Anda di halaman 1dari 37

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT

TIDAK MENULAR
STROKE

RISKA AULIA
ROMBEL 2/ 6411416065
DEFINISI

Menurut World Health Organization (WHO),


stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
cepat akibat gangguan otak fokal (atau global)
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24
jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian
tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler.
ETIOLOGI
Beberapa penyebab stroke, diantaranya :
Trombosis.
Aterosklerosis (tersering).
Vaskulitis : arteritis temporalis, poliarteritis nodosa.
Robeknya arteri : karotis, vertebralis (spontan atau traumatik).
Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit).
Embolisme.
Sumber di jantung : fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium, penyakit
jantung reumatik, penyakit katup jantung, katup prostetik, kardiomiopati iskemik.
Sumber tromboemboli aterosklerosis di arteri : bifurkasio karotis komunis, arteri
vertrebralis distal.
Keadaan hiperkoagulasi : kontrasepsi oral, karsinoma.
Vasokonstriksi.
Vasospasma serebrum setelah peradarahan subaraknoid.
KLASIFIKASI
Berdasarkan klasifikasi Berdasarkan stadium/
modifikasi Marshall, stroke dibagi pertimbangan waktu
atas (Misbach,1999): Transient Ischemic Attack
Berdasarkan patologi anatomi Stroke in evolution
dan penyebabnya Completed stroke
Stroke Iskemik
Berdasarkan sistem pembuluh
TransientIschemic Attack darah
Trombosis serebri Sistem karotis

Emboli serebri Sistem vertebro-basiler

Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subaraknoid
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, terdapat 4 juta penderita stroke dan lebih dari
750.000 ada penderita stroke yang baru. Resiko stroke meningkat sesuai
umur, dengan insidensi stroke yang tinggi pada orang-orang diatas 65
tahun (Frtzsimmons, 2007).
Insidensi serangan stroke pertama sekitar 200 per 100.000
penduduk per tahun. Insidensi stroke meningkat dengan bertambahnya usia.
Konsekuensinya, dengan semakin panjangnya angka harapan hidup,
termasuk di Indonesia, akan semakin banyak pula kasus stroke yang
dijumpai. Perbandingan antara penderita pria dan wanita hampir sama
(Hankey, 2002).
Stroke menduduki posisi ketiga di Indonesia setelah jantung dan
kanker. Sebanyak 28.5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya
menderita kelumpuhan sebagian maupun total hanya lima belas persen
saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan.
Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) menyebutkan bahwa 63,52 per
100.000 penduduk indonesia berumur di atas 65 tahun ditaksir menderita
stroke.
EPIDEMIOLOGI
Menurut Distribusi Frekuensi Stroke
a. Menurut Orang
Menurut penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997-2001,
terdapat 264 orang penderita stroke iskemik pada usia 18-45 tahun, yang
disebabkan oleh kelebihan lemak, merokok, hipertensi dan riwayat stroke.16
Berdasarkan data penderita stroke yang dirawat oleh Pusat Pengembangan
dan Penanggulangan Stroke Nasional (P3SN) RSUP Bukittinggi pada tahun
2002, terdapat 501 pasien, yang terdiri dari usia 20-30 tahun sebesar
3,59%, usia 30-50 tahun sebesar 20,76%, usia 51-70 tahun sebesar
52,69% dan usia 71-90 tahun sebesar 22,95%.17
Hasil penelitian Syarif. R di Rumah Sakit PTP Nusantara II Medan tahun
1999-2003 menunjukkan bahwa dari 220 sampel yang diteliti,
berdasarkan suku penderita stroke yang dirawat inap sebagian besar
bersuku Jawa sebanyak 120 orang (54,5%) dan yang terendah suku
Minang sebanyak 3 orang (1,4%), berdasarkan status perkawinan
penderita stroke yang dirawat inap sebagian besar berstatus kawin
sebanyak 217 orang (98,6%) dan yang berstatus tidak kawin sebanyak 3
orang (1,4%).
EPIDEMIOLOGI

b. Menurut Tempat
Menurut American Heart Association, diperkirakan terjadi 3 juta
penderita stroke pertahun, dan 500.000 penderita stroke yang baru terjadi
pertahun. Angka kematian penderita stroke di Amerika adalah 50-
100/100.000 penderita pertahun.
Di China (2005), terdapat 1,5 juta penderita stroke dan 1 juta penderita
stroke meninggal dunia dengan CFR 66,66%.19 Di India, angka prevalensi
stroke sebesar 8,6 per 100.000 populasi pertahun.
Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 orang terkena
serangan stroke, 125.000 orang meninggal dunia dengan CFR 25% dan
yang mengalami cacat ringan atau berat dengan proporsi 75% (375.000
orang).
EPIDEMIOLOGI
c. Menurut Waktu
Menurut WHO (2005), stroke menjadi penyebab kematian dari 5,7
juta jiwa di seluruh dunia, dan diperkirakan meningkat menjadi 6,5 juta
penderita pada tahun 2015 dan 7,8 juta penderita pada tahun 2030.
Berdasarkan Penelitian Misbach di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
tahun 2000-2003, menunjukkan bahwa jumlah penderita stroke tahun 2000
sebanyak 641 orang, tahun 2001 sebanyak 722 orang, tahun 2002
sebanyak 706 orang dan tahun 2003 sebanyak 522 orang. Di RSU
Banyumas, terjadi peningkatan penderita stroke yang dirawat inap pada
tahun 1997-2000. Pada tahun1997 terdapat penderita stroke sebanyak
255 orang, tahun 1998 sebanyak 298 orang, tahun 1999 sebanyak 393
orang dan tahun 2000 sebanyak 459 orang.
FAKTOR RESIKO
Menurut AHA (American Heart Faktor Resiko Yang Dapat Diubah
Association) Guideline (2006), faktor Hypertensi/ tekanan darah tinggi
resiko stroke adalah sebagai berikut: Merokok
Faktor resiko yang tak dapat diubah Diabetes
Penyakit Jantung/Atrial Fibrilation
Umur
Kenaikan kadar cholesterol/lemak darah
Jenis Kelamin.
Penyempitan Pembuluh darah Carotis
Berat Lahir Yang Rendah Gejala Sickle cel
Ras Penggunaan terapi sulih hormon.
Faktor Keturunan Diet dan nutrisi
Latihan fisik
Kelainan Pembuluh Darah Bawaan :
sering tak diketahui sebelum terjadi Kegemukan
stroke III. Faktor Resiko Yang Sangat Dapat Diubah
Metabolik Sindrom
Pemakaian alkohol berlebihan
Drug Abuse/narkoba
Pemakaian obatobat kontrasepsi (OC)
Gangguan Pola Tidur
Kenaikan homocystein
Kenaikan lipoprotein
Hypercoagubility
GEJALA
Gejala Stroke Non Hemoragik
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat
gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:
Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
Buta mendadak (amaurosis fugaks).
Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan
terletak pada sisi dominan.
Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat
disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol.
Gangguan mental.
Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
Bisa terjadi kejang-kejang.
GEJALA
Gejala akibat penyumbatan arteri Gejala akibat penyumbatan sistem
serebri media. vertebrobasilar.
Bila sumbatan di pangkal arteri, Kelumpuhan di satu sampai keempat

terjadi kelumpuhan yang lebih ekstremitas.


ringan. Bila tidak di pangkal Meningkatnya refleks tendon.

maka lengan lebih menonjol. Gangguan dalam koordinasi gerakan


tubuh.
Gangguan saraf perasa pada
Gejala-gejala sereblum seperti
satu sisi tubuh. gemetar pada tangan (tremor), kepala
Hilangnya kemampuan dalam berputar (vertigo).
berbahasa (aphasia). Ketidakmampuan untuk menelan
(disfagia).
Gangguan motoris pada lidah, mulut,
rahang dan pita suara sehingga pasien
sulit bicara (disatria).
Kehilangan kesadaran sepintas (sinkop),
penurunan kesadaran secara
GEJALA
o lengkap (strupor), koma, pusing, gangguan daya ingat, kehilangan daya
ingat terhadap lingkungan (disorientasi).
o Gangguan penglihatan, sepert penglihatan ganda (diplopia), gerakan arah
bola mata yang tidak dikehendaki (nistagmus), penurunan kelopak mata
(ptosis), kurangnya daya gerak mata, kebutaan setengah lapang pandang
pada belahan kanan atau kiri kedua mata (hemianopia homonim).
o Gangguan pendengaran.
o Rasa kaku di wajah, mulut atau lidah.
Gejala akibat penyumbatan arteri serebri posterior
Koma

Hemiparesis kontra lateral.

Ketidakmampuan membaca (aleksia).

Kelumpuhan saraf kranialis ketiga.


GEJALA
Gejala akibat gangguan fungsi luhur
Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi
dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara,
mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara
kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia
sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang
lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar,
walau sebagian diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari luasnya
kerusakan otak.
Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak.
Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu
Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat
membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca huruf,
tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan
keduanya disebut Global alexia.
GEJALA
o Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya kerusakan
otak.
o Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal angka
setelah terjadinya kerusakan otak.
o Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah sejumlah
tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti penamaan, melakukan
gerakan yang sesuai dengan perintah atau menirukan gerakan-gerakan
tertentu. Kelainan ini sering bersamaan dengan Agnosia jari (dapat dilihat
dari disuruh menyebutkan nama jari yang disentuh sementara penderita
tidak boleh melihat jarinya).
o Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya kemampuan
melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan dengan ruang.
GEJALA
o Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat
kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan
yang menyebabkan terjadinya gangguan bicara.
o Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma
capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan massa
di otak.
o Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup sejumlah
kemampuan.
Gejala Perdarahan Intraserebral (PIS)
Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah:
nyeri kepala berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga
subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala
penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu beraktivitas
dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk
koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara 1/2-2 jam, dan
12% terjadi setelah 3 jam).
GEJALA
Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat,
nyeri di leher dan punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada
pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku kuduk,
Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan selaput otak,
jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada fungsi saraf. Pada
gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam setelah 24 jam. Bila
berat, maka terjadi ulkus pepticum karena pemberian obat antimuntah
disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan
perubahan pada EKG.
Gejala Perdarahan Subdural
Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri
kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi,
tanda-tanda defisit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala ini
timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah terjadinya
trauma kepala.
PATOGENESIS
Patogenesis umum
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam
arteri arteri yang membentuk sirkulus Willisi : arteri karotis interna dan sistem
vertebrobasilar atau semua cabang cabangnya. Secara umum, apabila aliran
darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark
atau kematian jaringan. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu
dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang
memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa, (1) keadaan penyakit pada
pembuluh darah itu sendiri, seperti aterosklerosis dan thrombosis, robeknya
dinding pembuluh darah, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat
gangguan status aliran darah, misalnya syok hiperviskositas darah; (3) gangguan
aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau
pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular didalam jaringan otak atau
ruang subaraknoid.
PATOGENESIS
Berdasarkan patogenesis stroke, maka perjalanan sakit akan
dijabarkan dibawah ini menjadi:
Stadium prapatogenesis, yaitu stadium sebelum terjadi gejala stroke.
Stadium ini umumnya penderita sudah mempunyai faktor risiko atau
memiliki gaya hidup yang mengakibatkan penderita menderita penyakit
degeneratif.
Stadium patogenesis, yaitu stadium ini dimulai saat terbentuk lesi
patologik sampai saat lesi tersebut menetap. Gangguan fungsi otak
disini adalah akibat adanya lesi pada otak. Lesi ini umumnya mengalami
pemulihan sampai akhirnya terdapat lesi yang menetap. Secara klinis
defisit neurologik yang terjadi juga mengalami pemulihan sampai taraf
tertentu.
Stadium pascapatogenesis, yaitu stadium ini secara klinis ditandai
dengan defisit neurologik yang cenderung menetap. Usaha yang dapat
dilakukan adalah mengusahakan adaptasi dengan lingkungan atau
sedapat mungkin lingkungan beradaptasi dengan keadaan penderita.
PATOGENESIS
Sehubungan dengan penalataksanaanya maka stadium
patogenoesis dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu : 12
Fase hiperakut atau fase emergensi. Fase ini berlangsung selama 0
3 / 12 jam pasca onset. Penatalaksanaan fase ini lebih ditujukkan
untuk menegakkan diagnosis dan usaha untuk membatasi lesi
patologik yang terbentuk.
Fase akut. Fase ini berlangsung sesudah 12 jam 14 hari pasca
onset. Penatalaksanaan pada fase ini ditujukkan untuk prevensi
terjadinya komplikasi, usaha yang sangat fokus pada
restorasi/rehabilitasi dini dan usaha preventif sekunder.
Fase subakut. Fase ini berlangsung sesudah 14 hari kurang dari
180 hari pasca onset dan kebanyakan penderita sudah tidak
dirawat di rumah sakit serta penatalaksanaan lebih ditujukkan untuk
usaha preventif sekunder serta usaha yang fokus pada neuro
restorasi / rehabilitasi dan usaha menghindari komplikasi.
PATOGENESIS STROKE ISKEMIK
Stroke iskemik terjadi akibat obstruksi atau bekuan disatu atau
lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat
disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk didalam suatu
pembuluh otak atau pembuluh organ distal kemudian bekuan dapat
terlepas pada trombus vaskular distal, atau mungkin terbentuk didalam
suatu organ seperti jantung, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri
ke otak sebagai suatu embolus. Pangkal arteria karotis interna (tempat
arteria karotis komunis bercabang menjadi arteria karotis interna dan
eksterna) merupakan tempat tersering terbentuknya arteriosklerosis.
Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan penyebab
stroke pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami pembentukan
plak arteriosklerosis di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan
atau stenosis.
PATOGENESIS STROKE HAEMORAGIK

Stroke haemoragik terjadi akibat tekanan darah yang sangat tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak atau stroke haemoragik
yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, perdarahan subarachnoid dan
perdarahan intraserebral.
Perdarahan subaraknoid
Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah keluar dari dinding pembuluh
darah menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan
otak ke dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya
aneurisma di basal otak atau pada sirkulasi willisii. Perdarahan subaraknoid timbul
spontan pada umumnya dan sekitar 10 % disebabkan karena tekanan darah yang
naik dan terjadi saat aktivitas.
Perdarahan intraserebral
Patogenesis perdarahan intraserebral adalah akibat rusaknya struktur vaskular
yang sudah lemah akibat aneurisma yang disebabkan oleh kenaikan darah atau
pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah, atau pecahnya pembuluh darah
otak akibat tekanan darah yang melebihi toleransi (Yatsu dkk). Menurut Tole dan
Utterback, penyebab perdarahan intraserebral adalah pecahnya mikroaneurisma
Charcot-Bouchard akibat kenaikan tekanan darah.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan, mulut
mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini timbul
sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, sedang bekerja, ataupun sewaktu istirahat.
Pemeriksaan fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan darah kiri
dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran penderita. Jika kesadaran
menurun, tentukan skor dengan skala koma glasglow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah,
tetapi seandainya penderita sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai
pemeriksaan saraf saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi masih baik atau adakah
disfasia. Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma glasglow telah ditentukan, setelah itu
lakukan pemeriksaan refleks refleks batang otak yaitu :
1. Reaksi pupil terhadap cahaya.
2. Refleks kornea.
3. Refleks okulosefalik.
Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke, hiperventilasi neurogen,
kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan kelumpuhan yang terjadi pada saraf saraf
otak dan anggota gerak. Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran
menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik prognosis neurologis
maupun kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika terjadi
perdarahan perdarahan retina atau preretina pada pemeriksaan funduskopi.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek laboratorium, pemeriksaan neurokardiologi,
pemeriksaan radiologi, penjelasanya adalah sebagai berikut :
1. Laboratorium.
Pemeriksaan darah rutin.
Pemeriksaan kimia darah lengkap.
Gula darah sewaktu.
Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam
serum dan kemudian berangsur angsur kembali turun.
Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim SGOT/SGPT/CPK, dan profil
lipid (trigliserid, LDH-HDL kolesterol serta total lipid).
Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
Waktu protrombin.
Kadar fibrinogen.
Viskositas plasma.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi Homosistein.
DIAGNOSIS
2. Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan
elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti kemungkinan
mendapat serangan infark jantung, atau pada stroke dapat
terjadi perubahan perubahan elektrokardiografi sebagai
akibat perdarahan otak yang menyerupai suatu infark
miokard. Pemeriksaan khusus atas indikasi misalnya CK-MB
follow up nya akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan
EKG dan pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan
adanya potensial source of cardiac emboli (PSCE) maka
pemeriksaan echocardiografi terutama transesofagial
echocardiografi (TEE) dapat diminta untuk visualisasi emboli
cardial.
DIAGNOSIS
3. Pemeriksaan radiologi
CT-scan otak
Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan pemeriksaan ini sangat
penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark otak. Pada
infark otak, pemeriksaan CT-scan otak mungkin tidak memperlihatkan gambaran
jelas jika dikerjakan pada hari hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam
serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan hemisferik. Perdarahan/infark di
batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan
MRI untuk memastikan proses patologik di batang otak.
Pemeriksaan foto thoraks.
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita
stroke dan adakah kelainan lain pada jantung.
Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses
manajemen dan memperburuk prognosis.
PENATALAKSANAAN
A. STADIUM HIPERAKUT
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Insta-lasi Rawat
Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal
bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium
ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid;
hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektro-kardiografi, foto
toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin
time/INR,APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elek-trolit); jika
hipoksia, dilakukan analisis gas darah.

Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah:


memberikan dukungan mental kepada pasien
serta memberikan penjelasan pada keluarganya
agar tetap tenang.
PENATALAKSANAAN
B. STADIUM AKUT
Pada stadium ini, dilakukan penanganan
faktor-faktor etiologik maupun penyulit. Juga
dilaku-kan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara
dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu
pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada
keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke
terhadap pasien dan keluarga serta tata cara
perawatan pasien yang dapat dilaku-kan
keluarga.
PENATALAKSANAAN
C. STADIUM SUBAKUT
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Meng-ingat perjalanan penyakit yang panjang, di-butuhkan
penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan
tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan
program preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
Penatalaksanaan komplikasi,
Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi,
terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi,
Prevensi sekunder
Edukasi keluarga dan Discharge Planning
TERAPI
Stroke Iskemik
Terapi umum:
0
Letakkan kepala pasien pada posisi 30 , kepala dan dada pada
satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai
bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksi-gen 1-2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan
intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipire-tik, kemudian
dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid
1500-2000 mL dan elek-trolit sesuai kebutuhan, hindari cairan
mengan-dung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral
hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan
menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang
nasogastrik.
TERAPI

Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu
selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah
60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) di-atasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya.
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian
obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera
diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220 mmHg, diastolik 120
mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2
kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan
infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitro-prusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium.
TERAPI
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70 mmHg,
diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500
mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum ter-koreksi, yaitu
tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal
100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin,
karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan
peroral jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/
kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum
memburuk, di-lanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Harus dilakukan peman-tauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alter-natif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti
koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue
Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau
pirasetam (jika didapatkan afasia).
PENCEGAHAN STROKE
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di
Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke
yaitu:

Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya
faktor risiko stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor
risiko. Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara
melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya
rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang
dapat menarik perhatian masyarakat. Selain itu, promosi kesehatan
lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan kesehatan
masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke
melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard.
PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor
risiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara
melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain:
Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan
sejenisnya.
Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.

Mengendalikan: Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya fibrilasi


atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik), dan penyakit
vaskular aterosklerotik lainnya.
Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan banyak
sayuran, buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna,
minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang
rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak serta
dianjurkan berolah raga secara teratur.
PENCEGAHAN
Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah menderita stroke.


Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap penderita stroke agar
stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan yang dilakukan adalah:
Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai
obat antiagregasi trombosit pilihan pertama dengan dosis berkisar antara 80-320
mg/hari, antikoagulan oral diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit
jantung (fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi
koagulopati yang lain.
Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat antiagregasi trombosit
kedua, diberikan bila pasien tidak tahan atau mempunyai kontra indikasi terhadap
asetosal (aspirin).
Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya mengkonsumsi obat
antihipertensi yang sesuai pada penderita hipertensi, mengkonsumsi obat
hipoglikemik pada penderita diabetes, diet rendah lemak dan mengkonsumsi obat
antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok, berhenti
mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan dan kurang gerak.
PENCEGAHAN
Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah menderita stroke
agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan mengurangi
ketergantungan pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pencegahan tersier dapat dilakukan dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan
sosial. Rehabilitasi akan diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan
peran serta keluarga.
Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat membantu proses
pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang diberikan yaitu yang pertama adalah
fisioterapi, diberikan untuk mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita
seperti masalah kekuatan otot, duduk, berdiri, berjalan, koordinasi dan
keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua adalah terapi
okupasional (Occupational Therapist atau OT), diberikan untuk melatih kemampuan
penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari
seperti mandi, memakai baju, makan dan buang air. Terapi yang ketiga adalah
terapi wicara dan bahasa, diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam
menelan makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi dengan
orang lain.
PENCEGAHAN
Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional
yang dapat mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih,
mudah tersinggung, tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah
emosional yang mereka alami akan mengakibatkan penderita
kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi. Oleh sebab
itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan melakukan
konsultasi dengan psikiater atau ahki psikologi klinis.
Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu
penderita stroke menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi
perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan
aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial akan memberikan
informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan
bantuan sosial.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai