiasa
menjadi perbincangan dan pembahasan bahwa sebenarnya di awal abad ke-2 hingga dalam
abad ke-3 hijriyah, merupakan periodesasi munculnya para ulama ahli-ahli ijtihad (fuqaha),
yang lazimnya mereka lebih dikenal sebagai Imam Mazhab, atau Imam Mujtahidin.
Salah seorang ulama dari sekian banyak kategori imam mujtahid, yang juga secara
langsung membangun, membina sekaligus mengembangkan mazhabnya sendiri dibelahan
barat dunia Islam, khususnya di Andalusia (Spanyol) ialah bernamaAbu Muhammad bin
Hazm, atau lazimnya disebut dengan nama Ibn Hazm (384-456 H/994-1064 M). Termasyhur
sosok ulama besar sebagai pengikut dan generasi pelanjut mazhab al-Zhahiri,dan bahkan ia
dijuluki sebagai tokoh al-Muassis al-Tsani (pendiri kedua) mazhab al-Zhahiri setelah mazhab
al-Zhahiri Daud bin Ali (202-270 H/819-887 M)pudar misi dan reputasinya di Timur Dunia
Islam. Abu Muhammad bin Hazm sangat terkenal reputasi keilmuannya, termasuk salah
seorang penulis/pengarang yang kreatif dan produktif berkarya ilmiah, melahirkan dan
mewariskan berbagai karya tulis ilmiah yang tidak sedikit jumlahnya, yang membahas
berbagai macam disiplin ilmu.
Hidup dan berkembangnya misi mazhab yang dibangun pada masanya, bukan kerena
banyaknya jumlah murid atau pengikutnya, melainkan karena tampilnya sosok tokoh kaliber
bermata pena tajam, fasih, berargumentasi kuat dan gigih dalam membela mazhabnya.
Abu Muhammad bin Hazm, disiplin ketangguhan ilmunya menurut kalangan para
akademisi lebih populer adalah dibidang fikih. Namun demikian, dari aspek pemikiran
ekonomi Islam, secara substansial juga pada setiap kesempatan dalam uraiannya, senantiasa
menawarkan upaya-upaya penegakan dan pengembangan prinsip-prinsip keadilan sosial
2
ekonomi umat, upaya peningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, dan jaminan
hak-hak milik individu dan masyarakat umum. Substansinya sekurang-kurangnya mencakup
masalah kebutuhan dasar dan kemiskinan (ketidak terpenuhinya kebutuhan dasar, merupakan
indikator fundamental kemiskinan), masalah zakat dan pajak, serta sistem kepemilikan dan
pemberdayaan lahan pertanian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah di atas, maka penulis mendapatkan
identifikasi masalah diantaranya sebagai berikut :
1. Bagaimana biografi Ibn Hazm?
2. Bagaimana perjalanan pendidikan yang dilalui oleh Ibn Hazm?
3. Bagaimana pemikiran ekonomi masa Ibn Hazm?
C. Tujuan
1. Memberikan pengetahuan mengenai biografi Ibn Hazm
2. Untuk mengetahui bagaimana riwayat pendidikan Ibn Hazm
3. Memberikan pengetahuan serta wawasan mengenai pemikiran ekonomi Islam pada masa
Ibnu Hazm
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ujang Syahrul Mubarrok, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,” in Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
(Bandung: Media Sains Indonesia, 2021).
4
B. Riwayat Pendidikan Ibnu Hazm
Wanita-wanita istana mengasuh Ibnu Hazm semasa kecil. Beliau diasuh oleh para guru
yang mengajarkan beliau berbagai macam ilmu mulai dari belajar membaca,
menghafalkan quran, syair-syair, maupun belajar menulis. Pada usia belia, beliau bersama
ayahnya menghadiri banyak majelis ilmu selain dihadiri oleh khalifah al-Mansur majelis-
majelis ilmu yang dihadiri oleh Ibnu Hazm juga sering dihadiri oleh ahli syair maupun
para ilmuan. Selain itu Ibnu Hazm juga belajar bersama guru yang terkenal sebagai orang
yang wara bernama Abu Al-Husain Ibnu Husain Al-Farisi. Ibnu Hazm selalu duduk
berdampingan bersama guru terbaik yang dipilih oleh ayahnya.
Guru Ibnu Hazm terkenal mampu melenyapkan dorongan-dorongan nafsu dari diri
seorang murid yang masih muda seperti Ibnu Hazm. Pada waktu itu ada seorang murid
yang tidak mengenakan jilbab dan menurut Ibnu Hazm adalah lumrah jika kita berada di
Andalusia. Dengan kecerdasan beliau nyaris mengungguli kecerdasan guru-gurunya pada
waktu itu, karena beliau memiliki daya tangkap yang bagus, daya ingat, maupun
kecermatan pemahaman (Alwi, 2005).
Ibnu Hazm juga memiliki guru yang lain yaitu Abu Al-Qasm Abdul Al-Rahman Ibnu
Abu Yazid al-Misri yang wafat pada tahun 410 H (bin Yazid Abu, 2004). Ibnu Hazm
diajak mempelajari ilmu-ilmu hadis dan belajar bahasa arab maupun menghadiri majelis-
majelis. Guru-guru yang mengajari banyak hal kepada Ibnu Hazm adalah guru terbaik
untuk belajar semua ilmu dari mazhab-mazhab yang dipelajari ibnu Hazm juga dari guru
terbaik.
Setelah beliau menghafalkan Al-Quran dan mempelajari syair bahasa arab kemudian
Ibnu Hazm belajar ilmu hadis. Ilmu hadis dipelajari melalui guru yang bernama al-
hamazani dan juga Abubakar Muhammad Ibnu Ishaq (Alwi, 2005).
Ilmu-ilmu fiqh pertama kalinya dipelajari oleh Ibnu Hazm adalah ilmu fiqh dari
mazhab Malik alasannya mazhab ini yang banyak diikuti oleh masyarakat di sana pada
waktu itu. Mazhab maliki adalah mazhab yang dikenal sebagai mazhab resmi negara.
Dalam riwayat diceritakan bahwa Ibnu Hazm berkata pada zamannya terdapat dua mazhab
yang terbesar karena didukung pemerintah pada waktu itu. Dua mazhab itu adalah
Hanafiah dan Maliki (Alwi, 2005).
Salah satu faktor yang menjadi penyebab Ibnu Hazm belajar fiqh adalah ketika beliau
hendak melaksanakan sholat dan memasuki mesjid, saat itu waktu menjelang sholat
maghrib, beliau melaksanakan tahiyatul mesjid, tetapi orang disebelahnya menegurnya
dan berkata duduklah bukan waktunya sekarang melaksanakan sholat. Ibnu Hazm
merasakan kebingungan dengan kejadian ini. Akhirnya beliau menemui gurunya dan
beliau meminta diantarkan kepada seorang fuquha. Ulama tersebut yaitu Abu Abdullah
Ibnu Dahun beliau adalah salah satu ulama mufti terkenal Cordova. Ia lalu mengajarkan
kepada Ibnu Hazm sebuah kitab al-Muwatta. Kitab yang ditulis oleh Imam Malik Ibnu
5
Anas. Ibnu Hazm mempelajari satu kitab ini tiga tahun lamanya. Kemudian beliau
mempelajari kitab tersebut Ibnu Hazm menjadi lebih sering diskusi tentang ilmu fiqh
(Alwi, 2005).
Ibnu Hazm belajar banyak ilmu-ilmu lain salah satunya dari ulama besar Valencia
beliau adalah seorang qadi dikenal dengan nama Ibnu Abdul al Barr al-Maliki maupun
Abdullah al-Azdi beliau wafat pada tahun 403 H karena dibunuh oleh tentara barbar. Biasa
beliau dipanggil dengan sebutan Ibnu Al-Fardhli. Selain menguasai ilmu fiqh beliau juga
ahli dalam bidang biografi khususnya untuk ulama-ulama di Andalusia karena beliau ahli
dalam kesastraan dan dalam bidang sejarah (Alwi, 2005).
Selain itu, Ibnu Hazm juga menimba ilmu pada salah satu guru yang bernama
Muhammad Ibnu al-Hassan al-Mazhaji biasanya dikenal dengan sebutan Ibnu al-Katani
dan juga Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Abdul Waris ilmu mantiq dan ilmu filsafat
dipelajari dari gurunya tersebut. Ilmu mantik ataupun ilmu logika yang dipelajari Ibnu
Hazm (Alwi, 2005).
Selain belajar mazhab maliki Ibnu Hazm juga belajar Mazhab syafii yang pada waktu
itu di Andalusia mazhab itu kurang dikenal. Sehingga, ilmu mazhab syafii yang dipelajari
Ibnu Hazm didapatkan secara otodidak. Kemudian, ibnu Hazm mempelajari ilmu muqaran
yaitu ilmu fiqh perbandingan, ilmu tafsir maupun ilmu hadis dari kitab para ulama yang
terkenal diantaranya yaitu kitab ulama mufasir karya dari Baqi Ibnu Makhlad maupun
kitab ahkam Al-Qur’an karya Ibnu Umayyah Al-Hijazi beliau dikenal ulama dengan
mazhab syafii serta kitab dari ulama penganut mazhab al-Dawudi atau al-Zahiri yaitu Abu
al-Hakam Munzir ibnu Said.
Dalam berijtihad Ibnu Hazm belajar dengan menggunakan metode atsar atau riwayat
sahabat di madrasah Andalusiyyah. Di madrasah itu banyak tokoh-tokoh yang menulis
sebuah buku mengenai hadis, atau menulis ahkam dari al-Quran, tarikh dan juga fiqh yang
pemikirannya berpengaruh banyak terhadap pemikiran Ibnu Hazm. Antara lain Qasim bin
Asbagh al- Qurthubi, Ahmad Ibnu Khalid maupun Muhammad Ibnu Aiman (Alwi, 2005).
Ulama yang bernama Mas’ud Ibnu Sulaiman Ibnu Muflit Abu al-Khiyar yang wafat
pada tahun 426 H adalah ulama yang pemikirannya banyak berpengaruh pada pemikiran
Ibnu Hazm. Beliau adalah ulama fuqaha muqaran yang bermazhab al Zahiri. Beliau
sebagai guru yang mempunyai daya pilih terhadap berbagai mazhab beliau mempunyai
kecenderungan yang zahir dari nash. Beliau mempunyai sikap yang bebas dalam berfikir
dan juga tidak terikat pada mazhab apapun. Ibnu Hazm sangat dekat dengan gurunya ini
dari kedekatan dengan gurunya Ibnu Hazm punya pendirian sendiri dan berkata saya
mengikuti kebenaran saya berijtihad dan juga tidak terikat oleh mazhab. Ibnu Hazm
6
dikenal sebagai pendiri kedua dari mazhab al-Zahiri setelah pendiri pertama yaitu Daud al-
Zahiri (Alwi, 2005).2
Ibn Hazm menurut pandangan Siddiqi (2007) sebagai ulama yang memiliki
pemikiran sangat jelas dalam bidang tanggung jawab bersama dalam masyarakat Islam.
Ibn Hazm memiliki visi yang luas dalam menghapus kemiskinan, menjamin keadilan
sosial, dan tanggung jawab negara Islam dalam menciptakan kesejahteraan. Jaminan
sosial (takaful ijtima’i) memiliki dasar kerjasama dengan akad kafalah. Ibn Hazm
memaknai kafalah sebagai jaminan (ad-daman), pembebanan (hamalah), pertanggungan
(za’amah), dan penerimaan (qabalah).
Orang yang menjamin adalah orang yang menerima jaminan, bertanggung jawab,
dan siap menerima beban. Konsep jaminan sosial menurut Ibn Hazm adalah pemerintah
harus memaksakan orang-orang kaya wajib menjamin kehidupan orang-orang fakir
miskin. Setiap orang kaya pada setiap negeri berkewajiban menanggung kehidupan
orang-orang fakir miskin, dan bagi pihak berwenang memerintahkan untuk
merealisasikannya (Said HM, 2016).
Terdapat beberapa parameter jaminan sosial yang harus dipenuhi, yaitu pangan,
pakaian, tempat tinggal, dan rasa aman. Makanan dan minuman harus dapat memenuhi
kesehatan dan kebutuhan energi. Pakaian harus dapat menutup aurat dan melindungi
dari udara panas, dingin, dan hujan. Rumah temapt tinggal harus dapat melindungi dari
berbagai cuaca. Rasa aman setiap warga dari rasa cemas, ketakutan, dan ancaman dari
pihak luar. Skema pembiayaan jaminan sosial diambil dari harta zakat dan harta kaum
muslimin lainnya serti wakaf, infaq, sadaqah, ghanimah, fa’i, dan kharaj.
Konsep jaminan sosial terkait erat dengan pemikiran Ibn Hazm mengenai nafkah
yang bermakna membelanjakan uang atau harta untuk keperluan hidup. Sistem nafkah
disyariatkan dalam rangka menghadapi kekikiran, menguatkan ikatan kerabat, dan
menjaga kecintaan keluarga. Ada dua jenis nafkah menurut Ibn Hazm (Said HM &
Syafi’ah, 2015), yaitu: nafkah wajib dan nafkah sunnah.
a. Nafkah wajib
Setiap orang yang masih sehat dan kuat, tidak ada alasan untuk tidak bekerja
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Urutan pemberian
2
H. Rahman. Alwi, Metode ijtihad mazhab Al-Zahiri: alternatif menyongsong modernitas (Gaung Persada
Press, 2005).
7
nafkah menurut Ibn Hazm dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga tanggungan
dalam rumah tangga, kemudian fakir miskin dari kalangan keluarga, fakir miskin di
sekitarnya.
b. Nafkah sunnah
Nafkah sunnah sebagai bagian dari jaminan sosial, menurut Ibn Hazm antara lain
berupa upaya seseorang berbuat kebaikan-kebaikan, upaya pemberian pinjaman
terhadap seseorang, upaya pemberian jasa atas prestasi kerja seseorang, dan upaya
pemberian hasil pertanian saat panen. Ibn Hazm menjelaskan bahwa memberi
pinjaman termasuk perbuatan baik yang sangat dianjurkan dalam Islam, bahkan
dalam situasi dan kondisi tertentu dapat diputuskan hukumnya sebagai suatu
kewajiban. Apabila ada orang tidak mau memberi pinjaman sementara si peminjan
sangat membutuhkan, maka Allah mengancam dengan azab neraka wail. Ibn Hazm
menganggap pemberian jasa sebagai perbuatan yang masuk dalam amalan shadaqah
selain dalam bentuk pemberian wajib (zakat). Pemberian jasa termasuk dalam
pemberian sukarela atas prestasi para pekerja.
Ibn Hazm dala kitab al-muhalla memandang transaksi sewa menyewa tanah tidak
diperbolehkan, baik untuk bangunan, pertanian, atau untuk yang lain. Sewa tanah juga
tidak boleh baik dalam jangka pendek, jangka Panjang, maupun tanpa batas waktu.
Sewa tanah juga tidak boleh meskipun dengan imbalan dinar atau dirham.
Apabila itu sudah terjadi, maka transaksi sewa-menyewa tersebut batal untuk
selama-lamanya. Ibn Hazm memberikan tiga solusi dalam pengelolaan tanah, yaitu:
c. Pemilik tanah mengadakan akad kerjasama dengan orang lain untuk mengelola tanah
bagi hasil sesuai kesepakatan.
Pendapat Ibn Hazm tersebut didasarkan pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Muslim: ‘Dari Rafi’I bin Khudaij: Rasulullah melarang penyewaan tanah’. Selain itu,
Ibn Hazm melihat bahwa praktik sewa menyewa tanah mengandung gharar karena
kemungkinan bisa merugikan pihak penyewa, yaitu petani penggarap. Hal ini
dikarenakan tanaman bisa jadi diserang wabah penyakit, dilanda bencana kekeringan
atau kebakaran sehingga petani merugi, membayar sewa tanpa mendapatkan hasil sama
sekali (Lolyta, 2014).
8
Ibn Hazm memandang bahwa tanah merupakan ciptaan Allah dan manusia tinggal
memanfaatkannya. Jadi kepemilikan manusia atas tanah tidak mutlak, namun bersifat
kepemilikan relative selama ia memanfaatkannya. Jika ia tidak bisa memanfaatkan,
maka harus diberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan sebagaimana
asas kepemilikan umum tanah sebagai ciptaan Allah. Tanah tidak bisa disamakan
dengan barang atau peralatan produksi manusia yang dapat disewakan (Choiriyah,
2016).
Ibn Hazm berpendapat bahwa siapa saja yang mengelola tanah yang tidak diketahui
pemiliknya (menghidupkan tanah mati/ihya’ al-mawat), maka berhak baginya tanah
tersebut baik melalui legislasi dari pemimpin maupun tidak. Namun tanah-tanah yang
diperuntukkan kepada sosial maupun kepentingan umum maka tidak dapat dijadikan
sebagai objek tanah terlantar atau tanah tak bertuan. Orang kafir, sekutu, dan tawanan
perang yang sedang dalam perlindungan dan pengawasan tidak diperbolehkan untuk
melakukan ihya’ al-mawat meskipun memperoleh izin dari pemerintah.
Pendapat Ibn Hazm tersebut berbeda dengan ulama mazhab lain misalnya Abu
Hanifah yang memperbolehkan sewa menyewa tanah. Alasan diperbolehkan sewa
menyewa tanah adalah kepemilikan tanah secara mutlak. Pemilik tanah berhak
sepenuhnya atas tanah tersebut, mau dimanfaatkan sendiri, atau dikelola orang lain,
atau dialihkan kepada orang lain dengan ganti rugi berupa sewa yang dibayarkan
kepada pemilik tanah sesuai dengan kesepakatan.
3. Signifikansi Zakat
Ibn Hazm dalam masalah zakat menekankan status zakat sebagai kewajiban, dan
juga menekankan peranan zakat dalam pemberantasan kemiskinan. Ibn Hazm menuntut
pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang
enggan membayar zakat, sampai orang tersebut mau, baik sukarela maupun terpaksa.
Apabila ada yang menolak membayar zakat maka dapat disebut sebagai golongan
murtad. Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang. Seseorang
yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum mengeluarkannya selama hidupnya,
maka harus dipenuhi kewajibannya itu dari hartanya. Hal ini karena, tidak
mengeluarkan zakat berarti punya hutang terhadap Allah SWT. Hal ini berbeda dengan
pengeluaran pajak dalam pandangan konvensional yang jika tidak dibayarkan berarti
tidak ada pemasukan bagi negara dalam periode waktu tertentu.
Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu tertentu. Ibnu Hazm sangat
fokus terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak. Menurut Ibn Hazm, sebelum segala
sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus
dipertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang
9
dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan.
Hal ini mengajak kita untuk mendiskusikan teori keuangan publik konvensional
berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar pajak.
Ibnu Hazm perhatian terhadap pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini,
menurutnya, sikap kasar dan eksloratif dalam pengumpulan pajak juga tidak boleh
melampaui batas ketentuan syari’ah. Hilangnya peran pembayar zakat juga berarti juga
hilangnya eksistensi suatu Negara. Hal ini mungkin terjadi karena hilangnya hasrat
orang untuk membayar pajak, sehingga mengurangi dukungan publik untuk tegaknya
kekuasaan pemerintah. Menurutnya pendapatan pajak potensial mungkin muncul akibat
terjadinya penyimpangan dan kecerobohan para petugas pajak murtad yang dapat
dijatuhi hukuman.3
Dalam konteks ini, Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh
dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi daripada pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan. Hal ini terjadi akibat laju populasi yang meningkat cepat (akibat
kelahiran atau migrasi). Kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin dapat
menambah kesulitan saat keadaan orang kaya mempengaruhi struktur administrasi, cita
rasa, dan berbagai pengaruh lain seperti kenaikan tingkat harga dalam aktifitas
ekonomi.
Berkenaan dengan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, Ibnu Hazm memperluas
jangkauan dan ruang lingkup kewajiban sosial lain di luar zakat yang wajib di penuhi
oleh orang kaya. Ini merupakan bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial mereka
terhadap orang miskin, anak yatim, dan orang yang lemah secara ekonomi. Salah satu
pandangan Ibnu Hazm yang menarik dalam masalah ini dapat dilihat :
3
Ujang Syahrul Mubarrok, “Sej. Pemikir. Ekon. Islam.”
10
semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim panas yang layak, dan tempat
tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari, dan pandangan
orang-orang yang lalu-lalang”.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros.”(Q.S al-Isra:26).
Hak-hak yang diperintahkan Allah untuk dipenuhi orang kaya, dipahami oleh Ibnu
Hazm sebagai suatu kewajiban. Hak-hak yang mesti dipenuhi tersebut tidak lain
merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi sandang, pangan dan
papan yang layak dan sesuai dengan harkat kemanusiaan. Hak tersebut merupakan
bagian dari Hak Asasi Manusia yang menjadi tanggung jawab sosial secara bersama-
sama dalam mewujudkannya, demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh umat
manusia. Bagaimana pun juga, kemiskinan tidak pernah dikehendaki oleh siapapun.
Orang miskin harus dibantu untuk bisa terbebas dari kemiskinan yang membelenggu. 4
4
Febri Kusuma, “Pemikiran Ekonomi Islam Ibn Hazm,” 2020.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran Ekonomi Ibn Hazm, mencakup 4 hal, yaitu; Pemenuhan Kebutuhan Pokok
dan Pengentasan Kemiskinan, Urgensi Zakat, Persoalan Pajak, dan Sewa Tanah dan
Pemerataan Kesempatan.
a. Ibnu Hazm menekankan pada salah satu Maqasid al-Syariah yang merupakan
pelestarian kehidupan manusia dan kesejahteraan melalui empat dasar standar
manusia yang mencakup; makanan, pakaian, kesehatan dan tempat tinggal.
d. Dengan demikian, Ibnu Hazm juga menekankan pada peran negara serta orang-
orang kaya dalam pemenuhan kebutuhan orang miskin.
2. Zakat
a. Zakat merupakan kewajiban (rukun Islam) bagi umat Islam yang berdosa jika
tidak ditunaikan.
b. Dengan membayar zakat serta dengan distribusi yang efektif dan efisien,
kemiskinan dapat diberantas karena mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar.
3. Taxes (pajak)
12
e. Pajak itu harus dikumpulkan dengan tidak melampaui batasan Syari'ah.
13
DAFTAR PUSTAKA
Suryan A. Jamrah, Pemikiran Kalam Ibn Hazm Al-Andalusi, edisi 1, Pekanbaru : IAIN
Susqa Press, 1998
Ujang Syahrul Mubarrok. “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.” In Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Bandung: Media Sains Indonesia, 2021.
14