Anda di halaman 1dari 24

KONSERVASI TINGKAT

KOMUNITAS
Kelompok 5 :
Nurul Huli Afika
Lita
Riska Maulidya
Risky A.M Sibarani
Konservasi komunitas merupakan upaya pelestarian lebih dari satu spesies dan
biasanya tidak dapat dipisahkan dari pelestarian sifat fisiko-kimiawi dan faktor
abiotiknya sehingga dikenal istilah konservasi ekosistem. Konservasi komunitas ini
biasanya dilaksanakan di dalam kawasan konservasi atau kawasan perlindungan.
Dalam penentuan kawasan konservasi, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan untuk
menentukan prioritas konservasi bagi perlindungan spesies dan komunitas, yaitu
1) Kekhasan
2) Keterancaman
3) Kegunaan
1. Kekhasan
Suatu komunitas hayati diberi prioritas yang lebih tinggi bagi konservasi bila komunitas tersebut lebih
banyak disusun oleh spesies endemik daripada spesies yang umum dan tersebar luas. Suatu spesies dapat
diberi nilai konservasi yang lebih tinggi bila secara taksonomis bersifat unik, misalnya spesies yang
merupakan anggota tunggal dalam marga atau sukunya dibandingkan dengan anggota suatu marga dengan
banyak spesies

2. Keterancaman
Spesies yang menghadapi ancaman kepunahan akan lebih pentingdibandingkan sepsies yang tidak
terancam kepunahannya. Komunitas hayati yang terancam dengan penghancuran langsung juga harus
mendapat prioritas untuk dikonservasi.
3. Kegunaan
Spesies yang memiliki kegunaan nyata atau potensial bagi manusia perludiberikan nilai konservasi yang
lebih dibandingkan spesies yang tidak mempunyai kegunaan yang jelas bagi manusia. Sejumlah ahli konservasi telah
menyatakan bahwa yang perlu menjadi sasaran utama bagi upaya konservasi adalah komunitas dan ekosistem,
sedangkan spesies dapat menjadi sasaran sekunder. Konservasi pada tingkat komunitas akan memungkinkan
pelestarian sejumlah besar spesies dalam kesatuan-kesatuan yang bekerja mandiri, sementara strategi penyelamatan
spesies sasaran secara satu per satu biasanya sulit dilakukan, mahal dan seringkali tidak berhasil.

Pengelolaan kawasan konservasi, sebagaimana pola umum dari suatu cagar MAB (man and the biosphere) yang
diajukan UNESCO (United Nations Edicational, Scientific and Cultural Organization) dalam upaya menyatukan
kegiatan manusia dengan kegiatan penelitian dan perlindungan alam ke dalam suatu lokasi yang sesuai. Konsep cagar
biospir sebagai kawasan konservasi tersebut meliputi suatu zona (daerah) inti, zona penyangga, dan zona transisi.
Konservasi komunitas ini biasanya dilaksanakan di dalam kawasan konservasi atau
kawasan perlindungan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam konservasi komunitas
yaitu:

1. Perancangan Kawasan Konservasi


Perancangan suatu kawasan konservasi biasanya didasarkan pada Teori Biogeografi
Pulau yang diajukan oleh Mac Arthur dan Wilson (1967) dalam bukunya yang berjudul
“The Theory of Island Biogeography". Inti teorinya adalah bahwa jumlah spesies pada
suatu pulau merupakan hasil dari dua proses yang berlawanan: imigrasi spesies dari
massa daratan lain yang meningkatkan jumlah spesies, dan kepunahan lokal (jika spesies
masih ada di tempat lain, istilah yang tepat adalah ekstirpasi) yang menurunkan jumlah
spesies.
Dengan landasan di tersebut, disarankan beberapa pertimbangan dalam penetapan suatu kawasan perlindungan,
yaitu:
a) Kawasan yang dilindungi hendaklah seluas mungkin dan sebaiknya memiliki ribuan individu, meskipun spesies
tersebut memiliki kepadatan yang rendah. Bentuknya hendaklah sekompak mungkin dengan batas biogeografi
yang berarti. Sebagai contoh, batas daerah aliran sungai lebih disukai dibandingkan sungai yang acapkali
memotong habitat “bottom land” dari suatu kisaran spesies. Bila suatu tipe vegetasi yang sangat berbeda akan
dilestarikan, misalnya sebidang bercak hutan maka mungkin perlu memasukkan seluruh ekoton dan penyangga
tipe habitat yang di dekatnya. Sejauh mungkin, suatu kawasan yang dilindungi hendaklah memasukkan
kebutuhan habitat sepanjang tahun dari sebanyak mungkin satwa aslinya.
b) Kawasan yang dilindungi haruslah mencakup kisaran komunitas ekologi yang menerus seluas mungkin (misalnya
kisaran ketinggian). Hal ini disebabkan hanya sedikit spesies yang terikat pada komunitas tunggal dan sedikit saja
komunitas yang tak bergantung pada komunitas lain di dekatnya.
c) Tindakan pencegahan harus diambil agar kawasan yang dilindungi tidak menjadi terisolasi total dari kawasan
alami lainnya. Bila mungkin, kawasan tersebut lebih baik berada dalam kelompok daripada tersebar, atau
dihubungkan dengan koridor habitat semi-alami.
Suatu kawasan yang dilindungi dapat ditetapkan jika memiliki karakteristik sebagai berikut:
a) Karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan dataran rendah, fauna pulau
yang endemik, ekosistem pegunungan tropis.
b) Spesies khusus yang diminati, nilai, kelangkaan, atau terancam, misalnya badak, burung,
quetzal. Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies. Lansekap atau ciri geofisik yang
bernilai estetik, atau pengetahuan, misalnyaglasier, mata air panas, air terjun.
c) Fungsi perlindungan hidrologi, tanah, air, dan iklim lokal.
d) Fasilitas untuk rekreasi alam, wisata, misalnya danau, pantai, pemandangan pegunungan, satwa
liar yang menarik.
e) Tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil, galian purbakala.
2. Genetika Populasi dan Konservasi
Apakah populasi akan mengalami penurunan kualitas genetik sebagai akibar dari penurunan jumlah
individu yang terjadi secara tiba-tiba atau bertahap? Nasib ribuan spesies bergantung pada penyelesaian
masalah ini, jika hanya pula-upulau kecil sebagai habitat alaminya akan hilang, kemungkinan sebagai
cagar alam yang terisolasi.
Hubungan antara ukuran populasi dengan variabilitas genetik dapat dipelajari pada fenomena leher
botol (Bottleneck), yaitu peristiwa kolaps yang teramati dan dramatis dalam jumlah:
a. Ekivalen atau setara dengan pengambilan contoh kecil materi, dalam hal ini gen, dari suatu populasi
besar.
b. Mempunyai kedua aspek kuantitatif dan kualitatif .
c. Alel spesifik akan hilang atau bertahan Kemungkinan yang alleles hilang di dalam suatu
"pendiri/founder“ populasi.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa:
a) Populasi kecil dengan ukuran konstan biasanya kehilangan heterozigositas
sepanjang waktu
b) Populasi yang lebih kecil akan lebih cepat kehilangan heterozigositas
c) Semakin besar jumlah generasi pada populasi kecil kehilangan heterozigositas
juga semakin besar.
3. Ukuran Kawasan Perlindungan
Menurut teori Biogeografi Pulau, dalam membuat suatu cagar, misalnya suatu “pulau biologi”, akan
mengarah pada berkurangnya keanekaragaman spesies. Jumlah spesies yang dapat dipertahankan suatu
cagar pada tingkat keseimbangan akan bergantung pada ukuran, jarak ke kawasan lain yang sama habitatnya
dan kemampuan penyebaran spesies tersebut.
Betapapun besarnya suatu bagian yang terisolasi, ia akan kehilangan beberapa spesies setelah isolasi
terjadi, suatu hal yang digambarkan sebagai terdegradasinya suatu ekosistem. Masalah erosi spesies dari
fragmentasi habitat ini telah diteliti di hutan Amazon oleh tim gabungan WWF dan lembaga Nasional
Brasil untuk Penelitian Amazon. Di brasil sebelah utara, di mana kawasan berhutan dibabat untuk
dijadikan padang penggembalaan sapi, masih tersisa bercak-bercak hutan yang berkisar antara 1 sampai
10.000 ha. Bercak hutan ini, dengan ulangan yang berbeda-beda ukurannya, telah diteliti hilangnya
berbagai spesies tumbuhan dan satwa seperti mamalia, burung, amfibi, reptil, dan serangga.
Dalam penetuan luas kawasan konservasi, perlu ditekankan tentang Minimum Dynamic Area (MDA), yaitu
jumlah habitat yang bersesuaian untuk mempertahankan Minimum Viable Population (MVP). MDA ini dapat
ditentukan berdasarkan ukuran daerah jelajah bagi individu-individu maupun kelompokkelompok. Beberapa
studi menyarankan bahwa untuk mempertahankan berbagai populasi mamalia bertubuh kecil diperlukan cagar
alam berukuran antara 10.000 sampai dengan 100.000 ha. Beberapa studi menunjukkan bahwa untuk
mempertahankan populasi beruang Grizzly di Kanada diperlukan areal seluas 49.000 km2untuk 50 individu, dan
2.420.000 km2 untuk 1000 individu.
4. Ukuran Populasi
Istilah Minimum Viable Population (MVP) yang menunjukkan jumlah individu minimal yang diperlukan untuk
menjaga kelangsungan hidup suatu spesies. Suatu MVP untuk suatu spesies dalam suatu habitat merupakan ukuran
terkecil dari suatu populasi sejati (yang terisolasi penuh) yang memiliki peluang 99% untuk bertahan hidup selama
1.000 tahun berikut, di tengah berbagai resiko bencana yang ditimbulkan oleh faktor-faktor demografi, peluang acak
perubahan lingkungan, peluang acak genetik, dan bencana alam.
Beberapa ahli biologi menyarankan bahwa usaha untuk menyelamatkan sejumlah 500 - 1.000 individu biasanya
cukup efektif untuk mempertahankan keragaman genetik. Jumlah tersebut merupakan jumlah minimum yang perlu
dipertahankan agar indidivu yang lolos dari tahun-tahun bencana dapat kembali berkembang biak dan kembali
mencapai jumlah semula. Khususnya untuk spesies yang seringkali mengalami fluktuasi populasi, misalnya
invertebrata dan tumbuhan tahunan, disarankan melindungi sebanyak 1.000 individu.
5. Metapopulasi
Istilah metapopulasi pertama kali diajukan oleh Levins
(1969). Penelitian yang menggunakan metapopulasi pada
umumnya membagi populasi umum menjadi sejumlah
populasi lokal dengan keseimbangan antara kepunahan dan
rekolonisasi populasi lokal yang memfasilitasi kelestarian
metapopulasi. Proses kuncinya adalah fungsi hubungan
antar-”bercak” (interpatch) melalui migrasi. Model
metapopulasi telah digunakan secara luas di bidang biologi
dan pengontrolan hama. Model tersebut menjadi alat penting
dalam biologi populasi dan biologi konservasi sebagaimana
dinyatakan dalam banyak pustaka yang menyediakan banyak
pertimbangan dalam membuat suatu model.
Pada kasus sederhana, kita dapat mengamati suatu lingkungan di mana terdapat kehilangan beberapa aspek
relung (niche) suatu spesies. Hal ini dapat merugikan suatu spesies. Sebagai contoh faktor lingkungan yang
merugikan meliputi: ketersediaan makanan yang rendah, ketersediaan air sedikit, kandungan nutrien yang rendah
dalam makanan, predasi yang meningkat, naungan yang berkurang, daerah jelajah yang sempit. Seluruh faktor ini
dapat menyebabkan lingkungan marjinal bagi spesies yang dibicarakan. Pada kasus kupu-kupu biru misalnya,
berdasarkan studi, ketersediaan makanan, dalam hal ini koloni semut, di mana larva kupu-kupu menjadi
parasitnya, merupakan faktor pembatas lingkungan.
Pada kasus lainnya, subpopulasi suatu spesies pada suatu bercak lingkungan tertentu dapat berfluktuasi
sebagai akibat efek stokastik (khususnya jika populasinya berukuran kecil). Hal ini dapat mengarah pada
kepunahan lokal. Tetapi, suatu kepunahan lokal dapat dicegah dengan kehadiran imigran dari populasi di
dekatnya. Peristiwa ini disebut Efek Pemulihan (Rescue Effect). Efek ini dapat menghasilkan habitat
bercak yang ditempati suatu spesies secara konstan dari waktu ke waktu, walaupun populasi dalam bercak-
bercak dapat sering mengalami kepunahan.
6. Efek Fragmentasi
Kejadian umum dalam kerusakan (destruksi) habitat menghasilkan tidak hanya hilangnya habitat dan
degradasinya, tetapi juga dalam fragmentasi habitat yang ada. Satu hal yang menjadi titik perhatian banyak
penelitian para ahli ekologi lansekap adalah pada pengaruh fragmentasi habitat terhadap fenomena individu,
populasi, dan ekosistem. Fragmentasi habitat dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menghasilkan
transformasi (perubahan) suatu habitat luas yang relative homogen menjadi bercak-bercak (patch) atau
habitat yang kecil yang terisolasi satu sama lain yang saling dipisahkan oleh “matrix”. Dua teori utama yang
melatarbelakangi studi fragmentasi habitat adalah teori Biogeografi Pulau dan teori Metapopulasi. Beberapa
parameter umum yang digunakan jika mempelajari fragmentasi habitat adalah ukuran, tingkat isolasi,
matrix, dan tingkat heterogenitas fragmen/patch,juga pengaruh tepian/pinggiran fragmen.
Fragmentasi habitat akan menyebabkan terjadinya “pulau-pulau kecil” yang satu sama lain dapat saling
terisolasi sehingga setiap patch akan berlaku sebagai pulau. Dari sudut perancangan kawasan konservasi kondisi
ini tidak menguntungkan, ditambah lagi dengan efek tepi (side effect) yang menghalangi banyak spesies untuk
menempatinya sebagai habitatnya. Walaupun demikian, beberapa spesies (misalnya Macaca fascicularis) justru
menyukai daerah tepian 41 hutan (edge species). Jalan yang dibangun yang membelah suatu kawasan konservasi
dan pemukiman di dalam kawasan (enclave) juga berlaku sebagai matrix.
Konservasi in-situ dan ek-situ
Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai batas-batas tertentu
yang tidak mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora fauna dikendalikan
melalui kegiatan konservasi secara in-situ maupun ek-situ.

A. Konservasi in-situ (di dalam kawasan)


Konservasi in-situ (di dalam kawasan) adalah konservasi flora fauna dan ekosistem yang
dilakukan di dalam habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan
secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut
beserta flora fauna di dalamnya. Konservasi in-situ dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam
(cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan lindung
Tujuan konservasi insitu untuk menjaga keutuhan dan keaslian jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya secara alami melalui proses evolusinya. Perluasan kawasan sangat dibutuhkan dalam
upaya memelihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem penyangga kehidupan,
mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis secara lestari dan
berkelanjutan.
B. Konservasi ek-situ (di luar kawasan)
Konservasi ek-situ adalah upaya konservasi yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan
jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya dengan cara pengumpulan jenis, pemeliharaan dan
budidaya (penangkaran). Konservasi ek-situ dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun
botani, taman hutan raya, kebun raya, arboretum, penangkaran satwa, taman safari, taman kota dan taman
burung. Cara eksitu merupakan suatu cara pemanipulasian obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan
dalam upaya pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik. Cara
konservasi ek-situ dianggap sulit dilaksanakan dengan keberhasilan tinggi disebabkan jenis yang dominan
terhadap kehidupan alaminya sulit beradaptasi dengan lingkungan buatan.
Contoh konservasi secara in situ dan konservasi secara eksitu
Salah satu penyebab semakin langkanya bunga Rafflesia yaitu terjadinya pengrusakan dan penyempitan
habitat alaminya (hutan hujan tropis). Ancaman lain datang dari para pemburu dan kolektor flora langka
termasuk para wisatawan asing yang mungkin saja jika tidak diawasi berusaha mendapatkan bunga Rafflesia lewat
cara-cara ilegal, juga para perambah hutan yang secara langsung mengambil tunas Rafflesia untuk bahan dasar
ramuan tradisionalnya semakin menambah kehawatiran hilangnya Rafflesia dari habitat alaminya.

Menyadari pentingnya usaha melestarikan bunga tersebut, maka Pemerintah Indonesia melalui Surat
Keputusan Menteri Pertanian no. 6/MP/1961 tanggal 9 Agustus 1961 melarang dikeluarkannya Rafflesia dari
habitat alaminya. Kemudian sejak tahun 1978 bunga Rafflesia dinyatakan sebagai jenis tumbuhan yang dilindungi
dengan status nyaris punah.
Dalam rangka menindaklanjuti keputusan tersebut , pemerintah melalui Direktorat Jenderal PHPA membentuk
beberapa kawasan Cagar Alam sebagai sebagai tempat untuk melindungi dan melestarikan keberadaan Rafflesia secara
penuh pada habitat alaminya dengan mengusahakan sedikit mungkin campur tangan manusia. Upaya pelstarian
seperti ini dikenal sebagai konservasi in situ.

Selain konservasi in situ kita juga mengenal konservasi eksitu yaitu usaha pelestarian Rafflesia dengan cara
memindahkan bunga tersebut dari habitat alaminya ke habitat buatan seperti ke Kebun Botani. Meskipun konservasi
secara eksitu lebih mahal dan lebih sulit jika dibandingkan konservasi in situ, namun cara ini telah membawa hasil
yang cukup menggembirakan bagi usaha pelestarian Rafflesia, seperti bunga Rafflesia yang tumbuh di Kebun Raya
Bogor salah satu bukti keberhasilan konservasi eksitu. Keuntungan lain dari konservasi eksitu yaitu memudahkan
para peneliti, peminat, pemerhati dan pengunjung bunga Rafflesia untuk meneliti sekaligus menikmati keindahan
bunga tersebut tanpa harus merusak habitat alaminya.
DAFTAR PUSTAKA

Koneri, R., dkk. 2012. Biologi Konservasi. Bandung: Patra Media Grafindo Bandung.
Suri, Wilyan. 2009. Konservasi Tingkat Komunitas. (Online).
(http://wilyansuri.blogspot.com/2009/12/konservasi-tingkat-komunitas.html?m=1).
(Diakses 18 Maret 2019 ).

Anda mungkin juga menyukai