Anda di halaman 1dari 13

Pembuktian dalam Hukum

Acara Pidana

Adzra Rayhana
Secara harafiah : Pembuktian didefinisikan sebagai proses membuktikan.

Sejak kapan pembuktian tersebut berlangsung?

• Dalam arti sempit: berlangsung pada tahap adjudikasi / di depan


persidangan
• Dalam arti luas: sejak penyidikan dimulai (penyidikan untuk mengumpulkan
alat-alat bukti)

*Yang dianggap sebagai alat-alat bukti yang sah adalah fakta-fakta persidangan (alat
bukti yang di present di depan persidangan). Pembuktian yang diperoleh dari tahap
penyelidikan / penyidikan dan disampaikan di persidangan dianggap sah.
Tujuan pembuktian:

• Tindak pidana apa yang dilakukan?


• Bagaimana tindak pidana itu dilakukan?
• Siapa yang melakukan?
• Apakah pelaku bersalah?
Teori Pembuktian
1. Positieve Wettelijk Bewijs Theory

 membuktikan berdasarkan hukum positif, normatif dan tidak perlu keyakinan


hakim

Dalam kenyataannya, teori ini tidak dapat secara murni diterapkan karena pasti ada
peran subyektivitas hakim. Contoh: Kakek berumur 70 tahun memperkosa gadis 17
tahun. Alat buktinya ada visum et repertum, ada keterangan terdakwa, ada
kesesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain, maka Hakim
memutuskan hanya berdasarkan alat bukti saja. Hakim tidak perlu menanyakan
“memangnya kakek tersebut kuat melakukan hubungan seksual? Jalan saja sudah
tidak kuat” karena pertanyaan seperti itu sudah bersifat subyektif dan hal itu
bertentangan dengan positieve wettelijk bewijs theory
Apabila alat-alat bukti sudah ada sesuai apa yang sudah ditetapkan dalam
Undang-Undang, maka Hakim harus menetapkan bahwa tindak pidana
tersebut sudah terbukti, walaupun Hakim mungkin berkeyakinan bahwa
yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Apabila alat bukti memang
tidak ada, maka hakim harus tetap menyatakan bahwa tindak pidana
tidak terbukti, walaupun mungkin Hakim berkeyakinan bahwa Terdakwa
melakukan tindak pidana.
2. Intime conviction :

“keyakinan yang mendalam”, di negara-negara common law merupakan keyakinan


juri, sementara di negara-negara civil law merupakan keyakinan Hakim.
Keyakinan hakim didasarkan pada alat bukti yang sah, yang sifatnya unlimited
but admissible

Unlimited = alat bukti boleh apa saja, diperoleh dari apa saja sepanjang relevan
dengan tindak pidana.
Admissible = hanya diperoleh secara sah.

Namun, keyakinan hakim ini tidak didasarkan pada alat-alat bukti dalam Undang-
Undang, karena keyakinan hakim tersebut tidak terikat kepada aturan-aturan
tentang pembuktian  subyektivitas Hakim.
Persoalan darimana Hakim mendapatkan keyakinan tidak menjadi
permasalahan. Di negara-negara common law, tidak dibedakan antara
alat bukti dan barang bukti, semua hal boleh menjadi alat bukti, kecuali
yang dilarang di dalam Undang-Undang.

Kalau di dalam KUHAP, hal apapun tidak boleh menjadi alat bukti kecuali
yang diatur di dalam KUHAP.

Kelemahan: bila alat-alat bukti yang diajukan di persidangan mendukung


kebenaran dakwaan terhadap Terdakwa namun hakim tidak yakin akan itu
semua, maka tetap saja terdakwa bisa bebas.
3. Conviction La Raisonee

Hakim harus mendasarkan keyakinannya pada reasonable considerations


(alasan yang logis). Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah
berdasarkan keyakinan yang didasarkan kepada dasar pembuktian
dengan suatu kesimpulan berlandaskan peraturan pembuktian.

Contoh: melihat background atau latar belakang dari seorang terdakwa.


Berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan hakim tersebut
didasarkan pada suatu kesimpulan yang logis, yang tidak didasarkan
pada UU, melainkan pada ketentuanketentuan menurut ilmu pengetahuan
hakim sendiri
4. Negatieve Wettelijk Bewijs Theory

Merupakan “Teori antara” dari sistem pembuktian menurut Undang-


Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan
atau conviction in time.

 memadukan unsur obyektif dan subyektif dalam menentukan salah


atau tidaknya terdakwa.

“Salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh Keyakinan hakim


didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut UU”. Dalam sejarahnya,
di Perancis, inilah yang disebut sebagai conviction la raisonee, di mana
ada keyakinan hakim, ada pula alat bukti yang dibatasi.

 Di Indonesia: limited and admissible


Di Indonesia, berlaku teori Negatieve Wettelijk Bewijs yang diatur dalam
Pasal 183 jo. 184 KUHAP. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana,
kecuali setidaknya berdasarkan 2 alat bukti yang sah, dan dari alat
bukti yang sah tersebut menimbulkan keyakinan Hakim bahwa
Terdakwa bersalah. Dalam KUHAP:

• Ada unsur keyakinan hakim


• Ada alat bukti yang diatur secara limitatif jenisnya
• Diatur batas minimal alat bukti, yaitu 2 alat bukti
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 (1) KUHAP:

- Keterangan Saksi
- Keterangan Ahli
- Surat
- Petunjuk
- Keterangan Terdakwa

*dalam KUHAP semua hal tidak bisa menjadi alat bukti kecuali yang diatur di
dalam KUHAP

 Dalam Pasal 183 KUHAP : untuk Tindak Pidana Umum, video CCTV tidak
termasuk alat bukti, namun untuk mengakalinya agar bisa dijadikan alat bukti,
hasil dari CCTV dapat dituliskan hasilnya dan dicetak sehingga menjadi bentuk
surat dan keterangan ahli. Namun untuk Tindak Pidana Khusus yang diatur
dalam UU tertentu, video CCTV sudah masuk sebagai alat bukti.

Anda mungkin juga menyukai