Anda di halaman 1dari 145

RESPON SISTEMIK

TERHADAP CEDERA DAN


DUKUNGAN METABOLIK
Febri Dwi Rizki 4151131405 Fitri Dwiyani 4151131431
M. Radyn Haryadi 4151131408 Rosalina Helmi 4151131453
Anistia Agysta 4151131435 Denisa Libela Haimi 4151131464
Nindya Ayu Lestari 4151131457 Kartika Puspa Sari 4151131465
Asrita Dwi Mentari 4151131512 M. Lucky N.P. 4151131489
KILASAN:
RESPON INFLAMASI SISTEMIK
BERKAITAN DENGAN CEDERA
Respon inflamasi terhadap cedera maupun
infeksi terjadi akibat pengeluaran molekul-molekul
yang berkaitan dengan zat patogen & molekul-
molekul yang berkaitan dengan kerusakan sel, baik
secara lokal maupun sistemik.
Bagian tubuh yang mengalami cedera  reaksi
inflamasi yang terlokalisir, bersifat sementara, &
seringkali menguntungkan.
Semakin besar bagian tubuh yang mengalami
jejas  reaksi inflamasi lebih besar (mengakibatkan
inflamasi sistemik, kerusakan organ sekitar, dan
kegagalan organ multipel pada 30% orang yang
mengalami cedera hebat).
Trauma  penyebab utama mortalitas &
morbiditas pada orang-orang < 45 tahun.
Inflamasi sistemik merupakan hal yang
diutamakan pada kasus sepsis maupun trauma
hebat.
DETEKSI TERHADAP JEJAS SELULER

Cedera traumatik  aktivasi respon inflamasi


sistemik untuk membatasi kerusakan dan
mempertahankan homeostasis.
2 respon umum yang termasuk kedalamnya:
(a) Respon proinflamasi akut yang diakibatkan oleh
pengenalan sistem imun terhadap ligan, dan
(b) Respon anti-inflamasi yang mungkin terjadi untuk
memodulasi fase pro-inflamasi untuk mengatur
kembali homeostasis.
Respon inflamasi sistemik akibat trauma
berbanding lurus dengan beratnya trauma yang
terjadi  menjadi indikator disfungsi organ &
mortalitas yang akan terjadi.
Respon inflamasi sistemik akibat trauma 
= respon inflamasi sistemik akibat infeksi (yaitu ↑
suhu tubuh, takikardia, takipnea, & leukositosis)
Berbagai penelitian dilakukan untuk
menentukan etiologi mikrobial terhadap respon
inflamasi sistemik yang terjadi akibat trauma 
disepakati bahwa respon tsb merupakan “steril
inflammation”.
Mekanisme respon tsb terjadi akibat molekul-
molekul endogen yang diproduksi sebagai akibat
dari kerusakan jaringan atau stress seluler.
Damage-associated molecular patterns
(DAMPs) bersama dengan pathogen-associated
molecular patterns (PAMPs), berinteraksi dengan
reseptor-reseptor sel spesifik yang berada pada
permukaan sel dan intraseluler.
DAMPs bekerja seperti antigen-precenting
cell / APC  mengaktivasi sel-sel imun yang
terkait pada pertahanan tubuh.
DAMPs yang paling banyak diketahui :
HMGB1/ high-morbility group protein B1 
Banyak bukti praklinis terhadap pengeluarannya
HMGB1 tersebut setelah terjadinya trauma dan
dihubungkan langsung dengan respon inflamasi
sistemik.
High-morbility Group Protein B1

HMGB1 dilepaskan di sirkulasi 30 menit setelah


terjadinya trauma. HMGB1 juga ditemukan di
sistosol dan cairan ekstraseluler dalam kadar
yang rendah (meskipun fungsi HMGB1 di ekstrasel
masih belum jelas).
Berbagai studi telah membuktikan bahwa
HMGB1 disekresikan secara akif oleh sel-sel imun
yang distimulasi oleh PAMPs (seperti endotoxin)
atau oleh sitokin-sitokin inflamasi (TNF dan IL-1).
Respon proinflamasi akibat HMGB1
diantaranya:
(a) pelepasan sitokin dan khemokin dari
makrofag/monosit dan sel dendrit;
(b) aktivasi neutrofil dan khemotaksis;
(c) perubahan fungsi barier epitel, termasuk
peningkatan permeabilitas; dan
(d) peningkatan aktivitas prokoagulan pada
permukaan platelet
Peran DAMPs pada Respon Inflamasi Akibat
Cedera

Protein mitokondrial dan/atau DNA dapat bertindak


sebagai DAMPs dengan mencetuskan respon inflamasi
terhadap nekrosis dan stress seluler  mtDNA ditemukan
1000x lebih ↑ di dalam plasma pada pasien yang
mengalami trauma dibandingkan dengan orang
normal.
Stress atau cedera jaringan  mtDNA dan peptide-
peptida dilepaskan dari mitochondria yg rusak dimana
mereka dapat berkontribusi terhadap respon “steril
inflammation”.
Mitochondrial transcription factor A / TFAM (yaitu
protein mitochondria yang sangat berlimpah), secara
fungsi dan struktural bersifat homolog dengan HMGB1.
Molekul-Molekul Matriks Ekstraseluler
Berperan sebagai DAMPs

Penelitian terbaru telah mendalami peran


protein matriks ekstra seluler (ECM) (yaitu:
Proteoglikan, glikosaminoglikan, dan glikoprotein,
seperti fibronektin) dalam respon inflamasi yang
diperantarai TLR akibat cedera jaringan.
Molekul protein ECM tersebut  pemeran kunci
dalam interaksi DAMPs dan TLR.
Biglikan (salah satu proteoglikan yang
disebutkan sebagai ligan TLR) muncul dalam
bentuk berikatan dengan matriks seluler 
dengan adanya cedera jaringan, biglikan
dilepaskan dari ECM dalam bentuk larut, 
berinteraksi dengan TLR2 atau TLR4 untuk
membangun respon inflamasi segera.
DAMPs merupakan Ligan untuk Pattern
Recognition Receptors
Respon inflamasi yang terjadi setelah cedera traumatik
menyerupai respon yang terjadi akibat pajanan
pathogen. Kelompok reseptor yang penting untuk
mengenali kerusakan sel & sel debris adalah bagian dari
pattern recognition receptors/ PRRs.
Ligan yang terbaik untuk reseptor ini  komponen
microbial (PAMPs). PRRs dalam sistem imun terbagi dalam
4 kelompok: TLRs, reseptor lektin bergantung kalsium (tipe
C) (CLRs), reseptor asam retinoid gen (RLRs), & NBD-LRR.
Setelah ligasi reseptor, sinyal intraseluler memodulasi
transkripsi & posttranslasi yang penting untuk pertahanan
tubuh dengan mengkoordinaskan sintesis & pelepasan
sitokin & khemokin untuk menginisiasi atau mensupresi
respon inflamasi.
• Toll-like Receptors (TLRs)
TLRs memiliki protein transmembran tipe 1 yang
dikenali oleh PRRs pada sel-sel mamalia.
Saat ini terdapat > 10 anggota kelompok TLR yang
telah dikenali pada tubuh manusia dengan ligan
yang jelas yaitu komponen lipid, karbohidrat, peptida,
dan asam nukleat pada berbagai pathogen.
TLRs ditampilkan baik pada sel imun maupun
pada sel non-imun. Awalnya, kemunculan TLRs
diperkirakan diisolasi pada APC, seperti sel-sel dendrit
dan makrofag. Namun, mRNA yang merupakan
anggota kelompok TLR telah terdeteksi di hampir
seluruh sel myeloid, seperti sel ntural killer (NK).
• Kelompok Reseptor Nucleotide-Binding
Oligomerization Domain-Like Receptor
(NLRs)

NLRs = kelompok PRRs intraseluler, yang dapat


mengenali molekul endogen (DAMPs) maupun
molekul eksogen (PAMPs) untuk mencetuskan
aktivasi imun alami.
NLRs yang paling dikenali adalah NLRP3, yang
sangan banyak muncul di leukosit darah perifer.
NLRP3 ini membentuk komponen kunci
“pengenalan” pada kompleks inflamasi.
• Reseptor Leptin Tipe-C (CLR)
Makrofag & sel-sel dendritik memiliki reseptor
yang mendeteksi molekul-molekul yang
dilepaskan oleh sel-sel yang rusak atau hampir
mati untuk mendapatkan kembali dan
memproses antigen dari unit sel untuk presentasi
sel T.
Kelompok kunci dari reseptor yang mengatur
respon ini adalah CLR yang terdiri dari reseptor
selectin & reseptor mannose & yang berikatan
dengan karbohidrat .
• Pattern-recognition Molecules (PRMs) :
Pentraxis
PRMs dapat disintesis di lokasi cedera oleh
makrofag dan sel dendrit, sedangkan neutrofil dapat
menyimpan PRMs & dapat melepaskannya secara
cepat setelah adanya aktivasi.
PRMs yang paling dikenal adalah pentraxis.
Pentraxin pendek, yaitu C-reactive protein (CRP),
adalah PRMs pertama yang dikenali.
CRP disintesis oleh liver sebagi respon terhadap IL-6,
meningkatkan kadar serum lebih dari 1000x lipat.
Dengan demikian, CRP dianggap sebagai bagian dari
respon protein fase akut pada manusia.  CRP telah
diteliti sebagai marker respon proinflamasi, termasuk
pada appendicitis, vasculitis, dan kolitis ulseratif.
REGULASI SSP DALAM RESPONS
INFLAMASI TERHADAP JEJAS
SSP menerima informasi adanya inflamasi melalui mediator
yang dapat dilarutkan kemudian ditransmisikan ke area
regulasi di otak.
1. Terjadi respons inflamasi pada tempat terjadinya jejas
menyebabkan pengeluran mediator inflamasi (TNF-α, IL-
1β, IL-6,IFN-α/β)
2. Mediator tersebut terlarut dalam saraf aferen mencapai
neuron dan sel glia melalui:
a.Endotel berfenestra pada circumventricular organs
(CVO).
b.Sawar darah otak
3. Stimulasi inflamasi dalam bentuk impuls vagal aferen
mencapai sel-sel parenkim otak, batang otak,
nukleus motorik nervus vagus.
4. Stimulasi inflamasi ditanggapi dalam HPA axis dan
pengeluaran glukokortikoid sehingga dapat
menyebabkan rasa kantuk, letargi, dan demam.
5. Respons vagal secara cepat menginduksi pelepasan
asetilkolin secara langsun ke tempat jejas untuk
membatasi respons inflamasi oleh imunosit
teraktivasi.
Regulasi Neuroendokrin dalam Respons
Inflamasi
1. Regulasi SSP dalam Respons Inflamasi (Aktifasi HPA
axis)
2. CRH bekerja di hipofisis anterior untuk menstimulasi
sekresi ACTH menuju sirkulasi sistemik.
3. nyeri, kecemasan, vasopressin, angiotensin II,
cholecystokinin, peptida intestinal vasoaktif, dan
katekolamin berkontribusi dalam pelepasan ACTH.
4. ACTH bekerja di zona fasciculata kelenjar adrenal
untuk sintesis dan sekresi glukokortikoid (kortisol).
5. Kortisol berfungsi membatasi reaksi inflamasi
(sebagai anti inflamasi).
ACTH sebagai Regulator Utama dalam Sintesis Steroid
• Peran Katekolamin pada Inflamasi Post-injury

◦ Cedera menginduksi aktivasi dari sistem saraf


simpatis menghasilkan sekresi dari Ach dari serat
preganglionik simpatis yang menginervasi
medula adrenal.
◦ Ach memberikan sinyal ke sel chromaffin dan
memastikan bahwa gelombang epinefrin (EPI)
dan norepinefrin (NE) dilepaskan ke dalam
sirkulasi dengan rasio yang diatur secara ketat
oleh kedua mekanisme pusat dan perifer.
◦ Tingkat sirkulasi EPI dan NE yang tiga sampai
empat kali lipat ditinggikan, efeknya
berlangsung untuk jangka waktu yang panjang.
Pelepasan EPI dapat dipengaruhi oleh regulasi
transkripsi dari phenylethanolamine N-
methyltransferase (PNMT), yang mengkatalisis
langkah terakhir dari jalur biosintesis katekolamin
methylating NE untuk membentuk EPI. Transkripsi
PNMT, adalah langkah kunci dalam regulasi
produksi EPI yang diaktifkan dalam respon
terhadap stres dan jaringan yang hypoxia-
inducible factor 1 alpha (HIF1A).
◦ Pelepasan katekolamin akan segera
mempersiapkan tubuh untuk memberikan
respon "fight or flight” respon yang baik
dijelaskan oleh efek pada sistem kardiovaskular
dan paru dan pada metabolisme. termasuk
peningkatan denyut jantung, kontraktilitas
miokard, kecepatan konduksi, dan tekanan
darah; pengalihanaliran darah ke otot rangka;
meningkat metabolisme sel seluruh tubuh; dan
mobilisasi glukosa dari hati melalui glikogenolisis,
glukoneogenesis, lipolisis, dan ketogenesis.
◦ Tujuan dari respon katekolamin yang teratur
dengan baik adalah untuk membangun
kembali dan mempertahankan sistem
homeostasis, termasuk sistem kekebalan tubuh
bawaan. Bersirkulasinya katekolamin dapat
secara langsung mempengaruhi produksi sitokin
inflamasi.
◦ tingkat EPI basal pada kondisi aktivitas dan responsif
dari sel yang mensekresi sitokin, hal ini menjelaskan
besar variabilitas antarindividu dalam profil sitokin
bawaan yang diamati setelah cedera.
◦ Epinefrin infus pada dosis tinggi telah ditemukan
dapat menghambat produksi TNF-alpha secara in
vivo dan untuk meningkatkan produksi sitokin anti-
inflamasi IL-10. Selain itu, studi secara in vitro
menunjukkan bahwa tingkat stres glukokortikoid dan
EPI dapat menghambat produksi IL-12, sebuah
stimulator yang poten yang merespon Th1.
◦.
◦ Selanjutnya, mereka telah dibuktikan secara in vitro
dapat menurunkan produksi sitokin Th1 dan
peningkatan Th2 memproduksi sitokin pada tingkat
yang jauh lebih besar dibandingkan hormon adrenal
sendiri.
◦ katekolamin disekresikan dari kelenjar adrenal,
khususnya EPI, memainkan peran baik dalam
regulasi sitokin proinflamasi bawaan maupun yang
adaptif. Respons Th dapat menstimulasi kortisol
selama respons cedera sekaligus memodulasi
aktivitas sitokin
◦ Bagaimana efek ini dijelaskan? Hal ini juga
menjelaskan bahwa berbagai sel imun pada
manusia (misalnya, sel-sel mononuklear, makrofag,
granulosit) reseptor adrenergik masih satu famili
dengan G-protein-coupled reseptor yang bertindak
melalui aktivasi intraseluler second messenger seperti
adenosin monofosfat siklik (cAMP) dan ion kalsium.
◦ Para second messengers dapat mengatur berbagai
fungsi sel kekebalan, termasuk pelepasan sitokin
inflamasi dan kemokin.
◦ Sistem saraf simpatik juga memiliki
immunemodulatory secara langsung melalui
inervasi jaringan limfoid yang berisi pengaktifan
dan penghentian sel-sel kekebalan. Dengan
stimulasi ini saraf postganglionik, NE yang
dilepaskan dapat berinteraksi dengan reseptor
beta 2-adrenergik yang dimediasi oleh CD4
dan limfosit B, banyak juga yang berinteraksi
alpa 2-adrenergik reseptor.
• Aldosteron
◦ Aldosteron adalah mineralokortikoid yang
dilepaskan oleh zona glomerulosa korteks adrenal. Ia
mengikat ke reseptor mineralokortikoid (MR) dari sel
utama dalam tubulus ginjal yang mereabsorpsi
natrium dan ekskresi kalium untuk mengatur volume
ekstraseluler dan tekanan darah.
◦ MR juga telah terbukti memiliki efek pada
metabolisme sel dan kekebalan. studi terbaru
menunjukkan peran aldosteron jalur sinyal insulin dan
mengurangi ekspresi faktor insulin-sensitizing,
adiponektin dan proliferator peroksisom activated
reseptor (PPAR), yang berkontribusi terhadap
resistensi insulin.
◦ Dalam sistem kekebalan tubuh, sel-sel
mononuklear, seperti monosit dan limfosit, telah
terbukti memiliki sebuah MR yang mengikat
aldosteron dengan spesifisitas yang tinggi, serta
plasminogen activator inhibitor-1 dan p22 Phox
expression, di sel-sel tersebut. aldosteron
menghambat NF-beta dalam mengaktivasi
sitokin neutrofil.
• Insulin
◦ Hiperglikemia dan resistensi insulin merupakan akibat dari
cedera dan penyakit kritis karena efek sirkulasi katabolik dari
mediator, termasuk katekolamin, kortisol, glukagon, dan GH.
Peningkatan ini beredar proglycemic faktor, terutama EPI,
menginduksi glikogenolisis, lipolisis, dan peningkatan produksi
laktat independen dari ketersediaan oksigen dalam suatu
proses yang disebut "glikolisis aerobik."
◦ stres berat sering dikaitkan dengan resistensi insulin, yang
mengarah pada penurunan penyerapan glukosa di hati dan
berkontribusi pada hiperglikemia akut perifer.
◦ Insulin adalah hormon yang disekresikan oleh pankreas, yang
memediasi sebuah kondisi keseluruhan anabolik host melalui
glikogenesis hati dan glikolisis, serapan glukosa perifer,
lipogenesis, dan sintesis protein.
◦ Insulin adalah hormon yang disekresikan oleh
pankreas, yang memediasi sebuah kondisi
keseluruhan anabolik host melalui glikogenesis hati
dan glikolisis, serapan glukosa perifer, lipogenesis,
dan sintesis protein.
◦ Reseptor insulin (IR) banyak diekspresikan dan terdiri
atas dua isoform, yang dapat membentuk homo-
atau heterodimer dengan ikatan insulin. Dimerisasi
mengarah ke autofosforilasi reseptor dan aktivasi
aktivitas tyrosine kinase intrinsik. Peristiwa pengiriman
sinyal perifer bergantung pada perekrutan protein
adaptor, insulin receptor substrate (IRS-1), dan SHC
ke IR. Resistensi insulin sistemik kemungkinan hasil dari
sinyal proinflamasi, yang memodulasi fosforilasi dari
IRS-1 untuk mempengaruhi fungsinya.
◦ Hiperglikemia selama sakit kritis adalah penanda
peningkatan mortalitas. Hal ini dapat memodulasi
respon inflamasi dengan mengubah fungsi leukosit, dan
mengakibatkan berkurang fagositosis, kemotaksis,
adhesi, dan aktivitas pernapasan yang berhubungan
dengan peningkatan risiko infeksi.
◦ Terapi insulin untuk mengelola kondisi hiperglikemia
telah terbukti berhubungan dengan penurunan
mortalitas dan pengurangan komplikasi infeksi. Namun,
tren terhadap kontrol glikemik yang ketat di unit
perawatan intensif gagal menunjukkan manfaat ketika
diperiksa di beberapa reviews. Dengan demikian,
kisaran glukosa darah yang ideal untuk menjaga pasien
sakit kritis dan untuk menghindari hipoglikemia belum
dapat ditentukan.
RESPON STRESS SELULER

◦ Reactive Oxygen and nitrogen species (ROS dan RNS) :


molekul kecil yang sangat reaktif  menyebabkan
cedera seluler di sel inang melalui oksidasi substrat
membran sel.
◦ Radikal oksigen diproduksi sebagai produk sampingan
dari metabolisme oksigen dalam mitokondria serta oleh
proses yang dimediasi oleh cyclooxygenases, NADPH
oksidase (NOx), dan xantin oksidase.
◦ Area utama produksi ROS termasuk rantai pernapasan
mitokondria, metabolisme asam lemak peroxisomal, reaksi
sitokrom P450,dan pernapasan sel fagosit.
◦ Selain itu, protein folding dalam retikulum endoplasma
juga dapat mengakibatkan formasi dari ROS. radikal
oksigen yang ampuh termasuk oksigen, superoksida,
hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil.
◦ Sintesis ROS melalui beberapa mekanisme sinyal, termasuk
Ca2signaling, fosforilasi, dan aktivasi protein small G,
yang berpengaruh baik perekrutan molekul yang
dibutuhkan untuk fungsi NOx dan sintesis ROS dalam
mitokondria.
◦ Dalam kondisi fisiologis, produksi ROS diseimbangkan
dengan strategi antioksidan. ROS dapat bertindak
secara efektif sebagai molekul sinyal untuk memodulasi
sistein residu oleh oksidasi dan mempengaruhi fungsi
target protein. Digambarkan sebagai sebuah mekanisme
dalam regulasi fosfatase.
◦ ROS juga dapat berkontribusi dalam aktivitas transkripsi
baik secara langsung maupun secara tidak langsung,
melalui dampaknya pada transcription factor lifespan,
dan melalui oksidasi DNA. Peranan penting ROS telah
dijelaskan dengan baik pada fagosit, yang
menggunakan molekul-molekul kecil untuk membunuh
patogen.
◦ Data terakhir, menunjukkan bahwa ROS terlibat dalam
kekebalan adaptif. Mereka digambarkan sebagai sumber
utama aktivasi fosfatase baik sel limfosit B maupun sel
limfosit T.
Respon Heat Shock
◦ Heat shock protein (HSPs) adalah kelompok protein
intraseluler yang semakin meningkat selama terjadi stres,
seperti luka bakar, radang, stres oksidatif, dan infeksi.
◦ HSPs disajikan dalam sitoplasma, nukleus, retikulum
endoplasma, dan mitokondria, mereka berfungsi sebagai
pendamping molekul yang membantu memantau dan
memelihara susunan protein yang tepat. Hsp
menyelesaikan tugas ini melalui protein penyusunan
ulang protein, targetnya adalah protein yang gagal
melipat untuk degradasi, dan bantuan dari protein yang
sebagian terlipat menjadi kompartemen membran.
◦ Ikatan HSPs juga mengikat protein asing sehingga
dengan demikian berfungsi sebagai pendamping
intraseluler untuk ligan seperti bakteri DNA dan
endotoksin. HSPs diduga dapat melindungi sel dari
efek stres traumatik dan ketika dilepaskan oleh sel
yang rusak, mengaktifkan sistem kekebalan tubuh
dari kerusakan jaringan. Namun, tergantung pada
lokasi dan jenis kekebalan sel di mana mereka
disajikan, HSPs dapat mengaktifkan sinyal imun
proinflamatori atau sinyal peredam imun anti-
inflamasi.
Respon Unfolded Protein
◦ Lipatan protein yang disekresi, membran-terikat, dan
organel spesifik dalam lumen retikulum endoplasma
(ER) di mana organela ini juga menerima modifikasi
posttranslational. Konsentrasi kalsium milimolar
diperlukan untuk menjaga kapasitas normal seluler
lipatan protein.
◦ Stres seluler menurun kalsium konsentrasi di retikulum
endoplasma, mengganggu bahan yang diperlukan
untuk proses ini yang menyebabkan akumulasi protein
misfolded atau unfolded. Kejadian ini dirasakan oleh
sinyal protein pada retikulum endoplasma, termasuk
inositol requiring enzyme 1 (IRE1), protein kinase RNA
(PKR)–like ER kinase (PERK), and activating transcription
factor 6 (ATF6).
◦ Kompleks ini menghasilkan the unfolded protein
response (UPR) suatu mekanisme dimana sinyal
distress retikulum endoplasma dikrim ke nukleus
untuk memodulasi transkripsi dengan tujuan
mengembalikan homeostasis.
◦ Luka bakar mengarah ke penurunan kadar kalsium
ER dan aktivasi protein UPR. Selain itu, data baru-
baru ini menunjukkan kasus luka bakar sangat
berkaitan dengan UPR yang menyebabkan resistensi
insulin dan hiperglikemia pada pasien. Dengan
demikian, semakin banyak pemahaman tentang
UPR, yang dipicu oleh peradangan yang hebat,
memungkinkan identifikasi sasaran terapi baru untuk
resistensi insulin cedera terkait.
Autofagi
◦ Dalam keadaan normal, sel-sel memiliki cara untuk
membuang organel yang rusak dan puing-puing
agregat yang terlalu besar untuk dikelola oleh
degradasi proteasomal. sel-sel menggunakan proses
yang disebut sebagai "macroautophagy" (autofagi),
yang diduga sebagai stress response.
◦ Langkah-langkah autofagi termasuk terperosoknya
sitoplasma/organel oleh "membran isolasi," yang juga
disebut phagophorea. Tepi phagophore kemudian
berfusi untuk membentuk autophagosome, yaitu sebuah
double membraned vesikel yang dikelilingi bahan
sitoplasma dan yang merupakan fitur karakteristik
autofagi.
◦ autofagi adalah proses seluler normal yang terjadi
pada sel untuk pemeliharaan seluler. Namun, dalam
kondisi hipoksia dan energi yang rendah, autofagi
diinduksi dalam upaya untuk memberikan nutrisi
tambahan untuk produksi energi.
◦ Induksi autofagi menyebabkan pergeseran dari
respirasi aerobik untuk glikolisis dan memungkinkan
komponen seluler dari autophagosome yang akan
dihidrolisis untuk substrat energi.
◦ Peningkatan kadar autofagi yang khas diaktifkan sel
imun dan merupakan mekanisme untuk pembuangan
ROS dan puing-puing phagocytosed.
◦ Data terbaru mendukung gagasan bahwa autofagi
dapat juga memainkan peran penting dalam
response. Autofagi dirangsang oleh sitokin Th1 dan
dengan aktivasi TLR di makrofag, namun dihambat
oleh sitokin Th2. Hal ini juga dianggap sebagai
regulator penting dari sekresi sitokin, terutama sitokin
dari keluarga IL-1 yang bergantung pada
pengolahan inflammasome untuk diaktivasi.
Apoptosis
◦ Apoptosis (kematian sel yang diatur) merupakan
energi-dependent, mekanisme terorganisir untuk
membersihkan sel disfungsional, termasuk makrofag,
neutrofil, dan limfosit, tanpa mengaktifkan respon
inflamasi.
◦ Hal ini berbeda dengan nekrosis seluler yang
menghasilkan rilis molekul intraseluler secara teratur
dengan aktivasi kekebalan dan respon inflamasi.
Inflamasi sistemik memodulasi sinyal apoptosis di
immunocytes aktif, yang kemudian mempengaruhi
respon inflamasi respon melalui hilangnya sel efektor.
◦ Hasil Apoptosis terutama melalui dua jalur: jalur
ekstrinsik dan jalur intrinsik.
◦ Jalur Ekstrinsik diaktifkan melalui pengikatan reseptor
kematian (misalnya, Fas, TNFR), yang mengarah ke
perekrutan Fas terkait protein domain kematian dan
aktivasi berikutnya dari caspase 3 (Gambar. 2-5).
Pada aktivasi, caspases merupakan efektor dari
sinyal apoptosis karena caspases menengahi
pemecahan DNA nuklir terorganisir.
◦ Jalur intrinsik berlangsung melalui protein mediator
(misalnya, Bcl-2, Bcl-2 terkait promotor kematian, Bcl-
2-terkait protein X, Bim) yang mempengaruhi
permeabilitas membran mitokondria. Peningkatan
permeabilitas membran menyebabkan pelepasan
mitokondria sitokrom C, yang akhirnya mengaktifkan
caspase 3 yang akan menginduksi apoptosis. Jalur
ini tidak berfungsi secara benar, karena ada interaksi
yang signifikan dan crosstalk antara mediator dari
kedua jalur ekstrinsik dan intrinsik. Apoptosis di
modulasi oleh beberapa faktor regulasi, termasuk
inhibitor apoptosis protein dan caspases regulatori
(misalnya, caspases 1, 8, 10).
◦ Apoptosis selama sepsis dapat mempengaruhi kompetensi
utama respon kekebalan.
◦ Dalam analisis postmortem pasien yang berakhir dengan
sepsis, terjadi peningkatan pada apoptosis limfosit,
sedangkan apoptosis makrofag tidak tampak
terpengaruh.
◦ Uji klinis telah mengamati sebuah asosiasi antara tingkat
limfopenia dan keparahan penyakit pada sepsis. Selain itu,
setelah terjadi fagositosis sel apoptosis oleh makrofag,
mediator anti-inflamasi seperti IL-10 yang dirilis dapat
memperburuk penekanan imunitas selama sepsis.
Apoptosis neutrofil dihambat oleh produk inflamasi,
termasuk TNF, IL-1, IL-3, IL-6, granulosit-makrofag colony-
stimulating factor (GM-CSF), dan IFN-.
Necroptosis
◦ Nekrosis seluler mengacu pada kematian sel
yang tidak terkendali pada sel-sel dalam
jaringan hidup biasanya disebabkan oleh
paparan disengaja
MEDIATOR INFLAMASI
Sitokin Sumber Deskripsi
TNF Makrofag/ monosit Respon awal setelah cedera; paruh waktu <20 menit; mengaktifkan reseptor TNF 1 dan
Sel Kupffer 2; menginduksi katabolisme
Neutrofil
Sel NK
Astrosit
Sel Endotel
Limfosit T
Sel Adrenal Kortikal
Adifosit
Keratiosit
Osteoblas
Sel Mast
Sel Dendritik
IL-1 Makrofag/ monosit Dua bentuk (IL-1 α dan IL-1 β); efek fisiologis yang sama seperti TNF; menginduksi
Limfosit B dan T demam melalui aktivitas prostaglandin di hipotalamus anterior; memicu pelepasan β-
Sel NK endorphin dari hipofisis; paruh waktu <6 min
Sel Endotel
Sel Epitel
Keratiosit
Fibroblas
Osteoblas
Sel Dendritik
Astrosit
Sel Adrenal Kortikal
Megakariosit
Trombosit
Neutrofil
Sel Neuronal
IL-2 Limfosit T Memicu proliferasi limfosit, produksi imunoglobulin,
integritas barrier usus; paruh waktu <10 menit;
produksi menurun setelah banyak kehilangan darah
mengarah ke Immunocompromise; mengatur apoptosis
limfosit
IL-3 Limfosit T
Makrofag
Eosinofil
Sel Mast
IL-4 Limfosit T Menginduksi produksi B-limfosit dari IgG4 dan IgE,
Sel Mast mediator alergi dan respon anthelmintik;
Basofil downregulates TNF, IL-1, IL-6, IL-8
Makrofag
Limfosit B
Eosinofil
Sel Stromal
IL-5 Limfosit T Merangsang proliferasi eosinofil dan peradangan
Eosinofil saluran pernafasan
Sel Mast
IL-6 Makrofag Dihasilkan oleh hampir semua sel imunogenik; paruh
Limfosit B waktu panjang; kadar dalam sirkulasi sebanding
Neutrofil dengan keparahan cedera; memperpanjang pertahanan
Basofil hidup neutrofil teraktivasi
Sel Mast
Fibroblas
Sel Endotelial
Astrosit
Sel Sinovial
Adifosit
Osteoblas
Megakariosit
Sel Kromafin
Keratinosit
IL-8 Makrofag/monosit Kemotaktik untuk neutrofil, basofil, eosinofil, limfosit
Limfosit T
Basofil
Sel Mast
Sel Epitel
Trombosit
IL-10 Limfosit T Mengurangi mortalitas pada hewan sepsis dan model ARDS
Limfosit B
Makrofag
Basofil
Sel Mast
Keratinosit
IL-12 Makrofag/monosit Mempromosikan diferensiasi Th1; Aktivitas sinergis dengan IL-2
Neutrofil
Keratinosit
Sel Dendritik
Limfosit B
IL-13 Limfosit T Meningkatkan fungsi limfosit-B; secara struktural mirip dengan
IL-4; menginhibisi oksida nitrat dan aktivasi endotel
IL-15 Makrofag/ monosit Efek anti-inflamasi; aktivasi limfosit; memicu fagositosis
Sel Epitel neutrophil pada infeksi jamur
IL-18 Makrofag Mirip dengan IL-12 dalam fungsinya; kadar meningkat pada
Sel Kupffer sepsis, terutama infeksi gram positif; kadar yang tinggi ditemukan
Keratinosit pada kematian jantung
Sel Adrenal Kortical
Osteoblas
IFN-γ Limfosit T Memediasi fungsi IL-12 dan IL-18; paruh waktu setengah hari;
Sel NK ditemukan 5-7 hari pada luka setelah cedera
Makrofag
GM-CSF Limfosit T Mendorong penyembuhan luka dan peradangan
Fibroblast melalui aktivasi leukosit
Sel endotel
Sel stroma

IL-21 Limfosit T Lebih cenderung disekresikan oleh sel Th2; struktural


mirip dengan IL-2 dan IL-15; mengaktifkan Sel NK,
limfosit B dan T; mempengaruhi imunitas adaptif

HMGBI Monosit/ limfosit Mobilitas tinggi sekumpulan gugus protein


kromosomal; Faktor transkripsi DNA; mediator lambat
(downstream) dari inflamasi (ARDS, usus
terganggunya barrier); menginduksi
"Perilaku sakit"
Eikosanoid
Eikosanoid yang berasal terutama oleh oksidasi dari membran
fosfolipid yang menghasilkan asam arakidonat yang cukup
melimpah di membran lipid pada sel yang mengalami inflamasi
Sistem Komplemen

◦ Setelah adanya kerusakan sel akibat trauma,


terdapat aktivasi langsung dari sistem
komplemen, yang merupakan mekanisme
efektor utama dari system kekebalan tubuh.
Sistem komplemen bertindak sebagai "Baris
pertama pertahanan" untuk host terhadap
patogen, dengan cara mengikat dan
membersihkan mereka dari sirkulasi
◦ Proses aktivasi komplemen yaitu melalui tiga
jalur yang berbeda. Inisiasi jalur ini terjadi karena
adanya ligasi dan aktivasi dari unit masing-
masing jalur yang ditunjuk untuk ligan.
◦ Jalur klasik, yang sering disebut sebagai "
antibodi dependen," yang diprakarsai oleh
pengikatan langsung ke C1q ligan umum, yang
meliputi agregasi immunoglobulin (IgM/IgG)
◦ Jalur lectin pada aktivasi komplemen dimulai
oleh ficolins, dengan mengikat struktur
karbohidrat tertentu yang sering hadir pada
patogen
◦ Jalur alternatf mencakup mekanisme inisiasi
berbasis yang menyerupai PRM ditemukan di
jalur lektin tetapi melibatkan properdin.
Serotonin

◦ Serotonin adalah neurotransmitter monoamine


(5-hydroxytryptamine [5HT]) yang berasal dari
triptofan. Serotonin disintesis oleh neuron di SSP
serta oleh sel enterochromaffin di usus.
◦ Serotonin adalah vasokonstriktor kuat dan juga
memodulasi inotropy jantung dan chronotropy
melalui jalur cAMP nonadrenergic. Serotonin
dilepaskan pada saat cedera, terutama oleh
trombosit
Histamin

◦ Histamin adalah amina short-acting endogen


yang banyak didistribusikan ke seluruh tubuh.
◦ Histamin dirilis atau disimpan dalam neuron,
kulit, mukosa lambung, sel mast, basofil, dan
trombosit, dan kadar plasma meningkat
dengan syok hemoragik, trauma, cedera
termal, dan sepsis
RESPON SELULER TERHADAP CEDERA

◦ Sitokin bertindak pada sel target mereka


dengan mengikat reseptor membran tertentu.
Keluarga reseptor ini telah dikelompokkan oleh
motif struktural dan meliputi: reseptor sitokin tipe
I, tipe II, reseptor kemokin, reseptor TNF (TNFRs),
dan reseptor faktor pertumbuhan (TGFRs).
◦ Beberapa reseptor ini memiliki karakteristik jalur
sinyal yang terkait dengan mereka, yaitu:
JAK-STAT Signaling

◦ JAK-STAT Signaling Sebuah subkelompok utama


sitokin, yang terdiri dari sekitar 60
faktor,berikatan dengan reseptor disebut sitokin
reseptor tipe I / II.
◦ Sitokin ini memainkan peran penting dalam
inisiasi, pemeliharaan, dan modulasi imunitas
bawaan dan adaptif untuk pertahanan host.
Reseptor Kemokin bagian dari Protein-G

◦ Semua reseptor kemokin adalah anggota dari


protein G. keluarga tujuh transmembran
reseptor (GPCR) yang merupakan salah satu
yang terbesar dan paling beragam dari
keluarga protein membran.
◦ Fungsi GPCRs yaitu dengan mendeteksi
spektrum yang luas dari sinyal ekstraseluler,
termasuk foton, ion, molekul organik kecil, dan
seluruh protein.
Tumor Necrosis Factor Superfamily
TNFR1 (55kDa) dan TNFR2 (75kDa) muncul oleh
penggabungan sejumlah protein adapter ke komplek
interselular.
TNFR1 membutuhkan TNFR-assosiated death domain
(TRADD) dan menginduksi apoptosis melalui aktifitas
enzim proteolitik.
TNFR2 mempunyai protein adapter seperti TNFR-
associated factors 1 dan 2 (TRAF1, TRAF2) yang
berinteraksi dengan RIP untuk memperantarai
aktivasi NF-κB dan c-Jun. TRAF2 juga memiliki protein
tambahan yang bersifat antiapoptosis, yang dikenal
sebagai inhibitor of apoptosis proteins (IAPs).
Transforming Growth Factor-β Family of
Receptors
◦ Transforming Growth Factor-β1 (TGF-β1) adalah
sitokin pleiotropik yang dihasilkan oleh sel imun
yang memiliki aktifitas imunoregulator poten.
◦ Reseptor untuk mengikat TGF-β adalah reseptor
TGF-β superfamily, dimana protein
transmembran tipe I mengandung aktivitas
dasar kinase serin/ treonin.
◦ Ketika TGF-β mengikat reseptor TGF-β,
hetrerodimerisasi mengaktifkan reseptor, yang
kemudian langsung mengumpulkan dan
mengaktifkan reseptor terkait Smad (Smad2
atau Smad3) melalui fosforilasi.
REGULASI TRANSKRIPSI DAN
TRANSLASI PENANGGULANGAN
CEDERA
Transkripsi Setelah Trauma Tumpul
Adanya pergeseran transkriptome leukosit, lebih dari
80% fungsi sel dan jalur menunjukkan beberapa
perubahan pada ekspresi gen. Perubahan jalur ekspresi
gen terlibat dalam inflamasi sistemik, respon imun,
kompensasi anti-inflamasi dan respon imun adaptif yang
simultan dan jelas, hal tersebut terjadi dengan cepat
(dalam 4-12 jam) dan berlangsung selama berhari-hari
dan berminggu-minggu. Pada akhirnya, pemulihan klinis
yang tertunda dan cedera organ yang tidak terkait
dengan pola tertentu dari unsur-unsur respon transkripsi.
Regulasi Transkripsi
Ekspresi Gen
Pengekspresian gen
bergantung pada tindakan
koordinasi dari faktor
transkripsi dan koaktifator
(misal,protein regulator),
yang bersifat kompleks
sehingga berikatan dengan
permukaan urutan DNA
yang sangat spesifik dari
gen target yang dikenal
sebagai daerah promoter.
Regulasi Epigenetik dari Transkripsi
Regulasi Translasi dari Ekspresi Gen Inflamasi

a) penyambungan, yang dapat menyatukan mRNA


dan melepaskan daerah noncoding;
b) pembatasan, yang memodifikasi akhir 5’ dari
urutan mRNA untuk menghambat kerusakan oleh
exonukleus;
c) penambahan ekor polyadenylated, yang
menambahkan urutan noncoding ke mRNA,
untuk mengatur paruh waktu transkripsi.
RESPON INFLAMASI YANG
DIPERANTAI SEL
Platelet
Trombosit berukuran kecil (2mm), bersirkulasi secara
berpotongan dari prekursor sel yang lebih besar,
yaitu megakariosit, yang letak utamanya dalam
sumsum tulang.
trombosit memainkan peran baik dalam respon
inflamasi lokal dan sistemik, terutama setelah iskemia
reperfusi. Trombosit menghasilkan pembersih
fungsional dan TLRs yang penting dalam mendeteksi
baik pathogen dan molekul terkait-“pengerusakan”.
Limfosit dan sel-t imunitas
 limfosit Th secara fungsional dikelompokkan
menjadi bagian-bagian, yang pada intinya
meliputi Th1 dan sel Th2, serta Th17 dan sel Treg
terinduksi. Berasal dari prekursor sel CD4+ Th,
masing-msaing kelompok menghasilkan sitokin
efektor spesifik yang berada dibawah kendali
transkripsi
Fungsi-fungsi spesifik,
pengenalan dan
pemusnahan patogen
intraselular (imunitas
selular; sel Th1), regulasi
dari produksi antibodi
(imunitas humoral; sel
Th2), dan pemeliharaan
imunitas mukosa serta
kesatuan barier (sel Th17).
Aktifitas ini telah ditandai
sebagai proinflamasi
(Th1) dan anti-inflamasi
(Th2), masing-masing,
sebagaimana ditentukan
oleh tanda dari sitokin
yang berbeda-beda.
Sel Dendritik
◦ sel-sel dendritik (DC) diaktifkan dalam merespon
adanya kerusakan, untuk merangsang respon
imun baik bawaan dan adaptif.
◦ DC adalah antigen-presenting cells (APC)
khusus yang memiliki tiga fungsi utama. Mereka
sering disebut sebagai “profesional APC”
karena fungsi utamanya adalah menangkap,
memproses dan mempresentasikan masing-
masing antigen endogen dan eksogen,
dimana, bersama dengan molekul kostimulator
lainnya, mampu menginduksi respon imun
utama pada limfosit T dalam keadaan tidur.
Eosinofil
Eosinofil adalah imunosit dengan fungsi
utamanya antihelmintes. Eosinofil banyak
ditemukan didalam jaringan seperti paru-paru
dan saluran pencernaan, yang dapat
menunjukkan peran dalam pengendalian
imunitas. Eosinofil dapat diaktifkan oleh IL-3, IL-5,
GM-CSF, kemoatraktan, dan platelet-activating
factor.
Sel mast
◦ Sel mast penting dalam respon primer terhadap
cedera. TNF yang lepas dari sel mast penting untuk
pengerahan neutrofil dan pembersihan patogen.
Pada aktivasi terhadap rangsang termasuk pengikat
alergen, infeksi, dan trauma, sel mast memproduksi
histamin, sitokin, eikosanoid, protease, dan kemokin,
yang menyebabkan vasodilatasi, kebocoran kapiler,
dan pengambilan immunosit.
◦ Sel mast dianggap sel efektor cosignaling yang
penting dari sistem imunitas melalui pelepasan IL-3,
IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13, dan IL-14, serta faktor
makrofag inhibisi-migrasi.
Monosit/ Makrofag
Monosit merupakan fagosit mononuklear yang
beredar di aliran darah dan dapat
berdiferensiasi menjadi makrofag, osteoklas,
dan DC saat melakukan migrasi ke jaringan.
Makrofag adalah sel efektor utama respon
imun terhadap infeksi dan cedera, terutama
melalui mekanisme yang meliputi fagositosis dari
bakteri patogen, pelepasan mediator inflamasi,
dan pembersihan sel apoptosis.
Neutrofil
◦ Neutrofil merupakan salah satu perespon pertama
pada lokasi infeksi dan cedera dan, dengan
demikian, merupakan mediator inflamasi akut
yang poten. Mediator kemotaktik dari lokasi
cedera menginduksi neutrophil yang sesuai pada
endotelial vaskular dan meningkatkan
kemungkinan migrasi sel kedalam jaringan luka.
◦ Neutrofil adalah imunosit-imumosit yang beredar
dengan masa paruh yang singkat (4-10 jam)
◦ Neutrofil memudahkan perekrutan monosit ke
dalam jaringan inflamasi.
◦ Sel-sel direkrut ini mampu memfagosit neutrophil
yang apoptosis untuk berkontribusi pada
penyelesaian respon inflamasi
ENDOTHELIUM-MEDIATED INJURY

Endotel vaskular
◦ Dalam kondisi fisiologis, endotelium vaskular memiliki sifat
antikoagulan menyeluruh yang diperantarai melalui
produksi dan ekspresi permukaan sel heparin sulfat,
dermatan sulfat, faktor jaringan jalur inhibitor, protein S,
thrombomodulin, plasminogen, dan aktivator plasminogen
jaringan.
◦ Sel endotel juga melakukan fungsi penting sebagai barier
yang mengatur migrasi jaringan dari sel-sel yang bersirkulasi.
◦ Selama sepsis, sel-sel endotel termodulasi secara diferensial,
yang menghasilkan pergeseran prokoagulan secara
menyeluruh melalui penurunan pengurangan factor-faktor
antikoagulan, yang dapat menyebabkan mikrotrombosis
dan cedera organ
Interaksi Neutrofil-Endotel
◦ Pengaturan respon inflamasi untuk memfasilitasi migrasi
neutrophil dan imunosit lainnya untuk menyusupi daerah-
daerah melalui peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, kemoatraktan, dan peningkatan faktor adhesi
endotelial yang disebut sebagai selektin yang diuraikan
pada permukaan sel.
◦ Sebagai respon terhadap rangsang inflamasi yang
dilepaskan dari sentinel leukosit di jaringan, termasuk
kemokin, thrombin, leukotriene, histamine, dan TNF,
endothelium vascular diaktifkan dan ekspresi permukaan
proteinnya diubah. Dalam 10 sampai 20 menit,
penampungan sebelum-penyimpanan molekul adhesi P-
selektin termobilisasi ke permukaan sel dimana ia dapat
memediasi perekrutan neutrofil
Urutan sederhana dari interaksi neutrofil
endotelium selektin-mediated setelah ada
stimulus inflamasi. MENANGKAP (tethering),
terutama dimediasi oleh sel L-selektin
dengan kontribusi dari endotel P-selektin,
menggambarkan pengenalan awal antara
leukosit dan endotelium, dimana sirkulasi
marginasi leukosit menuju permukaan
endotel. ROLLING CEPAT (20 sampai 50 pM/s)
adalah konsekuensi cepatnya pelepasan L-
selektin dari permukaan sel dan
pembentukan baru hilir L-selektin ke obligasi
endotelium, yang terjadi secara beriringan.
ROLLING LAMBAT (10 sampai 20 pM/s)
sebagian besar dimediasi oleh P-selektin.
Rolling paling lambat (3 sampai 10 pM/s)
sebelum ditangkap sebagian besarnya
dimediasi oleh E-selektin, dengan kontribusi
dari P-selektin. PENANGKAPAN (kumpulan
adhesi) menuju ke perpindahan yang
diperantarai oleh β-integrin dan famili
imunoglobulin dari molekul adhesi. Selain
berinteraksi dengan endotelium, leukosit
teraktivasi juga merekrut leukosit-leukosit lain
ke lokasi inflamasi dengan interaksi langsung,
yang sebagian diperantarai oleh selektin-
selektin.
Kemokin
◦ Kemokin adalah bagian dari protein kecil (8 sampai 13
kDa) yang pertama kali teridentifikasi melalui kemotaktik
dan efeknya dalam mengaktifkan sel inflamasi
◦ Kemokin diproduksi pada tingkat yang lebih tinggi setelah
hampir semua jenis cedera di dalam seluruh jaringan
tubuh, di mana kemokin sebagai atraktan utama untuk
ekstravasasi sel imunitas
◦ Kemokin dapat dibedakan (secara umum) dari sitokin
berdasarkan reseptor mereka, yaitu bagian dari
superfamili reseptor G-protein-berpasangan
◦ Sebagian besar reseptor kemokin mengenali lebih dari
satu kemokin ligan, menyebabkan adanya sinyal kemokin
berlebihan
◦ Kemokin-kemokin terbagi lagi menjadi famili-famili
berdasarkan urutan asam amino mereka pada N-
terminusnya. Sebagai contoh, CC kemokin terdiri dari dua
sistein N-terminal residual yang berdekatan langsung
(maka "C-C" ditetapkan), sedangkan sistein N-terminal di
CXC kemokin dipisahkan oleh asam amino tunggal.
Kemokin CXC sangat penting khususnya untuk fungsi
proinflamasi neutrofil (PMN)
◦ Anggota famili kemokin CXC, yang meliputi IL-8,
menginduksi migrasi neutrofil dan sekresi isi granular yang
sitotoksik dan metabolit-metabolit. Famili kemokin
tambahan termasuk C dan CX3C kemokin
Nitrit Oxide
◦ Nitrit oksida (NO) awalnya dikenal sebagai
endothelium-derived relaxing factor karena
efeknya pada otot polos pembuluh darah. Sel
otot polos vaskular yang normal terelaksasi oleh
output konstan NO yang diatur dalam
endotelium baik oleh aliran - dan aktivitas
reseptor-mediated. NO juga dapat menurunkan
microthrombosis dengan cara mengurangi
adhesi platelet dan agregasi (Gbr. 2-13) dan
mengganggu dengan adhesi leukosit ke
endotel
Interaksi endotel dengan sel
otot polos dan dengan
trombosit intraluminal.
Prostasiklin (prostaglandin I2,
atau PGI2) berasal dari
arachidonic acid (AA), dan
nitrit oksida (NO) berasal dari
L-arginin. Peningkatan siklik
adenosin monofosfat (cAMP)
dan siklik guanosin monofosfat
(cGMP) menghasilkan
relaksasi otot polos dan
penghambatan
pembentukan trombus
trombosit. Endotelin (ETs)
berasal dari " ET besar," dan ia
melawan efek dari prostasiklin
dan NO.
Prostasiklin
◦ Prostasiklin merupakan vasodilator poten yang juga
menginhibisi agregasi platelet

◦ Dalam sistem pulmonal, PGI2 mereduksi tekanan darah


pulmonal dan hiperresponsif bronkial. Pada ginjal, PGI2
memodulasi aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.
Prostasiklin bertindak melalui reseptornya (reseptor G-protein-
coupled dari famili rhodopsin) untuk menstimulasi enzim
adenilat siklase, yang memungkinkan sintesis cAMP dari
adenosin trifosfat (ATP). Hal ini mengarah pada penurunan
cAMP-mediated dalam kalsium intraseluler dan relaksasi otot
polos selanjutnya. Selama inflamasi sistemik terjadi, ekspresi
prostasiklin endotel terganggu, sehingga endotel lebih
mendukung profil prokoagulan. Analog prostasiklin yang
eksogenus, baik intravena serta inhalasi, telah digunakan
untuk meningkatkan oksigenasi pada pasien dengan cedera
paru akut.
◦ Studi klinis awal dengan prostasiklin telah
mengemukakan beberapa hasil yang memuaskan,
yang menunjukkan bahwa pemberian infus
prostasiklin meningkatkan indeks kardiak, aliran
darah splanknikus yang diukur dengan tonometri
intestinal, dan pengiriman oksigen pada pasien
dengan sepsis. Yang lebih penting lagi, tidak ada
penurunan yang signifikan pada tekanan arteri rata-
rata.
Endothelin

◦ Endothelin (ET) adalah mediator poten dari


vasokonstriksi dan terdiri dari tiga anggota: ET-1,
ET-2, dan ET-3. ET adalah 21-asam-amino
peptida yang berasal dari molekul prekursor 38-
asam-amino.
Platelet Activating Factor
◦ Fosfatidilkolin adalah penyusun lipid utama dari membran
plasma. Proses enzimatiknya dilakukan oleh sitosol fosfolipase A2
(cPLA2) atau kalsium-independen fosfolipase A2 (iPLA2)
menghasilkan molekul lipid kecil yang kuat, yang berfungsi
sebagai messenger intraseluler kedua. Salah satunya adalah
asam arakidonat, molekul prekursor untuk eikosanoid. Lainnya
adalah platelet-activating factor (PAF).
◦ Antagonis reseptor PAF telah secara eksperimental terbukti
mengurangi dampak iskemia dan cedera reperfusi. Dengan
catatan, sepsis pada manusia dikaitkan dengan penurunan
tingkat PAF-asetilhidrolase, yang menginaktivasi PAF dengan
menghilangkan gugus asetilnya. Bahkan, penataan PAF-
asetilhidrolase pada pasien dengan sepsis berat ini telah
menghasilkan beberapa penurunan disfungsi organ multiple
dan mortalitas; namun, uji klinis fase III yang lebih besar gagal
untuk menunjukkan manfaatnya.
Peptide Natriuretik

◦ Peptida natriuretik, faktor atrial natriuretik (ANF)


dan natriuretik peptida otak (BNP), adalah famili
dari peptida yang dilepaskan terutama oleh
jaringan atrium tetapi juga disintesis oleh usus,
ginjal, otak, kelenjar adrenal, dan endotelium.
METABOLISME PEMBEDAHAN
◦ Beberapa jam pertama setelah pembedahan atau
cedera akibat trauma secara metabolisme terkait
dengan berkurangnya pemakaian energi total tubuh dan
pembuangan urin nitrogen.
◦ Pada resusitasi yang adekuat dan stabilisasi pasien
terluka, reprioritas penggunaan substrat berakibat pada
pertahanan fungsi organ vital dan untuk mendukung
perbaikan jaringan yang cedera
◦ Fase pemulihan ini juga ditandai dengan berbagai fungsi
yang berpartisipasi dalam pemulihan homeostasis, seperti
penguatan kecepatan metabolisme dan konsumsi
oksigen, preferensi enzimatik untuk substrat yang mudah
teroksidasi seperti glukosa, dan stimulasi sistem imunitas.
◦ Pemahaman tentang perubahan kolektif pada
asam amino (protein), karbohidrat, dan
karakteristik metabolisme lipid pasien bedah
telah dijabarkan atas dasar dimana dukungan
metabolisme dan nutrisi dapat
diimplementasikan.
◦ Penggunaan bahan bakar pada seseorang 70-
kg selama puasa jangka pendek dengan
pemakaian energi basal kurang lebih 1800 kkal.
Selama kelaparan, protein otot dan cadangan
lemak menyediakan bahan bakar untuk host,
bersama yang terakhir menjadi paling banyak.
Metabolisme Selama Puasa
◦ Bahan bakar metabolisme selama dalam keadaan puasa
tanpa stres secara historis berfungsi sebagai standar
dalam membandingkan perubahan metabolik setelah
trauma akut dan penyakit kritis
◦ Untuk mempertahankan kebutuhan metabolisme basal
(yaitu, saat istirahat dan puasa), orang dewasa normal
yang sehat membutuhkan sekitar 22-25 kcal/kg per hari
yang diperoleh dari sumber karbohidrat, lipid, dan
protein. Kebutuhan ini dapat sebanyak 40 kkal/kg per hari
pada keadaan-keadaan stres berat, seperti yang
ditemukan pada pasien dengan luka bakar.
Penggunaan bahan bakar pada seseorang 70 kg selama puasa jangka
pendek dengan pemakaian energi basal kurang lebih 1800 kkal. Selama
kelaparan, protein otot dan cadangan lemak menyediakan bahan bakar
untuk host, bersama yang terakhir menjadi paling banyak. RBC= Sel darsh
merah, WBC= Sel darah putih.
◦ Glukagon, NE, vasopressin, angiotensin II  mendorong
glikogenolisis selama puasa.
◦ Glukagon, epinefrin, kortisol  secara langsung
mendorong glukoneogenesis, selain itu epinefrin&kortisol
mendorong piruvat bergerak maju mundur ke hati 
glukoneogenesis.
◦ Prekursor glukoneogenesis hepatik laktat, gliserol, asam
amino (alanin & glutamin).
◦ Laktat dilepaskan oleh glikolisis dalam otot rangka, serta
oleh eritrosit dan leukosit.
◦ Daur ulang laktat & piruvat untuk glukoneogenesis  siklus
Cori  menyediakan 40% glukosa plasma selama
kelaparan
◦ Produksi laktat dari otot rangka tidak cukup untuk kebutuhan
glukosa sistemik selama puasa jangka pendek  Protein
didegradasi setiap hari (75 g / hari untuk orang dewasa 70 kg)
 menyediakan substrat asam amino untuk glukoneogenesis
hepatik.
◦ Proteolisis selama kelaparan, yang dihasilkan terutama dari
penurunan insulin & peningkatan pelepasan kortisol,
berhubungan dengan peningkatan ekskresi nitrogen urin.
◦ Proteolisis selama kelaparan terjadi terutama dalam otot
rangka  Namun degradasi protein pada organ padat dapat
terjadi
◦ Kelaparan panjang proteolisis sistemik berkurang 20 g per hari
& ekskresi nitrogen urin 2 sampai 5 g per hari  adaptasi dari
organ-organ vital (miokardium, otak, korteks ginjal, otot rangka)
untuk menggunakan benda keton sebagai sumber utama
bahan bakar  sumber bahan bakar untuk otak setelah 2 hari
& secara bertahap menjadi sumber bahan bakar utama untuk
24 hari.
◦ Peningkatan deaminasi asam amino untuk glukoneogenesis
selama kelaparan  peningkatkan ekskresi ion amonium ginjal.
◦ Ginjal berpartisipasi dalam glukoneogenesis dengan
menggunakan glutamin dan glutamat  menjadi sumber
utama glukoneogenesis selama kelaparan jangka panjang
◦ Simpanan lipid dalam jaringan adiposa memberi 40% atau
lebih dari pengeluaran kalori selama kelaparan.
◦ Kebutuhan energi untuk enzimatik basal & fungsi otot
(glukoneogenesis, transmisi saraf, dan kontraksi jantung)
dipenuhi oleh trigliserida dari adiposa.
◦ Pelepasan asam lemak bebas dirangsang oleh penurunan
insulin serum & peningkatan sirkulasi glukagon dan katekolamin.
◦ Pengerahan simpanan lipid untuk energi  menurunkan
kecepatan glikolisis, glukoneogenesis, & proteolisis, sekaligus
kebutuhan glukosa
◦ Badan keton menghemat penggunaan glukosa dengan
menghambat enzim piruvat dehidrogenase.
Metabolisme Setelah Cedera
◦ Cedera /infeksi  menginduksi neuroendokrin & respons
imunologi khas yang membedakan metabolisme cedera
dengan berpuasa tanpa stress
◦ pengeluaran metabolisme berbanding lurus dengan
tingkat keparahan, dengan cedera termal dan infeksi
berat memiliki kebutuhan energi tertinggi
◦ Peningkatan pengeluaran energi diperantarai oleh
aktivasi simpatis dan pelepasan katekolamin
◦ Lipid  sumber utama energi selama keadaan stress
Metabolisme Lemak setelah Cedera

◦ Lemak  sumber bahan bakar nonprotein &


nonkarbohidrat yang meminimalisir katabolisme protein
pada pasien yang terluka.
◦ Simpanan adiposa dalam tubuh (trigliserida) adalah
sumber energi predominan (50% sampai 80%) selama
sakit kritis dan setelah cedera
◦ Lipolisis terjadi terutama dalam menanggapi rangsangan
katekolamin pada hormon-sensitif trigliserida lipase.
◦ Pengaruh hormonal lainnya terhadap lipolisis : ACTH,
katekolamin, hormon tiroid, kortisol, glukagon, pelepasan
GH, dan penurunan kadar insulin.
• Penyerapan lemak
◦ Jaringan adiposa menyediakan bahan bakar dalam
bentuk asam lemak bebas & gliserol selama sakit kritis dan
cedera.
◦ hati mampu mensintesis trigliserida dari KH & asam amino,
namun sumber makanan dan eksogen  sumber utama
trigliserida
◦ Lemak dari makanan tidak mudah diserap dalam usus 
membutuhkan lipase pankreas & fosfolipase dalam
duodenum untuk hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak
bebas & monogliserida  diserap oleh enterosit usus yg
mensintesis kembali trigliserida dengan esterifikasi
monogliserida dengan fatty acyl coenzyme A (acyl-CoA)
◦ Trigliserida rantai panjang (LCTs) umumnya melalui proses
esterifikasi & memasuki sirkulasi melalui sistem limfatik sebagai
kilomikron
◦ Asam lemak rantai pendek secara langsung memasuki sirkulasi
portal dan diangkut ke hati oleh pembawa albumin.
◦ Hepatosit menggunakan asam lemak bebas sebagai sumber
bahan bakar selama keadaan stress tetapi juga dapat
mensintesis fosfolipid atau trigliserida (VLDL) selama keadaan
makan.
◦ Jaringan sistemik (misal otot & jantung) dapat menggunakan
kilomikron & trigliserida sebagai bahan bakar dari hidrolisis
dengan lipoprotein lipase di permukaan lumen endotel kapiler.
◦ Trauma / sepsis  menekan aktivitas lipase lipoprotein di kedua
jaringan adiposa dan otot, yang dimediasi oleh TNF.
• Lipolisis dan Oksidasi Asam Lemak
◦ mobilisasi asam lemak bebas dari simpanan adiposa untuk
energi  dimediasi oleh pengaruh hormonal (katekolamin,
ACTH, hormon tiroid, GH, glukagon) pada trigliserida lipase
melalui jalur CAMP
◦ Dalam jaringan adiposa, trigliserida lipase menghidrolisis
trigliserida menjadi asam lemak bebas & gliserol.
◦ Asam lemak bebas memasuki sirkulasi kapiler & diangkut
oleh albumin ke jaringan (misalnya, jantung & otot rangka).
◦ Insulin menghambat lipolisis dan mendukung sintesis
trigliserida dengan menambah aktivitas lipoprotein lipase
serta kadar intraselular gliserol-3-fosfat.
◦ Penggunaan gliserol untuk bahan bakar tergantung
pada ketersediaan gliserokinase jaringan, yang sangat
banyak di hati dan ginjal.
◦ Pengangkutan fatty acyl-CoA dari membran luar
mitokondria melintasi membran dalam mitokondria terjadi
melalui shuttle karnitin
◦ Dalam mitokondria, fatty acyl-CoA mengalami beta
oksidasi  menghasilkan asetil-CoA setiap melewati siklus.
◦ Setiap molekul asetil-CoA memasuki siklus asam
trikarboksilat (TCA) untuk oksidasi  menghasilkan 12
molekul ATP, CO2 & air.
◦ oksidasi asam lemak membutuhkan lebih sedikit O2 &
menghasilkan karbon dioksida lebih sedikit
Ketogenesis
◦ Berkurangnya karbohidrat memperlambat masuknya
asetil-CoA dalam siklus TCA  mengurangi TCA
intermediates & aktivitas enzim
◦ Peningkatan lipolisis dan penurunan ketersediaan
karbohidrat sistemik selama kelaparan  kelebihan acetyl
CoA menjadi ketogenesis hati.
◦ Sejumlah jaringan ekstrahepatik mampu menggunakan
keton untuk bahan bakar.
◦ Ketosis  menunjukkan produksi keton hati melebihi
penggunaan keton ekstrahepatik.
◦ Tingkat ketogenesis berbanding terbalik dengan tingkat
keparahan cedera
◦ Trauma besar, syok berat, sepsis  ketogenesis menurun
dengan meningkatkan kadar insulin & menyebabkan
oksidasi jaringan yang cepat dari asam lemak bebas.
Metabolisme Karbohidrat
◦ Karbohidrat enteral dicerna dalam usus kecil  enzim
pankreas dan usus mengurangi karbohidrat kompleks
menjadi unit dimerik atau memiliki 2 molekul.
◦ Disakaridase (sukrase, laktase, maltase) dalam brush
borders usus merombak karbohidrat kompleks  unit
heksosa sederhana  diangkut ke dalam mukosa
usus.
◦ fruktosa / galaktosa di dalam sirkulasi ataupun manitol
eksogen (untuk cedera neurologis) tidak
membangkitkan respon insulin.
◦ Oksidasi dari 1 g karbohidrat menghasilkan 4 kkal, tetapi gula
pada cairan intravena atau nutrisi parenteral memberikan
hanya 3,4 kkal / g dekstrosa.
◦ Dalam kelaparan, produksi glukosa terjadi dengan
mengorbankan simpanan protein (otot rangka)  tujuan
utama pemberian glukosa maintenance pada pasien bedah
adalah untuk meminimalisasi atrofi otot.
◦ Pada pasien sepsis & trauma, penyediaan glukosa eksogen
tidak menekan degradasi asam amino untuk glukoneogenesis
 menunjukkan bahwa selama periode stress, mediator
hormonal dan proinflamasi lainnya memiliki pengaruh besar
pada kecepatan degradasi protein & tidak bisa dihindari
terjadinya atrofi otot.
◦ Pemberian insulin  mengembalikan katabolisme protein
selama stress berat dengan merangsang sintesis protein di
otot rangka & menghambat degradasi protein hepatosit.
◦ Katabolisme glukosa terjadi melalui pembelahan menjadi
piruvat atau laktat (pathway asam piruvat) atau dengan
dekarboksilasi menjadi pentosa (shunt pentosa)
◦ Kelebihan glukosa dari overfeeding mengakibatkan kondisi
seperti glukosuria, thermogenesis, dan lipogenesis.
◦ Peningkatan kadar glukosa plasma sebanding dengan tingkat
keparahan cedera, dan respon glukoneogenik hati  dibawah
pengaruh glukagon.
◦ Glukoneogenesis hepatik  sumber bahan bakar untuk
jaringan seperti sistem saraf, luka, dan eritrosit, yang tidak
memerlukan insulin untuk transportasi glukosa.
◦ Konsentrasi glukosa yang tinggi juga menyediakan sumber
energi yang diperlukan untuk leukosit pada jaringan yang
meradang dan dalam tempat invasi mikroba.
• Transpor Glukosa dan Pengiriman Sinyal
◦ Membran sel hidrofobik sulit menyerap molekul hidrofilik
transporter:
1. transporter glukosa difusi terfasilitasi (GLUTs)
2. sistem transpor aktif Na/ glukosa sekunder (SGLT)
i.e epitel saluran cerna dan tubulus proksimal renalis
Kelompok GLUT
Tipe Asam amino Lokasi diekspresikan

GLUT 1 492 Plasenta, otak, ginjal, kolon

GLUT 2 524 Hepar, sel β pankreas, ginjal,


illeum

GLUT 3 496 Otak, testis

GLUT 4 509 Otot skelet, otot jantung,


lemak cokelat dan putih

GLUT 5 501 Illeum, sperma


Metabolisme Protein dan Asam Amino
◦ Kebutuhan protein (dewasa muda) 80-120g/dL  6 g
protein menghasilkan 1 g nitrogen
◦ Pemecahan 1 g protein memerlukan energi sebesar 4
kcal, jumlah yang sama dengan metabolisme
karbohidrat.
◦ Jejas maka proteolisis ↗ ekresi nitrogen di urin 30g/dl; 1,5%
masa tubuh↘  dapat dideteksi lebih dini setelah terjadi
luka dan mencapai puncaknya 7 hari
◦ Katabolisme protein pada traumasubstrat untuk
glukoneogenesis dan sinstesis protein fase akut
Perubahan katabolime dan sintesis protein
berhubungan dengan derajat berat dan lama
luka terjadi
◦ Fase katabolisme protein dapat terjadi selama
3-7 minggu
◦ Status fisik , usia pasien memengaruhi derajat
proteolisis pada luka dan sepsis
◦ Aktivasi sistem ubiquitin proteasome (UPS) pada
sel otot merupakan jalur utama degradasi
protein pada fase akut luka
NUTRISI PASIEN BEDAH

◦ Nutrisi px bedah  mencegah dan


mengembalikkan efek katabolik selama sakit
atau terluka mencari kebutuhan energi
◦ Kebutuhan energi diukur : kalorimetri indirek,
marker serum (kadar prealbumin) &
memperkirakan dari ekresi nitrogen di urin yang
sebanding dengan resting energy expenditure
◦ Basal energy expenditure(BEE) dapat diperkirakan
dengan rumus perhitungan Harris-Benedict:
BEE(pria) =66,47 +13,75(BB)+5(TB)-6,76(Usia) kcal/d
BEE(wanita) =655,1+9,56(BB)+1,85(TB)-4,68(Usia) kcal/d
sesuai untuk kondisi pasca bedah dalam memperkirakan
kebutuhan energi pasien yang dirawat
Setelah trauma atau sepsis, kebutuhan energi akan
meningkat, mengharuskan adanya kalori nonprotein di luar
perhitungan energy expenditure  penambahan kalori
nonprotein setelah luka berkisar 1,2-2,0 kali lipat
bergantung dari tipe lukanya (jarang melebihi perhitungan
selama fase katabolik)
NUTRISI ENTERAL
Akses Dukungan Nutrisi Enteral
Teknik yang tersedia untuk akses enteral terdiri dari beberapa pilihan.
Metode yang banyak digunakan saat ini beserta indikasinya tercantum
pada tabel 2-11.
• Nasoenteric Tube

◦ Pemberian nutrisi melalui nasogastrik & nasojejunal 


proteksi refleks laring untuk meminimalkan risiko aspirasi.
◦ Nutrisi Nasojejunal  komplikasi penyakit paru lebih sedikit
terutama pneumonia.
◦ Pemasangan nasogastrik tube secara trial  risiko terjadi
salah penempatan  auskultasi pada gaster tidak akurat
lagi  diperlukan konfirmasi radiografi.
◦ Pemasangan nasojejunal  lebih dapat diandalkan 
komplikasi aspirasi pneumonia dikurangi 25%
dibandingkan dengan nasogastrik tube.
◦ Kelemahan penggunaan nasoenterik tube; menyumbat,
terpuntir, tube bergeser atau lepas.
• Percutaneous Endoscopic Gastrotomy (PEG)

◦ Indikasi; gangguan mekanisme menelan,


obstruksi orofaringeal/esofagus, trauma fasial.
◦ Digunakan pada pasien yang membutuhkan
suplementasi kalori, hidrasi, pemberian medikasi
yang sering, dan untuk dekompresi lambung
pasif.
◦ Kontraindikasi relatif; asites, koagulopati, varises
lambung, dan neoplasma lambung.
◦ Identifikasi tempat terpasangnya PEG
membutuhkan endoskopi transiluminasi pada
dinding perut anterior.
◦ Jika endoskopi tidak tersedia  prosedur
perkutan bawah dengan fluoroscopic
guidance oleh radiologi intervensi
◦ Jika masih tidak berhasil  surgical gastrostomi
metode invasif minimal.
◦ Komplikasi terjadi pada 3% dari seluruh pasien
 luka infeksi, necrotizing fascitis, peritonitis,
aspirasi, kebocoran, dislodgment, perforasi usus,
fistula enterik, perdarahan, dan aspirasi
pneumonia.
• Percutaneous Endoscopic Gastrostomy-
Jejunostomy dan Direct Percutaneous
Endoscopic Jejunostomy
◦ Pasien yang tidak dapat mentoleransi
nasoenteric/memiliki risiko aspirasi yang signifikan 
harus diberi makan langsung melewati pilorus (PEG-J)
dengan endoskopi atau fluoroscopic guidance
◦ Penempatan tube percutaneous endoscopic
jejunostomy (DPEJ) secara langsung  teknik sama
seperti penempatan tube PEG, membutuhkan
enteroskop atau kolonoskop untuk mencapai jejunum.
◦ Malfungsi tube DPEJ lebih sedikit dibandingkan
dengan malfungsi tube PEG-J.
• Bedah Gastrostomi dan Jejunostomi

◦ Dilakukan pada pasien yang menjalani operasi


abdomen/trauma kompleks.
◦ KI absolut  obstruksi usus distal.
◦ KI relatif  edema berat dinding usus, enteritis
radiasi, penyakit radang usus, asites,
immunodefisiensi berat, dan iskemia usus.
◦ Efek samping  Distensi abdomen, kram,
gangguan pernapasan mekanis akibat
intoleransi pemberian makanan enteral.
◦ Komplikasi jarang  pneumatosis intestinalis
dan nekrosis usus halus
◦ Faktor risiko komplikasi  syok kardiogenk dan
sirkulatorik, penggunaan vasopressor, diabetes
mellitus, dan penyakit paru obstruktif kronik.
◦ Pemberian nutrisi enteral pada pasien kritis harus
ditunda sampai resusitasi adekuat telah
tercapai.
NUTRISI PARENTERAL
◦ Nutrisi parenteral  infus kontinu dari larutan hiperosmolar
yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan
nutrien lainnya yang dibutuhkan dan dimasukkan melalui
kateter ke dalam vena kava superior.
◦ Untuk mendapatkan manfaat yang maksimal, rasio
kalori:protein harus cukup (sekitar 100-150 kkal/gram),
diinfus secara serentak.
◦ Pemberian nutrisi tersebut terbukti berhasil dalam
mencapai pertumbuhan dan perkembangan,
keseimbangan nitrogen positif, dan kenaikan berat badan
dalam berbagai situasi klinis.
◦ Nutrisi parenteral durasi <7 hari  komplikasi infeksi (Tabel 2-12).
Alasan terhadap Nutrisi Parenteral
◦ Tujuan mendasar  memberikan kalori dan substrat nitrogen
yang cukup untuk perbaikan jaringan dan mempertahankan
integritas atau pertumbuhan massa jaringan lemak.
◦ Indikasi  malnutrisi, sepsis, surgical injury/trauma injury pada
pasien sakit parah yang tidak mungkin menggunakan saluran
cernanya untuk makan.
◦ Nutrisi parenteral dapat dengan cepat meningkatkan
keseimbangan nitrogen pada pasien malnutrisi signifikan 
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh.
Kelompok pasien yang menggunakan nutrisi parenteral untuk
mencapai tujuan dibawah ini:
1. Bayi baru lahir dengan penyakit anomali, gagal berkembang karena
kelemahan gastrointestinal
2. Pasien dewasa dengan sindrom usus pendek sekunder,
enteroenteric, enterocolic, enterovesical, atau fistula
enterocutaneous high output
3. Pasien bedah dengan ileus paralitik berkepanjangan setelah operasi
besar
4. Pasien dengan panjang usus normal tetapi dengan malabsorpsi
sekunder
5. Pasien dewasa dengan gangguan fungsional gastrointestinal, kolitis
granulomatosa, ulcerative colitis, atau enteritis tuberkulosis
6. Pasien dengan keganasan
7. Pasien yang membutuhkan kalori yang adekuat
8. Pasien dengan sakit kritis dengan hipermetabolik yang
membutuhkan perawatan > 5 hari atau yang tidak layak mendapat
nutrisi enteral
Pasien dengan kontraindikasi pemberian nutrisi parenteral:
1. Pasien dengan tujuan manajemen tertentu/pasien
stadium terminal untuk menunda kematian
2. Pasien yang mengalami ketidakstabilan
hemodinamik/gangguan metabolik berat
3. Pasien dengan saluran pencernaan yang baik
4. Pasien dengan status gizi yang baik
5. Bayi dengan usus kecil <8 cm, karena telah
beradaptasi terhadap kekurangan nutrisi
6. Pasien yang mengalami deserebrasi ireversibel
Nutrisi Parenteral Total

◦ Total Parenteral Nutrition (TPN)  pusat nutrisi parenteral,


memerlukan akses ke vena berdiameter besar untuk
memberikan seluruh kebutuhan nutrisi individu.
◦ Dibutuhkan dekstrosa yang kandungannya tinggi (15%-
25%), dan semua makronutrien serta mikronutrien lainnya.
Nutrisi Parenteral Perifer

◦ Nutrisi Parenteral Perifer (PPN) menggunakan osmolaritas


rendah  digunakan sebagai tambahan untuk
mengurangi pemberian dekstrosa (5%-10%) dan protein
(3%).
◦ PPN dapat dipertimbangkan jika rute sentral tidak
tersedia/jika dukungan nutrisi tambahan diperlukan.
◦ PPN digunakan untuk jangka pendek (<2 minggu), di luar
waktu tersebut TPN harus diganti.
Inisiasi Nutrisi Parenteral

◦ Larutan dasar untuk nutrisi parenteral mengandung


konsentrasi akhir dari 15% -25% dekstrosa dan 3% -5% kristal
asam amino.
◦ Penyediaan elektrolit dan asam amino yang tepat harus
memperhitungkan banyaknya kehilangan cairan dan
elektrolit, fungsi ginjal, tingkat metabolisme, fungsi
jantung, dan keadaan penyakit yang mendasari.
◦ Persiapan vitamin intravena juga harus ditambahkan ke
formula parenteral, misalnya vitamin K yang harus
ditambahkan setiap minggunya.
◦ Dapat terjadi defisiensi asam lemak dengan tampilan
klinis; kering, bersisik dan rambut rontok.
◦ Sindrom ini dapat dicegah dengan infus periodik emulsi
lemak pada kadar 10%-15% dari total kalori.
◦ Insulin dapat ditambahkan bila perlu untuk memastikan
toleransi glukosa.
◦ Hal-hal yang harus dipantau selama pemberian nutrisi
parenteral; tanda vital dan urin output, penimbangan
pasien secara teratur, elektrolit darah (diambil setiap hari
sampai tercapai angka stabil dan setiap 2/3 hari
setelahnya), nitrogen urea darah, fungsi hepar, fosfat dan
magnesium (setiap minggu), glukosa darah
kapiler/glukosa urine (tiap 6 jam) dan konsentrasi glukosa
serum (sekali sehari selama beberapa hari pertama
terpasang infus)
◦ Potassium penting untuk mencapai keseimbangan
nitrogen positif dan menggantikan penyimpanan
intraseluler yang terbuang.
◦ Sebelum memberikan insulin, kadar kalium serum harus
diperiksa untuk menghindari eksaserbasi hipokalemia
tersebut.
◦ Nutrisi ajuvan; emulsi lipid yang berasal dari kedelai atau
minyak safflower sebanyak 500 mL dari 20% emulsi lemak
(1-3 kali seminggu)  mencegah terjadinya defisiensi
asam lemak esensial.
◦ Tripel campuran (karbohidrat, lemak, dan asam amino) 
diberikan melalui infus pada level yang konstan selama 24
jam.
◦ Proses penghantaran nutrisi parenteral memerlukan akses
infus sentral  ke vena subklavia/vena jugularis internal
dan terhubung ke dalam vena kava superior.
◦ Akses permanen lebih lanjut  membuat terowongan
menggunakan kateter dengan panjang subkutan
substansial atau memasukkan kateter panjang melalui
vena basilika/cephalica ke vena cava superior.
Komplikasi Nutrisi parenteral
• Komplikasi Teknis
- Komplikasi pemberian nutrisi parenteral jangka panjang 
sepsis sekunder akibat kontaminasi dari kateter vena sentral 
Infeksi aliran darah terkait jalur sentral (CLABSI).
- CLABSI terjadi sebagai akibat dari penyebaran hematogen dari
kateter yang mengandung bakteri.
- Tanda awal CLABSI  intoleransi glukosa mendadak (dengan
atau tanpa kenaikan suhu) pada pasien yang sebelumnya telah
dipertahankan pemberian nutrisi parenteral tanpa kesulitan.
- Ketika hal ini terjadi, atau jika demam tinggi (>38,5° C) terjadi
tanpa penyebab yang jelas,  dilakukan pencarian fokus infeksi
 Jika demam berlanjut, kateter infus harus dilepaskan dan
diambil sampel untuk kultur bakteri.
◦ Penggunaan kateter infus multilumen  << risiko infeksi.
◦ Level infeksi kateter tertinggi  vena femoralis
◦ Infeksi lebih rendah  vena jugularis
◦ Paling rendah  vena subklavia.
◦ Jika kateter dipasang 3-7 hari, risiko infeksi  3%-5%.
◦ Jika kateter digunakan >7 hari, risiko infeksi  10%.
◦ Komplikasi lain; pneumotoraks, hemotoraks, hidrothorax,
cedera arteri subklavia, thoracic duct injury, aritmia
jantung, emboli udara, emboli kateter, dan perforasi
jantung dengan tamponade.
• Komplikasi Metabolik
− Komplikasi ini sangat umum terjadi pada
pasien dengan diabetes laten dan pada
pasien yang mengalami surgical stress/trauma
berat.
− Pengobatan  penggantian volume dengan
koreksi kelainan elektrolit dan pemberian
insulin.
− Pencegahan  memperhatikan secara
seksama keseimbangan cairan sehari-hari dan
pemantauan kadar glukosa darah dan serum
elektrolit.
− Komplikasi kelebihan nutrisi  retensi karbon
dioksida, insufisiensi pernafasan, steatosis
hepar atau glikogen yang ditandai  adanya
deposisi pada pasien tertentu, kolestasis dan
pembentukan batu empedu.
− Komplikasi ringan bersifat sementara 
abnormalitas serum transaminase, alkali
fosfatase, dan bilirubin.
• Atrofi Intestinal
− Kurangnya stimulasi usus  atrofi mukosa usus,
tinggi vili yang berkurang, pertumbuhan
bakteri yang berlebihan, penurunan ukuran
jaringan limfoid, penurunan produksi IgA, dan
gangguan kekebalan usus.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai