Anda di halaman 1dari 22

Titik Temu Agama dan

Pancasila
Syaiful Arif, MH
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila
Staf Ahli MPR RI
Karya Pancasila
Dukungan Islam Dasar Negara
Survei Alvara Research Center, 2017
Dukungan terhadap Pancasila
Vs NKRI Bersyariah
Islam sebagai Dasar Negara:
Ki Bagus Hadikusumo
• “Islam mengajarkan persatuan atas dasar
persaudaraan yang kokoh, maka bangunlah negara
di atas dasar ajaran Islam… Jika Tuan-tuan
bersungguh-sungguh menghendaki Negara
Indonesia mempunyai rakyat yang kuat bersatu
padu berdasar persaudaraan yang erat dan
kekeluargaan serta gotong royong, dirikanlah
negara kita ini di atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an
dan al-Hadist..”

Ki Bagus Hadikusumo, pidato Sidang BPUPK, 31 Mei


1945
Bias Paradigma Negara-Gereja:
Mohammad Hatta
• “Perhubungan ‘Kerk en Staat’ berlainan dengan perhubungan
‘Islam dan Negara’. ‘Kerk’ juga ‘Staat’ pada asalnya
mempunyai organisasi dari atas ke bawah, yang menguasai
hidup orang banyak. Kalau ada pertentangan antara ‘Staat’
sebagai Negara dan ‘Staat’ sebagai ‘Kerk’ yang kedua-duanya
mau berkuasa atas umat yang sama, itu tidak mengherankan.
Tetapi antara ‘Islam’ dan ‘Negara’ tidak ada pertentangan,
oleh karena Islam adalah agama, pimpinan jiwa dan bukan
negara. Paling jauh boleh dikatakan dengan ucapan yang agak
paradoksal: ‘Islam adalah masyarakat’. Ia mempunyai
lingkungannya dalam masyarakat, tetapi ia tidak mempunyai
organisasi seperti Gereja. Sebab itu ia bukan Staat”.
Mohammad Hatta, pidato Sidang BPUPK, 30 Mei 1945
Pemisahan Urusan Agama dan Urusan Negara:
Mohammad Hatta
• “Kalau kita sekarang hendak menyusun Negara
Indonesia di kemudian hari, hendaknya kita insaf akan
apa yang kita kerjakan dan mengerti akan pedoman
yang kita pakai. Kita tidak akan mendirikan negara
dengan dasar perpisahan antara ‘agama dan negara’,
melainkan kita akan mendirikan negara modern di atas
dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan
negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh negara,
maka agama menjadi perkakas negara, dan dengan itu
hilang sifatnya yang murni. Urusan negara urusan kita
semua. Urusan agama Islam adalah urusan ummat dan
masyarakat Islam semata-mata”.
Mohammad Hatta, pidato Sidang BPUPK, 30 Mei 1945
Negara Nasional Tidak A-Religus:
Soepomo
• “Akan tetapi Tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan
Negara Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan
negara persatuan. Mendirikan Negara Islam di Indonesia
berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri
dengan golongan yang terbesar, yaitu golongan Islam.
Jikalau di Indonesia didirikan Negara Islam, maka tentu
akan timbul soal-soal ‘minderherden’, soal golongan
yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain.
Meskipun Negara Islam akan menjamin dengan sebaik-
baiknya kepentingan golongan-golongan lain itu, akan
tetapi golongan-golongan agama kecil itu tentu tidak
akan bisa mempersatukan dirinya dengan negara”.
Soepomo, pidato Sidang BPUPK, 31 Mei 1945
Ketuhanan Yang Maha Esa:
Sukarno

• “Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia


Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan,
tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan,
Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut
petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut
pentunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Hendaknya
negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan
tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu
negara yang bertuhan!”
Sukarno, pidato Sidang BPUPK, 1 Juni 1945
Ketuhanan yang Berkebudayaan:
Sukarno

• “Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam,


maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah
cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati
satu sama lain. … Marilah kita di dalam Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu,
menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita
ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang
berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-
menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya,
jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara
Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa!”

Sukarno, pidato Sidang BPUPK, 1 Juni 1945


Ketuhanan Leitstar Pancasila
Sukarno
• “Pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada
Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam
agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa
bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini.
Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang
salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa
Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita
tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu leitstar
yang utama. Sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini,
bahkan itulah yang menjadi leitstar kita yang utama. Untuk
menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa
yang mengejar kebaikan..”

Sukarno, Kursus Pancasila, 26 Mei 1958


Dimensi Ide Pancasila Sukarno:
Mohammad Hatta
Kebangsaan

Kemanusiaan
Dimensi
Politik
Demokrasi

Keadilan sosial

Ketuhanan Yang Maha Dimensi


Esa Etis
Ketuhanan dalam Pancasila
sebagai Titik Temu
• “Sukarno yang mengusulkan Pancasila bisa meyakinkan
nasionalis-religius bahwa, meskipun tidak berdasarkan Islam,
negara yang akan dibentuk adalah ‘negara kita akan bertuhan
pula’. Sukarno juga membesarkan hati nasionalis-Islam bahwa
badan perwakilan nantinya akan diduduki orang-orang Islam.
Dengan itu produk hukum yang dihasilkan, ‘hukum Islam pula’.
Pandangan ini cukup mengena. Usulan Sukarno mengenai
Pancasila pun dibahas Panitia Kecil yang diberi tugas menyusun
Mukaddimah UUD 1945. sebagaimana diketahui, Panitia Kecil
berhasil ‘menyempurnakan’ gagasn Sukarno”.

As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa,


2009: 160
Ketuhanan sebagai Sumber:
Pemikiran Bung Hatta
• Akibat daripada perubahan urutan sila yang lima itu, sekalipun
ideologi negara tidak berubah karena itu, ialah bahwa politik negara
mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak
lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, seperti
yang dikemukakan oleh Bung Karno bermula, melainkan jadi dasar
yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan
persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya.

Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, 1989: 30


Pancasila dan Tauhid
“Tidak diragukan lagi Pakistan adalah sebuah
negeri Islam. Begitu juga Indonesia adalah sebuah
negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui
sebagai agama rakyat, sekalipun dalam konstitusi
kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai agama
negara. Namun Indonesia tidak mengeluarkan
agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah
menaruhkan kepercayaan tauhid (monotheistic
belief) kepada Tuhan pada tempat teratas dari
Pancasila: Lima Prinsip yang dipegang sebagai
dasar etik, moral dan spiritual negara dan bangsa..”

Mohammad Natsir, The Pakistan Institute of World


Affairs, 1952
Piagam Jakarta Menjiwai UUD 1945
“Oleh karenanya..”
Pancasila Perintah Ilahiah

Sila 1 Ketuhanan yang welas asih

Perintah Tuhan mengasihi


Sila 2 sesama

Perintah Tuhan berbuat baik di


Sila 3 tengah kemajemukan

Sila 4 Perintah Tuhan menjadi


pemimpin yang melayani rakyat

Perintah Tuhan peduli kepada


Sila 5 kaum lemah
Ayat Kemanusiaan
(Al-Maidah:32)
Ayat Kebhinekaan
Hadist Demokrasi

• Karena Allah mengharamkan


pemimpin lalim masuk surga.
• Karena tujuan utama syariah adalah
perlindungan HAM.
• Karena syura (demokrasi) merupakan
tradisi politik di Mekkah sebelum dan
semasa Nabi Muhammad.
• Karena di Indonesia, demokrasi
diterangi oleh nilai-nilai ketuhanan.
• Karena sistem lain, berpotensi
otoriter atau diktator.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai