TIDAK MENULAR
STROKE
RISKA AULIA
ROMBEL 2/ 6411416065
DEFINISI
Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subaraknoid
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, terdapat 4 juta penderita stroke dan lebih dari
750.000 ada penderita stroke yang baru. Resiko stroke meningkat sesuai
umur, dengan insidensi stroke yang tinggi pada orang-orang diatas 65
tahun (Frtzsimmons, 2007).
Insidensi serangan stroke pertama sekitar 200 per 100.000
penduduk per tahun. Insidensi stroke meningkat dengan bertambahnya usia.
Konsekuensinya, dengan semakin panjangnya angka harapan hidup,
termasuk di Indonesia, akan semakin banyak pula kasus stroke yang
dijumpai. Perbandingan antara penderita pria dan wanita hampir sama
(Hankey, 2002).
Stroke menduduki posisi ketiga di Indonesia setelah jantung dan
kanker. Sebanyak 28.5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya
menderita kelumpuhan sebagian maupun total hanya lima belas persen
saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan.
Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) menyebutkan bahwa 63,52 per
100.000 penduduk indonesia berumur di atas 65 tahun ditaksir menderita
stroke.
EPIDEMIOLOGI
Menurut Distribusi Frekuensi Stroke
a. Menurut Orang
Menurut penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997-2001,
terdapat 264 orang penderita stroke iskemik pada usia 18-45 tahun, yang
disebabkan oleh kelebihan lemak, merokok, hipertensi dan riwayat stroke.16
Berdasarkan data penderita stroke yang dirawat oleh Pusat Pengembangan
dan Penanggulangan Stroke Nasional (P3SN) RSUP Bukittinggi pada tahun
2002, terdapat 501 pasien, yang terdiri dari usia 20-30 tahun sebesar
3,59%, usia 30-50 tahun sebesar 20,76%, usia 51-70 tahun sebesar
52,69% dan usia 71-90 tahun sebesar 22,95%.17
Hasil penelitian Syarif. R di Rumah Sakit PTP Nusantara II Medan tahun
1999-2003 menunjukkan bahwa dari 220 sampel yang diteliti,
berdasarkan suku penderita stroke yang dirawat inap sebagian besar
bersuku Jawa sebanyak 120 orang (54,5%) dan yang terendah suku
Minang sebanyak 3 orang (1,4%), berdasarkan status perkawinan
penderita stroke yang dirawat inap sebagian besar berstatus kawin
sebanyak 217 orang (98,6%) dan yang berstatus tidak kawin sebanyak 3
orang (1,4%).
EPIDEMIOLOGI
b. Menurut Tempat
Menurut American Heart Association, diperkirakan terjadi 3 juta
penderita stroke pertahun, dan 500.000 penderita stroke yang baru terjadi
pertahun. Angka kematian penderita stroke di Amerika adalah 50-
100/100.000 penderita pertahun.
Di China (2005), terdapat 1,5 juta penderita stroke dan 1 juta penderita
stroke meninggal dunia dengan CFR 66,66%.19 Di India, angka prevalensi
stroke sebesar 8,6 per 100.000 populasi pertahun.
Di Indonesia diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 orang terkena
serangan stroke, 125.000 orang meninggal dunia dengan CFR 25% dan
yang mengalami cacat ringan atau berat dengan proporsi 75% (375.000
orang).
EPIDEMIOLOGI
c. Menurut Waktu
Menurut WHO (2005), stroke menjadi penyebab kematian dari 5,7
juta jiwa di seluruh dunia, dan diperkirakan meningkat menjadi 6,5 juta
penderita pada tahun 2015 dan 7,8 juta penderita pada tahun 2030.
Berdasarkan Penelitian Misbach di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
tahun 2000-2003, menunjukkan bahwa jumlah penderita stroke tahun 2000
sebanyak 641 orang, tahun 2001 sebanyak 722 orang, tahun 2002
sebanyak 706 orang dan tahun 2003 sebanyak 522 orang. Di RSU
Banyumas, terjadi peningkatan penderita stroke yang dirawat inap pada
tahun 1997-2000. Pada tahun1997 terdapat penderita stroke sebanyak
255 orang, tahun 1998 sebanyak 298 orang, tahun 1999 sebanyak 393
orang dan tahun 2000 sebanyak 459 orang.
FAKTOR RESIKO
Menurut AHA (American Heart Faktor Resiko Yang Dapat Diubah
Association) Guideline (2006), faktor Hypertensi/ tekanan darah tinggi
resiko stroke adalah sebagai berikut: Merokok
Faktor resiko yang tak dapat diubah Diabetes
Penyakit Jantung/Atrial Fibrilation
Umur
Kenaikan kadar cholesterol/lemak darah
Jenis Kelamin.
Penyempitan Pembuluh darah Carotis
Berat Lahir Yang Rendah Gejala Sickle cel
Ras Penggunaan terapi sulih hormon.
Faktor Keturunan Diet dan nutrisi
Latihan fisik
Kelainan Pembuluh Darah Bawaan :
sering tak diketahui sebelum terjadi Kegemukan
stroke III. Faktor Resiko Yang Sangat Dapat Diubah
Metabolik Sindrom
Pemakaian alkohol berlebihan
Drug Abuse/narkoba
Pemakaian obatobat kontrasepsi (OC)
Gangguan Pola Tidur
Kenaikan homocystein
Kenaikan lipoprotein
Hypercoagubility
GEJALA
Gejala Stroke Non Hemoragik
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat
gangguan peredaran darah terjadi, maka gejala-gejala tersebut adalah:
Gejala akibat penyumbatan arteri karotis interna.
Buta mendadak (amaurosis fugaks).
Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia) bila gangguan
terletak pada sisi dominan.
Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral) dan dapat
disertai sindrom Horner pada sisi sumbatan.
Gejala akibat penyumbatan arteri serebri anterior.
Hemiparesis kontralateral dengan kelumpuhan tungkai lebih menonjol.
Gangguan mental.
Gangguan sensibilitas pada tungkai yang lumpuh.
Ketidakmampuan dalam mengendalikan buang air.
Bisa terjadi kejang-kejang.
GEJALA
Gejala akibat penyumbatan arteri Gejala akibat penyumbatan sistem
serebri media. vertebrobasilar.
Bila sumbatan di pangkal arteri, Kelumpuhan di satu sampai keempat
Stroke haemoragik terjadi akibat tekanan darah yang sangat tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak atau stroke haemoragik
yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, perdarahan subarachnoid dan
perdarahan intraserebral.
Perdarahan subaraknoid
Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah keluar dari dinding pembuluh
darah menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat melalui aliran cairan
otak ke dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan sering kali berasal dari rupturnya
aneurisma di basal otak atau pada sirkulasi willisii. Perdarahan subaraknoid timbul
spontan pada umumnya dan sekitar 10 % disebabkan karena tekanan darah yang
naik dan terjadi saat aktivitas.
Perdarahan intraserebral
Patogenesis perdarahan intraserebral adalah akibat rusaknya struktur vaskular
yang sudah lemah akibat aneurisma yang disebabkan oleh kenaikan darah atau
pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan darah, atau pecahnya pembuluh darah
otak akibat tekanan darah yang melebihi toleransi (Yatsu dkk). Menurut Tole dan
Utterback, penyebab perdarahan intraserebral adalah pecahnya mikroaneurisma
Charcot-Bouchard akibat kenaikan tekanan darah.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan, mulut
mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini timbul
sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, sedang bekerja, ataupun sewaktu istirahat.
Pemeriksaan fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan darah kiri
dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran penderita. Jika kesadaran
menurun, tentukan skor dengan skala koma glasglow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah,
tetapi seandainya penderita sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai
pemeriksaan saraf saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi masih baik atau adakah
disfasia. Jika kesadaran menurun dan nilai skala koma glasglow telah ditentukan, setelah itu
lakukan pemeriksaan refleks refleks batang otak yaitu :
1. Reaksi pupil terhadap cahaya.
2. Refleks kornea.
3. Refleks okulosefalik.
Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke, hiperventilasi neurogen,
kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan kelumpuhan yang terjadi pada saraf saraf
otak dan anggota gerak. Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran
menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin kurang baik prognosis neurologis
maupun kehidupan. Kemungkinan perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika terjadi
perdarahan perdarahan retina atau preretina pada pemeriksaan funduskopi.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek laboratorium, pemeriksaan neurokardiologi,
pemeriksaan radiologi, penjelasanya adalah sebagai berikut :
1. Laboratorium.
Pemeriksaan darah rutin.
Pemeriksaan kimia darah lengkap.
Gula darah sewaktu.
Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam
serum dan kemudian berangsur angsur kembali turun.
Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim SGOT/SGPT/CPK, dan profil
lipid (trigliserid, LDH-HDL kolesterol serta total lipid).
Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
Waktu protrombin.
Kadar fibrinogen.
Viskositas plasma.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi Homosistein.
DIAGNOSIS
2. Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan
elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti kemungkinan
mendapat serangan infark jantung, atau pada stroke dapat
terjadi perubahan perubahan elektrokardiografi sebagai
akibat perdarahan otak yang menyerupai suatu infark
miokard. Pemeriksaan khusus atas indikasi misalnya CK-MB
follow up nya akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan
EKG dan pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan
adanya potensial source of cardiac emboli (PSCE) maka
pemeriksaan echocardiografi terutama transesofagial
echocardiografi (TEE) dapat diminta untuk visualisasi emboli
cardial.
DIAGNOSIS
3. Pemeriksaan radiologi
CT-scan otak
Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan pemeriksaan ini sangat
penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark otak. Pada
infark otak, pemeriksaan CT-scan otak mungkin tidak memperlihatkan gambaran
jelas jika dikerjakan pada hari hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam
serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan hemisferik. Perdarahan/infark di
batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan
MRI untuk memastikan proses patologik di batang otak.
Pemeriksaan foto thoraks.
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita
stroke dan adakah kelainan lain pada jantung.
Dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses
manajemen dan memperburuk prognosis.
PENATALAKSANAAN
A. STADIUM HIPERAKUT
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Insta-lasi Rawat
Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal
bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium
ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid;
hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektro-kardiografi, foto
toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin
time/INR,APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elek-trolit); jika
hipoksia, dilakukan analisis gas darah.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu
selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah
60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) di-atasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya.
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian
obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera
diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220 mmHg, diastolik 120
mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2
kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan
infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitro-prusid, penyekat reseptor alfa-beta,
penyekat ACE, atau antagonis kalsium.
TERAPI
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70 mmHg,
diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500
mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum ter-koreksi, yaitu
tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit
sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal
100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin,
karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan
peroral jangka panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/
kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum
memburuk, di-lanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Harus dilakukan peman-tauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alter-natif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti
koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue
Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau
pirasetam (jika didapatkan afasia).
PENCEGAHAN STROKE
Menurut Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke (1999) di
Indonesia, upaya yang dilakukan untuk pencegahan penyakit stroke
yaitu:
Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya
faktor risiko stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor
risiko. Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara
melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya
rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang
dapat menarik perhatian masyarakat. Selain itu, promosi kesehatan
lain yang dapat dilakukan adalah program pendidikan kesehatan
masyarakat, dengan memberikan informasi tentang penyakit stroke
melalui ceramah, media cetak, media elektronik dan billboard.
PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor
risiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara
melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain:
Menghindari: rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan
sejenisnya.
Mengurangi: kolesterol dan lemak dalam makanan.