Anda di halaman 1dari 54

FONOLOGI

Memahami Ilmu Bunyi Bahasa


Secara Komprehensif
Pengertian Fonologi
 Fonologi ialah bidang linguistik yang menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya
(berkenaan dengan fonemik).
 Fonologi ialah bidang linguistik yang menyelidiki
bunyi-bunyi bahasa yang bersifat membedakan
makna.
 Untuk mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa,
fonologi membutuhkan bantuan cabang ilmu yang
lain, yaitu fonetik.
Fonetik
 Fonetik ialah ilmu yang mengkaji penciptaan,
penyampaian, dan penerimaan bunyi bahasa.
 Fonetik ialah ilmu interdisipliner linguistik dengan
ilmu anatomi, fisika, dan psikologi.
 *Fonetik juga dipahami sebagai sistem bunyi
suatu bahasa.
Jenis Fonetik
 Fonetik artikulatoris (atau fonetik organis); terpusat pada aktivitas
penutur dengan alat-alat artikulasi dan proses artikulasi; berkenaan
dengan penciptaan bunyi bahasa; berkenaan dengan alat-alat ucap
dalam artikulasi.
 Fonetik Akustis; terpusat pada gelombang bunyi yang dihasilkan
oleh alat artikulasi dalam kegiatan berbicara dan tranmisi gelombang
bunyi tersebut melalui udara; berkenaan dengan penyampaian bunyi
bahasa; berkenaan dengan ciri-ciri fisik bunyi bahasa;
 Fonetik Auditoris; terpusat pada persepsi gelombang bunyi oleh
telinga pendengar yang meliputi fisiologi telinga, alat-alat dengar yang
terkait, dan psikologi persepsi; berkenaan dengan penerimaan bunyi
bahasa; berkenaan dengan pendengaran sebagai persepsi bahasa.
Jenis fonetik

enkoding kode dekoding

FONETIK FONETIK AKUSTIS FONETIK


ARTIKULATORIS AUDITORIS
Proses pembentukan bunyi bahasa
 proses arus udara; proses mengalirnya udara
dari paru menuju saluran oral atau nasal; atau
sebaliknya
 proses fonasi; proses bergetarnya pita suara
oleh arus udara
 proses oral-nasal; proses mengalirnya arus
udara melalui oral atau nasal
 proses artikulasi; proses memanipulasi arus
udara yang dilakukan oleh artikulator dan titik
artikulasi untuk penciptaan bunyi bahasa
Arus udara
 Arus udara egresif; yaitu arus udara yang keluar lewat
rongga mulut atau hidung.
 Egresif pulmonik yaitu arus udara yang berasal dari paru-
paru
 Egresif glotalik yaitu arus udara yang berasal dari hasil
pemampatan udara di atas glotis; bunyi yang dihasilkan
disebut bunyi ejektif [p’, t’, k’]
 Arus udara ingresif; yaitu arus udara yang masuk ke
dalam alat-alat ucap.
 Ingresif glotalik; penghisapan udara dari luar berakhir pada
posisi glotal; yang dihasilkan bunyi implosif
 Ingresif velarik; penghisapan udara dari luar berakhir pada
posisi velar; yang dihasilkan bunyi klik (click)
Fonetik Artikulatoris
 ALAT UCAP (artikulator + titik artikulasi)

1. Labium 10. Dorsum 17

2. Dent 11. Velix 11


4 16
3 5
3. Alveolum 12. Faring 2 7 8 9
6
10
1
4. Palatum 13. Epiglotis 12

5. Velum 14. Laring


13
6. Uvula 15. Paru 14

7. Apex 16. Oral


8. Laminum 17. Nasal 15

9. Medium
Beberapa konsep
 Artikulasi : perubahan rongga dan ruang dalam
saluran suara untuk menghasilkan bunyi bahasa;
proses penciptaan bunyi bahasa oleh artikulator
 Artikulator : bagian alat ucap yang dapat
bergerak; misalnya, lidah dan bibir bawah
 Titik Artikulasi : tempat terciptanya bunyi
bahasa oleh artikulator
Vokoid/Vokal
 Vokoid/vokal ialah bunyi bahasa yang dihasilkan
dengan getaran pita suara, tanpa penyempitan
dalam saluran suara di atas glotis.
 Istilah vokoid digunakan dalam bidang fonetik,
sedangkan istilah vokal digunakan dalam bidang
fonemik/fonologi.
Klasifikasi Vokoid
Menurut gerak vertikal dan horizontal lidah

ATAS
ibu i
adik I u buka
cetak e Ʊ
MADYA batuk
DEPAN
bebek ε ə enam BELAKANG
TENGAH o toko
black æ
tokoh
aku a
BAWAH
Klasifikasi vokoid
menurut konfigurasi bibir

BUNDAR

ibu i
adik I u buka

cetak e
U batuk

bebek ε ə enam
o toko
æ
tokoh
aku a
TIDAK
BUNDAR
Bunyi Semivokoid
 Bunyi semi vokoid disebut juga dengan istilah bunyi
luncuran.
 Disebut semivokoid karena dilafalkan seperti bunyi
vokoid
 Yang termasuk bunyi semivokoid ialah bunyi [w]
dan [ y ]
 Ada gejala bunyi [ w ] yang dilafalkan dengan alat
ucap labiodental, tetapi bersifat tidak lazim, karena
seperti lafal bunyi [v].
DIFTONG
 Diftong juga disebut vokal rangkap karena pada dasarnya
bunyi diftong itu ialah dua bunyi vokal yang diucapkan
dalam satu suku kata (silabel) yang sama.

diftong bukan diftong

ka – lau ka – la – u
pa – ni – tia pa – ni – ti – a
a – soi a – so – i
ba – lai ba – la – i
sau – da – ra sa – u – da – ra
su – lai – man su – la – i – man
Klasifikasi Diftong
ATAS
ibu i
adik I u buka

cetak e
MADYA U batuk
DEPAN
bebek ε ə enam BELAKANG
TENGAH o toko
æ
tokoh
aku a

au = diftong naik dan mundur BAWAH

ai = diftong naik dan maju


ia = diftong turun dan mundur
oi = diftong naik dan maju
Klasifikasi kontoid
menurut alat ucap yang digunakan
 Kontoid Bilabial : bibir atas vs bibir bawah [ p, b,m, w ]
 Kontoid Labiodental : bibir bawah vs gigi atas [ f, v ]
 Kontoid Apikodental : pucuk lidah vs gigi atas [ t, d, n, l ]
 Kontoid Apikoalveolar : pucuk lidah vs gusi [ t, d, l, n, s, z, r ]
 Kontoid Laminopalatal : daun lidah vs langit keras [ ś, z, y ]
 Kontoid Mediopalatal : tengah lidah vs langit keras [ c, j, ñ]
 Kontoid Dorsovelar : pkl lidah vs langit lunak [ k, g, ŋ, kh, x]
 Kontoid Faringal : akar lidah vs dinding tenggorokan [ h ]
 Kontoid Glotal : pita suara [Ɂ]
 Kontoid uvular : dorsum vs uvular [ q ]
Klasifikasi kontoid
menurut cara artikulasi
 Kontoid hambat : udara dihambat sepenuhnya
 Bersuara : pita suara bergetar [ b, d, ḍ, g ]
 Tak bersuara : pita suara tidak bergetar [ p, t, t, k , q, ? ]
 Kontoid frikatif : udara mengalir pada celah sempit
 Bersuara : pita suara bergetar [ v, z, h ]
 Tak bersuara : pita suara tidak bergetar [ f, s, x ]
 Kontoid afrikatif : udara dihambat dan digeser
 Bersuara : pita suara bergetar [ j ]
 Tak bersuara : pita suara tidak bergetar [ c, z ]
 Kontoid lateral : udara lewat samping lidah [ l ]
 Kontoid nasal : udara lewat hidung [ m, n, ɲ, ŋ ]
 Kontoid luncuran : udara diluncurkan spt bunyi vokal [ y, w ]
 Kontoid getar : alat ucap digetarkan [ r ]
Diagram klasifikasi bunyi kontoid
Posisi bila- labio- den- alveo- pala- dorso- uvu- fari- glo-
artikulasi bial dental tal lar tal velar lar ngal tal
Cara
artikulasi
hambat tb p t t k q ?
b b d d g
frikatif tb f s š x
b v z ž
afrikat tb c č
b ž ĵ h
lateral tb
b l
b = bersuara nasal m n n ñ ŋ
tb = tak bersuara luncuran w y
getar r
Koartikulasi
 Istilah koartikulasi biasa dipakai untuk menyebut
bunyi-bunyi bahasa yang ikut terartikulasikan
bersamaan dengan artikulasi bunyi-bunyi tertentu
yang lain.
 Dapat dielakkan, misalnya bunyi [m] pada kata
[mbantUl]
 Tidak dapat dielakkan, misalnya bunyi [?] pada
kata [ma?af], bunyi [w] pada kata [duwa], dan bunyi
[y] pada kata [diya]
Bunyi fortis vs. Bunyi lenis
 Bunyi keras (fortis); ialah bunyi yang artikulasinya
membutuhkan hembusan udara yang kuat dan
disertai oleh ketegangan otot; misalnya [t, k, s]
dan bunyi takbersuara yang lain serta bunyi
vokoid, kecuali bunyi scwa [ә]
 Bunyi lemah (lenis); ialah bunyi yang artikulasinya
tidak membutuhkan arus udara yang kuat dan
tidak disertai oleh ketegangan otot; misalnya [d,
g, z] dan bunyi bersuara yang lain
Bunyi panjang vs. Bunyi pendek
 Bunyi panjang ialah bunyi yang proses
artikulasinya membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan artikulasi normal
 Bunyi pendek ialah bunyi yang membutuhkan
waktu artikulasi ukuran normal atau kurang
 Bunyi panjang dan bunyi pendek bisa berupa
vokal atau konsonan
Bunyi nyaring vs. tidak nyaring
 Kenyaringan bunyi bahasa disebut sonoritas
 Bunyi nyaring disebut bunyi sonoran; bunyi tidak nyaring
disebut bunyi obstruen.
 Bunyi tergolong nyaring jika artikulasinya memiliki kondisi
atau posisi saluran suara yang menghasilkan penyuaraan
secara spontan karena terbentuknya ruang resonansi
yang dapat menguatkan frekuensi.
 Bunyi tidak nyaring, dihasilkan dengan penyempitan
saluran suara atau dihasilkan tanpa disertai terbentuknya
ruang resonansi yang cukup untuk memperkuat frekuensi.
FONOLOGI
MEMAHAMI SISTEM BUNYI BAHASA SECARA FUNGSIONAL
Fonem dan Fonemik
 Fonem ialah satuan bunyi terkecil yang mampu
menunjukkan kontras makna; fonem merupakan
abstraksi, sedangkan wujud fonetisnya
tergantung pada posisinya terhadap bunyi-bunyi
lain.
 Fonemik ialah sistem fonem suatu bahasa;
prosedur untuk menentukan fonem suatu bahasa;
penyelidikan mengenai sistem fonem suatu
bahasa.
Premis dan Hipotesis Kerja
Penentuan Fonem
Premis 1: Bunyi-bunyi bahasa mempunyai kecenderungan untuk
dipengaruhi oleh lingkungannya
Semua gejala asimilasi merupakan bukti bahwa bunyi-bunyi bahasa
itu cenderung dipengaruhi oleh bunyi-bunyi yang melingkunginya.
 Struktur bunyi /mp/ atau /mb/ di dalam kata sampai, sampah,
limbah, dan tambah sama-sama berfitur bilabial
 Struktur bunyi /nt/ di dalam kata pantai, santai, pintar, dan
pantau sama-sama berfitur apikodental dan struktur bunyi /nd/ di
dalam kata pandai, pindah, pundak, dan pondok sama-sama
berfitur apikoalveolar atau alveopalatal
 Demikian pula struktur bunyi /ñc/, /ñj/, /ηk/, dan /ηg/ di dalam
kata banci, banjar, nangka, dan bangga
Premis dan Hipotesis Kerja
Penentuan Fonem
Premis 2: Sistem bunyi bahasa mempunyai kecenderungan
bersifat simetris.
 Adanya pasangan bunyi hambat /p, t, c, k/ dan /b, d, j, g/,
dalam bahasa Indonesia terdapat bunyi nasal /m, n, ñ, η/.
 Bahasa Inggris hanya memiliki pasangan bunyi hambat /p,
t, k/ dan /b, d, g/, maka bunyi nasalnya juga hanya /m, n,
η/.
 Hal semacam itu menunjukkan bahwa bunyi-bunyi dalam
bahasa itu cenderung bersifat simetris.
Premis dan Hipotesis Kerja
Penentuan Fonem
 Hipotesis Kerja 1: Bunyi-bunyi bahasa yang
secara fonetis mirip harus digolongkan ke dalam
kelas-kelas bunyi atau fonem yang berbeda bila
terdapat pertentangan di dalam lingkungan yang
sama atau mirip.
parang – barang
tiri – diri
acar – ajar
laku – lagu
Premis dan Hipotesis Kerja
Penentuan Fonem
 Hipotesis Kerja 2: Bunyi-bunyi bahasa yang secara
fonetis mirip dan terdapat di dalam distribusi yang
komplementer harus dimasukkan kelas-kelas bunyi
(fonem) yang sama.
 Kasus: bunyi [k] dan bunyi [?] yang memiliki distribusi
komplementer; bunyi [k] terdapat pada posisi selain posisi
akhir sedangkan bunyi [?] terdapat pada posisi akhir.
posisi non-akhir posisi akhir
baki [baki] baik [baI?]
laku [laku] lauk [laU?]
kuda [kuda] lotek [lotε?]
Lingkungan
 Langsung di depan
 Langsung di belakangnya
 Tidak langsung di depannya
 Tidak langsung di belakangnya
 Vokal
 Konsonan
 Kluster (vokal atau konsonan)
 Kekosongan (koda/onset)
ALUR ANALISIS
 Premis Mayor: Konsep Teoretis
Bunyi-bunyi bahasa mempunyai kecenderungan untuk dipengaruhi oleh
lingkungannya
 Premis Minor: Data Empirik
Bunyi [l] pada kata al berubah menjadi bunyi [s] pada kata assalam
 Kesimpulan:
Perubahan bunyi [l] (pada kata al) menjadi [s] pada kata assalam
disebabkan oleh pengaruh bunyi [s] pada awal kata salam.
 Hipotesis:
 Karena berada pada lingkungan yang sama, dan tidak menandai perbedaan
makna, maka [l] dan [s] tersebut dianggap fonem yang sama
ALUR ANALISIS
 Premis Mayor: Konsep Teoretis
Bunyi-bunyi bahasa mempunyai kecenderungan untuk dipengaruhi oleh
lingkungannya
 Premis Minor: Data Empirik
Bunyi [k]-velar pada [baik] berubah menjadi bunyi [?]-glotal pada [bai?]
 Kesimpulan:
Perubahan bunyi [k]-velar pada [baik] menjadi [?]-glotal pada [bai?] karena
pengaruh lingkungan, yaitu berada pada posisi koda.
 Hipotesis:
Karena berada pada lingkungan yang sama, dan tidak menandai perbedaan
makna, maka [k] dan [?] tersebut dianggap fonem yang sama
ALUR ANALISIS
 Premis Mayor: Konsep Teoretis
Bunyi-bunyi bahasa mempunyai kecenderungan untuk dipengaruhi oleh
lingkungannya
 Premis Minor: Data Empirik
Bunyi [b]-bersuara pada [sabtu] berubah menjadi bunyi [p]-takbersuara pada
[saptu]
 Kesimpulan:
Perubahan bunyi [b]-bersuara pada [sabtu] menjadi [p]-takbersuara pada [saptu]
karena pengaruh lingkungan, yaitu berada pada posisi koda.
 Hipotesis:
Karena berada pada lingkungan yang sama, dan tidak menandai perbedaan
makna, maka [b] dan [p] tersebut dianggap fonem yang sama
ALUR ANALISIS
 Premis Mayor: Konsep Teoretis
Bunyi-bunyi bahasa mempunyai kecenderungan untuk dipengaruhi oleh
lingkungannya.
 Premis Minor: Data Empirik
Berdasarkan posisi artikulatornya, bunyi [s] pada [s əpi] berposisi netral, bunyi [s]
pada [ʔisi] berposisi depan, dan bunyi [s] pada [busuk] berposisi belakang.
 Kesimpulan:
Bunyi [s] bisa berposisi netral karena diikuti vokal-netral [ə], bunyi [s] bisa
berposisi depan karena diikuti vokal-depan [i], dan bunyi [s] bisa berposisi belakang
karena diikuti vokal-belakang [u].
 Hipotesis:
Jika tidak menandai perbedaan makna, bunyi [s]-netral, [s]-depan, dan [s]-belakang
dianggap fonem yang sama
ALUR ANALISIS
 Premis Mayor: Konsep Teoretis
. Sistem bunyi bahasa mempunyai kecenderungan bersifat simetris.
 Premis Minor: Data Empirik
Bahasa Indonesia punya struktur bunyi [mp] dan [mb]
 Kesimpulan:
Berarti [m] bisa bersama [p] oleh karena itu juga bersama [b] karena [m], [p],
dan [b] itu homorgan
 Hipotesis:
Fonemisasi = ?
Beban fungsional fonem
 Fonem-fonem dalam suatu bahasa memiliki beban fungsional yang
berbeda-beda
 Fonem memiliki beban fungsional tinggi apabila memiliki kontras
dengan banyak fonem yang lain
 Misalnya fonem yang kontras pada pasangan kata-kata berikut:
sari, tari, lari, dari, cari, hari, jari, kari, mari, nari, pari
 s > t, l, d, c, h, j, k, m, n, p
 t > s, l, d, c, h, j, k, m, n, p
 dst.

 Fonem memiliki beban fungsional rendah apabila memiliki kontras


dengan satu atau dua fonem yang lain
Alternasi fonem
 Proses yang memperlihatkan perubahan fonem
dalam lingkungan yang dapat diramalkan
 Adanya dua varian fonem atau lebih dalam
hubungan paradigmatis
 /k/ > [k] dan [?] anak
 /b/ > [b] dan [p] sabtu
 /d/ > [d] dan [t] babad
 /g/ > [g], [k], dan [?] gerobag
Penafsiran ekafonem dan dwifonem
 Penafsiran ekafonem dan dwifonem didasarkan
pada makna
 Apabila dua bunyi yang berbeda menandai dua
makna yang berbeda harus ditafsirkan sebagai
dua fonem yang berbeda
 Apabila dua bunyi yang berbeda menandai
makna yang sama harus ditafsirkan sebagai satu
fonem yang sama dan perbedaan itu dianggap
sebagai varian saja
Fonem segmental dan suprasegmental
 Fonem segmental berupa bunyi yang dapat
disegmentasikan
 pada kata jalan terdiri dari fonem /j/, /a/, /l/, /n/
 Fonem suprasegmental berupa bunyi yang tidak
dapat disegmentasikan, yaitu berupa
 tekanan
 durasi/jangka
 Nada
 intonasi
Fonotaktik
 Ialah urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu
bahasa; deskripsi tentang urutan fonem
 Urutan /pr, br, sr, dr, tr, pl/ adalah urutan fonem yang dapat
terjadi dalam bahasa Indonesia.
 Bahasa Indonesia tidak memiliki urutan fonem /pf, pfr, ts,
tsv, sv, kn, gn/ sebagai gugus konsonan
 Jadi fonotaktik berkenaan dengan distribusi fonem, baik
yang mengakibatkan terjadinya perubahan bunyi atau
tidak
 Coba identifikasi urutan fonem apa saja yang bisa dan
tidak bisa terjadi dalam bahasa Indonesia!
Suku kata ‘silabel’ (sylable)
 ialah ujaran yang terjadi dalam satu denyut dada, yaitu
satu penegangan otot pada waktu pengembusan udara
dari paru (dari sudut pandang fisiologis)
 ialah regangan ujaran yang terjadi dari satu puncak
kenyaringan di antara dua unsur yang tak berkenyaringan
(dari sudut artikulasi)
 ialah struktur yang terjadi dari satu fonem atau urutan
fonem bersama dengan ciri lain seperti durasi atau
tekanan (dari sudut fonologis)
 Kadang ada kesamaan antara suku kata yang ditetapkan
secara fonetis dan yang ditetapkan secara fonologis
(fonemis)
Jenis suku kata
 Suku kata terbuka, yaitu suku kata yang berakhir
bunyi vokal
 Suku kata tertutup, yaitu suku kata yang berakhir
bunyi konsonan
 Suku kata silabis, yaitu satuan ritmis terkecil
dalam arus ujaran
Pola suku kata (fonemis)
 V– misalnya a – ku
 –V misalnya tu – a
 KV– misalnya pa – ku
 KVK– misalnya fat – wa
 KVKK– misalnya teks – til
 –VK misalnya ku – at
 KKV– misalnya pra – ja
 VKK– misalnya eks – tra
 KKVK – misalnya prak – tik
 KKVKK – misalnya trans – por
Gugus konsonan
 Gugus konsonan juga disebut consonant cluster
 Gugus konsonan ialah dua konsonan atau lebih yang
berurutan, tanpa disela oleh vokal, dan berada dalam satu
silabel yang sama.
 Urutan [pr, br, sr, dr, tr, pl] adalah gugus konsonan yang
dapat terjadi dalam bahasa Indonesia.
 Bahasa Indonesia tidak memiliki gugus konsonan [pf, pfr,
ts, tsv, sv, kn, gn] seperti bhs. Jerman
Gugus konsonan
 Gugus konsonan pravokalik; yaitu gugus konsonan yang
berada sebelum bunyi vokal
 Misalnya
 KKV- pada tra – di – si
 KKVK- pada pras – ma - nan
 KKKV- pada stra – te – gis
 KKKVK pada stres
 Gugus konsonan postvokalik; yaitu gugus konsonan yang
berada sesudah bunyi vokal
 Misalnya
 –VKK pada ra – port
 KKVKK- pada trans – port
Gugus vokal
 Ialah kumpulan beberapa bunyi vokal yang
berlainan, yang berada dalam satu suku kata
yang sama.
 Bunyi diftong dapat dianggap sebagai gugus
vokal (dari sudut fonetis)
 Misalnya
 Bunyi [aw] pada au – di – o
 Bunyi [ay] pada ba – lai
 Bunyi [oy] pada a – soi
Perubahan bunyi
 Bunyi bahasa dalam penggunaannya bersifat
bervariasi atau berubah-ubah
 Perubahan bunyi bahasa disebabkan oleh
beberapa gejala
 Asimilasi
 disimilasi
 kehomorganan
 nasalisasi
 dsb.
Asimilasi (Latin: ad – similis)
 ialah proses perubahan bunyi yang mengakibatkannya
mirip atau sama dengan bunyi lain di dekatnya
 Dalam bhs. Inggris assimilation; dalam bahasa Latin ad +
similis
 Jenisnya:
 asimilasi dekat
 asimilasi jauh
 asimilasi fonemis
 asimilasi historis
 asimilasi morfologis
 asimilasi progresif
 asimilasi regresif
 asimilasi resiprokal
Asimilasi
 Asimilasi dekat; berkenaan dengan fonem-fonem yang
letaknya berdekatan
 al salam → assalam
 al nur → annur
 Asimilasi jauh; berkenaan dengan fonem-fonem yang
berjauhan (kasus ini sangat jarang terjadi)
 Asimilasi fonemis; berkenaan dengan fonem
 Asimilasi historis; berkenaan dengan umlaut, yaitu
perubahan vokal dalam suku kata menjadi lebih tinggi
karena pengaruh vokal atau semi-vokal yang
mengikutinya; misalnya dlm bhs. Jerman [bu:x] ‘buku’
menjadi [büšәr] ‘buku-buku’
Asimilasi

 Asimilasi morfologis; perubahan dalam hal


jenis, jumlah, atau kasus dari sebuah kata karena
pengaruh kata lain yang di dekatnya
 misalnya these dalam these kind of things yang
seharusnya this kind of things
 Asimilasi progresif; menjadi mirip dengan bunyi
yang mendahuluinya
 misalnya, perubahan dari bersuara menjadi tak-
bersuara, seperti [v] > [f] dalam ik eet vis karena
pengaruh bunyi [t] pada eet (Bld.)
Asimilasi
 Asimilasi regresif; menjadi mirip dengan bunyi
yang mengikutinya
 misalnya perubahan dari tak-bersuara menjadi
bersuara seperti [p] > [b] dalam op de weg karena
pengaruh bunyi [d] pada de (Bld.); misalnya al
salam menjadi assalam
 Asimilasi resiprokal; perubahan dua fonem
yang berurutan yang menyebabkan kedua fonem
itu menjadi fonem yang berbeda dari semula
 (bhs. Batak) ndang huboto ‘tidak saya tahu’ yang
dilafalkan [ndak kuboto]; [ηh] > [kk]
Disimilasi
 Yaitu perubahan yang terjadi bila dua bunyi yang
sama menjadi tidak sama
 berajar > belajar pasangan [r-r] > [l-r]
 terantar > telantar pasangan [r-r] > [l-r]
 Disimilasi dekat; bunyi yang berubah berdekatan
 Lt. anima < anma < Spanyol alma
 Disimilasi jauh; bunyi yang berubah berjauhan
 terantar > telantar
Disimilasi
 Disimilasi progresif; terjadi karena pengaruh
bunyi yang pertama
 (Jer.) himin > himil ‘langit’ [nasal] > [lateral]
 Disimilasi regresif; terjadi karena pengaruh bunyi
yang kedua
 terantar > telantar
Kehomorganan
 Perubahan yang terjadi pada bunyi yang
berdekatan dari tidak homorgan menjadi
homorgan
 {meN-} aku mengaku
 {meN-} dulang mendulang
 {meN-} jual menjual
 {meN-} garap menggarap
 {meN-} bawa membawa
 {meN-} bom mengebom
Nasalisasi
 Proses perubahan dari bunyi non-nasal menjadi
bunyi yang diwarnai oleh bunyi nasal karena
bunyi yang mendahului dan atau mengikutinya
 bunyi [u] pada kata mungkin
 bunyi [i] pada kata minggu
 Nasalisasi biasa terjadi pada bunyi vokal
walaupun juga bisa terjadi pada bunyi konsonan

Anda mungkin juga menyukai