Anda di halaman 1dari 28

HUKUM PERIKATAN

PB PERIKATAN YG BERSUMBER
DARI PERJANJIAN
Pengertian, Dasar Hukum, Unsur-unsur
dan Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Team Teaching Bagian Keperdataan


Buku
• C. Asser’s, 1991. Pengajian Hukum Perikatan Belanda. Jakarta :
Dian Rakyat
• Salim HS, 2002. Pengantar Hukum Perikatan Tertulis (BW).
Jakarta : Sinar Grafika.
• Subekti, 2003. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Jakarta : PT.
Intermasa.
• Djaja S. Meliala, 2006, Perkembangan Hukum Perikatan Tentang
Orang dan Hukum Keluarga, Bandung, Nuansa Aulia.
• Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perikatan Tentang
Benda dan Hukum Perikatan, Bandung, Nuansa Aulia.
Pengertian Perjanjian

Perjanjian = Kontrak ??
Pengertian Perjanjian
• Pasal 1313 KUHPerdata : Suatu perbuatan yang terjadi antara satu
atau dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain.
• Definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHperdata dianggap
tidak lengkap dan terlalu luas
• Dianggap tidak lengkap karena definisi tersebut hanya mengacu pada
perjanjian sepihak. J Satrio mengusulkan agar rumusan tersebut
dirubah menjadi atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan
diri
• Dianggap terlalu luas karena rumusan suatu perbuatan hukum dapat
mencakup perbuatan hukum (zaakwaarneming) dan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad)
Pengertian Perjanjian

• Subekti, mendefenisikan perjanjian sebagai peristiwa


dimana seseorang berjanji kepada orang lain dimana
dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
• Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian
hendaknya dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu
didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu
tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti
bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat
hukumnya atau tidak ada sanksinya.
Dasar Hukum
BAB II
Perjanjian Ketentuan Umum (Psl 1313-1319)
Syarat Sah (Psl 1320)
Akibat dr suatu perjanjian (Psl 1338-1341)
Tentang Penafsiran Perjanjian (Psl 1342-1351)

BUKU III Bab V-XVIII


Ketentuan Khusus/Perjanjian Bernama:
KUH -Jual beli (Pasal 1457-1540)
PERDATA - Tukar menukar (Pasal 1541-1546)
- Sewa menyewa (1548-1600)
- Persetujuan utk melakukan pekerjaan (Pasal 1601-1617)
- Persekutuan (Pasal 1618-1652)
- Badan Hukum (Pasal 1653-1665)
- Hibah (Pasal 1666-1693)
-Penitipan barang (Pasal 1694- 1739)
BAB II & - Pinjam pakai (Pasal 1740-1753)
- Pinjam – meminjam (Pasal 1754 – 1769)
BAB V-XVIII - Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770- 1773)
- Perjanjian untung-untungan ( Pasal 1774 – 1791)
- Pemberian kuasa (Pasal 1792- 1819)
-Penanggung utang ( Pasal 1820 – 1850)
- Perdamaian (Pasal 1851 – 1864)
Unsur-Unsur Perjanjian

• Asser : perjanjian terdiri atas dua bagian, yaitu bagian


inti Wezenlijk oordeel) disebut juga “esensialia”,
merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian,
sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian
itu tercipta (constrctive oodeel), seperti perjanjian
antara para pihak dan obyek perjanjian.
• Bagian bukan inti disebut “non wezenlijk oodeel dan
bagian dibagi lagi menjadi naturalia dan aksidentalia.
• Bagian naturalia merupakan sifat bawaan dari
perjanjian itu, sehingga secara diam-diam melekat
pada perjanjian itu, seperti menjamin tidak ada
cacat dalam benda yang dijual (vriywaring).
• Sedangkan aksidentialia, merupakan sifat yang
melekat pada perjanjian secara tegas diperjanjikan
oleh para pihak, seperti domisili para pihak.
Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Pasal 1320 KUH Perdata:


1. Kesepakatan
2. Kecakapan Bertindak
3. Adanya Obyek Perjanjian
4. Causa yang Halal

Asas Objektif : 3 + 4
Asas Subjektif: 1 + 2
• syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata menyatakan bahwa “untuk sahnya
persetujuanpersetujuan diperlukan empat syarat yakni sepakat
mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat
suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang
halal”.
• Syarat pertama dan kedua yang disebutkan di atas dinamakan
syarat subyektif, karena menyangkut soal orang-orang yang
mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat
disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek dari
peristiwa yang dijanjikan itu.
1. Kesepakatan
• Kesepakatan diperlukan dalam mengadakan perjanjian, ini berarti
bahwa keduabelah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak,
artinya masing-masing pihak tidak mendapat suatu tekanan yang
mengakibatkan adanya cacat dalam mewujudkan kehendaknya.
• Subekti: kedua belah pihak dalam suatu perjanjian mempunyai
kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus
dinyatakan. Mengenai pernyataan ini dapat dilakukan secara tegas
dan secara diam-diam. Secara dia-diam umumnya terjadi dalam
kehidupan kita sehari-hari, misalnya kalau seseorang naik Kereta Api,
maka secara diam-diam telah terjadi suatu perjanjian yang
meletakkan kewajiban kepada kedua belah pihak, yaitu pihak
penumpang membayar harga karcis sesuai dengan tarif, dan
kondektur mengangkut penumpang dengan aman ke tempat tujuan
yang dikehendaki.
• Mariam Darus Badrulzaman, pengertian sepakat
dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang
disetujui oleh keduabelah pihak. Pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (offerte), sedangkan
pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi
(Acceptatie).
• kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela),
maka KUH Perdata menyebutkan ada 3 sebab tidak
diberikan secara sukarela yaitu karena adanya
paksaan, kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog).
• Kekhilafan (dwaling), menyangkut hal-hal yang
pokok dari yang dijanjikan itu. Dalam hal ini meliputi
mengenai obyeknya, misalnya, mau membeli lukisan
asli Afandi.
• Khilaf yang kedua mengenai subyeknya, misalnya
mengontrak penyanyi tersohor Inul Daratista, ternyata
yang datang penyanyi lain hanya mirip dengan Inul
Daratista.
• Kekhilafan mengenai orangnya dinamakan “error in
persona” dan mengenai hakikat barangnya
dinamakan “error ini substantia”.
• Paksaan dalam hal ini haruslah berupa
paksaan rohani (bukan fisik). Misalnya akan
diancam atau ditakut-takuti akan dibuka
rahasianya.
• Akan tetapi bila akan dilaporkan ke
Pengadilan, tidaklah termasuk perjanjian itu
cacat kesepakatannya, walaupun hal itu
tergolong rohani (phisikis), sebab
pengadilan merupakan tempat (rumah)
mencari keadilan, tidak layak ditakuti.
• Penipuan (bedrog), dinyatakan dalam Pasal 1238
KUH Perdata “merupakan suatu alasan untuk
membatalkan suatu persetujuan, apabila tipu
muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah
sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa
pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu
jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
• Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus
dibuktikan”.
2. Kecakapan

• Pasal 1329 KUH Perdata “ setiap orang adalah cakap untuk


membuat perikatanperikatan, jika oleh undang-undang tidak
dinyatakan tak cakap”.
• tidak cakap itu adalah Pasal 1330 KUH Perdata yakni orang-
orang atau pihak-pihak : 1) orangorang yang belum dewasa; 2)
mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; orang-orang
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat persetujuan-
persetujuan tertentu”.
• orang-orang yang belum dewasa, kreterianya ditentukan oleh
Pasal 330 KUH Perdata yaitu “belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
sebelumnya belum kawin”.
• Mengingat belum dewasa tidak tegas di atur dalam Hukum
Adat, maka berdasarkan Ordonansi 31 Januari 1931 L.N. 1921
– 54, maka kriteria yang disebutkan dalam Pasal 330 KUH
Perdata dapat juga diberlakukan untuk golongan bumiputra.
• Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, maka di Indonesia menjadi
jelas ukuran seorang dewasa seperti yang disebutkan
dalam Pasal 50 ayat (1) undang-undang itu yaitu “anak
yang belum mencapai umum 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang
tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah kekuasaan wali”.
• Pernyataan dari pasal tersebut dapat disimpulkan bawah
anak yang belum dewasa itu adalah anak yang berusia
belum mencapai 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
• mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, Pasal
433 KUH Perdata menyatakan bahwa “ setiap
orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di
bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang
cakap mempergunakan pikirannya.
• Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah
pengampuan karena keborosannya”.
• ketidakcakapan subyek hukum dalam melakukan perjanjian
seperti yang telah diuraikan di atas dapat dibedakan menjadi :
1. Ketidakcakapan untuk bertindak (Handeling
Onbekwamheid), yaitu orang-orang yang sama sekali tidak
dapat membuat suatu perbuatan hukum yang sah. Orang-
orang ini yang disebutkan Pasal 1330 KUH Perdata ;
2. Ketidak berwenangan untuk bertindak (Handeling
onbevoeghein), yaitu orang yang tidak dapat membuat suatu
perbuatan hukum tertentu dengan sah. Orang-orang ini
seperti yang disebutkan dalam Pasal 1467, 1601 i, 1678
KUH Perdata .
• Bedanya ketidakcakapan isteri dengan anak yang belum
dewasa ialah bagi yang disebutkan belakangan itu haruslah
diwakili oleh orang tua atau walinya, sedangkan isteri harus
dibantu oleh seorang suami.
• Kecuali itu, bila seorang membuat suatu perjanjian yang
diwakili oleh orang lain (orang tua/wali), maka sebenarnya ia
tidak membuat perjanjian itu sendiri, melainkan wakilnya yang
bertindak, lain halnya kalau ia (isteri) dibantu oleh orang lain
(si suami), ini berarti ia bertindak sendiri, hanya saja ia
didampingi oleh orang lain (suami) yang membantunya dan
bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin
tertulis
• Perlu diingatkan dalam hal ini ketentuan Pasal 113 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa “seorang isteri yang mana
dengan izin yang tegas, atau izin secara diam-diam dari
suaminya atas usaha sendiri melakukan sesuatu mata
pencaharian, boleh mengikat dirinya dalam segala perjanjian
yang berkenaan dengan usaha itu tanpa bantuan si suami”.
• Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap
ketidakcakapan perempuan yang bersuami dan hanya terhadap
dalam hal ia mengikatkan diri atas usaha sendiri dalam
melakukan mata pencaharian. Pengecualian lain dapat
dijumpai lagi dalam Pasal 118 KUH Perdata “ setiap isteri
berhak membuat surat wasiat tanpa izin suaminya”.
3. Hal Tertentu
• Syarat ketiga dari suatu perjanjian haruslah memenuhi “hal
tertentu”, yang maksudnya adalah suatu perjanjian haruslah
memiliki obyek (bepaald onderwerp) tertentu, yang
sekurangkurangnya dapat ditentukan.
• Objek perjanjian itu diatur dalam Pasal 1333 KUH Perdata
menyatakan “ suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
• Objek tertentu itu dapat berupa benda, yang sekarang ada dan
nanti akan ada, kecuali warisan.
• Hal ini diterangkan oleh Pasal 1334 KUH Perdata yang antara
lain menyebutkan bahwa : “... tetapi tidaklah diperkenankan
untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun
untuk minta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu
sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan
meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan
itu, ...”.
4. Causa Yang Halal
• Perkataan “sebab” dalam bahas Belanda “Oorzaak”, dalam
bahas Latin “Causa”, merupakan syarat keempat dari suatu
perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata
sebagai “sebab yang halal ”.
• Mariam Darus Badrulzaman : Causa dalam hal ini bukanlah
hubungan sebab akibat, sehingga pengertian causa disini tidak
mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran causaliteit,
bukan juga merupakan sebab yang mendorong para pihak
untuk mengadakan perjanjian.
• Yurisprudensi menafsirkan “causa” adalah isi atau maksud dari
perjanjian. Melalui syarat causa, menempatkan perjanjian di
bawah pengawasan Hakim.
• Karena Hakim dapat menguji, apakah tujuan perjanjian itu
dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan (Pasal 1335 – 1337 KUH Perdata ).
• Adakalanya suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Sebab terlarang di sini
maksudnya adalah sebab yang dilarang oleh undang-undang,
kesusilaan baik atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUH
Perdata ).
• Perjanjian yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335
KUH Perdata . Misalnya bila seseorang membeli pisau untuk
membunuh seseorang, hal ini memenuhi causa yang halal, Tidak
memenuhi causa yang halal, bila soal membunuh itu dimasukkan
dalam perjanjian (dalam konsensus). Si penjual hanya bersedia
menjual pisaunya, jika si pembeli mau memakai membunuh
orang.
• Dalam hal ini isi perjanjian memuat sesuatu sebab yang
terlarang.
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai