Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

PENATALAKSANAAN TRAUMA DENTOALVEOLAR

Oleh:
Muhammad Deniansyah 19710054
 

Pembimbing:

drg. Henry Wahyu Setiawan, Sp.BM.


Trauma Dentoalveolar

Trauma dentoalveolar adalah trauma yang mengenai gigi dan tulang alveolar pada maksila atau
mandibula dan jaringan pendukung gigi. Trauma dentoaveolar 60% terjadi pada anak khususnya di
bawah umur 5 tahun tetapi jarang mendapat penanganan di rumah sakit. Kejadian trauma pada anak
laki-laki dua kali lebih sering dibandingkan anak perempuan, hal ini berkaitan dengan aktivitas fisik
yang lebih tinggi pada anak laki-laki. Anak-anak dengan kebutuhan khusus lebih rentan terhadap
terjadinya trauma, misalnya pada anak dengan keterbelakangan mental, dan epilepsy.

Trauma dentoalveolar dapat menyebabkan fraktur, pergeseran dan hilangnya gigi depan yang
mengakibatkan perubahan fungsi, estetis, gangguan berbicara, dan efek psikologis yang dapat
mengurangi kualitas hidup.
Etiologi
• Jatuh dan benturan

• Aktifitas fisik (olahraga)

• Kecelakaan lalu lintas

• Penggunaan gigi yang tidak sesuai

• Menggigit benda keras

• Keadaan sakit, keterbatasan fisik

• Penyiksaan fisik
Klasifikasi
Menurut Ellis dan Davey (1970):

a. Fraktur klas I : Fraktur hanya email atau hanya melibatkan sedikit dentin.
b. Fraktur klas II : Fraktur mengenai jaringan dentin tetapi pulpa belum terkena.
c. Fraktur klas III : Fraktur gigi yang mengenai dentin dan pulpa sudah terkena.
d. Fraktur klas IV : Fraktur karena trauma sehingga gigi menjadi non vital, dapat atau tanpa disertai hilangnya
struktur
mahkota gigi.
e. Fraktur klas V : Fraktur karena trauma yang menyebabkan terlepasnya gigi tersebut.
f. Fraktur klas VI : Fraktur akar gigi tanpa atau disertai hilangnya struktur mahkota gigi.

g. Fraktur klas VII : Pindahnya tempat gigi tanpa disertai fraktur akar maupun mahkota.

h. Fraktur Klas VIII : Fraktur mahkota disertai dengan perubahan tempat gigi.

i. Fraktur klas IX : Khusus untuk gigi decidui, di mana trauma akan menyebabkan kerusakan gigi
Berdasarkan sistem WHO

a. Luka terhadap jaringan keras gigi dan pulpa


Injury Criteria
Enamel infraction Fraktur mahkota yang tidak sempurna pada enamel tanpa
kehilangan substansi gigi

Enamel fracture (uncomplicated) Fraktur dengan kehilangan substansi gigi pada enamel

Enamel-Dentin fracture Fraktur dengan kehilangan substansi gigi pada enamel dan
(uncomplicated) dentin

Complicated crown fracture Fraktur yang melibatkan enamel, dentin hingga pulpa terbuka

Uncomplicated crown-root Fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum, tapi
fracture tidak membuka pulpa

Complicated crown-root fracture Fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum, dan
membuka pulpa

Root fracture Fraktur yang melibatkan dentin dan sementum, dan pulpa
b. Luka terhadap jaringan periodontal

Injury Criteria
Concussion Luka pada jaringan pendukung gigi tanpa pelepasan abnormal atau
perpindahan dari gigi, tetapi bereaksi terhadap perkusi

Subluxation (loosening) Luka pada jar.pendukung gigi dengan pelepasan abnormal, tetapi
dengan perpindahan gigi

Extrusive luxation (peripheral dislocation, partial Perpindahan sebagian dari gigi dari soketnya
avulsion)

Lateral luxation Perpidahan gigi dengan arah selain aksial. Diikuti dengan fraktur soket
alveolar

Intrusive luxation (central dislocation) Perpindahan gigi ke tulang alveolar. Diikuti dengan fraktur soket
alveolar

Avulsion (exarticulation) Perpindahan gigi sepenuhnya keluar dari soket


c. Luka terhadap tulang pendukung
Injury Criteria
Comminution (pengurangan secara bertahap Hancurnya dan penekanan pada soket alveolar. Kondisi ini ditemukan
partikel kecil) of the maxillary alveolar socket dengan terjadinya intrusive dan lateral luxation

Comminution of the mandibular alveolar socket

Fraktur dinding soket alveolar maksila Fraktur yang terbatas pada bagian fasial atau oral dinding soket

Fraktur dinding soket alveolar mandibula

Fraktur prosesus alveolar maksila Fraktur prosesus alveolar, dengan/ tidak melibatkan soket alveolarnya

Fraktur prosesus alveolar mandibula

Fraktur maksila dan Mandibula Fraktur yang melibatkan dasar maksila atau mandibula dan prosesus
alveolaris (fraktur rahang). Fraktur tersebut bisa/ tidak melibatkan soket
alveolar
d. Luka pada gingival atau mukosa oral

Injury Criteria

Laserasi gingiva atau mukosa oral Luka yang dangkal/ dalam pada mukosa akibat robekan, biasanya oleh benda tajam

Contusion gingiva atau mukosa oral Luka memar akibat tekanan oleh benda tumpul, tidak diikuti robeknya mukosa,
biasanya menyebabkan hemoragi submukosa

Abrasi gingiva atau mukosa oral Luka pada superfisial akibat gosokan atau kikisan pada mukosa, menghasilkan suatu
lecet dan permukaan yang berdarah
Diagnosis

Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam

satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk

menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan radiografi.

Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta

adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma

tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini bisa

terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.
Anamnesis

Pertanyaan-pertanyaan dari anamnesa mencakup:

 Bagaimana fraktur tersebut terjadi ?


Jawaban dari pertanyaan ini akan merujuk pada tingkat keparahan fraktur, contohnya suatu pukulan pada dagu
kemungkinan trauma akan menjalar sampai ke kondilus mandibula.
 Dimana fraktur tersebut terjadi ?
Pertanyaan ini untuk mengetahui tempat saat terjadinya trauma apakah terkontaminasi sehingga perlu diberikan
anti tetanus pada pasien dsb.
 Kapan fraktur tersebut terjadi ?
Karena waktu sangat penting untuk menegakkan diagnosa, khususnya pada gigi yang mengalami avulsi atau
perubahan letak.
Pemeriksaan ekstra dan intra oral

Pada pemeriksaan ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa bengkak di bibir, hematoma, abrasi
dan laserasi. Kedalaman laserasi sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada struktur vital yang terlibat
seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis.

Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan lunak dan jaringan keras. Trauma di anterior biasanya
mengakibatkan kerusakan bibir yang parah. Hematoma sering ditemukan dan pada palpasi dapat teraba
kepingan gigi atau benda asing yang tertanam di jaringan lunak. Bibir bawah dapat tergigit sehingga terjadi
laserasi. Bila gigi avulsi, pada gingiva akan tampak luka seperti bekas ekstraksi bisa ditemukan juga laserasi
gingiva dan deformitas tulang alveolar. Pada anterior mandibula dapat terjadi degloving yaitu sobekan
horizontal di sulkus labialis pada perbatasan gingiva cekat dan bebas, bila pasien jatuh tertelungkup dan
terseret ke depan. Sobekan terjadi di periosteum dan pada kasus yang parah saraf mentalis dapat terbuka.
Penatalaksanaan

Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam melakukan tindakan dalam penanganan


trauma dentoalveolar diantaranya:

(1) Umur dan kooperatif tidaknya anak;

(2) Durasi antara trauma dan perawatan;

(3) Lokasi dan perluasan;

(4) Injury terjadi pada gigi permanen atau gigi susu;

(5) Perkembangan akar gigi;

(6) Ada tidaknya fraktur pada pendukung tulang;

(7) Kesehatan jaringan periodontal dan gigi yang tersisa.


1. Fraktur Email

Yang dimaksud dengan fraktur email disini adalah fraktur tidak mengenai jaringan gigi yang lebih dalam (dentin

mauapun pulpa) namun hanya sebatas email. Sebenarnya kasus ini memiliki prognosis yang baik.. Namun tidak

memungkinkan timbulnya pergeseran letak gigi (luksasi). Perawatan yang dapat diberikan antara lain dengan

menghaluskan bagian email yang kasar akibat fraktur tersebut atau dengan memperbaiki struktur gigi tersebut.

2. Fraktur Makhota dengan Pulpa Masih Tertutup

Fraktur ini mengenai jaringan gigi yang lebih dalam, tidak hanya sebatas pada email namun juga sudah mengenai

dentin namun pulpa masih terlindungi. Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan material

komposit untuk mengembalikan struktur gigi atau dengan cara yang lebih konservatif lagi yakni menempelkan

kembali fragmen fraktur tersebut pada jaringan gigi setelah sebelumnya dilakukan etsa asam dan dengan bantuan

bonding agent.
3. Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka

Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan complicated, karena fraktur melibatkan daerah email, dentin

dan juga pulpa. Perawatannya pun agak sedikit berbeda dan tidak sesederhana dua kasus di atas. Hal lain yang harus

diperhatikan saat menangani kasus ini adalah maturasi gigi, ini penting untuk menentukan apakah apeks gigi sudah

menutup sempurna atau belum karena akan membedakan langkah perawatan yang akan diberikan.

4. Fraktur Mahkota dengan pulpa nekrotik dan terbuka

Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan berdasarkan keadaan di derah apeks, jika apeks sudah tertutup maka
perawatannya sama seperti perawatan abses alveolar akut.
5. Fraktur Akar

Fraktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar, hal terpenting yang harus dilakukan adalah

dengan menempatkan kembali segmen koronal dan distabilkan dengan splin selama kurang lebih 12 minggu.

Kemudian pasien diminta datang untuk melakukan pemeriksaan apakah fraktur sudah membaik serta

mengetahui kevitalan pulpa.

6. Fraktur Mahkota-Akar

Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya tergantung pada kedalaman garis fraktur di
palatal. Bila pasien datang, fragmen korona sering sangat goyang dapat tetap melekat melalui ligament
periodontal. Biasanya anestesi local perlu diberikan agar fragmen dapat dilepas dan dilakukan pemeriksaan dari
luas fraktur. Bila fraktur terletak superficial, maka perawatan saluran akar dapat dilakukan dan dilakukan
pembuatan mahkota pasak.
Penatalaksanaan pada avulsi gigi

1) Lakukan anestesi lokal.

2) Bilas gigi perlahan-lahan dengan NaCl fisiologis menggunakan syringe.

3) Soket diirigasi menggunakan cairan NaCl fisiologis.

4) Letakkan gigi perlahan-lahan dengan tekanan jari.

5) Apabila fragmen tulang alveolar menghalangi replantasi maka lepaskan kembali gigi dan

tempatkan pada NaCl fisiologis. Kembalikan tulang pada posisinya dan ulangi kembali

replantasi.

6) Pembuatan foto rontgen dilakukan untuk memeriksa apakah posisi sudah benar.
7) Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.

8) Berikan antibiotika selama 4-5 hari.

9) Berikan profilaksis tetanus bila gigi yang avulsi telah berkontak dengan sesuatu.

10) Pasien diinstruksikan untuk berkumur menggunakan klorheksidin 0,1% sehari 2 kali selama 1

minggu.

11) Lepaskan splint setelah 1-2 minggu.

12) Perawatan saluran akar dipertimbangkan bila tampak adanya kelainan pada pulpa.
Penatalaksanaan dengan Arch bar

Penggunaan arch bar memiliki keuntungan yaitu mampu mengikat gigi sekaligus menstabilkan
fragmen fraktur secara adekuat pada tempatnya. Penggunaan arch bar memiliki keunggulan
tersendiri pada pasien dengan kegoyangan gigi. Kegoyangan gigi pada pasien menunjukkan adanya
cedera atau bahkan robeknya pada ligament periodontal. Arch bar yang merupakan semi-rigit splint,
mampu menstabilkan kegoyangan gigi dan membantu proses peyembuhan ligament periodontal
dengan cara, memberikan dukungan pada ligament periodontal dalam mengakomodasi beban
kunyah. Karena bersifat semi rigit splint, arch bar memberikan sedikit ruang untuk pergerakan gigi-
gigi dan memungkinkan ligament periodontal tetap menerima beban kunyah dengan intensitas
ringan.
Beban kunyah tersebut mampu merangsang sintesa nitric oxide (NO), dan meningkatkan fibroblast
growth factor (bFGF/FGF-2). NO penting dalam perbaikan sabut-sabut ligament periodontal, dan
peristiwa angiogenesis. NO juga menginduksi apoptosis osteoblas dan menekan proses
penulangan, hal tersebut memberikan kesempatan ligament periodontal untuk melakukan proses
perbaikan terlebih dahulu sebelum proses penulangan terjadi, hal tersebut akan memperkecil resiko
terjadinya ankilosis selama proses penyembuhan.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai