Anda di halaman 1dari 45

Insisivus 3

 Definisi Platelet (Trombosit)


Platelet (trombosit) merupakan fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak
berinti dan terbentuk di sumsum tulang. Trombosit matang berukuran 2-4 μm,
berbentuk cakram bikonveks dengan volume 5-8 fl. Trombosit setelah keluar dari
sumsum tulang, sekitar 20-30% trombosit mengalami sekuestrasi di limpa
 Platelet Disorder merupakan kelainan klinis yang sering ditemui yang dapat
menyebabkan kecenderungan untuk terjadinya perdarahan (diasthesis
hemorrhagic)
 Platelet Disorder dapat dikarakteristikan berdasarkan qualitative and
quantitative disorders
 Qualitative platelet disorder (thrombocytopathies) merupakan kelainan
kualitas dari trombosit yang dihasilkan oleh sumsum tulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya kelainan pada fungsi trombosit, dimana terdapat
hubungan bleeding time yang abnormal terhadap kualitas jumlah platelet
 Thrombocytopathies ini bisa terjadi secara Hereditary atau Acquired.
Biasanya terjadi secara acquired dan reversible yang diakibatkan karena adanya
suatu proses penyakit yang terjadi, drug ingestion (NSAID)
 Klasifikasi Platelet Qualitative Disorders :
1. Substrate Connective Tissue disorder
2. Adhession disorder
3. Aggregation disorder
4. Platelet Release Reaction disorder
1. Disorder of Substrate Connective Tissue
a. Ehlers-Danlos syndrome (Hereditary)
Suatu penyakit herediter yang jarang terjadi pada jaringan ikat
(connective tissue) dan memiliki manifestasi pada rongga mulut. Mula-
mula ditandai dengan penyakit kulit dan kelainan pada sendi, dimana
kondisi kulit mengalami hyperelastic dan mudah memar dikarenakan
adanya kelainan yang terjadi pada aliran darah.
Vascularity Ehlers-Danlos syndrome  Arterial-ecchymotic-EDS type
IV
 Etiologi: Mutasi gene for type III procollagen (COL3A1)
Pada Syndrome ini terjadi gangguan metabolism kolagen yang penting
dalam koagulasi trombosit. Dimana kolagen sangat diperlukan untuk
mengaktivasi trombosit supaya trombosit dapat beragregasi.
 Clinical Features
Tanda-tanda klinis EDS adalah hipermobilitas sendi; hiperelastisitas kulit,
yang lunak, tipis dan rapuh; adanya bekas luka distrofik; dan
kecenderungan perdarahan berlebihan yang dimanifestasikan oleh
memar, ekimosis, dan hematoma.
b. Scurvy Disease atau Skorbut (Acquired)
 Scurvy merupakan penyakit langka yang ditandai dengan adanya
defisiensi Vit. C kronis dalam tubuh karena tidak adanya enzim
gulonolaktone oksidase dalam tubuh sehingga tidak bisa
memproduksi Vit. C atau asam askorbat yang berfungsi dalam
sintesa kolagen. Dimana, kolagen berperan dalam agregasi
trombosit
 Kolagen merupakan komponen essential pada connective tissue
yang berperan dalam penyembuhan luka.
 Defisiensi vitamin C (skorbut) dapat menyebabkan manifestasi
klinis berupa pendarahan pada gusi, efusi sendi, dan purpura
pada kulit
 Gejala umum penyakit skorbut yang dilaporkan termasuk gusi
yang membesar, perdarahan mukosa, gingivitis, nyeri dan
kelemahan anggota tubuh bagian bawah, purpura, petekie,
ekimosis, dan pembengkakan sendi lutut.
 Selain itu, penyakit ini juga menyebabkan perdarahan
superiosteal dan submukosa. Jika terdapat defisiensi vitamin C,
pembentukkan kolagen dan kondroitin sulfat terganggu, ini
meningkatkan kejadian perdarahan, dentin gigi tidak
sempurna, dan pelonggaran gigi. Karena osteoblast tidak lagi
membentuk bahan interseluler normal (osteoid), pembentukan
tulang enkhondral berhenti. Trabekula tulang yang telah
terbentuk menjadi rapuh dan mudah patah. Periosteum
menjadi longgar, dan perdarahan subperiosteal terjadi,
terutama pada ujung-ujung femur dan tibia. Pada skorbut berat
dapat ada degenerasi otot skeletal, hipertrofi jantung, depresi
sumsum tulang dan atrofi adrenal
 Diagnosis : Pemeriksaan Fisik dan Test Laboratorium untuk melihat level
Vit. C dalam Darah. Bisa juga dilakukan Radiography Test untuk melihat
kelainan internal pada penderita Scurvy dan untuk mendiagnosis Scurvy
pada anak-anak
 Normal range Level of Vit. C dalam darah : 4–8.8 mg/L (or 23–50 μM)
Perbedaan kandungan vitamin C dalam plasma darah dapat dijelaskan
sebagai berikut: Kandungan vitamin C kurang dari 0,1 mg/dL menunjukkan
terjadinya skorbut pada pasien.
 Kandungan vitamin C kurang dari 0,2 mg/dL menunjukkan terjadinya
defisiensi vitamin C pada pasien.
 Kandungan vitamin C 0,2-0,3 mg/dL menunjukkan kadar vitamin C yang
rendah.
 Kandungan vitamin C di atas 0,3 mg/dL menunjukkan pasien memiliki
kadar vitamin C yang cukup.
Nilai kandungan vitamin C dalam leukosit dapat diinterpretasikan sebagai
berikut: Kandungan vitamin C 0 mg/dL menunjukkan skorbut laten.
 Kandungan vitamin C 0-7 mg/dL menunjukkan pasien mengalami
defisiensi vitamin C.
 Kandungan vitamin C 8-15 mg/dL menunjukkan kadar vitamin C yang
rendah dalam jaringan.
 Kandungan vitamin C di atas 15 mg/dL menunjukkan jaringan sudah
mendapatkan vitamin C dalam jumlah cukup.
 Oral Manifestation
2. Adhession Disorder
a. Bernard Soulier Syndrome
Bernard Soulier Syndrome merupakan penyakin perdarahan langka yang
diturunkan, yang disebabkan oleh adanya defek pada glikoprotein secara
qualitative maupun quantitative. glikoprotein yang mengalami defek adalah
(GP)Ib-IX-V complex, the receptor for the von Willebrand factor (vWF),
yang berperan dalam adhesi platelet dalam menutup injury yang terbentuk
dengan mengikat vWF dan memperbaiki fibrinogen. Ligasi ini dapat
mentransduksi sinyal ke sitoplasma trombosit untuk memulai kaskade yang
menimbulkan pembentukan sumbat trombosit hemostatik. Tanpa adanya
reseptor vWF yang berfungsi, trombosit tidak dapat melekat pada
subendothelium vaskular di bawah shear stress (tekanan geser) yang
tinggi.
Pada pemeriksaan blood smear akan menunjukkan giant platelet
(terkadang berukuran >6mm dan bias mencapai >10mm, sedangkan
ukuran normal platelet 2-3 mm). Pada pemeriksaan bleeding time, terdapat
waktu perdarahan yang lama (>15 menit) dan terdapat kondisi
trombositopenia (10.000-100.000 trombosit/microliter)
 Manifestasi Klinisakan terlihat sejak kecil, dan terdapat sign dan
symptom terjadinya epistaxis berulang, purpura, menorrhagic dan
gingival bleeding. beberapa pasien juga menunjukkan adanya
perdarahan pada gastrointestinal. Pada keadaan kronis, pasien akan
mudah untuk mengalami bruising (memar) dan sering timbul
hematoma.
 Diagnosis : tidak adanya agregasi platelet yang di induced oleh
ristocetin dan terdapat giant platelet (macrothrombocytopenia) pada
pemeriksaan blood smear. Diagnosis didasarkan pada semua
pengamatan tersebut dan dikonfirmasi oleh tes agregasi menggunakan
aggregometer dan dengan flow cytometry menggunakan antibodi
spesifik yang mengenali satu atau lebih protein kompleks. Kompleks
GPIIb-IIIa, biasanya diekspresikan pada permukaan trombosit orang
sehat dan pasien BSS, berfungsi sebagai kontrol positif. Tes-tes
laboratorium khusus sangat penting untuk menghindari kebingungan
antara BSS dan gangguan trombosit lainnya seperti May-Hegglin atau
purpura trombositopenik idiopatik.
b. Von Willbrand Disease
Penyakit von Willebrand (vWD) adalah kelainan yang diwariskan secara otosomal
dengan gejala perdarahan, disebabkan mutasi gen faktor von Willebrand (vWF)
sehingga terjadi defisiensi atau disfungsi vWF. Revised Classification of vWD
membagi vWD berdasar defek vWF kuantitatif (tipe 1 dan tipe 3) atau kualitatif
(tipe 2)
 Fungsi vWF
• vWF terikat pada GpIb trombosit dan kolagen subendotel membentuk jembatan
trombosit-subendotel pada pembuluh darah yang rusak. vWF juga berfungsi
sebagai jembatan antar trombosit membentuk agregat trombosit.GpIb dan vWF
diperlukan untuk proses adesi dan kohesi antar trombosit dalam aliran darah yang
cepat.
• vWF juga berperan dalam fungsi hemostasis melalui ikatan dengan FVIII, tidak
tergantung ukuran multimer, melindungi FVIII dari degradasi proteolitik
disirkulasi. Waktu paruh FVIII menurun dari 8–12 jam menjadi 2 jam bila tidak
didapatkan vWF. Ikatan vWF dan FVIII merupakan ikatan kuat non-kovalen. vWF
menghambat interaksi FVIII dan protease sistem koagulasi seperti faktor IX, faktor
X, protein C sehingga mencegah aktivasi sistem koagulasi yang ini
 Genetik vWD merupakan penyakit yang diwariskan
melalui mekanisme genetik multipel. Tipe 1 diwariskan
secara otosomal dominan. Mutasi genetik belum
diketahui jelas. Ekspresi genetik bervariasi antar
anggota keluarga. Pola pewarisan tipe 2B, 2M dan
sebagian besar tipe 2A adalah otosomal dominan. Tipe
2N dan sebagian kecil tipe 2A diwariskan secara
otosomal resesif. Single missense point mutation
merupakan penyebab utama kelainan tipe 2.vWD tipe 3
diwariskan secara otosomal resesif, dengan penyebab
delesi gen yang luas atau parsial, truncating mutation
dan missense mutation.
b. Acquired von Willebrand syndrome (AVWS)
AVWS adalah kelainan perdarahan yang sering tidak dikenali atau salah didiagnosis
sebagai penyakit von Willebrand. AVWS ditandai oleh cacat struktural atau fungsional
faktor von Willebrand (VWF) yang sekunder akibat autoimun, limfoproliferatif atau
mieloproliferatif, ganas, kardiovaskular, atau gangguan lainnya. Abnormalitas VWF
pada gangguan ini dapat disebabkan oleh (1) pembersihan yang dimediasi antibodi
atau gangguan fungsional, (2) adsorpsi pada permukaan sel atau trombosit yang
ditransformasikan, atau (3) peningkatan tegangan geser dan proteolisis selanjutnya.
 Patogenesis
mekanisme patogen yang menyebabkan gangguan struktural atau fungsional VWF yaitu
autoantibodi, baik mengganggu trombosit atau pengikatan kolagen, atau meningkatkan
pembersihan (clearance) VWF dari plasma. Sequestration multimeter dengan berat
molekul tinggi (HMW) ditunjukkan pada pasien dengan gangguan hematologi karena
adsorpsi ke sel-sel myeloma atau platelet, tetapi juga ada pada trombositosis reaktif.
Pembelahan proteinolitik VWF dapat terjadi setelah tegangan geser yang terjadi
berlangsung, dan AVWS yang dihasilkan dari mekanisme ini dijelaskan pada gangguan
dengan peningkatan tegangan geser (shear stress). Pembelahan proteinolitik juga telah
dijelaskan pada pasien dengan pankreatitis, sirosis hati, leukemia, dan obat-obatan
tertentu. Dalam hipotiroidisme, AVWS terjadi karena adanya penurunan dari sintesis
VWF yang normal.
Untuk mendiagnosis AVWS sesuai dengan alasan pengujian.
(A) Pasien yang diuji karena perdarahan juga harus dievaluasi untuk gangguan terkait AVWS. Jika ada
gangguan seperti itu, pertimbangkan AVWS jika pengujian VWF menunjukkan gangguan kuantitatif
atau kualitatif VWF.
(B) Pasien dengan kelainan terkait AVWS diketahui disarankan untuk menjalani tes sebelum operasi,
dan AVWS harus dipertimbangkan jika ditemukan kelainan VWF.
3. Disorder of platelet Agregration
a. Glanzmann's thrombasthenia (GT) (Congenital)
 Glanzmann’s thrombasthenia merupakan gangguan fungsi platelet yang
diturunkan disebabkan oleh abnormalitas GPIIb-IIIa (glikoprotein) platelet
complex receptor. Jika reseptor ini tidak ada atau tidak bekerja dengan baik,
platelet tidak dapat melekat pada dinding pembuluh darah yang mengalami
perlukaan dan sulit untuk membentuk pembekuan darah yang normal.
 Glanzmann’s thrombasthenia memiliki pola pewarisan autosomal resesif.
 Braunsteiner dan Pakesch mengulas gangguan fungsi trombosit dan dijelaskan
trombastenia sebagai penyakit bawaan yang ditandai oleh trombosit dengan
ukuran normal namun gagal untuk menyebar ke permukaan dan tidak mampu
membentuk retraksi bekuan.
 Kegagalan dari agregasi platelet diamati pada kegagalan mengikat fibrinogen
dengan baik seperti pada tipe 1, atau yang kadarnya jauh menurun seperti pada
tipe 2 GT. Baru-baru ini, bentuk varian dilaporkan di mana kompleks GP IIb / IIIa
ada namun dengan kualitatif yang abnormal, yang mengarah pada kegagalan
pengikatan fibrinogen.
 Manifestasi Klinis : Pasien dengan Glanzmann’s thrombasthenia (GT) biasanya
bergejala pada masa bayi ataupun anak usia dini dengan manifestasi berupa
purpura, epistaksis, perdarahan gingiva, dan perdarahan berkepanjangan akibat
trauma. Pendarahan yang terjadi pada gangguan ini biasanya spontan, namun
terkadang bisa pula akibat trauma minimal. Pada kebanyakan pasien munculnya
epistaksis lebih sering pada anak-anak dan seiring bertambahnya umur, gejala
ini biasanya diikuti dengan perdarahan gusi. Perdarahan ginggiva sering
disebabkan karena kebersihan rongga mulut yang tidak terjaga dengan baik.
Pada pasien GT juga terdapat tanda menstruasi yang berat.
 Glanzmann’s thrombasthenia ditandai dengan morfologi
trombosit yang normal dan normalnya jumlah trombosit,
waktu perdarahan terkadang mengalami pemanjangan,
tidak adanya atau menurunnya retraksi bekuan, dan
trombosit yang agregasinya normal di hadapan ristocetin,
agregasi platelet tidak ada atau menurun terhadap
epinefrin, asam Arachidonat, dan ADP, dimana faktorfaktor
ini berpengaruh terhadap penempelan fibrinogen
dengan platelet untuk agregasi.
 Agregasi platelet biasanya terjadi sebagai respon terhadap
ristocetin dimana tidak tergantung dengan fibrinogen.
 Diagnosa : Pemeriksaan flow cytometry dapat digunakan untuk
mendeteksi keberadaan kompleks GPIIb-IIIa, dimana GPIIb
(CD41), GPIIIa (CD61) dan fibrinogen dapat dideteksi dengan
menggunakan antibodi monoklonal. Metode ini juga dapat
digunakan untuk memprediksi status pembawa didalam
anggota keluarga pasien.
 Pada pemeriksaan laboratorium diperiksa jumlah trombosit,
faal hemostasis dan hapusan darah tepi. Pemeriksaan agregasi
trombosit juga bias dilakukan. Jika tidak didapatkan kelainan
pada ristocetin, kemungkinan besar diagnosis pasien kearah
Glanzmann’s thrombasthenia. Pemeriksaan spesifik penyakit ini
ialah kurangnya jumlah atau ketiadaan reseptor fibrinogen
(GpIIb/IIIa) pada permukaan platelet, namun pemeriksaan ini
belum tersedia dimanapun.
2. Hemofilia
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat
kelainan faal koagulasi yang bersifat herediter dan
diturunkan secara X-linked recessive sehingga hanya
bermanifestasi pada laki-laki, sedangkan wanita
hanya menjadi karier atau pembawa sifat penyakit
ini. Dikenal tiga tipe hemofilia yaitu hemofilia A, B,
dan C yang secara klinis ketiganya tidak dapat
dibedakan.
Hemofilia A dan B diturunkan secara seksual,
sedangkan hemofilia C secara autosomal. Pada kasus
hemofilia A terdapat defisiensi faktor VIII; kasus
hemofilia B dengan defisiensi faktor IX; dan hemofilia
C dengan defisiensi faktor XI
 Gejala yang paling sering terjadi ialah perdarahan, baik di
dalam tubuh (internal bleeding) maupun di luar tubuh
(external bleeding).
Internal bleeding yang terjadi dapat berupa: hyphema,
hematemesis, hematoma, perdarahan intrakranial,
hematuria, melena, dan hemartrosis.
External bleeding dapat bermanifestasi sebagai
perdarahan masif dari mulut ketika ada gigi yang tanggal
atau pada ekstraksi gigi; perdarahan masif ketika terjadi
luka kecil; dan perdarahan dari hidung tanpa sebab yang
jelas.
 Kebersihan mulut yang buruk dan faktor iatrogenik juga
dapat menyebabkan perdarahan oral. Pada balita, ulserasi
oral dan ekimosis yang melibatkan bibir dan lidah sering
terjadi.
 Diagnosis : Pemeriksaan komprehensif pada pasien dengan suspek
hemofilia sudah harus dimulai saat ditemukan riwayat: penyakit
hemofilia dalam keluarga; mudah memar sejak periode neonatal;
perdarahan spontan baik internal atau eksternal; dan perdarahan masif
ketika terjadi luka kecil.
 Kecurigaan ini kemudian ditindaklanjutkan dengan skrining laboratorium
untuk mengetahui fungsi homeostasis serta ada tidaknya kelainan
perdarahan. Skrining utama untuk menentukan fungsi homeostasis ialah
platelet count (normal 150.000-450.000/mm3) dan bleeding time. Pada
pemeriksaan platelet count, pengambilan darah dilakukan melalui pungsi
vena (pengambilan darah melalui vena dalam fossa cubiti); dan perlu
diperhatikan apakah pasien sedang mengonsumsi obat-obatan seperti
kloramfenikol, oral anti-tuberculosis (OAT), colchicine, atau sulfonamid.
 Pemeriksaan bleeding time menggunakan metode Ivy dengan nilai
normal 1-6 menit, dan dikatakan memanjang bila >15 menit.
 Pasien penderita hemophilia lebih rentan terhadap
penyakit periodontal lebih dari orang biasa karena
ketidakmampuan mereka untuk melakukan prosedur
kebersihan mulut. Selain itu, sulkus gingiva menjadi tempat
berbagai organisme aerob dan anaerob untuk tumbuh
yang menyebabkan kerusakan periodontal. Instruksi dan
praktik kebersihan mulut teratur dapat mencegah
organisme ini untuk menyebabkan peradangan gingiva
dan juga berkembang.
 Quantitative platelet disorder merupakan kelainan pada
jumlah platelet yang memberikan dampak pada proses
koagulasi.
 Yang termasuk Quantitative platelet disorder adalah
Thrombositopenia dan Thrombositosis
1. Thrombocytopenia
 Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan dimana trombosit
dalam sirkulasi jumlahnya di bawah normal (150.000-450.000/μL darah). Penderita
trombositopenia cenderung mengalami pendarahan yang biasanya berasal dari
venula-venula atau kapiler-kapiler kecil. Akibatnya, timbul bintik-bintik perdarahan
di jaringan tubuh. Pada kulit penderita menampakkan bercak-bercak kecil
berwarna ungu, sehingga disebut dengan trombositopenia purpura
 Kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan hebat, hanya dengan
cidera ringan atau perdarahan spontan kecil. Trombositopenia primer dapat terjadi
akibat penyakit autoimun yang ditandai oleh pembentukan antibodi terhadap
trombosit. Sebab-sebab sekunder trombositopenia adalah berbagai obat atau infeksi
virus atau bakteri tertentu. Koagulasi intravaskuler diseminata (Disseminated
Intravascular Coagulation,DIC) timbul apabila terjadi trombositopenia akibat
pembekuan yang meluas
 Penyebab paling lazim defisiensi trombosit
(trombositopenia) adalah kerusakan prekursor
trombosit yang berinti banyak di dalam sumsum
tulang, yaitu megakariosit disebabkan karena obat-
obatan antimetabolisme yang dipakai dalam
kemoterapi kanker.Pengaruh terhadap sumsum tulang
semacam itu juga dihasilkan oleh agen-agen fisik
maupun kimia yang menimbulkan anemia aplastika,
misal radiasi pengion atau keracunan benzen.
Trombositopenia juga merupakan ciri utama
leukemia, kebanyakan karena digantinya
megakariosit oleh sel-sel neoplasma.
 Diagnosis Trombositopenia
 Pada tahap awal pemeriksaan, dokter akan bertanya
seputar gejala yang dialami pasien dan riwayat
kesehatannya. Dilakukan juga, pemeriksaan fisik untuk
mengetahui adanya memar atau bintik-bintik merah
pada kulit, yang merupakan salah satu gejala
trombositopenia.
 Jika pasien diduga mengalami trombositopenia, dokter
akan melakukan tes darah. Tes darah yang dilakukan
adalah hitung darah lengkap dan pemeriksaan apusan
darah tepi. Lewat kedua pemeriksaan ini, maka akan
diketahui jumlah trombosit di dalam darah, serta
struktur dan kondisi sel darah di bawah mikroskop.
Pemeriksaan darah juga dapat dilakukan untuk mendeteksi
penyebab trombositopenia, misalnya uji fungsi hati untuk
melihat penyakit liver. Selain tes darah, dapat juga melakukan
beberapa pemeriksaan lanjutan, seperti:
 USG perut
USG perut dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi
pembesaran pada organ hati maupun limpa.
 Aspirasi sumsum tulang
Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dilakukan untuk melihat
jumlah serta struktur sel darah langsung dari pabriknya, yaitu
sumsum tulang. Pemeriksaan ini juga melihat kondisi sumsum
tulang, dengan mengambil sedikit sampel jaringan (biopsi
sumsum tulang).
 a. Purpura trombositopenia autoimun
Perjalanan klinis purpura yang disertai trombositopenia
autoimun (Immune Trombocytopheni Purpura, ITP) dapat
bersifat akut atau kronik. Bentuk akut biasanya ditemukan
pada anak-anak. Insiden pada pria dan wanita adalah sama.
Riwayat infeksi virus 1-3 minggu sebelumnya. Gejala
perdarahan bersifat mendadak dan remisi spontan pada 80%
kasus. Bentuk yang kronis paling sering terjadi pada oaring
dewasa, jarang ada riwayat infeksi sebelumnya, wanita
lebih sering terkena daripada pria. ITP orang dewasa bermula
secara perlahan-lahan dan jarang mereda secara spontan
(Handayani dan Sulistyo, 2008). Penyebab tampaknya
adalah suatu antibodi yang diarahkan terhadap antigen
yang berhubungan dengan trombosit
b. Purpura trombositopenik trombotik
Purpura trombositopenik trombotik (TTP)
jarang dijumpai dan ditandai dengan
trombositopenia, anemia hemolitik
mikroangiopati, kelainan neurologi yang
berfluktuasi, sering ditandai dengan demam
dan gangguan ginjal. Penyebabnya tidak
dikenal, tetapi sekitar setengah jumlah pasien
mempunyai riwayat penyakit virus yang belum
lama terjadi. Kelainan ini menyerang semua
kelompok usia, dan insiden antara pria dan
wanita adalah sama
c. Trombositopenia yang berhubungan dengan heparin
Kelainan ini terjadi pada 10% pasien penerima
heparin. Kelainan ini sering ditemukan pada pasien
hitung trombosit rutin dan jarang menyebabkan
perdarahan yang bermakna. Trombositopenia yang
berkaitan dengan heparin biasanya terjadi dalam
minggu pertama terapi, pada pasien yang
sebelumnya memekai heparin. Trombositopenia ini
dapat terjadi setelah pemberian heparin intravena
atau subkutan. Hitung trombosit kembali normal
dalam beberapa hari setelah heparin dihentikan
 d. Trombositopenia akibat pengaruh obat
Penyakit ini didiagnosis dengan mencatat hubungan waktu antara
pemberian obat dan mulai timbulnya trombositopenia. Pengurangan
produksi trombosit dikaitkan dengan penggunaan diuretik tiazid,
etanol, esterogen, trimetropim-sulfamethoxazol, dan agensia
kemoterapi. Peningkatan perusakan trombosit diduga terjadi pada pasien
yang diberi obat quinine, quinidine, heparin, garam-garam emas, rifampin
dan sulfonamida (William, et al., 1990).
 e. Kelainan lain yang berhubungan dengan trombositopenia
Penyebab-penyebab trombositopenia yang lain meliputi DIC
(disseminated intravascular coagulation), defisiensi asam folat, infiltrasi
sumsum tulang akibat penyakit myelophthisic (misalnya
tuberkulosis, karsinoma metastatik, myelofibrosis), penyakit-penyakit
hematopoitik primer misalnya leukemia, anemia aplastika dan
berbagai macam infeksi virus dan bakteri
2. Trombositosis
Trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit dalam
sirkulasi. Trombositosis berkaitan dengan peningkatan
resiko trombosis (pembekuan) dalam sistem pembuluh.
Trombositosis primer dapat terjadi pada leukemia atau
polisitemiavera, penyakit sumsum tulang. Sebab-sebab
sekunder trombositosis antara lain adalah infeksi,
olahraga, stres, dan ovulasi.
3. Trombositosis adalah keadaan klinis dengan jumlah
trombosit melebihi dari 2 standard deviation(SD) di atas
rata-rata. Beberapa kepustakaan menyebutkan trombositosis
dengan jumlah yang bervariasi antara 400 –1000 X 109/L
 Sign and Symptom
Pasien umumnya tidak mempunyai keluhan demikian juga gejala
klinis tidak selalu ditemukan dan hanya terdapat pada 30%
pasien yaitu berupa kejadian thrombohemorrhagic. Selain itu
dapat juga dijumpai keluhan sakit kepala, pusing, parestesia
serta fenomena fasial.
Risiko paradoksal perdarahan telah dicatat pada pasien dengan
trombositosis, terutama trombositosis ekstrem, dan perdarahan
dalam pengaturan ini biasanya bersifat mukokutan. Risiko
kelebihan ini kemungkinan multifaktorial; pada trombositosis klon,
kelainan fungsi trombosit tidak diragukan lagi memainkan peran
utama. Penyebab potensial lain dari perdarahan terlepas dari
penyebab trombositosis adalah Acquired von Willebrand
Syndrome(AVWS) karena meningkatnya adsorpsi multimer faktor
von Willebrand (vWF) oleh jumlah trombosit yang beredar sangat
tinggi.
 Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan darah
tepi lengkap.
Pengobatan terutama ditujukan kepada penyakit
primernya. Pada anak kecil yang tanpa gejala, tindakan
yang dilakukan adalah monitor tanpa medikamentosa.
Tidak ada terapi spesifik pada anak. Pemakaian asam
asetilat sebagai penghambat agregasi trombosit dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan trombositosis
esensial.

Anda mungkin juga menyukai