Platelet (trombosit) merupakan fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan terbentuk di sumsum tulang. Trombosit matang berukuran 2-4 μm, berbentuk cakram bikonveks dengan volume 5-8 fl. Trombosit setelah keluar dari sumsum tulang, sekitar 20-30% trombosit mengalami sekuestrasi di limpa Platelet Disorder merupakan kelainan klinis yang sering ditemui yang dapat menyebabkan kecenderungan untuk terjadinya perdarahan (diasthesis hemorrhagic) Platelet Disorder dapat dikarakteristikan berdasarkan qualitative and quantitative disorders Qualitative platelet disorder (thrombocytopathies) merupakan kelainan kualitas dari trombosit yang dihasilkan oleh sumsum tulang yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan pada fungsi trombosit, dimana terdapat hubungan bleeding time yang abnormal terhadap kualitas jumlah platelet Thrombocytopathies ini bisa terjadi secara Hereditary atau Acquired. Biasanya terjadi secara acquired dan reversible yang diakibatkan karena adanya suatu proses penyakit yang terjadi, drug ingestion (NSAID) Klasifikasi Platelet Qualitative Disorders : 1. Substrate Connective Tissue disorder 2. Adhession disorder 3. Aggregation disorder 4. Platelet Release Reaction disorder 1. Disorder of Substrate Connective Tissue a. Ehlers-Danlos syndrome (Hereditary) Suatu penyakit herediter yang jarang terjadi pada jaringan ikat (connective tissue) dan memiliki manifestasi pada rongga mulut. Mula- mula ditandai dengan penyakit kulit dan kelainan pada sendi, dimana kondisi kulit mengalami hyperelastic dan mudah memar dikarenakan adanya kelainan yang terjadi pada aliran darah. Vascularity Ehlers-Danlos syndrome Arterial-ecchymotic-EDS type IV Etiologi: Mutasi gene for type III procollagen (COL3A1) Pada Syndrome ini terjadi gangguan metabolism kolagen yang penting dalam koagulasi trombosit. Dimana kolagen sangat diperlukan untuk mengaktivasi trombosit supaya trombosit dapat beragregasi. Clinical Features Tanda-tanda klinis EDS adalah hipermobilitas sendi; hiperelastisitas kulit, yang lunak, tipis dan rapuh; adanya bekas luka distrofik; dan kecenderungan perdarahan berlebihan yang dimanifestasikan oleh memar, ekimosis, dan hematoma. b. Scurvy Disease atau Skorbut (Acquired) Scurvy merupakan penyakit langka yang ditandai dengan adanya defisiensi Vit. C kronis dalam tubuh karena tidak adanya enzim gulonolaktone oksidase dalam tubuh sehingga tidak bisa memproduksi Vit. C atau asam askorbat yang berfungsi dalam sintesa kolagen. Dimana, kolagen berperan dalam agregasi trombosit Kolagen merupakan komponen essential pada connective tissue yang berperan dalam penyembuhan luka. Defisiensi vitamin C (skorbut) dapat menyebabkan manifestasi klinis berupa pendarahan pada gusi, efusi sendi, dan purpura pada kulit Gejala umum penyakit skorbut yang dilaporkan termasuk gusi yang membesar, perdarahan mukosa, gingivitis, nyeri dan kelemahan anggota tubuh bagian bawah, purpura, petekie, ekimosis, dan pembengkakan sendi lutut. Selain itu, penyakit ini juga menyebabkan perdarahan superiosteal dan submukosa. Jika terdapat defisiensi vitamin C, pembentukkan kolagen dan kondroitin sulfat terganggu, ini meningkatkan kejadian perdarahan, dentin gigi tidak sempurna, dan pelonggaran gigi. Karena osteoblast tidak lagi membentuk bahan interseluler normal (osteoid), pembentukan tulang enkhondral berhenti. Trabekula tulang yang telah terbentuk menjadi rapuh dan mudah patah. Periosteum menjadi longgar, dan perdarahan subperiosteal terjadi, terutama pada ujung-ujung femur dan tibia. Pada skorbut berat dapat ada degenerasi otot skeletal, hipertrofi jantung, depresi sumsum tulang dan atrofi adrenal Diagnosis : Pemeriksaan Fisik dan Test Laboratorium untuk melihat level Vit. C dalam Darah. Bisa juga dilakukan Radiography Test untuk melihat kelainan internal pada penderita Scurvy dan untuk mendiagnosis Scurvy pada anak-anak Normal range Level of Vit. C dalam darah : 4–8.8 mg/L (or 23–50 μM) Perbedaan kandungan vitamin C dalam plasma darah dapat dijelaskan sebagai berikut: Kandungan vitamin C kurang dari 0,1 mg/dL menunjukkan terjadinya skorbut pada pasien. Kandungan vitamin C kurang dari 0,2 mg/dL menunjukkan terjadinya defisiensi vitamin C pada pasien. Kandungan vitamin C 0,2-0,3 mg/dL menunjukkan kadar vitamin C yang rendah. Kandungan vitamin C di atas 0,3 mg/dL menunjukkan pasien memiliki kadar vitamin C yang cukup. Nilai kandungan vitamin C dalam leukosit dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Kandungan vitamin C 0 mg/dL menunjukkan skorbut laten. Kandungan vitamin C 0-7 mg/dL menunjukkan pasien mengalami defisiensi vitamin C. Kandungan vitamin C 8-15 mg/dL menunjukkan kadar vitamin C yang rendah dalam jaringan. Kandungan vitamin C di atas 15 mg/dL menunjukkan jaringan sudah mendapatkan vitamin C dalam jumlah cukup. Oral Manifestation 2. Adhession Disorder a. Bernard Soulier Syndrome Bernard Soulier Syndrome merupakan penyakin perdarahan langka yang diturunkan, yang disebabkan oleh adanya defek pada glikoprotein secara qualitative maupun quantitative. glikoprotein yang mengalami defek adalah (GP)Ib-IX-V complex, the receptor for the von Willebrand factor (vWF), yang berperan dalam adhesi platelet dalam menutup injury yang terbentuk dengan mengikat vWF dan memperbaiki fibrinogen. Ligasi ini dapat mentransduksi sinyal ke sitoplasma trombosit untuk memulai kaskade yang menimbulkan pembentukan sumbat trombosit hemostatik. Tanpa adanya reseptor vWF yang berfungsi, trombosit tidak dapat melekat pada subendothelium vaskular di bawah shear stress (tekanan geser) yang tinggi. Pada pemeriksaan blood smear akan menunjukkan giant platelet (terkadang berukuran >6mm dan bias mencapai >10mm, sedangkan ukuran normal platelet 2-3 mm). Pada pemeriksaan bleeding time, terdapat waktu perdarahan yang lama (>15 menit) dan terdapat kondisi trombositopenia (10.000-100.000 trombosit/microliter) Manifestasi Klinisakan terlihat sejak kecil, dan terdapat sign dan symptom terjadinya epistaxis berulang, purpura, menorrhagic dan gingival bleeding. beberapa pasien juga menunjukkan adanya perdarahan pada gastrointestinal. Pada keadaan kronis, pasien akan mudah untuk mengalami bruising (memar) dan sering timbul hematoma. Diagnosis : tidak adanya agregasi platelet yang di induced oleh ristocetin dan terdapat giant platelet (macrothrombocytopenia) pada pemeriksaan blood smear. Diagnosis didasarkan pada semua pengamatan tersebut dan dikonfirmasi oleh tes agregasi menggunakan aggregometer dan dengan flow cytometry menggunakan antibodi spesifik yang mengenali satu atau lebih protein kompleks. Kompleks GPIIb-IIIa, biasanya diekspresikan pada permukaan trombosit orang sehat dan pasien BSS, berfungsi sebagai kontrol positif. Tes-tes laboratorium khusus sangat penting untuk menghindari kebingungan antara BSS dan gangguan trombosit lainnya seperti May-Hegglin atau purpura trombositopenik idiopatik. b. Von Willbrand Disease Penyakit von Willebrand (vWD) adalah kelainan yang diwariskan secara otosomal dengan gejala perdarahan, disebabkan mutasi gen faktor von Willebrand (vWF) sehingga terjadi defisiensi atau disfungsi vWF. Revised Classification of vWD membagi vWD berdasar defek vWF kuantitatif (tipe 1 dan tipe 3) atau kualitatif (tipe 2) Fungsi vWF • vWF terikat pada GpIb trombosit dan kolagen subendotel membentuk jembatan trombosit-subendotel pada pembuluh darah yang rusak. vWF juga berfungsi sebagai jembatan antar trombosit membentuk agregat trombosit.GpIb dan vWF diperlukan untuk proses adesi dan kohesi antar trombosit dalam aliran darah yang cepat. • vWF juga berperan dalam fungsi hemostasis melalui ikatan dengan FVIII, tidak tergantung ukuran multimer, melindungi FVIII dari degradasi proteolitik disirkulasi. Waktu paruh FVIII menurun dari 8–12 jam menjadi 2 jam bila tidak didapatkan vWF. Ikatan vWF dan FVIII merupakan ikatan kuat non-kovalen. vWF menghambat interaksi FVIII dan protease sistem koagulasi seperti faktor IX, faktor X, protein C sehingga mencegah aktivasi sistem koagulasi yang ini Genetik vWD merupakan penyakit yang diwariskan melalui mekanisme genetik multipel. Tipe 1 diwariskan secara otosomal dominan. Mutasi genetik belum diketahui jelas. Ekspresi genetik bervariasi antar anggota keluarga. Pola pewarisan tipe 2B, 2M dan sebagian besar tipe 2A adalah otosomal dominan. Tipe 2N dan sebagian kecil tipe 2A diwariskan secara otosomal resesif. Single missense point mutation merupakan penyebab utama kelainan tipe 2.vWD tipe 3 diwariskan secara otosomal resesif, dengan penyebab delesi gen yang luas atau parsial, truncating mutation dan missense mutation. b. Acquired von Willebrand syndrome (AVWS) AVWS adalah kelainan perdarahan yang sering tidak dikenali atau salah didiagnosis sebagai penyakit von Willebrand. AVWS ditandai oleh cacat struktural atau fungsional faktor von Willebrand (VWF) yang sekunder akibat autoimun, limfoproliferatif atau mieloproliferatif, ganas, kardiovaskular, atau gangguan lainnya. Abnormalitas VWF pada gangguan ini dapat disebabkan oleh (1) pembersihan yang dimediasi antibodi atau gangguan fungsional, (2) adsorpsi pada permukaan sel atau trombosit yang ditransformasikan, atau (3) peningkatan tegangan geser dan proteolisis selanjutnya. Patogenesis mekanisme patogen yang menyebabkan gangguan struktural atau fungsional VWF yaitu autoantibodi, baik mengganggu trombosit atau pengikatan kolagen, atau meningkatkan pembersihan (clearance) VWF dari plasma. Sequestration multimeter dengan berat molekul tinggi (HMW) ditunjukkan pada pasien dengan gangguan hematologi karena adsorpsi ke sel-sel myeloma atau platelet, tetapi juga ada pada trombositosis reaktif. Pembelahan proteinolitik VWF dapat terjadi setelah tegangan geser yang terjadi berlangsung, dan AVWS yang dihasilkan dari mekanisme ini dijelaskan pada gangguan dengan peningkatan tegangan geser (shear stress). Pembelahan proteinolitik juga telah dijelaskan pada pasien dengan pankreatitis, sirosis hati, leukemia, dan obat-obatan tertentu. Dalam hipotiroidisme, AVWS terjadi karena adanya penurunan dari sintesis VWF yang normal. Untuk mendiagnosis AVWS sesuai dengan alasan pengujian. (A) Pasien yang diuji karena perdarahan juga harus dievaluasi untuk gangguan terkait AVWS. Jika ada gangguan seperti itu, pertimbangkan AVWS jika pengujian VWF menunjukkan gangguan kuantitatif atau kualitatif VWF. (B) Pasien dengan kelainan terkait AVWS diketahui disarankan untuk menjalani tes sebelum operasi, dan AVWS harus dipertimbangkan jika ditemukan kelainan VWF. 3. Disorder of platelet Agregration a. Glanzmann's thrombasthenia (GT) (Congenital) Glanzmann’s thrombasthenia merupakan gangguan fungsi platelet yang diturunkan disebabkan oleh abnormalitas GPIIb-IIIa (glikoprotein) platelet complex receptor. Jika reseptor ini tidak ada atau tidak bekerja dengan baik, platelet tidak dapat melekat pada dinding pembuluh darah yang mengalami perlukaan dan sulit untuk membentuk pembekuan darah yang normal. Glanzmann’s thrombasthenia memiliki pola pewarisan autosomal resesif. Braunsteiner dan Pakesch mengulas gangguan fungsi trombosit dan dijelaskan trombastenia sebagai penyakit bawaan yang ditandai oleh trombosit dengan ukuran normal namun gagal untuk menyebar ke permukaan dan tidak mampu membentuk retraksi bekuan. Kegagalan dari agregasi platelet diamati pada kegagalan mengikat fibrinogen dengan baik seperti pada tipe 1, atau yang kadarnya jauh menurun seperti pada tipe 2 GT. Baru-baru ini, bentuk varian dilaporkan di mana kompleks GP IIb / IIIa ada namun dengan kualitatif yang abnormal, yang mengarah pada kegagalan pengikatan fibrinogen. Manifestasi Klinis : Pasien dengan Glanzmann’s thrombasthenia (GT) biasanya bergejala pada masa bayi ataupun anak usia dini dengan manifestasi berupa purpura, epistaksis, perdarahan gingiva, dan perdarahan berkepanjangan akibat trauma. Pendarahan yang terjadi pada gangguan ini biasanya spontan, namun terkadang bisa pula akibat trauma minimal. Pada kebanyakan pasien munculnya epistaksis lebih sering pada anak-anak dan seiring bertambahnya umur, gejala ini biasanya diikuti dengan perdarahan gusi. Perdarahan ginggiva sering disebabkan karena kebersihan rongga mulut yang tidak terjaga dengan baik. Pada pasien GT juga terdapat tanda menstruasi yang berat. Glanzmann’s thrombasthenia ditandai dengan morfologi trombosit yang normal dan normalnya jumlah trombosit, waktu perdarahan terkadang mengalami pemanjangan, tidak adanya atau menurunnya retraksi bekuan, dan trombosit yang agregasinya normal di hadapan ristocetin, agregasi platelet tidak ada atau menurun terhadap epinefrin, asam Arachidonat, dan ADP, dimana faktorfaktor ini berpengaruh terhadap penempelan fibrinogen dengan platelet untuk agregasi. Agregasi platelet biasanya terjadi sebagai respon terhadap ristocetin dimana tidak tergantung dengan fibrinogen. Diagnosa : Pemeriksaan flow cytometry dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan kompleks GPIIb-IIIa, dimana GPIIb (CD41), GPIIIa (CD61) dan fibrinogen dapat dideteksi dengan menggunakan antibodi monoklonal. Metode ini juga dapat digunakan untuk memprediksi status pembawa didalam anggota keluarga pasien. Pada pemeriksaan laboratorium diperiksa jumlah trombosit, faal hemostasis dan hapusan darah tepi. Pemeriksaan agregasi trombosit juga bias dilakukan. Jika tidak didapatkan kelainan pada ristocetin, kemungkinan besar diagnosis pasien kearah Glanzmann’s thrombasthenia. Pemeriksaan spesifik penyakit ini ialah kurangnya jumlah atau ketiadaan reseptor fibrinogen (GpIIb/IIIa) pada permukaan platelet, namun pemeriksaan ini belum tersedia dimanapun. 2. Hemofilia Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kelainan faal koagulasi yang bersifat herediter dan diturunkan secara X-linked recessive sehingga hanya bermanifestasi pada laki-laki, sedangkan wanita hanya menjadi karier atau pembawa sifat penyakit ini. Dikenal tiga tipe hemofilia yaitu hemofilia A, B, dan C yang secara klinis ketiganya tidak dapat dibedakan. Hemofilia A dan B diturunkan secara seksual, sedangkan hemofilia C secara autosomal. Pada kasus hemofilia A terdapat defisiensi faktor VIII; kasus hemofilia B dengan defisiensi faktor IX; dan hemofilia C dengan defisiensi faktor XI Gejala yang paling sering terjadi ialah perdarahan, baik di dalam tubuh (internal bleeding) maupun di luar tubuh (external bleeding). Internal bleeding yang terjadi dapat berupa: hyphema, hematemesis, hematoma, perdarahan intrakranial, hematuria, melena, dan hemartrosis. External bleeding dapat bermanifestasi sebagai perdarahan masif dari mulut ketika ada gigi yang tanggal atau pada ekstraksi gigi; perdarahan masif ketika terjadi luka kecil; dan perdarahan dari hidung tanpa sebab yang jelas. Kebersihan mulut yang buruk dan faktor iatrogenik juga dapat menyebabkan perdarahan oral. Pada balita, ulserasi oral dan ekimosis yang melibatkan bibir dan lidah sering terjadi. Diagnosis : Pemeriksaan komprehensif pada pasien dengan suspek hemofilia sudah harus dimulai saat ditemukan riwayat: penyakit hemofilia dalam keluarga; mudah memar sejak periode neonatal; perdarahan spontan baik internal atau eksternal; dan perdarahan masif ketika terjadi luka kecil. Kecurigaan ini kemudian ditindaklanjutkan dengan skrining laboratorium untuk mengetahui fungsi homeostasis serta ada tidaknya kelainan perdarahan. Skrining utama untuk menentukan fungsi homeostasis ialah platelet count (normal 150.000-450.000/mm3) dan bleeding time. Pada pemeriksaan platelet count, pengambilan darah dilakukan melalui pungsi vena (pengambilan darah melalui vena dalam fossa cubiti); dan perlu diperhatikan apakah pasien sedang mengonsumsi obat-obatan seperti kloramfenikol, oral anti-tuberculosis (OAT), colchicine, atau sulfonamid. Pemeriksaan bleeding time menggunakan metode Ivy dengan nilai normal 1-6 menit, dan dikatakan memanjang bila >15 menit. Pasien penderita hemophilia lebih rentan terhadap penyakit periodontal lebih dari orang biasa karena ketidakmampuan mereka untuk melakukan prosedur kebersihan mulut. Selain itu, sulkus gingiva menjadi tempat berbagai organisme aerob dan anaerob untuk tumbuh yang menyebabkan kerusakan periodontal. Instruksi dan praktik kebersihan mulut teratur dapat mencegah organisme ini untuk menyebabkan peradangan gingiva dan juga berkembang. Quantitative platelet disorder merupakan kelainan pada jumlah platelet yang memberikan dampak pada proses koagulasi. Yang termasuk Quantitative platelet disorder adalah Thrombositopenia dan Thrombositosis 1. Thrombocytopenia Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan dimana trombosit dalam sirkulasi jumlahnya di bawah normal (150.000-450.000/μL darah). Penderita trombositopenia cenderung mengalami pendarahan yang biasanya berasal dari venula-venula atau kapiler-kapiler kecil. Akibatnya, timbul bintik-bintik perdarahan di jaringan tubuh. Pada kulit penderita menampakkan bercak-bercak kecil berwarna ungu, sehingga disebut dengan trombositopenia purpura Kelainan ini berkaitan dengan peningkatan resiko perdarahan hebat, hanya dengan cidera ringan atau perdarahan spontan kecil. Trombositopenia primer dapat terjadi akibat penyakit autoimun yang ditandai oleh pembentukan antibodi terhadap trombosit. Sebab-sebab sekunder trombositopenia adalah berbagai obat atau infeksi virus atau bakteri tertentu. Koagulasi intravaskuler diseminata (Disseminated Intravascular Coagulation,DIC) timbul apabila terjadi trombositopenia akibat pembekuan yang meluas Penyebab paling lazim defisiensi trombosit (trombositopenia) adalah kerusakan prekursor trombosit yang berinti banyak di dalam sumsum tulang, yaitu megakariosit disebabkan karena obat- obatan antimetabolisme yang dipakai dalam kemoterapi kanker.Pengaruh terhadap sumsum tulang semacam itu juga dihasilkan oleh agen-agen fisik maupun kimia yang menimbulkan anemia aplastika, misal radiasi pengion atau keracunan benzen. Trombositopenia juga merupakan ciri utama leukemia, kebanyakan karena digantinya megakariosit oleh sel-sel neoplasma. Diagnosis Trombositopenia Pada tahap awal pemeriksaan, dokter akan bertanya seputar gejala yang dialami pasien dan riwayat kesehatannya. Dilakukan juga, pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya memar atau bintik-bintik merah pada kulit, yang merupakan salah satu gejala trombositopenia. Jika pasien diduga mengalami trombositopenia, dokter akan melakukan tes darah. Tes darah yang dilakukan adalah hitung darah lengkap dan pemeriksaan apusan darah tepi. Lewat kedua pemeriksaan ini, maka akan diketahui jumlah trombosit di dalam darah, serta struktur dan kondisi sel darah di bawah mikroskop. Pemeriksaan darah juga dapat dilakukan untuk mendeteksi penyebab trombositopenia, misalnya uji fungsi hati untuk melihat penyakit liver. Selain tes darah, dapat juga melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan, seperti: USG perut USG perut dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran pada organ hati maupun limpa. Aspirasi sumsum tulang Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dilakukan untuk melihat jumlah serta struktur sel darah langsung dari pabriknya, yaitu sumsum tulang. Pemeriksaan ini juga melihat kondisi sumsum tulang, dengan mengambil sedikit sampel jaringan (biopsi sumsum tulang). a. Purpura trombositopenia autoimun Perjalanan klinis purpura yang disertai trombositopenia autoimun (Immune Trombocytopheni Purpura, ITP) dapat bersifat akut atau kronik. Bentuk akut biasanya ditemukan pada anak-anak. Insiden pada pria dan wanita adalah sama. Riwayat infeksi virus 1-3 minggu sebelumnya. Gejala perdarahan bersifat mendadak dan remisi spontan pada 80% kasus. Bentuk yang kronis paling sering terjadi pada oaring dewasa, jarang ada riwayat infeksi sebelumnya, wanita lebih sering terkena daripada pria. ITP orang dewasa bermula secara perlahan-lahan dan jarang mereda secara spontan (Handayani dan Sulistyo, 2008). Penyebab tampaknya adalah suatu antibodi yang diarahkan terhadap antigen yang berhubungan dengan trombosit b. Purpura trombositopenik trombotik Purpura trombositopenik trombotik (TTP) jarang dijumpai dan ditandai dengan trombositopenia, anemia hemolitik mikroangiopati, kelainan neurologi yang berfluktuasi, sering ditandai dengan demam dan gangguan ginjal. Penyebabnya tidak dikenal, tetapi sekitar setengah jumlah pasien mempunyai riwayat penyakit virus yang belum lama terjadi. Kelainan ini menyerang semua kelompok usia, dan insiden antara pria dan wanita adalah sama c. Trombositopenia yang berhubungan dengan heparin Kelainan ini terjadi pada 10% pasien penerima heparin. Kelainan ini sering ditemukan pada pasien hitung trombosit rutin dan jarang menyebabkan perdarahan yang bermakna. Trombositopenia yang berkaitan dengan heparin biasanya terjadi dalam minggu pertama terapi, pada pasien yang sebelumnya memekai heparin. Trombositopenia ini dapat terjadi setelah pemberian heparin intravena atau subkutan. Hitung trombosit kembali normal dalam beberapa hari setelah heparin dihentikan d. Trombositopenia akibat pengaruh obat Penyakit ini didiagnosis dengan mencatat hubungan waktu antara pemberian obat dan mulai timbulnya trombositopenia. Pengurangan produksi trombosit dikaitkan dengan penggunaan diuretik tiazid, etanol, esterogen, trimetropim-sulfamethoxazol, dan agensia kemoterapi. Peningkatan perusakan trombosit diduga terjadi pada pasien yang diberi obat quinine, quinidine, heparin, garam-garam emas, rifampin dan sulfonamida (William, et al., 1990). e. Kelainan lain yang berhubungan dengan trombositopenia Penyebab-penyebab trombositopenia yang lain meliputi DIC (disseminated intravascular coagulation), defisiensi asam folat, infiltrasi sumsum tulang akibat penyakit myelophthisic (misalnya tuberkulosis, karsinoma metastatik, myelofibrosis), penyakit-penyakit hematopoitik primer misalnya leukemia, anemia aplastika dan berbagai macam infeksi virus dan bakteri 2. Trombositosis Trombositosis adalah peningkatan jumlah trombosit dalam sirkulasi. Trombositosis berkaitan dengan peningkatan resiko trombosis (pembekuan) dalam sistem pembuluh. Trombositosis primer dapat terjadi pada leukemia atau polisitemiavera, penyakit sumsum tulang. Sebab-sebab sekunder trombositosis antara lain adalah infeksi, olahraga, stres, dan ovulasi. 3. Trombositosis adalah keadaan klinis dengan jumlah trombosit melebihi dari 2 standard deviation(SD) di atas rata-rata. Beberapa kepustakaan menyebutkan trombositosis dengan jumlah yang bervariasi antara 400 –1000 X 109/L Sign and Symptom Pasien umumnya tidak mempunyai keluhan demikian juga gejala klinis tidak selalu ditemukan dan hanya terdapat pada 30% pasien yaitu berupa kejadian thrombohemorrhagic. Selain itu dapat juga dijumpai keluhan sakit kepala, pusing, parestesia serta fenomena fasial. Risiko paradoksal perdarahan telah dicatat pada pasien dengan trombositosis, terutama trombositosis ekstrem, dan perdarahan dalam pengaturan ini biasanya bersifat mukokutan. Risiko kelebihan ini kemungkinan multifaktorial; pada trombositosis klon, kelainan fungsi trombosit tidak diragukan lagi memainkan peran utama. Penyebab potensial lain dari perdarahan terlepas dari penyebab trombositosis adalah Acquired von Willebrand Syndrome(AVWS) karena meningkatnya adsorpsi multimer faktor von Willebrand (vWF) oleh jumlah trombosit yang beredar sangat tinggi. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan darah tepi lengkap. Pengobatan terutama ditujukan kepada penyakit primernya. Pada anak kecil yang tanpa gejala, tindakan yang dilakukan adalah monitor tanpa medikamentosa. Tidak ada terapi spesifik pada anak. Pemakaian asam asetilat sebagai penghambat agregasi trombosit dapat dipertimbangkan pada pasien dengan trombositosis esensial.